Anda di halaman 1dari 10

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Potensi dalam menciptakan makanan laut yang segar adalah
salah satu hal utama dalam menjamin kualitas gizi yang terdapat di
dalam bahan hingga akhir dari proses pengolahan. Permintaan
komoditas ikan hidup, terutama untuk ikan yang mempunyai nilai
ekonomis tinggi semakin meningkat dengan pesat baik di pasar
domestik maupun di pasar internasional. Ikan sebagai salah satu
bahan makanan laut yang mengandung protein tinggi dan asam
amino esensial yang diperlukan oleh tubuh, perlu diketahui
karakteristik yang dimilikinya untuk menggambarkan keadaan tingkat
kesegaran sebelum menjadi bahan olahan. Karakteristik tersebut
meliputi struktur tubuh ikan, perbandingan ukuran tubuh dan berat,
sifat fisik dan kimia, protein, lemak, tingkat kematangan, dan kondisi
tempat hidupnya.
Ikan yang ditangkap dan diangkat dari dalam air, maka tidak
langsung menjadi mati. Meskipun keadaan ikan tersebut masih dalam
tingkat kesegaran yang maksimal, namun kebiasaan masyarakat
Indonesia adalah tidak langsung mengonsumsinya sebelum
mengalami proses pengolahan dan pengawetan. Selain itu, proses
pengolahan dan pengawetan juga merupakan salah satu cara untuk
melindungi kualitas ikan saat berada pada masa pendistribusian dan
transportasi.
Saat ikan sudah berada di daratan dan udara terbuka, maka
aktivitas bakteri akan berlangsung dengan cepat. Bakteri memiliki
kemampuan membelah diri dan berkembang biak pada bahan yang
memiliki kapasitas aW tinggi. Hal ini merupakan salah satu faktor
yang menjadikan proses pengawetan merupakan permasalahan
krusial yang harus ditangani dengan baik. Jika tidak maka kesegaran
ikan akan memburuk seiring dengan kemunduran mutu dan
pegurangan nilai ekonomis pada ikan. Pengawetan dapat dilakukan
dengan berbagai cara yang mendasari teknik tradisional maupun
modern. Berbagai macam cara tersebut meliputi proses pengawetan
dengan menggunakan es dan garam.

Penelitian Rippen dan Skonberg (2012) menyatakan bahwa es


adalah media pendingin yang ideal untuk ikan segar. Ketika
digunakan secara bebas, ia memiliki beberapa keunggulan
dibandingkan metode pendinginan standar. Es bekerja dengan cepat
dalam proses menghilangkan panas dari ikan, mengendalikan ikan
pada proses distribusi; menghilangkan bakteri secara terus menerus,
darah, lendir, karena meleleh; dan mencegah dehidrasi pada tubuh
ikan sehingga kesegaran dapat dihasilkan seara optimal.

Tujuan
Praktikum ini bertujuan melakukan penanganan demi
mempertahankan kesegaran ikan dengan menggunakan es dan
garam, melakukan perbandingan perlakuan pada ikan yang yang
menggunakan garam dan tanpa perlakuan garam pada perbandingan
1 : 3.

METODOLOGI

Waktu Dan Tempat


Praktikum dilakukan di laboratorium Karakteristik Bahan Baku
Hasil Perairan pada hari Sabtu tanggal 21 Februari 2015 pukul 09.00
WIB.

Alat Dan Bahan


Alat yang digunakan pada praktikum ini adalam termokople,
styrofoam, dan baskom. Bahan yang digunakan adalah ai es, es curai,
es balok, garam dan ikan mas (Cyprinus carpio).

Prosedur Kerja

Ikan mas (Cyprinus carpio) ditimbang, diukur, diamati mutu dan


kondisinya berdasarkan tabel scorecheet pada uji organoleptik
kemudian didokumentasikan.delapan ekor ikan mas dicuci hingga
bersih kemudian dibagi menjadi dua kelompok besar. Kelompok
pertama, ikan mas diberi perlakuan garam dengan perbandingan 20%
dari berat badan ikan sedangkan kelompok kedua tidak diberi
perlakuan garam. Masing-msing ikan kelompok pertama dan kedua
kemudian ditempatkan pada styrofoam. Pada kelompok pertama,
garam kemudian dicampur dengan es curai, es balok, dan es air
secara merata kemudian masing-masing ditempatkan kembali pada
styrofoam. Hal tersebut juga dilakukan oleh kelompok dua. Perlu
diketahui bahwa perbandingan ikan dan es yang digunakan yatu 1 : 3.
Kemudian hitung suhu pusat ikan selam 0, 30, 60, 90, dan 120 menit.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
Pengawetan menggunakan es dan garam merupakan proses
yang banyak dilakukan oleh berbagai negara, termasuk Indonesia.
Adawyah (2011) menyatakan bahwa pengawetan ikan menggunakan
es merupakan prinsip penanganan dengan menggunakan suhu
rendah. Hal ini berlangsung dengan cara pengambilan atau
pemindahan panas dari tubuh ikan ke bahan yang lain. Pendinginan
juga dapat diartikan sebagi proses pengambilan panas dari suatu
ruangan yang terbatas untuk menurunkan dan mempertahankan
suhu di ruangan tersebut bersama isinya agar selalu lebih rendah
daripada suhu di luar ruangan.
Pengawetan menggunakan garam dilakukan dengan terbagi
menjadi dua bentuk garam yaitu kristal dan cairan. Selama proses
penggaraman, terjadi penetrasi garam ke dalam tubuh ikan dan
keluarnya cairan dari dalam tubuhnya akibat adanya perbedaan
konsentrasi. Perbandingan perlakuan es dengan garam dan es tanpa
garam dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1 Perbandingan perlakuan es dengan garam dan tanpa garam


pada ikan mas (Cyprinus carpio)
N
o

Wakt
u

Perlakuan es balok
dengan garam

Suhu(o
C)

Perlakuan es balok
tanpa garam

Suhu(o
C)

1
2
3
4
5

0
30
60
90
120

9
9
9
9
9

15
14
7,5
12
14

9
7
7
6
5

18
9,5
7,5
11
15

Pembahasan
Proses pengawetan ikan menggunakan es dengan garam dan es
tanpa garam merupakan pengawetan sederhana yang prosesnya
dilakukan dalam tahap pendistribusian, pemasaran, dan pengepakan
ikan pada styrofoam. Ikan yang sudah melalui proses pendinginan
dan penggaraman, sesuai dengan prinsip yang berlaku, akan
mempunyai daya simpan tinggi karena garam berfungsi sebagai
penghambat yang menghentikan proses autolisis, mengatur masa
simpan ikan, mengurangi penurunan kualitas daging ikan yang lebih
besar, serta membunuh bakteri yang terdapat di dalam tubuh ikan.
Murniyati dan Sunarman (2000) menyatakan bahwa es batu dari air
tawar adalah bahan pendingin ikan yang paling banyak dipakai di
banyak negara, karena es mendinginkan dengan cepat tanpa banyak
mempengaruhi keadaan ikan, dengan biaya yang relatif lebih murah.
Perlakuan es balok dengan garam pada ikan mas (Cyprinus
carpio) menunjukkan hasil yang memuaskan dengan niali
organoleptik pada angka 9 pada menit 0, 30,60,90, dan 120. Hal ini
menunjukkan bahwa proses ikan dalam mengalami tahapan post rigor
sangat lama dan awet. Angka 9 pada skor organoleptik menunjukkan
keadaan ikan yang cerah, warna cemerlang, lapisan endir yang jernih
dan transparan, sayatan daging cemerlang, bau yang segar, ikan
elastis, dan tidak mengalami pengeringan (dehidrasi). Perbedaan
terjadi hanya pada suhu pusat tubuh ikan. Suhu pusat adalah suhu
pada bagian daging yang paling tebal atau titik pusat yang paling
lama menerima penetrasi suhu SNI 01-2372.1-2006. Prinsip pengujian
dilakukan dengan menentukan suhu pada bagian daging yang paling

tebal atau titik pusat yang paling lama menerima penetrasi suhu
dengan menggunakan alat termocouple. Kondisi pengujian melalui
pengukuran yang dilakukan sesuai dengan kondisi suhu produk, pada
produk beku pengukuran dilakukan di tempat penyimpanan beku.
Perlakuan es balok tanpa garam menghasilkan skor
organoleptik yang beragam. Pada waktu 0 kondisi ikan masih
menunjukkan kecerahan, segar, dan elastis dengan angka 9. Setelah
30 menit kemudian ikan mengalami kemunduran dengan bernilai 7
yakni penurunan kecerahan dari posisi semula begitu pula pada menit
ke 60. Keadaan stabil dan berlangsung lama. Pada menit ke 90 terjadi
kembali penurunan sebesar 1 angka skor yang menunjukkan nilai 6.
Nilai tersebut berarti bahwa bola mata sudah agak cekung, terdapat
sedikit lendir, dan bau yang netral. Penurunan sebesar 1 angka juga
terjadi pada menit ke 120 yang menandakan pada anga 5 berarti
menghasilkan keadaan ikan yang mulai berubah menjadi kecoklatan,
lendir yang tebal dan menggumapal, dan bau amoniak mulai tercium.
Hal ini menandakan proses post rigor dan kemunduran mutu ikan
seang berlangsung dengan perlakuan es balok tanpa menggunakan
garam.
Perlakuan es balok dengan garam memiliki hasil variasi suhu.
Pada menit ke 0 suhu sebesar 15 oC lalu terjadi penurunan sebesar 1
o
C pada waktu ke 30 menit. Suhu mengalami penurunan kembali pada
waktu menuju ke 60 menit sebesar 6,5 oC . Suhu kembali naik saat
mencapai waktu akhir pada 120 menit
sebesar 14 oC yang
menandakan bahwa keadaan ikan akan menuju ke tahap post rigor.
Berbeda dengan perlakuan es balok tanpa garam. Penurunan suhu
terjadi secara signifikan dan tidak stabil. Pada suhu 0 menuju ke 30
menit, terjadi penurunan drastis sebesar 8,5 oC. Suhu mengalami
fluktasi naik turun dan berakhir pada menit ke 120 dengan suhu lebih
tinggi dibanding dengan perlakuan es balok dengan garam sebesar
15 oC. Uji organoleptik perlakuan es terhadap ikan nila ini berbeda
dengan penelitian yang dilakukan oleh Susanto et al. (2011) yang
menyatakan bahwa uji organoleptik pada kemunduran mutu ikan mas
dengan penggunaan garam terletak pada angka 9 sedangkan tanpa
garam pada angka 6. Dari hasil praktikum telah didapatkan
persamaan dengan literatur. Ikan pada kontrol mengalami proses post
rigor yang cepat dibandingkan ikan yang diberikan perlakuan garam
dan es. Hal ini dikarenakan ikan kontrol tidak diberikan bahan

tambahan untuk pengawetan


memudahkan proses autolisis.

maka

aktivitas

bakteri

menjadi

Hasil
pengujian
organoleptik
menunjukkan
bahwa
pengawetanikan dengan penambahan garam sangat efektif untuk
tetap menjaga eksistensi dari kesegaran ikan tersebut. Es balok yang
ditambah dengan garam akan semakin mempertinggi tingkat
kematian mikroorganisme. Adawyah (2011) juga menyatakan bahwa
garam menyerap cairan tubuh ikan dan bakteri sehingga proses
metabolisme bakteri terganggu karena kekurangan cairan akhirnya
bakteri mengalami kekeringan dan mati. Namun, pda perlakuan ini
menyebabkan ikan sedikit terasa asin dan berada pada titik jenuh 0
o
C. Berbeda dengan perlakuan tanpa garam, kekuatan untuk
membunuh bakteri tidak terlalu memiliki daya yang kuat sehingga
proses rigor mortis menuju post rigor dan tahap pembususkan lebih
cepat dibandingkan perlakuan dengan menggunakan garam.
Penelitian Ozogul et al. (2004) menyatakan bahwa cara yang
paling mudah untuk mengawetkan ikan adalah dengan proses
pemberian es. Es mendinginkan dengan cepat tanpa banyak
mempengaruhi keadaan ikan, serta biaya yang murah. Selain itu,
menurut Galman et al. (2001) menyatakan pada kondisi suhu rendah pertumbuhan
bakteri pembusuk dan proses-proses biokimia yang berlangsung dalam tubuh ikan yang
mengarah pada kemunduran mutu menjadi lebih lambat. Jenis es terdiri dari es balok, es
tabung, es keping tipis, dan es halus. Es yang paling umum digunakan adalah es balok
karena harganya murah dan mudah dalam pengangkutan. Namun, dalam permasalahan
yang terbaik untuk mengawetkan ikan, es curai enjadi pilihan karena bentukny ayang
halus semakin mempercepat poses pendinginan akibat lelehan yang terjadi. Tetapi di
lain hal banyak jumlah es yang hilang jika menggunaka es curai, sehingga
membutuhkan jumlah yang banyak.
Hubungan kesegaran ikan menurut Munandar et al. (2009)
dengan suhu adalah jika ada suhu ruang, ikan lebih cepat memasuki
fase rigor mortis dan berlangsung lebih singkat. Jika fase rigor tidak
dapat dipertahankan lebih lama maka pembusukan oleh aktivitas
enzim dan bakteri akan berlangsung lebih cepat. Aktivitas enzim dan
bakteri tersebut menyebabkan perubahan yang sangat pesat
sehingga ikan memasuki fase post rigor. Fase ini menunjukan bahwa
mutu ikan sudah rendah dan tidak layak untuk dikonsumsi.

PENUTUP

Kesimpulan
Pengawetan pada ikan harus segera dilakukan saat ikan sudah
diangkat menuju ke daerah daratan. Pengawetan yang sederhana
dilakukan dengan pendinginan menggunakan es. Es terdiri dari es
balok, es curai dan es tabung. Perlakuan pendinginan menggunakan
es dan garam lebih efektif untuk menjaga kualitas kesegaran ikan
meskipun mengahsilkan rasa yang sedikti asin dibandingkan
perlakuan tanpa garam. Perlakuan tanpa garam tidak menjadikan ikan
bertahan lama dalam mengalami proses pembusukan sehingga
proses autolisis tidak terhambat sempurna.

Saran
Penelitian yang dilakukan berkaitan dengan pengawetan ikan
dengan menggunakan suhu rendah sudah cukup luas. Belum ada
peneitian tentang penggungaan es keping tebal dalam kapal dengan
penambahan garam padahal hal tersebut dangat dibutuhkan oleh
nelayan penangkapa ikan yang berada lam di dalam kapal. Es keping
tebal memiliki keunggula yaitu lebih cepat kontaknya dengan
permukaan kulit ikan sehingga memperlambat prose autolisi.
Diharapakan selanjutnya penelitian tentang es keping tebal dengan
perlakuan garam akan dilaksanan untuk mendapatkan alternatif
pengganti es balok yang pembawaannya berat dan berukuran besar.

DAFTAR PUSTAKA

Adawyah R. 2011. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta: PT Bumi


Aksara.

Badan Standarisasi Nasional [BSN]. 2006. Penentuan suhu pusat


pada produk perikanan Standar Nasional Indonesia. SNI 012372.1-2006. Jakarta:Standar Nasional Indonesia.
Gelman A, Glatman L, Drabkin V, Harpaz S. 2001. Effect of storage
temperature and
preservative treatment on shelf life of the pond-raised freshwater
fish, silver perch
(Bidyanus bidyanus). Journal Food Protection 64:1584-1591.
Munandar A, Nurjannah, Nurilmala M. 2009. Kemunduran mutu ikan
nila (oreochromis niloticus) pada Penyimpanan suhu rendah
dengan perlakuanCara kematian dan penyiangan. Jurnal
Pengolahan Hasil Perairan Indonesia.
Murniyati dan Sunarman. 2000. Pendinginan, Pembekuan
Pengawetan Ikan. Kanisius. Yogyakarta. 220 hlm.

dan

Ozogul Y, Ozyurt G, Ozogul F, Kuley E, Polat A. 2004. Freshness assessment of


european eel (Anguilla anguilla) by sensory, chemical, and microbiological
methods. Journal Food Chemistry 92: 745-751.
Rippen T, Skonberg D. 2012. Handling of fresh fish. The Seafood Industry. Blackwell
Publishing.
Susanto E, Agustini, Swastawati, Surti, Fahmi, Mahmud . Albar, Nafi .
2011. Pemanfaatan bahan alami untuk memperpanjang umur
simpan ikan kembung (rastrelliger neglectus) dan ikan mas
(Cyprinus carpio). Jurnal Perikanan. 8(60-68).

LAMPIRAN

Gambar 1. Ikan mas dengan perlakuan es tanpa


garam

Gambar 2. Ikan mas dengan perlakua kontrol

Gambar 3. Pengukuran panjang ikan

Gambar 4 . penimbangan ikan

Gambar 5. Pengukuran suhu tubuh ikan

Anda mungkin juga menyukai