Anda di halaman 1dari 24

Strategi Penyusunan

Sistem Pengupahan
Posted on

Oktober 18, 2015 by bizzisoconsulting

Teori atas pengupahan menyampaikan bahwa upah adalah konsep dari adanya pembayaran atas jasa yang
diberikan oleh tenaga kerja. Berapa besarnya, secara teori adalah bentuk negosiasi antara pihak pemberi kerja
dan pekerja. Dalam kondisi saat ini adanya intervensi pemerintah dalam bentuk kebijakan juga menjadi bagian
penting dan strategis terkait dengan sistem pengupahan, maka secara otomatis perusahaan juga harus
mentaati atas sistem pengupahan tersebut.
Dalam kondisi saat ini, perusahaan harus memilih alternatif yang tepat agar memastikan strategi dalam
peningkatan produktifitas dari tenaga kerja itu sendiri menjadi lebih optimal.
Beberapa strategi ini dapat dipertimbangkan perusahaan dalam melakukan proses desain atas upah.
(1) Memastikan adanya penetapan formula pengupahan yang tepat
Perusahaan harus memastikan adanya komponen pengupahan yang terkait dengan variabel produktifitas dan
kedisiplinan. Pemastian adanya formula pengupahan yang tepat tersebut diharapkan dapat mensinergikan
atas aspek pengupahan dengan sinergi produktifitas.
(2) Memastikan formula pengupahan sesuai dengan persyaratan kompetensi
Dalam proses penetapan formula gaji, perusahaan harus menyusun pemetaan atas golongan yang
dipersyaratkan dalam sistem pengupahan. Sehingga perusahaan mengembangkan suatu iklim kepedulian atas
kompetensi.
Proses mendesain pengupahan yang tepat, tentu akan sangat membantu pengembangan sistem pengupahan
dalam perusahaan Anda. Lakukan proses pencarian referensi eksternal yang tepat terkait dengan proses desain
sistem pengupahan di perusahaan Anda. (amarylliap@gmail.com, 08129369926)

Manajemen Upah

Definisi Upah.
Imbal Jasa / Upah memiliki beragam definisi. Definisi yang umum dijelaskan dan digambarkan dalam buku-buku literatur dan kegiatan
sehari-hari di dunia industri adalah :
1. Upah menurut Undang-Undang
Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha / pemberi kerja
kepada pekerja / buruh yang ditetapkan dan di bayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundangundangan termasuk tunjangan bagi pekerja / buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan
dilakukan. (Undang Undang Tenaga Kerja No.13 Tahun 2000, Bab I, pasal 1, Ayat 30)
2. Upah menurut pengertiannya
Upah adalah sebuah kesanggupan dari perusahaan untuk menilai karyawannya dan memposisikan diri dalam benchmarking dengan
dunia industri. Perusahaan wajib memiliki kerangka dasar System Pengupahan yang baku & standard untuk dijadikan acuan dalam
pembicaraan negosiasi gaji. Tujuan utama dari ini adalah untuk menarik, mempertahankan, dan memotivasi serta memuaskan
karyawan agar tetap bertahan & berkarya di perusahaan kita.
Pada umumnya perusahaan sektor swasta (yang belum terbuka) memerlukan suatu filosofi upah yang kompetitif. Sedangkan untuk
perusahaan terbuka (Tbk) umumnya memerlukan filosofi yang lengkap dengan berfokus pada benefit & kualitas pekerjaan.

Rangkuman dari Filosofi Upah adalah sebuah Maha Karya Perusahaan / Corporate Masterpiece (selain dari produk perusahaan) yaitu
sebuah Total Kompensasi. Dimana dalam Total Kompensasi ini terdapat komponen yang saling menunjang satu dengan lainnya agar
perusahaan dapat kompetitif di pasar industri. Komponen-komponen tersebut dapat berwujud langsung maupun tidak langsung
diterima karyawan seperti gaji, insentif / tunjangan, saham, medical dsb. Kesemua ini merupakan bentuk kombinasi yang harus
menarik, mengikat, dan memotivasi serta memuaskan karyawan.
Untuk lebih jelasnya bisa kita simak beberapa contoh strategi pengupahan di bawah ini :

Penawaran gaji yang kompetitif di pasar

Optimalisasi Turn Over pada penekanan strategi menarik karyawan baru

Fokus pada menahan karyawan tinggal (retain)

Struktur Penggajian yang sempurna (kompetitif, menarik, menahan dan mempertahankan serta mampu mempengaruhi
pasar industri)
Tantangan yang kini dihadapi oleh perusahaan adalah How To Create Effective Total Compensation System. Hal ini bukanlah tugas
yang mudah bagi para top management untuk merumuskannya.
Contoh mudah bisa kita gambarkan demikian :
Sebuah perusahaan kecil yang berkembang dengan memiliki cash flow & turn over yang rendah hendak menentukan system
pengupahan yang baku. Filosofi yang mungkin bisa dilaksanakan adalah
Memberikan pengupahan dasar yang kompetitif dan bukan secara agresif, namun dapat dibandingkan dengan yang
didapatkan di tempat lain
Menawarkan equity perusahaan (saham) sehingga mereka akan memperoleh hasil yang memuaskan apabila perusahaan
tersebut profitable

Melakukan program pengupahan yang progresif melalui insentif sehingga high performance dapat merasakan perbedaannya

Melakukan strategi memimpin di awal tahun dan tertinggal di akhir tahun dan sebaliknya (strategi yang sama dapat juga
diimplementasikan namun berbeda dalam interval waktu). Pada umumnya peninjauan gaji biasanya dilakukan 1-2 kali setahun dimana
pasar industri terus menerus bergerak secara spontan. Penentuan peninjauan gaji harus dilakukan oleh perusahaan secara berkala
tiap tahun untuk merefleksikan kondisi perusahaan di pasar industri apakah akan memimpin atau ditengah-tengah atau paling bawah di
pasar industri

Skill & Performance merujuk harga pasar


Filosofi upah yang sekarang sudah mulai memberlakukan skill-kompensasi. Semakin tinggi kemampuan & performance yang dimiliki,
maka kompensasinya akan mendekati standarisasi. Cara ini biasanya dilakukan untuk para spesialis khusus bidang tertentu dan bukan
pada level managerial.
Berbeda halnya dengan Skill & Performance, Masa Kerja merupakan faktor yang kurang disenangi dalam perhitungan Upah. Namun
hal ini tidak bisa dihilangkan begitu saja dan akan tetap abadi persoalan ini. Contoh sederhana adalah apabila seseorang yang memiliki
gaji Rp.8.500.000 dan dia berada pada comparatio 85%, maka ia & perusahaan akan dihadapkan pada masalah loyalitas. Bisa saja si
karyawan akan mudah meninggalkan pekerjaannya dan menuju ke kompetitor lainnya.
Sebenarnya perusahaan akan sangat mudah melakukan increament & adjustment hingga compa ratio 90-95% (Rp.9.000.000
Rp.9.500.000). Namun pada prinsipnya perusahaan harus memutuskan apakah akan menaikkan sesuai dengan pasar 100% atau
memang sengaja membiarkan agar karyawan tersebut meninggalkan perusahaan dan menggantinya dengan yang baru.
Ada beberapa keuntungan dengan menggunakan Pay for Proficiency. Sebab upah dibakukan kepada nilai/harga pasar suatu
pekerjaan. Karyawan tidak lagi terbentur pada masalah kenaikan gaji tahunan yang hanya berkisar sekian persen. Sebab nilai/harga
pasar suatu pekerjaan merujuk kepada ketrampilan, maka pembicaraan & diskusi mengenai gaji dapat dimulai dari bermacam-macam
tingkatan. Mulai dari tingkatan paling dasar (basic hingga advance). Penilaian ini didasarkan pada pengukuran sampai dimana tingkat
kemampuannya pada pekerjaannya tersebut.
Keahlian tidaklah sama dengan performance.
Seseorang yang masih belum menguasai pekerjaannya tetaplah bisa memperlajari dari awal terutama setelah melalui masa promosi
dan tidak bisa dinilai sebagai poor performance. Namun hasilnya sebaiknya melebihi dari harapan tersebut. Karyawan yang melebihi
dari yang diharapkan tersebut sebaiknya dipertahankan dan dipacu untuk bergerak melampaui level selanjutnya. Jika tidak dilakukan
akan menyebabkan karyawan menjadi stagnan & tidak termotivasi serta mulai mencari tantangan baru di tempat lainnya. Program ini
harus dijalankan secara berkesinambungan.
Secara hukum, praktek penggajian harus konsisten, tidak diskriminatif, & sewenang-wenang. Namun filosofi penggajian dapat
diberlakukan :
Sistem penggajian untuk posisi yang sulit diisi perlu diberlakukan secara progresif
Konsistensi untuk meniadakan labour dispute. Standarisasi perlu dilakukan agar dikemudian hari tidak terjadi permasalahan
dengan karyawan yang baru masuk dengan karyawan yang sudah lama.
Beberapa kasus yang bermula hanya berasal dari ketidak-konsistensian ini mengakibatkan terjadinya proses hukum dan hal ini
dibiarkan berlarut-larut. Kasus ini dapat dibenahi namun membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Jika perusahaan memiliki biaya, maka
sebaiknya dilakukan langkah untuk Lay People Off atau Freeze Salary.
Komunikasi
1. Komunikasi adalah bagian dari mempertahankan karyawan unggulan
Beberapa perusahaan melakukan komunikasi tentang filosofi penggajiannya kepada karyawannya bahkan menjadikannya sebagai
recruitment & retention strategy. Hal ini akan memudahkan recruitor dalam melakukan propose salary kepada kandidat dimana
penawarannya akan mempunyai dasar. Begitupula halnya dengan kandidat, mereka akan mengetahui standard di perusahaan
tersebut.Contoh yang bagus adalah misalnya sebuah perusahaan yang turn overnya tinggi di engineering department (sebuah
departement yang sangat berperan penting dalam kesuksesan peningkatan profit perusahaan) memutuskan ingin mempekerjakan
seorang technical & maintenance support yang diatas pasar. jabatan ini memperoleh kemudahan-kemudahan yang luar biasa di
perusahaan tersebut. Komunikasipun dilakukan di lingkup karyawan oleh Top Management (CEO). hasilnya adalah beberapa karyawan
menganggap bahwa hal ini tidak adil & tidak fair sehinga mereka meninggalkan perusahaan ke tempat lain. Sedangkan karyawan yang
lainnya akan menganggap bahwa perusahaan telah berlaku adil, jujur dan memilih untuk berkarya di perusahaan. hal ini memudahkan
perusahaan dalam menarik & menahan karyawan di engineering department agar tetap berkarya di perusahaan dan tidak pindah.
2. Komunikasi yang melibatkan top management
Lakukanlah dialog dengan HR Department mengenai kompensasi agar diperoleh informasi yang lebih akurat dan terstruktur. Filosofi

perusahaan akan tercermin dan terimplementasi dalam struktur tersebut. Namun apabila di perusahaan belum mempunyai filosofi &
struktur penggajian, maka ajukan saran kepada top management agar melakukan pembenahan dan evaluasi struktur kompensasi di
internal dahulu lalu dilanjutkan dengan benchmarking pasar. Hal ini perlu dilakukan karena setiap karyawan berhak untuk memperoleh
pengetahuan tentang jabatannya yang dikonversikan ke dalam struktur gaji.
Filosofi penggajian harus dilakukan untuk mengetahui apakah karyawan kita itu underpay, overpay atau meet. Underpay & overpay
akan menghasilkan masalah biaya dalam perusahaan (turn over maupun high salary). Biasanya HR Department sangat berperan
dalam filosofi penggajian ini, namun dalam pelaksanaan & komunikasi, seluruh top management (senior manager) harus dilibatkan dan
filosofi tersebut harulah in-line dengan objektif perusahaan.
Para Top Management haruslah saling mengerti dan menyetujui serta mendukung program pengupahan ini agar bisa dijalankan
dengan sukses.

Filosofi Teori Kompensasi (Compensation Theory)


Kompensasi merupakan faktor yang sangat berpengaruh di dalam sebuah perusahaan.Tidaklah heran faktor yang satu ini menjadi
salah satu pemicu utama bagi karyawan dalam menentukan langkah karirnya kedepan dan bagi perusahaan adalah penentuan langkah
strategik perusahaan kedepan.
Sistem kompensasi dalam organisasi haruslah diselaraskan dengan strategi & tujuan dari organisasi serta asas kepatutan yang
normatif di dalam lingkungan tersebut sehingga terjadi keselarasan antara perusahaan, karyawan serta komunitas di lingkungan
tersebut (negara & masyarakat sekitarnya)
Di dalam kehidupan bernegara kita mengenal banyak macam ragam sistem perekonomian seperti : komunis, sosialis, dan kapitalis
serta liberalis. Konsep-konsep ini sangat mempengaruhi kehidupan bernegara dan bermasyarakat serta berinvestasi. Karena hal ini
akan saling terkait dengan beberapa faktor yang berlaku & berjalan di suatu daerah / negara.
Namun pada prinsipnya, meskipun berbeda sistemnya, strategi & program kompensasi tetaplah akan berguna & efektif apabila para
pengambil keputusan (top manajemen) melakukan beberapa hal :
1. Asas Kepatuhan
Dilakukan minimal sesuai dengan tatanan hukum & peraturan yang berlaku di lingkungan tersebut (negara)
2. Asas Efektivitas & Efisiensi
Strategi yang dijalankan haruslah efektif & efisien, sehingga perusahaan dapat bersaing dengan sempurna di pasaran global ketika
benchmarking dijalankan
3. Asas 3P Concept
Strategi Kompensasi harus sudah mengikuti konsep
Pay for Position, dimana perusahaan mengacu pada standar yang diberlakukan untuk sebuah posisi yang akan ditempati
oleh karyawan tersebut
Pay for Person, dimana perusahaan mengacu pada budaya organisasi serta adaptabilitas yang tinggi dari karyawan untuk
bisa nyaman bekerja
Pay for Performance, dimana perusahan memberikan peningkatan imbal jasa yang disesuaikan dengan kinerja
4. Asas Kinerja Organisasi
Strategi kompensasi juga mempertimbangkan internal di perusahaan agar tetap berkesinambungan dalam persaingan global di industri.
Peningkatan kinerja diperlukan guna memperbaiki kompensasi yang telah ada.
Produk kompensasi akan selalu berubah setiap masa karena pasar selalu bergerak dan berubah. Untuk itu diperlukan strategi &
pendekatan kompensasi secara fleksibel.
Referensi :
Managing Human Resources, Gomez-Mejia, Prentice Hall
Human Resources Management, Noe, McGraw-Hill
Human Resources Management, Robert L Malthis, South Western
Management Sumber Daya Manusia, Dr.Ir.Tb.Sjafri Mangkuprawira
Erisa Ojimba, Certified Compensation Professional
Diposkan oleh ElangYonDika di 10.13

e Ekonomi Sistem Upah

Sistem Upah
Hai teman-teman, kali ini saya akan membahas Sistem Upah. Di dalam Sistem Upah, akan dibahas mengenai Penghitungan Upah,
Berbagai Macam Bentuk Kompensasi Upah, Penetapan Upah Minimum dan Fasilitas dan Tunjangan Pekerja yaitu sebagai berikut :
Sistem Upah merupakan kebijakan dan strategi yang menentukan kompensasi yang diterima pekerja. Kompensasi sendiri merupakan
bayaran atau upah yang diterima oleh pekerja sebagai balas jasa atas hasil kerja mereka. Bagi pekerja, masalah sistem upah ini merupakan
masalah yang penting karena menyangkut keberlangsungan dan kesejahteraan hidup mereka. Tak heran bila dari buruh hingga direktur
sebuah perusahaan, tidak ada topik yang lebih menarik dan lebih sensitif daripada masalah gaji. Isu diskriminasi dan kesenjangan sosial bisa
muncul karena adanya perbedaan gaji. Buruh seringkali berunjuk rasa menuntut kenaikan gaji atau menuntut bonus yang belum keluar.
Bahkan sering terjadi, karyawan-karyawan dengan potensi baik pindah ke perusahaan lain karena merasa kurang dihargai secara finansial.
Bagi perusahaan sendiri, upah menjadi hal yang penting karena upah bisa mencapai 80% dari biaya operasi dari perusahaan. Upah jika
terlalu tinggi akan menghasilkan harga produk menjadi terlalu mahal untuk bersaing secara efektif di pasar. Meskipun demikian, bila gaji itu
rendah maka akan membuat pekerja keluar, semangat kerja rendah, dan produksi menjadi tidak efisien. Itulah mengapa sistem upah harus
diatur dengan baik sehingga mampu memenuhi kebutuhan pekerja namun dengan tetap menjaga pengeluaran perusahaan.

A. Penghitungan Upah

Secara mendasar, pemberian upah memiliki tiga tujuan sebagai berikut.


1.

Menarik pekerja-pekerja berbakat agar masuk ke dalam perusahaan tersebut.

2.

Mempertahankan karyawan terbaik agar tidak pindah ke perusahaan lain.

3.

Memotivasi karyawan tersebut dalam bekerja.

Untuk mencapai tujuan-tujuan di atas, sebuah sistem pengupahan dapat dikatakan baik jika sistem pengupahan itu:
1.

mampu memuaskan kebutuhan dasar pekerja,

2.

sebanding dengan perusahaan lain di bidang yang sama,

3.

memiliki sifat adil dalam perusahaan, dan

4.

menyadari fakta bahwa kebutuhan setiap orang adalah berbeda.

Dari empat kriteria di atas, krteria paling akhir adalah yang paling sulit untuk dipenuhi, mengingat kebutuhan bagi setiap individu mungkin
berbeda-beda. Mungkin saja bagi karyawan A kenaikan bonus sangat penting. Tetapi bagi karyawan B mungkin fasilitas kredit rumah murah
lebih penting lagi. Itulah mengapa sejumlah perusahaan berusaha menawarkan berbagai fasilitas untuk memenuhi kebutuhan karyawan yang
beragam.
Tiga hal sebagai berikut dapat dijadikan pertimbangan dalam memberikan seberapa banyak upah harus diberikan kepada karyawan.

1) Tingkat Kebersaingan.
Sebuah perusahaan dalam memberikan gaji kepada karyawannya harus melihat bagaimana perusahaan serupa atau perusahaan dengan
industri sejenis di pasar memberikan gaji kepada karyawannya. Sejumlah perusahaan berani memberikan besar karena kondisi perusahaan
sedang membaik dan membutuhkan tenaga-tenaga kerja terbaik. Namun bisa jadi, perusahaan memberikan gaji rendah karena bisnis
perusahaan tersebut sedang menurun atau tidak dapat berkembang.
Perusahaan juga dapat menggunakan survei gaji (wage survey) untuk mengetahui berapa tingkat gaji yang berlaku di dalam bidang
tersebut. Survei gaji merupakan koleksi data yang menyediakan data gaji dalam sebuah industri atau dalam wilayah geografi tertentu. Survei
ini dilakukan oleh organisasi tertentu, pemerintah lokal, dan lain-lain. Di Indonesia, salah satu survei gaji dilakukan oleh konsultan SDM
Hay Management dengan judul Compensation & Benefit Survey. Survei gaji pada tahun 2004 lalu diikuti oleh 102 partisipan.

2) Struktur Upah.
Perusahaan juga harus menentukan tingkat upah bagi semua posisi di dalam perusahaan. Haruskah manajer dibayar lebih tinggi
dibandingkan sekretaris? Haruskah sekretaris dibayar lebih tinggi dari satpam? Hasil dari keputusan ini disebut struktur upah.
Struktur upah ini biasanya dibangun berdasarkan evaluasi pekerjaa. Evaluasi pekerjaan merupakan proses untuk menentukan seberapa
pentingnya pekerjaan tersebut di dalam perusahaan. Kebanyakan orang mungkin setuju bahwa gaji seorang sekretaris harus lebih tinggi dari
seorang satpam. Tetapi seberapa lebih tinggi? Dua kali lipat? Satu setengah kali?
Terdapat sejumlah teknik untuk digunakan mengevaluasi pekerjaan. Teknik paling sederhana adalah dengan membuat peringkat semua
pekerjaan menurut nilainya bagi perusahaan. Selain itu, ada pula yang berdasarkan analisis pekerjaan. Setiap poin diberikan bagi persyaratan
pekerjaan tersebut. Sebagai contoh, untuk lulusan universitas diberikan poin 50 sementara untuk lulusan SMA diberi poin 25. Semakin
tinggi poin tersebut, maka semakin penting pekerjaan tersebut dan semakin tinggi upahnya.

3) Performa Karyawan
Dasar pemberian bayaran berdasarkan hasil kerja pegawai adalah masalah pertambahan nilai. Jika pegawai dapat memberikan
peningkatan hasil kerja pada perusahaan sehingga membantu perusahaan untuk mencapai tujuan bisnisnya, maka pegawai tersebut layak
untuk diberi upah yang lebih dibandingkan dengan karyawan lain yang hasil kerjanya kurang bagus. Dengan demikian pegawai akan
termotivasi untuk meningkatkan hasil kerjanya. Pada posisi yang sama, karyawan yang lebih lama bekerja juga akan relatif memiliki gaji
yang lebih besar daripada karyawan yang baru.

B. Berbagai Macam Bentuk Kompensasi Pekerja

Kata upah dan gaji dalam pandangan umum kelihatannya sama. Namun sebenarnya terdapat sedikit perbedaan antara upah dan gaji.
Upah merupakan balas jasa yang diterima oleh pekerja berdasarkan berapa lama waktu yang ia habiskan untuk menyelesaikan pekerjaannya
atau seberapa banyak hasil produksi yang ia hasilkan. Upah biasanya diberikan kepada buruh produksi atau pekerja tidak tetap. Seorang
penerjemah buku, misalnya. Ia dibayar berdasarkan jumlah halaman yang ia terjemahkan. Jadi bisa saja hari ini ia mendapat bayaran besar
karena banyak jumlah halaman yang ia terjemahkan, namun keesokannya, bayarannya menjadi kecil karena jumlah halaman yang bisa ia
terjemahkan sedikit. Sementara itu, gaji merupakan kompensasi pekerja yang dihitung berdasarkan basis tahunan, bulanan, atau bahkan
mingguan. Gaji biasanya diterima oleh pegawai negeri, pegawai tetap perusahaan baik swasta maupun BUMN, anggota TNI atau
Polri. Macam-macam bentuk upah antara lain sebagai berikut.

Sistem Upah

1) Upah Berdasarkan Waktu. Upah berdasarkan waktu terdiri dari upah per jam, per minggu, atau
per bulan. Upah ini dihitung berdasarkan banyaknya jam kerja. Pada upah per bulan dihitung berdasarkan periode satu bulan. Tenaga kerja
yang dibayar berdasarkan jam biasanya adalah guru privat atau dosen swasta. Buruh pabrik atau tukang kayu terkadang dibayar berdasarkan
harian, namun ada juga yang dibayar setiap minggu. Sementara sistem umum yang sering berlaku, yaitu bulanan, diterima oleh kebanyakan
pegawai negeri dan pegawai swasta pada umumnya. Pekerja yang menerima gaji bulanan biasanya jarang yang menerima upah lembur,
namun mereka tidak kehilangan bayaran bila absen dari pekerjaan mereka selama absen tersebut dapat diterima.

2) Upah Berdasarkan Hasil. Upah berdasarkan hasil digunakan untuk menghargai hasil kerja
berdasarkan berapa banyak telah dihasilkan secara individu atau secara kelompok. Sistem pengupahan seperti antara lain pada bagian
pemasatan. Begitu juga dengan pembuat kerajinan tangan. Penggunaan sistem ini berjalan dengan baik di tempat di mana standar hasil
pekerjaan mudah dinilai dan output setiap pekerja atau departemen dapat diukur secara akurat.

3) Komisi. Komisi merupakan bayaran yang diterima berdasarkan persentase hasil penjualan. Bagian pemasaran dan manajer
pemasaran biasanya dibayar berdasarkan komisi atau kombinasi antara gaji dan komisi.

4) Bonus. Bonus merupakan upah tambahn yang diberikan kepada karyawan di samping gaji tetap yang sudah diterima sebagai
penghargaan. Karena namnya hanyalah tambahan, bonus biasanya diberikan apabila perusahaan mendapatkan keuntungan lebih atau
karyawan tersebut dianggap membantu meningkatkan keuntungan perusahaan. Bonus bisa diberikan secara bervariasi. Ada perusahaan yang
memberikan bonus kepada semua karyawan, namun ada juga bonus yang diberikan kepada karyawan yang berhasil mencapai atau
melampaui bonus yang telah ditetapkan perusahaan. Bonus seperti ini besarnya tidak sama. Bisa saja ada karyawan yang mendapatkan
bonus yang besar, namun sebaliknya bisa saja ada karyawan yang tidak mendapatkan bonus sama sekali.

5) Pembagian Keuntungan. Ide pembagian keuntungan yang diterima perusahaan digunakan untuk
meningkatkan motivasi kerja para pekerjanya. Beberapa perusahaan memasukkan pembagian keuntungan ini pada program pensiun. Dengan
demikian, pekerja menerima keuntungan dengan bunga pada saat mereka pensiun nanti.

C. Penetapan Upah Minimum


Pemerintah mengatur pengupahan melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 05/Men/1989 tanggal 29 Mei 1989 tentang Upah
Minimum. Pada Peraturan Menteri ini, upah minimum dibagi dalam 3 kriteria yaitu Upah Minimum Regional, Upah Minimum Sektor
Regional, dan Upah Minimum Sub Rektor Regional. Lalu PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Propinsi sebagai Daerah Otonom mengubah pemberlakuan Upah Minimum Regional (UMR) menjadi Upah Minimum Propinsi (UMP) atau
Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). Upah Minimum Propinsi dan Upah Minimum Kabupaten/Kota ini ditetapkan setahun sekali
dengan SK Gubernur.

Upah Minimum Propinsi adalah Upah Minimum yang berlaku untuk seluruh kabupaten/kota di suatu propinsi. Sementara itu, Upah
Minimum Kabupaten/Kota adalah upah minimum yang berlaku di daerah Kabupaten/Kota. Dari pengertian tersebut, maka istilah Upah
Minimum Propinsi dianggap sama dengan Upah Minimum Kabupaten/Kota. Upah Minimum Propinsi atau Upah Minimum Kabupaten/Kota
mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2001.
Besaran Upah Minimum antardaerah juga tidak sama karena penetapan dilakukan oleh gubernur masing-masing daerah karena pejabat
ini paling mengerti kondisi daerahnya. Faktor lain yang turut mempengaruhi UMP/UMK adalah Kebutuhan Hidup Minimum (KHM),
Indeks Harga Konsumen (IHK), kondisi pasar kerja dan tingkat perkembangan ekonomi serta pendapatan per kapita. Menurut Humas
Depnakertrans, UMP/UMK merupakan batas terendah yang bisa dibayarkan pengusaha kepada pekerja dan buruh. Perusahaan yang
melanggar ketentuan upah minimum dikenai sanksi pidana dan atau denda sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan
Nomor 13 Tahun 2003.
Mengenai pajak penghasilan yang berhubungan dengan upah minimum propinsi atau upah minimum kabupaten/kota, diatur pemerintah
melalui PP No. 5 Tahun 2003 mengenai Pajak Penghasilan atas Penghasilan yang Diterima oleh Pekerja sampai dengan Sebesar Upah
Minimum Propinsi atau Upah Minimum Kabupaten/Kota. Peraturan ini dibuat karena berdasarkan kenyataan masih banyak pekerja yang
memperoleh penghasilan dalam sebulan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak, namun masih di bawah atau sebesar UMP atau Upah
Minimum Kabupaten/Kota (UMK). Sebagai akibatnya, pekerja tersebut dikenakan PPh Pasal 21 atas penghasilannya, sehingga mungkin
mengurangi maksud peningkatan kesejahteraan pekerja yang bersangkutan. Oleh karena itu, penghasilan pekerja sampai dengan sebesar
UMP/UMK, tidak terhutang pajak penghasilan (PPh Pasal 21).

D. Fasilitas dan Tunjangan Pekerja


Selain menerima gaji, seorang pekerja (dalam hal ini karyawan) biasanya menerima fasilitas-fasilitas dan tunjangan lain. Tunjangan dan
fasilitas ini merupakan kompensasi tidak langsung yang diberikan kepad pekerja. Ada tunjangan yang dibayar langsung oleh perusahaan
seperti asuransi, namun ada juga tunjangan yang diganti oleh perusahaan dalam bentuk uang, antara lain uang kuliah yang dibiayai oleh
perusahaan.
Saat ini, rata-rata tunjangan yang diterima pekerja bernilai sepertiga dari total upah dan gaji. Itulah mengapa seseorang dengan gaji Rp 12
Juta setahun setidaknya menerima tunjangan senilai Rp 4 Juta. Jenis bentuk tunjangan pekerja bervariasi, mulai dari asuransi, tunjangan
kesehatan, tunjangan transportasi, tunjangan pulsa telepon, THR (Tunjangan Hari Raya), keanggotaan klub, kredit rumah, kredit mobil,
pinjaman lunak dari koperasi, potongan harga untuk produk perusahaan, dan lain-lain.

Demikian pembahasan mengenai

Sistem Upah. Semoga memberikan manfaat bagi pembaca sekalian.

Menempatkan Upah Buruh dalam Strategi Industri


CORE Indonesia, Sunday, 05 January 2014

Jika dibandingkan dengan negara-negara berkembang lain, UMR di Indonesia memang bukan yang paling murah,
tetapi masih relatif rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Tiongkok, Malaysia, Thailand, atau
Filipina, meskipun ada beberapa negara seperti Vietnam yang memiliki upah lebih rendah. Namun pembandingan
upah buruh tidak dapat dilakukan dengan cara sederhana karena komponen dalam perhitungan upah minimum dan
kebijakan infrastruktur dasar di setiap negara tidak sama. Di Tiongkok, misalnya, nilai upah yang dibayarkan
perusahaan telah memperhitungkan biaya hidup buruh dan anggota keluarganya (istri dan satu orang anak). Namun,
upah minimum di Tiongkok tidak memasukkan pemenuhan kebutuhan pendidikan dan kesehatan karena telah ada
sistem nasional yang menjamin kebutuhan buruh maupun keluarganya. Sedangkan di Malaysia, upah minimum buruh
masih akan ditambah dengan tunjangan akomodasi yang wajib diberikan oleh perusahaan. Sementara di Indonesia,
upah minimum termasuk juga untuk membiayai berbagai pelayanan dasar tersebut, karena sistem yang ada belum
memadai kecuali di beberapa daerah seperti DKI Jakarta.
Upah minimum juga sangat bergantung pada tingkat produktivitas buruh di suatu negara. Tidak hanya tingkat
pendidikan formal tetapi juga tingkat keterampilan buruh. Sangat mungkin buruh memiliki tingkat pendidikan relatif
rendah akan tetapi memiliki keterampilan yang tinggi dan tidak mudah digantikan seperti pekerja pada industri batik,
ukir, tenun, dll. Itulah sebabnya di beberapa negara seperti India, faktor keterampilan dimasukkan dalam perhitungan
upah minimum.
Memberlakukan upah minimum di Indonesia merupakan pilihan kebijakan yang terbaik untuk saat ini dibandingkan
dengan menyerahkan penentuan upah buruh pada mekanisme pasar. Hal ini disebabkan paling tidak oleh tidak ada
dua hal. Pertama, posisi tawar tenaga kerja di Indonesia yang relatif rendah karena tingkat pendidikan dan
keterampilan yang terbatas. Dua per tiga atau 67% dari 240 juta penduduk Indonesia berpendidikan paling tinggi SMP.
Sementara tingkat pengangguran juga cukup tinggi, yakni 6,25% (7,4 juta orang), dimana 54% dari jumlah tersebut
berpendidikan paling tinggi SMP. Kedua, kebijakan industri belum mendukung sektor usaha sehingga mengakibatkan
tingginya biaya produksi non buruh seperti biaya energi (listrik dan BBM), pungutan-pungutan liar, kerumitan
birokrasi, biaya logistik akibat kurang memadainya pembangunan infrastruktur dll, yang mendorong pengusaha untuk
menekan biaya produksi dari komponen upah buruh. Dengan kondisi ekonomi biaya tinggi dan lemahnya daya saing
tenaga kerja tersebut, apabila upah buruh diserahkan kepada mekanisme pasar, maka buruh akan berada pada posisi
yang lemah sehingga upah yang diterima sangat mungkin di bawah standar kebutuhan hidup layak.

Namun demikian, harus ada re-orientasi dalam kebijakan pengupahan dari semula hanya berorientasi pada
peningkatan daya beli buruh semata menjadi kebijakan pengupahan yang juga mempertimbangkan aspek
pertumbuhan, daya saing ekonomi dan pemerataan ekonomi secara berkesinambungan. Kebijakan pengupahan harus
dikaitkan dengan kebijakan ekonomi lain yang memungkinkan pemerintah melakukan policy mix untuk tetap menjaga
daya saing industri Indonesia. Bila kenaikan upah minimum yang signifikan harus dilakukan, maka pemerintah akan
menyiapkan seperangkat kebijakan untuk menahan kenaikan biaya produksi non upah seperti biaya energi, biaya
bunga pinjaman, dll. Dengan demikian ada burden sharing dalam upaya peningkatan daya beli buruh.

Selain itu, upah minimum perlu pula diatur berdasarkan sektor dan skala usaha perusahaan sebagaimana yang
diberlakukan di negara-negara lain seperti Jepang, India dan Malaysia, sehingga tidak membebani perusahaan yang
produktivitasnya rendah dan memiliki skala usaha yang kecil. Hal ini karena industri dalam sektor tertentu memiliki
produktivitas yang berbeda dengan industri di sektor lain. Demikian pula skala ekonomi UKM akan berbeda dengan
industri besar. Apalagi dalam kenyataannya, banyak perusahaan yang mengaku mengalami kerugian karena harus
membayar karyawannya dengan upah minimum yang telah ditetapkan Pemerintah.
Terakhir, untuk menjaga daya beli buruh dan daya saing industri, waktu penyesuaian upah minimum perlu disesuaikan
dengan kepentingan serta kondisi politik dan ekonomi sebagaimana yang dilakukan di banyak negara, tidak dipatok
setiap tahun seperti yang dilakukan selama ini. Di Perancis, penyesuaian upah dilakukan mengikuti perkembangan
inflasi sehingga bisa beberapa kali dalam setahun. Tiongkok juga menunda kenaikan upah minimum saat krisis
finansial tahun 2009 yang mengakibatkan ekspor merosot. Pelajaran penting yang dapat diambil adalah bahwa
kebijakan pengupahan harus mempertimbangkan lingkungan usaha.

Kebijakan Pengupahan yang


Menggairahkan Investasi
Detail

Dilihat: 6594

Indrasari Tjandraningsih - Peneliti Perburuhan AKATIGA


Persoalan kemiskinan di Negara ini semakin merisaukan. Masalah kemiskinan yang terus meluas di kalangan yang memang
sudah miskin: buruh, petani, nelayan, pelaku sector informal, semakin kasat mata. Upah dan pendapatan kelompok marjinal
ini semakin rendah dan semakin tak mampu mengejar lonjakan kenaikan harga-harga barang kebutuhan pokok.
Salah satu kelompok yang sedang menghadapi pemiskinan adalah buruh di sector industri manufaktur. Apabila ditelusuri lebih
ke hulu, kemiskinan buruh di sector industri sesungguhnya merupakan hasil dari kebijakan pemerintah untuk menciptakan
iklim investasi yang kondusif sebagai upaya untuk mengundang sebanyak mungkin investor (asing). Ada dua strategi dasar
yang dilakukan pemerintah untuk mendukung kebijakan tersebut yakni pertama menjalankan kembali politik upah murah
dan kedua menerapkan prinsip-prinsip liberal, fleksibel dan terdesentralisasi dalam urusan ketenagakerjaan. Kedua strategi
tersebut secara sistematis telah memiskinkan buruh.
Politik upah murah secara resmi dan menyolok digunakan oleh BKPM untuk mengundang investasi. Dalam promosinya yang
bertajuk Invest in Remarkable Indonesia, upah buruh yang murah dijadikan daya tarik. Mengutip Economic Intelligence Unit,
brosur BKPM mencantumkan upah buruh Indonesia yang hanya USD 0.6 per jam dibandingkan dengan India (1.03), Filipina
(1.04), Thailand (1.63), Cina (2.11) dan Malaysia (2.88). Menyertai angka-angka tersebut brosur promosi itu mencantumkan
labor cost is relatively low, even as compared to investment magnets China and India .
Upaya BKPM menarik investasi asing dengan menonjolkan murahnya upah buruh di Indonesia mengingatkan kembali pada
kebijakan pemerintah di masa Orde Baru dengan politik upah murahnya dan sekaligus menunjukkan kemunduran arah

kebijakan. Upaya ini juga memperlihatkan kesenjangan pemahaman pemerintah terhadap perubahan tuntutan perusahaan
dalam kompetisi global. Dalam kompetisi global, investor menuntut ketepatan waktu dan mutu kerja yang tinggi serta
pelayanan birokrasi yang efisien. Para pengusaha tekstil dan garmen Indonesia yang telah melihat perkembangan industri di
Vietnam dan Cina menyatakan bahwa keterampilan dan mutu hasil kerja buruh Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan buruh
di kedua negara tersebut dan menyatakan bahwa sesungguhnya apabila biaya birokrasi dan berbagai pungutan dapat
dihapuskan, upah minimum yang ditingkatkan dua kali lipat sekalipun dapat diberikan.
Politik upah murah telah terbukti menciptakan sulitnya kehidupan buruh karena nilai rata-rata upah mnimum sebesar
Rp.892,160 hanya mampu membiayai 62,4 persen rata-rata pengeluaran riil buruh (AKATIGA-SPN-GarTeks-FES-TWARO
2009).
Prinsip-prinsip liberal, fleksibel dan terdesentralisasi dalam kebijakan ketenagakerjaan menunjukkan kepatuhan pemerintah
terhadap tekanan kapitalisme global agar Indonesia menerapkan syarat-syarat perbaikan iklim investasi dengan cara :
meliberalisasi peraturan perburuhan, melonggarkan pasar kerja dan mendesentralisasi urusan ketenagakerjaan. Ketiga prinsip
tersebut dalam implementasinya secara pasti telah menurunkan kesejahteraan buruh dan menghilangnya kepastian kerja
melalui sistem hubungan kerja kontrak, outsourcing dan magang. Sistem kerja ini juga membatasi masa kerja menjadi sangat
pendek melalui kontrak selama enam bulan hingga paling lama dua tahun dan mempersempit peluang kerja di sektor formal
bagi angkatan kerja usia produktif karena munculnya kecenderungan baru pada preferensi perusahaan untuk hanya
mempekerjakan buruh yang berusia 18-24 tahun untuk alasan produktivitas. Sebuah studi di sektor metal menemukan bahwa
sistem hubungan kerja yang fleksibel telah menurunkan upah buruh kontrak dan outsourcing hingga 26 persen terhadap upah
buruh tetap.
Sistem yang sama telah mampu menurunkan biaya tenaga kerja hingga 20 persen karena dengan mempekerjakan buruh
dengan sistem kontrak perusahaan hanya perlu membayar upah pokok dan tidak perlu memberikan kompensasi ketika
hubungan kerja berakhir. Inilah sebabnya dalam lima tahun terakhir fenomena hubungan kerja kontrak dan outsourcing
menjadi sangat massif dan diterapkan di hampir semua sektor industri. Berbagai laporan dan hasil studi menunjukkan di
berbagai perusahaan di sektor garmen dan logam serta elektronik saja misalnya pengurangan penggunaan buruh tetap dan
menggantikannya dengan buruh kontrak terus terjadi.
Implikasi kebijakan ini jelas memiskinkan buruh karena dengan sistem kerja kontrak, upah buruh tidak akan pernah mengalami
kenaikan dan berbagai tunjangan yang biasa diterima oleh buruh tetap dengan sendirinya tidak diberikan.
Meskipun sistem kerja yang fleksibel berdampak negatif terhadap buruh tetapi rupanya masih dianggap belum cukup
memberikan keleluasaan bagi modal sehingga peraturan ketenagakerjaan yang ada masih akan dikaji ulang dan dibuat kondisi
yang lebih longar lagi dalam mempekerjakan buruh. Sekali lagi, sistem kerja yang lebih fleksibel diupayakan agar semakin
banyak investasi asing yang datang.
Kecenderungan pada pemerintah yang lebih mempersoalkan masih kurang fleksibelnya pasar kerja dan menekankan aspek
tenaga kerja sebagai penyebab tak kunjung kondusifnya iklim investasi, menunjukkan ketidakmampuan untuk mencari jalan
keluar terhadap pokok penyebab biaya tinggi dalam berinvestasi di Indonesia yang bersumber dari buruknya infrastruktur dan
birokrasi serta tingginya pungutan. Situasinya persis seperti kalimat para pengusaha di Bandung yang mengatakan bahwa
lebih mudah menghadapi protes buruh daripada menghadapi birokrasi dan aparat pemerintah karena tuntutan aparat
pemerintah di jaman otonomi daerah jika tidak dipenuhi justru akan menimbulkan lebih banyak masalah terhadap kelancaran
usaha.
Implikasi dan arah kebijakan
Politik upah murah dan ketiga prinsip yang menjadi warna utama kebijakan ketenagakerjaan di atas, apabila terus
dipertahankan maka dalam waktu yang tidak terlalu panjang justru akan menjadi bumerang bagi upaya pemerintah untuk
memperbaiki iklim investasi dan menghapus kemiskinan. Upah murah dan ketidakpastian pekerjaan akan membawa implikasi
terhadap penurunan kinerja dan produktivitas buruh. Kondisi kerja yang buruk dan penurunan kesejahteraan hanya akan
menghasilkan aksi aksi protes buruh yang jelas akan membuat situasi investasi tidak nyaman dan hasil akhirnya justru
akan membuat para investor berpikir ulang untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Belajar dari berbagai negara yang berhasil meraih investasi dengan mengedepankan mutu angkatan kerja dan kesejahteraan
buruh melalui penyediaan jaminan sosial, maka strategi mengundang investasi dengan menjual buruh murah seperti yang
dilakukan pemerintah Indonesia saat iini justru terasa sangat primitif dan memprihatinkan dan oleh karenanya harus
ditinggalkan. Fleksibilitas pasar kerja memang merupakan gejala global akan tetapi di berbagai negara kebijakan tersebut
selalu disertai dengan penyediaan jaminan sosial sebagai fall-back cushion atau jaring pengaman bagi buruh.
Di tengah iklim persaingan global, pendulum kebijakan ketenagakerjaan yang semakin menjauh dari posisi melindungi buruh
sudah saatnya didekatkan kembali dan pemerintah adalah pihak yang seharusnya paling mampu untuk melakukannya.
Menjadi negara yang ramah terhadap bisnis harus dipandang sebagai cara untuk mendatangkan sebesar-besarnya
kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi dan bukan untuk memiskinkan rakyat. Menjadi negara yang
ramah terhadap investor dan meningkatkan kehidupan sosial ekonomi warganya merupakan sebuah peta jalan pembangunan
yang sudah ditempuh juga oleh Malaysia, Thailand, Taiwan, Korea Selatan dan Cina. Peta jalan tersebut dapat dilengkapi

dengan kejelasan visi pembangunan bangsa dan arah untuk menempatkan negara di posisi terhormat di dalam konstelasi
global. Persaingan global yang semakin ketat dan sengit hanya dapat dimenangkan oleh negara dengan pemerintahan yang
kuat dan konsisten menegakkan peraturan yang bersemangat keadilan.

Strategi Terbaik dalam Menghadapi Kenaikan UMR dan UMK


Sebagaimana yang kita ketahui bahwa hampir di setiap tahunnya, para buruh dan karyawan melakukan
demonstrasi untuk menuntut kenaikan upah kerja demi kelayakan hidup mereka. Para pemilik perusahaan
pastinya harus menyiapkan suatu strategi untuk menghadapi adanya kenaikan UMR dan UMK yang ditetapkan
pemerintah demi keberlangsungan usaha mereka.
Penetapan nilai dna besaran UMK dan UMR di masing-masing wilayah di Indonesia pastinya merupakan hasil
keputusan yang telah disetujui banyak pihak baik dari sisi pengusaha, asosiasi buruh, serta pemerintah sebagai
mediator. Dan dengan ditetapkannya besaran UMK dan UMR, pengusaha juga harus menyesuaikan pemberian
upah kerja buruh dan karyawan mereka sesuai dengan peraturan yang ditetapkan tersebut.
Adanya kenaikan UMK ataupun UMR tentu sangat berpengaruh terhadap kinerja perusahaan sehingga
dibutuhkan strategi menghadapi kenaikan UMR dan UMK yang cukup tinggi. Tidak sedikit perusahaan yang
merasa cukup keberatan dengan hasil keputusan penetapan besaran UMR dan UMK di daerah tempat usaha
mereka.
Beberapa perusahaan yang cukup panik menghadi kenaikan UMR ataupun UMK seringkali mengambil jalur
hukum terkait kenaikan upah minimum tersebut. Bahkan, tidak sedikit pula perusahaan yang memberikan
ancaman akan keluar dari Indonesia karena merasa keberatan untuk memenuhi besarnya upah kerja buruh dan
karyawan yang semakin meningkat.
Padahal, ketika perusahaan mau lebih jeli dan cerdas untuk menyikapi adanya kenaikan UMK ataupun UMR,
mereka bisa menemukan suatu strategi yang dapat ditempuh sebagai salah satu langkah untuk menghadapi
kenaikan upah minimum di wilayah tersebut yaitu dengan melakukan suatu upaya penangguhan upah. Upaya
penangguhan upah ini rupanya juga telah diatur dalam Pasal 90 ayat 2 UU no 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa bagi pengusaha yang tidak mampu untuk membayar upah minimum
sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 89 dapat dilakukan penangguhan. Berdasarkan penjelasan yang
berhubungan dengan bunyi ayat pada pasal tersebut dijelaskan bahwa upaya penangguhan pelaksanaan upah
minimum bagi perusahaan-perusahaan yang tidak mampu terutama perusahaan yang bekerja di sektor mikro
kecil menengah (UMKM) ataupun perusahaan yang bergerak di bidang padat karya.
Upaya penangguhan upah ini ditujukan untuk memberikan kebebasan bagi perusahaan yang bersangkutan
tersebut untuk melaksanakan upah minimum dalam kurun waktu tertentu.
Dalam hal ini, pihak Apindo ataupun KADIN biasanya akan melakukan penyeleksian perusahaan-perusahaan
yang memang mampu membayar upah kerja buruh sesuai UMR dan UMK ataupun perusahaan yang tidak
mampu membayar upah sesuai peraturan yang ditetapkan. Dari daftar seleksi terhadap perusahaan tersebut
diharapkan bisa memberikan gambaran bahwa perusahaan yang memang tidak mampu membayar upah
minimum bisa mengupayakan untuk melakukan penangguhan upah sesuai dengan prosedur dan ketentuan.
Meskipun upaya penangguhan upah bisa menjadi salah satu strategi menghadapi kenaikan UMR dan UMK,
tentu saja perusahaan hendaknya juga mengikuti mekanisme dan prosedur penangguhan yang sesuai dengan
apa yang ditetapkan dalam peraturan perundang-uandangan sehingga tidak akan ada pihak-pihak yang merasa
diperlakukan secara tidak adil.
Dan, tentu saja, pihak pemerintah hendaknya juga tidak mempermudah pengusaha yang ingin melakukan upaya
penangguhan terkait adanya kenaikan upah minimum tersebut. Karena bagaimana pun, keputusan penetapan
besaran upah minimum di masing-masing wilayah juga menjadi keputusan bersama baik dari pihak buruh
ataupun pekerja, pengusaha, serta pemerintah.

Cara untuk melakukan upaya penangguhan upah sebenarnya cukup sederhana. Pihak perusahaan hanya perlu
mengajukan permohonan penangguhan kepada pemerintah setempat melalui instansi tang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan selambatnya sepuluh hari sebelum tanggal berlakunya upah minimum. Permohonan
tersebut juga harus berdasarkan pada kesepakatan tertulis antara perusahaan dan serikat buruh.
Pada proses pengajuan permohonan, perusahaan juga harus melampirkan beberapa dokumen pendukung
seperti laporan keuangan dua tahun terakhir yang selanjutnya akan diaudit oleh akuntan publik untuk
membuktikan bahwa perusahaan tersebut memang tidak sanggup untuk membayar upah minimum seperti yang
ditetapkan.
Selain melalui upaya penangguhan upah, strategi menghadapi kenaikan UMR dan UMK yang bisa menjadi
alternatif bagi para pengusaha adalah dengan melalui gugatan jalur hukum.
Alternatif strategi ini memang bisa menjadi pilihan dan solusi bagi perusahaan atas kenaikan besaran upah
minimum yang telah ditetapkan. Dan, hal ini juga sah-sah saja untuk dilakukan. Dengan mengajukan gugatan
melalui jalur hukum, maka pengadilan yang akan menetapkan pihak mana yang benar ataupun salah dalam
permasalahan kenaikan upah minimum tersebut.
Strategi lain untuk menyikapi kenaikan UMR ataupun UMK adalah dengan melakukan suatu perundingan
bipartit. Hanya saja, dalam hal ini pengusaha tidak menggelar perundingan bipartit dengan serikat buruh karena
nantinya hasil perundingan tersebut akan batal demi hukum.
Perundingan bipartit yang bisa diselenggarakan adalah antara pengusaha dengan pemerintah yang mana dalam
perundingan tersebut bertujuan untuk menemukan suatu terobosan dan solusi program yang bisa mendukung
dunia usaha terutama pada sektor UMKM dan padat karya.
Perusahaan juga bisa mengambil strategi menghadapi kenaikan UMR dan UMK dengan beberapa solusi
alternatif lainnya seperti dengan menekan biaya produksi yang mana untuk bisa menjalankan solusi ini
perusahaan akan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada sebagian pekerja.
Solusi ini mungkin cukup ekstrim untuk dilakukan namun hal ini bisa menjadi salah satu solusi dan strategi untuk
menghadapi adanya kenaikan upah minimun.
Selain itu, beberapa pengusaha mengambil langkah untuk mempertimbangkan pemindahan lokasi perusahaan
ke daerah dengan upah minimum yang lebih rendah. Apapun strategi yang diambil perusahaan ketika
menghadapi adanya kenaikan UMR dan UMK hendaknya juga melalui suatu pertimbangan yang bijak dan
matang sehingga semua bisa menjadi solusi memecahkan permasalahan.

Mencari strategi pengupahan


Koran SINDO

Rabu, 30 Oktober 2013 13:16 WIB

DINNA WISNU, PhD


A+ AKEMARIN dan hari ini serikat-serikat buruh akan melakukan unjuk rasa untuk menuntut perbaikan
kesejahteraan. Serikat buruh di beberapa wilayah seperti di Kawasan Berikat Nusantara Cakung sudah
melakukan aksi pemanasan menjelang aksi besar tanggal 31 Oktober nanti.
Tuntutan mereka antara lain kenaikan upah minimum 50% atau Rp3,7 juta untuk mereka yang bekerja di
Jakarta, penghapusan outsourcing, dan pelaksanaan jaminan sosial. Permintaan mereka sama dengan tuntutantuntutan yang pernah diajukan beberapa tahun lalu. Meskipun beberapa serikat buruh lain menyatakan tidak
akan mengikuti aksi unjuk rasa ini, dampak yang ditimbulkan dari aksi ini tetap signifikan.
Banyak pihak yang mendukung, tetapi juga banyak yang menolak aksi unjuk rasa ini. Pihak yang mendukung
mengatakan bahwa tuntutan buruh sudah sesuai dengan kenyataan yang ada di lapangan. Harga-harga barang
pokok seperti makanan telah naik sangat signifikan. Makanan yang sehari- hari dianggap sebagai makanan
rakyat seperti tempe dan tahu tidak lagi sama kualitasnya seperti setahun lalu.
Harga daging sudah seperti barang mewah, demikian pula cabai, bawang putih, bawang merah, dan bumbu
dasar lainnya. Kenaikan itu juga diikuti dengan kenaikan ongkos transportasi yang ikut membebani pengeluaran
para buruh, tidak hanya buruh kerah biru di kawasan industri, tetapi juga buruh kerah putih yang bekerja di
jantung kota-kota besar.
Mereka yang menolak mengatakan bahwa aksi unjuk rasa ini terlalu berlebihan. Tuntutan kenaikan upah buruh
sebesar 50% dianggap terlalu berlebihan di mana banyak kelas buruh lain yang masih menerima upah di bawah
tuntutan tersebut. Para pengusaha juga mengatakan serikat buruh tidak realistis melihat kenyataan ekonomi
yang sedang kembang kempis karena krisis ekonomi di dunia belum berakhir.
Sejumlah pasar tujuan ekspor produk-produk seperti pakaian, sepatu, apparel, dan produk manufaktur lain
belum pulih dari krisis. Atau di negara tujuan mereka juga harus bersaing dengan produk dari China, Vietnam,
Kamboja, dan negara-negara yang menawarkan barang lebih murah. Mereka yang menolak dan mendukung
sebetulnya telah mengatakan hal yang sama berulang kali di tahun-tahun sebelumnya.
Bagi saya hal itu menjadi indikator bahwa tidak terjadi perubahan struktural yang berarti di dalam hubungan
industrial ketenagakerjaan di Indonesia. Pengusaha dan buruh terus menghadapi masalah makro dan mikro
yang tidak dapat diselesaikan hanya dengan memenuhi atau menolak tuntutan kenaikan upah dan perbaikan
kesejahteraan.

Tidak terjadi dialog atau komunikasi tentang dasar-dasar hubungan industrial yang kokoh antara pengusaha,
buruh, dan negara. Contohnya adalah rumusan tentang masalah pengupahan. Rumusan pengupahan pada saat
ini secara sederhana adalah upah pokok dan tunjangan. Penentuan upah pokok akan diputuskan melalui survei
konsumsi di pasar-pasar rakyat melalui komponen hidup layak.
Dari komponen itu akan lahir sebuah pengeluaran total seorang buruh yang lajang untuk menjadi dasar
negosiasi di Dewan Pengupahan yang terdiri atas perwakilan pemerintah, buruh, dan pengusaha di tingkat
nasional atau daerah. Dengan kata lain, survei hidup layak tidak lantas menjadi upah minimum karena masih
perlu dinegosiasikan.
Hal ini mencerminkan bahwa upah dalam sejarahnya selalu merupakan keputusan politik dari ketiga belah pihak:
pengusaha, pemerintah, dan buruh. Bila tidak ada lagi dasar kepercayaan di antara tiap pihak, sudah pasti tidak
akan keluar keputusan politik tentang upah. Proses politik ini membutuhkan biaya yang tinggi mulai dari survei
hingga aksi unjuk rasa bila terjadi ketidaksepakatan politik di antara ketiga pihak
Saya membayangkan apabila setiap akhir tahun terjadi aksi unjuk rasa, kerugiannya mungkin jauh lebih banyak
dari pengeluaran kampanye para kandidat presiden setiap lima tahun sekali. Upah sebagai keputusan politik
adalah kenyataan yang berlaku di setiap negara. Upah bukan semata-mata lahir dari perhitungan rasional
ekonomi.
Setiap negara memiliki strategi pengupahannya untuk para pekerja sesuai dengan kebijakan ekonomi dalam dan
luar negeri mereka dalam menghadapi kompetisi di pasar bebas. Tidak ada satu cetak biru atau template yang
bisa berlaku secara umum di setiap negara karena setiap negara memiliki kelebihan dan kekurangan. Kita dapat
mengambil contoh tentang kebijakan upah minimum Amerika yang menetapkan upah minimum
serendahrendahnya, tetapi dipatok pada indeks harga konsumen.
Mereka mengambil strategi itu agar pasar tenaga kerja dalam negeri dapat lebih kompetitif dan menarik
investasi-investasi yang lari dari Amerika menuju negara-negara yang memiliki upah lebih rendah daripada upah
buruh di Amerika dan agar pemerintah federal maupun negara bagian punya patokan ketika merekrut pegawai
temporer.
Amerika tidak peduli terjadi kesenjangan upah antara pekerja yang memiliki ketrampilan tinggi dengan pekerja
yang berketrampilan rendah selama investor bisa melihat bahwa mereka dapat jauh lebih untung menanamkan
modalnya di Amerika ketimbang di luar negeri. Profesor Berkeley dan mantan Menteri Perburuhan Amerika
Robert Reich mengatakan total kekayaan dari 400 orang terkaya di AS tetap lebih tinggi dibandingkan total
kekayaan 150 juta orang Amerika.
CNN mengatakan 1% orang kaya Amerika yang berpendapatan USD380.000 atau lebih memiliki rata-rata
pertumbuhan pendapatan 33% dalam 20 tahun terakhir. Hal ini berakibat juga pada kesenjangan pendidikan,
kualitas makanan, dan sebagainya. Strategi yang berbeda dilakukan negara-negara yang tergabung di Uni
Eropa.
Negaranegara Uni Eropa bersepakat untuk menjaga agar tidak ada kesenjangan upah bagi pekerja terampil dan
tidak terampil. Orang kaya dipajaki setinggi-tingginya, sementara upah minimum ditetapkan di atas standar garis
kemiskinan. Pajak yang tinggi ini kemudian digunakan untuk terus meningkatkan kualitas jaminan sosial bagi
warga mereka.
Tujuan dari strategi tidak lepas dari fokus utama negara Eropa untuk mengandalkan sumber daya manusia
mereka sebagai pelopor dalam inovasi teknologi dan pengetahuan. Inovasi teknologi tidak dapat dilakukan
apabila akses pendidikan dan kesejahteraan terbatas atau hanya bisa dinikmati orang-orang kaya. Akses ini
harus terbuka kepada setiap warga.
Hal ini menyebabkan kasus-kasus relokasi industri yang padat teknologi di Eropa sangat rendah. Apabila mereka
harus melakukan relokasi, biasanya tetap di wilayah Eropa dan tidak akan sampai ke Asia atau Afrika. Untuk
Indonesia, wajib dipahami politik pengupahan kita yang masih fokus pada upah rendah sudah ketinggalan
zaman. Pada dasarnya upah saja tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja karena harga
komoditas dan layanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan juga meningkat terus.
Selain itu persaingan dunia usaha makin ketat di bidang yang membutuhkan ketrampilan khusus. Artinya, perlu
ada transisi dari politik upah murah pada pemberian insentif bagi pekerja yang mau menginvestasikan waktu dan
tenaga untuk mendukung pengembangan industri berteknologi tinggi.
Tak perlu takut investor kabur karena iklim usaha tidak semata ditentukan oleh upah buruh, justru pemerintah

wajib memperbaiki faktor pendukung usaha yang lain seperti infrastruktur, kepastian hukum, birokrasi, dan biaya
logistik yang kompetitif.

Pertanyaan :

Bolehkah Menyepakati Upah di Bawah Upah Minimum?


Saya mau tanya, apakah diperbolehkan membayar upah buruh di bawah UMP dengan tentunya
ada kesepakatan secara tertulis dengan buruh pada awal buruh mulai masuk kerja? Demikian
pertanyaan dari saya. Terima kasih.

Jawaban :
Sehubungan dengan pertanyaan Anda, bersama ini dapat saya sampaikan
penjelasan sebagai berikut:
1. Menurut Pasal 90 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan(UU
Ketenagakerjaan) pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah
dari upah minimum, baik upah minimum (UM) berdasarkan wilayah
propinsiatau kabupaten kota (yang sering disebut Upah Minimum Regional,
UMR) maupun upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah propinsi
atau kabupaten/kota (Upah Minimum Sektoral, UMS).

2. Larangan tersebut, menyangkut beberapa aspek hukum, baik perdata


maupun pidana, dan bahkan- aspek hukum administrasi.
a. Dari
aspek
hukum
pidana,
kesepakatan
(antara pekerja/buruh dengan pengusaha) untuk membayar upah di
bawah upah minimum (tanpa adanya persetujuan penangguhan dari
yang
berwenang)
merupakan
pelanggaran tindak
pidana kejahatan dengan ancaman hukuman pidana penjara antara 1
(satu) tahun sampai dengan 4 (empat) tahun dan/atau denda
antaraRp100.000.000,- (seratus juta rupiah) sampai dengan
Rp400.000.000,- (empat ratus juta rupiah) sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 185 ayat (2) UU Ketenagakerjaan.
b. Dari aspek hukum perdata, berdasarkan Pasal 52 ayat (1) huruf
d UUKetenagakerjaan dan Pasal 1320 ayat 4 jo Pasal 1337 Kitab
Undang-Undang
Hukum
Perdata (KUH
Perdata),
bahwa
kesepakatan dalam suatu perjanjian, termasuk perjanjian kerja, tidak
boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Atau
dengan perkataan lain, kesepakatan (konsensus) para pihak causa-nya

harus halal, dalam artisuatu causa terlarang, apabila dilarang oleh


undang-undang. Dengan demikian memperjanjikan upah di bawah upah
minimum (UMR/UMS) adalah null and void, batal demi hukum
(vide Pasal 52 ayat [3] UU Ketenagakerjaan).
c. Dari aspek hukum administrasi, berdasarkan Pasal 90 ayat (2)
UUKetenagakerjaan jo Pasal 2 ayat (2) jo Pasal 3 ayat (2)
Kepmenakertrans No. Kep-231/Men/2003 dan Pasal 2 ayat (3)
Permenekartrans. No. Per-01/Men/I/2006, bahwa apabila pengusaha
tidak mampu membayar upah minimum dan ada telah- kesepakatan
untuk membayar- menyimpang/kurang dari ketentuan upah minimum,
maka kesepakatan tersebut (antara pekerj/buruh dengan pengusaha)
harus didasarkan atas persetujuan penangguhan dari pihak yang
berwenang (dalam hal ini Gubernur setempat). Dengan kata lain, walau
telah ada kesepakatan, apabila tidak/belum mendapat persetujuan
(penangguhan) tidak dapat diterapkan.

3. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dengan demikian, atas dasar


kesepakatan saja (antara pekerja/buruh dengan pengusaha) tidak cukup
sebagai dasar untuk membayar upah menyimpang dari ketentuan upah
minimum yang ditentukan. Hemat saya, upaya yang dapat dilakukan adalah
melakukan efisiensi dalam segala hal dengan meningkatkan produktivitas.

4. Sekedar untuk dipahami, bahwa pada prinsipnya besaran upah minimum


yang ditetapkan oleh Gubernur (UMR/UMS) untuk suatu periode tertentu
bukanlah merupakan dasar pembayaran upah untuk seluruh pekerja/buruh
di perusahaan yang bersangkutan, akan tetapi hanyalah merupakan
standar upah untuk pekerja/buruh tertentu, yakni:
a. pada level jabatan atau pekerjaan (job) terendah (vide Pasal 92
ayat [1]UU Ketenagakerjaan jo Pasal 1 angka 2 Kepmenaker No.
Kep-49/Men/IV/2003 mengenai adanya struktur dan skala upah yang
berjenjang);
b. masa kerja 0 tahun atau masa kerja tahun pertama (vide Pasal 14
ayat [2]Permenaker Nomor Per-01/Men/1999); dan/atau
c. masih lajang (vide Pasal 1 angka 1 Permenakertrans Nomor 13
Tahun 2012)

Dengan demikian, bagi pekerja/buruh yang level jabatannya lebih tinggi (di
atas job yang terendah), masa kerjanya lebih dari 1 (satu) tahun, dan/atau
telah mempunyai tanggungan (secara resmi), maka besaran upahnya tentu
bukan lagi standard UMR/UMS, akan tetapi harus disesuaikan
berdasarkan struktur dan skala upah (vide Pasal 1 angka 2 dan 3
Kepmenaker No. Kep-49/Men/IV/2003)

Demikian penjelasan dan opini saya, semoga dapat dimaklumi.

Dasar Hukum:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata, BW, Burgerlijk


Wetboek).
2. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

3. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep231/Men/2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah
Minimum
4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per01/Men/I/2006 tentang Pelaksanaan Pasal 3 Keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep-231/Men/2003 tentang Tata Cara
Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum.
5. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-01/Men/1999 tentang Upah
Minimum sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep-226/Men/2000.
6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 13 Tahun 2012
tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Kebutuhan Hidup Layak.
7. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
49/Men/IV/2003 tentang Ketentuan Struktur dan Skala Upah

No.

Kep-

Jika Pihak dalam Perjanjian Beriktikad Buruk


Mohon penjelasan, apakah setiap perjanjian yang sudah disepakati oleh para pihak itu tetap berkekuatan mengikat, sekalipun
salah satu pihak telah melakukan iktikad buruk?

Jawaban :
Berdasarkan Pasal 1320 BurgerlijkWetboek (BW atau KUH Perdata), ada 4 (empat) syarat sahnya suatu
perjanjian, yakni: (1) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; (2) kecakapan para pihak untuk

membuat perjanjian; (3) mengenai suatu hal tertentu (ada objeknya); dan ada suatu sebab (causa)
yang halal.

Dengan demikian, apabila suatu perjanjian sudah memenuhi syarat sahnya perjanjian (termasuk
telah disepakati oleh para pihak), maka sepanjang syarat lainnya juga terpenuhi (jika ada), perjanjian
dimaksud tentu mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (beginzel dercontract vrijheid). Demikian juga
perjanjian tersebut mengikat sebagai -dan merupakan- undang-undang (pacta sun servanda) bagi mereka
yang membuatnya (vide Pasal 1338 BW).

Sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian, yang dimaksud dengan sepakat(Prof. Subekti, hal. 17),
adalah konsensus untuk seia sekata (consensual) di antara para pihak. Dalam arti, apa yang dikehendaki
oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak lainnya. Tidak ada unsur-unsur kehilafan (dwaling),
tidak karena paksaan (dwang) dan juga bukan karena penipuan (bedrog) dari satu pihak terhadap pihak
lainnya secara bertimbal-balik (Pasal 1321 BW).

Oleh karena itu, suatu perjanjian harus disertai dengan iktikad baik atau goodfaith, (vide Pasal 1338
ayat [3] BW). Apabila salah satu pihak mempunyai niat buruk (istilah Saudara: salah satu pihak telah
melakukan iktikad buruk), maka menurut hemat kami, pihak yang bersangkutan telah sejak awal
ada niatburuk (untuk melakukan penipuan) terhadap pihak lainnya sehingga tidak memenuhi syarat sahnya
perjanjian. Artinya, perjanjian yang mengandung unsur penipuan yang dilakukan dan diniatkan oleh
salah satu pihak, atau mungkin juga- oleh kedua belah pihak dalam konteks yang sebaliknya, tentu tidak
memenuhi syarat sahnya perjanjian.

Dengan perkataan lain, bilamana secara umum syarat sepakat tersebut tidak terpenuhi (dengan adanya
penipuan), maka perjanjian dimaksud dapat dibatalkan (voidable). Namun, karena syarat yang diabaikan
adalah syarat subjektif (yakni unsur sepakat), maka apabila salah satu pihak tidak berkenan dengan
perjanjian yang mengandung unsur penipuan dimaksud, pihak lainnya dapat membatalkan (voidable).
Maksudnya, pihak yang tidak suka dengan perjanjian (yang mengandung unsur penipuan) tersebut, dapat
melakukan upaya pembatalan, dan tidak batal dengan sendirinya (null and void).

Demikian opini kami, mudah-mudahan dapat menambah wawasan Saudara.

Dasar hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)

Pertanyaan :

Pembatalan Perjanjian yang Batal demi Hukum


Jika suatu perjanjian batal demi hukum (perjanjian dengan anak di bawah umur) apakah masih perlu untuk mengajukan
pembatalan perjanjiannya ke Pengadilan Negeri?

Jawaban :
Berdasarkan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), syarat sahnya
perjanjian adalah sebagai berikut:

SYARAT SAHNYA PERJANJIAN

1. Kesepakatan para pihak dalam perjanjian

Syarat SUBJEKTIF

2. Kecakapan para pihak dalam perjanjian

3. Suatu hal tertentu

Syarat OBJEKTIF

4. Sebab yang halal

Kecakapan para pihak merupakan salah satu syarat subjektif dari sahnya perjanjian. Dan yang
termasuk tidak cakap oleh KUHPer adalah orang-orang yang belum cukup umur, orang-orang yang
ditempatkan di bawah pengampuan dan wanita bersuami. Akan tetapi berdasarkan Surat Edaran
Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 tanggal 5 September 1963, seorang istri berwenang
melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya.

Menurut Pasal 330 KUHPerdata yang belum cukup umur (dewasa) adalah mereka yang belum
mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan belum kawin sebelumnya. Jika belum berumur
21 namun telah menikah, maka dianggap telah dewasa secara perdata dan dapat mengadakan
perjanjian.

Jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
Sedangkan, jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat objektif, maka perjanjian tersebut
adalah batal demi hukum.

Dapat dibatalkan artinya salah satu pihak dapat memintakan pembatalan itu. Perjanjiannya sendiri
tetap mengikat kedua belah pihak, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang
berhak meminta pembatalan tadi (pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya
secara tidak bebas).

Sedangkan batal demi hukum artinya adalah dari semula dianggap tidak pernah ada dilahirkan
suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Simak pula artikel Batalnya Suatu Perjanjian.

Jadi, bila perjanjian dibuat dengan anak di bawah umur, tidak serta merta membuat perjanjian
tersebut batal demi hukum, tapi harus dimintakan pembatalannya ke Pengadilan Negeri.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau
facebook Klinik Hukumonline.

Mengkritisi Kebijakan Upah


Minimum Yang Tinggi

Haryo Aswicahyono
Peneliti Center for Strategic and International Studies

Rabu, 27 Mei 2015 | 15:00 WIB


Ikuti
Pendukung upah minimum yang tinggi sering berargumen bahwa menaikkan upah minimum adalah instrumen yang
efektif untuk mengurangi kemiskinan. Dengan upah minimum yang tinggi, buruh miskin akan terjamin daya belinya
sehingga tetap dapat memenuhi standar kebutuhan hidup layak (KHL).
Memenuhi KHL dalam waktu singkat bagi buruh adalah tujuan yang mulia. Namun, setiap tujuan mulia selalu ada
ongkosnya. Yang menjadi masalah adalah ongkos ini tidak hanya ditanggung oleh yang kaya, namun juga oleh

penduduk miskin di luar sektor formal, yakni sektor yang diwajibkan memenuhi upah minimum, seperti buruh tani,
buruh bangunan cabutan, usaha mikro, warteg, dan sebagainya. Oleh sebab itu, dampak naiknya upah minimum ini
perlu dianalisis secara teliti.
Melemahnya Penyerapan Tenaga Kerja
Dalam pasar di mana pengusaha bersaing ketat, laba perusahaan akan terus-menerus tertekan. Persaingan yang ketat
membuat seluruh pendapatan dari usaha hanya cukup untuk membayar buruh, biaya modal dan sedikit tersisa imbalan
bagi pengusaha tersebut atas kesediaannya untuk menanggung risiko berupa laba yang wajar.
Dalam persaingan yang ketat itu, apa yang dilakukan pengusaha ketika upah buruh naik?
Pertama, pengusaha akan melakukan efisiensi dan substitusi. Buruh yang paling tidak produktif akan di-PHK.
Kedua, pengusaha mulai berpikir, mungkin lebih efisien jika dua atau tiga buruh lulusan SMU diganti satu buruh
lulusan D3 yang produktifitasnya lebih tinggi. Atau malah pengusaha itu membeli mesin, untuk otomatisasi di
sebagian lini produksinya sehingga tidak memerlukan banyak tenaga kerja. Usaha efisiensi dan substitusi yang
dilakukan pengusaha tadi jika dijumlahkan dampak negatifnya terhadap penyerapan tenaga kerja bisa cukup besar.
Hasil penelitian Asep Suryahadi berjudul "Upah dan Kesempatan Kerja: Dampak Kebijakan Upah Minimum terhadap
Penyerapan Tenaga Kerja di Sektor Formal Perkotaan" menunjukkan bahwa kenaikan upah minimum menurunkan
penyerapan tenaga kerja secara nyata. Untuk setiap kenaikan 10% upah minimum riil akan mengakibatkan
pengurangan total penyerapan tenaga kerja lebih dari 1%. Hasil penelitian Devanto Pratomo yang dimuat
di International Research Journal of Finance and Economics bahkan menunjukkan dampak yang lebih besar. Untuk
setiap kenaikan upah minimum sebesar 10% akan menurunkan penyerapan tenaga kerja sebesar 4%.

"...kenaikan upah minimum menurunkan penyerapan tenaga


kerja secara nyata. Untuk setiap kenaikan 10% upah
minimum riil akan mengakibatkan pengurangan total
penyerapan tenaga kerja lebih dari 1%"
Penelitian lebih lanjut dari Asep Suryahadi menunjukkan bahwa yang paling diuntungkan oleh kebijakan upah
minimum adalah pekerja kerah putih. Kenaikan upah minimum sebesar 10% justru akan mengakibatkan peningkatan
lapangan kerja sebesar 10% bagi pekerja kerah putih. Sebaliknya yang paling terpukul adalah pekerja perempuan,
pekerja muda, dan pekerja paruh waktu. Untuk kenaikan upah minimum sebesar 10% akan menurunkan kesempatan
kerja buruh perempuan sebesar 3%, buruh usia muda 2%, dan buruh paruh waktu sebesar 4%. Jadi, hasil penelitian
Suharyadi justru menunjukkan bahwa upah minimum yang terlalu tinggi bukanlah kebijakan yang pro-job.
Menekan Upah Sektor Informal

Hasil penelitian empiris yang dibahas sebelumnya menunjukkan secara nyata bahwa naiknya upah minimum akan
mendorong PHK di sektor formal. Pertanyaannya, kemana buruh yang kehilangan pekerjaan di sektor formal itu harus
mencari kerja? Kemana angkatan kerja baru harus mencari kerja, jika sektor formal mengalami kesulitan menerima
buruh baru? Jawabannya adalah mereka akan mencari kerja di sektor informal. Akibatnya sektor informal akan
kelebihan penawaran tenaga kerja. Kelebihan penawaran tenaga kerja di sektor informal ini pada gilirannya akan
menekan upah di sektor informal.
Hasil penelitian Bird dan Manning (2004) bertajuk "The Impact of Wage Policy on Employment in the Formal and
Informal Sector" menunjukkan naiknya upah minimum tidak meningkatkan, bahkan cenderung menekan upah di
beberapa segmen sektor informal, seperti upah pembantu rumah tangga. Survei yang dilakukan SMERU juga
menunjukkan bahwa 28% upah di sektor informal berada di bawah upah minimum.
Pukulan Terhadap Orang Miskin Karena Naiknya Harga-Harga
Jika pengusaha tidak bisa melakukan substitusi atau efisiensi seperti telah diuraikan di atas dan pilihan PHK juga
tidak bisa dilakukan, maka tinggal tersisa pilihan menaikkan harga. Kelly Bird dan Chris Manning dalam tulisannya
yang berjudul "Minimum Wages and Poverty in a Developing Country: Simulations from Indonesias Household
Survey", melakukan simulasi untuk melihat kemungkinan ini.
Dengan menggunakan tabel Input-Output, mereka memperkirakan dampak naiknya upah buruh terhadap harga-harga
seluruh komoditas. Kemudian dengan menggunakan data SUSENAS, Bird dan Manning melihat dampak kenaikan
harga-harga tersebut terhadap penduduk miskin. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa kebijakan upah minimum
bukan kebijakan yang efektif untuk membantu orang miskin.

"Hanya 17% dari kenaikan upah minimum di tahun 2003


yang dinikmati oleh rumah tangga miskin, 34% dinikmati
oleh rumah tangga yang sedikit di atas garis kemiskinan,
separuhnya dinikmati oleh rumah tangga yang tidak
tergolong miskin"
Hanya 17% dari kenaikan upah minimum di tahun 2003 yang dinikmati oleh rumah tangga miskin, 34% dinikmati
oleh rumah tangga yang sedikit di atas garis kemiskinan, separuhnya dinikmati oleh rumah tangga yang tidak
tergolong miskin. Lebih jauh, hasil analis menunjukkan bahwa hanya seperempat rumah tangga miskin yang
menikmati kenaikan pendapatan akibat upah minimum, sementara tiga perempat rumah tangga miskin justru semakin
menderita akibat naiknya harga-harga.
Semua hasil penelitian yang diuraikan di atas menunjukkan bahwa meningkatnya upah minimum memang bisa
menjadi juru selamat bagi buruh yang sudah mapan khususnya pekerja kerah putih. Namun pada saat yang sama,

kebijakan untuk menetapkan upah minimum yang tinggi dapat merugikan buruh perempuan, buruh paruh waktu dan
buruh berusia muda yang rentan PHK. Naiknya upah minimum yang terlalu besar juga menekan sektor informal dan
memukul rumah tangga miskin akibat naiknya harga-harga.
Dengan kata lain, menggenjot upah minimum terlalu tinggi bukanlah instrumen yang berpihak pada orang miskin
(pro-poor) dan berpihak pada tersedianya lapangan pekerjaan (pro-job).

PHK Berdalih Reorganisasi dan Efisiensi, Perbuatan Melawan


Hukum
Dibaca : 460 Kali
on: 06 Nov 2015 | 16:27In: BacaanNo Comments

ilustrasi
Hubungan kerja pada awalnya merupakan hubungan hukum dalam hukum privat, karena
hanya menyangkut hubungan hukum antar perorangan, yaitu antara pengusaha dengan
pekerja. Namun, dalam perkembangannya ternyata hubungan hukum tersebut membutuhkan
campur tangan pemerintah. Hal ini disebabkan karena tujuan hukum ketenagakerjaan ternyata
sesuai/sejalan dengan tujuan negara dan menyangkut kepentingan khalayak banyak. Untuk
itu, pemerintah wajib memberikan perlindungan kepada buruh/pekerja dan pengusaha baik
dari segi regulasi atau pelaksanaan teknis hubungan tenaga kerja di lapangan. Namun, dalam
hubungan industrial ini, dalam perkembangannya selama ini seperti terdapat hukum alam
hubungan buruh-pengusaha yang kerap menimbulkan konflik berkepanjangan dan menjadi
polemik tanah air.
Seperti kasus-kasus PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) yang terjadi kerap membuat kita
miris, karena PHK sepihak masih mendominasi permasalahan utama dalam ketenagakerjaan
Indonesia. PHK dengan alasan efisiensi seperti pemberian hak-hak pekerja/buruh sebagai
kompensasi merupakan Pemutusan Hubungan Kerja yang kerap menimbulkan masalah.
Permasalahannya adalah perusahaan sering memberikan hak-hak pekerja/buruh yang kurang
sesuai dan tidak jarang juga pihak pekerja/buruh meminta hak-hak mereka melebihi
ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Perusahaan seharusnya tak boleh lagi melakukan PHK terhadap pegawainya. Terlebih, bila
PHK itu hanya berdalih embel-embel demi efisiensi perusahaan. Hal ini sesuai dengan
penilaian dari mantan hakim Mahkamah Konstitusi yang menilai bahwa pemutusan hubungan
kerja dengan dalih reorganisasi dan efisiensi merupakan perbuatan melawan hukum dan
bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 19/PUU-IX/2011 yang membatalkan
bunyi Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan,
karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28D ayat (2) yang berbunyi
Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan
layak dalam hubungan kerja.
Kasus PHK dengan alasan efisiensi sangat banyak terjadi di Indonesia. Banyak pihak
pengusaha maupun pekerja/buruh yang salah mengartikan PHK dengan alasan efisiensi.
Mahkamah Konstitusi memutuskan perkara pasal 164 ayat (3) UU Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan yang mengatur seputar Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Dalam
putusannya, MK menyatakan bahwa PHK hanya sah dilakukan setelah perusahaan tutup
secara permanen dan sebelumnya perusahaan melakukan sejumlah langkah terlebih dahulu
dalam rangka efisiensi.
Dalam pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan tersebut menyatakan, Pengusaha dapat
melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan
karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa
(Force Majeur), tetapi perusahaan melakukan efisiensi dengan ketentuan pekerja/buruh
berhak atas pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan
masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak
sesuai ketentuan Pasal 15 ayat (4). Perusahaan harus memberi tahu karyawan sebelum PHK
dilakukan dan alasan PHK. Pada perusahaan tertentu, pemberitahuan ini dilakukan 30 hari
sebelum PHK.
Setelah memberitahukan kepada karyawan, perusahaan harus mendapatkan izin dari instansi
Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industral sebelum melakukan Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK).
PHK merupakan pilihan terakhir sebagai upaya untuk melakukan efisiensi perusahaan setelah
sebelumnya dilakukan upaya-upaya yang lain dalam rangka efisiensi tersebut. Berdasarkan
hal itu, perusahaan tidak dapat melakukan PHK sebelum menempuh beberapa upaya.
Upaya-upaya
tersebut
telah
pula
ditentukan
oleh
MK,
yakni:
a. mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, misalnya tingkat manajer dan direktur;
b.
mengurangi
shift;
c.
membatasi/menghapuskan
kerja
lembur;
d.
mengurangi
jam
kerja;
e.
mengurangi
hari
kerja;
f. meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu;
g. tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya; serta
h. memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat.

MK menyatakan, perusahaan hanya bisa memilih jalan PHK bila perusahaan tersebut tutup
permanen. Dengan kata lain, perusahaan yang hanya tutup sementara tidak boleh memecat
pegawainya. Hal ini pernah disampaikan Mantan Ketua MK, Mahfud MD, bahwa alasan
efisiensi saja tidak dapat dijadikan alasan PHK. (**ef)
Share0
Tweet0

Anda mungkin juga menyukai