Anda di halaman 1dari 9

REVIEW STUDI KASUS NISSAN

Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Manajemen


Operasi
Dosen pengampu: Prof. Dr. Ir. M. Dachyar, M.Sc.

Disusun oleh:
Yohanes Elia Purwanto
2106663805

MAGISTER TEKNIK INDUSTRI


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS INDONESIA
2021
Pendahuluan
Pada tanggal 11 Maret 2011, gempa sebesar 9,0 SR mengguncang pesisir
Jepang. Gempa ini disertai dengan adanya gelombang tsunami yang mencapai daratan
sejauh 10 kilometer dari garis pantai, dan merusak reaktor nuklir Fukushima, sehingga
dapat disimpulkan bahwa ada tiga hal dalam bencana ini – gempa bumi, tsunami, dan
rawan nuklir. Dampak dari bencana ini cukup besar, di mana lebih dari 25.000 orang
dinyatakan meninggal, hilang, dan terluka. Namun, kejadian ini bukan hanya
menghasilkan krisis kemanusiaan, tetapi juga mengguncang ekonomi Jepang. Sekitar
80% perusahaan otomotif Jepang menghentikan produksinya. Angka produksi bulanan
turun hingga 60% pada Maret dan 2011, jika dibandingkan dengan tahun 2010.
Sementara angka produksi keseluruhan tahun 2011 menurun 9%. Toyota, Honda, dan
Nissan adalah tiga pabrikan otomotif Jepang yang menyumbang sejumlah besar ekspor
ke pasar luar negeri. Berhentinya produksi otomotif di Jepang (pemasok) membuat
dampak bencana ini juga dirasakan pasar otomotif di luar Jepang (permintaan). Nissan
sendiri harus menderita kerugian berupa rusaknya enam fasilitas produksi dan lima
puluh pemasok penting. Akan tetapi, perusahaan ini sudah mempersiapkan diri untuk
menghadapi kondisi darurat seperti itu.

Sejarah Otomotif di Jepang


Pada awalnya, sekitar tahun 1930 dunia otomotif Jepang terlibat untuk
mendukung kepentingan militer. Kemudian pada tahun 1933, industri otomotif
melangkah maju dengan melakukan produksi massal, ketika Aikawa Yoshisuke
mendirikan Jidosha Seizo Company yang merupakan pendahulu dari Nissan Motor
Company. Di sekitar waktu yang sama, Toyoda Kiichiro mendirikan perusahaan
otomotif yang menjadi cikal bakal Toyota Motor Company. Namun, setelah masa
perang dunia kedua, Nissan dan Toyota kesulitan menjalankan usaha mereka karena
angka produktivitas yang rendah dan memiliki risiko besar untuk mengalami
kebangkrutan. Setelah tahun 1960-an industri mobil Jepang meningkat pesat dalam hal
produksi dan ekspor. Tahun 1980-an Jepang menjadi negara dengan produksi mobil
tertinggi di dunia, dan beberapa perusahaan seperti Toyota, Honda, dan Nissan mulai
membangun pabrik mereka di Amerika Utara. Pada tahun 1985, perusahaan-perusahaan
mobil Jepang berekspansi meluaskan pasar mereka ke luar negeri, sebagai hasil imbas
positif dari pertemuan G-5 di bulan September.
Perusahaan otomotif Jepang pada awalnya sangat bergantung pada transfer
teknologi dari Amerika Serikat dan Eropa. Toyota sendiri lebih agresif dalam
mengembangkan penelitian internal dan kapabilitas pengembangan, suatu strategi yang
akhirnya diaplikasikan juga oleh perusahaan mobil Jepang lainnya. Toyota juga
menginisiasi untuk berfokus pada peningkatan proses. Dari akhir 1940 sampai awal
1960, Toyota bertransisi meninggalkan teknik manufaktur push yang identik dengan
industri mobil Amerika Serikat. Perusahaan mengurangi penyimpanan stok, dan
mengadopsi prinsip manufaktur just-in-time. Singkatnya, prinsip ini adalah melakukan
kegiatan produksi hanya ketika dibutuhkan, atau ketika ada permintaan, sehingga
meminimalkan penyimpanan stok material mentah dan stok produk jadi. Sistem
manufaktur ini kelak dikenal dengan istilah Toyota Production System (TPS), dan
akhirnya juga diadopsi oleh perusahaan-perusahaan lainnya di Jepang dan seluruh
dunia. TPS memerlukan adanya koordinasi yang baik antara seluruh pelaku dalam
proses manufaktur. Sistem ini bukanlah sistem yang sempurna tanpa adanya risiko. Jika
ada sesuatu yang mengganggu aliran informasi atau material, maka keseluruhan proses
manufaktur akan terganggu dan terlambat.

Filosofi Rantai Pasok Nissan: Fokus pada Fleksibilitas


Berbeda dengan sistem rantai pasok terpusat yang mencari ciri khas TPS, Nissan
memanfaatkan struktur rantai pasok desentralisasi, tetapi saat terjadi krisis yang
mempengaruhi operasi secara global, Nissan akan berkoordinasi dan mengontrol rantai
pasok secara terpusat. Perusahaan Nissan akan terus menjaga nilai-nilai yang mereka
miliki yaitu, mempertahakan fleksibilitas perusahaan dan mengintegrasikan variasi
perspektif. Nissan merupakan perusahaan yang menghargai keberagaman, justru ini
mereka manfaatkan sebagai kekuatan untuk mengelola operasi global. Dalam rangka
berfokus pada fleksibilitas, Nissan menjaga garis produksi yang sederhana. Nissan
mengadopsi strategi build-to-stock hanya untuk beberapa unit di setiap modelnya, dan
strategi build-to-order untuk produk lainnya. Mereka meyakini bahwa strategi ini bukan
hanya membantu menyederhanakan operasi dan penawaran produk, tetapi juga
berkontribusi meningkatkan penjualan. Manajemen rantai pasok bertanggung jawab
untuk menjaga pabrik produksi terus berjalan. Kejelasan tujuan dan tanggung jawab
menghasilkan kepercayaan diri dan kemampuan pemecahan masalah dalam situasi
krusial seperti pemulihan dari bencana.

Manajemen Risiko di Nissan


Pandangan Nissan terhadap risiko dan respon darurat sangat dipengaruhi oleh
pengalaman mereka saat menghadapi kesulitan finansial. Pada tahun 1999 Nissan
menghadapi kesulitan finansial dan akhirnya diselesaikan melalui bekerja sama dengan
Renault. Sesuai kesepakatan, Renault membeli 36,8% sahan Nissan dan Nissan akan
membelinya kembali saat finansial mereka pulih. Hal inilah yang membuat mereka
mengambil tindakan proaktif untuk menjaga ketahanan perusahaan.
Manajemen Risiko Nissan berfokus pada identifikasi dan analisis risiko sesegera
mungkin, dan merencanakan serta mengimplementasikan solusi. Nissan mendirikan
divisi manajemen risiko yang bertanggungjawab untuk tindakan-tindakan tersebut. Di
sisi lain, setiap divisi yang ada di perusahaan Nissan dilatih dan diharapkan untuk bisa
mengambil tindakan pencegahan terukur untuk meminimalisir dampak dari risiko yang
tidak memerlukan koordinasi keseluruhan perusahaan. Nissan juga melakukan beberapa
hal dalam rangka mempersiapkan diri menghadapi risiko, yaitu membangun fasilitas
tahan gempa, meningkatkan rencana keberlanjutan bisnis, dan pelatihan simulasi
bencana. Sebelum bencana gempa bumi terjadi di tahun 2011, Nissan telah memiliki
rencana respon terhadap bahaya gempa bumi yang tercatat dalam laporan tahunan di
2010. Prinsip dari perencanaan respon Nissan terhadap kondisi darurat meliputi
memprioritaskan nyawa orang, pencegahan bencana susulan, pemulihan bencana dan
keberlanjutan bisnis yang cepat, dukungan untuk komunitas, perusahaan lain, dan
pemerintah. Saat terjadi bencana, ada Global Disaster Headquarters yang
bertanggungjawab untuk mengumpulkan dan mendistribusi informasi mengenai
keselamatan pegawai, kerusakan fasilitas, dan perencanaan keberlanjutan bisnis untuk
operasi Nissan beserta pemasok-pemasoknya, serta adanya pelatihan simulasi gempa
bumi untuk menguji efektivitas hal-hal tersebut.

Respon Nissan terhadap Bencana


Segera setelah bencana, kantor/ divisi Nissan Global Disaster Control diaktifkan
dan langsung mengevaluasi dampak pada operasi dan mengawasi tindakan-tindakan
restorasi. Sebuah Panitia Pemulihan didirikan untuk mengkoordinasikan tindakan
pemulihan global yang dipimpin oleh Colin Dodge. Menurut beliau, bencana yang
terjadi telah menjadi suatu disrupsi bagi struktur suplai di Jepang, dan akhirnya
berdampak pada rantai pasok Nissan di seluruh dunia. Panitia Pemulihan ini
menekankan beberapa hal praktikal yang simpel tetapi sangat berarti dalam koordinasi
respon perusahaan terhadap bencana:
1. Sharing Informasi
Nissan melibatkan seluruh perusahaannya secara global untuk proses respon.
Setiap wilayah diminta untuk mengirimkan dua perwakilan ke Jepang untuk
mengumpulkan informasi dan membantu memecahkan masalah-masalah secara
menyeluruh. Hasilnya, setiap wilayah memiliki pemahaman yang jelas terhadap
apa yang terjadi di Jepang dan membantu perusahaan untuk meningkatkan
respon.
2. Alokasi Pasokan
Bagian penjualan, pemasaran, dan manajemen rantai pasok bekerja bersama
untuk mengidentifikasi bagaimana untuk mengalokasikan pasokan secara global
yang berfokus pada barang-barang yang memiliki margin tertinggi. Contohnya,
pasokan GPS hanya dialokasikan untuk tipe kendaraan yang membutuhkan GPS
terintegrasi guna memenuhi permintaan pelanggan.
3. Pengelolaan Produksi
Dalam kasus ini Nissan melambatkan jalur produksinya dengan cara
mempertimbangkan penyimpanan in-stock dan in-transit dalam jaringan mereka.
Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi bottleneck.
4. Tindakan Penguatan
Nissan mengedepankan tindakan cepat dan fleksibel. Manajemen didorong
untuk membuat keputusan di lapangan tanpa harus menunggu analisis panjang
dari otoritas pusat. Untuk mempercepat proses pengambilan keputusan kritis
pada masalah terkait pemulihan ini, perusahaan memodifikasi peraturannya
untuk periode terbatas.

Usulan Perbaikan Tambahan terhadap Toyota Production System


Sistem Produksi Toyota telah menginspirasi banyak industri di dunia, sehingga
prinsip-prinsip dari sistem produksi ini diadopsi oleh banyak perusahaan lain, baik
sesama industri otomotif, termasuk Nissan, maupun jenis industri lainnya. Walaupun
banyak perusahaan yang menggunakan sistem ini dalam produksi mereka, bukan berarti
Sistem Produksi Toyota tidak memiliki kelemahan. Thomas Kehr dalam makalah
berjudul “Re-structuring the Toyota Production System (TPS) House Based on
Inadequacies Revealed During the Automotive Recall Crisis” menyatakan bahwa
Serangkaian pengumuman penarikan mobil baru-baru ini yang terkait dengan kontrol
kualitas Toyota telah membuat banyak pakar industri dan mahasiswa merenungkan
kemungkinan kekurangan model TPS House. Makalah tersebut berupaya
mengidentifikasi potensi kekurangan struktural dan kemungkinan kekurangan TPS
House mengingat akar penyebab krisis penarikan kembali dan menyarankan potensi
restrukturisasi untuk mencapai perbaikan berkelanjutan dengan lebih baik.
Penarikan kembali produk adalah permintaan untuk mengembalikan kepada
pembuat satu batch atau seluruh proses produksi suatu produk, biasanya karena
ditemukannya masalah keamanan, dalam upaya untuk membatasi tanggung jawab atas
kelalaian perusahaan dan untuk menghindari kerusakan publisitas. Salah satu
kemungkinan akar penyebab penarikan tersebut adalah ketidakmampuan Toyota untuk
mengimbangi pertumbuhan agresifnya baru-baru ini. Kapasitas organisasi Toyota untuk
menerapkan Toyota Way di dalam fasilitas produksi baru tidak dapat mengimbangi
meningkatnya kompleksitas kendaraan dan tren globalisasi bisnis. Inti dari TPS dan
lean manufacturing adalah praktik andon. Andon memberdayakan setiap karyawan
untuk menghentikan jalur produksi jika terjadi cacat. Gagal membangun budaya andon
dalam kepemimpinan regional mereka, Toyota mengalami apa yang menurut prinsip
mereka sendiri akan terjadi. Alih-alih masalah diselesaikan lebih awal dan secara lokal,
masalah tumbuh sampai meluas ke seluruh perusahaan, mencapai semua cara ke
manajemen puncak dan tidak memungkinkan untuk membuat keputusan tepat waktu.
Pakar industri telah menyebutkan bahwa akar penyebab lain dari masalah kualitas
Toyota terkait dengan semakin kompleksnya kendaraan modern. Selain meningkatkan
kompleksitas kendaraan, meningkatkan lini model, dan mempercepat desain, Toyota
gagal menguji keandalan suku cadang dan produk secara menyeluruh sebelum
standarisasi, melipatgandakan dampak negatifnya di seluruh perusahaan. Saran
perbaikan yang diberikan oleh Thomas Kehr adalah sebagai berikut:
1. TPS tampaknya membutuhkan perubahan struktural yang lebih jelas menyoroti
pentingnya orang-orang di jantung TPS. Inti dari TPS harus memperhitungkan
populasi yang berbeda secara fundamental dari orang-orang yang diandalkan TPS:
pelanggan, pemasok, dan karyawan. Menambahkan dukungan struktural untuk
orang-orang yang membentuk ketiga kelompok ini adalah kunci keberhasilan
perbaikan berkelanjutan.
2. Dua kekurangan utama dalam paradigma TPS adalah ketidakmampuan Toyota
untuk memberdayakan manajemen tingkat rendah lokal untuk membuat keputusan
yang berkaitan dengan penarikan kendaraan dan kegagalan untuk mendorong
komunikasi yang kuat. Melalui komunikasi yang kuat, anggota kelompok ini
mungkin memiliki peluang untuk identifikasi awal masalah kualitas yang sering
muncul dari ekspansi dan perubahan yang merusak tujuan bersama.
3. Pilar pelanggan diusulkan yang mengakui pentingnya menangkap dan
mengadaptasi persepsi pelanggan dan pengalaman mereka sedini mungkin. Karena
pelanggan berpikir secara berbeda dari operator produksi karyawan, mencerna
persepsi pelanggan mungkin menjadi tantangan bagi Toyota.
4. Pilar karyawan diusulkan untuk menangkap keadaan, transisi, dan turbulensi di
antara karyawan yang dihasilkan dari peningkatan globalisasi, ekspansi, dan
perubahan. Toyota telah menempatkan posisi manajemen baru dari Regional
Product Safety Executive dan Chief Quality Officer di setiap wilayahnya yang
diberdayakan untuk membuat keputusan penarikan yang penting.
5. Pilar pemasok diusulkan yang dibuat dari praktik keiretsu yang ditingkatkan.
Mengembangkan metode kontrol kualitas tingkat rendah, seperti keiretsu, yang
dirancang untuk menangkap satu masalah di lantai produksi sangat penting untuk
mengatasi budaya pemasok global saat ini.

Pentingnya Manajemen Risiko pada Rantai Pasok


Poin ini tertuang dalam makalah berjudul “Supply chain risk: empirical research
in the automotive industry” yang ditulis oleh Paula Santos Ceryno, dkk. Manajemen
rantai pasokan (SCM) menghadapi peningkatan eksposur risiko globalisasi pasar,
berkurangnya siklus hidup produk, jaringan internasional yang kompleks dari mitra
industri, permintaan yang tidak terduga, pasokan yang tidak pasti, tekanan biaya,
perlunya menjadi ramping dan gesit, meningkatnya penggunaan outsourcing dan off-
shoring, dan ketergantungan pada pemasok hanyalah beberapa faktor yang berkontribusi
terhadap eksposur risiko ini. Akibatnya, kompleksitas lingkungan rantai pasokan
meningkat, dan hubungan di antara anggotanya menjadi semakin rumit, menghasilkan
lebih banyak sumber potensi ketidakpastian. Fakta ini menyoroti semakin pentingnya
pengelolaan risiko dalam rantai pasokan dan membantu menjelaskan mengapa
manajemen risiko rantai pasokan (SCRM) telah menjadi topik populer selama dekade
terakhir. SCRM bertujuan untuk mengembangkan pendekatan untuk mengidentifikasi,
menilai, menganalisis, dan menangani area kerentanan dan risiko dalam rantai pasokan,
yang meningkatkan ketahanan rantai pasokan selain meningkatkan pemahaman
manajemen risiko dalam konteks rantai pasokan saat ini.
Referensi

Schmidt William, et al. (2013). Nissan Motor Company Ltd.: Building Operational
Resiliency. MIT Management Sloan School

Kher Thomas, et al. (2016). People Pillars: Re-structuring the Toyota Production
System (TPS) House Based on Inadequacies Revealed During the Automotive Recall
Crisis. Quality and Reliability Engineering International.

Cheng Lang. (2017). Implementing Six Sigma within Kaizen events, the experience of
AIDC in Taiwan. Emerald Insight.

Ceryno Paula, et al. (2015). Supply chain risk: empirical research in the automotive
industry. Journal of Risk Research.

Anda mungkin juga menyukai