DHF PDF
DHF PDF
Pendahuluan
Penyakit infeksi virus dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue I,II III dan IV,
yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albocpitus. Sejak tahun 1968 penyakit ini
ditemukan di Surabaya dan Jakarta, selanjutnya sering terjadi kejadian luar biasa dan meluas ke seantero
wilayah Republik Indonesia. Oleh karena itu penyakit ini menjadi masalah kesehatan masyarakat yang
awalnya banyak menyerang anak tetapi akhir-akhir ini menunjukkan pergeseran menyerang dewasa.(1)
Perjalanan penyakit infeksi dengue sulit diramalkan. Pasien yang pada waktu masuk keadaan
umumnya tampak baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dan tidak tertolong (stadium Sindrome
Syok Dengue=SSD). Sampai saat ini masih sering dijumpai penderita Demam Berdarah Dengue (DBD)
yang semula tidak tampak berat secara klinis dan laboratoris, namun mendadak syok sampai meninggal
dunia. Sebaliknya banyak pula penderita DBD yang klinis maupun laboratoris nampak berat namun
ternyata selamat dan sembuh dari penyakitnya. Kenyataan di atas membuktikan bahwa sesungguhnya
masih banyak misteri di dalam imunopatogenesis infeksi dengue yang belum terungkap, walaupun sampai
saat ini tidak sedikit peneliti yang mendalami bidang tersebut, namun hasil yang memuaskan belum
terlihat secara jelas di dalam mengungkapkan berbagai faktor yang dapat menyebabkan hal tersebut di
atas.
Angka kesakitan Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia cenderung meningkat, mulai 0,05
insiden per 100.000 penduduk di tahun 1968 menjadi 35,19 insiden per 100.000 penduduk di tahun 1998,
dan pada saat ini DBD di banyak negara kawasan Asia Tenggara merupakan penyebab utama perawatan
anak di rumah sakit. Program pencegahan DBD yang tepat guna harus dilaksanakan secara integral
mencakup surveilans laboratory based, penyuluhan dan pendidikan pengelolaan penderita bagi dokter dan
paramedis, dan pemberantasan sarang nyamuk dengan peran serta masyarakat.(2)
Kejadian Infeksi Virus Dengue
Penyakit infeksi virus Dengue merupakan hasil interaksi multifaktorial, yang pada saat ini mulai
diupayakan memahami keterlibatan faktor genetik pada penyakit infeksi virus, yaitu: kerentanan yang
dapat diwariskan.(4) Konsep ini merupakan salah satu teori kejadian infeksi berdasarkan adanya perbedaan
kerentanan genetik ( genetic susceptibility ) antar individu terhadap infeksi yang engakibatkan perbedaan
interaksi antara faktor genetik dengan organisme penyebab serta lingkungannya. (lihat gambar.1)
Interaksi
Agent, host, environment
Proses Infeksi
Pengobatan
- Gizi
- Umur
- Sex
- Etnis/genetik
- Kekebalan
- Penyakit penyerta
Sembuh
Syok
DBD
Host/Hospes
DF
Sepsis
Perdarahan
DIC
FUO
Proses Infeksi
Agent/Penyebab Environment/
(Patogenesa)
lingkungan
1. Infeksi Sekunder
2. ADE
3. Virulensi
- Type& subtype - kelembaban nisbi
4. Mediator
- Virulensi virus - cuaca
5. Komplemen
- Galur virus
- Kepadatan larva+nyamuk dewasa 6. Kerusakan endotel
Ae. Aegypti & Ae.Albopictus
7. Endotoksin
- Lingkungan dlm rumah tinggal
8. Non antibodi
- Lingkungan diluar rumah
9. Apoptosis
- Tempat ibadah
10. Peran HLA
- Ketinggian tempat tinggal
(pegunungan atau dataran)
- Perilaku masyarakat
Meninggal
Asimptomatik Dengue
Asimptomatik
Simptomatik
Perdarahan (-)
Demam Dengue
DD
Syok (+)
(SSD)
DBD
Gambar 3. Respon Imun Infeksi Virus Dengue(dikutip dari Suroso, Torry C. Panbio Dengue
Fever Rapid Strip IgG dan IgM, 2004)
Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar demam hari ke-5,
meningkat pada minggu pertama sampai dengan ketiga, dan menghilang setelah 60-90 hari. Kinetik kadar
IgG berbeda dengan kinetik kadar antibodi IgM, oleh karena itu kinetik antibodi IgG harus dibedakan
antara infeksi primer dan sekunder. Pada infeksi primer antibodi IgG meningkat sekitar demam hari ke-14
sedang pada infeksi sekunder antibodi IgG meningkat pada hari kedua. Oleh karena itu diagnosa dini
infeksi primer hanya dapat ditegakkan dengan mendeteksi antibodi IgM setelah hari sakit kelima,
diagnosis infeksi sekunder dapat ditegakkan lebih dini dengan adanya peningkatan antibody IgG dan IgM
yang cepat.(7)
Perubahan Patofisiologi DBD
Patofisiologi DBD dan DSS seringkali mengalami perubahan, oleh karena itu muncul banyak teori
respon imun seperti berikut.
Pada infeksi pertama terjadi antibodi yang memiliki aktifitas netralisasi yang mengenali protein E
dan monoclonal antibodi terhadap NS1, Pre M dan NS3 dari virus penyebab infeksi akibatnya terjadi lisis
sel yang telah terinfeksi virus tersebut melalui aktifitas netralisasi atau aktifasi komplemen. Akhirnya
banyak virus dilenyapkan dan penderita mengalami penyembuhan, selanjutnya terjadilah kekebalan
seumur hidup terhadap serotip virus yang sama tersebut, tetapi apabila terjadi antibodi yang nonnetralisasi yang memiliki sifat memacu replikasi virus dan keadaan penderita menjadi parah; hal ini terjadi
apabila epitop virus yang masuk tidak sesuai dengan antibodi yang tersedia di hospes.
Pada infeksi kedua yang dipicu oleh virus dengue dengan serotipe yang berbeda terjadilah proses
berikut : Virus dengue tersebut berperan sebagai super antigen setelah difagosit oleh monosit atau
makrofag. Makrofag ini menampilkan Antigen Presenting Cell (APC). Antigen ini membawa muatan
polipeptida spesifik yang berasal dari Mayor Histocompatibility Complex (MHC II).
Antigen yang bermuatan peptida MHC II akan berikatan dengan CD4+ (TH-1 dan TH-2)
dengan perantaraan TCR ( T Cell Receptor ) sebagai usaha tubuh untuk bereaksi terhadap infeksi tersebut,
5
maka limfosit T akan mengeluarkan substansi dari TH-1 yang berfungsi sebagai imuno modulator yaitu
INF gama, Il-2 dan CSF (Colony Stimulating Factor).(8,9) Dimana IFN gama akan merangsang makrofag
untuk mengeluarkan IL-1 dan TNF alpha. IL-1 sebagai mayor imunomodulator yang juga mempunyai
efek pada endothelial sel termasuk didalamnya pembentukan prostaglandin dan merangsang ekspresi
intercellular adhesion molecule 1 (ICAM 1).
organel sel, genom virus membentuk komponen-komponennya, baik komponen perantara maupun
komponen struktural virus. Setelah komponen struktural dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Proses
perkembangan biakan virus DEN terjadi di sitoplasma sel.
Semua flavivirus memiliki kelompok epitop pada selubung protein yang menimbulkan cross
reaction atau reaksi silang pada uji serologis, hal ini menyebabkan diagnosis pasti dengan uji serologi
sulit ditegakkan. Kesulitan ini dapat terjadi diantara ke empat serotipe virus DEN. Infeksi oleh satu serotip
virus DEN menimbulkan imunitas protektif terhadap serotip virus tersebut, tetapi tidak ada cross
protektif terhadap serotip virus yang lain. (8,14,15)
Secara in vitro antibodi terhadap virus DEN mempunyai 4 fungsi biologis: netralisasi virus;
sitolisis komplemen; Antibody Dependent Cell-mediated Cytotoxity (ADCC) dan Antibody Dependent
Enhancement. (3)
Virion dari virus DEN ekstraseluler terdiri atas protein C (capsid), M (membran) dan E
(envelope), sedang virus intraseluler mempunyai protein pre-membran atau pre-M.
Glikoprotein E merupakan epitop penting karena : mampu membangkitkan antibodi spesifik untuk
proses netralisasi, mempunyai aktifitas hemaglutinin, berperan dalam proses absorbsi pada permukaan
sel, (reseptor binding), mempunyai fungsi biologis antara lain untuk fusi membran dan perakitan virion.
Antibodi memiliki aktifitas netralisasi dan mengenali protein E yang berperan sebagai epitop yang
memiliki serotip spesifik, serotipe-cross reaktif atau flavivirus-cross reaktif. Antibodi netralisasi ini
memberikan proteksi terhadap infeksi virus DEN. Antibodi monoclonal terhadap NS1 dari komplemen
virus DEN dan antibodi poliklonal yang ditimbulkan dari imunisasi dengan NS1 mengakibatkan lisis sel
yang terinfeksi virus DEN.
Antibodi terhadap virus DEN secara in vivo dapat berperan pada dua hal yang berbeda : (8)
a. Antibodi netralisasi atau neutralizing antibodies memiliki serotip spesifik yang dapat mencegah
infeksi virus.
b.Antibodi non netralising serotipe memiliki peran cross-reaktif dan dapat meningkatkan infeksi yang
berperan dalam patogenesis DBD dan DSS.
(teori secondary heterologous infection) dan hypothesis antibody dependent enhancement ( ADE ). Teori
infeksi sekunder menyebutkan bahwa apabila seseorang mendapatkan infeksi primer dengan satu jenis
virus, akan terjadi proses kekebalan terhadap infeksi terhadap jenis virus tersebut untuk jangka waktu
yang lama. Pengertian ini akan lebih jelas bila dikemukakan sebagai berikut:
Seseorang yang pernah mendapat infeksi primer virus dengue, akan mempunyai antibody yang dapat
menetralisasi yang sama (homologous).
Akibat adanya infeksi sekunder oleh virus yang heterolog (virus dengan serotipe lain atau virus
lain) karena adanya non neutralising antibodi maka partikel virus DEN dan molekul antibodi IgG
membentuk kompleks virus-antibodi dan ikatan antara kompleks tersebut dengan reseptor Fc gama pada
sel melalui bagian Fc dari IgG menimbulkan peningkatan (enhancement) infeksi virus DEN. Kompleks
virus antibodi meliputi sel makrofag yang beredar dan antibodi tersebut akan bersifat opsonisasi,
internalisasi sehingga makrofag mudah terinfeksi sehingga akan teraktivasi dan akan memproduksi IL1, IL-6 dan TNF alpha dan juga Platelet Activating Faktor (PAF).
Karena antibodi bersifat heterolog, maka virus tidak dapat di neutralisasi tetapi bebas bereplikasi
di dalam makrofag; informasi ini akan lebih jelas bila diuraikan dalam betuk gambar berikut:
10
11
Pada infeksi virus dengue, viremia terjadi sangat cepat, hanya berselang beberapa hari dapat terjadi
infeksi di beberapa tempat, akan tetapi derajad kerusakan jaringan (tissue destruction) yang ditimbulkan
tidak cukup untuk menjadikan penyebab kematian dari infeksi virus tersebut melainkan lebih disebabkan
oleh gangguan metabolik. Diketahui juga bahwa akibat dari replikasi virus di dalam sel mulai dari
terjadinya stres dari sel sampai kematian sel apoptotik, baik in vitro maupun in vivo. Mekanisme
pertahanan tubuh melalui apoptosis dan aktivasi sel-sel fagosit dapat menimbulkan jejas jaringan lokal
(local tissue injury) atau ketidakseimbangan homeostasis dan selanjutnya memicu efek yang lain.
Sistem HLA/MHC pada umumnya berperan dalam pengawasan dan regulasi respons imun. Peran
dalam regulasi respons imun berupa proses pengenalan antigen, yang berlanjut pada proses aktivasi sistem
imun dan proses sitotoksisitas antigen berdasarkan ekspresi molekul HLA/MHC kelas I (lokus A,B,C) dan
kelas II (lokus D/DR,DQ,DP). Penelitian oleh Azaredo EL dkk, 2001 membuktikan bahwa patogenesis
DBD/SSD umumnya disebabkan oleh disregulasi respon imunologik. Monosit/makrofag yang terinfeksi
virus Dengue akan mensekresi monokin yang berperan dalam proses patogenesis dan gambaran klinis
DBD/SSD.
Pada penelitian invitro oleh Ho LJ dkk 2001, ternyata Dendritic Cell yang terinfeksi virus dengue
dapat mengekspresi antigen HLA B7-1, B7-2, HLA-DR, CD11b dan CD83. Anehnya DC yang terinfeksi
virus dengue ini sanggup memproduksi TNF- dan IFN-, namun tidak mensekresi IL-6 dan IL-12.
Oberholzer dkk, 2002, menjelaskan bahwa IL-10 dapat menekan proliferasi sel T.Jadi IL-10 sebagai
12
sitokin proinflamasi tampaknya berperan dalam respons imun yang diperantarai limfosit Th1, yang
dikatakan berperan pada infeksi virus pada umumnya.
Pada infeksi fase akut terjadi penurunan dari populasi limfosit CD2+ dan berbagai subsetnya
CD4+ dan CD8+. Juga terjadi penurunan respon proliferatif dari sel-sel mononuklear baik terhadap
rangsangan mitogen maupun antigen virus Dengue, sebaliknya pada fase konvalesen respon proliferatif
kembali normal. Terjadi peningkatan konsentrasi IFN-, TNF-, IL-10 dan reseptor TNF terlarut di dalam
plasma pasien DBD/SSD. Peningkatan TNF- berkorelasi dengan manifestasi hemoragik, sedangkan
kenaikan IL-10 berhubungan dengan platelet decay. Disimpulkan bahwa pada infeksi virus Dengue fase
akut terjadi penekanan jumlah maupun fungsi dari limfosit T, sedangkan sitokin proinflamasi TNF-
berperan penting dalam severity dan patogenesis DBD/SSD, begitu juga meningkatnya IL-10 akan
menurunkan fungsi limfosit T dan fungsi trombosit.
Hipotesis tentang patogenesis DBD/SSD seperti antibody-dependent enhancement, virus virulence,
dan imunopatogenesis yang diprakarsai oleh IFN-/TNF- dianggap belum cukup untuk menjawab
terjadinya trombositopenia dan hemokonsentrasi pada DBD/SSD. Menurut Lei HY dkk, 2001, infeksi
virus dengue akan mempengaruhi sistem imun tubuh berupa perubahan dari rasio CD4/CD8, overproduksi
dari sitokin dan dapat menginfeksi sel-sel endotel dan hepatosit dengan akibat terjadinya apoptosis serta
disfungsi dari sel-sel tersebut. Begitu juga sistem koagulasi dan fibrinolisis ikut teraktivasi selama infeksi
virus dengue. Gangguan terhadap respon imun tidak hanya berupa gangguan dalam membersihkan virus
dari dalam tubuh, akan tetapi over produksi sitokin dapat mempengaruhi sel-sel endotel, monosit dan
hepatosit. Kerusakan trombosit akibat dari reaksi silang otoantibodi anti-trombosit, karena overproduksi
IL-6 yang berperan besar dalam terbentuknya otoantibodi anti-trombosit dan anti-sel endotel, serta
meningkatnya level dari tPA dan defisiensi koagulasi.
Disimpulkan bahwa penyebab dari kebocoran plasma yang khas terjadi pada pasien DBD dan SSD
disebabkan oleh kerja bersama seperti suatu konser dari aktivasi komplemen, induksi kemokin dan
kematian sel apoptotik.(18) Dihipotesiskan bahwa peningkatan sintesis IL-8 memegang peran penting
dalam terjadinya kebocoran plasma pada pasien DBD dan SSD. Hal ini dapat dilihat dalam serum pasien
DBD/DSS berat terjadi peningkatan level IL-8, dan dibuktikan secara in vitro oleh Bosch I dkk (2002)
melalui kultur primer dari monosit manusia yang diinfeksi dengan virus dengue tipe 2, terjadi peningkatan
level IL-8 dalam supernatan kultur, yang diperkirakan karena terjadi peningkatan aktivasi dari NFkappaB. Penelitian oleh Bethell dkk (1998) terhadap anak di Vietnam dengan DBD dan SSD
13
menyebutkan bahwa pada anak dengan SSD ternyata level IL-6 dan soluble intercellular adhesion
molecule-1 rendah, hal ini merefleksikan adanya kehilangan protein dalam sirkulasi karena kebocoran
kapiler dan hanya level dari reseptor TNF terlarut (TNFR) yang meninggi seiring dengan beratnya
penyakit.
Rangkuman
Pola penyakit virus dengue bervariasi mulai demam yang tidak spesifik, demam dengue
dengan/tanpa perdarahan dan demam berdarah dengue dengan/tanpa syok. Hal ini bertumpu pada interaksi
penyebab, penjamu dan lingkungan dan berbagai factor yang berperan, selanjutnya terjadi beberapa kasus
menunjukkan manifestasi klinis sebagai tampilan respon imun primer dan sekunder berdasarkan temuan
rasio IgM/IgG yang diperoleh dari test serologi.
Kejadian syok pada penderita demam berdarah dengue dapat terjadi karena kebocoran plasma dari
dalam pembuluh darah keluar ke jaringan ikat disekitarnya sehingga ditemukan manifestasi efusi pleura
dan asites. Hal ini dapat dijelaskan dengan teori reaksi antigen antibodi yang dapat mengeluarkan bahan
anapilatoksin atau bahan serupa histamin yang berpengaruh terhadap peningkatan permeabilitas dinding
vaskuler dan terjadi kebocoran plasma diperkuat dengan dianutnya hipotesa sekunder heterologos
anamnestik reaksi.
Kasus demam berdarah dengue dapat juga menunjukkan manifestasi yang berat hal ini dapat
dijelaskan sebagai akibat ADE dan mungkin sebagai akibat keganasan virus dengue yang langsung
berpotensi terjadinya apoptosis. Virus dengue yang ganas berpotensi besar menyerang sel
retikuloendotelial sistem termasuk organ hati dan sel endotel akibatnya hati meradang membengkak dan
faal hati terganggu dan berlanjut dengan kejadian perdarahan yang hebat disertai kesadaran menurun dan
menunjukkan manifestasi ensefalopati.
Daftar Pustaka
1. Stevanus Lawuyan, (1996). DBD di Kotamadya Surabaya. Diajukan pada seminar sehari DBD di
TDRC FK Unair Surabaya 28 Oktober.
2. Sumarmo PS, ( 1999 ). Masalah demam berdarah dengue di Indonesia. Dalam: Sri Rezeki HH, Hindra
IS. Demam berdarah dengue. Naskah lengkap. Pelatihan bagi pelatih dokter spesialis anak & dokter
spesialis penyakit dalam dalam tatalaksana kasus DBD. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Hal. 1-12.
3. DarwisD, ( 1999 ). Kegawatan Demam Berdarah Dengue pada anak. Dalam: Sri Rezeki HH, Hindra
IS. Demam berdarah dengue. Naskah lengkap. Pelatihan bagi pelatih dokter spesialis anak & dokter
spesialis penyakit dalam dalam tatalaksana kasus DBD. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Hal. 1-12.
4. Emery AEH, ( 1988). Immunogenetics. In : Elements of Medical Genetics.Edited by Emery AEH,
Muller R. 7th ed. Churchill-Livingstone. Edinburgh.: 88-106.
5. Harikushartono, Hidayah N, Darmowandowo W,Soegijanto S, (2002), Demam Berdarah Dengue:
Ilmu Penyakit Anak, Diagnosa dan Penatalaksanaan, Jakarta, Penerbit Salemba Medika.
6. Gubler D.J, (1998). The Global pandemic of Dengue/Dengue Haemorrhagic Fever current status and
prospects for the future. Dengue in Singapore. Technical Monograph Series no:2 WHO.
7. Gubler DJ et al, (1994): Infect Agents Dis. 2: 383.
14
8. Howarth MC, Miyajima A, Coffman R, (1994). Cytokines Paul Fundamental Imunology. Third
Edition: 763-790.
9. Oppenheim J.J et al, (1995). Cytokines Basic and Clinical Immunology. Seven edition. 78-98.
10. Cohen J, (1996). Sepsis Syndrome. In Journal of Medical Int. 355: 10-31.
11. Sowandoyo E, (1998). Demam Berdarah Dengue pada Orang Dewasa, Gejala Klinik dan
Penatalaksanaannya. Makalah Seminar Demam Berdarah Dengue di Indonesia. RS.Sumber Waras
Jakarta.
12. Wang S, He R, Patarapotikul, J et al, (1995). Antibody-Enhanced Binding of Dengue Virus to Human
Platelets. J.Virology. October 213: page:1254-1257.
13. Kurane I, Ennis E Francis, (1992). Immunity and immunopathologi in dengue virus infections.
Seminars in Imunology., vol.4;121-127.
14. Khana M, Chaturvedi UC, Sharma MC, Pandey VC, Mathur A, (1990). Increased Capillary
permeability Mediated by A Dengue Virus Induced Limphokine. Immunology Mart, 69;33 : 449-53.
15. Koraka P, Suharti C, Setiati TE, Mairuhu AT, Van Gorp E, Hack CE, Juffrie M, Sutarjo J, Van Der
Meer GM, Groen J, Osterhaus AD, ( 2001 ). Kinetics of dengue virus-specific immunoglobulin classes
and subclasses correlate with clinical outcome of infection. J Clin Microbiol 39: 4332-4338.
16. Soegijanto S, ( 2003 ). Prospek Pemanfaatan Vaksin Dengue untuk menurunkan prevalensi di
masyarakat. Dipresentasikan di Peringatan 90 tahun Pendidikan Dokter di FK Unair.Surabaya.
17. Avirutnan P, Malasit P, Seliger B, Bhakdi S, Husmann M, ( 1998 ). Dengue virus infection of human
endothelial cells leads to chemokin production, complemen activation, and apoptosis. J Immunol 161:
6338-6346.
18. Klein J, ( 1986 ). The population. In : Natural History of the MHC. Edited by Allan Mc Gregor. MTP
Press : 609-658.
15