Anda di halaman 1dari 13

2.

5 Klasifikasi Fraktur Femur


a. Fraktur Caput Femur A

Gambar 2.x Klasifikasi Pipkin pada Fraktur Caput Femur


b. Fraktur Kolum Femur
Fraktur yang banyak terjadi pada wanita usia tua berusia delapan puluh
hingga sembilan puluh tahun yang dikaitkan dengan kejadian osteoporosis.

Cedera sering terjadi akibat jatuh atau pukulan pada trokanter mayor. Atau kaki
wanita tua tersandung karper dan pinggulnya terpuntir ke arah rotasi luar.
Biasanya terdapat riwayat jatuh yang diikuti dengan nyeri pada pinggul, tungkai
pasien terletak pada rotasi lateral dan kaki tampak pendek.
Menurut stadium garden :
Stadium 1 : Fraktur tak sepenuhnya terimpaksi
Stadium 2 : Fraktur lengkap tapi tidak bergeser
Stadium 3 : Fraktur lengkap dengan pergeseran sedang
Stadium 4 : Fraktur yang bergeseran secara hebat

Gambar 2.x Klasifikasi Garden pada Fraktur Femoral Neck

Gambar 2.x Klasifikasi Pauwels pada Fraktur Femoral Neck


c. Fraktur Intertrokanter A,B,C
Fraktur intertrokanter adalah patah tulang yang bersifat ekstrakapsular dari
femur. Seperti halnya dengan fraktur leher femur, fraktur intertrokanter sering
ditemukan pada manula penderita osteoporosis berusia 80 tahun. Tetapi berbeda
dengan fraktur intrakapsular, fraktur trokanter dapat menyatu dengan mudah dan
jarang menyebabkan nekrosis avaskular. Fraktur disebabkan oleh jatuh langsung
pada trokanter mayor atau oleh cedera pemuntiran tak langsung. Retak berada
diantara trokanter mayor dan minor dan fragmen proksimal cenderung bergeser
dalam varus. Pasien biasanya tua dan tak sehat. Setelah jatuh ia tak dapat berdiri,
kaki menjadi lebih pendek dan lebih berotasi keluar dibandingkan pada fraktur
servikal femur, dan pasien tidak dapat mengangkat kakinya.

Gambar 2.x Klasifikasi Boyd and Griffin pada Fraktur Trokanter


d. Fraktur Subtrokanter
Fraktur dimana garis patahnya berada 5 cm distal distal dari trokanter
minor. Terjadi pada usia berapa saja kalau cedera cukup berat, tetapi kebanyakan
terjadi pada cedera yang cukup sepele, pada pasian lanjut dengan osteoporosis,
osteomalasia atau endapan sekunder. Kehilangan darah lebih besar daripada

fraktur leher femur dan trokanter. Fraktur jenis ini di klasifikasi oleh Fielding dan
Malgito yaitu:
Tipe 1 : Garis fraktur berada satu level dengan trokanter minor.
Tipe 2 : 2,5 cm dibawah trokanter minor dibawah trokanter minor.
Tipe 3 : 2,5-5 cm dibawah trokanter minor
Manifestasi klinis yang tampak yaitu keluhan nyeri lokal, deformitas
dengan kaki berada dalam posisi rotasi eksternal, pembengkakan paha, krepitasi
dan ketidakmampuan dalam melakukan pergerakan paha dan panggul.

Gambar 2.x Klasifikasi Fielding pada Fraktur Subtrokanter


e. Fraktur Batang Femur
Fraktur batang femur biasanya terjadi karena trauma langsung akibat
kecelakaan lalu lintas di kota-kota besar atau jatuh dari ketinggian. Patah pada
daerah ini dapat menimbulkan pendarahan yang cukup banyak, mengakibatkan
penderita jatuh dalam keadaan syok. Pada kondisi trauma dibutuhkan gaya yang
besar untuk mematahkan batang femur pada orang dewasa.

Gambar 2.x Klasifikasi Winquist and Harsen pada Fraktur Batang Femur
f. Fraktur Suprakondiler Femur
Fraktur suprakondiler fragmen bagian distal selalu terjadi dislokasi ke
posterior. Hal ini biasanya disebabkan karena adanya tarikan dari oto-otot
gastroknemius. Biasanya fraktur ini disebabkan trauma langsung karena kecepatan
tinggi sehingga terjadi gaya aksial dan stres valgus atau varus dan disertai gaya
rotasi. Gejala yang terlihat seperti pembengkakan pada lutut, deformitas yang
jelas dengan pemendekan tungkai, nyeri bila fragmen bergerak, dan mempunyai
resiko terhadap sindrom kompartemen pada bagian distal. Pada pemeriksaan
berjongkok terlihat pasien tidak bisa menjaga kesejajaran.

2.6 Diagnosis

1. AnamnesisD,E
Biasanya penderita datang dengan suatu trauma (traumatik, fraktur), baik
yang hebat maupun trauma ringan dan diikuti dengan ketidakmampuan untuk
menggunakan anggota gerak. Anamnesis harus dilakukan dengan cermat karena
fraktur tidak selamanya terjadi di daerah trauma dan mungkin fraktur terjadi pada
daerah lain.

2. Pemeriksaan fisik D,E


Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya:
a. Syok, anemia atau perdarahan.
b. Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang belakang
atau organ-organ dalam rongga toraks, panggul dan abdomen.
c. Fraktur predisposisi, misalnya pada fraktur patologis.

3. Pemeriksaan lokalF
a. Inspeksi (Look)
Adanya luka terbuka atau luka tertutup pada paha. Lihat adanya deformitas
(penonjolan yang abnormal, angulasi, rotasi dan pemendekan), pembengkakan
dan memar pada kulit. Pada luka terbuka, Gustillo dan Anderson membuat
klasifikasi sebagai berikut:
Tipe 1 : Patah tulang terbuka dengan luka <1cm, kerusakan jaringan tidak berarti,
luka relaif bersih.
Tipe 2 : Patah tulang terbuka dengan luka 1-10 cm, tidak ada kerusakan jaringan
yang hebat atau avulsi.

Tipe 3 : Patah tulang terbuka dengan luka >10cm, kerusakan jarinngan kulit dan
subkutan yang luas, kerusakan hebat pada otot dan tulang.
3A: Periosteum masih bisa menutupi tulang yang fraktur
3B: Periosteum sudah terangkat dari tulang
3C: Fraktur disertai kerusakan pembuluh darah
b. Palpasi (Feel)
Palpasi dilakukan setelah inspeksi. Pemeriksaan ini untuk menilai adanya
suhu, nyeri tekan, krepitasi, menilai nadi, pengukuran panjang anggota gerak dan
status neurovaskular. apabila terdapat hematom biasanya pada palpasi teraba
hangat. Nyeri tekan perlu diketahui lokalisasi dari tempat nyeri, untuk
menentukan nyeri bersifat lokal (tenderness) atau nyeri di tempat lain.
Pemeriksaan nyeri tekan harus dilakukan hati-hati yaitu dengan meletakkan jarijari tangan pada area tempat nyeri agar pasien merasa terbiasa dengan jari
pemeriksa. Lalu dengan memperhatikan wajah pasien, lakukan penekanan
perlahan-lahan dan lakukan penilaian terhadap nyeri pasien.
c. Pergerakan (Move)
Evaluasi gerakan sendi secara aktif dan pasif untuk menilai apakah
terdapat nyeri dan krepitasi ketika sendi digerakkan. Selain itu dilakukan juga
penilaian Range of Movement (ROM). Gerakan pada daerah tungkai yang patah
tidak boleh dilakukan karena akan memberikan respon trauma jaringan lunak
disekitar ujung fragmen tulang yang patah. Pasien terlihat tidak mampu
melakukan pergerakan pada sisi paha yang patah.

4. Pemeriksaan Neurologis D,E


Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara sensoris dan
motoris serta gradasi kelelahan neurologis, yaitu neuropraksia, aksonotmesis atau
neurotmesis. Kelaianan saraf yang didapatkan harus dicatat dengan baik karena
dapat menimbulkan masalah asuransi dan tuntutan (klaim) penderita serta
merupakan patokan untuk pengobatan selanjutnya.

5. Pemeriksaan Radiologis
a. Pemeriksaan sinar X pada tulang penting untuk evaluasi pasien dengan
fraktur pada tulang. Dalam menggunakan sinar X harus mengingat rule of
two
1. Two

views:

Pemeiksaan

sinar

dilakukan

dalam

proyeksi

anteroposterior dan lateral


2. Two joint: Pemeriksaan sinar X melibatkan sendi di atas dan dibawah
dari fraktur.
3. Two limbs : Pada anak-anak sebaiknya dilakukan pemeriksaan sinar X
pada kedua anggota gerak terutama fraktur epifisis.
4. Two injuries: pada trauma yang hebat sering menyebabkan fraktur pada
dua daerah tulang. Misalnya pada fraktur kalkaneus dan femur makan
perlu dilakukan pemeriksaan sinar X pada panggul dan tulang belakang.
5. Two occasion : beberapa fraktur tertentu sulit untuk dideteksi segera
setelah cedera, oleh sebab itu diperlukan pemeriksaan sinar X 1 minggu
sesudah pemeriksaan pertama kali. Contohnya fraktur pada tulang
skapoid, distal klavikula, femoral neck dan lateral maleolus.

Pada pemeriksaan sinar X fraktur femur maka akan didapatkan garis patah
pada tulang femur.
b. Computed Tomography Scan (CT Scan)
Computed tomography (CT scan) menunjukkan rincian bidang tertentu tulang
yang terkena dan dapat memperlihatkan fraktur yang luas atau cedera ligamen
atau tendon. Digunakan untuk mengidentifikasi lokasi dan panjangnya patah
tulang di daerah yang sulit di evaluasi seperti fraktur asetabulum dan fraktur
badan vetebre.G
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Pemeriksaan MRI digunakan terutama untuk melihat cedera pada jaringan
lunak, seperti jaringan disekitar lutut dan dislokasi posterior pada bahu.G
2.7 Tata LaksanaH
Prinsip menangani fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke
posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa
penyembuhan patah tulang (imobilisasi). Reposisi yang dilakukan tidak harus
mencapai keadaan sempurna seperti semula karena tulang mempunyai
kemampuan remodeling.
Cara penanganan fraktur:
1.

Proteksi saja tanpa reposisi dan imobilisasi.


Pada fraktur dengan dislokasi fragmen patahan yang minimal atau tidak
akan menyebabkan cacat di kemudian hari, cukup dilakukan dengan prosedur
proteksi saja, misalnya dengan mengenakan mitela atau sling. Contoh kasus yang

ditangani dengan cara ini adalah fraktur iga, fraktur klavikula pada anak, dan
fraktur vertebra dengan kompresi minimal.
2.

Imobilisasi luar tanpa reposisi


Imobilisasi tetap diperlukan agar tidak terjadi dislokasi fragmen. Contoh
cara ini adalah pengelolaan patah tulang tungkai bawah tanpa dislokasi yang
penting.

3.

Reposisi dengan cara manipulasi yang diikuti dengan imobilisasi


Ini dilakukan pada patah tulang dengan dislokasi fragmen yang berarti,
seperti pada patah tulang radiuus distal.

4.

Reposisi dengan traksi terus-menerus selama masa tertentu, misalnya beberapa


minggu, lalu diikuti dengan imobilisasi
Hal ini dilakukan pada patah tulang yang bila direposisi akan terdislokasi
kembali di dalam gips, biasanya pada fraktur yang dikelilingi oleh otot yang kuat
seperti pada patah tulang femur.

5.

Reposisi yang diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar


Fiksasi fragmen fraktur menggunakan pin baja yang ditusukkan pada
fragmen tulang, kemudian pin baja tadi disatukan secara kokoh dengan batangan
logam di luar kulit. Alat ini dinamakan fiksator eksterna.

6.

Reposisi secara non-operatif diikuti dengan pemasangan fiksator tulang secara


operatif
Misalnya pada reposisi patah tulang kolum femur. Fragmen direposisi
secara non-operatif dengan meja traksi; setelah tereposisi, dilakukan pemasangan
prostesis pada kolum femur secara operatif.

7.

Reposisi secara operatif diikuti dengan fiksasi interna


Cara ini disebut juga sebagai reduksi terbuka fiksasi interna (Open
Reduction Internal Fixation, ORIF). Fiksasi interna yang dipakai biasanya berupa
pelat dan sekrup. Keuntungan ORIF adalah tercapainya reposisi yang sempurna
dan fiksasi yang kokoh sehingga pascaoperasi tidak perlu lagi dipasang gips dan
mobilisasi segera bisa dilakukan. Kerugiannya adalah adanya risiko infeksi pada
tulang. ORIF biasanya dilakukan pada fraktur femur, tibia, humerus, antebrakia.

8.

Eksisi fragmen patahan tulang dan menggantinya dengan prostesis


Ini dilakukan pada patah tulang kolum femur. Kaput femur dibuang secara
operatif lalu ddiganti dengan prostesis. Penggunaan prostesis dipilih jika fragmen
kolum femur tidak dapat disambungkan kembali, biasanya pada orang lanjut usia.
2.8 KomplikasiI
a. Dini
Kehilangan darah
Infeksi
Emboli paru
DVT dan emboli paru
Gagal ginjal
Sindrom kompartemen
b. Lanjut
Non-union
Delayed union
Malunion
Pertumbuhan terhambat
Artritis
Distrofi simpatik (refleks) pascatrauma

DAFTAR PUSTAKA
A. Behroz S. Fracture Classification in Clinical Practice. London : Springer;
2006.
B. Solomon L, Warwick D, dan Nayagam S. Apleys System of Orthopaedics
and Fractures. Ed ke 9. London : Hodder Education; 2010.
C. Noor H Z. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta : Salemba Medika;
2012.
D. American Academy of Orthopaedics Surgeons. 2011. Open Fractures.
Available from http://orthoinfo.aaos.org/topic.cfm?topic=A00582.
E. Bucholz RW, Heckman JD, Court-Brown C, et al., eds. Rockwood and Green.
Fractures in adults. 6th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
2006. p. 2081-93.
F. S P John L, K Anil D cruz, dan J Jamal H et al. Hamilton Baileys
Demonstrations of Physical Signs in Clinical Surgery. Ed ke 19. London :
CRC Press; 2016.
G. S Norman W, J.K Crhistoper B, Ronan P. Bailey & Loves Short Practice of
Surgery. Ed ke 26. London: CRC Press; 2013.
H. Sjamsuhidajat, R. Buku ajar ilmu bedah Sjamsuhidajat-de Jong Ed.3. Jakarta:
EGC, 2010. Hal. 1.040-1.046.
I. Grace PA, Borley NR. At a Glance Ilmu Bedah Edisi Ketiga. Jakarta:
Erlangga; 2006. Hal 85.

Anda mungkin juga menyukai