PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karet merupakan tumbuhan yang berupa batang pohon yang keras, lurus,
dan besar dari perkebunan baik perkebunan rakyat maupun perkebunan besar.
Namun, banyak karet yang bermutu rendah dari perkebunan rakyat karena
prosedur dan alatnya yang masih minim, sehingga harga jual karet tidak stabil.
Harga jual lateks juga disebabkan karena karet sintsis seperti butyl tubber (BR).
Karet berguna bagi kehidupan manusia, untuk menopang atau menyokong
kepentingan hidup manusia yang terus berkembang setiap harinya. Karet alam
termasuk hasil pertanian yang bagus, baik di internasional maupun di negara
sendiri. Di Indonesia, produksi karet termasuk salah sau hasil pertanian yang
banyak menopang perekonomian negara.
Definisi lateks adalah getah berupa cairan koloid yang terdapat pada
batang pohon karet (Havea brasiliensis). Getah karet (lateks) berwarna putih susu
sampai kuning yang
lateks terdiri dari beberapa tahap, agar mendapatkan lateks berkualitas tinggi
berupa lembaran (sheet). Tahapan tersebut yaitu penyadapan, pengenceran lateks,
pembekuan lateks peggilingan, pengeringan, pengasapan, dan sortasi. Hasil dari
penggilingan berupa lembaran lembaran, lalu dikeringkan. Salah satu macam
lembaran lateks ialah white crepe / pale crepe. Crepe ialah jenis lembaran dari
lateks, lump karet, RSS kualitas rendah, yang warnanya putih / muda tebal dan
tipis.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui cara pengolahan lateks crepe
b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pengolahan lateks
crepe
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Karet dan Klasifikasinya
Tanaman karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup
besar . Tinggi pohon dewasa mencapai 15-25 meter. Batang tanaman biasanya
tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi diatas. Dibeberapa kebun
karet ada beberapa kecondongan arah tumbuh tanamanya agak miring kearah
utara. Batang tanaman ini mengandung getah yang dikenal dengan nama lateks.
Daun karet terdiri dari tangkai daun utama dan tangkai anak daun. Panjang
tangkai daun utama 3-20cm. Panjang tangkai anak daun sekitar 3-10 cm dan pada
ujungnya terdapat kelenjar. Biasanya ada tiga anak daun yang terdapat pada
sehelai daun karet. Anak daun berbentuk eliptis, memanjang dengan ujung
meruncing, tepinya rata dan gundul. Biji karet terdapat dalam setiap ruang buah.
Jadi, jumlah biji biasanya ada tiga kadang enam sesuai dengan jumlah ruang.
Ukuran biji besar dengan kulit keras. Warnanya coklat kehitaman dengan bercakbercak berpola yang khas. Sesuai dengan sifat dikotilnya, akar tanaman karet
merupakan akar tunggang. Akar ini mampu menopang batang tanaman yang
tumbuh tinggi dan besar (Setyamidjaja, 1993).
Menurut Steenis (1975), klasifikasi botani tanaman karet adalah sebagai berikut :
Kingdom
: Plantae
Divisio
: Spermatophyta
Class
: Dicotyledoneae
Ordo
: Euphorbiales
Famili
: Euphorbiaceae
Genus
: Hevea
Spesies
: Hevea brassiliensis Muell. Arg.
Bunga pada tajuk dengan membentuk mahkota bunga pada setiap bagian bunga
yang tumbuh. Bunga berwarna putih, rontok bila sudah membuahi, beserta
tangkainya. Bunga terdiri dari serbuk sari dan putik (Maryadi. 2005).
Agar tanaman karet dapat tumbuh dengan baik dan menghasilkan lateks
yang banyak maka perlu diperhatikan syarat-syarat tumbuh dan lingkungan yang
diinginkan tanaman ini. Apabila tanaman karet ditanam pada lahan yang tidak
sesuai dengan habitatnya maka pertumbuhan tanaman akan terhambat.
Lingkungan yang kurang baik juga sering mengakibatkan produksi lateks menjadi
rendah. Sesuai habitat aslinya di Amerika Selatan, terutama Brazil yang beriklim
tropis, maka karet juga cocok ditanam di Indonesia, yang sebagian besar ditanam
di Sumatera Utara dan Kalimantan. Luas areal perkebunan karet tahun 2008
2
tercatat mencapai lebih dari 3,5 juta hektar yang sebagian besar yaitu 85%
merupakan perkebunan karet rakyat dan hanya 8% perkebunan besar milik swasta
serta 7% perkebunan besar milik negara.
Secara umum ada dua jenis karet, yaitu karet alam dan karet sintetis.
Setiap jenis karet mempunyai/memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga
keberadaannya saling melengkapi. Saat ini karet yang digunakan di Industri terdiri
dari karet alam dan karet sintetis. Adapun kelebihan yang dimiliki karet alam
adalah: (a) memiliki daya lenting dan daya elastisitas yang tinggi, (b) memiliki
plastisitas yang baik sehingga pengolahannya mudah (c) mempunyai daya aus
yang tinggi (d) tidak mudah panas (low heat build up) dan memiliki daya tahan
yang tinggi terhadap keretakan (groove cracking resistance).
2.2 Lateks
Terdapat 2000 spesies tanaman yang menghasilkan lateks tetapi hanya
beberapa spesies yang memiliki kualitas baik terutama famili Apocynaceae,
Asclepiadaceae, Compositae, Euphorbiaceae dan Moraceae. Selain itu, lateks
merupakan hasil fotosintesis dalam bentuk sukrosa yang ditranslokasikan dari
daun melalui pembuluh tapis ke dalam pembuluh lateks. Di dalam pembuluh
lateks terdapat enzim seperti invertase yang akan mengatur proses perombakan
sukrosa untuk pembentukan karet. Biosintesis lateks berlangsung dalam sel-sel
pembuluh lateks dengan bahan dasar berupa sukrosa yang ditranport dari daun
sebagai hasil fotosintesis yang telah mengalami perubahan secara enzimatik
melalui asam mevalonat, asam mevalonat-5-fospat, asam mevalonat-5-pirofospat,
sehingga isopentenil pirofospat (IPP) merupakan sumber penting produksi lateks
(Dalimunthe, 2004).
Lateks memiliki tiga bagian utama dari hasil sentrifugasi, yaitu fraksi atas
(partikel karet), fraksi tengah (serum C/sitosol), dan fraksi dasar (partikel lutoid).
Fraksi atas berwarna putih dan mengandung sekitar 36% hidrokarbon karet berupa
molekul cis-1,4-poliisoprena yang berbentuk bulat berukuran 5 nm-3 m. Fraksi
ini mengandung bahan yang bukan karet, seperti fosfolipid, lemak, lilin, protein,
logam, dan enzim rubber transferase yang berfungsi dalam pembentukan partikel
karet. Fraksi tengah merupakan cairan bening yang kaya akan kandungan protein
dan mudah teroksidasi sehingga warnanya dapat berubah menjadi cokelat. Lutoid
merupakan fraksi dasar lateks yang banyak mengandung kation. Apabila lutoid
pecah kation-kation ini akan bereaksi dengan partikel karet yang bermuatan
negatif sehingga terjadi koagulasi (Junaidi et al., 2007). Fraksi dasar ini bersifat
kental seperti gelatin dan diselubungi oleh membran semipermeabel yang berisi
cairan serum B. Cairan ini mengandung ion-ion kalsium dan magnesium yang
bermuatan positif
Tabel 2.1 Komposisi Lateks Segar
Kandungan
Karet (Cis 1,4-poliisoprene)
Karbohidrat
Protein dan senyawa nitrogen
Lipid
Senyawa anorganik
Air
Sumber: Purbaya, dkk. (2011)
Kadar (%)
25,0 40,0
1,0 2,0
1,0 1,5
1,0 1,5
0,1 1,5
60 75
Menurut Triwijoso dan Siswantoro (1989), karet adalah suatu polimer dari
isoprena (C5H8) sehingga sering disebut Cis 1,4-poliisoprena dengan rumus
umum (C5H8)n dimana n adalah bilangan yang menunjukkan jumlah monomer
didalam rantai polimer. Semakin besar harga n maka molekul karet semakin
panjang, semakin besar bobot molekul dan semakin kental (viscous). Nilai n dapat
berkisar antara 3000-15000. Bobot molekul karet alam berkisar antara 1 sampai 2
juta. Partikel karet alam mengandung hidrokarbon karet dan sejumlah kecil bahan
bukan karet, seperti lemak, glikolipida, foosfolipida, protein, karbohidrat, bahan
anorganik, dan lain-lain. Partikel karet alam terdiri dari hidrokarbon karet, lemak,
glikolipda, fosfolipida, protein, karbohidrat, bahan anorganik, dan lain-lain.
2.3 Karet Alam
Lateks merupakan
cairan
yang
berwarna
putih
atau
putih
kekuningkuningan. Lateks terdiri dari partikel karet dan bukan karet yang
terdispersi di dalam air (Triwijoso dan Siswantoro,1989). Sedangkan menurut
Goutara, et al. (1985), lateks merupakan sistem koloid dimana partikel karet yang
dilapisi oleh protein dan fosfolipid terdispersi didalam air. Protein dilapisan luar
memberikan muatan negatif pada partikel. Lateks merupakan suatu dispersi butir-
butir karet dalam air, dimana di dalam dispersi tersebut juga larut beberapa garam
dan zat organik, seperti zat gula, dan zat protein. Menurut Suparto (2002), lateks
Hevea terdiri dari karet, resin, protein, abu, gula, dan air.
Secara fisiologi lateks merupakan sitoplasma dari sel-sel pembuluh lateks
yang mengandung partikel karet, lutoid, nukleous, mitokondria, partikel FreyWyssling, dan ribosom. Selain partikel karet, didalam lateks terdapat bahan-bahan
bukan karet yang berperan penting mengendalikan sifat lateks dan karetnya
meskipun dalam jumlah yang relatif kecil. Lateks segar yang disentrifugasi
dengan alat sentrifugasi ultra dengan kecepatan 18000 rpm akan menyebabkan
lateks terpisah menjadi empat fraksi dengan urutan dari atas ke bawah: fraksi
karet (35 %) yang terdiri dari karet, protein, lipid, dan ion logam. Lapisan kedua
adalah fraksi Frey Wyssling (5%) terdiri dari karotenoida dan lipid. Lapisan
selanjutnya adalah serum (50%) terdiri dari air, karbohidrat dan inositol, protein
dan turunannya, senyawa nitrogen, asam nukleat dan nukleosida, ion anorganik,
ion logam. Lapisan terakhir adalah fraksi dasar (10 %) yang berupa lutoid
(vakuolisosom) (Suparto, 2002).
2.4 Karet Alam Konvensional
Karet alam konvensinal terdiri dari beberapa macam karet olahan
yangpada dasarnya merupakan golongan dari jenis sheet dan crepe. Beberapa jenis
karet alam konvensional menurut Harahap (2009) beserta standart mutunya adalah
sebagai berikut:
1. RSS
RSS atau yang dikenal dengan nama panjang Ripped Smoked Sheet
merupakan karet yang berbentuk lembaran sheet dan diproses melalui
pengasapan. Kualitas dari karet jenis RRS ini dapat tergolong sebagai berikut
dengan kelas yang paling tinggi hingga ke kelas yang paling rendah yaitu:
a. X RRS. Dimana karet jenis ini memiliki kenampakan yang benar-benar bersih
tanpa ada kandunga jamur, kuat, kering tanpa kandungan air berlebih, kondisinya
bagus dan setiap bagiannnya memperoleh pengasapan yang sempurna.
b. RSS 1. Dimana karet jenis ini masih terdapat kandungan jamur pada
pembungkusnya, namun tetap diperbolehkan dengan ketentuan bahwa jamur yang
ada tidk boleh masuk ke dalam karet.
c.RSS 2. Dimana karet yang tergolong jenis ini memiliki kandungan dari serpihan
kayu dan gelembung udara.
d.RSS 3. Dimana karet jenis ini memiliki kecacatan warna, terdapat gelembung
udara dan noda yang berasal dari permukaan kuilt pohon karet.
e.RSS 4. Dimana karet yang tergolong jenis ini memiliki kandungan yang berasal
dari serpihan kulit pohon karet dengan jumlah yang sedikit, gelembung udara, dan
karet masih sedikit rekat.
2. White Crepe dan Crepe Pale
Karet yang tergolong jenis ini memiliki warna putih muda dengan
ketebalan yang tidak merata, karena ada yang tebal dan ada pula yang tipis.
standart mutu dari white crepe dan crepe pale dimulai dari yang tertinggi hingga
ke yang terendah adalah sebagai berikut :
a. No. 1 X Thin White Crepe
Karet yang termasuk kelas ini harus kering, kokoh, dan warnanya putih merata.
Warna yang luntur, bau asam atau tidak enak, noda, debu, pasir, minyak, atau
bekas oksidasi tidak diperbolehkan.
b. No. 1 Thin White Crepe
Pada kelas ini masih mentoleransi perubahan warna asalkan sangat kecil.
c. No. 1 Thin Pale Crepe
Kelas ini tidak memperbolehkan adanya kelunturan, bau asam, dabu, noda
noda pasir, atau benda benda asing, dan bekas bekas oksidasi.
d. No. 2 Thin Pale Crepe
Dikelas ini karet harus dalam keadaan kering dan kokoh dengan warna lebih
tua dari no 1 thin pala crepe, hanya ada belang- belang masih diperbolehkan
asalkan tidak lebih dari 10%.
e. No. 3 Thin Pale Crepe
Karet untuk kelas ini harus kering, kokoh, dan warnanya sedikit kekuningan.
Dalam kelas ini perubahan warna menjadi sedikit lebih tua, belang- belang ,
atau garis- garis masih diperbolehkan.
3. Estate Brown Crepe
Karet jenis crepe ini berwarna coklat muda yang terbuat dari bahan yang
kurang baik seperti sisa lateks, lump atau koagulum yang berasal dari sisa
prakoagulasi. Selain itu, crepe jenis ini juga dibuat dari lateks yang telah
mengering terlebih dahulu di area penyadapan. Biasanya karet jenis crepe ini
diolah oleh perkebunan-perkebunan besar. Beberapa karet estate brown crepe
berdasarkan kualitasnya yang diurut dari yang tertinggi ke yang terndah adalah
sebagai berikut :
a. No. 1 Thin Brown Crepe
Karet kelas ini harus kering, bersih, dan berwarna coklat muda. Diperbolehkan
adanya noda, benda-benda asing semacam pasir, bekas oksidasi, bau asam dan
warna yang luntur.
b. No. 2 Thin Brown Crepe
Kelas ini kualifikasinya sama dengan kelas no 1 thin brown crepe,
perbedaannya terletak pada warnanya yang tidak harus coklat muda, tetapi
coklat sadang.
c.
perkebunan rakyat maupun perkebunan besar yang mutunya baik. Beberap karet
jenis crepe blanket berdasrkan kualitasnya dari yang tertinggi ke yang terendah
yaitu :
a. No. 2 Thick Blanket Crepe Ambers
Karet no.2 thick blanket crepe ambers harus kering dan bersih dengan warna
coklat muda. Benda-benda asing seperti noda kulit kayu, pasir, lumpur,
minyak, bintik-bintik, bekas panas atau oksidasi, serta warna luntur tidak
diperbolehkan.
b.
Krep (crepe) adalah produk lain yang dihasilkan dalam pengolahan karet
alam. Bila menggunakan bahan baku lateks, pelaksanaan pungutan lateks atau
penyadapan di kebun dan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh
krep yang baik kualitasnya (Safitri, 2010). Kandungan karet kering untuk sit
(sheet) dan krep (crepe) adalah 93%, sedangkan kandungan air antara 0,3-0,9%
(Najiha, 2007).
Sifat-sifat karet alam yang terpenting untuk menjamin mutunya:
1
2
3
cepat
4 Kadar zat tambahan dan kotoran harus serendah mungkin (Safitri, 2010).
2.6 Jenis jenis crepe
Crepe merupakan jenis karet alam olahan yang termasuk dalam karet alam
konvensional. Berikut merupakan macam crepe dan standar mutunya menurut
Harahap (2009) :
1
yang tipis. Standar mutu dalam kelompok white crepe dan pale crepe adalah
sebagai berikut:
a
Dikelas ini karet harus dalam keadaan kering dan kokoh dengan warna
lebih tua dari no 1 thin pala crepe, hanya ada belang- belang masih
diperbolehkan asalkan tidak lebih dari 10%.
e
10
coklat, dan terbuat dari slab basah, sheet tanpa pengasapan, lump, dan scrap dari
perkebunan besar atau kebun rakyat yang baik mutunya. Standar mutu jenis ini
sebagai berikut :
a
11
Off Crepe
Crepe jenis ini terbuat dari bahan- bahan sisa atau bermutu jelek,
misalnya lembaran-lembaran ribbed smoked sheet yang penggilingannya
tidak sempurna, busa lateks, dan bekas air cucian yang masih banyak
mengandung lateks. Tidak ada standar mutu pada jenis karet ini.
Menurut Setyamidjaja (1993) produk krepe tergolong menjadi beberapa
macam tergantung dari bahan baku atau perlakuan khusus unutuk tujuan tertentu.
Beberapa macam crepe adala:
1
12
3. PEMBAHASAN
3.1 Crepe
Krep (crepe) adalah salah satu hasil dari pengolahan karet alam. Utnuk
mendapatkan crepe dengan kualitas baik maka bahan baku saat penyadapan di
lahan harus mencukupi syarat dan ketentuan yang berlaku (Safitri, 2010). Karet
kering mengandung sheet dan crepe 93% dan air 0.3-0.9%
3.2 Pembuatan Crepe
13
Pengeringan
sortasi
pencampuran
Penggilingan
Pengeceran
lateks
Pembekuan
Pembungkusan/pengepakan crepe
14
pemcampuran asam semut adalah 0,5-0,7 ml dalam setiap 1 liter lateks yang akan
dibekukan. Sedangkan jika menggunakan asam asetat sebanyak 1-1,4 ml per liter
lateks. Pemberian bahan yang digunakan untuk pembekuan lateks ini harus segera
dilakukan agar lateks cepat membeku dan larutan diaduk secara merata untuk
menghasilkan larutan yang tercapur rata antara lateks dengan bahan pembeku.
Apabila saat pembekuan lateks timbul bsa maupun buih pada permukaan larytan
lateks, maka harus dibuang untk mrncegah timbulnya garis-garis yang
menyebabkan permukaan crepe tidak rata ketika kering. Selain itu, unutk
mencegah terjadinya oksidasi antara lateks dengan oksigen yang dapat
menyebabkan warna lteks menjadi ungu, maka ditambahkan air bersih ataupun
larutan natrium bisulfit dengan konsentrasi 1% sehingga permukaan lateks
tertutup oleh air maupun larutan natrium bisulfit.
c) Penggilingan
Proses penggilingan perlu dilakukan karena lateks yang telah mengalami
pembekuan dapat berbentuk bongkahan. Mesin penggiling crepe terdiri atas tiga
hingga lima bagian penggilingan, dimana dapat dibedakan menjadi tiga golongan
yaitu gilingan pertama yang disebut sebagai voorweker, gilingan tengah yang
biasa disebut tussenweker dan gilingan akhir atau yang disebut sebagai finisher
(Setyamidjaja. 1993)
Proses penggilingan dapat berlangsung seperti:
Koagulum atau lateks yang telah menggumpal (membeku) dimasukkan ke
dalam gilingan pertama yang akan ditekan dan digilas menjadi lembaranlembaran. Lembaran-lembaran ini akan berlubang dan ketebalannya belum rata
sehingga perlu digiling kembali pada gilingan pertama dengan dilipat dua terlebih
dahulu.
Kemudian,
lembaran
akan
dimasukkan
pada
gilingan
tengah
(tunnerwerker) ke-1 dan akan menghasilkan lembaran yang lebih tipis meskipun
masih tetap dalam keadaan berlubang. Setelah itu dimasukkan lagi ke dalam
gilingan tengah (tunnerwerkwer) ke-2 dengan keadaan roda gilingnya yang lebih
sempit dari sebelumnya. Kemudian, hasil lembaran ini digulung dengn
\menggunakan kayu dan dimasukkan lafi ke dalam gilingan yang terakhir
(finisher) agar permukaan lembaran crepe dapat rata. Crepe yang dihasilkan dari
15
penggilingan terakhir berupa lembara yang tebalnya 1-2 mm, panjang 6.7 m dan
lebar sekitar 40-45 cm. Lembaran crepe ini memiliki kondisi permukaan yang
tidak licin dan memiliki pori-pori yang halus. Selama proses penggilingan
lembaran-lembaran crepe berlangsung, usahakan agar rol gilingan tetap basah
sehingga karet tidak lenket pada rol dan untuk mendinginkan rol-rol gilingan yang
bekerja. Setelah proses penggilingan berakhir, biasanya lembaran-lembaran crepe
digulunga dan diletakkan dengan posisi tegak agar air yang masih terikut saat
proses penggilingan berlangsung dapat menetes dan hal tersebut dilakukan selama
1-2 jam untuk menghasilkan lembaran-lembaran crepe yang tidak mengandung
air. Setelah proses penggilingan selesai maka berlanjut pada proses pengeringan
(Setyamidjaja. 1993)
d) Pengeringan
Pengeringan lembaran-lembaran crepe ini dilakukan dengan cara
mengangin-anginkan lembaran crepe (Tim Penulis dalam Safitri. 2010). Tempat
pengeringan crepe biasanya memiliki panjang 15 meter dengan lebar 7,5 meter
serta memiliki atap setinggi 10 meter. Dalam tempat pengeringan lembaranlembaran crepe terdapat bilah-bilah gantungan yang terbuat dari kayu jati dengan
tebal 4-5 cm. Bagian atas dari bilah gantungan ini dibuat bulat agar permukaan
crepe tetap rata. Selain itu, karepatan bilah-bilah gantungan ini antara 8-12 cm
dengan menggunakan panas buatan. Akan tetepi, apabila menggunakan
pengeringan alami dengan menggunakan udar biasa maka jarak kerapatan antar
bilah adalah sekitar 15-20 cm. Pengeringan yang dilakukan denga menggnakan
panas buatan membutuhkan suhu kira0kira 33-340C. Sedangkan untuk
pengeringan yang menggunakan pngeringan alami memekan wktu yang cukup
lama karena bergantung pada kondisi cuaca yang ada. Crepe yang telah keringa
memiliki kadar air kira-kira sebesar 0,35-1,00% dengan susut bobot yaitu sekitar
12-20%. Selain itu, bintik-bintik keputihan yang tadi masih terdapat pada
lembaran crepe yang basah akan menghilang dengan sendirinya melalui proses
pengeringan (Setyamidjaja. 1993).
e) Sortasi
16
menggunakan lembar crepe pembaluat dan memiliki kulitas yang sama. Stelah itu,
bagian luar bal lateks diberi warna memakai larutan coating talk, lalu diberi merk
dan label pengiriman agar memudahakan prosese pengiriman crepe yang sudah
siap (Setyamidjaja. 1993)
Tabel 3.1 Skema Penggilingan Crepe
Gilingan
Perlakuan
Hasil
Gilingan pertama Koagulum digiling pertama Koyak-koyak,
(voorwerker)
Gilingan
7-
kalinya.
tengah Lembaran
(tussenwerker)
tebal
digiling
Lembaran
dilipat
tebal 4-5mm
dua, Lembaran
berlobang-
tanpa
17
Gilingan
dilipat
akhir Lembaran digiling satu kali
(finisher)
Lembaran permukaannya
rata, tebal mencapai 12mm.
18
19
penambahan natrium bisulfit tidak bercampur secara baik. Selain itu minyak
pelumas mesin penggilingan menyebabkan crepe berwrna hitam kehijau-hijauan,
dan pipa air pendingin mesin penggilingan yang berkaart dapat menimbukan
garis-garis berwarna coklat.
4. Crepe berbutir
Mesin penggiling menyebabkan crepe terdapat butiran hal ini karena
gesekan yang terjadi mempengaruhi gilingan yang tidak rata. Selain itu
penggilingan yang kurang sempurna atau kedua roda penggilingan tidak sejajar.
5. Crepe lembek atau mulur
Proses penggilingan yang terlalu banyak atau lebih dari yang seharusnya
menyebabkan crepe menjadi lebih tipis dan lembek. Suhu pengeringan terlalu
tinggi dari yang seharusnya akan menimbulkan hal yang sama. Bila dipegang
crepe terasa lebih lembek dan akan memuai lebih panjang dari panjang yang
seharusnya
6. Crepe bernoda sisa air
Crepe basah yang terlalau lama disimpan sebelum pengeringan dapat
menghasilkan cerepe yang memiliki noda air, crepe kering yang sudah jadi jika di
letakkan di tempat lembab atau banyak mengandung air dapat juga meninggalkan
noda air pada crepe. Ketebalan crepe yang tidak rata, pemakaian natrium bisulfit
yang berlebihan serta waktu pengeringan yang terlalu lama pada crepe yang tebal
dapat menyebabkan noda air . Noda sisa air yang berwarna putih merupakan
akibat dari pengeringan yang jelek. Sedangkan noda berwarna merah jambu,
jingga dan hitam kemungkinan besar karena pengaruh organisme.
7. Crepe lengket atau sticky
Lembaran crepe yang terlalu tipis atau crepe yang terkena sinar matahari
secara lansung dapat mnyebabkan crepe lengket. Kekurangan air pendingin atau
suhu air pendingin yang tinggi mengakibatkan gilingan bersuhu tinggi sewaktu
proses penghilangan juga berpengaruh hal yang sama. Selain itu Sering terjadi
selip sewaktu penggilingan dan suhu pengeringan yang terlalu panas juga dapat
menyebabkan crepe lengket.
20
4. PENUTUP
Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari paparan bab sebelumnya
21
DAFTAR PUSTAKA
Goutara, B. Djatmiko, W. Tjiptadi. 1985. Dasar Pengolahan Karet. Bogor: IPB.
Harahap, R. 2000. Skripsi Analisis Komparasis Sosial Ekonomi pada Usaha
Tania Tanaman Karet Rakyatdi Di Kabupaten Deli Serdang. Medan:
Universitas Sumatra Utara.
Maryadi. 2005. Manajemen Agrobisnis Karet. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.
Purbaya, Mili, dkk. 2011. Pengaruh Beberapa Jenis Bahan Penggumpalan Lateks
dan Hubungan dengan Susut Bobot, Kadar Karet Kering dan Plastisitas.
Plembang: Universitas Sriwijaya.
Safitri, K. 2010. Skripsi Pengaruh Ekstrak Belimbing Wuluh (Averehoa bilimbi
L.) Sebagai Penggumpal Lateks terhadap Mutu Karet. Medan: Sumatra
Utara.
Setyamidjaja, D. 1993. Karet, Budidaya dan Pengolahan. Yogyakarta: Kanisius.
Steenis, C. G. G. J . 1975 . Flora untuk sekolah di Indonesia . Jakarta : Pradnya
Paramita.
Suparto, D. 2002. Pengetahuan Tentang Lateks Hevea. Kursus Barang Jadi
Lateks. Bogor: Balai Penelitian Teknologi Karet.
Tim Penulis PS. 2008. Panduan Lengkap Karet. Jakarta: Penebar Swadaya.
Triwijoso, S. U., dan Siswantoro, O. 1989. Pedoman Teknis Pengawetan dan
Pemekatan Lateks Hevea.Bogor: Balai Penelitian Perkebunan.
22