Anda di halaman 1dari 5

Sejarah Jalan di Indonesia

Yohanes Elia Purwanto 1406533415

Sejak ditemukannya alat transportasi khususnya transportasi darat, jalan telah


menjadi kebutuhan yang vital bagi kelancaran transportasi tersebut. Transportasi
sendiri sejatinya berfungsi untuk memenuhi kebutuhan manusia. Memindahkan orang
dan barang dari satu tempat ke tempat yang lain adalah fungsi utama dari transportasi.
Sedangkan manusia adalah sosok yang selalu ingin berkembang, selalu ingin lebih
baik dari yang telah ada sebelumnya. Begitu juga dalam hal transportasi, manusia
selalu berusaha untuk membuat jalan yang baik dengan tujuan untuk meningkatkan
kualitas dan kuantitas transportasi tersebut.
Pada tahun 1595 Sir Walter Religh menemukan danau aspal Trinidad, yang
menjadi sebuah awal dari sejarah teknologi perkerasan jalan. Kemudian pada tahun
1764 Pierre Marie Jereme Tresaquet memperkenalkan konstruksi jalan yang meliputi
lapisan bawah berisi batuan besar yang dilapisi kerikil di bagian atasnya. Konsep
lapisan bawah tersebut berdasar pada teori bangsa Romawi di mana lapisan bawah
tersebut berfungsi untuk mentransfer berat jalan itu sendiri dan berat beban kendaraan
beserta isinya yang melalui jalan tersebut. Lapisan bawah ini juga berguna untuk
melindungi tanah dari deformasi karena persebaran berat beban dibuat merata.
Jalan Raya Pantai Selatan
Dalam benak orang Indonesia nama Daendels selalu dikaitkan dengan kerja
rodi pembangunan jalan Anyer-Penarukan atau yang sekarang lebih dikenal dengan
Jalur Pantura. Namun di bagian selatan Pulau Jawa terdapat juga sebuah jalur yang
sempat disebut Jalur Daendels Selatan. Nama Daendels dalam jalur tersebut bukan
berasal dari Gubernur Daendels yang memimpin proyek pembangunan jalan di bagian
utara Pulau Jawa, namun berasal dari seseorang bernama A.D. Daendels yang
merupakan seorang Asisstant-Resident di wilayah Ambal pada masa tersebut.
Jalur yang sekarang dikenal dengan naman Jalur Pantai Selatan ini
sebenarnya sudah ada dan digunakan sejak abad ke-14. Jalan Daendels tersebut
berada di selatan Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara resmi, jalan sepanjang 130

kilometer tersebut dinamakan dengan Jalan Daendels Pantai Selatan yang terletak di
Karang Sewu, Kulon Progo. Jalan ini menghubungkan empat wilayah di Selatan yakni
Kota Bantul, Purworejo, Kebumen dan Cilacap. Jalur ini sempat digunakan oleh
Pangeran Diponegoro untuk melaksanakan perang dan pertahanan di daerah Bagelen,

Purworejo, sehingga jalur ini sempat dinamakan Jalur Diponegoro. Kemudian pada
sekitar tahun 1883 wilayah di mana Jalur Diponegoro berada dipimpin oleh A.D.
Daendels dan seorang regent pribumi bernama Raden Tumenggung Purbanegara.
Akhirnya nama Jalur Diponegoro diganti dengan nama pimpinan daerah tersebut
menjadi Jalur Daendels. Meski A.D. Daendels (1838) sebagai Assistent Resident
Ambal di pantai selatan tersebut lebih muda masanya dibanding dengan Herman
Willem Daendels saat membangun Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan, De Grote
Postweg di tahun 1808, akan tetapi jalan tersebut keberadaannya memang jauh lebih
awal dibanding dengan jalan Daendels Utara.

Jalan Raya Pos (De Groote Postweg)

Jalan raya yang saat ini dikenal dengan nama Jalan Raya Pantai Utara merupakan
salah satu peninggalan kolonisasi Belanda yang dibangun oleh rakyat Indonesia
sendiri dengan sistem kerja paksa (kerja rodi). Proyek pembuatan jalan ini dipimpin
oleh Herman Willem Daendels. Herman Willem Daendels menjadi gubernur jenderal
Hindia Belanda selama tiga tahun (1808-1811). Dalam waktu relatif singat itu, dengan
tangan besinya berhasil membangun di berbagai bidang, baik untuk kepentingan
ekonomi maupun pertahanan karena ditugaskan mempertahankan Pulau Jawa dari
serangan Inggris. Namun, pembangunan yang monumental dan melekat padanya
adalah Jalan Anyer-Panarukan atau Jalan Raya Pos yang panjangnya mencapai
seribu kilometer. Dengan sistem kerja paksa yang ada proyek pembuatan jalan ini
selesai dalam kurun waktu satu tahun (1808-1809).
Tujuan dari pembangunan jalan ini adalah untuk kepentingan pemerintah
Hindia-Belanda, khususnya dalam usaha untuk mempertahankan pulau Jawa dari
serangan Inggris Raya. Dengan adanya jalan ini mereka berpikiran bahwa:
- mobilisasi bantuan militer saat musuh menyerang menjadi lebih cepat
- dapat mengontrol pergerakan orang-orang pribumi dengan adanya patrolipatroli militer
- mempersingkat waktu tempuh komoditas perkebunan hasil sistem tanam paksa
(cuultur- stelsel) dari tempat produksi hingga pelabuhan ekspor, sehingga
barang ekspor tidak rusak dan tidak jatuh harganya di pasaran
- perkembangan informasi yang terjadi begitu cepat dapat diketahui dengan
segera melalui jasa pengiriman kabar/surat.
Namun beberapa literatur menyatakan bahwa jalan raya ini dibangun tanpa
perencanaan yang teknis, baik secara geometris maupun metode perkerasan yang
digunakan.
Jalan Tol Jagorawi

Sejarah jalan tol di Indonesia dimulai pada tahun 1987 dengan dioperasikannya
jalan tol Jagorawi dengan panjang 59 km (termasuk jalan akses), yang
menghubungkan Jakarta, Bogor, dan Ciawi. Pembangunan jalan tol yang dimulai tahun
1975 ini, dilakukan oleh pemerintah dengan dana dari anggaran pemerintah dan
pinjaman luar negeri yang diserahkan kepada PT. Jasa Marga (persero) Tbk. sebagai
penyertaan modal. Selanjutnya PT. Jasa Marga ditugasi oleh pemerintah untuk
membangun jalan tol dewngan tanah yang dibiayai oleh pemerintah.
Mulai tahun 1987 swasta mulai ikut berpartisipasi dalam investasi jalan tol
sebagai operator jalan tol dengan menanda tangani perjanjian kuasa pengusahaan
(PKP) dengan PT Jasa Marga. Hingga tahun 1007, 553 km jalan tol telah dibangun
dan dioperasikan di Indonesia. Dari total panjang tersebut 418 km jalan tol
dioperasikan oleh PT Jasa Marga dan 135 km sisanya dioperasikan oleh swasta lain.
Pada periode 1995 hinggu 1997 dilakukan upaya percepatan pembangunan
jalan tol melalui tender 19 ruas jalan tol sepanjang 762 km. Namun upapa ini terhenti
akibat adanya krisis moneter pada Juli 1997 yang mengakibatkan pemerintah harus
menunda program pembangunan jalan tol dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden
No. 39/1997. Akibat penundaan tersebut pembangunan jalan tol di Indonesia
mengalami stagnansi, terbukti dengan hanya terbangunnya 13,30 km jalan tol pada
periode 1997-2001. Pada tahun 1998 Pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden
No.7/1998 tentang Kerjasama Pemerintah dan Swasta dalam penyediaan Infrastruktur.
Selanjutnya di tahun 2002 Pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 15/2002
tentang penerusan proyek-proyek infrastruktur. Pemerintah juga melakukan evaluasi
dan penerusan terhadap pengusahaan proyel-proyek jalan tol yang tertunda. Mulai dari
tahun 2001 sampai dengan tahun 2004 terbangun 4 ruas jalan dengan panjang total
41,80 km.
Pada tahun 2004 diterbitkan Undang-Undang No.38 tahun 2004 tentang Jalan
yang mengamanatkan pembentukan BPJT sebagai pengganti peran regulator yang
selama ini dipegang oleh PT Jasa Marga.
Proses pembangunan jalan tol kembali memasuki fase percepatan mulai tahun
2005. Pada 29 Juni 2005 dibentuk Badan Pengatur Jalan Tol sebagai regulator jalan tol
di Indonesia. Penerusan terhadap 19 proyek jalan tol yang pembangunannya ditunda
pada tahun 1997 kembali dilakukan.
Di masa yang akan datang pemerintah akan mendanai pembangunan jalan tol
dengan menggunakan tiga pendekatan yauti pembiayaan penuh oleh swasta, program
kerja sama swasta-publik (Public Private Partnership/PPP) serta pembiayaan
pembangunan oleh Pemerintah dengan operasi-pemeliharaan oleh swasta.

Jalan Tol Cikopo-Palimanan

Jalan tol yang mulai dibangun pada tahun 2011 dan selesai tahap
pembangunannya pada tahun 2015 ini merupakan jalan tol yang dikelola oleh PT LMS
atau Lintas Marga Sedaya yang juga biasa disebut dengan Linmas. Jalan tol yang
menghubungkan daerah Cikopo, Purwakarta dengan Palimanan, Cirebon ini
merupakan jalan tol lanjutan antara jalan tol Jakarta-Cikampek dan menghubungkan
jalan tol Palimanan-Kanci. Jalan tol ini juga termasuk dalam bagian JTTJ atau Jalan Tol
Trans Jawa yang menghubungkan antara Merak, Banten sampai Banyuwangi, Jawa
Timur.
Jalan tol Cikapali atau tol Cikampek-Palimanan ini biaya pembangunannya
menggunakan skema PPP atau Private Public Partnership atau biasa disebut dengan
KPS atau Kerjasama Pemerintah Swasta yang memiliki tujuan untuk peningkatan
kapasitas jaringan jalan dan juga untuk mendorong pengembangan di kawasan
pendukung khususnya wilayah Jawa Barat. Pembangunan tol Cikampek-Palimanan ini
sendiri dilaksanakan oleh PT LMS atau Lintas Marga Sedaya dengan komposisi
pemegang saham 55% oleh operator jalan raya asal negeri jiran, Plus Expressways
dan sebesar 45% oleh PT Baskhara Utama.
Proyek pembangunan tol Cikampek-Palimanan ini dimulai tahap
pembangunannya dengan peletakkan batu pertama atau groundbreaking yang
dilakukan oleh Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto pada tanggal 8 Desember
2011. Pekerjaan konstruksi pembangunan jalan tol Cikampek-Palimanan ini
dilaksanakan oleh konsorsium PT KGNRC atau PT Nusa Raya Cipta Joint Operation
dengan PT Karabha Griyamandiri. Jalan tol Cikapali atau tol Cikampek-Palimanan ini
dibuat di atas lahan dengan luas kurang lebih 1.080,69 hektare yang terbagi menjadi 6
seksi, yaitu seksi I Cikopo-Kalijati sepanjang 29,12 km, seksi II Kalijati-Subang
sepanjang 9,56 km, seksi III Subang-Cikedung sepanjang 31,37 km.
Seksi IV Cikedung-Kertajati sepanjang 17,66 km, seksi V Kertajati-Sumberjaya
sepanjang 14,51 km dan terakhir sesi VI Sumberjaya-Palimanan sepanjang 14,53 km.
Jalan Tol Cikampek Palimanan ini mempunyai 8 tempat peristirahatan atau rest area
dan 7 tempat pertukaran yaitu Cikopo, Subang, Kalijati, Kertajati, Cikedung,
Sumberjaya dan Palimanan. Jalan tol Cikapali ini juga mempunyai 7 simpang susun.
Penamaan jalan tol Cikapali ini sendiri menuai kontroversi. Dan yang paling
kentara adalah protes yang dilayangkan oleh Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi. Bupati
Purwakarta tersebut memprotes perihal penamaan jalan Tol Cikapali karena lokasi hulu
dari ruas jalan tol ini berada di daerah Cikopo, Purwakarta. Secara geografis lokasi
simpang susun dan gerbang tol ini memang berada di Desa Cikopo, Bungursari,
Purwakarta.
Pada tahun 2015 proyek pembangunan Jalan Tol Cipali ini selesai. Kemudian
pada tanggal 13 Juni 2015 jalan tol ini diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia,
Joko Widodo. Pada acara tersebut diresmikan juga penggantian nama jalan tol dari Tol
Cikapali (Cikampek-Palimanan), menjadi Tol Cipali (Cikopo-Palimanan). Dengan
hadirnya tol Cipali ini diharapkan akan mampu memberikan suatu dorongan akan
pertumbuhan dan peningkatan ekonomi bagi masyarakat serta kemajuan daerahdaerah di wilayah sekitarnya.

Daftar Pustaka

http://bpjt.pu.go.id/konten/jalan-tol/sejarah diakses pada tanggal 7 September


2016
https://www.goodnewsfromindonesia.org/2016/05/17/jalan-daendels-yang-initernyata-dulu-digunakan-untuk-jalur-perjuangan-diponegoro diakses pada tanggal
7 September 2016
Lirasha, Adisty. 2010. Sejarah Perkembangan Jalan Raya di Indonesia. Depok
http://infotol.org/2015/10/02/sejarah-singkat-jalan-tol-cikampek-palimanan/ diakses
pada tanggal 8 September 2016

Anda mungkin juga menyukai