Anda di halaman 1dari 15

DAUN INDIGOFERA SEBAGAI ZAT WARNA ALAM

UNTUK TEKSTIL
Oleh : Sri Herlina
Abstrak
Tanaman Indigofera tikctoria merupakan tanaman penghasil warna biru dan
merupakan salah satu tanaman penghasil warna alam yang khas. Dari hasil
fermentasi yang berupa pasta indigo kemudian digunakan untuk mewarnai kain
sutera, katun dan kain serat alam seperti: serat lidah mertua (Sansiviera), serat
nenas (Agave sisalana), dan serat pisang (Musa paradisiacal). Dari hasil pengujian
ketahanan luntur warna terhadap pencucian 400C, ketahanan luntur warna terhadap
keringat asam dan basa, ketahanan luntur warna terhadap cahaya terang hari dan
ketahanan luntur warna terhadap gosokan dengan membandingkan pada staining
scale dan grace scale, penodaan pada kapas kering, kapas basah, sutera, asetat,
poliamida, poliester, akrilik dan wol semua hasilnya memenuhi syarat SNI. Pada
serat sutera dihasilkan ketuaan warna dan ketahanan uji kelunturan warna lebih baik
dari pada serat katun, tetapi pada pengujian tahan gosokan serat katun hasilnya
lebih baik. Setelah dibandingkan dan dikombinasikan dengan bahan pewarna alam
(tingi dan kulit akar pace) ketahan luntur warna serat lidah mertua (Sansiviera)
dengan pewarna indigo hasilnya jauh lebih baik. Variasi hidrosulfit pada proses
pencelupan tidak mengurangi ketahanan luntur warna tetapi menunjukkan tingkat
ketuaan warna dan warna terbaik ditunjukkan pada konsentrasi hidrosulfit 40%.
Hasil proses batik dan ikat celup menjadi pengembangan seni dan budaya yang
indah dan ramah lingkungan.
Kata kunci : Indigofera tinctoria, warna biru, tahan luntur baik.
1.

Pengantar
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman
hayati terbesar di dunia setelah Brazil, dimana terdapat lebih dari 25.000 spesies
tumbuhan (Ersam, 2001). Keanekaragaman hayati merupakan salah satu hal
terpenting bagi kehidupan sosial ekonomi bahkan kebudayaan manusia.
Beberapa jenis tumbuhan telah banyak dimanfaatkan untuk bahan obat
tradisional, bahan baku kerajinan, Industri dan bahan pewarna alami. Telah
diketahui pula, dalam data tumbuhan berguna Indonesia terdapat sekitar 150 jenis
tanaman yang intensif menghasilkan pewarna alami (Heyne, 1987). Warna
warna yang dihasilkan meliputi warna primer (merah, Biru, Kuning) dan warna
sekunder seperti coklat, jingga dan nila. Famili Fabaceae atau suku polongpolongan merupakan salah satu suku tumbuhan berbunga dengan anggota paling

besar (setelah Orchidaceae dan Asteraceae) dan juga merupakan suku tumbuhan
yang paling penting bagi manusia setelah suku rumput-rumputan (Poaceae).
Tanama Indigofera salah satu tanaman famili Fabaceae yang menghasilkan
warna biru (http://id.wikipedia.org/wiki/Kategori:Fabaceae, 2007). Tanama
Indigofera mempunyai nama daerah tarum, nila atau indigo salah satu tanaman
famili Fabaceae yang menghasilkan warna biru.
Penggunaan zat warna alam dari daun indigo jarang dilakukan, karena
prosesnya yang dianggap masih sulit, belum banyak dikenal oleh masyarakat
penggrajin umumnya, selain itu menurut pengamatan penulis belum banyak yang
melakukan penelitian secara khusus tentang zat warna alam dari daun indigo.
Budidaya tanaman Indigofera sebenarnya sangat mudah karena bijinya banyak
dan mudah tumbuh, sehingga mudah didapat di semak-semak, tepi sungai dan
parit-parit.
Zat warna indigo adalah suatu zat warna untuk celupan (dyestuff) yang
penting untuk warna biru yang khas. Zat warna ini merupakan zat warna alami
yang diperoleh dari fermentasi suatu tumbuhan woad (Isatis tinctoria) di Eropa
Barat atau tumbuhan spesi Indigofera yang tumbuh di negeri-negeri tropis.
Kedua jenis tanaman ini mengandung glukosida indikan, yang dapat dihidrolisis
menjadi glucosa dan indoksil, suatu prekusor (zat pendahulu) yang tak berwarna
dari indigo. Apabila kain tekstil direndam (dicelupkan) dalam campuran larutan
fermentasi yang mengandung indoksil, kemudian dibiarkan kering di udara maka
akan terjadi oksidasi indoksil oleh udara dan menghasilkan indigo yang tidak
larut dan berwarna biru. Indigo mengendap dalam bentuk cis yang mengalami
isomerisasi sertamerta menjadi isomer trans, sehingga timbul warna biru. Daun
Indigofera sebagai penghasilkan warna biru alami perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut untuk mendukung pembelajaran seni dan budaya, khususnya seni
kriya tekstil yang ramah lingkungan.

2.

Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yang dilakukan di Pundong
Bantul untuk pembuatan pasta indigo, studio tekstil PPPPTK Seni & Budaya
untuk percobaan pewarnaan dan pengujian tahan luntur warna di BBKB (Balai

Besar Kerajinan dan Batik) Yogyakarta. sedangkan untuk serat alam dilakukan di
Laboratorium Evaluasi Tekstil Bidang Studi Teknik Tekstil FTI-UII Yogyakarta.
Waktu penelitian dilaksanakan bulan : Agustus Januari 2007.
Pengujian menggunakan Crochmeter untuk melakukan pengujian gosok basahkering dan Standar Skala Abu-Abu (Grey Scale) untuk menilai perubahan warna
pada uji tahan luntur warna, dan Standard Skala Penodaan (Staining Scale) untuk
menilai penodaan warna pada kain putih yang digunakan pada pengujian tahan
luntur warna. Nilai grey scale menentukan tingkat perbedaan atau kekontrasan warna
dari tingkat terendah sampai tingkat tertinggi, Tingkat nilai tersebut adalah : 5 ; 5-4;
4 ; 4-3; 3 ; 3-2; 2 ; 2-1; 1 ; 1-0.

Pada Staining scale penilaian penodaan pada kain putih pengujian pada tahan luntur
warna, dilakukan dengan membandingkan kain putih yang dinodai dengan kain yang
tidak dinodai terhadap perbedaan yang digambarkan oleh Staining scale.

Analisis data menggunakan teknik deskriptif komparatif, dengan cara hasil


pengujian dibandingkan dengan Tabel Standar Nasional Indonesia (SNI) Batik
kemudian diinterprestasikan menjadi kalimat sesuai standar uji.

3.

Hasil Penelitian & Pembahasan :


a. Prosedur Fermentasi dan Pembuatan Pasta Indigo
Pengolahan daun indigifera tinctoria menjadi zat warna melalui beberapa
tahap, yaitu :
1). Tahap Fermentasi
Mula-mula daun Indigofera tinctoria dipotong bersama-sama cabangcabang tumbuhan tersebut, kemudian diikat dengan tali rafia atau
tambang dan diletakkan ke dalam bejana yang terbuat dari kayu atau
ember dari batu bata, diisi dengan air sumur atau air hujan, bisa juga air
sungai yang terpenting adalah air tersebut bersifat netral hingga air berada
di atas permukaan daun atau ranting. Untuk lebih terendam daun ditindih
dengan batu.

Pada prinsipnya harus tenggelam di dalam air. Proses

fermentasi ini berlangsung sekitar 6-8 jam ditandai dengan gelembunggelembung udara yang naik ke atas permukaan air. Setelah fermentasi
selesai, cairan/ekstrak daun dan ranting diangkat untuk dilakukan proses

pengeburan. Proses fermentasi dibatasi hingga 24 jam yang ditandai


dengan terbentuknya lapisan tipis dan cairan berubah menjadi hijau tua.
2). Tahap pengeburan (kebur)
Tahap selanjutnya yang disebut dengan proses pengeburan adalah proses
mengisi dan mengosongkan bejana sambil diberi larutan kapur tohor.
Pada saat dilakukan pengeburan, bejana fermentasi hanya berisi ekstrak
daun Indigofera tinctoria (tidak mengandung daun dan ranting). Ekstrak
daun Indigofera tinctoria ini mengandung bahan indigotin yang ada
dalam daun yang berasal dari indican karena proses oksidasi dari indoxyl
menjadi cis dan trans indigo yang tidak larut dalam air netral tetapi larut
dalam air atau larutan yang bersifat basa.

Pada penelitian ini akan

dilakukan variase prosentase penggunaan kapur tohor, karena akan


mempengaruhi jumlah pembentukan indigo terjadi.
Proses pengeburan dikerjakan berulang-ulang hingga hingga cairan tidak
berbuih lagi yang ditandai dengan perubahan warna larutan menjadi
kecoklat-coklatan. Kemudian didiamkan selama 24 jam dan dilakukan
penyaringan untuk mendapatkan pasta Indigofera tinctoria.
3). Proses pencelupan/ pewarnaan dengan variasi hidrosulfit
Pembentukan pasta dan reduksi dengan zat reduktor, dalam penelitian ini
digunakan gula merah (gula jawa). Pasta Indigofera tinctoria dapat
digunakan untuk mencelup. Indigofera tinctoria tidak larut dalam air
netral tetapi larut dalam suasana basa, sehingga untuk melarutkan indigo
pasta harus memakai larutan gula jawa (gula merah), dengan ukuran 1 : 1
(pasta indigo : gula jawa). Pada tahap pencelupan hal-hal yang dilakukan
adalah sebagai berikut : gula merah direbus dengan air hingga seluruhnya
larut, kemudian disaring dan didinginkan. Pasta indigo dilarutkan dengan
gula merah yang tersedia, lalu disaring dan didiamkan selama 24 jam.
Pada tahap pewarnaan hal-hal yang dilakukan adalah sebagai berikut:
bahan yang akan diwarnai terlebih dahulu dibasahi dengan TRO (Turkish
Red Oil)

kemudian ditiriskan.

Bahan yang telah ditiriskan tersebut

kemudian dicelup dengan larutan indigo sambil diratakan dan didiamkan

selama 15 menit. Setelah itu dibilas dengan air bersih dan diangin-angin
hingga kering.
Perubahan yang terjadi pada saat direndam, larutan indigo berwarna
kuning, kemudian berubah menjadi hijau. Setelah kontak dengan udara
warna berubah menjadi biru. Pekerjaan ini diulangi kembali dengan
merendam ke dalam larutan indigo selama 15 menit. Kemudian dibilas
dengan air bersih. Diangin-angin hingga kering, sampai dengan warna
yang dikehendaki. Untuk menetralisir, dilakukan perendaman dalam
larutan asam cuka atau jeruk nipis atau belimbing wuluh.
b. Berikut ini proses pembuatan pasta dari daun Indigofera

Daun Indigofera yang ditanam di daerah Pundong Bantul Yogyakarta

Tanaman indigo tumbuh di parit-parit pinggir sungai secara liar, tetapi


juga dibudidayakan di sawah seperti menanam kacang tanah, dengan
ketinggian pohon sekitar 75 100 cm sudah dapat dipanen untuk
difermentasi. Setelah daun dan ranting dipetik dari sawah kemudian
dilakukan fermentasi (perendaman) selama 24 jam, dengan cara direndam
dalam ember dan diberi pemberat. Ukuran 1 kg daun ditambah 8 Liter air.

Kemudian dilakukan pengeburan dengan penambahan kapur gamping


yang dilarutkan sebanyak 6 ons gamping 3 Liter air atau 40 gram gamping
untuk 1 Liter larutan indigo. Dengan cara gamping dilarutkan dan dinginkan
besoknya baru bisa dipakai, karena apabila langsung dipakai larutan tersebut
masih mengeluarkan panas, dengan reaksi sebagai berikut :
CaO + H2O

Ca(OH)2 + panas

Daun Indigofera dikeluarkan dari air rendaman kemudian disaring


diharapkan butir-butir warna indigo sudah turun ke dalam air dan dilakukan
proses pengeburan. Berikut ini proses pengangkatan daun dan penyaringan.

Larutan setelah dicampur kapur akan terbentuk indigo yang tidak larut dalam
air, sehingga warna tampak hijau kekuningan. Dilanjutkan pengeburan
dengan menggunakan ember kecil larutan diambil sedikit demi sedikit dan
diangkat ke udara untuk mendapatkan oksigen sehingga terjadi proses
oksidasi sampai warna buih putih hilang dan menjadi buih biru sehingga
larutan menjadi biru gelap

Setelah pengeburan selesai, dilakukan pengendapan selama 4


sampai 10 jam hingga terjadi endapan, dengan warna kuning jerami pada
bagian atas. Indigo mulai mengendap dengan pengetesan sbb: air diambil
pada tabung reaksi dilihat ada butiran-butiran biru bergerak turun.
Didiamkan selama 24 jam (satu malam) untuk penyempurnaan pengendapan.
Setelah didiamkan 24 jam, buang cairan di atasnya (warna kuning jerami),
pasta Indigo ada di bawahnya atau disaring air jeraminya.

Endapan yang terjadi ditiriskan menggunakan kain sampai terjadi pasta


indigo yang siap digunakan atau disimpan.

c. Proses pewarnaan batik dengan larutan pasta dari daun Indigofera


1) Uji coba pewarnaan pada berbagai kain katun, sutera dan serat alam
(tenunan pelepah pisang, tenunan serat nenas dan tenunan serat lidah
mertua/ sansivera). Menggunakan kain yang dimordan dan tanpa
mordan. Hasil pewarnaan pada serat alam yaitu serat lidah mertua, serat
nenas dan serat pelepah pisang yang sebelumnya tidak ada perlakuan

mordant dan menggunakan proses dua kali celup, hasilnya biru tua tetapi
tidak mengkilat. Sedangkan pada kain yang dilakukan proses mordant
sebelum pewarnaan hasilnya lebih tua dan lebih mengkilat, Hasil
pewarnaan pada serat alam.

2) Pewarnaan kain katun dengan berbagai variasi hidrosulfit


Pada penelitian ini dipilih pasta indigo yang dibuat di desa Pundong
Kabupaten Bantul Yogyakarta, karena lebih mudah diperoleh dan
diharapkan hasilnya lebih baik. Hasil yang dicobakan pada kain katun
dengan variasi hidrosulfit (Na2S2O4) dan resep sebagai berikut :
Resep : 1 kg pasta indigo: 1 kg gula merah (gula jawa), hidrosulfit
divariasikan dari 10, 20, 30, 40 dan 50 gram / Liter dan air 5 Liter .
Prosedur pelarutan pasta indigo:
Gula merah direbus denga 2 liter air sampai larut sempurna, kemudian
disaring.
Pasta indigo sebanyak 1 kg dilarutkan dengan air sedikit demi sedikit
sampai larut sempurna dengan 2 liter air.
Larutan gula dimasukkan ke dalam larutan indigo dan diaduk sampai
tercampur, kemudian sisa air 1 liter ditambahkan sambil diaduk.
Larutan warna didiamkan selama 24 jam, larutan berwarna hijau olive.
Pewarnaan untuk percobaan :
Kain katun ukuran 50 cm dibasahi dengan TRO 10 gram/Liter dan
tiriskan.

Larutan warna diambil 1 Liter ditambah 10 gram hidrosulfit aduk


sampai larut, kemudian didiamkan 30 menit baru siap digunakan untuk
pencelupan.
Pencelupan dimulai dengan waktu 15 menit, angkat tiriskan dan
diangin-anginkan untuk mendapatkan oksidasi udara sehingga terjadi
perubahan warna dari kuning berangsur - angsur menjadi biru.
Setelah warna biru rata, kain dicuci kedalam ember atau air mengalir
supaya endapan kapur(latak) hilang dan tiriskan lagi sampai agak
kering.
Pencelupan diulang sampai 3 kali, sehingga warna rata pada kain.
Keringkan dan dinetralkan dengan larutan cuka 10 gram/ Liter selama
1-3 menit, cuci dan keringkan kemudian seterika.
Proses pewarnaan pada kain 50 cm berikutnya sampai diulang 3 kali
sampel untuk konsentrasi hodrosulfit 10 gram/liter.
Proses percobaan pencelupan dilanjutkan untuk konsentrasi 20, 30, 40
dan 50 gram / Liter hidrosulfit.
Semua diulang masing-masing variasi 3 kali, sehingga untuk kain
katun diperoleh 15 sampel, yang akan dilakukan pengujian.
Proses pelarutan dan pewarnaan ditunjukkan sebagai berikut:

Proses pencelupan kain direndam ke dalam larutan warna selama 15 menit.


setelah perendaman lembaran kain dicelupkan ke dalam larutan leukoindigo,
akan diperoleh warna setelah teroksidasi dengan udara. Adanya oksigen akan
mengubah leukoindigo, molekul yang tidak berwarna, kembali menjadi indigo
dan menjadi biru tua sehingga kain yang berwarna kuning berangsur-angsur
menjadi biru sampai rata. kemudian dicuci kedalam air mengalir sampai sisa
endapan kapur (latak) hilang, kemudian angin-anginkan lagi sampai agak
kering. Pencelupan diulang sampai 3 kali, dengan perlakuan yang sama.
Rendam 15 menit angin-anginkan cuci dan keringkan.

10

d. Contoh produk batik dan ikat celup dengan zw. indigo

Selendang serat nenas pewarna Indigofera

Batik kain sutera pewarna Indigofera

Batik kain katun pewarna Indigofera

11

4.

Kesimpulan dan Saran


Kesimpilan :
Berdasarkan hasil analisis data penelitian dan hasil pengujian tanaman Indigofera
tinctoria dapat disimpulkan sebagai berikut :
a. Hasil fermentasi tanaman indigofera yang diperoleh dari Pundong Bantul
Yogyakarta dapat dijadikan pasta warna dan dapat digunakan sebagai bahan
pewarna alami yang menghasilkan warna biru yang khas.
b. Sebelum dilakukan pencelupan menggunakan zat warna indigo sebaiknya kain
dimordant terlebih dahulu supaya warnanya lebih rata dan megkilat.
c. Hasil uji ketahanan luntur warna yang dicobakan menunjukkan nilai :
Tahan luntur warna terhadap pencucian 40C memenuhi sayarat SNI, pada
kain katun hasilnya lebih baik dari kain sutera. Sedangkan hasil uji tahan
luntur warna pada kain lidah mertua (Sansiviera) /serat alam menunjukkan
nilai baik dan untuk penodaan pada staining scale menunjukkan nilai baik
sekali sehingga pencelupan memenuhi SNI. Begitu juga bila dibandingkan
dengan pencelupan dengan zat warna alam selain indigo pada serat lidah
mertua (Sansiviera), serat nenas (Agave sisalana) dan serat pisang (Musa
paradisiaca) menunjukkan nilai cukup baik, tetapi hasil pewarnaan indigo
hasilnya jauh lebih baik.
Tahan luntur warna terhadap keringat (asam dan basa) hasilnya lebih baik
dari SNI.
Tahan luntur warna terhadap cahaya terang hari hasilnya cukup untuk kain
katun dan untuk kain sutera hasilnya lebih baik dari SNI. Tahan luntur
warna terhadap gosokan hasilnya lebih baik dari standar SNI dan untuk
kain sutera lebih baik dari katun.
Variasi hidrosulfit pada tiap-tiap pencelupan tidak menunjukkan perubahan
ketahanan luntur warna tetapi menunjukkan tingkat ketuaan warna dan
warna terbaik pada konsentrasi hidrosulfit 40%.

12

Saran
Sebaiknya hasil pencelupan dengan zat warna indigo tidak dijemur pada sinar
matahari langsung tetapi pengeringan kain hasil pewarnaan cukup dijemur di
tempat teduh.
Penelitian ini masih perlu dilanjutkan karena potensial tanaman indigofera
yang ada di Indonesia dimungkinkan mempunyai potensial yang berbeda,
dalam proses batik masih kesulitan pelepasan lilinya karena zat warna alam
tidak tahan alkali. Selain itu perlu dilakukan penelitian kandungan senyawa
murni dari daun indigo sehingga kita bisa memperoleh serbuk yang bisa
dipasarkan untuk bersaing ke pasar bebas.

5.

Daftar Pustaka :
Agustini, R. Dkk / Tim UNESA (2005), Pemilihan Bahab Baku, Bleaching,
dan Pewarnaan Serat Tanaman (Pelepah Pisang dan Enceng Gondog),
Litbang Unesa, Surabaya.
Aldol Condensation: Synthesis of Indigo. Vat Dyeing (Experiment 8), the
University

of

Colorado,

Boulder,

Departement

of

Chemistry

and

Biochemistry www.levistrauss.com/about/history/denim.htm(2005).
Badan Standarisasi Nasional, SNI (Standar Nasional Indonesia) Batik Sutera
08-4039-1996.
Christie, R. M.,Colour Chemistry, Herint Watt University, Sonttish Bordars
Campus Galashiels. UK., RSC Paperbacks.
Ersam T., (2001), Senyawa Kimia Mikromelekul beberapa Tumbuhan
Artocarpus Hutan Tropica Sumatreta Barat , Disertasi, FPs-ITB, Bandung.
Fessenden, Ralp J. and Fessenden Joan S. (1982), Kimia Organik jilid 2, alih
bahasa Aloysius Hadyana Pudjaatmaja Ph.D., Edisi ketiga, Erlangga, Jakarta.
Harborne, J. B., Metode Fitokimia, Penuntun Cara Modern menganalisis
tumbuhan, Terjemahan, terbitan kedua, ITB Press: Bandung.
Heyne, K., (1987), Tumbuhan Berguna Indonesia, Jilid III, Terjemahan
Badan Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan, Jakarta, 1383-1384.

13

Lemmens, R.H.M.J. (1992), Plant Resources of South-East Asia no 3, Dye


and tannin-producing plants, Prosea, Bogor.
Rufaida, E. Y.,(2007), Pengujia Mutu Batik, makalah seminar Internasional
tentang Teknologi Proses Pembuatan da Pemanfaatan zat warna alam dari
ekstrak tumbuh-tumbuhan, Balai Besar Kerajinan dan Batik,Yogyakarta.
Suprapto, H. (2001), Zat Pewarna Alami Indigofera Tinctoria, Balai Besar
Kerajinan dan Batik, Yogyakarta.
Sukandarrumidi, (2004), Bahan Galian Industri, Edisi ke 2, Gajahmada
Universiti Press, Yogyakarta.
Tarum diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Kategori:Fabaceae"(2007).
The Chemistry of Blue Jeans: Synthesis of Indigo (Experiment 9) diambil dari
The History of Denim, http:/ www.levistrauss.com/about/history/denim.htm
(2005).

14

IDENTITAS DIRI
Nama Ir.Sri Herlina, M.Si
Tempat, TanggalLahir Batang (Jawa Tengah),12 Oktober 1963
NIP 196310121991032 002
Pangkat/Gol./Ruang Pembina, IV/a
Jabatan Widyaiswara Madya
Instansi PPPPTK Seni dan Budaya Yogyakarta
Alamat Kantor Jl. Kaliurang KM 12.5 Klidon Sukoharjo, Ngaglik
Sleman Yogyakarta
Alamat Rumah Warungboto UH IV/790, Yogyakarta
No. HP / Telepon 08156873485/ 0274-382918
E-Mail herlyn12@yahoo.com

15

Anda mungkin juga menyukai