Anda di halaman 1dari 24

Membina Rumah Tangga Islami

Tulisan dibawah ini adalah materi tausiyah pada channel Mushola (IRC-Efnet)

Dua atau tiga hari yang lalu di # ini terjadi diskusi yang menarik dan seru antara akh Adit dan
akh Fahmi tentang pernikahan, tema ini sering menjadi topik yang hangat terlontar di #, karena
tema pernikahan atau membentuk rumah tangga islami adalah masalah yang selalu hangat
dibicarakan dan bahkan harus dibicarakan! Tentunya jangan hanya dibicarakan dan difikirkan
tapi di laksanakan . InsyaAllah.
Dalam Islam pernikahan itu mempunyai nilai yang sangat suci, agung dan sakral.
Ijab kabul sebagai transaksi pernikahan merupakan ucapan yang ringan dilafalkan tapi berat
sekali tanggung jawabnya.
Allah sendiri menyebut ijab kabul itu sebagai ikatan yang kuat/kokoh (Mitsaqon Gholizho).
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul
(bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah
mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (QS. 4:21).
Dalam AlQuran Allah hanya dua kali menggunakan istilah perjanjian yang kuat ini, pertama
untuk pernikahan dan kedua untuk perjanjian dengan bani Israil (di masa Nabi Musa As):
Dan telah kami angkat ke atas (kepala) mereka bukit Thursina untuk (menerima) perjanjian
(yang telah Kami ambil dari) mereka. Dan Kami perintahkan kepada mereka: "Masukilah pintu
gerbang itu sambil bersujud",dan Kami perintahkan (pula) kepada mereka: "Janganlah kamu
melanggar peraturan mengenai hari Sabtu", dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian
yang kokoh. (QS. 4:154).
Setelah Ijab Kabul terucapkan, maka konsekwensinya:
1. Halal lah apa yang tadinya haram. Jangankan berpegang-pegangan, saling pandangpandangan saja sebelum menikah antara 2 jenis kelamin dilarang oleh Islam. Tapi setelah ijab
kabul, maka lenyaplah tabir tsb.
Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah
tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang
baik) untuk dirimu, dan bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan
menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman. (QS. 2:223)
2. Terjadilah pemindahan tanggung jawab seorang wanita dari orang tua/wali ke suaminya.
Sebelum menikah segala tanggung jawab seorang anak terletak di pundak Ayahnya, setelah
menikah maka kewajiban tsb berpindah ke suami. Suami harus memenuhi segala kebutuhan
lahir bathin istri. Suami yang akan di minta pertanggung jawabannya di akhirat kelak bagaimana
ia mendidik istri dan anak-anaknya. Seperti Hadist yang diriwayatkan oleh Hakim:
Manusia yang paling besar tanggung jawabnya kepada wanita ialah suaminya.

3. Keihlasan seorang wanita dipimpin oleh suami dan taat pada suami.
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan
sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka Wanita yang saleh, ialah yang ta'at
kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara
(mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan
pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta'atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. 4:34)
Dari Abu Hurairah ra, dari Nabi SAW beliau bersabda, seandainya aku boleh menyuruh orang
untuk bersujud kepada seseorang, niscaya aku menyuruh seorang istri bersujud kepada
suaminya. (HR Turmudzi).
Dari Ummu Salamah ra. Berkata, Roaulullah bersabda: setiap istri yang meninggal dunia
sedangkan suaminya meredhoinya, niscaya ia masuk surga (HR Turmudzi)
Pernikahan dalam rangka membentuk rumah tangga yang islami merupakan basis penting dalam
perjalanan pembangunan ummat. Rumah tanga merupakan organisasi terkecil yang bisa menjadi
gambaran mikrokondisi sebuah masyarakat.Ia juga merupakan pijakan kedua setelah pembinaan
individu muslim, dan wadah praktis untuk pengamalan-pengalaman syariat Islam secara
berkelompok dan terorganisasi.
Fungsi-fungsi dalam rumah tangga yang teratur dan terstruktur rapi disertai semangat amanah
dan tanggung jawab masing-masing anggotanya akan menciptakan kondisi yang tentram dan di
ridhai Allah SWT.
Jika suami sebagai qawwam (pemimpin) dan istri sebagai ribatul bait (pengatur ) rumah tangga
menyadari amanat tsb akan dipertanggung jawabkan di akhirat, maka kecermelangan rumah
tangga yang samara (sakinah, mawaddah, rahmah) menjadi niscaya adanya..
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram (sakinah) kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih (mawaddah) dan sayang (rahmah). Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (QS. 30:21)
Mawaddah dalam ayat diatas lebih berkonotasi ke fisik, tidak hanya masalah kecantikan istri,
ketampanan suami, kemolekan tubuh, tapi juga menyangkut tingkat sosial, ekonomi, pendidikan
dan peradaban. Karena Islam juga memandang faktor ke-sekufu-an (selevel) merupakan salah
satu faktor kebahagiaan rumah tangga. Semakin jauh perbedaan latar belakang kesekufuan ini
akan sering terjadi culture schok yang dapat menimbulkan perselisihan/percekcokan. Tapi
bukan berarti Islam melarang pernikahan antar si kaya dengan si miskin. Dalam sejarah sahabat,
hal ini terjadi pada kasus pernikahan sahabiyah Zainab dengan Zaid yang Allah abadikan di
dalam surat Al Ahzab (33) ayat 37.
Sedangkan Rahmah pada surat Ar Rum 21 diatas, adalah faktor kasih sayang yang bersifat
batiniyah, menyangkut kepahaman terhadap Dien (agama), keimanan, akhlak, selera dan
ideologi. Dan faktor-faktor ini sangat penting.

Pilihlah yang utama berdasarkan Diennya. Seperti hadist yang telah ita sering dengar: Wanita itu
dinikahi karena 4 perkara: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan Dien nya. Maka
dapatkan lah wanita yang memiliki Dien (H.R Bukhari).
Bagaimana kita menilai calon pasangan agar bisa diketahui apakah pas secara mawaddah dan
cocok secara rahmah?
Saat ini masih banyak muslim melakukan taaruf (perkenalan) dalam rangka penilaian calon
pasangannya itu dengan cara budaya yang non-Islami: BERPACARAN. Mungkin dengan
pacaran akan diperoleh data-data yang diperlukan, tapi karena ini bukan dari Islam, maka harus
dihindari, dan biasanya dalam masa berpacaran tsb, yang ditampilkan oleh masing-masing
adalah sifat yang baik-baiknya saja. Banyak kejadian (apalagi di Jerman) dua orang yang telah
bertahun-tahun berpacaran, tapi setelah menikah beberapa saat kemudia bercerai dengan alasan
tidak cocok..
Jadi bagaimana yang islami?
Allah telah memberikan solusinya, dalam surat Annur ayat 32
Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang patut
(menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha
Mengetahui. (QS. 24:32).
Ayat ini dikhususkan oleh orang-orang yang telah menikah. Nikahkanlah .. berarti disini
Allah sedang berbicara kepada orang-orang yang telah menikah. Dan mereka ini merupakan
mediator untuk menciptakan media taaruf yang islami.
Di masa tempo doeloe, antar orang tua telah saling menpersiapkan diri untuk saling
menjodohkan anak-anaknya. Pada jaman sekarang cara tsb akan dianggap kolot, feodal dan
menghalangi kebebasan.
Sebenarnya ketidak cocokan ini karena adanya kesenjangan pemahaman, bila pihak orang tua
maupun anak ada keterbukaan, dan anak didik oleh orang tua dengan nilai-nilai Islam sejak awal,
maka anak akan percaya penuh terhadap pilihan orang tua. Selain orang tua, guru ngaji atau
teman yang dapat dipercaya yang berakhlak baik dan sudah menikah dapat sebagai mediator.
Wanita-wanita yang tidak baik adalah untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak
baik adalah buat wanita-wanita yang tidak baik (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk
laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka
(yang di tuduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka. Bagi mereka ampunan dan
rezki yang mulia (yaitu surga). (QS. 24:26)
Dalam ayat diatas Allah telah memilihkan wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik,
oleh sebab itu bagi yang ingin cepat menikah, maka harus meningkatkan terus nilai keimanannya
agar mendapatkan sesuai dengan kualitas dirinya. Itu janji Allah.

------------------------Pada tazkiroh pekan lalu telah disampaikan pengantar mengenai pernikahan ditinjau oleh sudut
pandang Islam. Sebelum kita meminta mediator untuk mencarikan pasangan hidup kita,
cobalah kita renungkan pertanyaan berikut:
Rumah tangga macam apa yang akan kita bangun?
Di bawah ini ada beberapa contoh rumah tangga yang ada di sekitar kita (bisa ditambahkan lagi
dan silakan dipilih mana yang cocok):
1. Rumah tangga Bisnis:
Pada awal dibinanya rumah tangga ini telah dihitung-hitung berapa keuntungan materi yang akan
diperoleh, bila aku menikah dengan si fulan, berapa tabunganku akan bertambah saat menikah
dan setelah menikah. Apa pasanganku nanti dapat menambah hartaku atau malah akan
mengurangi. Dan bila kami nanti punya anak, berapa anak yang kira-kira dapat menguntungkan
usaha yang kami jalankan saat ini dst. Rumah tangga seperti ini banyak sekali ditemukan di
negara Barat yang hanya berfikir pada materi. Allah telah berfirman:
Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu
kepada Kami sedikitpun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh,
merekalah itu yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka
kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi (dalam surga). (QS. 34:37)
2. Rumah tanga Barak:
Yang terdengar dari rumah tangga ini hanya perintah-perintah atau komando-komando layaknya
jendral kepada kopralnya. Bila si kopral tidak melaksanakan atau lalai menjalankan tugas, maka
konsekwensinya adalah hukuman, baik berupa umpatan atau bahkan pukulan. Di sini tidak ada
suasana dialogis yang mesra, anggota keluarga yang berperan sbg kopral, selalu merasa tertekan
dan takut bila ada sang jendral di rumah, dan selalu berdoa dan berharap agar sang jendral segera
berlalu keluar rumah..
3. Rumah tangga Arena Tinju:
Bila suami dan istri merasa memiliki derajat, kekuatan dan posisi yang setara serta pendapatnya
lah yang benar dan harus terlaksana. Bila ada perbedaan dan salah faham sedikit saja, maka
digelarlah pertandingan yang dapat berupa, baku cekcok, baku hantam atau baku UFO (piring
terbang). Masing-masing berusaha membuat KO lawannya dengan berbagai taktik. Tidak ada
kata damai sebelum salah satunya menyerah.
4. Rumah tangga islami:
Didalamnya ditegakkan adab-adab Islam, baik individu maupun seluruh anggota. Mereka
berkumpul dan mencintai karena Allah, saling menasehati kejalan yang maruf dan mencegah dari
kemunkaran. Setiap anggota betah tinggal didalamnya karena kesejukan iman dan kekayaan
ruhani. Rumah tangga yang menjadi panutan dan dambaan ummat yang didalamnya selalu
ditemukan suasana sakinah, mawaddah dan rahmah.
Merupakan surga dunia, seperti yang sering kita dengar, Rasul pernah bersabda:

Baiti jannati! Rumahku adalah surgaku.


Rumah yang dimaksud di sini tentunya bukan bangunan fisiknya yang bak istana dengan taman
yang luas dan kolam renangnya, tapi rumah disini adalah rumah tangga ruh dari rumah tsb.
Apa ciri-ciri rumah tangga islami tsb:
a. Didirikan atas dasar ibadah
Rumah tangga didirikan dalam rangka ibadah kepada Allah, dari proses pemilihan jodoh,
pernikahan (akad nikah, walimah) sampai membina rumah tangga jauh dari unsur kemaksiatan
atau yang tidak islami. Sebagaimana tugas kita di muka bumi ini yang hanya untuk
mengabdi/beribadah kepada Allah, maka pernikahan ini pun harus diniatkan dalam rangka tsb.
Beberapa contoh yang tidak islami, pemilihan jodoh tidak berdasarkan Diennya (agamanya),
Proses berpacaran, pemilihan hari baik untuk acara pernikahan, sebelum akad nikah ada acara
widodareni atau mandi air kembang dan dalam acara walimahan ada upacara (adat) injak telur
dan buang-buang beras (saweran).
b. Terjadi internalisasi nilai Islam secara kaffah (menyeluruh).
Dalam rumah tangga islami segala adab-adab islam dipelajari dan dipraktekan sebagai filter bagi
penyakit moral di era globalisasi ini. Suami bertanggung jawab terhadap perkembangan
pengetahuan keislaman dari istri, dan bersama-sama menyusun program bagi pendidikan anakanaknya. Saling tolong-menolong dan saling mengingatkan untuk meningkatkan kefahaman
dan praktek ibadah. Oleh sebab itu suami dan istri seharusnya memiliki pengetahuan yang
cukup memadai tentang Islam.
c. Terdapat Qudwah (keteladanan)
Qudwah (keteladanan) suami atau istri yang dapat dicontoh oleh anak-anak.
Setiap hendak keluar atau masuk rumah anggota keluarga membiasakan mengucapkan salam dan
mencium tangan, merupakan contoh yang akan membekas pada anak-anak sehingga mereka
tidak canggung mengucapkan salam ketika telah dewasa.
Bagaimana mungkin anak akan menegakkan sholat diawal waktu, sementara orang tuanya asik
melihat TV pada saat azan berkumandang (ini contoh yang buruk).
Keluarga islami merupakan contoh teladan di lingkungannya, selalu nilai-nilai positif saja yang
terlontar dari para tetangganya bila membicarakan rumah tangga ini. Hal ini bisa terjadi bila
adanya contoh-contoh yang islami dilakukan serta silaturahmi ke tetangga yang intensif.
d. Adanya pembagian tugas yang sesuai dengan syariat.
Islam memberikan hak dan kewajiban masing-masing bagi anggota keluarga secara tepat dan
manusiawi. Seperti yang tercantumkan dalam Firman Allah:
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih
banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa yang
mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan
mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu. (QS. 4:32).
Suami atau istri harus faham apa kewajiban dan haq nya, sehingga tidak terjadi pertengkaran

karena masing-masing hanya menuntut haknya terpenuhi tanpa melakukan kewajibannya. Islam
telah mengatur keseimbangan haq dan kewajiban ini, apa yang menjadi kewajiban suami adalah
haq istri, dan begitu pula sebaliknya. Kewajiban suami tidak bisa dilakukan secara optimal oleh
istri, begitu pula sebaliknya.
e. Tercukupnya kebutuhan materi secara wajar
Suami harus membiayai kelangsungan kebutuhan materi keluarganya, karena itu salah satu tugas
utamanya. Seperti yang tercantum dalam Al Quran surat Al Baqarah 233:
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang
ma'ruf.
f. Menghindari hal-hal yang tidak islami
Banyak kegiatan atau barang-barang yang tidak islami harus disingkirkan dari dalam rumah,
misalnya penghormatan kepada benda-benda keramat, memajang patung-patung, memasukkan
ke rumah majalah/koran/Video atau saluran internet dan TV (ini yang susah) yang tidak islami,
bergambar mesum dan adegan kekerasan, memperdengarkan lagu-lagu yang tidak menambah
keimanan.
g. Berperan dalam pembinaan masyarakat:
Keluarga islami harus memberikan kontribusi yang cukup bagi perbaikan masyarakat sekitarnya:
Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah
mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Rabbmu Dia-lah yang lebih mengetahui
tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk. (QS. 16:125)
Kita tidak bisa hidup sendirian terpisah dari masyarakat. Betapapun taatnya keluarga tsb
terhadap norma-norma ilahiyah, apabila sekitar lingkungannya tidak mendukung, pelarutan nilai
akan lebih mudah terjadi, terutama pada anak-anak.
Oleh sebab itu setiap anggota keluarga islami diharuskan memiliki semangat berdawah yang
tinggi, sesuai dengan profesi utama setiap muslim adalah dai.
Suami harus dapat mengatur waktu yang seimbangan untuk Allah SWT (ibadah ritual), untuk
Keluarga (mendidik keluarga serta bercengkrama bersama istri dan anak-anak), waktu untuk
ummat (mengisi ceramah, mendatangi pengajian, menjadi pengurus mesjid, panitia kegiatan
keislaman) dan waktu mencari nafkah. Begitu pula dengan istri harus diberi kesempatan untuk
bekiprah di jalan dawah ini memperbaiki muslimah disekitarnya.
Bila pemahaman keislaman antara suami dan istri sekufu, maka tenaga untuk melakukan
manuver dawah keluar akan lebih banyak, karena suami tidak perlu menyediakan waktu yang
terlalu banyak untuk mengajari istrinya. Begitu pula istri mendukung dan memperlancar tugas
suami dengan ikhlas.
Dan orang-orang yang berkata: "Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami
dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang
yang bertaqwa. (QS. 25:74)

Kita dapat membaca sebagai referensi rumah tangga islami yang telah di contohkan oleh Rosul
SAW dan para sahabatnya. Masih banyak yang harus kita pelajari!
---------------------------MENGAPA MENUNDA PERNIKAHAN?
Rosulullah pernah berkata kepada Ali ra: Hai Ali, ada 3 perkara yang jangan kamu tunda-tunda
pelaksanaannya, yaitu shalat apabila tiba waktunya, jenazah apabila sudah siap penguburannya,
dan wanita bila menemukan pria sepadan yang meminangnya (HR. Ahmad)
Kalau kita tanya seseorang pemuda/pemudi, mengapa belum menikah?
Maka jawabanya antara lain:
1. Masih kuliah/menuntut ilmu
Dikhawatirkan bila menikah akan mempengaruhi prestasi belajar dan mempengaruhi persiapan
masa depan.. Hal ini sesungguhnya tergantung dari manajemen waktu, waktu yang biasanya
dipakai untuk hura-hura setelah waktu kuliah, diganti dengan mencari nafkah atau bercengkrama
dengan keluarga.
Disisi lain, bisa menghemat sewa kamar (kost-kost an), dapat saling membantu mengerjakan
tugas (kalau satu bidang studi) atau dapat memperluas wawasan diskusi interdisipliner misalnya
suami studi ilmu komputer dan istri akutansi maka diskusi komputasi akutansi akan nyambung,
atau biologi dengan kimia diskusi tentang biokimia.
2. Bila menikah akan terkekang
tidak bisa bebas lagi, tidak bisa kongkow-kongkow di mal setelah pulang kuliah atau kerja,
bertambah beban tanggung jawab untuk memberi nafkah istri dan anak.
Sedangkan Rosul bersabda: "Bukan golonganku orang yang merasa khawatir akan terkungkung
hidupnya karena menikah kemudian ia tidak menikah" (HR Thabrani)
3. Belum siap dalam hal materi/rezeki.
Banyak yang beranggapan kalau mau menikah harus siap materi, yang berarti harus punya
jabatan yang mapan, rumah minimal BTN, kendaraan dll, sehingga bila belum terpenuhi semua
itu, takut untuk maju. Sedangkan Allah menjamin akan memberikan rizki bagi yang menikah
seperti dalam firmanNYA:
Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang patut
(menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha
Mengetahui. (QS. 24:32).
Rasulullah SAW bersabda :
"Carilah oleh kalian rezeki dalam pernikahan (dalam kehidupan berkeluarga) "
(HR Imam Dailami dalam musnad Al Firdaus).

4 Tidak ada/belum ada jodoh


Masalah memilih jodoh telah di jelaskan pada tazkiroh 2 pekan yang lalu, dibawah ini adalah
pesan Rosul SAW:
Imam Thabrani meriwayatkan dari Anas bin Malik r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda :
"Barang siapa menikahi wanita karena kehormatannya (jabatan) , maka Allah SWT hanya akan
menambah kehinaan; barang siapa menikah karena hartanya, maka Allah tidak akan menambah
kecuali kefakiran; barang siapa menikahi wanita karena hasab (kemuliaannya), maka Allah
hanya akan menambah kerendahan. Dan barang siapa yang menikahi wanita karena ingin
menutupi (kehormatan) matanya, membentengi farji (kemaluan) nya, dan mempererat
silaturahmi, maka Allah SWT akan memberi barakah-Nya kepada suami-istri tsb"
Imam Abu Daud & At Tirmidzi meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
"Tetapi nikahilah wanita itu karena agamanya. Sesungguhnya budak wanita yang hitam lagi
cacat, tetapi taat beragama adalah lebih baik (dari pada wanita kaya & cantik tapi tidak taat
beragama)"
Bukan berarti Rasulullah SAW mengabaikan penampilan fisik dari pasangan kita, sebagaimana
Rasulullah SAW bersabda :
"Kawinilah wanita yang subur rahimnya dan pecinta " (HR Abu Daud, An Nasai & Al Hakim)
"Tiga kunci kebahagiaan suami adalah: istri yang solehah: yang jika dipandang membuat
semakin sayang, jika kamu pergi membuat tenang karena bisa menjaga kehormatannya dan taat
pada suami"
4.Mungkin masih ada alasan lainya, yang tidak akan dibahas disini misalnya:
- Karena kakak (apalagi wanita) belum menikah
- Karena orang tua terlalu selektif memilih calon mantu.
- dll
Manfaat menikah di usia muda:
1. Menjaga kesucian fajr (kemaluan) dari perzinaan serta menjaga pandangan mata. (QS 24: 3031)
2. Dapat melahirkan perasaan tentram (sakinah) cinta dan kasih sayang dalam hati. (QS 30:21).
3. Segera mendapatkan keturunan, dimana anak akan menjadi Qurrata Ayunin (penyejuk mata,
penyenang hati) (QS 25:74)
4. Memperbanyak ummat Islam.
Kemuliaan menikah:
"Barang siapa menggembirakan hati istri, (maka) seakan-akan menangis takut kepada Allah.
Barang siapa menangis takut kepada Allah, maka Allah mengharamkan tubuhnya dari neraka.
Sesungguhnya ketika suami istri saling memperhatikan, maka Allah memperhatikan mereka
berdua
dengan penuh rahmat. Manakala suami merengkuh telapak tangan istri (diremas-remas), maka
berguguranlah dosa-dosa suami-istri itu dari sela-sela jarinya." (HR Maisarah bin Ali dari ArRafi' dari Abu Sa'id Al-Khudzri r.a.)

Juga dapat ditambahkan, bahwa Islam memberi nilai yang tinggi bagi siapa yang telah menikah,
dengan menikah berarti seseorang telah melaksanakan SEPARUH dari agama Islam!, tinggal
orang tsb berhati-hati melaksanakan yang separuhnya lagi agar tidak sesat. Rosul SAW
bersabda:
Barang siapa menikah, maka dia telah menguasai separuh agamanya, karena itu hendaklah ia
bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi (HR Al Hakim).
Kehinaan melajang/membujang:
"Orang yang paling buruk diantara kalian ialah yang melajang(membujang). dan seburuk-buruk
mayat (diantara) kalian ialah yang melajang (membujang)" (HR Imam, diriwayatkan juga oleh
Abu Ya'la dari Athiyyah bin Yasar)
Itulah yang dapat saya sampaikan kali ini, silakan baca buku tentang pernikahan atau keluarga
islami yang banyak dijual, antara lain:
Cahyadi Takariawan: Pernik-Pernik Rumah Tangga Islami
Muhammad Fauzil Adhim: Kupinang Engkau dengan Hamdalah
Mustaghfiri Asror: Hak dan kewajiban suami istri
Sholih Al Fauzan: Pemuda Islam di seputar Persoalan yang dihadapi.
Sebagai penutup, silakan pertanyaan di bawah ini dijawab
di dalam hati saja:
.
MENGAPA SAYA MENUNDA MENIKAH ?
.
bila ada salah kata mohon dimaafkan
yang benar itu pasti datangnya dari Allah SWT
wabilahi taufik wal hidayah
wassalamualaikum
mpp

Istri Harus Taat Suami atau Orang Tua?


Rabu, 06 Februari 2013, 12:36 WIB

Komentar : 0

flickr.com

Muslimah/ilustrasi
A+ | Reset | A-

REPUBLIKA.CO.ID, Suatu saat, dalam sebuah riwayat dari Anas bin Malik RA dikisahkan
sebagian ahli hadis menyebut sanadnya lemah, tatkala sahabat bepergian untuk berjihad, ia
meminta istrinya agar tidak keluar rumah sampai ia pulang dari misi suci itu. Di saat bersamaan,
ayah anda istri sedang sakit. Lantaran telah berjanji taat kepada titah suami, istri tidak berani
menjenguk ayahnya.
Merasa memiliki beban moral kepada orang tua, ia pun mengutus seseorang untuk menanyakan
hal itu kepada Rasulullah. Beliau menjawab, Taatilah suami kamu. Sampai sang ayah menemui
ajalnya dan dimakamkan, ia juga belum berani berkunjung. Untuk kali kedua, ia menanyakan
perihal kondisi nya itu kepada Nabi SAW. Jawaban yang sama ia peroleh dari Rasulullah,
Taatilah suami kamu. Selang berapa lama, Rasulullah mengutus utusan kepada sang istri
tersebut agar memberitahukan Allah telah mengampuni dosa ayahnya berkat ketaatannya pada
suami.
Kisah yang dinukil oleh at-Thabrani dan divonis lemah itu, setidaknya menggambarkan tentang
bagaimana seorang istri bersikap. Manakah hak yang lebih didahulukan antara hak orang tua dan
hak suami, tatkala perempuan sudah menikah. Bagi pasangan suami istri, dialektika kedua hak
itu kerap memicu kebingungan dan dilema.
Syekh Kamil Muhammad Uwaidah dalam buku Al Jami fi Fiqh An Nisaa mengatakan seorang
perempuan, sebagaimana laki-laki, mempunyai kewajiban sama berbakti terhadap orang tua.
Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA menguatkan hal itu. Penghormatan terhadap ibu
dan ayah sangat ditekankan oleh Rasulullah. Mengomentari hadis itu, Imam Nawawi
mengatakan hadis yang disepakati kesahihannya itu memerintahkan agar senantiasa berbuat baik
kepada kaum kerabat. Dan, yang paling berhak mendapatkannya adalah ibu, lalu bapak.
Kemudian disusul kerabat lainnya.
Namun, menurut Syekh Yusuf al- Qaradhawi dalam kumpulan fatwanya yang terangkum di
Fatawa Muashirah bahwa memang benar, taat kepada orang tua bagi seorang perempuan
hukumnya wajib. Tetapi, kewajiban tersebut dibatasi selama yang bersangkutan belum menikah.
Bila sudah berkeluarga, seorang istri diharuskan lebih mengutamakan taat kepada suami. Selama
ke taatan itu masih berada di koridor syariat dan tak melanggar perintah agama.
Oleh karena itu, imbuhnya, kedua orang tua tidak diperkenankan mengintervensi kehidupan
rumah tangga putrinya. Termasuk memberikan perintah apa pun padanya. Bila hal itu terjadi,
merupakan kesalahan besar. Pasca menikah maka saat itu juga, anaknya telah me ma suki babak

baru, bukan lagi di bawah tanggungan orang tua, melain kan menjadi tanggung jawab suami.
Allah SWT berfirman, Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan se ba hagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita). (QS
an-Nisaa [4]: 34).
Meski demikian, kewajiban menaati suami bukan berarti harus memutus tali silaturahim kepada
orang tua atau mendurhakai mereka. Seorang suami dituntut mampu menjaga hubungan baik
antara istri dan keluarganya. Ikhtiar itu kinidengan kemajuan teknologibisa diupayakan
sangat mudah. Menyambung komunikasi dan hubungan istri dan keluarga bisa lewat telepon,
misalnya.
Alqaradhawi menambahkan, di antara hikmah di balik kemandirian sebuah rumah tangga ialah
meneruskan estafet garis keturunan. Artinya, keluarga dibentuk sebagai satu kesatuan yang utuh
tanpa ada intervensi pihak luar. Bila selalu ada campur tangan, laju keluarga itu akan tersendat.
Sekaligus menghubungkan dua keluarga besar dari ikatan pernikahan. Allah SWT berfirman,
Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia jadikan manusia itu (punya)
keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Mahakuasa. (QS al-Furqan [25]: 54).
Ia menyebutkan beberapa hadis lain yang menguatkan tentang pentingnya mendahulukan
ketaatan istri kepada suami dibandingkan orang tua. Di antara hadis tersebut, yaitu hadis yang
diriwa yatkan oleh al-Hakim dan ditashih oleh al-Bazzar. Konon, Aisyah pernah berta nya
kepada Rasulullah, hak siapakah yang harus diutamakan oleh istri? Rasulullah menjawab, (hak)
suaminya. Lalu, Aisyah kembali bertanya, sedang kan ba

Mana Yang Lebih Diutamakan, Istri, Ibu Atau Mertua?


pada 18.26.00 Kamis, 12 Juli 2012
seseorang baru saja menikah dan terkadang bingung menempatkan prioritas antara
memenuhi keinginan istri, orang tua dan
mertua. Singkatnya, bagaimana tingkatan prioritas pemenuhan kebutuhan istri,
orang tua dan mertua di dalam Islam, dan mana yang harus di dahulukan ketika
orang tua(pihak laki laki) membutuhkan anak dan menantunya,
sementara mertua(dari pihak perempuan)
membutuhkan juga anak dan suaminya, bagaimana kedudukan suami sebagai
suami (pemimpin) pada saat itu jika suami lebih memprioritaskanorang tua suami
dibandingkan mertua suami( orang tua istri)

Dan bagaimana pula sikap yang harus diambil istri sebagai istri
yang harus taat pada suami dan juga sebagai anak dari mertua suami(orang tua
kandung istri).
bagaimana supaya istri dan semuanya menjadi dapat berlaku
adil dan menciptakan keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah.

jawaban:

Syari'at Islam bukan syari'at hitam putih, untuk setiap kasus bisa
berbeda-beda hukumnya. Yang perlu anda ketahui adalah aturan-aturan dasarnya,
dan pengecualian-pengecualiannya.
Selanjutnya bagaimana
kaidah-kaidah tsb diterapkan kepada setiap kasus. Setiap kasus pun bisa berbedabeda karena faktor perbedaan tempat, waktu dan keterkaitan dengan masalah lain.
Dalam hal ini, urut-urutan siapa yang paling berhak atas diri
suami, dimulai dari Ibu suami, kemudian ayah, kemudian istri, anak dst
yang-lain-lain dengan catatan mertua termasuk jauh karena ada diselingi
saudara-saudarasuami.
Ini semua dalam konteks keluarga. Jika dalam urut-urutan siapa yang paling butuh
pada suami adalah mulai dari anak,istri, orangtua dst sampai orang lain semisal
tetangga, dan orang lain.

Dalam prioritas, suami harus menilainya siapa yang saat tertentu lebih
perlu anda layani dan siapa yang bisa ditunda atau dialihkan
tanggung-jawabnya ke orang lain.
Semua patokan dan kaidah itu harus diterapkan dalam sebuah kasus barulah
dipertimbangkan. Kadang suami perlu mendahulukan ibu suami, kadang anak,
istri atau bahkan orang lain, harus ditinjau sesuai keadaannya. Jika
nilai keterdesakannyasama, maka urutan siapa yang harus suami dahulukan dimulai
dari ibu suami.

Di satu pihak ibu suami paling layak suami hormati dan dahulukan, namun di
lain pihak anak dan istri adalah tanggung jawab langsung suami yang tak bisa
diwakilkan.
Tentang istri, baginya yang layak ia ia hormati pertama adalah suaminya, kemudian
ibunya dan ayahnya. Sedang tentang siapa yang paling butuh padanya maka

pertama suami, anak dan seterusnya ke keluarganya


sendiri baru keluarga suami. Jadi, hubungan kita ke mertua adalah
hubungan tidak langsung, bersebab hubungan pasangan hidup kita dengan ortunya
itu.

Hidup ini memang tidak mudah dan sederhana, dan dunia ini memang kampung
ujian. Jika kita menyadari ini kita akan sabar menghadapi segala konflik
of interest. Oleh karena itu anda amat perlu untuk selalu bersambung ke Allah, agar
segala pilihan anda menjadi keberkahan pahala dan dipenuhi kebaikan dan
manfaat.
oleh :
HM Ihsan Tanjung dan Siti Aisyah Nurmi

ANTARA ISTRI DAN IBU , MANA YANG


KAU UTAMAKAN
1 Juni 2012

9 Votes
Mas Didin (bukan nama sebenarnya) baru saja menikah dengan gadis Polowijen Malang
cantiknya bukan kepalang. Namun seribu kali sayang, pelitnya tidak ketulungan.
Sejak menikah, Mas Didin diharuskan menyerahkan semua gajinya pada istrinya.
Istrinyalah yang mengatur semua pengeluaran rumah tangga Istilahnya, istrinyalah yang menjadi
bendahara keluarga.
Awalnya memang tidak ada masalah, tapi sebulan berikutnya masalah itu muncul saat Ibunya
Mas Didin datang minta uang. Mas Didin yang tidak pegang uang akhirnya minta uang pada
istrinya.Tapi apa yang terjadi? Ternyata istrinya tidak mau memberi uang kepada ibu mertuanya.

Alasannya, uang belanja tidak akan cukup kalau diberikan kepada ibu mertuanya. Lha nanti
kalau beli kosmetik pakai uang siapa? Belum buat beli baju tidur? Buat beli spring bed? Buat
beli ini itu?
Akhirnya ibu mertua kecewa karena tidak diberi uang oleh menantunya, dan bernadzar tidak
akan datang ke rumah anaknya selamanya. Masyaallah.
Mas Didin yang tahu kalau ibunya tidak dikasih uang hanya diam seperti kera ketulup. Ia
bingung, apa yang harus dilakukannya? Membela ibunya sebagai bakti kepada orang tuanya
dengan kemungkinan istrinya akan memarahinya. Atau membetulkan sikap istrinya dengan
kemungkinan akan dianggap durhaka oleh ibunya.
(dikutip dari Media Umat:
Minggu I -Jumadil Ula 1428 H dengan sedikit pengeditan)
Sahabat fillah, inilah kisah yang sering dan banyak dialami oleh saudara-saudara kita, atau
bahkan kita sendiri. Sebagian di antara mereka atau kita masih bingung, mana yang harus
diprioritaskan?
Lebih penting mana? Ibu kita atau istri kita?
Suami Harus Mendahulukan Ibunya Daripada Istrinya .Sangat wajar kalau anak laki-laki meski
sudah menikah tapi tetap memperhatikan ibu dan bapaknya, bahkan ini adalah kewajiban anak
kepada orang tuanya, terutama ibu. Meski anak sudah berkeluarga dan punya rumah sendiri, ia
tetap wajib merawat orang tuanya, termasuk menafkahinya seandainya mereka memang sudah
tidak mampu bekerja lagi.
Anak laki-laki harus taat kepada ibunya, bukan istrinya. Justru istrilah yang harus patuh pada
suaminya.
Dalam sebuah hadits shahih, diriwayatkan bahwa Aisyah Ra bertanya kepada Rasulullah Saw,
Siapakah yang berhak terhadap seorang wanita? Rasulullah menjawab, Suaminya (apabila
sudah menikah). Aisyah Ra bertanya lagi, Siapakah yang berhak terhadap seorang laki-laki?
Rasulullah menjawab, Ibunya (HR. Muslim)
Seorang sahabat, Jabir Ra menceritakan:
Suatu hari datang seorang laki-laki kepada Rasulullah Saw, ia berkata, Ya Rasulallah, saya
memiliki harta dan anak, dan bagaimana jika bapak saya menginginkan (meminta) harta saya
itu? Rasulullah menjawab, Kamu dan harta kamu adalah milik ayahmu. (HR. Ibnu Majah dan
At- Thabrani).
Ini berarti apabila orang tua membutuhkan bantuan, maka kita tidak boleh menolak, apalagi
sampai menyakiti perasaannya.
Jangan Korbankan Orang Tua Demi Istri,Meskipun Ia Cantik!
Allah Swt berfirman, dan hendaklah kamu bersyukur kepada-Ku dan kepada kedua orang
tuamu (QS. Luqman:14).
Begitu penting berbuat baik dan berterima kasih kepada kepada kedua orang tua kita, sampai
Rasulullah bersabda, Ridha Allah terdapat pada keridhaan orang tua. Dan murka Allah terdapat
pada kemurkaan orang tua (HR. Turmudzi).

Demikian tinggi kedudukan orang tua terhadap anaknya, sampai-sampai Allah baru meridhai kita
kalau orang tua ridha kepada kita. Sebaliknya, Allah akan marah kepada kita apabila kita
menyia-nyiakan orang tua. Karena itu, janganlah seorang anak laki-laki mengorbankan orang tua
demi istri, meskipun istri tersebut sangat cantik! Sebab berbakti kepada orang tua termasuk
kewajiban pokok yang perintahnya digandeng dengan perintah beribadah kepada Allah,
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah
kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik baiknya (QS. Al-Isra:23).I
stri Jaman Sekarang Kebanyakan Bermusuhan Dengan Ibu Mertuanya Jika kita mau jujur, kita
akan setuju dengan pernyataan tersebut. Bagi istri, ketemu dengan ibu mertua sama dengan
ketemu Mak Lampir.Jenis istri seperti inilah yang jumlahnya seribu. Artinya, sebagian besar istri
berperangai seperti itu.
Seorang suami yang bijak seharusnya bisa menuntun istrinya agar sadar dan mengerti bahwa
seorang laki-laki meskipun sudah menikah, tapi masih punya kewajiban mengurus ibunya. Istri
yang baik tidak akan melarang suaminya berbuat baik kepada orang tuanya.Seyogyanya, seorang
istri membantu suaminya dengan cara memberi dorongan dan peluang kepadanya untuk berbuat
baik kepada orang tuanya. Tidak perlu takut, kalau suami memberi uang kepada ibunya, lantas
rejekinya istri akan berkurang. Yakinlah, dengan rahmat-Nya, Allah akan melipat gandakannya.
Dengan seperti itu,seorang istri akan mendapat pahala kebaikan pula. Sebaliknya, jika istri
menghalang-halangi suami berniat baik, maka ia akan mendapat dosa.
Wallahu alam.(Masroer Tour )

Siapa Berhak Terhadap Seorang Suami? Ibunya


By Admin Islampos on March 27, 2013

BAGAIMANA pun seorang istri ada di bawah


tanggung jawab suaminya, namun tidak demikian dengan posisi seorang suami terhadap istrinya.
Seorang isteri berhak mendapatkan suami yang berhias sebagaimana suami berhak atas isteri
yang berhias untuk suaminya. Berhiasnya suami disesuaikan dengan kondisi dan situasi agar
keharmonisan rumah tangga dan isteri tidak berpaling kepada laki-laki lain.
Saat ada yang menegurnya ketika ia mencukur jenggotnya, Ibnu Abbas berkata, Sesungguhnya
aku berhias untuk isteriku sebagaimana ia berhias juga untukku. Aku tidak suka hanya
mengambil hakku saja yang ada padanya, tapi ia pun berhak mengambil haknya yang ada pada
diriku. Allah berfirman, Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang maruf. (Al Baqarah: 228)
Isteri juga berhak diajari berbagai persoalan agama atau menghadiri kajian-kajian keilmuan,
sebab kebutuhan itu untuk memperbaiki kualitas agama dan menyucikan jiwanya. Isteri adalah
bagian dari keluarga yang harus dijaga suami agar tidak menjadi bahan bakar neraka. Dan
penjagaan dirinya itu adalah dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus
berdasarkan ilmu dan pengetahuan, sehingga ia dapat melaksanakannya sesuai yang
diperintahkan syariat.
Pernikahan dalam Islam selalu menyediakan hak dan kewajiban yang saling melengkapi dan
berkebalikan. Hak isteri merupakan kewajiban suami, dan hak suami merupakan kewajiban
isteri.
Syaikh Sayyid Sabiq berkata, Di antara hak suami terhadap isteri adalah menaati suami dalam
hal-hal yang bukan maksiat, isteri menjaga kehormatan dirinya dan harta suami, menjauhkan diri
dari mencampuri sesuatu yang dapat menyusahkan suami, tidak bermuka masam di hadapannya,
dan tidak menunjukkan sikap yang tidak disenangi. (Fiqih Sunnah).

Seorang wanita yang menikah meletakkan ketaatan utamanya bukan lagi pada kedua orang
tuanya. Sejak akad nikah diucapkan, maka tanggung jawab terhadapnya dan ketaatan oleh
dirinya berpindah kepada lelaki yang menjadi suaminya.
Dari Aisyah, ia berkata, Aku bertanya kepada Rasulullah, Siapakah orang yang wajib
diutamakan haknya oleh seorang perempuan? Rasulullah mejawab, Suaminya. Aku bertanya
lagi, Siapakah orang yang wajib diutamakan haknya oleh seorang laki-laki? Rasulullah
menjawab, Ibunya. (HR Hakim)
Ketatan dan kesyukuran isteri kepada apa yang diberikan dan diperintahkan suami kepadanya
akan membawa implikasi yang panjang hingga ke akhirat. Ia akan membawa seseorang menuju
neraka atau surga.
Termasuk ketaatan adalah dalam urusan seksual. Jika seorang suami menghendaki berhubungan
dengan isterinya, isterinya tersebut tidak boleh menolaknya meskipun ia dalam kesibukan.
Bahkan jika saat itu ia sedang dalam kondisi haid karena suami masih boleh mencumbui
isterinya di bagian atas. Namun, hendaklah para suami juga memperhatikan kondisi isterinya
untuk mengajaknya berhubungan karena hal ini lebih mendekatkan pada kuatnya hubungan kasih
sayang. Seorang perempuan yang haid biasanya sedang dalam kondisi fisik dan psikis yang tidak
stabil.
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda, Jika suami mengajak isterinya ke
tempat tidur, lalu dia menolak ajakan tersebut hingga suami menjadi marah, para malaikat akan
melaknatnya sampai tiba waktu pagi. (HR Ahmad, Bukhari, dan Muslim)
Kewajiban taat kepada suami ini hanya dalam hal-hal yang dibenarkan oleh syariat karena tidak
ada ketaatan dalam maksiat kepada Allah.
Suami juga berhak mendapatkan seorang isteri yang cantik dengan berhias, seperti memakai
celak, pacar, wangi-wangian, atau alat hias lainnya, khusus untuk suaminya.
Dari Karimah binti Hamam, bahwa ia bertanya kepada Aisyah, Bagaimana pendapatmu, wahai
Ummul Mukminin, tentang hukum memakai pacar? Aisyah menjawab, Kekasihku, Nabi,
menyukai warnanya, tapi membenci baunya. Beliau tidak mengharamkan kamu memakai pacar
antara dua masa haid atau setiap kali datang haid. (HR Ahmad). [duaseptember]
Antara Berbakti Kepada Orangtua dan Taat Kepada Suami
Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 045

(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah)

Memilih antara menuruti keinginan suami atau tunduk kepada perintah orangtua merupakan
dilema yang banyak dialami kaum wanita yang telah menikah. Bagaimana Islam mendudukkan
perkara ini?
Seorang wanita apabila telah menikah maka suaminya lebih berhak terhadap
dirinya daripada kedua orangtuanya. Sehingga ia lebih wajib menaati suaminya.
Allah k berfirman:
Maka wanita yang shalihah adalah wanita yang taat kepada Allah lagi memelihara
diri ketika suaminya tidak ada (bepergian) dikarenakan Allah telah memelihara
mereka (An-Nisa: 34)
Nabi n bersabda dalam haditsnya:














Dunia ini adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasannya adalah wanita yang
shalihah. Bila engkau memandangnya, ia menggembirakan (menyenangkan)mu.
Bila engkau perintah, ia menaatimu. Dan bila engkau bepergian meninggalkannya,
ia menjaga dirinya (untukmu) dan menjaga hartamu1.
Dalam Shahih Ibnu Abi Hatim dari Abu Hurairah z, ia berkata, Rasulullah n
bersabda:
























Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima waktunya, mengerjakan puasa di
bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya, maka ia akan
masuk surga dari pintu mana saja yang ia inginkan2.
Dalam Sunan At-Tirmidzi dari Ummu Salamah x, ia berkata, Rasulullah n bersabda:










Wanita (istri) mana saja yang meninggal dalam keadaan suaminya ridha
kepadanya niscaya ia akan masuk surga.
At-Tirmidzi berkata, Hadits ini hasan3.
Dari Abu Hurairah z dari Nabi n, beliau bersabda:





Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain
niscaya aku akan memerintahkan istri untuk sujud kepada suaminya.
Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan ia berkata, Hadits ini hasan4.
Diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dan lafadznya:


















niscaya aku perintahkan para istri untuk sujud kepada suami mereka
dikarenakan kewajiban-kewajiban sebagai istri yang Allah bebankan atas mereka.5
Dalam Al-Musnad dari Anas z bahwasanya Nabi n bersabda:

















Tidaklah pantas bagi seorang manusia untuk sujud kepada manusia yang lain.
Seandainya pantas/boleh bagi seseorang untuk sujud kepada seorang yang lain
niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya dikarenakan besarnya
hak suaminya terhadapnya. Demi Zat yang jiwaku berada di tangannya, seandainya
pada telapak kaki sampai belahan rambut suaminya ada luka/borok yang
mengucurkan nanah bercampur darah, kemudian si istri menghadap suaminya lalu
menjilati luka/borok tersebut niscaya ia belum purna menunaikan hak suaminya.6
Dalam Al-Musnad dan Sunan Ibni Majah, dari Aisyah x dari Nabi n, beliau bersabda:



















Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada seorang
yang lain niscaya aku akan memerintahkan istri untuk sujud kepada suaminya.
Seandainya seorang suami memerintahkan istrinya untuk pindah dari gunung
merah menuju gunung hitam dan dari gunung hitam menuju gunung merah maka si
istri harus melakukannya.7
Demikian pula dalam Al-Musnad, Sunan Ibni Majah, dan Shahih Ibni Hibban dari
Abdullah ibnu Abi Aufa z, ia berkata:


















n

:

:








.









n:
















Tatkala Muadz datang dari bepergiannya ke negeri Syam, ia sujud kepada Nabi n,
maka beliau menegur Muadz, Apa yang kau lakukan ini, wahai Muadz?

Muadz menjawab, Aku mendatangi Syam, aku dapati mereka (penduduknya) sujud
kepada uskup mereka. Maka aku berkeinginan dalam hatiku untuk melakukannya
kepadamu, wahai Rasulullah.
Rasulullah n bersabda, Jangan engkau lakukan hal itu, karena sungguh andai aku
boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada selain Allah niscaya aku
perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya. Demi Dzat yang jiwa Muhammad
berada di tangan-Nya, seorang istri tidaklah menunaikan hak Rabbnya sampai ia
menunaikan hak suaminya. Seandainya suaminya meminta dirinya dalam keadaan
ia berada di atas pelana (hewan tunggangan) maka ia tidak boleh menolaknya8.
Dari Thalaq bin Ali, ia berkata, Rasulullah n bersabda:












Suami mana saja yang memanggil istrinya untuk memenuhi hajatnya9 maka si istri
harus/wajib mendatanginya (memenuhi panggilannya) walaupun ia sedang
memanggang roti di atas tungku api.
Diriwayatkan oleh Abu Hatim dalam Shahih-nya dan At-Tirmidzi, ia berkata, Hadits
ini hasan10.
Dalam kitab Shahih (Al-Bukhari) dari Abu Hurairah z, ia berkata, Rasulullah n
bersabda:


















Apabila seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya, namun si istri
menolak untuk datang, lalu si suami bermalam (tidur) dalam keadaan marah
kepada istrinya tersebut, niscaya para malaikat melaknat si istri sampai ia berada di
pagi hari.11
Hadits-hadits dalam masalah ini banyak sekali dari Nabi n.
Zaid bin Tsabit z berkata, Suami adalah tuan (bagi istrinya) sebagaimana tersebut
dalam Kitabullah. Lalu ia membaca firman Allah k:

Dan keduanya mendapati sayyid (suami) si wanita di depan pintu. (Yusuf: 25)
Umar ibnul Khaththab z berkata, Nikah itu adalah perbudakan. Maka hendaklah
salah seorang dari kalian melihat/memerhatikan kepada siapa ia memperbudakkan
anak perempuannya.
Dalam riwayat At-Tirmidzi dan selainnya dari Nabi n, beliau bersabda:

Berwasiat kebaikanlah kalian kepada para wanita/istri karena mereka itu hanyalah
tawanan di sisi kalian.12
Dengan demikian seorang istri di sisi suaminya diserupakan dengan budak dan
tawanan. Ia tidak boleh keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya
baik ayahnya yang memerintahkannya untuk keluar, ataukah ibunya, atau selain
kedua orangtuanya, menurut kesepakatan para imam.
Apabila seorang suami ingin membawa istrinya pindah ke tempat lain di mana sang
suami menunaikan apa yang wajib baginya dan menjaga batasan/hukum-hukum
Allah l dalam perkara istrinya, sementara ayah si istri melarang si istri tersebut
untuk menuruti/menaati suami pindah ke tempat lain, maka si istri wajib menaati
suaminya, bukannya menuruti kedua orangtuanya. Karena kedua orangtuanya telah
berbuat zalim. Tidak sepantasnya keduanya melarang si wanita untuk menaati
suaminya. Tidak boleh pula bagi si wanita menaati ibunya bila si ibu
memerintahnya untuk minta khulu kepada suaminya atau membuat suaminya
bosan/jemu hingga suaminya menceraikannya. Misalnya dengan menuntut
suaminya agar memberi nafkah dan pakaian (melebihi kemampuan suami) dan
meminta mahar yang berlebihan13, dengan tujuan agar si suami menceraikannya.
Tidak boleh bagi si wanita untuk menaati salah satu dari kedua orangtuanya agar
meminta cerai kepada suaminya, bila ternyata suaminya seorang yang bertakwa
kepada Allah l dalam urusan istrinya. Dalam kitab Sunan yang empat14 dan Shahih
Ibnu Abi Hatim dari Tsauban z, ia berkata, Rasulullah n bersabda:















Wanita mana yang meminta cerai kepada suaminya tanpa ada apa-apa15 maka
haram baginya mencium wanginya surga.16
Dalam hadits yang lain:











Istri-istri yang minta khulu17 dan mencabut diri (dari pernikahan) mereka itu
wanita-wanita munafik.18
Adapun bila kedua orangtuanya atau salah satu dari keduanya memerintahkannya
dalam perkara yang merupakan ketaatan kepada Allah l, misalnya ia diperintah
untuk menjaga shalatnya, jujur dalam berucap, menunaikan amanah dan
melarangnya dari membuang-buang harta dan bersikap boros serta yang
semisalnya dari perkara yang Allah l dan Rasul-Nya n perintahkan atau yang
dilarang oleh Allah l dan Rasul-Nya n untuk dikerjakan, maka wajib baginya untuk
menaati keduanya dalam perkara tersebut. Seandainya pun yang menyuruh dia
untuk melakukan ketaatan itu bukan kedua orangtuanya maka ia harus taat.
Apalagi bila perintah tersebut dari kedua orangtuanya.

Apabila suaminya melarangnya dari mengerjakan apa yang Allah l perintahkan atau
sebaliknya menyuruh dia mengerjakan perbuatan yang Allah l larang maka tidak
ada kewajiban baginya untuk taat kepada suaminya dalam perkara tersebut. Karena
Nabi n bersabda:










Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Khaliq.19
Bahkan seorang tuan (ataupun raja) andai memerintahkan budaknya (ataupun
rakyatnya/orang yang dipimpinnya) dalam perkara maksiat kepada Allah l, tidak
boleh bagi budak tersebut menaati tuannya dalam perkara maksiat. Lalu
bagaimana mungkin dibolehkan bagi seorang istri menaati suaminya atau salah
satu dari kedua orangtuanya dalam perkara maksiat? Karena kebaikan itu
seluruhnya dalam menaati Allah l dan Rasul-Nya n, sebaliknya kejelekan itu
seluruhnya dalam bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. (Majmuatul Fatawa,
16/381-383). Wallahu alam bish-shawab.

1 HR. Ahmad (2/168) dan Muslim (no. 3628), namun hanya sampai pada lafadz:




Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang
shalihah.
Selebihnya adalah riwayat Ahmad dalam Musnad-nya (2/251, 432, 438) dan AnNasai. Demikian pula Al-Baihaqi, dari Abu Hurairah z, ia berkata:











:
:



Ditanyakan kepada Rasulullah n: Wanita (istri) yang bagaimanakah yang paling
baik? Beliau menjawab, Yang menyenangkan suaminya bila suaminya
memandangnya, yang menaati suaminya bila suaminya memerintahnya, dan ia
tidak menyelisihi suaminya dalam perkara dirinya dan tidak pula pada harta
suaminya dengan apa yang dibenci suaminya. (Dihasankan Al-Imam Al-Albani t
dalam Irwaul Ghalil no. 1786)
2 Dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Al-Jami Ash-Shaghir, no. 660.
3 HR. At-Tirmidzi no. 1161 dan Ibnu Majah no. 1854, didhaifkan Al-Imam Al-Albani t
dalam Dhaif Sunan At-Tirmidzi dan Dhaif Sunan Ibni Majah.
4 HR. At-Tirmidzi no. 1159 dan Ibnu Majah no. 1853, kata Al-Imam Al-Albani t dalam
Shahih Sunan At-Tirmidzi, Hasan Shahih.

5 HR. Abu Dawud no. 2140, dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Sunan
Abi Dawud.
6 HR. Ahmad (3/159), dishahihkan Al-Haitsami (4/9), Al-Mundziri (3/55), dan Abu
Nuaim dalam Ad-Dalail (137). Lihat catatan kaki Musnad Al-Imam Ahmad (10/513),
cet. Darul Hadits, Al-Qahirah.
7 HR. Ahmad (6/76) dan Ibnu Majah no. 1852, didhaifkan Al-Imam Al-Albani t dalam
Dhaif Sunan Ibni Majah.
8 HR. Ahmad (4/381) dan Ibnu Majah no. 1853, kata Al-Imam Al-Albani t dalam
Shahih Sunan Ibni Majah, Hasan Shahih. Lihat pula Ash-Shahihah no. 1203.
9 Kinayah dari jima. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ar-Radha, bab Ma Jaa fi Haqqiz Zauj
alal Marati)
10 HR. At-Tirmidzi no. 1160 dan Ibnu Hibban no. 1295 (Mawarid), dishahihkan AlImam Al-Albani t dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, Al-Misykat no. 3257 dan AshShahihah no. 1202.
11 HR. Al-Bukhari no. 5193.
12 HR. At-Tirmidzi no. 1163 dan Ibnu Majah no. 1851, dihasankan Al-Imam Al-Albani
t dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi dan Shahih Sunan Ibni Majah.
13 Misalnya maharnya tidak tunai diberikan oleh sang suami saat akad namun
masih hutang, dan dijanjikan di waktu mendatang setelah pernikahan.
14 Yaitu Sunan At-Tirmidzi, Sunan Abi Dawud, Sunan An-Nasai, dan Sunan Ibnu
Majah.
15 Lafadz: ((
)) maksudnya tanpa ada kesempitan yang memaksanya


untuk meminta pisah. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ath-Thalaq wal Lian, bab Ma Jaa fil
Mukhtaliat)
16 HR. At-Tirmidzi no. 1187, Abu Dawud no. 2226, Ibnu Majah no. 2055, dan Ibnu
Hibban no. 1320 (Mawarid), dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Sunan AtTirmidzi, dll.
17 Tanpa ada alasan yang menyempitkannya. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ath-Thalaq
wal Lian, bab Ma Jaa fil Mukhtaliat)
18 HR. Ahmad 2/414 dan Tirmidzi no. 1186, dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam
Shahih Sunan Tirmidzi, Ash-Shahihah no. 633, dan Al-Misykat no. 3290. Mereka
adalah wanita munafik yaitu bermaksiat secara batin, adapun secara zahir
menampakkan ketaatan. Ath-Thibi berkata, Hal ini dalam rangka mubalaghah
(berlebih-lebihan/sangat) dalam mencerca perbuatan demikian. (Tuhfatul Ahwadzi,
kitab Ath-Thalaq wal Lian, bab Ma Jaa fil Mukhtaliat)

19 HR. Ahmad 1/131, kata Syaikh Ahmad Syakir t dalam taliqnya terhadap Musnad
Al-Imam Ahmad, Isnadnya shahih.
Random Posts

Kedudukan Seorang Ibu

Surat Pembaca

Selayang Pandang Hukum Waris Islam

Al-Jarh wa At-Tadil

Ketika Badai Menerpa

Ibadah Disertai Riya

Menentang Hukum Ilahi Merongrong Aqidah

Doa Pergi ke Masjid

Meluruskan Aqidah Persiapan Menegakkan Hukum Allah

Tanya Jawab Ringkas edisi 75

Anda mungkin juga menyukai