Anda di halaman 1dari 5

Konflik yang Terjadi Pada Nissan

Nissan Motor Company Ltd merupakan perusahaan otomotif multinasional yang berasal
dari Jepang. Nissan adalah perusahan otomotif terbesar kedua di Jepang setelah Toyota dan
merupakan salah satu dari tiga pesaing Asia di Amerika Serikat. Pada tahunn 2010 Nissan
menjadi produsen mobil terbesar keenam di dunia, setelah Toyota, General Motors, Volkswagen
AG, Hyundai Motor Group dan Ford. Melihat kesuksesan Nissan sekarang maka kita perlu
melihat kembali konflik yang pernah melanda perusahaan tersebut. Pada akhir tahun 90-an
Nissan sempat berada di ambang kebangkrutan. Selama tujuh tahun bertturut-turut Nissan
mencetak kerugian besar dan pada tahun 1998 bunga hutang yang perlu dibayar telah mencapai 1
milyar dollar. . Penjualan Nissan terus menurun, penurunan penjualan ini dipengaruhi oleh tiga
faktor, yaitu:
1. Nissan tidak dapat bersaing dalam persaingan yang ketat karena kurangnya inovasi produk,
dari 43 model yang dipasarkan, hanya 4 model yang mencetak untung.
2. Kecilnya pangsa pasar yang dimasuki Nissan.
3. Inefisiensi sehingga mengakibatkan harga produk tidak dapat bersaing dengan pesaing pada
satu segmentasi pasar. Jumlah pabrik Nissan terlalu banyak padahal yang beroperasi hanya
50% dari kapsitasnya. Selain itu Nissan juga memiliki terlalu banyak pemasok yang
jumlahnya mencapai 3000 pemasok dan 10 kali lebih besar dari pemasok yang dimiliki oleh
Ford.
Kurangnya inovasi produk yang terjadi di Nissan diakibatkan oleh adanya norma budaya.
Jepang memiliki budaya dimana karyawan cenderung menghindari kesalahan untuk menjaga
pertumbuhan karirnya. Hal tersebut terlihat dalam rapat informal dimana terdapat koalisi dalam
pengambilan keputusan. Norma budaya ini menghalangi Nissan dalam mengambil keputusan
sehingga pengambilan keputusan dalam seluruh level organisasi menjadi lamban dan tidak berani
mengambil risiko.

Selain masalah norma budaya, Nissan juga mengalami masalah dikarenakan prosedur
norma yang terdiri dari (1) pembuatan dan pengambilan keputusan hingga pengimplementasian
atas keputusan dirasa tidak efektif; (2) masalah komunikasi antar tiap bagian organisasi dimana
karyawan tidak memperoleh informasi penting terkait keputusan bisnis; (3) kurangnya kejelasan
perusahaan mengenai orientasi laba; (4) perusahaan lebih fokus terhadap pesaing ketimbang
konsumen; (5) tidk adanya penyampaian visi perusahaan atau rencana jangka panjang (6)
rendahnya sense of belonging dari karyawan;
Melewati Krisis dan Mengatasi Orang-Orang Bermasalah
Ketika berbagai cara telah dicoba untuk menyelesaikan konflik namun ternyata tidak
membuahkan hasil maka perlu dilakukan langkah yang radikal sebagaimana yang dilakukan oleh
Carlos Ghosn. Langkah yang dilakukan Carlos Ghosn adalah sebagai berikut:
1. Mendiagnosa masalah
Tahap pertama adalah mendiagnosa masalah. Carlos Ghosn paham bahwa untuk
melakukan pembalikan perusahaan akan lebih cepat bila dilakukan lewat pendekatan akar
rumput daripada keputusan manajemen puncak. Untuk itu, Ghosn melakukan survei dan
wawancara. langsung dengan para enginer, supplier dan dealer guna mencari tahu solusi apa
yang harus dilakukan agar Nissan kembali bangkit dari keterpurukan. Tindakan ini membuat
semua karyawan juga merasa terlibat dan tahu urgensi dari keadaan yang sedang dihadapi.
Mereka akan bercerita secara jujur dan Ghosn pun dapat mengetahui apa sebenarnya yang
dirasakan oleh mereka serta bagaimana mendesain solusi terbaik agar orang mau bekerja menuju
arah perbaikan.

2. Mengambil Kendali
Tahap selanjutnya adalah mulai mengambil kendali. Ghosn memiliki otoritas penuh
dalam pengambilan keputusan dan pemilihan team. Ketika Ghosn datang ke Jepang dia
membawa team dimana team tersebut terdiri dari orang-orang pilihan yang akan bertindak
sebagai fasilitator. Teamnya bukan datang untuk bekerja sendiri. Mereka berdedikasi tinggi, open
minded dan bersedia membagikan ilmunya untuk kemajuan Nissan. Ghosn pun menyusun dua
strategi dalam rencana yang dia sebut sebagai Nissan Recovery Plan. Strategi pertama adalah
dengan melakukan revitalisasi produk-produk baru Nissan. Dalam rangka pengembangan produk
baru, Ghosn merekrut desainer mobil ternama Shiro Nakamura. Strategi yang kedua adalah
dengan melakukan efisiensi biaya.
Akar budaya jepang yang dominan dengan senioritas mengalami perombakan. Dulu
senioritas menentukan peran dalam penilaian dan promosi. Sejak Ghosn memegang kendali,
senioritas tidak lagi dominan. Sang senior dengan catatan kerja yang baik tentu akan
dipromosikan, tetapi bila ada junior yang lebih baik lagi kenapa tidak untuk dipromosikan.
Untuk menjaga motivasi para karyawan, Ghosn sangat memperhatikan reward and punishment.
Pola insentif yang berdasarkan produksi diubah menjadi fokus kepada kinerja dan profitabilitas.
Apabila sebelumnya orang yang bekerja baik atau buruk dapat insentif yang sama. Sekarang,
orang bisa berharap mendapatkan insentif lebih bila terbukti memberikan kontribusi nyata pada
peningkatan profit perusahaan. Pola dan struktur jabatan juga mengalami perubahan. Banyak
jabatan advisor yang tidak punya tanggung jawab langsung kepada operasional saat itu.
Keadaan ini membuat masing-masing orang bermain aman. Saling menyalahkan menjadi budaya
perusahaan. Orang penjualan akan menyalahkan perencanaan produk, perencanaan produk akan
menyalahkan enginer dan enginer akan menyalahkan keuangan.
3. Melakukan Aksi

Di tahap yang ketiga Ghosn kemudian membentuk Cross Functional Team (CFT). Team
ini terdiri dari beberapa orang pilihan dari berbagai departemen. Team ini memiliki tugas untuk
memaksa orang tidak lagi bekerja sendiri-sendiri. Interaksi dan mekasnisme kerjasama muncul
diantara para engineer, supply chain, finance dan pemasaran. Dalam bulan pertama, Ghosn
membuat 9 CFT masing-masing terdiri dari 10 orang manager muda dari berbagai departemen.
Area kerja CFT meliputi business development, purchasing, manufacturing & logistics, research
& development, sales & marketing, general & administrative, finance & cost, phaseout of
products & parts complexity management serta organization. Masing-masing punya objektif dan
sasaran spesifik.CFT ditekankan untuk bekerja cepat dan berorientasi pada hasil. Mereka diberi
waktu tiga bulan untuk menganalisa operasi perusahaan dan memberikan rekomendasi terbaik
agar Nissan kembali profit dan memiliki peluang pertumbuhan di masa depan. Mereka diberi hak
akses ke semua aspek operasional perusahaan dan wajib memberikan laporan ke komite
eksekutif dan Ghosn secara langsung. Program pengurangan biaya, penutupan pabik dan
pengurangan karyawan menjadi sorotan dari para pemegang kepentingan termasuk serikat
pekerja. Sebagai bentuk pertanggungjawaban Ghosn membuat komitmen untuk mundur apabila
program revitalisasi yang dia lakukan gagal. Selain melakukan cost cutting Ghosn juga
melakukan komitmen investasi besar, seperti pembangunan pabrik baru di Mississipi dan
investasi jutaan dollar untuk memproduksi Nissan model di pabrik Renault Brazil.
Ketika Ghosn mengidentifikasi suatu divisi yang ternyata tidak efisien Ghosn akan
mengidentifikasikan pemimpin potensial yang ada di divisi tersebut dan memeberikan tawaran
untuk mengambil alih divisi tersebut. Selain itu Ghosn juga menjanjikan bonus kompensasi
kepada team yang paling sukses menghidupkan kembali divisi tersebut. Langkah-langkah yang
dilakukan Ghosn ini akhirnya berhasil membuat Nissan bangkit di pasar otomotif global.
Kepemimpinan yang dimiliki oleh Ghosn dengan keyakinan yang teguh dalam menghadapi

situasi krisis mendorong pekerja untuk bekerja secara optimal dalam rangka mencapai visi
Nissan.

Anda mungkin juga menyukai