Anda di halaman 1dari 17

PREEKLAMSIA

Definisi
Preeklampsia (PE) merupakan kumpulan gejala atau sindroma yang mengenai
wanita hamil dengan usia kehamilan di atas 20 minggu dengan tanda utama
berupa adanya hipertensi dan proteinuria. Bila seorang wanita memenuhi kriteria
preeklampsia dan disertai kejang yang bukan disebabkan oleh penyakit neurologis
dan atau koma maka ia dikatakan mengalami eklampsia. Umumnya wanita hamil
tersebut tidak menunjukkan

tanda-tanda kelainan vaskular atau hipertensi

sebelumnya.
Kumpulan gejala itu berhubungan dengan vasospasme, peningkatan resistensi
pembuluh darah perifer, dan penurunan perfusi organ. Kelainan yang berupa lesi
vaskuler tersebut mengenai berbagai sistem organ, termasuk plasenta. Selain itu,
sering pula dijumpai peningkatan aktivasi trombosit dan aktivasi sistem koagulasi.
Etiologi
Etiologi preeklampsia sampai sekarang belum diketahui dengan pasti. Banyak
teori dikemukakan, tetapi belum ada yang mampu memberi jawaban yang
memuaskan. Oleh karena itu, preeklampsia sering disebut sebagai "the disease of
theory".
Teori yang dapat diterima harus dapat menerangkan hal-hal berikut:
1. peningkatan angka kejadian preeklampsia pada primigravida, kehamilan
ganda, hidramnion, dan mola hidatidosa
2. peningkatan angka kejadian preeklampsia seiring bertambahnya usia
kehamilan
3. perbaikan keadaan pasien dengan kematian janin dalam
uterus
4. penurunan angka kejadian preeklampsia pada kehamilan-kehamilan
berikutnya
5. mekanisme terjadinya tanda-tanda preeklampsia, seperti hipertensi,
edema, proteinuria, kejang dan koma
Sedikitnya terdapat empat hipotesis mengenai etiologi preeklampsia hingga saat
ini, yaitu:
1. Iskemia plasenta, yaitu invasi trofoblas yang tidak normal terhadap arteri

spiralis

sehingga menyebabkan berkurangnya sirkulasi uteroplasenta

yang dapat berkembang menjadi iskemia plasenta. Implantasi plasenta


pada kehamilan normal dan PE Implantasi plasenta normal yang
memperlihatkan proliferasi trofoblas ekstravilus membentuk satu kolom
di bawah vilus penambat. Trofoblas ekstravilus menginvasi desidua dan
berjalan sepanjang bagian dalam arteriol spiralis. Hal ini menyebabkan
endotel dan dinding pembuluh vaskular diganti diikuti oleh pembesaran
pembuluh darah.
2. Peningkatan toksisitas very low density lipoprotein (VLDL).
3. Maladaptasi imunologi, yang menyebabkan gangguan invasi arteri spiralis
oleh sel-sel sinsitiotrofoblas dan disfungsi sel endotel yang diperantarai
oleh peningkatan pelepasan sitokin, enzim proteolitik dan radikal bebas.
4. Genetik. Teori yang paling diterima saat ini adalah teori iskemia plasenta.
Namun, banyak faktor yang menyebabkan preeklampsia dan di antara
faktor-faktor yang ditemukan tersebut seringkali sukar ditentukan apakah
faktor penyebab atau merupakan akibat.
Klasifikasi
Preeklampsia dibagi menjadi preeklampsia ringan dan preeklampsia
berat (PEB):
1.

Preeklampsia ringan
Dikatakan preeklampsia ringan bila :

a.
b.
c.
d.
2.

Tekanan darah sistolik antara 140-160 mmHg dan tekanan darah


Diastolik 90-110 mmHg
Proteinuria minimal (< 2g/L/24 jam)
Tidak disertai gangguan fungsi organ
Preeklampsia berat
Dikatakan preeklampsia berat bila :
a. Tekanan darah sistolik > 160 mmHg atau tekanan darah
diastolik > 110 mmHg
b. Proteinuria (> 5 g/L/24 jam) atau positif 3 atau 4 pada
pemeriksaan kuantitatif
c. Bisa disertai dengan :

1. Oliguria (urine 400 mL/24jam)


2. Keluhan serebral, gangguan penglihatan

3.
4.
5.
6.
7.
3.

Nyeri abdomen pada kuadran kanan atas atau daerah epigastrium


Gangguan fungsi hati dengan hiperbilirubinemia
Edema pulmonum, sianosis
Gangguan perkembangan intrauterine
Microangiopathic hemolytic anemia, trombositopenia.
Jika terjadi tanda-tanda preeklampsia yang lebih berat dan disertai dengan
adanya kejang, maka dapat digolongkan ke dalam eklampsia.

Preklampsia berat dibagi dalam beberapa kategori, yaitu:


a. PEB tanpa impending eclampsia
b. PEB dengan impending eclampsia dengan gejala-gejala impending di
antaranya nyeri kepala, mata kabur, mual dan muntah, nyeri epigastrium,
dan nyeri abdomen kuadran kanan atas.
Insidens dan Faktor Risiko
Insiden preeklamsia sebesar 4-5 kasus per 10.000 kelahiran hidup pada Negara
maju. Di negara berkembang insidensnya bervariasi antara 6-10 kasus
per 10.00 kelahiran hidup.
Angka kematian ibu akibat kasus preeklampsia bervariasi antara 0-4%. 1Angka
kematian ibu meningkat karena komplikasi yang dapat mengenai berbagai sistem
tubuh. Penyebab kematian terbanyak wanita hamil akibat preeklampsia

adalah

perdarahan intraserebral dan edema paru. Efek preeklampsia pada kematian


perinatal berkisar antara 10-28%. Penyebab terbanyak kematian perinatal
disebabkan prematuritas, pertumbuhan janin terhambat, dan solutio plasenta.
Sekitar 75% eklampsia terjadi antepartum dan sisanya terjadi pada postpartum.
Hampir semua kasus (95%) eklampsia antepartum terjadi pada trimester ketiga.
Angka kejadian preeklampsia rata-rata sebanyak 6% dari seluruh kehamilan dan
12% pada kehamilan primigravida. Kejadian penyakit ini lebih banyak dijumpai
pada primigravida terutama primigravida pada usia muda daripada multigravida.
Penelitian mengenai prevalensi preeklampsia dan PEB di Indonesia dilakukan di
Rumah Sakit Denpasar. Pada primigravida frekuensi preeklampsia/eklampsia lebih
tinggi bila dibandingkan dengan multigravida, terutama primigravida muda. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan insidensi preeklampsia pada primigravida

11,03%. Angka kematian maternal akibat penyakit ini 8,07% dan angka
kematian perinatal 27,42%. Sedangkan pada periode Juli 1997 s/d Juni 2000
didapatkan 191 kasus (1,21%) PEB dengan 55 kasus di antaranya dirawat
konservatif.
Selain primigravida, faktor risiko preeklampsia lain di antaranya adalah:
1. nullipara
2. kehamilan ganda
3. obesitas
4. riwayat keluarga dengan preeklampsia atau eklampsia
5. riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya
6. abnormalitas uterus yang diperoleh pada Doppler pada usia kandungan 18
dan 24 minggu
7. diabetes melitus gestasional
8. trombofilia
9. hipertensi atau penyakit ginjal
Patofisiologi
Perubahan pokok yang didapatkan pada preeklampsia adalah adanya spasme
pembuluh darah disertai dengan retensi garam dan air. Bila spasme arteriolar
juga ditemukan di seluruh tubuh, maka dapat dipahami bahwa tekanan darah
yang meningkat merupakan kompensasi mengatasi kenaikan tahanan perifer agar
oksigenasi jaringan tetap tercukupi. Sedangkan peningkatan berat badan dan
edema yang disebabkan penimbunan

cairan yang berlebihan dalam ruang

interstitial belum diketahui penyebabnya. Beberapa literatur menyebutkan bahwa


pada preeklampsia dijumpai kadar aldosteron yang rendah dan kadar prolaktin
yang tinggi dibandingkan pada kehamilan normal. Aldosteron penting untuk
mempertahankan volume plasma dan mengatur retensi air serta natrium. Pada
preeklampsia permeabilitas pembuluh darah terhadap protein meningkat.
Turunnya tekanan darah pada kehamilan normal ialah karena vasodilatasi
perifer

yang diakibatkan turunnya tonus otot polos arteriol. Hal ini

kemungkinan akibat

meningkatnya kadar progesteron di sirkulasi, dan atau

menurunnya kadar vasokonstriktor seperti angiotensin II, adrenalin, dan

noradrenalin, dan atau menurunnya respon terhadap zat-zat vasokonstriktor.


Semua hal tersebut akan meningkatkan produksi vasodilator atau prostanoid
seperti PGE2 atau PGI2. Pada trimester ketiga akan terjadi peningkatan tekanan
darah yang normal seperti tekanan darah sebelum hamil.
1. Regulasi volume darah
Pengendalian garam dan homeostasis meningkat pada preeklampsia.
Kemampuan untuk mengeluarkan natrium juga terganggu, tetapi pada derajat
mana hal ini terjadi sangat bervariasi dan pada keadaan berat mungkin tidak
dijumpai adanya edema. Bahkan jika dijumpai edema interstitial, volume
plasma adalah lebih rendah dibandingkan pada wanita hamil normal dan akan
terjadi hemokonsentrasi. Terlebih lagi suatu penurunan atau suatu peningkatan
ringan volume plasma dapat menjadi tanda awal hipertensi.
2. Volume darah, hematokrit, dan viskositas darah.
Rata-rata volume plasma menurun 500 ml pada preeklampsia
dibandingkan hamil normal, penurunan ini lebih erat hubungannya dengan
wanita yang melahirkan bayi dengan berat bayi lahir rendah (BBLR
3. Aliran Darah di Organ-Organ
a. Aliran darah di otak
Pada preeklampsia arus darah dan konsumsi oksigen berkurang 20%.
Hal ini berhubungan dengan spasme pembuluh darah otak yang mungkin
merupakan suatu
faktor penting dalam terjadinya kejang pada preeklampsia maupun
perdarahan otak.
b. Aliran darah ginjal dan fungsi ginjal
Terjadi perubahan arus darah ginjal dan fungsi ginjal yang sering menjadi
penanda pada kehamilan muda. Pada preeklampsia arus darah efektif
ginjal rata-rata berkurang 20%, dari 750 ml menjadi 600ml/menit, dan
filtrasi glomerulus

berkurang rata-rata 30%, dari 170 menjadi

120ml/menit, sehingga terjadi penurunan filtrasi. Pada kasus berat akan


terjadi oligouria, uremia dan pada sedikit kasus dapat terjadi nekrosis
tubular dan kortikal.
Plasenta ternyata membentuk renin dalam jumlah besar, yang fungsinya
mungkin sebagai cadangan menaikkan tekanan darah dan menjamin
perfusi plasenta yang adekuat. Pada kehamilan normal renin plasma,
angiotensinogen, angiotensinogen II, dan aldosteron meningkat nyata di

atas nilai normal wanita tidak hamil. Perubahan ini merupakan kompensasi
akibat meningkatnya kadar progesteron dalam sirkulasi. Pada kehamilan
normal efek progesteron diimbangi oleh renin, angiotensin, dan aldosteron,
tetapi keseimbangan ini tidak terjadi pada preeklampsia.
Sperof (1973) menyatakan bahwa dasar terjadinya preeklampsia adalah
iskemi uteroplasenter dimana terjadi ketidakseimbangan antara massa
plasenta yang meningkat dengan aliran perfusi sirkulasi darah plasenta
yang berkurang. Apabila terjadi hipoperfusi uterus, akan dihasilkan lebih
banyak renin uterus yang mengakibatkan vasokonstriksi dan meningkatnya
kepekaan pembuluh darah. Di samping itu angiotensin menimbulkan
vasodilatasi lokal pada uterus akibat efek prostaglandin sebagai mekanisme
kompensasi dari hipoperfusi uterus.
Laju filtrasi glomerulus dan arus plasma ginjal menurun pada
preeklampsia, tetapi karena hemodinamik pada kehamilan normal
meningkat 30% sampai 50%, nilai pada preeklampsia masih di atas atau
sama dengan nilai wanita tidak hamil. Klirens fraksi asam urat yang
menurun, kadang-kadang beberapa minggu sebelum ada perubahan pada
GFR, dan hiperuricemia dapat merupakan gejala awal. Dijumpai pula
peningkatan pengeluaran protein biasanya ringan sampai sedang.
Preeklampsia merupakan penyebab terbesar sindrom nefrotik pada
kehamilan.
Penurunan hemodinamik ginjal dan peningkatan protein urin adalah
bagian dari lesi morfologi khusus yang melibatkan pembengkakan sel-sel
intrakapiler glomerulus yang merupakan tanda khas patologi ginjal pada
preeklampsia.
c.

Aliran darah uterus dan choriodesidua.


Perubahan arus darah di uterus dan choriodesidua adalah perubahan
patofisiologi

terpenting pada preeklampsia, dan mungkin merupakan

faktor penentu hasil kehamilan. Namun yang disayangkan adalah belum


ada satu pun metode pengukuran arus darah yang memuaskan baik di uterus
maupun di desidua.
d. Aliran darah di paru-paru.
e. Kematian ibu pada preeklampsia dan eklampsia biasanya karena edema
paru yang menimbulkan dekompensasi cordis.

f. Aliran darah di mata.


Dapat dijumpai adanya edema dan spasme pembuluh darah orbital. Bila
terjadi hal- hal tersebut, maka harus dicurigai terjadinya preeklampsia berat.
Gejala lain yang mengarah ke eklampsia adalah skotoma, diplopia, dan
ambliopia. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan peredaran darah
dalam pusat penglihatan di korteks serebri atau dalam retina.
g. Keseimbangan air dan elektrolit
Terjadi peningkatan kadar gula darah yang meningkat untuk sementara,
asam laktat dan asam organik lainnya, sehingga konvulsi selesai, zat-zat
organik dioksidasi dan

dilepaskan natrium yang lalu bereaksi dengan

karbonik dengan terbentuknya natrium bikarbonat. Dengan demikian


cadangan alkali dapat pulih kembali.
Manifestasi
Klinis
Dua gejala yang sangat penting pada preeklampsia adalah hipertensi dan
proteinuria. Gejala ini merupakan keadaan yang biasanya tidak disadari oleh
wanita hamil. Pada waktu keluhan lain seperti sakit kepala, gangguan
penglihatan, dan nyeri epigastrium mulai timbul, hipertensi dan proteinuria yang
terjadi biasanya sudah berat.
Tekanan darah. Kelainan dasar pada preeklampsia adalah vasospasme arteriol
sehingga tanda peringatan awal muncul adalah peningkatan tekanan darah.
Tekanan diastolik merupakan tanda prognostik yang lebih baik dibandingkan
tekanan sistolik dan
tekanan diastolik sebesar 90 mmHg atau lebih menetap menunjukan keadaan
abnormal.
Kenaikan berat badan. Peningkatan berat badan yang terjadi tiba-tiba
dan kenaikan berat badan yang berlebihan merupakan tanda pertama
preeklampsia. Peningkatan berat badan sekitar 0,45 kg per minggu adalah
normal, tetapi bila lebih dari 1 kg dalam seminggu atau 3 kg dalam
sebulan maka kemungkinan terjadinya preeklampsia harus dicurigai.
Peningkatan berat badan yang mendadak serta berlebihan terutama
disebabkan
oleh retensi cairan dan selalu dapat ditemukan sebelum timbul gejala
edema nondependen yang terlihat jelas, seperti edema kelopak mata,
kedua lengan, atau tungkai yang membesar.

Proteinuria. Derajat proteinuria sangat bervariasi menunjukan adanya


suatu penyebab fungsional dan bukan organik. Pada preeklampsia awal,
proteinuria mungkin hanya minimal atau tidak ditemukan sama sekali.
Pada kasus yang berat, proteinuria biasanya dapat ditemukan dan
mencapai

10

gr/l.

Proteinuria

hampir

selalu

timbul

kemudian

dibandingkan dengan hipertensi dan biasanya terjadi setelah kenaikan


berat badan yang berlebihan.
Nyeri kepala. Gejala ini jarang ditemukan pada kasus ringan, tetapi semakin
sering terjadi pada kasus yang lebih berat. Nyeri kepala sering terasa pada
daerah frontalis dan oksipitalis, dan tidak sembuh dengan pemberian analgesik
biasa. Pada wanita hamil yang mengalami serangan eklampsia, nyeri kepala
hebat hampir selalu mendahului serangan kejang pertama.
Nyeri epigastrium. Nyeri epigastrium atau nyeri kuadran kanan atas
merupakan keluhan yang sering ditemukan pada preeklampsia berat dan dapat
menjadi presiktor serangan kejang yang akan terjadi. Keluhan ini mungkin
disebabkan oleh regangan kapsula hepar akibat edema atau perdarahan.
Gangguan penglihatan. Gangguan penglihatan yang dapat terjadi di
antaranya pandangan yang sedikit kabur, skotoma, hingga kebutaan sebagian atau
total. Keadaan ini disebabkan oleh vasospasme, iskemia, dan perdarahan petekie
pada korteks oksipital.
Penatalaksanaan

Manajemen umum preeclampsia ringan


Tujuan utama perawatan preeclampsia ialah mencegah kejang,
perdarahan intracranial, mencegah gangguan fungsi organ vital, dan
melahirkan bayi sehat.
1. Rawat jalan (ambulatoir)
Ibu dengan PER dianjurkan ibu hamil banyak istirahat (berbaring /
tidur miring), tidak perlu dilakukan restriksi garam sepanjang fungsi
ginjal masih normal. Diet yang mengandung 2 g natrium atau 4-6 g
NaCl (garam dapur) adalah cukup. Diet diberikan cukup protein,
rendah karbohidrat, lemak, garam secukupnya, dan roboransia
prenatal. Tidak diberikan obat-obatan diuretic, antihipertensi, dan
sedative. Dilakukan pemeriksaan laboratorium Hb, hematokrit,
fungsi hati, urin lengkap, dan fungsi ginjal.

2. Rawat inap
Criteria PER dirawat di rumah sakit ialah bila tidak ada perbaikan :
tekanan darah dan kadar proteinuria selama 2 minggu, adanya satu
atau lebih gejala dan tanda-tanda PEB. Selama di RS dilakukan
pemeriksaan USG dan Doppler khususnya untuk evaluasi
pertumbuhan janin dan jumlah cairan amnion. Pemeriksaan NST
dilakukan 2x seminggu dan konsultasi dengan bagian mata, jantung,
dan lain-lain.
3. Perawatan obstretik yaitu sikap terhadap kehamilannya
Menurut Williams, kehamilan preterm ialah kehamilan antara
22minggu sampai 37 minggu
Pada kehamilan preterm ( 37 minggu), persalinan ditunggu sampai
terjadi onset persalinan atau dipertimbangkan utuk melakukan
induksi persalinan pada taksiran tanggal persalinan. Persalinan
dapat dilakukan secara spontan, bila perlu memperpendek kala II.

Adapun terapi medikamentosa yang diberikan pada pasien dengan PEB


antara lain adalah:
a.
b.
c.
d.

tirah baring
oksigen
kateter menetap
cairan intravena. Cairan intravena yang dapat diberikan dapat

berupa
5% ringer Dextrose atau cairan garam faali jumlah tetesan : <125 cc / jam,
infuse dextrose 5% yang tiap 1 liternya diselingi dengan infuse Ringer
Laktat (60-125 cc/jam) 500 cc. dipasang foley catheter untuk mengukur
pengeluaran urin. Oliguria terjadi bila produksi urin < 30 cc/jam dalam 2-3
jam atau < 500 cc / 24 jam. Diberikan antasida untuk menetralisir asam
lambung sehingga bila mendadak kejang, dapat menghindari risiko aspirasi
asam lambung yang sangat asam.
e. Magnesium sulfat (MgSO4). Obat ini diberikan dengan dosis 4
gram Mg So4 (40% dalam 10 cc) secara intravena loading dose
dalam 15 menit. Kemudian dilanjutkan dengan MgSO 4 6 gram
dalam larutan ringer / 6 jam, atau diberikan 4 / 5 gram IM
selanjutnya maintenance dose diberikan 4 gram IM tiap 4-6 jam.

Magnesium sulfat ini diberikan dengan beberapa syarat, yaitu:


1. refleks patella normal
2. frekuensi respirasi >16x per menit
3. produksi urin dalam 4 jam sebelumnya >100cc atau 0.5 cc/kgBB/jam
4. disiapkannya kalsium glukonas 10% dalam 10 cc sebagai antidotum.
Bila nantinya ditemukan gejala dan tanda intoksikasi maka kalsium
glukonas tersebut diberikan dalam tiga menit.
f. Antihipertensi
Antihipertensi diberikan jika tekanan darah diastolik >110 mmHg.
Pilihan antihipertensi yang dapat diberikan adalah nifedipin 10 mg. Setelah
1 jam, jika tekanan darah masih tinggi dapat diberikan nifedipin ulangan
10 mg dengan interval satu jam, dua jam, atau tiga jam sesuai kebutuhan.
Penurunan tekanan darah pada PEB tidak boleh terlalu agresif yaitu
tekanan darah diastol tidak kurang dari 90 mmHg atau maksimal 30%.
Penggunaan nifedipin ini sangat dianjurkan karena harganya murah, mudah
didapat, dan mudah mengatur dosisnya dengan efektifitas yang cukup baik.
g. Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid direkomendasikan pada semua wanita usia
kehamilan 24-34 minggu yang berisiko melahirkan prematur, termasuk
pasien dengan PEB. Preeklampsia sendiri merupakan penyebab15% dari
seluruh kelahiran prematur. Ada pendapat bahwa janin penderita
preeklampsia berada dalam keadaan stres sehingga mengalami percepatan
pematangan paru. Akan tetapi menurut Schiff dkk, tidak terjadi percepatan
pematangan paru pada penderita preeklampsia.
Gluck pada tahun 1979 menyatakan bahwa produksi surfaktan dirangsang
oleh adanya komplikasi kehamilan antara lain hipertensi dalam kehamilan
yang berlangsung lama. Hal yang sama juga dilaporkan Chiswick (1976)
dan Morrison (1977) yaitu rasio L/S yang matang lebih tinggi pada
penderita hipertensi dalam kehamilan yang lahir prematur. Sementara itu,
Owen dkk (1990) menyimpulkan bahwa komplikasi kehamilan terutama
hipertensi dalam kehamilan tidak memberikan keuntungan terhadap
kelangsungan hidup janin.
Banias dkk dan Bowen dkk juga melaporkan terjadi peningkatan
insidens respiratory distress syndrome (RDS) pada bayi yang lahir dari ibu

yang menderita hipertensi dalam kehamilan.


Dalam lebih dari dua dekade, kortikosteroid telah diberikan pada
masa antenatal dengan maksud mengurangi komplikasi, terutama RDS,
pada bayi prematur. Apabila dilihat dari lamanya interval waktu mulai
saat pemberian steroid sampai kelahiran, tampak bahwa interval 24 jam
sampai tujuh hari memberi keuntungan yang lebih besar dengan rasio
kemungkinan (odds ratio/OR) 0,38 terjadinya RDS. Sementara apabila
interval kurang dari 24 jam OR 0,70 dan apabila lebih dari 7 hari OR 0,41.
Penelitian US Collaborative tahun 1981 melaporkan perbedaan
bermakna insiden RDS dengan pemberian steroid antenatal pada kehamilan
30-34 minggu dengan interval antara 24 jam sampai dengan tujuh hari.
Sementara penelitian Liggins dan Howie mendapati insidens RDS lebih
rendah apabila interval waktu antara saat pemberian steroid sampai
kelahiran adalah dua hari sampai kurang dari tujuh hari dan perbedaan ini
bermakna. Mereka menganjurkan steroid harus diberikan paling tidak. jam
sebelum terjadi kelahiran agar terlihat manfaatnya terhadap pematangan
paru janin.
Pemberian steroid setelah lahir tidak bermanfaat karena kerusakan telah
terjadi sebelum steroid bekerja. National Institutes of Health (NIH)
merekomendasikan:
1. Semua wanita hamil dengan kehamilan antara 24-34 minggu yang
dalam persalinan

prematur

mengancam

merupakan

kandidat untuk pemberian kortikosteroid antenatal dosis tunggal.


2. Kortikosteroid yang dianjurkan adalah betametason 12 mg sebanyak dua
dosis dengan selang waktu 24 jam atau deksametason 6 mg sebanyak 4
dosis intramuskular dengan interval 12 jam.
3. Keuntungan optimal dicapai 24 jam setelah dosis inisial dan berlangsung
selama tujuh hari. Pemberian deksamethason di Rumah Sakit Pendidikan
di FK-USU yaitu 15 mg dalam sekali pemberian.
Penanganan Aktif
Penanganan Aktif. Kehamilan dengan PEB sering dihubungkan
dengan

peningkatan mortalitas perinatal dan peningkatan morbiditas

serta mortalitas ibu. Sehingga beberapa ahli berpendapat untuk terminasi


kehamilan setelah usia kehamilan mencapai 34 minggu. Terminasi

kehamilan adalah terapi definitif yang terbaik untuk ibu untuk mencegah
progresifitas PEB. Indikasi untuk penatalaksanaan aktif pada PEB dilihat
baik indikasi pada ibu maupun janin:
1. Indikasi penatalaksanaan PEB aktif pada ibu:
a. kegagalan terapi medikamentosa:

setelah 6 jam sejak dimulai pengobatan medikamentosa, terjadi

kenaikan darah yang persisten


setelah 24 jam sejak dimulainya pengobatan medikamentosa, terjadi
kenaikan desakan darah yang persisten

b. tanda dan gejala impending eklampsia


c. gangguan fungsi hepar
d. gangguan fungsi ginjal
e. dicurigai terjadi solusio plasenta
f. timbulnya onset partus, ketuban pecah dini, dan perdarahan
g. umur kehamilan 37 minggu
h. Intra Uterine Growth Restriction (IUGR) berdasarkan
pemeriksaan USG timbulnya oligohidramnion
2. Indikasi penatalaksanaan PEB aktif pada janin:
3. Indikasi lain yaitu trombositopenia progresif yang menjurus ke sindrom
HELLP (hemolytic anemia, elevated liver enzymes, and low platelet count).
Dalam ACOG Practice Bulletin mencatat terminasi sebagai terapi untuk PEB.
Akan tetapi, keputusan untuk terminasi harus melihat keadaan ibu dan janinnya.
Sementara Nowitz ER dkk membuat ketentuan penanganan PEB dengan
terminasi kehamilan dilakukan ketika diagnosis PEB ditegakkan. Hasil penelitian
juga menyebutkan tidak ada keuntungan terhadap ibu untuk melanjutkan
kehamilan jika diagnosis PEB telah ditegakkan.
Ahmed M dkk pada sebuah review terhadap PEB melaporkan bahwa terminasi
kehamilan adalah terapi efektif untuk PEB. Sebelum terminasi, pasien telah
diberikan dengan antikejang, magnesium sulfat, dan pemberian antihipertensi.
Wagner LK juga mencatat bahwa terminasi adalah terapi efektif untuk PEB.
Pemilihan terminasi secara vaginal lebih diutamakan untuk menghindari faktor
stres dari operasi sesar.
Penanganan Ekspektatif
Penanganan ekspektatif. Terdapat kontroversi mengenai terminasi
kehamilan
pada PEB yang belum cukup bulan. Beberapa ahli berpendapat untuk

memperpanjang usia kehamilan sampai seaterm mungkin sampai


tercapainya pematangan paru atau sampai usia kehamilan di atas 37
minggu. Adapun penatalaksanaan ekspektatif bertujuan:
1. mempertahankan kehamilan sehingga mencapai umur kehamilan yang
memenuhi syarat janin dapat dilahirkan
2. meningkatkan kesejahteraan bayi baru lahir tanpa mempengaruhi
keselamatan ibu
Berdasarkan luaran ibu dan anak, berdasarkan usia kehamilan, pada
pasien PEB yang timbul dengan usia kehamilan dibawah 24 minggu,
terminasi kehamilan lebih

diutamakan untuk menghindari komplikasi

yang dapat mengancam nyawa ibu (misalnya perdarahan otak). Sedangkan


pada pasien PEB dengan usia kehamilan 25 sampai 34 minggu,
penanganan ekspektatif lebih disarankan.
Penelitian awal mengenai terapi ekspektatif ini dilakukan oleh
Nochimson dan
Petrie pada tahun 1979. Mereka menunda kelahiran pada pasien PEB dengan
usia kehamilan 27-33 minggu selama 48 jam untuk memberi waktu kerja steroid
mempercepat pematangan paru.
Kemudian Rick34 dkk pada tahun 1980 juga menunda kelahiran pasien dengan
PEB selama 48-72 jam bila diketahui rasio lecitin/spingomyelin (L/S)
menunjukkan ketidakmatangan paru.
Banyak peneliti lain yang juga meneliti efektifitas penatalaksanaan ekspektatif
ini terutama pada kehamilan preterm. Di antaranya yaitu Odendaal dkk 35 yang
melaporkan hasil perbandingan penatalaksanaan ekspektatif dan aktif pada 58
wanita dengan PEB dengan usia kehamilan 28-34 minggu. Pasien ini diterapi
dengan MgSO4, hidralazine, dan kortikosteroid untuk pematangan paru. Semua
pasien dipantau ketat di ruang rawat inap.
Dua puluh dari 58 pasien mengalami terminasi karena indikasi ibu dan janin
setelah 48 jam dirawat inap. Pasien dengan kelompok penanganan aktif
diterminasi kehamilannya setelah 72 jam, sedangkan pasien pada kelompok
ekspektatif melahirkan pada usia kehamilan rata-rata 34 minggu. Odendaal35 dkk
juga menemukan penurunan komplikasi perinatal pada kelompok dengan
penanganan ekspektatif.
Penelitian lain yang dilakukan Witlin 36 dkk melaporkan peningkatan
angka pertumbuhan janin terhambat yang sejalan dengan peningkatan

usia kehamilan selama penanganan secara ekspektatif.


Sedangkan Haddad B 37 dkk yang meneliti 239 penderita PEB dengan
usia kehamilan 24-33 minggu mendapatkan 13 kematian perinatal dengan
rincian 12 bayi pada

kelompok aktif dan 1 kematian perinatal pada

kelompok ekspektatif. Sementara angka kematian ibu sama pada kedua


kelompok. Penelitian ini menyimpulkan penanganan PEB secara
ekspektatif pada usia kehamilan 24-33 minggu menghasilkan luaran
perinatal yang lebih baik dengan risiko minimal pada ibu.
Pada pasien dengan PEB, sedapat mungkin persalinan diarahkan
pervaginam dengan beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu:
Penderita belum
inpartu
a. Dilakukan induksi persalinan bila skor
Bishop 8
Dalam melakukan induksi persalinan, bila perlu dapat dilakukan pematangan
serviks dengan misoprostol. Induksi persalinan harus sudah mencapai kala II
dalam waktu 24 jam. Bila tidak, induksi persalinan dianggap gagal dan harus
disusul dengan pembedahan sesar.
b. Pembedahan sesar dapat dilakukan jika tidak ada indikasi untuk
persalinan
pervaginam atau bila induksi persalinan gagal, terjadi maternal distress,
terjadi fetal distress, atau umur kehamilan <33 minggu.
Bila penderita sudah
inpartu
a. Perjalan persalinan diikuti dengan grafik
Friedman
b. Memperpendek kala II
c. Pembedahan cesar dilakukan bila terdapat maternal distress dan fetal
distress.
d. Primigravida

direkomendasikan

pembedahan

cesar.
e. Anastesi: regional anastesia, epidural anastesia. Tidak dianjurkan
anastesia umum
PENCEGAHAN
Pencegahan dapat dilakukan dengan non medical dan medikal

Pencegahan non medical ialah pencegahan dengan tidak memberikan obat. Cara yang
paling sederhana ialah melakukan tirah baring. Hendaknya diet ditambah suplemen
yang mengandung a) minyak ikan yang kaya dengan asam lemak tidak jenuh,
misalnya omega-3 PUFA, b) antioksidan : vitamin C, vitamin E, - karoten, C0Q10,

N-Asetilsistein, asam lipoik, dan c) elemen logam berat : zinc, magnesium, kalsium,.
Pencegahan dengan medical
Pencegahan dapat pula dilakukan dengan pemberian obat meskipun belum ada bukti

yang kuat dan sahih. Pemberian diuretic tidak terbukti mencegah terjadinya preeclampsia
bahkan memperberat hipovolemia. Antihipertensi tidak terbukti mencegah terjadinya
preeclampsia.
Pemberian kalsium : 1500 2000 mg/hari dapat dipakai sebagai suplemen pada risiko
tinggi terjadinya preeclampsia. Selain itu dapat pula diberikan zinc 200mg/hari,
magnesium 365 mg/hari. Obat antitrombotik yang dianggap dapat mencegah preklampsia
ialah aspirin dosisi rendah rata-rata dibawah 100mg/hari, atau dipiridamole. Dapat juga
diberikan obat-obatan antioksidan misalnya vitamin C, vitamin E, - karoten, C0Q10, NAsetilsistein, asam lipoik,

DAFTAR PUSTAKA
Angka kematian ibu belum ditangani serius. Diunduh pada tanggal 24 Okt 2015,
Jakarta. http://www.bkbn. go.id.
Arifin A, Rosmiati B, Soeparmanto P. Pengembangan Model

Peningkatan

Pemanfaatan Pelayanan Antenatal dan Persalinan oleh Keluarga Miskin di


Pedesaan. [Laporan penelitian]. Surabaya: Badan Litbangkes; 2004.
Chaim SRP, Oliveira SMJV, Kimura AF. Pregnancy-induced hypertension and the
neonatal outcome. Diunduh pada tanggal 24 Okt 2015, Jakarta. Disitasi dari
http://www.scielo.br/scielo-php?pid.
Chen XK, Wen SW, Smith G, Yang Q, Walker M. Pregnancy- induced hypertension is
associated with lower infant mortality in preterm singletons. Br J Obstet
Gynecol. 2006; 113(5): 544-51.
Departemen Kesehatan RI. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
Indonesia tahun 2007. Jakarta; Departemen Kesehatan RI; 2008.
Gibson, Paul; Carson Michael. Hipertension ang Pregnancy. Br. J. Obstet.
Gynaecol. Apr 1998; 105(4): 430-434
Gutsche BB. Anesthetic Consideration for Preeclampsia- eclampsia. In: Shinder
SM, Levenson G, editors. Anesthesia for obstetrics. Baltimore: The William's
&Wilhims Company; 1979. p. 224-34.
Hipertensi pada Kehamilan. Diunduh pada tanggal 24 Okt 2015. Disitasi dari
http://www.permatacibubur. com.
Hipertensi pada Kehamilan. http:abidinblog.blogspot.com
diunduh 24 Okt 2015.

Anda mungkin juga menyukai