Cedera sering terjadi akibat jatuh atau pukulan pada trokanter mayor. Atau kaki
wanita tua tersandung karper dan pinggulnya terpuntir ke arah rotasi luar.
Biasanya terdapat riwayat jatuh yang diikuti dengan nyeri pada pinggul, tungkai
pasien terletak pada rotasi lateral dan kaki tampak pendek.
Menurut stadium garden :
Stadium 1 : Fraktur tak sepenuhnya terimpaksi
Stadium 2 : Fraktur lengkap tapi tidak bergeser
Stadium 3 : Fraktur lengkap dengan pergeseran sedang
Stadium 4 : Fraktur yang bergeseran secara hebat
fraktur leher femur dan trokanter. Fraktur jenis ini di klasifikasi oleh Fielding dan
Malgito yaitu:
Tipe 1 : Garis fraktur berada satu level dengan trokanter minor.
Tipe 2 : 2,5 cm dibawah trokanter minor dibawah trokanter minor.
Tipe 3 : 2,5-5 cm dibawah trokanter minor
Manifestasi klinis yang tampak yaitu keluhan nyeri lokal, deformitas
dengan kaki berada dalam posisi rotasi eksternal, pembengkakan paha, krepitasi
dan ketidakmampuan dalam melakukan pergerakan paha dan panggul.
Gambar 2.x Klasifikasi Winquist and Harsen pada Fraktur Batang Femur
f. Fraktur Suprakondiler Femur
Fraktur suprakondiler fragmen bagian distal selalu terjadi dislokasi ke
posterior. Hal ini biasanya disebabkan karena adanya tarikan dari oto-otot
gastroknemius. Biasanya fraktur ini disebabkan trauma langsung karena kecepatan
tinggi sehingga terjadi gaya aksial dan stres valgus atau varus dan disertai gaya
rotasi. Gejala yang terlihat seperti pembengkakan pada lutut, deformitas yang
jelas dengan pemendekan tungkai, nyeri bila fragmen bergerak, dan mempunyai
resiko terhadap sindrom kompartemen pada bagian distal. Pada pemeriksaan
berjongkok terlihat pasien tidak bisa menjaga kesejajaran.
2.6 Diagnosis
1. AnamnesisD,E
Biasanya penderita datang dengan suatu trauma (traumatik, fraktur), baik
yang hebat maupun trauma ringan dan diikuti dengan ketidakmampuan untuk
menggunakan anggota gerak. Anamnesis harus dilakukan dengan cermat karena
fraktur tidak selamanya terjadi di daerah trauma dan mungkin fraktur terjadi pada
daerah lain.
3. Pemeriksaan lokalF
a. Inspeksi (Look)
Adanya luka terbuka atau luka tertutup pada paha. Lihat adanya deformitas
(penonjolan yang abnormal, angulasi, rotasi dan pemendekan), pembengkakan
dan memar pada kulit. Pada luka terbuka, Gustillo dan Anderson membuat
klasifikasi sebagai berikut:
Tipe 1 : Patah tulang terbuka dengan luka <1cm, kerusakan jaringan tidak berarti,
luka relaif bersih.
Tipe 2 : Patah tulang terbuka dengan luka 1-10 cm, tidak ada kerusakan jaringan
yang hebat atau avulsi.
Tipe 3 : Patah tulang terbuka dengan luka >10cm, kerusakan jarinngan kulit dan
subkutan yang luas, kerusakan hebat pada otot dan tulang.
3A: Periosteum masih bisa menutupi tulang yang fraktur
3B: Periosteum sudah terangkat dari tulang
3C: Fraktur disertai kerusakan pembuluh darah
b. Palpasi (Feel)
Palpasi dilakukan setelah inspeksi. Pemeriksaan ini untuk menilai adanya
suhu, nyeri tekan, krepitasi, menilai nadi, pengukuran panjang anggota gerak dan
status neurovaskular. apabila terdapat hematom biasanya pada palpasi teraba
hangat. Nyeri tekan perlu diketahui lokalisasi dari tempat nyeri, untuk
menentukan nyeri bersifat lokal (tenderness) atau nyeri di tempat lain.
Pemeriksaan nyeri tekan harus dilakukan hati-hati yaitu dengan meletakkan jarijari tangan pada area tempat nyeri agar pasien merasa terbiasa dengan jari
pemeriksa. Lalu dengan memperhatikan wajah pasien, lakukan penekanan
perlahan-lahan dan lakukan penilaian terhadap nyeri pasien.
c. Pergerakan (Move)
Evaluasi gerakan sendi secara aktif dan pasif untuk menilai apakah
terdapat nyeri dan krepitasi ketika sendi digerakkan. Selain itu dilakukan juga
penilaian Range of Movement (ROM). Gerakan pada daerah tungkai yang patah
tidak boleh dilakukan karena akan memberikan respon trauma jaringan lunak
disekitar ujung fragmen tulang yang patah. Pasien terlihat tidak mampu
melakukan pergerakan pada sisi paha yang patah.
5. Pemeriksaan Radiologis
a. Pemeriksaan sinar X pada tulang penting untuk evaluasi pasien dengan
fraktur pada tulang. Dalam menggunakan sinar X harus mengingat rule of
two
1. Two
views:
Pemeiksaan
sinar
dilakukan
dalam
proyeksi
Pada pemeriksaan sinar X fraktur femur maka akan didapatkan garis patah
pada tulang femur.
b. Computed Tomography Scan (CT Scan)
Computed tomography (CT scan) menunjukkan rincian bidang tertentu tulang
yang terkena dan dapat memperlihatkan fraktur yang luas atau cedera ligamen
atau tendon. Digunakan untuk mengidentifikasi lokasi dan panjangnya patah
tulang di daerah yang sulit di evaluasi seperti fraktur asetabulum dan fraktur
badan vetebre.G
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Pemeriksaan MRI digunakan terutama untuk melihat cedera pada jaringan
lunak, seperti jaringan disekitar lutut dan dislokasi posterior pada bahu.G
2.7 Tata LaksanaH
Prinsip menangani fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke
posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa
penyembuhan patah tulang (imobilisasi). Reposisi yang dilakukan tidak harus
mencapai keadaan sempurna seperti semula karena tulang mempunyai
kemampuan remodeling.
Cara penanganan fraktur:
1.
ditangani dengan cara ini adalah fraktur iga, fraktur klavikula pada anak, dan
fraktur vertebra dengan kompresi minimal.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
DAFTAR PUSTAKA
A. Behroz S. Fracture Classification in Clinical Practice. London : Springer;
2006.
B. Solomon L, Warwick D, dan Nayagam S. Apleys System of Orthopaedics
and Fractures. Ed ke 9. London : Hodder Education; 2010.
C. Noor H Z. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta : Salemba Medika;
2012.
D. American Academy of Orthopaedics Surgeons. 2011. Open Fractures.
Available from http://orthoinfo.aaos.org/topic.cfm?topic=A00582.
E. Bucholz RW, Heckman JD, Court-Brown C, et al., eds. Rockwood and Green.
Fractures in adults. 6th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
2006. p. 2081-93.
F. S P John L, K Anil D cruz, dan J Jamal H et al. Hamilton Baileys
Demonstrations of Physical Signs in Clinical Surgery. Ed ke 19. London :
CRC Press; 2016.
G. S Norman W, J.K Crhistoper B, Ronan P. Bailey & Loves Short Practice of
Surgery. Ed ke 26. London: CRC Press; 2013.
H. Sjamsuhidajat, R. Buku ajar ilmu bedah Sjamsuhidajat-de Jong Ed.3. Jakarta:
EGC, 2010. Hal. 1.040-1.046.
I. Grace PA, Borley NR. At a Glance Ilmu Bedah Edisi Ketiga. Jakarta:
Erlangga; 2006. Hal 85.