Anda di halaman 1dari 10

Mekanisme Penyakit

Dermatitis Atopik
Dermatitis atopik, atau eksim, merupakan penyakit kulit yang umum yang sering
dikaitkan dengan kelainan atopik lainnya, seperti rhinitis alergika dan asma.
Manifestasi klinis dari dermatitis atopik (Gambar 1) bervariasi sesuai usia; tiga tahap
seringkali dapat diidentifikasi. Pada bayi, lesi eksim pertama biasanya muncul di pipi
dan scalp. Garukan, yang sering dimulai beberapa minggu kemudian, menyebabkan
erosi berkrusta. Selama masa kanak-kanak, lesi melibatkan fleksuda, punggung leher,
dan bagian dorsal dari tungkai. Pada remaja dan dewasa, plak likenifikasi
mempengaruhi fleksura, kepala, dan leher. Pada tiap tahap, gatal yang berlanjut
sepanjang hari dan memburuk pada malam hari menyebabkan kurang tidur dan sering
mengganggu kualitas hidup pasien.
Tanda khas dari dermatitis atopik adalah bentuk kroniks, relaps dari inflamasi kulit,
gangguan fungsi barrier-epidermal yang terjadi di kulit yang kering, dan sensitisasi oleh
IgE terhadap makanan dan alergen lingkungan. Tanda histologis dari patch dan plak
eksim akut adalah edema interseluler epidermal (spongiosis) dan infiltrat perivaskular
prominen oleh limfosit, makrofag monosit, sel dendritik, dan beberapa eosinofil di
dermis. Pada plak likenifikasi dan ekskoriasi subakut dan kronik, epidermis menebal
dan lapisan teratas menjadi hipertrofi.
Dua hipotesis mengenai mekanisme dermatitis atopik telah diajukan. Di satu sisi
meyakini bahwa defek primer berada pada gangguan imunologis yang menyebabkan
sensitisasi oleh IgE, dengan disfungsi barrier epitel yang disebabkan sebagai
konsekuensi dari inflamasi lokal. Lainnya mengajukan bahwa defek intrinsik pada sel
epitel menyebabkan disfungsi barrier; aspek imunologis yang dianggap sebagai akibat
sampingan.
Pada tinjauan ini, saya menyusun potongan yang berbeda dari puzzle menjadi
gambaran yang masuk akal, pertanyaan umum dari hipotesis, dan mengintegrasikan
hasil dari penelitian terbaru dengan cara yang memiliki implikasi untuk manajemen
klinis dari dermatitis atopik
Epidemiologi Dermatitis Atopik

Prevalensi dermatitis atopik telah meningkat dua atau tiga kali pada negara industri
selama tiga dekade terakhir; 15 hingga 30% dari anak dan 2 hingga 10% dari orang
dewasa terpengaruh. Kelainan ini sering mendahului diatesis atopik yang meliputi
asma dan penyakit alergi lain. Dermatitis atopik sering dimulai pada awal usia bayi
(yang disebut dermatitis atopik onset awal). Total 45% dari semua kasus dari dermatitis
atopik dimulai dalam 6 bulan pertama kehidupan, 60% dimulai selama tahun pertama,
dan 85% dimulai sebelum usia 5 tahun. Lebih dari 50% dari anak-anak yang
terpengaruh pada 2 tahun pertama tidak memiliki tanda sensitisasi IgE, namun mereka
menjadi tersensitisasi selama perjalanan dermatitis atopik. Lebih dari 70% dari anakanak ini memiliki remisi spontan sebelum remaja. Penyakit ini dapat juga dimulai pada
orang dewasa (dikenal sebagai dermatitis atopik onset lambat, dan pada cukup banyak
pasien tidak ada tanda sensitisasi oleh IgE. Prevalensi yang lebih rendah dari
dermatitis atopik pada pedesaan bila dibandingkan dengan perkotaan menyarankan
hubungan dengan hipotesis higienitas, yang menyebutkan bahwa tidak adanya
paparan awal masa kanak-kanak terhadap agen infeksius meningkatkan kerentanan
terhadap penyakit alergi. Namun konsep ini baru-baru ini dipertanyakan dalam
kaitannya dengan dermatitis atopik.
Genetik dari Dermatitis Atopik
Tingkat indeks untuk dermatitis atopik lebih tinggi diantara bayi kembar monozigot
(77%) daripada diantara ayi kembar dizigot (15%). Asma alergi atau rhinitis alergika
pada orang tua tampak sebagai faktor minor dalam terbentuknya dermatitis atopik
pada keturunannya, menyarankan gen spesifik dermatitis atopik.
Pemindaian Genomewide telah menyiritu beberapa lokus berkaitan dengan dermatitis
atopik pada kromosom 3q21, 1q21, 16q, 17q25, 20p, dan 3p26. Wilayah dengan
hubungan tertinggi teridentifikasi pada kromosom 1q21, yang memiliki gen keturunan
berkaitan dengan epitelium yang disebut kompleks diferensiasi epidermal. Kebanyakan
regio genetik berkaitan dengan dermatitis atopik berhubungan dengan lokus yang
berkaitan dengan psoriasis, meski kedua penyakit ini jarang berhubungan. Selain itu
asosiasi genomik mengungkapkan bahwa pemindaian tersebut tidak tumpang tindih
dengan varian alel yang sering pada asma alergi, temuan ini konsisten dengan data
epidemiologis.
Beberapa gen kandidat telah diidentifikasi pada dermatitis atopik, terutama pada
kromosom 5q31-33. Semuanya itu mengode sitokin yang berkaitan dengan regulasi

sintesis IgE: interleukin-4, interleukin-5, interleukin-12, interleukin 13, dan granulocyte


macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF). Ini dan sitokin lain dibuat berdasar
dua tipe utama dari limfosit T. Sel T tipe 2 (Th2) menghasilkan interleukin-4 dan juga
interleukin-5 dan interleukin-13, dua sitokin yang meng-upregulasi produksi IgE. Sel T
tipe 1 (Th1) menghasilkan utamanya interleukin-12 dan interferon-, yang menahan
produksi IgE dan menstimulasi produksi antibodi IgG (Gambar 2A). Mutasi yang
mempengaruhi fungsi dari regio promotor dari kemokin penarik limfosit RANTES
(teregulasi pada aktivasi, sel T normal diekspresikan dan disekresikan) (17q11) dan
memperoleh fungsi polimorfisme pada subunit dari reseptor interleukin-4 (16q12)
telah diidentifikasi pada pasien dengan dermatitis atopik. Polimorfisme daari gen yang
mengkode sitokin interleukin-18, yang berkontribusi terhadap pergeseran Th1 dan Th2
menuju respon oleh T1 (yang disebut polarisasi Th1), atau polimorfisme dari gen yang
mengode reseptor sistem imun inate dapat berkontribusi terhadap ketidakseimbangan
antara respon imun Th1 dan Th 2 pada dermatitis atopik. Pada orang dengan
dermatitis atopik, dominasi yang ditentukan secara genetik dari sitokin Th2
mempengaruhi maturasi sel B dan penyusunan ulang genomik pada sel ini yang
mendukung perpindahan kelas isotip dari IgM ke IgE.
Karena kulit kering dan bersisik merupakan gejala baik dermatitis atopik dan ichthyosis
vulgaris, kelainan dominan autosomal paling umum dari keratinisasi, kedua penyakit
mungkin saling tumpang tindih secara genetik. Setelah gen filagrin (FLG) pada
kromosom 1q21.3, yang mengode protein kunci di diferensiasi epidermal, teridentifikasi
sebaagai gen yang terlinat dalam ichthyosis vulgaris, beberapa mutasi kehilangan
fungsi dari gen teridentifikasi pada pasien Eropa dengan dermatitis atopik, dan lainnya,
mutasi FLG yang berbeda pada pasien jepang telah dilaporkan. Mutasi deri FLG terjadi
utamanya pada dermatitis atopik onset lambat dan mengindikasikan kecenderungan
menuju asma. Akan tetapi tidak ada kaitan antara FLG mutan dan penyakit alergi jalan
nafas tanpa dermatitis atopik. Karena mutasi FLG teridentifikasi hanya pada 30%
pasien Eropa dengan dermatitis atopik, variasi genetik dari struktur epidermal lain,
seperti enzim triptik stratum korneum atau kolagen epidermal baru, mungkin penting.
Dermatitis atopik merupakan penyakit genetik kompleks yang muncul dari interaksi
gen-gen dan gen-lingkungan. Penyakit ini muncul dalam konteks dua kelompok gen
mayor: gen yang mengkode protein epidermal atau struktur epitelial lain, dan gen yang
mengkode elemen mayor dari sistem imun

Fungsi Barrier Kulit


Barrier Fisik
Sebuah kompartemen epidermal intak merupakan persyaratan agar kulit dapat
berfungsi sebagai barrier fisik dan kimia. Barrier sendiri adalah stratum korneum,
struktur seperti batu bata dan mortar dari lapisan epidermal atas. Perubahan dari
barrier yang menyebabkan peningkatan kehilangan air transepidermal merupakan ciri
khas dermatitis atopik. Lipid interseluler dari lapisan epidermal bertanduk disediakan
oleh badan lamelar, yang dihasilkan oleh eksositosis dari keratinosit atas. Perubahan
pada keramid kulit yang merupakan sekunder dari variasi terhadap pH dari stratum
korneum dapat mengganggu maturasi badan lamelar dan mengganggu barrier.
Perubahan dalam ekspresi enzim yang terlibat dalam keseimbangan halus dari struktur
adhesi epidermal juga sepertinya berkontribusi terhadap kerusakan barrier epidermal
pada pasien dengan dermatitis atopik.
Apakah perubahan epidermal ini adalah primer atau sekunder terhadap inflamasi yang
mendasari tetap tidak jelas hingga pemeriksaan imunohistokimia dan genetik
menyoroti pentingnya mutasi FLG dalam dermatitis atopik. FLG berkontribusi terhadap
sitoskeleton keratin dengan

berfungsi sebagai pola untuk penyusunan

dari

pembungkus terkornifikasi; terlebih, pemecahan produk dari FLG berkontribusi


terhadap kapasitis pengikat air dari stratum korneum. Variasi genetik dari FLG pada
dermatitis atopik yang kekurangan kapasitas untuk diurai secara proteolitik telah
teridentifikasi, namun perubahan yang ditentukan genetik lain dari epidermis (misal,
perubahan pada protein pembungkus terkornifikasi involucrin dan loricrin) atau
komposisi lipid juga kemungkinan berkontribusi terhadap disfungsi barrier. Inflamasi
yang mendasari dapat mengubah ekspresi gen seperti FLG yang terlibat dalam fungsi
barrier-epidermal, memungkinkan peningkatan penetrasi transepidermal dari alergen
lingkungan dan, dalam kolaborasi dengan pruritus, memupuk inflamasi dan sensitisasi.
Sistem Imun Bawaan
Sel epitel pada permukaan antara kulit dan lingkungan adalah lini pertama pertahanan
dari sistem imun bawaan. Struktur ini diperlengkapi dengan berbagai struktur
pendeteksi, yang termasuk toll-like receptor (TLR), lectin tipe C, reseptor pengikat
nukleotid berdomain seperti oligomerisasi, dan protein pengenal peptidoglikan.
Setidaknya 10 TLR yang berbeda telah dijelaskan pada manusia; mereka berikatan

dengan bakteri, fungal (kedua dinding sel), atau struktur viral (DNA atau RNA dengan
motid sitosin fosfat guanidin [CpG]), dan dengan struktur mikrobial lain yang disebut
sebagai pola molekular berkaitan dengan patogen. Aktivasi yang dimediasi TLR oleh
sel epitel menginduksi produksi defensin dan katelisidin famili dari peptida
antimikroba.
Kulit menghasilkan katelisidin LL-37; human defensin HBD-1, HBD-2, dan HBD-3;
dan dermsidin. Mikrolingkungan inflamasi yang diinisiasi oleh interleukin-4, interleukin13, dan interleukin-10 mendown regulasi peptida antimikroba ini pada kulit pasien
dengan dermatitis atopik. Untuk alasan ini, sulit untuk mengatasi infeksi mikroba kulit
pad pasien dengan dermatitis atopik. Kulit berlesi dan kulit yang tampak normal secara
ekstensif dikolonisasi oleh bakteri seperti Staphylococcus aureus atau fungsi seperti
malasezia. Pasien dengan dermatitis atopik terpredisposisi terhadap eksim herpetikum
dan eksim vaksinatum karena penurunan produksi katelisidin yang memiliki potensi
aktivitas antiviral.
Mekanisme Imunopatologik dari Dermatitis Atopik
Mekanisme awal inflamasi kulit
Onset awal dermatitis atopik biasanya muncul dengan tidak adanya sensitisasi alergi
oleh IgE yang terdeteksi, dan pada beberapa anak kebanyakan wanita sensitisasi
tersebut tidak pernah terjadi. Mekanisme awal yang menginduksi inflamasi kulit pada
pasien dengan dermatitis atopik tidak diketahui. Mereka dapat sebagai akibat dari
garukan yang diinduksi oleh neuropeptida, iritasi, atau pruritus, yang melepaskan
sitokin inflamasi dari keratinosit, atau mereka dapat dimediasi sel T namun reaksi
independen dari IgE terhadap alergen tampak pada barrier epidermal yang terganggu
atau dari makanan (yang disebut dermatitis atopik sensitif terhadap makanan). IgE
spesifik alergen bukanlah persyaratan, namun, karena atopy patch test dapat
menunjukkan bahwa aeroalergen yang diaplikasikan di bawah kulit yang dioklusi
menginduksi reaksi positif dengan tidak adanya IgE spesifik alergen.
Lokasi Inisiasi dari Sensitisasi
Pada pasien dengan dermatitis atopik onset awal, sensitisasi yang dimediasi IgE
sering terjadi beberapa minggu atau bulan setelah lesi tampak, menyarankan bahwa
kulit adalah lokasi sensitisasi. Pada model hewan, pengulangan percobaan epidermal

dengan ovalbumin menginduksi IgE spesifik ovalbumin, alergi respirasi, dan lesi eksim
pada lokasi aplikasi. Proses serupa kemungkinan terjadi pada manusia (Gambar 2B).
Disfungsi barrier epidermal merupakan persyaratan untuk penetrasi dari alergen
dengan berat molekul tinggi pada serbuk sari, produk tungau-debu rumah, mikroba,
dan makanan. Molekul pada serbuk sari dan beberapa alergi makanan memicu sel
dendritik untuk meningkatkan polarisasi Th2. Terdapat banyak sel T pada kulit (106 sel
T memori per sentimeter persegi dari area permukaan tubuh) hampir dua kali jumlah di
sirkulasi. Terlebih, keratinosit pada kulit atopik menghasilkan kadar tinggi dari
limfopoietin stromal thimik seperti interleukin-7 yang memicu sel dendritik untuk
melakukan polarisasi Th2. Dengan menginduksi sejumlah besar dari sitokin seperti
GM-CSF atau kemokin, penyebaran inflamasi kulit dapat mempengaruhi imunitas
adaptif, mengubah fenotip dari monosit tersirkulasi dan meningkatkan produk
prostaglandin E2 pada dermatitis atopik. Semua faktor ini memberikan sinyal yang
diperlukan untuk polarisasi Th2 yang didorong oleh kulit yang kuat, dan untuk alasan
ini, kulit berfungsi sebagai titik masuk dari sensitisasi atopik dan bahkan dapat
menyampaikan sinyal yang diperlukan untuk sensitisasi alergi di paru atau usus.
Perkembangan sensitisasi dan dermatitis atopik di resipien sumsum tulang setelah
pencangkokan sel batang hematopoietik dari donor atopik memberikan dukungan dari
peran sistem hematopoietik sebagai faktor tambahan terhadap disfungsi barrier yang
ditentukan secara genetik pada dermatitis atopik.
IgE spesifik antigen merupakan struktur pengenal mayor untuk alergen pada sel mast
dan basofil. Ini juga dapat menjadi instrumental untuk induksi toleransi spesifik antigen
atau pada mekanisme antiinflamasi, namun apakah kejadian tersebut mendasari remisi
spontan dari dermatitis atopik masih diselidiki.
Sel Dendritik
Sel dendritik epidermal pada dermatitis atopik mengandung IgE dan mengekspresikan
reseptor afinitas tingginya (FcRI). Pada lesi kulit, sel dendritik dari turunan
plasmasitoid, yang memiliki aktivitas poten antiviral dengan produksi interferon-,
hampir tidak ada. Sebaliknya, dua populasi sel dendritik myeloid tampak: sel
Langerhans dan sel inflamasi epidermal dendritik. Pada dermatitis atopik, namun tidak
pada kondisi lain, terdapat penampakan densitas tinggi FcRI oleh kedua tipe sel. Sel
Lanerhans terjadi pada kulit normal, namun sel inflamasi epidermal dendritik tampak
hanya pada kulit terinflamasi. Mereka memakan dan menyajikan alergen terhadap sel

Th1 dan Th2, dan kemungkinan juga sel T regulasi. Pada ligasi FcRI oleh IgE, sel
langerhans menghasilkan interleukin-16, yang merekrut sel T CD4+ terhadap kulit.
Selain dari interleukin-16, sel Langerhans menghasilkan hanya kemokin yang terbatas
dan hampir tidak ada sitokin proinflamasi. Pada penangkapan alergen, sel Langerhans
berkontribusi terhadap polarisasi Th2 dengan mekanisme yang tidak diketahui, dan sel
inflamasi epidermal dendritik menyebabkan polarisasi Th1 dengan menghasilkan
interleukin-12 dan interleukin-18 dan melepaskan sitokin proinflamasi. Pada

atopy

patch test, sejumlah besar sel inflamasi dendritik epidermal menginvasi epidermis 72
jam setelah percobaan alergen, dan mereka dan sel Langerhans mengup regulasi
munculnya FcRI mereka.
Penyakit Bifasik oleh Sel T
Sel T CD4+ dan CD8+ spesifik alergen dapat diisolasi dari lesi kulit dari pasien dengan
dermatitis atopik. Inflamasi pada dermatitis atopik adalah bifasik: fase awal Th2
mendahului fase kronis dimana sel Th0 (sel yang memiliki beberapa aktivitas dari sel
Th1 dan Th2) dan sel Th1 adalah predominan (Gambar 3). Sitokin Th2 interleukin-4,
interleukin-5, dan interleukin-13 mendominasi pada fase akut lesi, dan pada lesi kronis
terdapat

peningkatan

interferon-,

interleukin-12,

interleukin-5,

dan

GM-CSF;

perubahan ini merupakan karakteristik dari predominasi Th1 dan Th0. Sel Th0 dapat
berdiferensiasi terhadap baik sel Th1 atau Th2, tergantung pada lingkungan sitokin
dominan. Peningkatan ekspresi interferon- RNA messenger oleh sel Th1 mengikuti
puncak dari ekspresi interleukin-12, yang bersamaan dengan penampakan sel
inflamasi epidermal dendritik di kulit. Kulit yang tampak normal pada pasien dengan
dermatitis atopik memiliki infiltrat ringan, yang secara kuat menyarankan keberadaan
inflamasi residu antara cetusan.
Perekrutan dari sel T ke kulit diprakarsai oleh jaringan kompleks dari mediator yang
berkontribusi terhadap inflamasi kronis. Kemokin homeostatik dan inflamasi yang
dihasilkan oleh sel kulit terlibat dalam proses ini. Sel inflamasi dan keratinosit pada lesi
kulit mengekspresikan kadar tinggi dari kemoatraktan, dan limfopoietin thimik stromal
berasal dari keratinosit menginduksi sel dendritik untuk menghasilkan timus penarik
Th2 dan kemokin dengan regulasi aktivasi, TARC/CCL17. Dengan cara ini, mereka
dapat meningkatkan dan menjaga respon alergi dan pnghasilan sitotoksik sel T
penghasil interferon-, seperti yang disarankan dengan penelitian in vitro. Interferon-

yang dihasilkan oleh sel Th1 telah diimplikasikan dalam apoptosis keratinosit yang
diinduksi oleh reseptor kematian sel Fas.
Peran dari sel T regulator dalam dermatitis atopik juga diteliti. Tingkat ekspresi yang
tinggi dari rantai alfa dari reseptor interleukin-2 (CD25) dan faktor transkripsi FOXP3
merupakan karakteristik sel ini. Terdapat peningkatan kumpulan sel T regulasi
tersirkulasi pada dermatitis atopik, namun lesi kulit melumpuhkan sel T regulasi
fungsional. Kompleksitas dari kompartmen sel T regulasi masih belum sepenuhnya
dikenali, dan peran dari sel T regulasi pada regulasi penyakit kulit inflamasi kronis sulit
dipahami.
Staphylococcus aureus
Supresi dari sistem imun bawaan kulit oleh mikrolingkungan inflamasi dari dermatitis
atopik menjelaskan kolonisasi pada kulit oleh S.aureus pada lebih dari 90% pasien
dengan dermatitis atopik. Tanda ini berkontribusi terhadap sensitisasi alergi dan
inflamasi (Gambar 4). Garukan meningkatkan pengikatan S.aureus ke kulit, dan
peningkatan jumlah keramidase dari S.aureus dapat memperburuk defek pada barrier
kulit. Enterotoksin S.aureus meningkatkan inflamasi pada dermatitis atopik dan
memicu penghasilan IgE spesifik enterotoksin, yang berkorelasi dengan keparahan
penyakit. Enterotoksin ini berinteraksi langsung dengan molekul kelas II dari kompleks
histokompatibilitas mayor dan rantai beta dari sel T reseptor untuk menginduksi
proliferasi sel T independen terhadap antigen. Mereka juga mengup regulasi ekspresi
antigen reseptor penandukan kulit berkaitan dengan limfosit kutaneus pada sel T dan
produksi kemokin yang berasal dari keratinosit yang merekrut sel T. Dengan
menginduksi isoform- yang berkompetisi dari reseptor glukokortikoid

di sel

mononuklear, enterotoksin berkontribusi terhadap munculnya resistensi terhadap


pengobatan kortikosteroid lokal. Enterotoksin S.aureus juga menginduksi ekspresi
ligan protein yang diinduksi glukokortikoid yang berhubungan dengan reseptor tumor
necrosis factor pada antigen presenting cells, menyebabkan inhibisi dari supresi
aktivitas dari sel T regulasi.
Mekanisme Pruritus
Gejala paling penting pada dermatitis atopik adalah pruritus persisten, yang
mengganggu kualitas hidup pasien. Kurangnya efek antihistamin bertentangan dengan
peran histamin dalam menyebabkan pruritus terkait dermatitis atopik. Neuropeptida,

protease, kinin, dan sitokin menginduksigatal. Interleukin-31 merupakan sitokin yang


dihasilkan oleh sel T yang meningkatkan keberlangsungan sel hematopoietik dan
menstimulasi produksi sitokin inflamasi oleh sel epitel. Ini sangat pruritogenik, dan baik
interleukin-31 dan reseptornya terekspresi berlebihan pada kulit yang berlesi. Terlebih,
interleukin-31 diup regulasi dengan paparan dari eksotoksin stafilokokus in vitro.
Temuan ini mengimplikasikan interleukin-31 sebagai faktor mayor dalam terbentuknya
pruritus pada dermatitis atopik.
Autoimunitas pada Dermatitis Atopik
Sebagai tambahan terhadap makanan dan aeroalergen, serum spesimen dari pasien
dengan dermatitis atopik berat mengandung antibodi IgE terhadap protein dari
keratinosit dan sel endotel seperti manganese superoksida dismutase dan protein
pengikat kalsium. Kadar serum dari autoantibodi IgE ini berkaitan dengan keparahan
penyakit. Garukan kemingkinan melepaskan protein intraseluler dari keratinosit.
Protein ini dapat molekul yang menyerupai struktur mikroba dan maka dari itu dapat
menginduksi autoantibodi IgE. Sekitar 25% dari dewasa dengan dermatitis atopik
memiliki antibodi IgE terhadap protein tubuh. Pada pasien ini, dermatitis atopik onset
awal, pruritus intens, infeksi kulit bakterial rekuren, dan kadar serum IgE yang tinggi
adalah tanda khas dari penyakit ini. Terlebih, antibodi IgE terhadap protein tubuh dapat
dideteksi pada pasien dengan dermatitis atopik paling cepat saat usia 1 tahun.
Beberapa autoalergen di kulit juga merupakan penginduksi kuat dari respon Th1.
Antibodi IgE pada dermatitis atopik dapat diinduksi oleh alergen lingkungan, namun
antibodi IgE terhadap autoantigen di kulit dapat mempertahankan inflamasi alergi.
Maka, dermatitis atopik tampaknya berada di perbatasan antara alergi dan
autoimunitas.
Hipotesis yang Disepakati
Sebuah klasifikasi membedakan bentuk dermatitis atopik terkait IgE (misal dermatitis
atopik asli, sebelumnya disebut sebagai dermatitis atopik ekstrinsik) dari bentuk yang
tidak terkait IgE (dermatitis nonatopik, sebelumnya disebut dermatitis atopik intrinsik).
Divisi ini mengimplikasikan bahwa dermatitis nonatopik dan dermatitis atopik adalah
dua penyakit yang berbeda. Namun, karena kulit kering merupakan tanda penting dari
kedua kondisi, dan tidak adanya sensitisasi oleh IgE mungkin hanya faktor transien,
perlu untuk meninjau kembali hipotesis yang divergen ini. Gambaran baru yang muncul
dari temuan terbaru, dimana riwayat alami dari dermatitis atopik memiliki tiga fase

(Gambar 5). Fase awal adalah bentuk nonatopik dari dermatitis pada awal masa bayi,
ketika sensitisasi belum terjadi. Selanjutnya, pada 60 hingga 80% dari pasien, faktor
genetik mempengaruhi induksi sensitisasi oleh IgE terhadap makanan, alergen
lingkungan, atau keduanya ini adalah transisi dari dermatitis atopik sebenarnya.
Ketiga, garukan mencederai sel kulit, yang melepaskan autoantigen yang menginduksi
autoantibodi IgE pada proporsi substansial dari pasien dengan dermatitis atopik.
Implikasi Klinis
Karena disfungsi barrier dari kulit dan inflamasi kronis adalah tanda dari dermatitis
atopik, manajemen klinis jangka panjang harus menekankan pencegahan, oerawatan
kulit yang diintensifikasi dan diadaptasi secara individu, reduksi dari kolonisasi bakteri
dengan cara aplikasi lokal dari lotion yang mengandung antiseptik seperti triklosan dan
klorhexidin, dan paling penting kontrol inflamasi dengan penggunaan reguler dari
kortikosteroid topikal atau inhibitor kalsineurin topikal. Pada anak, sebelum dan
sesudah diagnosis sensitisasi oleh IgE, pengukuran yang mencegah paparan dari
alergen seharusnya menguntungkan. Terapisaat ini dari dermatitis atopik adalah reaktif
mengobati cetusan namun manajemen harus melibatkan intervensi awal dan
proaktif dengan kontrol efektif dan kontinyu dari inflamasi kulit dan kolonisasi S.aureus.
Strategi ini telah terbukti efektif dalam mereduksi jumlah cetusan. Ketika diaplikasikan
di awal masa bayi, ini dapat secara potensial membantu mengurangi sensitisasi
nantinya terhadap antigen lingkungan dan autoalergen.
Kesimpulan
Pandangan baru terhadap mekanisme genetik dan imunologis yang mendorong
inflamasi kutaneus dalam dermatitis atopik menyebabkan pemahaman yang lebih baik
dari riwayat alami dari penyakit dan memiliki peran penting dari fungsi barrier
epidermal dan sistem imun yang disoroti. Keduanya berkontribusi terhadap sensitisasi
oleh IgE dan harus dianggap sebagai target mayor untuk terapi. Perkembangan
terbaru yang menarget secara spesifik pada defek molekuler pada stratum korneum
dapat memberikan cara terkustomisasi untuk meningkatkan fungsi barrier. Manajemen
awal dan proaktif dapat meningkatkan hasil akhir dan kualitas hidup bagi pasien
dengan dermatitis atopik.

Anda mungkin juga menyukai