Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN

TUTORIAL SKENARIO B BLOK 20


TAHUN 2016

Disusun oleh :
Kelompok A7
Anggota
Rosyila

04011181419008

Thalia Tri Atikah

04011181419012

Sarah Ummah Muslimah

04011181419022

Ria Arnila

04011181419024

Aprita Nurkarima

04011181419216

Dwi Taufik O

04011281419290

Elvandy Suwardy Tjan

04011281419096

Defina Yunita

04011281419098

Andani Lestari

04011281419122

Archita Wicesa Saraswati

04011281419132

Tutor :
dr. Liniyanti D. Oswari, M.N.S, MSc.
PENDIDIKAN DOKTER UMUM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2016

KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena atas ridho dan karunia-Nya laporan
tutorial Skenario B Blok 20 ini dapat diselesaikan dengan baik. Laporan ini bertujuan untuk
memenuhi tugas tutorial yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran KBK di Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Kami menyadari bahwa laporan ini masih memiliki banyak kekurangan dan
kelemahan, untuk itu sumbangan pemikiran dan masukan dari semua pihak sangat kami
harapkan agar di lain kesempatan laporan tutorial ini akan menjadi lebih baik.
Terima kasih kami ucapkan kepada dr. Liniyanti D. Oswari, M.N.S, MSc. selaku tutor
kelompok A7 yang telah membimbing kami semua dalam pelaksanaan tutorial kali ini. Selain
itu, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu tersusunnya
laporan tutorial ini. Semoga laporan tutorial ini bermanfaat bagi semua pihak.

DAFTAR ISI
Kata Pengantar ......................................................................................................................2
Daftar Isi ................................................................................................................................3
BAB I

BAB II

: Pendahuluan
1.1

Latar Belakang.....4

1.2

Maksud dan Tujuan................................................................................4

: Pembahasan
2.1

Data Tutorial............................................................................................5

2.2

Skenario Kasus........................................................................................5

2.3

Paparan....................................................................................................6
I.

Klarifikasi Istilah.........................................................................6

II.

Identifikasi Masalah....................................................................6

III.

Analisis Masalah.........................................................................7

IV.

Learning Issues............................................................................29

V.

Kerangka Konsep........................................................................51

BAB III : Penutup


3.1

Sintesis....................................................................................................52

3.2

Kesimpulan..............................................................................................53

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................54

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada kesempatan ini, dilakukan tutorial studi kasus sebagai bahan pembelajaran untuk
menghadapi tutorial yang sebenarnya pada waktu yang akan datang. Penulis
memaparkan kasus yang diberikan mengenai Lepra (Morbus Hansen).
1.2 Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dan tujuan dari materi tutorial ini, yaitu :
1. Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan bagian dari sistem
pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.
2. Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan metode analisis
dan pembelajaran diskusi kelompok.
3. Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial dan memahami konsep dari
skenario ini.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Data Tutorial
Tutor
Moderator

: dr. Liniyanti D. Oswari, M.N.S, MSc.


: Rosyila

Sekretaris Meja : Archita Wicesa Saraswati & Aprita Nurkarima


Hari, Tanggal

: 26&28 September 2016

Peraturan

: 1. Alat komunikasi di nonaktifkan.


2. Semua anggota tutorial harus mengeluarkan pendapat (aktif).
3. Dilarang makan dan minum.

2.2 Skenario Kasus


Seorang laki-laki 48 tahun, datang berobat ke puskesmas dengan keluhan bercak merah
menebal disertai mati rasa di wajah, lengan dan badan disertai demam sejak 2 pekan lalu.
Kisaran 2 bulan lalu, timbul 2 bercak merah menebal pada wajah ukuran biji jagung
disertai mati rasa. Kisaran 1 bulan timbul beberapa bercak merah menebal baru pada
kedua lengan dan badan ukuran biji jagung sampai logam. Kisaran 2 pekan lalu bercak
merah bertambah banyak pada wajah, badan dan kedua lengan, sebagian bercak
bertambah merah dan demam. Pasien mengeluhkan jari-jari tangan kanan sulit
menggenggam gelas. Istri pasien memiliki riwayat keluhan bercak putih disertai mati
rasa dan telah menyelesaikan pengobatan rutin (12 bulan) kisaran 1 tahun lalu.
Pemeriksaan Fisik:
Keadaan Umum: sadar dan kooperatif
Vital Sign:
Nadi: 84 x/menit, RR: 20/permenit, suhu: 38,0 C
BB 50 kg, TB 158 cm
Keadaan spesifik: dalam batas normal
Pemeriksaan Saraf Tepi:
Palpasi: teraba penebalan saraf pada n. ulnaris dan medianus dextra
Tes fungsi saraf
-

Ada gangguan fungsi sensorik rasa raba, nyeri dan suhu pada palmar manus dextra

et sinistra.
Tes otonom tidak dilakukan.
Ada gangguan motorik pada otot yang dipersarafi n. ulnaris dan medianus dextra
5

Status dermatologikus:
Regio fasialis, truncus, ekstremitas superior dextra et sinistra:
Plak eritem: multipel, numular-plakat, non homogen sebagian bagian sentral lebih pucat,
diskret sebagian konfluen.
2.3 Paparan
I.
Klarifikasi Istilah
Istilah

Arti

Bercak merah menebal

Plak eritem

Mati rasa

Tidak bisa merasakan perubahan suhu hingga kehilangan

Demam

sensasi sentuhan dan rasa sakit pada kulit


Manifestasi klinis dari terjadinya infeksi yang ditandai

Bercak putih disertai mati

dengan peningkatan suhu tubuh lebih dari 37oC


Hipopigmentasi yang disertai dengan kerusakan syaraf

rasa

yang menyebabkan hilangnya sensasi pada daerah yang

Plak eritem multiple

dipersarafi oleh saraf yang terkena.


Peninggian kulit dengan diameter lebih dari 0,5 cm
dengan permukaan atas yang datar, berwarna merah dan

Numular

menebal
Lesi yang berbentuk bulat atau koin yang morfologinya
dari tepi sampai inti berwarna sama.

Plakat

Lesi yang ditandai dengan ukuran lebih besar daripada

Diskret

numular,
Lesi yang tidak menyatu atau terpisah

Konfluen

Lesi yang menyatu atau rata

Plak non homogen, bagian

Lesi satelit

sentral lebih pucat


II.

Identifikasi Masalah
Masalah
Seorang laki-laki 48 tahun, datang berobat dengan keluhan bercak

Prioritas
VVV

merah menebal disertai mati rasa di wajah, lengan dan badan disertai
demam sejak 2 pekan lalu. Pasien memiliki keluhan tambahan jari-jari
tangan kanan sulit menggenggam gelas.
Kisaran 2 bulan lalu, timbul 2 bercak merah menebal pada wajah

VV

ukuran biji jagung disertai mati rasa. Kisaran 1 bulan timbul beberapa

bercak merah menebal baru pada kedua lengan dan badan ukuran biji
jagung sampai logam. Kisaran 2 pekan lalu bercak merah bertambah
banyak pada wajah, badan dan kedua lengan, sebagian bercak
bertambah merah dan demam.
Istri pasien memiliki riwayat keluhan bercak putih disertai mati rasa

VV

dan telah menyelesaikan pengobatan rutin (12 bulan) kisaran 1 tahun


lalu.
Pemeriksaan Fisik:

Keadaan Umum: sadar dan kooperatif


Vital Sign:
Nadi: 84 x/menit, RR: 20/permenit, suhu: 38,0 C
BB 50 kg, TB 158 cm
Keadaan spesifik: dalam batas normal
Pemeriksaan Saraf Tepi:

Palpasi: teraba penebalan saraf pada n. ulnaris dan medianus dextra


Tes fungsi saraf
Ada gangguan fungsi sensorik rasa raba, nyeri dan suhu pada palmar
manus dextra et sinistra.
Tes otonom tidak dilakukan.
Ada gangguan motorik pada otot yang dipersarafi n. ulnaris dan
medianus dextra
Status dermatologikus:

Regio fasialis, truncus, ekstremitas superior dextra et sinistra:


Plak eritem: multipel, numular-plakat, non homogen sebagian bagian
sentral lebih pucat, diskret sebagian konfluen.
III.

Analisis Masalah
1. Seorang laki-laki 48 tahun, datang berobat dengan keluhan bercak merah menebal
disertai mati rasa di wajah, lengan dan badan disertai demam sejak 2 pekan lalu.
Pasien memiliki keluhan tambahan jari-jari tangan kanan sulit menggenggam
gelas.
a. Bagaimana hubungan usia dan jenis kelamin terhadap keluhan?
b. Penyakit kulit apa saja yang dapat menimbulkan bercak merah menebal?
c. Penyakit kulit apa yang dapat menimbulkan bercak merah menebal disertai
demam dan mati rasa?
d. Apa penyebab dan bagaimana mekanisme terjadinya bercak merah menebal
disertai mati rasa pada kasus?
7

e. Apa penyebab dan bagaimana mekanisme demam pada kasus?


f. Apa penyebab dan bagaimana mekanisme jari-jari tangan sulit menggenggam
gelas pada kasus?
2. Kisaran 2 bulan lalu, timbul 2 bercak merah menebal pada wajah ukuran biji
jagung disertai mati rasa. Kisaran 1 bulan timbul beberapa bercak merah menebal
baru pada kedua lengan dan badan ukuran biji jagung sampai logam. Kisaran 2
pekan lalu bercak merah bertambah banyak pada wajah, badan dan kedua lengan,
sebagian bercak bertambah merah dan demam.
a. Mengapa bercak bertambah banyak dan menyebar?
b. Mengapa bercak pertama timbul mulai dari wajah?
c. Mengapa demam baru timbul 6 minggu setelah lesi pertama muncul?
d. Mengapa bercak bertambah merah?
e. Mengapa ukuran bercak bertambah besar?
3. Istri pasien memiliki riwayat keluhan bercak putih disertai mati rasa dan telah
menyelesaikan pengobatan rutin (12 bulan) kisaran 1 tahun lalu.
a. Apa penyakit kulit yang mungkin diderita oleh istri pasien yang dapat
menular kepada pasien?
b. Bagaimana cara penularan penyakit yang diderita oleh istri pasien kepada
pasien?
c. Pengobatan apa yang diberikan selama 12 bulan terkait dengan keluhan istri
pasien?
d. Mengapa bercak yang timbul pada istri pasien berwarna putih?
4. Pemeriksaan Fisik:
Keadaan Umum: sadar dan kooperatif
Vital Sign:
Nadi: 84 x/menit, RR: 20/permenit, suhu: 38,0 C
BB 50 kg, TB 158 cm
Keadaan spesifik: dalam batas normal
a. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal pada pemeriksaan fisik?
5. Pemeriksaan Saraf Tepi:
Palpasi: teraba penebalan saraf pada n. ulnaris dan medianus dextra
Tes fungsi saraf
Ada gangguan fungsi sensorik rasa raba, nyeri dan suhu pada palmar manus
dextra et sinistra.
Tes otonom tidak dilakukan.
Ada gangguan motorik pada otot yang dipersarafi n. ulnaris dan medianus dextra
8

a.
b.
c.
d.
e.

Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan saraf tepi?


Bagaimana mekanisme abnormal dari hasil pemeriksaan saraf tepi?
Bagaimana cara pemeriksaan fungsi sensorik dan motorik terkait kasus?
Mengapa tes otonom tidak dilakukan? Apa indikasinya?
Mengapa saraf yang terkena adalah nervus ulnaris dan medianus dextra?

6. Status dermatologikus:
Regio fasialis, truncus, ekstremitas superior dextra et sinistra:
Plak eritem: multipel, numular-plakat, non homogen sebagian bagian sentral lebih
pucat, diskret sebagian konfluen.
a. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan status dermatologikus?
b. Bagaimana mekanisme abnormal dari hasil pemeriksaan status
dermatologikus?
c. Bagaimana gambaran hasil status dermatologikus pada kasus?
7. Aspek Klinis
a. Diagnosis Banding
b. Algoritma Penegakan Diagnosis
c. Diagnosis Kerja
d. Etiologi
e. Epidemiologi
f. Faktor Resiko
g. Patogenesis
h. Patofisiologi
i. Manifestasi Klinis
j. Pemeriksaan Penunjang
k. Tatalaksana, Edukasi dan Pencegahan
l. Komplikasi
m. Prognosis
n. SKDI
IV. Learning Issue
1. Anatomi dan Histofisiologi Kulit
Kulit

merupakan pembungkus yang elastis yang melindungi tubuh dari

pengaruh lingkungan. Luas kulit orang dewasa 2 m

dengan berat kira-kira 16%

berat badan. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital vserta merupakan
cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangat kompleks, elastis dan
sensitive, bervariasi pada keadaan iklim, umur, jenis kelamin, ras, dan juga
bergantung pada lokasi tubuh. Kulit mempunyai berbagai fungsi seperti sebagai
perlindung, pengantar haba, penyerap, indera perasa, dan fungsi pergetahan.
9

Warna kulit berbeda-beda, dari kulit yang berwarna terang, pirang

dan hitam,

warna merah muda pada telapak kaki dan tangan bayi, serta warna hitam
kecoklatan pada genitalia orang dewasa.
Demikian pula kulit bervariasi mengenai lembut, tipis dan tebalnya; kulit
yang elastis dan longgar terdapat pada palpebra, bibir dan preputium, kulit yang
tebal dan tegang terdapat di telapak kaki dan tangan dewasa. Kulit yang tipis
terdapat pada muka, yang berambut kasar terdapat pada kepala. Rata- rata tebal
kulit 1-2 mm. Paling tebal (6 mm) terdapat di telapak tangan dan kaki dan paling
tipis (0,5 mm) terdapat di penis.
Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama yaitu
lapisan epidermis atau kutikel, lapisan dermis, dan lapisan subkutis. Tidak ada
garis tegas yang memisahkan dermis dan subkutis, subkutis ditandai dengan
adanya jaringan ikat longgar dan adanya sel dan jaringan lemak.
A. Anatomi Kulit
a. Lapisan Epidermis
Lapisan epidermis terdiri atas stratum korneum, stratum lusidum stratum
granulosum, stratum spinosum, dan stratum basale. Stratum korneum adalah
lapisan kulit yang paling luar dan terdiri atas beberapa lapisan sel-sel gepeng
yang mati, tidak berinti, dan protoplasmanya telah berubah menjadi keratin
(zat tanduk). Stratum lusidum terdapat langsung di bawah lapisan korneum,
merupakan lapisan sel-sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang
berubah menjadi protein yang disebut eleidin. Lapisan tersebut tampak lebih
jelas di telapak tangan dan kaki.
Stratum granulosum merupakan 2 atau 3 lapis sel-sel gepeng dengan
sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti di antaranya. Butir-butir kasar ini
terdiri atas keratohialin. Stratum spinosum terdiri atas beberapa lapis sel yang
berbentuk poligonal yang besarnya berbeda-beda karena adanya proses
mitosis. Protoplasmanya jernih karena banyak mengandung glikogen, dan inti
terletak ditengah-tengah. Sel-sel ini makin dekat ke permukaan makin gepeng
bentuknya. Di antara sel-sel stratum spinosun terdapat jembatan-jembatan
antar sel yang terdiri atas protoplasma dan tonofibril atau keratin. Pelekatan
antar jembatan-jembatan ini membentuk penebalan bulat kecil yang disebut
nodulus Bizzozero. Di antara sel-sel spinosum terdapat pula sel Langerhans.
Sel-sel stratum spinosum mengandung banyak glikogen.
10

Stratum germinativum terdiri atas sel-sel berbentuk kubus yang tersusun


vertical pada perbatasan dermo-epidermal berbasis seperti pagar (palisade).
Lapisan ini merupakan lapisan epidermis yang paling bawah. Sel-sel basal ini
mrngalami mitosis dan berfungsi reproduktif. Lapisan ini terdiri atas dua jenis
sel yaitu sel-sel yang berbentuk kolumnar dengan protoplasma basofilik inti
lonjong dan besar, dihubungkan satu dengan lain oleh jembatang antar sel,
dan sel pembentuk melanin atau clear cell yang merupakan sel-sel berwarna
muda, dengan sitoplasma basofilik dan inti gelap, dan mengandung butir
pigmen (melanosomes).
b. Lapisan Dermis
Lapisan yang terletak dibawah lapisan epidermis adalah lapisan dermis
yang jauh lebih tebal daripada epidermis. Lapisan ini terdiri atas lapisan
elastis dan fibrosa padat dengan elemen-elemen selular dan folikel rambut.
Secara garis besar dibagi menjadi 2 bagian yakni pars papilare yaitu bagian
yang menonjol ke epidermis, berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah,
dan pars retikulare yaitu bagian bawahnya yang menonjol kea rah subkutan,
bagian ini terdiri atas serabut-serabut penunjang misalnya serabut kolagen,
elastin dan retikulin. Dasar lapisan ini terdiri atas cairan kental asam
hialuronat dan kondroitin sulfat, di bagian ini terdapat pula fibroblast,
membentuk ikatan yang mengandung hidrksiprolin dan hidroksisilin. Kolagen
muda bersifat lentur dengan bertambah umur menjadi kurang larut sehingga
makin stabil. Retikulin mirip kolagen muda. Serabut elastin biasanya
bergelombang, berbentuk amorf dan mudah mengembang serta lebih elastis.
c. Lapisan Subkutis
Lapisan subkutis adalah kelanjutan dermis yang terdiri atas jaringan ikat
longgar berisi sel-sel lemak di dalamnya. Sel-sel lemak merupakan sel bulat,
besar, dengan inti terdesak ke pinggir sitoplasma lemak yang bertambah. Selsel ini membentuk kelompok yang dipisahkan satu dengan yang lain oleh
trabekula yang fibrosa. Lapisan sel-sel lemak disebut panikulus adipose,
berfungsi sebagai cadangan makanan. Di lapisan ini terdapat ujung-ujung
saraf tepi, pembuluh darah, dan getah bening. Tebal tipisnya jaringan lemak
tidak sama bergantung pada lokasinya. Di abdomen dapat mencapai ketebalan
3 cm, di daerah kelopak mata dan penis sangat sedikit. Lapisan lemak ini juga
merupakan bantalan.
11

Vaskularisasi di kulit diatur oleh 2 pleksus, yaitu pleksus yang terletak di


bagian atas dermis (pleksus superficial) dan yang terletak di subkutis (pleksus
profunda). Pleksus yang di dermis bagian atas mengadakan anastomosis di
papil dermis, pleksus yang di subkutis dan di pars retikulare juga mengadakan
anastomosis, di bagian ini pembuluh darah berukuran lebih besar.
Bergandengan dengan pembuluh darah teedapat saluran getah bening.
d. Adneksa Kulit
Adneksa kulit terdiri atas kelenjar-kelenjar kulit, rambut dan kuku.
Kelenjar kulit terdapat di lapisan dermis, terdiri atas kelenjar keringat dan
kelenjar palit. Ada 2 macam kelenjar keringat, yaitu kelenjar ekrin yang kecilkecil, terletak dangkal di dermis dengan sekret yang encer, dan kelenjar
apokrin yang lebih besar, terletak lebih dalam dan sekretnya lebih kental.
Kelenjar enkrin telah dibentuk sempurna pada 28 minggu kehamilan dan
berfungsi 40 minggu setelah kehamilan. Saluran kelenjar ini berbentuk spiral
dan bermuara langsung di permukaan kulit. Terdapat di seluruh permukaan
kulit dan terbanyak di telapak tangan dan kaki, dahi, dan aksila. Sekresi
bergantung pada beberapa faktor dan dipengaruhi oleh saraf kolinergik, faktor
panas, dan emosional.
Kelenjar apokrin dipengaruhi oleh saraf adrenergik, terdapat di aksila,
areola mame, pubis, labia minora, dan saluran telinga luar. Fungsi apokrin
pada manusia belum jelas, pada waktu lahir kecil, tetapi pada pubertas mulai
besar dan mengeluarkan sekret. Keringat mengandung air, elektrolit, asam
laktat, dan glukosa, biasanya pH sekitar 4-6,8.
Kelenjar palit terletak di selruh permukaan kulit manusia kecuali di
telapak tangan dan kaki. Kelenjar palit disebut juga kelenjar holokrin karena
tidak berlumen dan sekret kelenjar ini berasala dari dekomposisi sel-sel
kelenjar. Kelenjar palit biasanya terdapat di samping akar rambut dan
muaranya terdapat pada lumen akar rambut (folikel rambut). Sebum
mengandungi trigliserida, asam lemak bebas,

skualen, wax ester, dan

kolesterol. Sekresi dipengaruhi hormone androgen, pada anak-anak jumlah


kelenjar palit sedikit, pada pubertas menjadi lebih besar dan banyak serta
mulai berfungsi secara aktif.
Kuku, adalah bagian terminal stratum korneum yang menebal. Bagian
kuku yang terbenam dalam kulit jari disebut akar kuku, bagian yang terbuka
12

di atas dasar jaringan lunak kulit pada ujung jari dikenali sebagai badan kuku,
dan yang paling ujung adalah bagian kuku yang bebas. Kuku

tumbuh dari

akar kuku keluar dengan kecepatan tumbuh kira-kira 1 mm per minggu. Sisi
kuku agak mencekung membentuk alur kuku. Kulit tipis yang yang menutupi
kuku di bagian proksimal disebut eponikium sedang kulit yang ditutupki
bagian kuku bebas disebut hiponikium.
Rambut, terdiri atas bagian yang terbenam dalam kulit dan bagian yang
berada di luar kulit. Ada 2 macam tipe rambut, yaitu lanugo yang merupakan
rambut halus, tidak mrngandung pigmen dan terdapat pada sbayi, dan rambut
terminal yaitu rambut yang lebih kasar dengan banyak pigmen, mempunyai
medula, dan terdapat pada orang dewasa. Pada orang dewasa selain rambut di
kepala, juga terdapat bulu mata, rambut ketiak, rambut kemaluan, kumis, dan
janggut yang pertumbuhannya dipengaruhi hormone androgen. Rambut halus
di dahi dan badan lain disebut rambut velus. Rambut tumbuh secara siklik,
fase anagen berlangsung 2-6 tahun dengan kecepatan tumbuh kira-kira 0.35
mm per hari. Fase telogen berlangsung beberapa bulan. Di antara kedua fase
tersebut terdapat fase katagen. Komposisi rambut terdiri atas karbon 50,60%,
hydrogen 6,36%,, nitrogen 17,14%, sulfur 5% dan oksigen 20,80%.

Gambar 1. Anatomi Kulit

13

B. Fisiologi Kulit
Kulit merupakan organ paling luas permukaannya yang membungkus
seluruh bagian luar tubuh sehingga kulit sebagai pelindung tubuh terhadap
bahaya bahan kimia, cahaya matahari mengandung sinar ultraviolet dan
melindungi terhadap mikroorganisme serta menjaga keseimbangan tubuh
terhadap

lingkungan. Kulit merupakan indikator bagi seseorang untuk

memperoleh kesan umum dengan melihat perubahan yang terjadi pada kulit.
Misalnya menjadi pucat, kekuningkuningan, kemerahmerahan atau suhu
kulit meningkat, memperlihatkan adanya kelainan yang terjadi pada tubuh
gangguan kulit karena penyakit tertentu.
Gangguan psikis juga dapat menyebabkan kelainan atau perubahan pada
kulit. Misalnya karena stress, ketakutan atau dalam keadaaan marah, akan
terjadi perubahan pada kulit wajah. Perubahan struktur kulit dapat
menentukan apakah seseorang telah lanjut usia atau masih muda. Wanita atau
pria juga dapat membedakan penampilan kulit. Warna kulit juga dapat
menentukan ras atau suku bangsa misalnya kulit hitam suku bangsa negro,
kulit kuning bangsa mongol, kulit putih dari eropa dan lain-lain.
Perasaan pada kulit adalah perasaan reseptornya yang berada pada kulit.
Pada organ sensorik kulit terdapat 4 perasaan yaitu rasa raba/tekan, dingin,
panas, dan sakit. Kulit mengandung berbagai jenis ujung sensorik termasuk
ujung saraf telanjang atau tidak bermielin. Pelebaran ujung saraf sensorik
terminal dan ujung yang berselubung ditemukan pada jaringan ikat fibrosa
dalam. Saraf sensorik berakhir sekitar folikel rambut, tetapi tidak ada ujung
yang melebaratau berselubung untuk persarafan kulit.
Penyebaran kulit pada berbagai bagian tubuh berbeda-beda dan dapat
dilihat dari keempat jenis perasaan yang dapat ditimbulkan dari daerah-daerah
tersebut. Pada pemeriksaan histologi, kulit hanya mengandung saraf telanjang
yang berfungsi sebagai mekanoreseptor yang memberikan respon terhadap
rangsangan raba. Ujung saraf sekitar folikel rambut menerima rasa raba dan
gerakan rambut menimbulkan perasaan (raba taktil). Walaupun reseptor
sensorik kulit kurang menunjukkan ciri khas, tetapi secara fisiologis
fungsinya spesifik. Satu jenis rangsangan dilayani oleh ujung saraf tertentu
dan hanya satu jenis perasaan kulit yang disadari.

14

C. Fungsi Kulit
Perlindungan (proteksi)
Kulit melindungi tubuh dari segala pengaruh luar, misalnya bahan kimia,
mekanis, bakteriologis dan lingkungan sekitarnya yang senantiasa berubah-ubah.
Fungsi proteksi ini terutama dilakukan oleh stratum corneum, dalam hal ini juga
dimungkinkan karena adanya bantalan lemak, tebalnya lapisan kulit dan serabutserabut jaringan penunjang yang berperan sebagai pelindung terhadap gangguan
fisis

Sensibilitas/fungsi sensori
- Ujung-ujung reseptor serabut saraf pada kulit memungkinkan tubuh
untuk memantau secara terus menerus keadaan lingkungan disekitarnya.
Fungsi utama reseptor pada kulit adalah untuk mengindera suhu, rasa
nyeri, sentuhan yang ringan dan tekanan. Berbagai ujung saraf
-

bertanggung jawab untuk bereaksi terhadap setiap stimuli yang berbeda.


Ujung reseptor saraf berupa mekanoreseptor yaitu sel Merkel di
epidermis korpuskulus Meissners di stratum papillare, dan korpuskulus
paccinian di jaringan subkutan serta ujung serabut saraf bebas (free

nerve endings (nyeri, tekanan dan reseptor temperatur).


Korpus Meisners: reseptor yang terdapat pada kulit tidak berambut
(banyak diujung jari dan bibir) untuk mendeteksi objek yang sangat

ringan dan vibrasi dengan frekuensi rendah.


Sel Merkel terdapat didaerah dimana terdapat korpus Meisners
berfungsi untuk melokalisasi sensasi raba pada daerah permukaan tubuh

dan menentukan teksture benda yang dipegang.


- Korpus Paccini berperan penting untuk mendeteksi vibrasi
Keseimbangan air
Stratum corneum memiliki kemampuan untuk menyerap air dan dengan

demikian akan mencegah kehilangan air serta elektrolit yang berlebihan dari
bagian internal tubuh dan mempertahankan kelembaban dalam jaringan subkutan.
Bila kulit mengalami kerusakan misalnya pada luka bakar, cairan dan elektrolit
dalam jumlah yang besar dapat hilang dengan cepat.

Pengaturan suhu (thermoregulator)


Tubuh secara terus menerus akan menghasilkan panas sebagai hasil

metabolisme makanan yang memproduksi energi. Panas ini akan hilang terutama
lewat kulit.

15

Fungsi komunikasi oleh ekspresi respon otonom.


Produksi vitamin
Kulit yang terpajan sinar ultraviolet dapat mengubah substansi yang

diperlukan untuk mensintesis vitamin D (kolekalsiferol).

Fungsi respons immun


Beberapa sel dermal (sel langerhans, interleukin-1 yang memproduksi

keratinosit dan sub kelompok limfosit T) merupakan komponen penting dalam


sistem immun.

16

Sistem immun lokal

SALT (skin associated lymphatic tissue)


Struktur khusus SALT atau SIS (Skin associated immune system)
yaitu:

Antigen presenting sel (sel Langerhans, monosit, jaringan

makrofag)

Sel efektor (Sel T, sel B, NK cells, granulosit, sel mast)

Keratinosit (produksi sitokin)

MALT (mucosa associated lymphatic tissue)


Kulit beserta struktur anatominya berperan sebagai pertahanan utama

terhadap infeksi.
Sel Langerhans secara normal terdapat dikulit dan setelah diaktivasi
akan berpindah ke nodus limfe dan kontak dengan sel T (sebagai
pertahanan spesifik).
Sebagai contoh: saat mengalami dermatitis kontak akibat alergi
perhiasan yang mengandung nikel masuk ke kulit dan berikatan dengan
protein endogen kemudian difagositosis sebagai antigen oleh makrofag
kulit (sel langerhans). Selanjutnya makrofag akan bermigrasi ke kelenjar
limfe regional dan ditempat tersebut antigen akan dipresentasikan ke sel
T yang spesifik untuk antigen tersebut. Sel T ini akan berproliferasi dan
berdiferensiasi menjadi sel T pembunuh dan sel TH1) sehingga dapat
mencapai tempat pemajanan antigen dalam jumlah besar terutama
melalui darah).

Pembentukan Pigmen
Sel pembentukan pigmen (melanosit) terletak pada lapisan basal dan sel

ini berasal dari rigi saraf. Melanosit membentuk warna kulit. Enzim
melanosum dibentuk oleh alat golgi dengan bantuan tirosinase, ion Cu, dan
O

terhadap sinar matahari memengaruhi melanosum. Pigmen disebar ke

epidermis melalui tangan tangan dendrit sedangkan lapisan di bawahnya


dibawa oleh melanofag. Warna kulit tidak selamanya dipengaruhi oleh pigmen
kulit melainkan juga oleh tebal- tipisnya kulit, reduksi Hb dan karoten.

Keratinisasi
Keratinosit dimulai dari sel basal yang mengadakan pembelahan. Sel
17

basal yang lain akan berpindah ke atas dan berubah bentuk menjadi sel
spinosum. Makin ke atas sel ini semakin gepeng dan bergranula menjadi sel
granulosum. Semakin lama intinya menghilang dan keratinosit ini menjadi sel
tanduk yang amorf. Proses ini berlangsung terus menerus seumur hidup.
Keratinosit melalui proses sintasis dan degenerasi menjadi lapisan tanduk
yang berlangsung kirakira 14-21 hari dan memberikan perlindungan kulit
terhadap infeksi secara mekanis fisiologik.
2. Lepra
Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang masih merupakan
masalah nasional kesehatan masyarakat, dimana beberapa daerah di Indonesia
prevalens rate masih tinggi dan permasalahan yang ditimbulkan sangat komplek.
Masalah yang dimaksud bukan saja dari segi medis tetapi meluas sampai masalah
sosial ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan sosial.
Pada umumnya penyakit kusta terdapat di negara yang sedang berkembang, dan
sebagian besar penderitanya adalah dari golongan ekonomi lemah. Hal ini sebagai
akibat keterbatasan kemampuan negara tersebut dalam memberikan pelayanan yang
memadai di bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial ekonomi pada
masyarakat. Kusta merupakan penyakit menahun yang menyerang syaraf tepi, kulit
dan organ tubuh manusia yang dalam jangka panjang mengakibatkan sebagian
anggota tubuh penderita tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Meskipun
infeksius, tetapi derajat infektivitasnya rendah. Kelompok yang berisiko tinggi terkena
kusta adalah yang tinggal di daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti
tempat tidur yang tidak memadai, air yang tidak bersih, asupan gizi yang buruk, dan
adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV yang dapat menekan sistem imun. Pria
memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih tinggi dari wanita.
A. Definisi
Penyakit kusta merupakan penyakit infeksi kronis yang disebabkan
Mycobacterium leprae (M.leprae) yang pertama menyerang syaraf tepi
selanjutnya menyerang kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas
kemudian ke jaringan lainnya kecuali susunan syaraf pusat. Penyakit kusta
dikenal juga dengan nama Morbus Hansen atau lepra. Istilah kusta berasal dari

18

bahasa sansekerta, yakni kushtha yang berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara
umum.
Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium leprae yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi,
selanjutnya menyerang kulit, mukosa (mulut) saluran pernafasan bagian atas,
sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis. Penyakit kusta adalah
salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks.
Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis, tetapi meluas sampai
masalah sosial, ekonomi, dan psikologis.
B. Etiologi
Penyebab kusta adalah M. leprae, yang ditemukan pada tahun 1873 oleh
G.Amauer Hansen di Norwegia. Kuman bersifat tahan asam, berbentuk batang
dengan ukuran 1-8 m, lebar 0,3 m dan bersifat obligat intraselluler. Basil ini
menyerupai kuman berbentuk batang yang gram positif, tidak bergerak dan tidak
berspora. Kuman kusta tumbuh lambat, untuk membelah diri membutuhkan
waktu 12-13 hari dan mencapai fase plateau dari pertumbuhan pada hari ke 2040. Tumbuh pada tempratur 27-30oC (81-86oF). Dengan pewarnaan Ziehl-Nielsen
basil yang hidup dapat berbentuk batang yang utuh, berwarna merah terang,
dengan ujung bulat (solid), sedang basil yang mati bentuknya terpecah-pecah
(fragmented) atau granular. Basil ini hidup dalam sel terutama jaringan yang
bersuhu rendah dan tidak dapat dikultur dalam media buatan (in vitro).
C. Epidemiologi
Sumber infeksi kusta adalah penderita dengan banyak basil yaitu tipe
multibasiler (MB). Cara penularan belum diketahui dengan pasti, hanya
berdasarkan anggapan yang klasik ialah melalui kontak langsung antar kulit yang
lama dan erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab M. leprae masih dapat
hidup beberapa hari dalam droplet. Masa tunas kusta bervariasi, 40 hari sampai
40 tahun. Kusta menyerang semua umur dari anak-anak sampai dewasa. Faktor
sosial ekonomi memegang peranan, makin rendah sosial ekonomi makin subur
penyakit kusta, sebaliknya sosial ekonomi tinggi membantu penyembuhan.
Sehubungan dengan iklim, kusta tersebar di daerah tropis dan sub tropis yang

19

panas dan lembab, terutama di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Jumlah kasus
terbanyak terdapat di India, Brazil, Bangladesh, dan Indonesia.
Di Indonesia, penderita kusta terdapat hampir pada seluruh propinsi dengan
pola penyebaran yang tidak merata. Meskipun pada pertengahan tahun 2000
Indonesia secara nasional sudah mencapai eliminasi kusta namun pada tahun
tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 terjadi peningkatan penderita kusta baru.
Pada tahun 2006 jumlah penderita kusta baru di Indonesia sebanyak 17.921
orang. Propinsi terbanyak melaporkan penderita kusta baru adalah Maluku,
Papua, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan dengan prevalensi lebih besar dari
20 per 100.000 penduduk. Pada tahun 2010, tercatat 17.012 kasus baru kusta di
Indonesia dengan angka prevalensi 7,22 per 100.000 penduduk sedangkan pada
tahun 2011, tercatat 19.371 kasus baru kusta di Indonesia dengan angka
prevalensi 8,03 per 100.000 penduduk.
D. Faktor-faktor yang Menentukan Terjadinya Penyakit Kusta
a) Sumber Penularan
Hanya manusia satu-satunya sampai saat ini yang dianggap sebagai
sumber penularan walaupun kuman kusta dapat hidup pada armadillo,
simpanse, dan pada telapak kaki tikus yang tidak mempunyai kelenjar
thymus.
b) Cara Keluar dari Pejamu (Host)
Mukosa hidung telah lama dikenal sebagai sumber dari kuman.
Suatu kerokan hidung dari penderita tipe Lepromatous yang tidak diobati
menunjukkan jumlah kuman sebesar 10-10. Dan telah terbukti bahwa
saluran napas bagian atas dari penderita tipe Lepromatous merupakan
sumber kuman yang terpenting dalam lingkungan.
c) Cara Penularan
Kuman kusta mempunyai masa inkubasi selama 2-5 tahun, akan tetapi
dapat juga bertahun-tahun. Penularan terjadi apabila M. leprae yang utuh
(hidup) keluar dari tubuh penderita dan masuk ke dalam tubuh orang lain.
Belum diketahui secara pasti bagaimana cara penularan penyakit kusta.
Secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang lama
dengan penderita. Penderita yang sudah minum obat sesuai dengan
regimen WHO tidak menjadi sumber penularan bagi orang lain.
d) Cara Masuk ke Pejamu
20

Tempat masuk kuman kusta ke dalam tubuh pejamu sampai saat ini
belum dapat dipastikan. Diperirakan cara masuknya adalah melalui saluran
pernapasan bagian atas dan melalui kontak kulit yang tidak utuh.
e) Pejamu
Hanya sedikit orang yang akan terjangkit kusta setelah kontak dengan
penderita, hal

ini

disebabkan

karena

adanya

imunitas.

M.

leprae

termasuk kuman obligat intraseluler dan sistem kekebalan yang efektif


adalah sistem kekebalan seluler. Faktor fisiologik seperti pubertas,
menopause,

kehamilan,

serta

faktor

infeksi

dan

malnutrisi dapat

meningkatkan perubahan klinis penyakit kusta. Dari studi keluarga


kembar didapatkan bahwa faktor genetik mempengaruhi tipe penyakit yang
berkembang setelah infeksi. Sebagian besar (95%) manusia kebal terhadap
kusta, hampir sebagian kecil (5%) dapat ditulari. Dari 5% yang tertular
tersebut, sekitar 70% dapat sembuh sendiri dan hanya 30% yang dapat
menjadi sakit.
E. Klasifikasi
Menurut kepentingannya, penyakit kusta mempunyai beberapa jenis
klasifikasi yang telah umum digunakan yaitu:
1 Klasifikasi International: Klasifikasi Madrid (1953)
Indeterminate (I)
Tuberkuloid (T)
Borderline Dimorphous (B)
Lepromatosa (L)
2 Klasifikasi untuk kepentingan riset:
Klasifikasi Ridley-Jopling (1962).
Tuberkuloid (TT)
Boderline tuberculoid (BT)
Mid-borderline (BB)
Borderline lepromatous (BL)
Lepromatosa (LL)

21

3 Klasifikasi untuk kepentingan program kusta:


Klasifikasi WHO (1982) dan modifikasi WHO (1997).

Dasar dari

klasifikasi ini adalah negatif dan positifnya basil tahan asam dalam skin
smear.
Pausibasilar (PB)
Hanya kusta tipe I, TT dan sebagian besar BT dengan basil tahan asam
(BTA) negatif menurut kriteria Ridley dan Jopling atau tipe I dan T
menurut klasifikasi Madrid.
Multibasilar (MB)
Termasuk kusta tipe LL, BL, BB dan sebagian BT menurut kriteria Ridley
dan Jopling atau B dan L menurut Madrid dan semua tipe kusta dengan
BTA positif.
F. Patogenesis
Mycobacterium leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah
karena penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan
gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara
derajat infeksi dengan derajat penyakit disebabkan oleh respon imun yang
berbeda, yang menggugah reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang
dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit lepra dapat disebut
sebagai penyebab imunologik. Kelompok umur terbanyak terkena lepra adalah
usia 25-35 tahun.
Onset lepra adalah membahayakan yang dapat mempengaruhi saraf, kulit dan
mata. Hal ini juga dapat mempengaruhi mukosa (mulut, hidung dan faring), testis,
ginjal, otot-otot halus, sistem retikuloendotel dan endotelium pembuluh darah.
Basil masuk kedalam tubuh biasanya melalui sistem pernafasan, memiliki
patogenisitas rendah dan hanya sebagian kecil orang yang terinfeksi
menimbulkan tanda-tanda penyakit. Masa inkubasi M. Leprae biasanya 3-5 tahun.
Setelah memasuki tubuh basil bermigrasi kearah jaringan saraf dan masuk
kedalam sel Schwann. Bakteri juga dapat ditemukan dalam makrofag, sel-sel otot
dan sel-sel endotelpembuluh darah.
Setelah memasuki sel Schwann atau makrofag, keadaan bakteri tergantung
pada perlawanan dari individu yang terinfeksi. Basil mulai berkembangbiak
perlahan (sekitar 12-14 hari untuk satu bakteri membagi menjadi dua) dalam sel,
22

dapat dibebaskan dari sel-sel hancur dan memasuki sel terpengaruh lainnya. Basil
berkembang biak, peningkatan beban bakteri dalam tubuh dan infeksi diakui oleh
sistem imunologi serta limfosit dan histiosit (makrofag) menyerang jaringan
terinfeksi. Pada tahap ini manifestasi klinis mungkin muncul sebagai keterlibatan
saraf disertai dengan penurunan sensasi dan atau skin patch. Apabila tidak
didiagnosis dan diobati pada tahap awal, keadaan lebih lanjut akan ditentukan
oleh kekuatan respon imun pasien.
Sitem Imun Seluler (SIS) memberikan perlindungan terhadap penderita lepra.
Ketika SIS spesifik efektif dalam mengontrol infeksi dalam tubuh, lesi akan
menghilang secara spontan atau menimbulkan lepra dengan tipe Pausibasilar
(PB). Apabila SIS rendah, infeksi menyebar tidak terkendali dan menimbulkan
lepra dengan tipe Multibasilar (MB). Kadang-kadang respon imun tiba-tiba
berubah baik setelah pengobatan atau karena status imunologi yang menghasilkan
peradangan kulit dan atau saraf dan jaringan lain yang disebut reaksi lepra (tipe 1
dan 2).
G. Diagnosis
Keakuratan mendiagnosis penyakit kusta merupakan suatu dasar yang sangat
penting yang berkaitan dengan epidemiologi kusta, pengobatan dan pencegahan
kecacatan pada pasien kusta. Diagnosis yang tidak adekuat (under-diagnosis)
akan menyebabkan penularan kuman kusta berlanjut serta penyakit kusta pada
pasien kusta bertambah parah sedangkan jika diagnosis yang dilakukan terlalu
berlebihan (overdiagnosis) akan mengakibatkan pemberian pengobatan menjadi
tidak tepat contohnya pemberian antibiotika yang terlalu banyak. Keadaan ini
dapat menyebabkaan pengumpulan data statistik dari epidemiologi pasien kusta
menjadi tidak akurat. Diagnosis pasien kusta berdasarkan tiga penemuan tanda
kardinal (tanda utama) yaitu:
1 Bercak kulit yang mati rasa
Bercak hipopigmentasi atau erimatosa, mendatar (makula) atau meninggi
(plak). Mati rasa (anaesthesia) pada bercak bersifat total atau sebagian saja
terhadap rasa raba, rasa suhu dan rasa nyeri.

23

2 Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf


Biasanya akibat dari peradangan kronis pada saraf tepi (neuritis perifer).
Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai atau tanpa gangguan fungsi
saraf yang terkena, yaitu:
a Gangguan fungsi sensoris: mati rasa
b Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis
c Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema dan pertumbuhan
rambut yang terganggu
3 Ditemukan BTA
Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telingadan lesi kulit pada
bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi kulit atau
syaraf.
Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan
satu tanda cardinal.
Untuk menegakkan diagnosis kusta, diperlukan paling sedikit satu tanda
utama. Tanpa tanda utama, seseorang hanya boleh ditetapkan sebagai tersangka
(suspek) kusta. Pemeriksaan apusan kulit (skin smear) beberapa tahun terakhir
tidak diwajibkan dalam program nasional untuk penegakan diagnosis kusta.
Tetapi saat ini program nasional mengambil kebijakan untuk mengaktifkan
kembali pemeriksaan skin smear. Pemeriksaan skin smear banyak berguna untuk
mempercepat penegakan diagnosis karena sekitar 7-10% penderita yang datang
dengan lesi PB yang meragukan merupakan kasus MB yang dini. Bila
pemeriksaan bakteriologis tersebut juga tidak ditemukan BTA, maka tersangka
perlu diamati dan diperiksa ulang 3-6 bulan kemudian atau dirujuk ke dokter
spesialis kulit hingga diagnosa dapat ditegakan atau disingkirkan.

24

H. Gambaran Klinis
Tabel 1. Perbedaan tipe PB dan MB menurut klasifikasi WHO

1. Lesi kulit (makula yan

PB
- 1-5 lesi

g datar, papul yang meninggi, infiltrat, - hipopigmentasi/


plak eritem, nodus)

eritema

MB
- >5 lesi
- distribusi lebih
simetris

distribusi tidak
simetris
2 Kerusakan pada saraf (menyebabkan - hilangnya sensasi
hilangnya sensasi/kelemahan otot yang
dipersyarafi oleh syaraf yang terkena)

yang
jelas
hanya satu cabang

- hilangnya sensasi
kurang
- jelas banyak cabang
syaraf

syaraf
Untuk para petugas kesehatan di lapangan, bentuk klinis penyakit kusta
cukup dibedakan atas dua jenis yaitu:
1. Kusta bentuk kering (tipe tuberkuloid)
Merupakan bentuk yang tidak menular.Kelainan kulit berupa bercak
keputihan sebesar uang logam atau lebih, jumlahnya biasanya hanya
beberapa, sering di pipi, punggung, pantat, paha atau lengan. Bercak tampak
kering, perasaan kulit hilang sama sekali, kadang-kadang tepinya meninggi.
Pada tipe ini lebih sering didapatkan kelainan urat saraf tepi pada, sering
gejala kulit tak begitu menonjol tetapi gangguan saraf lebih jelas.
Komplikasi saraf serta kecacatan relatif lebih sering terjadi dan timbul
lebih awal dari pada bentuk basah. Pemeriksaan bakteriologis sering kali
negatif, berarti tidak ditemukan adanya kuman penyebab. Bentuk ini
merupakan yang paling banyak didapatkan di indonesia dan terjadi pada
orang yang daya tahan tubuhnya terhadap kuman kusta cukup tinggi.
2. Kusta bentuk basah (tipe lepromatosa)
Merupakan bentuk menular karena banyak kuman dapat ditemukan baik
di selaput lendir hidung, kulit maupun organ tubuh lain. Jumlahnya lebih
sedikit dibandingkan kusta bentuk kering dan terjadi pada orang yang daya
tahan tubuhnya rendah dalam menghadapi kuman kusta. Kelainan kulit bisa
berupa bercak kamarahan, bisa kecil-kecil dan tersebar diseluruh badan
ataupun sebagai penebalan kulit yang luas (infiltrat) yang tampak mengkilap
25

dan berminyak. Bila juga sebagai benjolan-benjolan merah sebesar biji


jagung yang sebesar di badan, muka dan daun telinga. Sering disertai
rontoknya alis mata, menebalnya cuping telinga dan kadang-kadang terjadi
hidung pelana karena rusaknya tulang rawan hidung. Kecacatan pada bentuk
ini umumnya terjadi pada fase lanjut dari perjalanan penyakit. Pada bentuk
yang parah bisa terjadi muka singa (facies leonina).
Diantara kedua bentuk klinis ini, didapatkan bentuk pertengahan atau
perbatasan (tipe borderline) yang gejala-gejalanya merupakan peralihan antara
keduanya. Bentuk ini dalam pengobatannya dimasukkan jenis kusta basah.
I. Pemeriksaan Penunjang
1

Pemeriksaan Bakterioskopis
Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit
atau usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan BTA
ZIEHL NEELSON. Pertama tama harus ditentukan lesi di kulit yang
diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan
jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan
untuk rutin sebaiknya minimal 4 6 tempat yaitu kedua cuping telinga
bagian bawah dan 2-4 lesi lain yang paling aktif berarti yang paling
eritematosa
dan
paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa
mengiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut oleh karena
pengalaman, pada cuping telinga didapati banyak M.leprae.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah
sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+
menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
1 + 1 10 BTA dalam 100 LP
2+ 1 10 BTA dalam 10 LP
3+ 1 10 BTA rata rata dalam 1 LP
4+ 11 100 BTA rata rata dalam 1 LP
5+ 101 1000BTA rata rata dalam 1 LP
6+ > 1000 BTA rata rata dalam 1 LP
Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA,
I.B 1+ tidak perlu dibuat IM karena untuk mendapatkan 100 BTA harus
mencari dalam 1.000 sampai 10.000lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus
dicari 100 lapangan.
2 Pemeriksaan Histopatologis
Pemeriksaan histopatologi, gambaran histopatolog tipe tuberkoloid
adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau
hanya sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi
subepidermal (subepidermal clear zone) yaitu suatu daerah langsung di
bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel
26

virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsurunsur tersebut. Sel virchow adalah histiosit yang dijadikan M.leprae sebagai
tempat berkembangbiak dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.
3 Pemeriksaan Serologis
Kegagalan pembiakan dan isolasi kuman mengakibatkan diagnosis
serologis merupakan alternatif yang paling diharapkan. Pemeriksaan
serologik, didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang
terinfeksi oleh M.leprae. Pemeriksaan serologik adalah MLPA
(Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA dan ML
dipstick.
4 Pemeriksaan Lepromin
Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan
prognosis lepra tapi tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk
menunjukkan sistem imun penderita terhadap M.leprae. 0,1 ml
lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan
intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari (reaksi Fernandez) atau
3 4 minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat
indurasi dan eritemayang menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap
M. Leprae yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test (PPD)
pada tuberkolosis.
Reaksi Mitsuda bernilai :
0 Papul berdiameter 3 mm atau kurang
+1 Papul berdiameter 4 6 mm
+2 Papul berdiameter 7 10 mm
+3 Papul berdiameter lebih dari 10 mm atau papul dengan
ulserasi
J. Imunologi
Respon imun terhadap kuman M.leprae terjadi pada dua kutub, dimana pada
satu sisi akan terlihat aktifitas Th-1 yang menghasilkan imunitas seluler dan sisi
yang lain terlihat aktifitas Th-2 yang menghasilkan imunitas humoral.
M. leprae merupakan bakteri obligat intraseluler, maka respon imun yang
berperan penting dalam ketahanan tubuh terhadap infeksi adalah respon imun
seluler. Respon imun seluler merupakan hasil dari aktivasi makrofag dengan
meningkatkan kemampuannya dalam menekan multiplikasi atau menghancurkan
bakteri.
Respon imun humoral terhadap M. leprae merupakan aktivitas sel limfosit B
yang berada dalam jaringan limfosit dan aliran darah. Rangsangan dari komponen
antigen basil tersebut akan mengubah sel limfosit B menjadi sel plasma yang
akan menghasilkan antibodi yang akan membantu proses opsonisasi. Namun pada
penyakit kusta, fungsi respon imun humoral ini tidak efektif, bahkan dapat

27

menyebabkan timbulnya beberapa reaksi kusta karena diproduksi secara


berlebihan yang tampak pada kusta lepromatosa.
Pada kusta tipe tuberkuloid, ditandai dengan cell-mediated immunity yang
tinggi dengan tipe respon imunitas seluler yaitu Th-1. Kusta tipe tuberkuloid
menghasilkan IFN-, IL-2, lymphotoxin- pada lesi dan selanjutnya akan
menimbulkan aktivitas fagositik. Makrofag yang mempengaruhi sitokin terutama
TNF bersama dengan limfosit akan membentuk granuloma. Sel CD4 + ( T helper
cell) dominan ditemukan terutama di dalam granuloma dan sel CD8 + (cytotoxic T
cell) dijumpai di daerah sekitarnya. Sel T pada granuloma tuberkuloid
menghasilkan protein antimikroba yaitu granulysin.21
Pada kusta tipe lepromatous, ditandai dengan cell-mediated immunity yang
rendah dengan tipe respon imunitas humoral yaitu Th-2. Kusta tipe lepromatous
mempunyai karakteristik pembentukan granuloma yang sedikit. mRNA
memproduksi terutama sitokin IL-4, IL-5 dan IL-10. IL-4 menyebabkan
penurunan peranan TLR2 pada monosit sedangkan IL-10 akan menekan produksi
dari IL-12. Dijumpai sel CD4+ berkurang, sel CD8+ yang banyak dan dijumpai
foamy makrofag.
Spektrum imunologi kusta tipe tuberkuloid dan lepromatous tetap berada
pada kedua kutub masing-masing, namun pada kusta tipe borderline (BT, BB,
BL) spektrum imunologi kusta bersifat dinamik (unstable) yang bergerak diantara
ke dua kutub.
Gambar 1. Karakteristik klinis dan spektrum imunologi kusta

28

K. Reaksi Kusta
Reaksi kusta adalah suatu episode akut di dalam perjalanan klinik penyakit
kusta yang ditandai dengan terjadinya reaksi radang akut (neuritis) yang
kadangkadang disertai dengan gejala sistemik. Reaksi kusta dapat merugikan
pasien kusta, oleh karena dapat menyebabkan kerusakan syaraf tepi terutama
gangguan fungsi sensorik (anestesi) sehingga dapat menimbulkan kecacatan pada
pasien kusta. Reaksi kusta dapat terjadi sebelum mendapat pengobatan, pada saat
pengobatan, maupun sesudah pengobatan, namun reakis kusta paling sering
terjadi pada 6 bulan sampai satu tahun sesudah dimulainya pengobatan.
Reaksi kusta dapat dibagi atas dua kelompok yaitu:
1

Reaksi kusta tipe 1 (Reaksi Reversal= RR)


Reaksi imunologik yang sesuai adalah reaksi hipersensitivitas tipe IV

dari Coomb & Gel (Delayed Type Hypersensitivity Reaction). Reaksi kusta
tipe 1 terutama terjadi pada kusta tipe borderline (BT, BB, BL) dan biasanya
terjadi dalam 6 bulan pertama ataupun sedang mendapat pengobatan. Pada
reaksi ini terjadi peningkatan respon kekebalan seluler secara cepat terhadap
kuman kusta dikulit dan syaraf pada pasien kusta. Hal ini berkaitan dengan
terurainya M.leprae yang mati akibat pengobatan yang diberikan.
Antigen yang berasal dari basil yang telah mati akan bereaksi dengan
limfosit T disertai perubahan imunitas selular yang cepat. Dasar reaksi kusta
tipe 1 adalah adanya perubahan keseimbangan antara imunitas selular dan
basil.

Diduga

kerusakan

jaringan

terjadi

akibat

langsung

reaksi

hipersensitivitas seluler terhadap antigen basil.24 Pada saat terjadi reaksi,


beberapa penelitian juga menunjukkan adanya peningkatan ekspresi sitokin
pro-inflamasi seperti TNF-, IL-1b, IL-6, IFN- dan IL12 dan sitokin
immunoregulatory seperti TGF- dan IL-10 selama terjadi aktivasi dari
makrofag. Aktivasi CD4+ limfosit (Th-1) menyebabkan produksi IL-2 dan
IFN- meningkat sehingga dapat terjadi lymphocytic infiltration pada kulit
dan syaraf. IFN dan TNF- bertanggung jawab terhadap terjadinya edema,
inflamasi yang menimbulkan rasa sakit dan kerusakan jaringan yang cepat.

29

Tabel 2. Gambaran reaksi kusta tipe 1

Organ yang diserang


Kulit

Reaksi ringan
Lesi kulit yang telah ada menjadi

Reaksi berat
Lesi yang telah ada menjadi eritematosa

lebih eritematosa

Timbul lesi baru yang kadangkadang

disertai panas dan malaise


Membesar, tidak ada nyeri tekan Membesar, nyeri tekan dan gangguan

Syaraf tepi

syaraf dan gangguan fungsi

fungsi.

Berlangsung kurang dari 6 minggu


Berlangsung lebih dari 6 minggu
Lesi yang telah ada akan menjadi Lesi kulit yang eritematosa disertai

Kulit dan syaraf

lebih eritematosa, nyeri pada syaraf

ulserasi atau edema pada tangan/kaki

Berlangsung kurang

Syaraf membesar, nyeri dan fungsinya

6 minggu

dari

terganggu
Berlangsung lebih dari 6 minggu

Reaksi tipe 2 (Reaksi Eritema Nodosum Leprosum=ENL)


Reaksi kusta tipe 2 terutama terjadi pada kusta tipe lepromatous (BL,

LL). Diperkirakan 50% pasien kusta tipe LL Dan 25% pasien kusta tipe BL
mengalami episode ENL.
Umumnya terjadi pada 1-2 tahun setelah pengobatan tetapi dapat juga
timbul pada pasien kusta yang belum mendapat pengobatan Multi Drug
Therapy (MDT). ENL diduga merupakan manifestasi pengendapan kompleks
antigen antibodi pada pembuluh darah. Termasuk reaksi hipersensitivitas tipe
III menurut Coomb & Gel.
Pada pengobatan, banyak basil kusta yang mati dan hancur, sehingga
banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi IgG, IgM dan
komplemen C3 membentuk kompleks imun yang terus beredar dalam
sirkulasi darah dan akhirnya akan di endapkan dalam berbagai organ
sehingga mengaktifkan sistem komplemen Berbagai macam enzim dan bahan
toksik yang menimbulkan destruksi jaringan akan dilepaskan oleh netrofil
akibat dari aktivasi komplemen.
Pada ENL, dijumpai peningkatan ekspresi sitokin IL-4, IL-5, IL 13 dan
IL-10 (respon tipeTh-2) serta peningkatan, IFN- danTNF-. IL-4, IL-5,
IFN-,TNF- bertanggung jawab terhadap kenaikan suhu dan kerusakan
jaringan selama terjadi reaksi ENL. Reaksi ENL cenderung berlangsung

30

kronis dan rekuren. Kronisitas dan rekurensi ENL menyebabkan pasien kusta
akan tergantung kepada pemberian steroid jangka panjang.
Gambar 2. Spektrum reaksi kusta RR dan ENL

Keterangan gambar:
Gambaran tipe reaksi yang terjadi dan hubungannya dengan tipe imunitas dalam spektrum
imunitas pasien kusta menurut Ridkey-Jopling
Reaksi tipe 1 diperantarai oleh mekanisme imunitas seluler
Reaksi tipe 2 diperantarai oleh mekanisme imunitas humoral

31

Skema 1. Tipe kusta dan reaksi kusta

32

L. Keterlibatan Syaraf pada Kusta


1.

Gambar 3. Syaraf tepi

Kerusakan syaraf tepi


Syaraf tepi yang terserang akan menunjukkan berbagai kelainan yaitu:

N.fasialis: lagoftalmos, mulut mencong

N.trigeminus: anestesi kornea

N.aurikularis magnus

N.radialis: tangan lunglai (drop wrist)

N.ulnaris: anestesi dan paresis/paralisis otot tangan jari V dan


sebagian jari IV

N.medianus: anestesi dan paresis/paralisis otot tangan jari I, II, III,


dan sebagian jari IV. Kerusakan N.ulnaris dan N.medianus
menyebabkan jari kiting (clow toes) dan tangan cakar (claw hand)

N.peroneus komunis: kaki semper (drop foot)

N.tibialis posterior: mati rasa telapak kaki dan jari kiting (claw toes)

Tingkat kerusakan syaraf


Sebagian besar masalah kecacatan pada kusta ini terjadi akibat penyakit kusta
yang menyerang syaraf perifer. Menurut Srinivasan, syaraf perifer yang
terkena akan mengalami beberapa tingkat kerusakan yaitu:

33

Stage of involvement
Pada tingkat ini syaraf menjadi lebih tebal dari normal (penebalan
syaraf) dan mungkin disertai nyeri tekan dan nyeri spontan pada syaraf
perifer tersebut, tetapi belum disertai gangguan fungsi syaraf, misalnya
anestesi atau kelemahan otot.

Stage of damage
Pada stadium ini syaraf telah rusak dan fungsi syaraf tersebut telah
terganggu. Kerusakan fungsi syaraf, misalnya kehilangan fungsi syaraf
otonom, sensoris dan kelemahan otot menunjukkan bahwa syaraf telah
mengalami kerusakan (damage) atau telah mengalami paralisis.
Diagnosis stage of damage ditegakkan, bila syaraf telah mengalami
paralisis yang tidak lengkap atau syaraf batang tubuh telah mengalami
paralisis lengkap tidak lebih dari 6-9 bulan. Penting sekali untuk
mengenali tingkat damage ini karena dengan pengobatan pada tingkat ini
kerusakan syaraf yang permanen dapat dihindari.

Stage of destruction
Pada tingkat ini syaraf telah rusak secara lengkap. Diagnosis stage
of destruction ditegakkan, bila kerusakan atau paralisis syaraf secara
lengkap lebih dari satu tahun. Pada tingkat ini walaupun dengan
pengobatan, fungsi syaraf ini tidak dapat diperbaiki.
M. Konsep Pencegahan Penyakit Kusta
a) Pencegahan primer
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan :
a. Penyuluhan kesehatan
Pencegahan primer dilakukan pada kelompok orang sehat yang
belum terkena penyakit kusta dan memiliki resiko tertular karena berada
disekitar atau dekat dengan penderita seperti keluarga penderita dan
tetangga penderita, yaitu dengan memberikan penyuluhan tentang kusta.
Penyuluhan yang diberikan petugas kesehatan tentang penyakit kusta
adalah proses peningkatan pengetahuan, kemauan dan kemampuan
masyarakat yang belum menderita sakit sehingga dapat memelihara,
meningkatkan dan melindungi kesehatannya dari penyakit kusta. Sasaran
penyuluhan penyakit kusta adalah keluarga penderita, tetangga penderita
34

dan masyarakat (Depkes RI, 2006)


b. Pemberian imunisasi
Sampai saat ini belum

ditemukan upaya pencegahan primer

penyakit kusta seperti pemberian imunisasi (Saisohar,1994). Dari hasil


penelitian di Malawi tahun 1996 didapatkan bahwa pemberian vaksinasi
BCG satu kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebesar
50%, sedangkan pemberian dua kali dapat memberikan perlindungan
terhadap kusta sebanyak 80%, namun demikian penemuan ini belum
menjadi kebijakan program di Indonesia karena penelitian beberapa
negara memberikan hasil berbeda pemberian vaksinasi BCG tersebut
(Depkes RI, 2006).
b) Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan :
a. Pengobatan pada penderita kusta
Pengobatan pada penderita kusta untuk memutuskan mata rantai
penularan, menyembuhkan penyakit penderita, mencegah terjadinya
cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum
pengobatan. Pemberian Multi drug therapy pada penderita kusta
terutama pada tipe Multibaciler karena tipe tersebut merupakan sumber
kuman menularkan kepada orang lain (Depkes RI, 2006).
c) Pencegahan tertier
a. Pencegahan cacat kusta
Pencegahan tersier dilakukan untuk pencegahan cacat kusta pada
penderita. Upaya pencegahan cacat terdiri atas (Depkes RI, 2006) :
-

Upaya pencegahan cacat primer meliputi penemuan dini


penderita sebelum cacat, pengobatan secara teratur dan penangan

reaksi untuk mencegah terjadinya kerusakan fungsi saraf.


Upaya pencegahan cacat sekunder meliputi perawatan diri sendiri
untuk mencegah luka dan perawatan mata, tangan, atau kaki yang
sudah mengalami gangguan fungsi saraf.

b. Rehabilitasi kusta
Rehabilitasi merupakan proses pemulihan untuk memperoleh fungsi
penyesuaian diri secara maksimal atas usaha untuk mempersiapkan
penderita cacat secara fisik, mental, sosial dan kekaryaan untuk suatu
35

kehidupan yang penuh sesuai dengan kemampuan yang ada padanya.


Tujuan rehabilitasi adalah penyandang cacat secara umum dapat
dikondisikan sehingga memperoleh kesetaraan, kesempatan dan integrasi
sosial dalam masyarakat yang akhirnya mempunyai kualitas hidup yang
lebih baik (Depkes RI, 2006). Rehabilitasi terhadap penderita kusta
meliputi :
-

Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk

mencegah terjadinya kontraktur.


Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami

kelumpuhan agar tidak mendapat tekanan yang berlebihan.


Bedah plastik untuk mengurangi perluasan infeksi.
Terapi okupsi (kegiatan hidup sehari-hari) dilakukan bila gerakan

normal terbatas pada tangan.


Konseling dilakukan untuk mengurangi depresi pada penderita
cacat.

N. Konsep Terapi
1

Terapi Medik
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien

kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai


penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain
untuk menurunkan insiden penyakit. Program Multi Drug Therapy (MDT)
dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981.
Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin
meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat,
dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995
sebagai berikut:
a) Tipe PB ( PAUSE BASILER)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :
Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas DDS tablet 100
mg/hari diminum di rumah. Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9
bulan dan setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT (Release From
Treatment) meskipun secara klinis lesinya masih aktif. Menurut

36

WHO(1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah


Completion Of Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.
b) Tipe MB ( MULTI BASILER)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas. Klofazimin
300mg/bln diminum didepan petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50
mg /hari diminum di rumah. DDS 100 mg/hari diminum dirumah,
Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan
sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis
lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO
(1998) pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan
dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.
c) Dosis untuk anak
Klofazimin: Umur, dibawah 10 tahun: /blnHarian 50mg/2kali/minggu,
Umur

11-14

tahun,

Bulanan

100mg/bln,

Harian

50mg/3kali/minggu,DDS:1-2mg /Kg BB,Rifampisin:10-15mg/Kg BB


d) Pengobatan MDT terbaru
Metode

ROM

adalah

pengobatan

MDT

terbaru.

Menurut

WHO(1998), pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan


dosis tunggal rifampisin 600 mg, ofloksasim 400mg dan minosiklin 100
mg dan pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB
dengan 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB
diberikan sebagai obat alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24
dosis dalam 24 jam.
e) Putus obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis
dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe
MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang
seharusnya.
3. Obat Lepra
Obat antikusta yang paling banyak dipakai adalah DDS (diaminodifenil sulfon),
clofaimin, dan rifampisin. Untuk pengobatan alternative yaitu ofloksasin, minosiklin,
dan klaritromisin.
37

A. DDS
Digunakan sebagai monoterapi sampai tahun 1964 karena ditemukannya
resistensi. Pada kusta, pengertian relaps ada 2 kemungkinan, relaps sensitive dan
relaps

resisten.

Relaps

sensitive

apabila

pasien

telah

menyelesaikan

pengobatannya, tetapi timbul lesi baru dengan histopatologik dan serologic yang
positif. Tetapi pengobatan DDS masih sensitive. Sedangkan pada relaps resisten
pasien telah menyelesaikan pengobatannya, setelah itu relaps, dan tidak bisa
diobati dengan obat yang sama. Cara pembuktiannya dengan memberikan DDS
100 mg sehari selama 3-6 bulan sambal diamati perkembangan histopatologik dan
bakterioskopik.
Resisten primer DDS dapat terjadi apabila orang ditulari oleh M. leprae yang
sudah resisten. Resisten sekunder dapat terjadi karena monoterapi DDS, dosis
yang tidak adekuat, minum obat tidak teratur dan pengobatan yang terlalu lama.
Efek samping DDS antara lain nyeri kepala, erupsi obat, anemia hemolitik,
leukopenia, insomnia, neuropati perifer, sindrom DDS, nekrolisis epidermal
toksis, hepatitis, dan hypoalbuminemia.
B. Rifampisin
Rifampisin menjadi salah satu kombinasi DDS dengan dosis 10 mg/kgBB,
diberikan setiap hari atau setiap bulan. Rifampisin tidak boleh diberikan secara
monoterapi karena memperbesat terjadinya resistensi. Efek sampingnya
hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-like syndrome, dan erupsi
kulit
C. Klofazimin (lampren)
Dosisnya ialah 50 mg setiap hari, atau 100 mg selang sehari, atau 3 x 100mg
setiap

minggu.

Bersifat

antiinflamasi

sehingga

dapat

dipakai

pada

penanggulangan ENL dengan dosis lebih yaitu 200-300 mg/hari namunawitan


kerja timbul setelah 2-3 minggu. Efek sampingnya ialah warna merah
kecokelatan pada kulit dan warna kekuningan pada sklera, nyeri abdomen,
nausea, anoreksia, dan vomitus. Dapat juga terjadi penurunan berat badan
D. Protionamid
Dosis diberikan 5-10 mg/kgBB setiap hari.

38

E. Obat alternatif
Ofloksasin
Termasuk turunan flurokuinolon yang aktif membunuh basil lepra. Dosis
optimal harian 400 mg, diberikan dosis tunggal dalam 22 dosis dapat
membunuh kuman M. leprae hidup sebesar 99,99%. Efek sampingnya mual,
diare, dan gangguan saluran cerna lainnya, berbagai gangguan susunan saraf
pusat termasuk insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness dan halusinasi.

Minosiklin
Termasuk dalam kelompok tetrasilkin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi

daripada klaritromisin, tetpi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis standar


100 mg/hari. Efeknya pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang
menyebabkan hiperpigmentasi kulit dan membrane mukosa, berbagai simtom
saluran cerna dan susuan saraf pusat termasuk dizziness dan unsteadiness.

Klaritromisin
Merupakan kelompok antibiotic makrolid yang mempunyai aktivitas

bacterial terhadap M. leprae. Pada penderita kusta lepromatosa, dosis harian


500 mg dapat membunuh 99% kuman hidup dalam 28 hari dan lebih dari
99,9% dalam 56 hari. Efek sampingnya nausea, vomitus, dan diare.
F. Cara pemberian MDT:
1) MDT untuk multibasilar (BB, BL, LL, atau semua tipe dengan BTA
positif):
- Rifampisin 600 mg setiap bulan, dalam pengawasan
- DDS 100 mg setiap hari
- Klofazimin 300 mg setiap bulan dalam pengawasan, diteruskan 50
mg sehari atau 100 mg selama sehari atau 3 kali 100 mg setiap
minggu
Awal kombinasi obat diberikan 24 dosis dalam 24-36 bulan dengan
syarat bakterioskopis harus negative. Apabila bakterioskopis masih positif
pengobatan dilanjutkan sampai negative.selaam pengobatan dilakukan
pemeriksaan klinis setiap bulan dan bakterioskopis minimal etiap 3 bulan.
2) MDT untuk pausibasilar (I, TT, BT, dengan BTA negative):
- Rifampisin 600 mg setiap bulan, dengan pengawasan
- DDS 100 mg setiap hari.

39

Keduanya diberikan dalam 6 dosis selama 6 bulan sampai 9 bulan,


berarti RFT setelah 6-9 bulan. Pemeriksaan klini setiap bulan dan
bakterioskopis setelah 6 bulan pada akhir pengobatan. Pemeriksaan
dilakukan minimal setiap tahun sealam 2 tahun secara klinis dan
bakterioskopis.
V. Kerangka Konsep

40

BAB III
PENUTUP
3.1 Sintesis
3.2 Kesimpulan

41

DAFTAR PUSTAKA
Schlaegel TF, Pavan-Langston D. Uveal Tract: Iris, Ciliary Body, and Choroid In: PavanLangston D, editors. Manual of Ocular Diagnosis and Therapy. 2nd Edition, Boston:
Little, Brown and Company, 1980. 143-144.
Vaughan, D.G, Asbury, T., Eva, P.R., General Ophthalmology, Original English Language
edition, EGC, 1995
WebMD. Iritis and Uveitis 2005; http://www.emedicine.com. [diakses tanggal 16 Agustus
2016]
Alexander, Kevin L. Optometric Clinical Practice Guideline Care Of The Patient With
Anterior Uveitis. St. Louis: American Optometric Association, 1994
Kanski JJ. Retinal Vascular Disorders in Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach.
3rdEdition. Oxford: Butterworth-Heinemann Ltd, 1994. 152-200.
Dahl,

Andrew

A,

dkk.

2015.

Uveitis,

Anterior,

Nongranulomatous.

http://emedicine.medscape.com/article/1209595-overview diakses pada 17 Agustus


2016
Ereschenko, V P. 2010. Atlas Histologi di Fiore, edisi 11. Jakarta : EGC.
Guyton, Arthur C.2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC.
Sidarta, Ilyas. 2002 Ilmu Penyakit Mata, ed II. Jakarta : FK UI.
Snell, Richard S. (2014). Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta: EGC
Harman, Lynn E. et al. Uveitis: The Collaborative Diagnostic Evaluation, American
Family Physician, (2014) diunduh dari www.aafp.org/afp pada 16 Agustus 2016
Marshall, Sara E. Behcets disease, Best Practice & Research, 18: 3, 1-5 (2004) diunduh
dari https://www.behcets.org.uk/Documents/best%20practice.pdf pada 15 Agustus 2016
Mustafa, Murtaza, et al. Uveitis: Pathogenesis, Clinical presentations and Treatment, IOSR
Journal of Pharmacy, 4: 12, 42-46 (Desember 2014) diunduh dari
http://www.iosrphr.org/papers/v4i12/E04012042047.pdf pada 15 Agustus 2016
Saadoun, David, Bertrand Wechsler. Behcets disease, Orphanet Journal of Rare Disease,
7: 20, 1-6 (2012) diunduh dari http://www.ojrd.com/content/7/1/20 pada 15 Agustus
2016

42

Saadoun D, Wechsler B. Behcets Disease. Orphanet Journal of Rare Diseases.


http://www.ojrd.com/content/7/1/20. Pdf : Paris ; 2012
Sari L. M, Setyawati T. Manifestasi Behet Disease Yang Parah Dan Komplikasi
Perawatannya Dalam Rongga Mulut. Indonesian Journal of Dentistry. http://
www.fkg.ui.edu. Pdf : Jakarta ; 2008.
Kovacova E, et al. Behcets Syndrome. Bratisl Lek Listy. http://www.ncbi.nlm.nih.gov. Pdf :
Bratislava ; 2005.
Sakane T, et al. Behcet Disease. The New England Journal of Medicine. http://www.nejm.org.
Pdf : Massachusetts ; 2014.
Wolff K, Johnson. RA. Fitzpatricks Color Atlas Synopsis of Clinical Dermatology. 6th
edition. McGrawHill : USA ; 2009.
Marshall S. E. Behcets Disease.

Elsevier

Best

practice

and

research.

http://www.sciencedirect.com. Pdf : London ; 2004.


Murugan A. R, et al. Clinical Profile Of Patients With Behcets Disease. J Indian Rheumatol
Assoc. http://www.medind.nic.in. Pdf : New Delhi ; 2005.

43

Anda mungkin juga menyukai