Anda di halaman 1dari 20

KARYA TULIS ILMIAH

PEMANFAATAN CANGKANG KEPITING MENJADI KITOSAN


SEBAGAI BAHAN PENGAWET MAKANAN

OLEH:
BERNADETA VALENTINA
H1K013042

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN


PURWOKERTO
2016

KARYA TULIS ILMIAH

PEMANFAATAN CANGKANG KEPITING MENJADI KITOSAN


SEBAGAI BAHAN PENGAWET MAKANAN

Oleh:
Bernadeta Valentina
NIM. H1K013042

Disetujui tanggal
.....................................

Mengetahui,
Wakil Dekan Bidang
Kemahasiswaan dan Alumni
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Drs. MarhaendroSantoso, M.Si


NIP. 19590201 1987 03 1 001

Dosen Pendamping

Dr. Bintang Marhaeni, M. Si


NIP. 19660703 199203 2 001

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat rahmat dan kesetiaan-Nya maka karya tulis ilmiah ini dapat terselesaikan.
Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Dr.Bintang Marhaeni, M.Si
yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikiran untuk membimbing,
mengarahkan, dan berdiskusi bersama penulis. Penulis juga mengucapkan
terimakasih kepada keluarga dan teman teman atas dukungan dan motivasi selama
pengerjaan karya tulis ini berlangsung.
Penelitian mengenai kitosan telah dilakukan sejak lama dan beberapa kajian
mengenai manfaat kitosan dalam bidang pangan juga telah diteliti. Karya tulis ini
merupakan analisis deskriptif dari beberapa penelitian mengenai kitosan dan
pemanfaatannya serta menegaskan kembali manfaat kitosan yang berpotensi besar
dan belum dioptimalkan. Penulis berharap karya tulis ini dapat memberikan
informasi yang sistematis dan mudah dipahami serta bermanfaat. Kritik dan saran
penulis harapkan demi semakin baiknya karya tulis ini.
Purwokerto, 31 Maret 2016
Bernadeta Valentina

DAFTAR ISI

halaman
KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI.............................................................................................. ii
DAFTAR GAMBAR................................................................................... iii
PENDAHULUAN................................................................................. 1

I.

1.1.

Latar Belakang............................................................................... 1

1.2.

Perumusan Masalah.........................................................................2

1.3.

Uraian Singkat............................................................................... 3

1.4.

Tujuan......................................................................................... 3

1.5.

Manfaat........................................................................................ 4

TELAAH PUSTAKA............................................................................. 5

II.

2.1.

Cangkang Kepiting..........................................................................5

2.2.

Kitin dan Kitosan............................................................................5

2.3.

Pengawet Makanan.........................................................................7

2.4.

Proses Pengolahan Limbah Kepiting menjadi Kitosan...............................9

III.

ANALISIS DAN SINTESIS............................................................11

IV.

SIMPULAN DAN REKOMENDASI....................................................13

4.1.

Kesimpulan................................................................................. 13

4.2.

Rekomendasi............................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 14

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Rumus bangun kitin (Sumardjo, 2006)..................................................5
Gambar 2. Rumus bangun kitosan (Trinawati et al, 2013)......................................6
Gambar 3. Skema pengolahan kitosan dari kulit kepiting menurut
Prasetyaningrum et al (2007)................................................................9
Gambar 4. Skema penyelesaian masalah...............................................................11

I.

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Negara Indonesia merupakan negara yang memproduksi kepiting dalam


jumlah besar. Menurut data BPS tahun 2013 jumlah kepiting dan kerangkerangan yang diekspor mencapai 100,4 ton dengan nilai 283,6 ribu USD.
Sebagian besar kepiting ini diekspor dalam bentuk kepiting beku tanpa kepala
dan kulit (cangkang) (Nuralam, 2012). Jumlah hasil samping produksi berupa
kepala, kulit, ekor maupun kaki kepiting umumnya berkisar 25-50 % dari
berat kepiting (Trisnawati et al, 2013). Hasil samping berupa kulit dan kepala
dapat dikategorikan sebagai limbah yang belum banyak termanfaatkan dan
jika tidak diolah akan menyebabkan pencemar bagi lingkungan.Menurut Agus
(2011)dalam Trisnawati et al, (2013) di Indonesia limbah ini belum banyak
digunakan sehingga hanya menjadi limbah yang mengganggu lingkungan,
terutama berpengaruh menyebabkan bau yang tidak sedap di lingkungan
pembuangan dan pencemaran air di sekitar industri pengolahan kepiting
berupa tingginya kandungan BOD, COD dan TSS di perairan.

Di sisi lain, Indonesia juga memiliki permasalahan di bidang pangan


yaitu banyak digunakannya pengawet makanan sintetis yang dapat
berpengaruh terhadap kesehatan manusia jika dikonsumsi. Tingginya
permintaan dan konsumsi akan makanan cepat saji menyebabkan pengawetan
makanan perlu dilakukan untuk menjaga makanan tetap segar dan awet untuk
jangka waktu yang lebih lama. Menurut Wulan (2015) keamanan pangan
muncul sebagai suatu masalah yang dinamis seiring dengan berkembangnya
peradaban manusia dan kemajuan ilmu dan teknologi, sehingga diperlukan
suatu sistem dalam mengawasi pangan sejak diproduksi, diolah, ditangani,
diangkut,

disimpan

dan

didistribusikan

serta

dihidangkan

kepada

konsumen.Pengawet makanan yang sehat dan ramah lingkungan dibutuhkan

dalam pengolahan berbagai makanan, namun pengawet yang digunakan saat


ini tidak selalu berasal dari pengawet alami, bahkan seringkali berasal dari
bahan karsinogenik.

Menurut Faradila et al (2014), penggunaan pengawet non pangan seperti


formalin dan borakspada bahan makanan saat ini banyak menimbulkan
permasalahan. Berbagai tayangan televisi seringkali menayangkan berbagai
macam bentuk kecurangan yang dilakukan oleh produsen makanan.Walaupun
formalin dan boraks telah jelas dilarang pemerintah penggunaannya pada
makanan, tetapi pada kenyatannya masih terdapat makanan yang dijajakan
menggunakan bahan tersebut (Suntaka et al, 2014).Hal ini disebabkan karena
formalin jauh lebih murah harganya dibanding pengawet lainnya, mudah
digunakan karena dalam bentuk larutan dan rendahnya pengetahuan produsen
makanan tentang bahaya formalin (Widyaningsih dan Murtini, 2006dalam
Wulan, 2015). Untuk melindungi kesehatan konsumen maka dibutuhan
pengawet makanan alami dan ramah lingkungan dimana bisa diperoleh dari
bahan baku yang alami.

Industri pengolahan kepiting menghasilkan sisa olahan berupa cangkang


kepiting yang pada saat ini masih menjadi limbah. Ketersediaan limbah dari
industri kepiting ini memiliki potensi yang sangat besar untuk dijadikan
sebagai bahan pengawet yang ramah lingkungan karena adanya kandungan
kitin. Kitin ini dapat dijadikan sebagai bahan baku pembuatan Kitosan
(Nuralam et al, 2012; Parker dan Parker, 2003). Banyak penelitian yang telah
dilakukan untuk menguji kitosan sebagai bahan baku pengawet makanan,
diantaranya adalah sebagai pengawet buah duku (Trisnawati et al, 2013),
ayam goreng (Harjanti, 2014), dan tahu (Kusumaningjati, 2009). Berdasarkan
hal tersebut maka pemanfaatan limbah kepiting berupa cangkang yang
mengandung kitin dapat dijadikan alternatif sebagai pengawet makanan.

I.2. Perumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut:
1) Bagaimana solusi alternatif pengawet makanan yang sehat dan ramah
lingkungan?

2) Bagaimana cara menanggulangi pencemaran akibat dari limbah


industri pengolahan kepiting?

3) Bagaimana cara mengolah limbah kepiting menjadi bahan pengawet


alami berupa Kitosan?
I.3. Uraian Singkat

Pengawet makanan non pangan yang banyak digunakan pada saat ini
dapat mengganggu kesehatan bahkan dapat menyebabkan kanker, sehingga
dibutuhkan pengawet makanan yang sehat dan aman bagi tubuh manusia
dalam hal ini berupa pengawet berbahan baku alami. Kitosan merupakan
pengawet makanan yang diijinkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan
sebagai pengawet makanan alami yang sehat. Kitosan merupakan bahan yang
terkandung pada kulit/cangkang kepiting yang merupakan turunan dari Kitin.
Di sisi lain, tingginya hasil sampingan industri pengolahan kepiting berupa
cangkang yang tidak dimanfaatkan akan menghasilkan limbah dan mencemari
lingkungan. Limbah cangkang kepiting mengandung senyawa kitin yang dapat
diolah menjadi kitosan sebagai bahan pengawet makanan alami. Oleh karena
itu pengkajian mengenai pemanfaatan limbah kepiting untuk menjadi
pengawet alami yang ramah lingkungan serta pengolahannya dalam skala
rumah tangga merupakan hal yang penting. Hal tersebut juga merupakan
penyelesaiandari dua masalah yaitu mengenaiketersediaan pengawet makanan
alami dan keberadaan limbah industri kepiting berupa cangkang yang jika
tidak ditangani menyebabkan pencemaran lingkungan dengan solusi

pemanfaatanlimbah industri kepiting sebagai bahan baku pengawet makanan


yang sehat dan alami.
I.4. Tujuan

Tujuan dari penulisan karya tulis ini adalah mencari solusi bagi
permasalahan pengawet makanan sintetis dengan alternatif pemanfaatan
cangkang kepiting menjadi kitosan yang sekaligus merupakan cara
penanggulangan pencemaran akibat dari limbah industri kepiting.
I.5. Manfaat
Manfaat penulisan karya tulis ilmiah ini adalah memberikan informasi
mengenai alternatif pengawet makanan yang sehat dan ramah ligkungan,
teknik pengolahannya, serta memberi informasi mengenai pentingnya
pengolahan limbah kepiting untuk mencegah pencemaran lingkungan.

II.

TELAAH PUSTAKA

II.1. Cangkang Kepiting


Kepiting merupakan kuliner yang digemari masyarakat sehingga jumlah
permintaan konsumen akan kepiting tinggi. Tingginya permintaan ini
membuat industri produsen kepiting memproduksi kepiting dalam jumlah
besar sehingga setelah dimanfaatkan maka sisa produksi berupa cangkang pun
tersedia dalam jumlah besar. Cangkang kepiting yang mengandung senyawa
kimia kitin dan kitosan merupakan limbah yang mudah didapat dan tersedia
dalam jumlah yang banyak, yang selama ini belum termanfaatkan secara
optimal (Widjajanti, 2003 dalam Nuralam, 2012).
Saat ini baru sebagian kecil dari limbah kepiting di Indonesia yang sudah
dimanfaatkan sebagai pengawet dalam pembuatan kerupuk, petis, terasi, dan
bahan pencampur pakan ternak. Khitin dan khitosan serta turunnya
mempunyai sifat sebagai bahan pengemulsi koagulasi dan penebal emulsi.
Manfaatnya di berbagai industri modern banyak sekali seperti industri
farmasi, biokimia, bioteknologi, biomedical, pangan, kertas, tekstil, pertanian,
dan kesehatan (Lang, 1995 dalam Nuralam, 2012).
Menurut catatan Departemen Kelautan dan Perikanan tahun 2000
bahwasetiap tahun Cold Storage (perusahaan pengolahan ikan) Tanah Air
menghasilkan limbah kulit / kepala udang, cangkang kepiting dan hewan laut
lainnya tidak kurang dari 56.200 metrik ton (Trisnawati et al, 2013). Menurut
Brine (1978) dalam Mckenna (1990) rata-rata kandungan kitin pada
permukaan karapas bagian atas dalam berat kering adalah 15,7%, di bagian
celiped adalah 11,6% dan di bagian kepala 13,7%. Hasil sisa olahan kepiting
yang sangat berlimpah dan kaya akan kandungan kitin ini belum
termanfaatkan secara optimal.
II.2. Kitin dan Kitosan
Kitin adalah homopolisakarida struktural yang rumus bangunnya
mengandung nitrogen (Gambar 1). Kitin berupa zat padat berbentuk amorf,

berwarna

putih

dan

sangat

tahan

terhadap

pengaruh

bakteri.

Homopolisakarida ini juga sangat tahan terhadap pengaruh pelarut-pelarut


organik yang umum (Sumardjo, 2009).

Gambar 1. Rumus bangun kitin (Sumardjo, 2006).

Menurut Ornum (1992) dalam Trisnawati et al (2013), Kitin mudah


mengalami degradasi secara biologis, tidak beracun, tidak larut dalam air,
asam anorganik lemah, dan asam asam organik, alkali pekat, alkohol dan
aseton, tetapi larut dalam larutan dimetil asetamida dan litium klorida atau
asam lemah seperti asetat dan formiat.

Kitin banyak ditemukan pada kepiting, udang, insekta, dinding sel fungi,
jamur, dan bakteri. Kitin bersama dengan potasium karbonat, protein, lemak,
dan pigmen juga merupakan penunjang struktur utama dari cangkang dan
eksoskeleton banyak hewan (Parker dan Parker, 2003). Kulit keras pada
insekta dan krustasea dibangun oleh sekitar 30% polisakarida ini (Sumardjo,
2006). Menurut Shahidi et al (1999) dalam Trisnawati et al (2013) kepiting
mengandung persentase kitin paling tinggi (70%) diantara bangsa-bangsa
krustasea, insekta, cacing maupun fungi.

Kitosan merupakan produk deasetilasi nitrogen dari kitin. Sumber alami


kitin dan kitosan adalah dari cangkang kepiting dan udang (Zikakis, 1984;
Parker dan Parker, 2003).Kitosan memiliki sifat reaktivitas kimia yang tinggi
sehingga mampu mengikat air dan minyak. Hal ini didukung oleh adanya
gugus polar dan non polar yang dikandungnya. Karena kemampuan tersebut,
kitosan dapat digunakan sebagai bahan pengental atau pembentuk gel yang

sangat baik, sebagai pengikat, penstabil, dan pembentuk tekstur (Bneski ,


1987dalam Nuralam, 2012).
Kitosan memiliki gugus fungsional amina (NH2) yang bermuatan
positif yang sangat reaktif, sehingga mampu berikatan dengan dinding sel
bakteri yang bermuatan negatif (Gambar 2).

Gambar 2. Rumus bangun kitosan (Trinawati et al, 2013)

Menurut Trisnawati et al (2013) kitosan dapat berinteraksi dengan bahanbahan yang bermuatan, seperti protein, polisakarida, anionik, asam lemak,
asam empedu dan fosfolipid. Kitosan larut pada asam dan air, mempunyai
keunikan membentuk gel yang stabil dan mempunyai muatan dwi kutub,
yaitu muatan negatif pada gugus karboksilat dan muatan positif pada gugus
NH.

Kitosan utamanya dipakai sebagai koagulan untuk limbah air dan mengolah limbah makanan (Zikakis, 1984).Kitin dan kitosan banyak diaplikasikan
dalam bidang industri maupun kesehatan. Beberapa aplikasinya antara lain
industri tekstil, fotografi, kedokteran, fungisida, kosmetik, pengolahan
pangan dan penanganan limbah (Harjanti, 2014). Di industri makanan,
kitosan dapat digunakan sebagai suspensi padat, pengawet, penstabil warna,
penstabil makanan, bahan pengisi, pembentukgel, tambahan makanan hewan
dan sebagainya(Suhardi 1992dalam Trisnawati et al, 2013).Menurut Killay
(2013) kitosan dapat digunakan sebagai bahan anti bakteri/pengawet pada
berbagai produk pangan karena aman, tidak berbahaya dan harganya relatif
murah. Di samping itu, kitosan aman bagi lingkungan karena dapat

mengalami degradasi secara biologis dan tidak beracun (Rha, 1984 dalam
Kusumaningjati, 2009).
II.3. Pengawet Makanan

Bahan pengawet adalah senyawa yang mampu menghambat dan


menghentikan proses fermentasi, pengasaman atau bentuk kerusakan lainnya,
atau bahan yang dapat memberikan perlindungan bahan pangan dari
pembusukan (Kusumaningjati, 2009). Menurut Harjanti (2014) bahan
pengawet dibutuhkan untuk mencegah aktivitas mikroorganisme agar kualitas
makanan senantiasa terjaga sesuai dengan harapan konsumen.Bahan
Tambahan Pangan(BTP) adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan
untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan. Berdasarkan Peraturan
Menteri kesehatan Republik Indonesia Nomor 033 Tahun 2012 tentang Bahan
Tambahan Pangan (BTP), jenis bahan tambahan pangan golongan pengawet
yang dilarang penggunaannya dalam produk pangan antara lain adalah
formalin dan asam borat. Saat ini Natrium benzoat merupakan salah satu
pengawet sintetis yang diizinkan dan yang paling

sering digunakan

(Kusumaningjati, 2009).
Besarnya manfaat formalin dibidang industri ini, ternyata sering
disalahgunakan untuk penggunaan pengawetan industri makanan (Faradila et
al, 2014). Penggunaan borak dan formalin dalam makanan dapat berakibat
kepada kesehatan. Jangka pendek dapat berpengaruh pada radang tonsil,
radang tenggorokan, sakit dada, jantung berdebar, sakit kepala, mual, diare
dan muntah, saluran pernapasan, mata, saluran pencernaan, saraf, dan lainlain. (Kusumawati dan Ichsan, 2014). Kadar fatal penggunaan boraks yang
dapatmenyebabkan kematian pada orang dewasadapat terjadi dalam dosis 1525 gram,sedangkan pada anak dosis 5-6 gram (Cahyadi, 2009 dalam Suntaka
et al, 2014).

Bahan pengawet alami relatif aman dibandingkan bahan pengawet


sintetis yang jika terjadi ketidaksempurnaan proses dapat mengandung zat-zat

yang berbahaya bagi kesehatan dan kadang- kadang bersifat karsinogenik


(Winarno & Rahayu 1994dalam Mustafa, 2006). Semakin meningkatnya
dampak negatif yang timbul terhadap kesehatan akibat bahan kimia yang
digunakan sebagai pengawet makanan telah mendorong banyak pihak untuk
mencari alternatif bahan pengawet yang lebih sehat (Kusumaningjati, 2009).
Terdapat beberapa alternatif penggunaan pengawet makanan organik,
diantaranya adalah asam sorbat, asam propionat, asam benzoat, asam asetat,
epoksida, dan kitosan (Winarno, 2002 dalam Kusumaningjati, 2009).
II.4. Proses Pengolahan Limbah Kepiting menjadi Kitosan
Kitosan diperoleh dari kitin melalui proses deasetilasi. Ekstraksi kitin
dari kulit kepiting dilakukan dalam dua tahap, yaitu demineralisasi dan
deproteinasi. Tahap demineralisasi dilakukan untuk menghilangkan mineral
yang terkandung dalam kulit udang (Nuralam et al, 2012; Trisnawati et al,
2013).Penghilangan mineral biasanya dilakukan dengan melarutkannya
melalui penambahan asam klorida (Prasetyaningrum

et al, 2007).

Demineralisasi dilakukan untuk menghilangkan mineral yang terkandung


dalam bahan baku (Trisnawati et al, 2013). Menurut Prasetyaningrum et al
(2007), protein berikatan dengan kitin yang akan diisolasi. Adapun yang
dimaksud proses deproteinasi adalah proses untuk memisahkan ikatan antara
kitin dengan protein.
Deproteinasi dilakukan dengan menggunakan larutan basa lemah
(NaOH) untuk menghilangkan sisa sisa protein yang masih terdapat dalam
bahan baku (Trisnawati et al, 2013).Kitosan dapat dihasilkan dari kitin
dengan menghilangkan gugus asetil sehingga molekul dapat larut dalam
larutan asam, proses ini disebut sebagai deasetilasi yaitu melepaskan gugus
asetil agar kitosan memiliki karakteristik sebagai kation (Prasetyaningrum et
al, 2007).
Pembuatan kitosan dimulai dari proses pengeringan dan penghancuran
terlebih dahulu, setelah itu cangkang yang telah hancur direbus dalam larutan
NaOH 3,5% pada suhu 65C selama 2 jam, lalu dilakukan penyaringan dan
pencucian. Setelah itu, proses dilanjutkan dengan perendaman dengan larutan
HCl 1% selama 30 menit pada suhu kamar lalu dilakukan penyaringan dan

pencucian kembali. Langkah terakhir adalah merebus bahan dalam larutan


NaOH 50% selama setengah jam pada suhu 100C. Setelah semua proses
selesai, maka hasil akhir kitosan diperoleh (Trisnawati et al, 2013;
Prasetyaningrum et al, 2007). Untuk lebih jelas dapat lihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Skema pengolahan kitosan dari kulit kepiting menurut Prasetyaningrum


et al (2007).

Bila dihitung secara ekonomi, biaya yang dikeluarkan untuk mengolah


kitin menjadi kitosan memang sedikit lebih mahal dibandingkan formalin.
Harga pasaran 1 liter formalin 5% adalah Rp.32.500 sedangkan bila
disetarakan 1 liter formalin, harga kg NaCl adalah Rp.29.300 dan 1 kg

NaOH adalah Rp.28.200. Maka, estimasi total dana bahan baku yang
diperlukan untuk membuat kitosan adalah Rp.57.500. Meskipun pembuatan
kitosan sedikit lebih mahal, namun faktor kesehatan, keamaman dan ramah
lingkungan perlu diperhitungkan sebagai investasi untuk masa yang akan
datang sehingga akan berdampak lebih baik bagi masyarakat.
III.

ANALISIS DAN SINTESIS

Bahan pengawet sintetis terutama yang termasuk dalam bahan karsinogenik


telah menjadi masalah dalam kedaulatan pangan. Berbagai pengawet non pangan
yang berbahaya untuk dikonsumsi seperti formalin dan boraks beredar di toko
toko dan pasaran dengan bebas. Bahan pengawet karsinogenik seperti formalin
dan boraks dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan dalam jangka waktu
pendek maupun lama. Dalam jangka pendek, bahan bahan ini dapat menyebabkan
radang dan gangguan pencernaan sedangkan dalam jangka panjang dapat
menyebabkan kanker. Hal tersebut telah menjadi permasalahan serius sehingga
masyarakat modern yang memiliki kebutuhan tinggi akan makanan cepat saji dan
mampu tahan lama memerlukan solusi alternatif akan pengawet makanan yang
sehat.
Industri pengolahan kepiting menghasilkan sisa cangkang dalam jumlah yang
sangat banyak, namun berlimpahnya sisa cangkang ini belum termanfaatkan
secara optimal sehingga bahan bahan tersebut menjadi limbah. Limbah cangkang
yang tidak diolah dan langsung dibuang akan mencadi pencemar bagi lingkungan.
Di sisi lain, cangkang kepiting merupakan sumber penghasil kitin yang potensial
dimana kitin memiliki kemampuan untuk dapat diolah menjadi kitosan. Kitosan
merupakan salah satu bahan yang telah diuji dalam berbagai penelitian sebagai
bahan pengawet makanan yang aman dan ramah lingkungan. Hal ini dikarenakan
kitosan dapat didegradasi secara biologis dan tidak beracun.
Penanganan masalah limbah dan kebutuhan akan pengawet makanan yang
sehat dan ramah lingkungan dapat dilakukan dengan memanfaatkan limbah
cangkang kepiting untuk diolah menjadi kitosan dan dapat dipakai sebagai bahan
pengawet makanan yang sehat dan ramah lingkungan. Hal ini tidak hanya

menyelesaikan permasalahan pengawet makanan yang tidak sehat, namun juga


menanggulangi masalah pencemaran akibat limbah kepiting yang tidak
termanfaatkan. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 4.

PERMASALAHA
N:

SOLUSI

Gambar 4. Skema penyelesaian masalah

IV.

SIMPULAN DAN REKOMENDASI

IV.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut:
1. Kitosan yang diolah dari limbah kepiting dapat dimanfaatkan sebagai
pengawet makanan yang sehat dan ramah lingkungan
2. Pemanfaatan limbah kepiting sebagai kitosan dapat menanggulangi
pencemaran akibat limbah kepiting yang tidak diolah lebih lanjut

3. Kitosan dapat diolah dalam skala rumah tangga dengan metode


pengolahan mudah serta murah.
IV.2. Rekomendasi
Kesadaran dan pengetahuan produsen maupun konsumen dibutuhkan
untuk menunjang keberhasilan langkah-langkah mengganti jenis pengawet
makanan yang berbahaya menjadi pengawet yang sehat dan ramah
lingkungan. Untuk itu penyuluhan bagi masyarakat dan produsen sebaiknya
dilakukan oleh tiap daerah serta dilakukan kontrol berkala bagi para pedagang
oleh pemerintah daerah.
Penanganan limbah seperti limbah industri kepiting sebaiknya dilakukan
dengan memanfaatkan limbah tersebut menjadi produk yang lebih bermanfaat
seperti dijadikan bahan baku pembuatan kitosan sehingga dapat memiliki
nilai ekonomis lebih tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2014. Ekspor Kepiting dan Kerang Kerangan Menurut
Negara Tujuan Utama 2008-2014.www.bps.go.id [diakses pada 28 Maret
2016]

Faradila; Y. A; dan Elmatris. 2014. Identifikasi Formalin pada Bakso yang Dijual
pada Beberapa Tempat di Kota Padang. Jurnal Kesehatan Andalas Vol 3(2):
156-158

Harjanti, R. S. 2014. Kitosan dari Limbah Udang sebagai Bahan Pengawet Ayam
Goreng. Jurnal Rekayasa proses Vol 8(1): 12-19.

Killay, A. 2013. Kitosan Sebagai Anti Bakteri Pada Bahan Pangan Yang Aman
Dan Tidak Berbahaya. Prosiding FMIPA Universitas Pattimura. ISBN: 978602-97522-0-5

Kusumaningjati, F. 2009. Potensi Antibakteri Kitosan Sebagai Pengawet Alami


pada Tahu. Skripsi. Program Studi Biokimia Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor.

Kusumawati, S dan Ichsan M. 2014. Kandungan Formalin dan Borak pada


Makanan Jajanan di Lingkungan Sekolah Dasar (SD) (Studi Deskriptif).
Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Jakarta II.

McKenna, S. 1990. Shell Disease of Blue Cabs, Callinetes sapidus, in the


Pamlico River, North Carolina. Special Scientific Report number 51. North
Carolina Departement of Environment, Health, and Natural Resources. 30
hal.

Mustafa, R. M. 2006. Studi Efektifitas Bahan Pengawet Alami dalam Pengawetan


Tahu. Program Studi Gizi Masyarakat Fakultas Pertanian Institut Pertanian
Bogor.

Parker, J.N; dan Parker P.M. 2003. Chitosan. ICON Health Publications: USA.
252 hal.

Sumardjo, D. 2006. Pengantar Kimia: Buku Panduan Kuliah Mahasiswa


Kedokteran dan Program Strata I Fakultas Bioeksata. Penerbit Buku
Kedokteran EGC: Jakarta

Suntaka, D.F; Woodford, B.S; dan Ricky, C. 2014. Analisis Kandungan Formalin
dan Boraks Pada Bakso yang Disajikan Kios Bakso Permanen pada
Beberapa Tempat di Kota Bitung Tahun 2014. Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sam Ratulangi.

Trisnawati, E; Andesti, D; dan Saleh, A. 2013. Pembuatan Kitosan dari Limbah


Cangkang Kepiting Sebagai Bahan Pengawet Buah Duku Dengan Variasi
Lama Pengawetan. Jurnal Teknik Kimia No 2 Vol 19: 17-26

Zikakis, J.P. 1984. Chitin, Chitosan, and Related Enzymes. Academic Press, INC:
Orlando. 448 hal.

Anda mungkin juga menyukai