Anda di halaman 1dari 77

UNIVERSITAS GADJAH MADA

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


Jl. Denta No.1 Sekip Utara Yogyakarta

BAHAN AJAR

BEDAH MULUT II
Semester V/ 2 SKS (2-0)/KGS 3503

Oleh:

drg. Rahardjo, SU., Sp.BM.


drg. M. Masykur Rahmat, Sp.BM.

Didanai dengan dana BOPTN P3-UGM


Tahun Anggaran 2013
November 2013

1
BAHAN AJAR

BEDAH MULUT II
KGS 3503 / 2 SKS (2-0)

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS GADJAH MADA

Revisi : Ke-3
Tanggal : 18 November 2013
Dikaji ulang : Ketua Bagian Bedah Mulut
Fakultas Kedokteran Gigi UGM
Dikendalikan oleh : drg.Rahardjo, SU., Sp.BM.
Fakultas Kedokteran Gigi UGM
Disetujui oleh : Dekan Fakultas Kedokteran Gigi UGM

Universitas Gadjah Mada Bahan Ajar Disetujui oleh Halaman


Dekan Fakultas
Revisi ke : 3 Tanggal
Bedah Mulut II Kedokteran Gigi 77
18 November 2013
UGM

2
BAHAN AJAR

Nama Matakuliah : Bedah Mulut II


Kode Matakuliah : KGS 3503
Pelaksanaan : Semester V (Ganjil)
Dosen PJMK : drg. Rahardjo, SU., Sp.BM.
Jumlah SKS : 2 SKS
Status mata kuliah : Wajib

Yogyakarta, 18 November 2013

Ketua Bagian Bedah Mulut Dosen Penanggungjawab Mata Kuliah

drg. Rahardjo, SU., Sp.BM. drg. Rahardjo, SU., Sp.BM.


NIP. 19540212 198101 1 001 NIP. 19540212 198101 1 001

Mengetahui
Dekan Fakultas Kedokteran GigiUGM

drg. Erwan Sugiatno, MS.,Sp Pros (K), PhD.


NIP. 19611001 198803 1 002

3
DAFTAR ISI
halaman
HALAMAN JUDUL 1
LEMBAR KENDALI . 2
HALAMAN PENGESAHAN.. 3
DAFTAR ISI. 4

TINJAUAN MATA KULIAH (MK).. 8


A. Deskripsi singkat MK dan status MK . 8
B. Kegunaan MK bagi mahasiswa .. 8
C. Tujuan Pembelajaran / Tujuan MK 9

BAB I. PENDAHULUAN DAN TEORI TERJADINYA IMPAKSI . 11


A. PENDAHULUAN .. 11
B. PENYAJIAN .. 11
1. Pengertian dan definisi impaksi
2. Sejarah perkembangan pertumbuhan rahang
3. Etiologi terjadinya gigi impaksi
4. Pengaruh budaya manusia terhadap pertumbuhan rahang
C. PENUTUP 13

BAB II. PRINSIP DASAR BEDAH MINOR . 15


A. PENDAHULUAN 15
B. PENYAJIAN .... 15
1. Prinsip dasar pembuatan flap dan macamnya
2. Metode suturing bedah mulut
3. Metode drainage
C. PENUTUP ... 17

BAB III. GIGI IMPAKSI RAHANG BAWAH DAN CARA OPERASINYA, 19


GIGI IMPAKSI RAHANG ATAS DAN CARA OPERASINYA..
A. PENDAHULUAN .. 19
B. PENYAJIAN 19
1. Klasifikasi gigi impaksi molar tiga bawah dan operasinya
2. Operasi gigi premolar bawah
3. Operasi gigi caninus bawah
4. Klasifikasi gigi impaksi caninus atas
5. Metode rontgen foto : shift skeltch methode
6. Operasi gigi impaksi caninus atas
C. PENUTUP 23

BAB IV. PERAWATAN PASCA OPERASI DAN FAKTOR KESUKARAN 25


OPERASI GIGI IMPAKSI..
A. PENDAHULUAN . 25
B. PENYAJIAN . 25
1. Perawatan luka operasi

4
2. Penggunaan fisioterapi
3. Kondisi keadaan umum pasien
4. Kondisi keadaan lokal pasien
C. PENUTUP 28

BAB V. KOMPLIKASI DAN TINJAUAN UMUM PENYAKIT SISTEMIK 30


TERHADAP BEDAH MINOR .
A. PENDAHULUAN 30
B. PENYAJIAN 30
1. Komplikasi infeksi dan bukan infeksi
2. Penyakit DM
3. Penyakit jantung
C. PENUTUP 36

BAB VI. FRAKTUR TULANG FASIAL . 38


A. PENDAHULUAN .... 38
B. PENYAJIAN 38
1. Tinjauan umum fraktur tulang fasial dan pendahuluan
a. Pengertian dan definisi fraktur, pembagian tulang fasial
b. Insidensi fraktur tulang dan kaitannya
c. Macam-macam fraktur tulang
2. Etiologi, gejala dan faktor predisposisi
a. Etiologi fraktur tulang fasial
b. Faktor-faktor predisposisi fraktur tulang
c. Gejala-gejala fraktur tulang fasial
C. PENUTUP 40

BAB VII. TINJAUAN KHUSUS FRAKTUR TULANG FASIAL ... 43


A. PENDAHULUAN 43
B. PENYAJIAN 43
1. Fraktur mandibula
a. Etiologi fraktur mandibula
b. Klasifikasi fraktur mandibula
c. Gejala-gejala fraktur mandibula, klinis dan radiologis
2. Fraktur condylus
a. Etiology fraktur condylus
b. Klasifikasi dan gejala fraktur condylus
3. Fraktur maxilla
a. Etiologi dan klasifikasi fraktur maksila
b. Gejala-gejala fraktur maksila
4. Fraktur os zygoma
a. Etiology dan klasifikasi fraktur zygoma
b. Gejala-gejala fraktur zygoma
5. Trauma pada gigi geligi
a. Klasifikasi trauma gigi
b. Klasifikasi fraktur gigi geligi
c. Gejala-gejala trauma dan fraktur pada gigi geligi
C. PENUTUP 46

5
BAB VIII. PEMERIKSAAN PADA FRAKTUR TULANG FASIAL ... 49
A. PENDAHULUAN 49
B. PENYAJIAN 50
1. Pemeriksaan pada fraktur tulang-tulang fasial, Pemeriksaan
subyektif dan obyektif
a. Anamnesis pada keluarga dan pasien
b. Pemeriksaan fisik lokal maupun general
c. Pemeriksaan radiologis
d. Pemeriksaan laboratories (darah, urin dll).
e. Rencana konsultasi medis
2. Diagnosis dan rencana perawatan serta pendekatannya Fraktur
mandibula
a. Menentukan diagnosis
b. Melakukan rujukan
C. PENUTUP .. 58

BAB IX. TRAUMA DENTAL . 60


A. PENDAHULUAN . 60
B. PENYAJIAN . 60
1. Emergency
a. Immediate:
1) Airway
2) Hemorrhagi
3) Syok
b. Urgent
1) Cedera kepala
2) Tubuh
3) Extremitas
2. Perawatan dini (early treatment)
a. Debridement dan perawatan luka
b. Immobilisasi temporer
c. Tracheostomy
d. Pemeriksaan tambahan dan evaluasi
3. Perawatan Definitiv
a. Evaluasi radiografis
b. Reduksi dan fiksasi fraktur tulang
1) Macam-macam reduksi
2) Jenis-jenis fiksasi
3) Cara pembuatan beberapa jenis fiksasi
c. Reposisi dan fiksasi gigi geligi
d. Replantasi gigi
e. Waktu fiksasi pada fraktur tulang dan fiksasi gigi
f. Macam vulnus dan penutupan jaringan lunak
g. Pengobatan pada fraktur tulang dan trauma fasial
4. Penyembuhan fraktur tulang
a. Macam-macam penyembuhan fraktur tulang
b. Proses penyembuhan fraktur tulang
C. PENUTUP 63

6
BAB X. PENATALAKSANAAN TRAUMA DENTAL . 65
A. PENDAHULUAN 65
B. PENYAJIAN 65
1. Faktor yang mempengaruhi perawatan tulang fasial
a. Faktor yang mempercepat penyembuhan jaringan keras dan
lunak
b. Faktor yang menghambat penyembuhan
2. Komplikasi perawatan fraktur tulang
a. Macam-macam komplikasi perawatan fraktur tulang dan
tanda-tandanya
b. Penatalaksanaan komplikasi perawatan fraktur
C. PENUTUP 72

BAB XI. SEMINAR ... 75


A. PENDAHULUAN 75
B. PENYAJIAN 75
Presentasi oleh mahasiswa
C. PENUTUP 76

DAFTAR PUSTAKA . 77

7
TINJAUAN MATA KULIAH (MK)

1. Nama Mata Kuliah : Bedah Mulut II


2. Kode/SKS : KGH 3503/ 2 SKS
3. Prasarat : Anestesiologi, Ilmu Bedah Mulut I dan
Radiologi Dental
4. Status Matakuliah : Wajib
5. Deskripsi singkat matakuliah :
Mata kuliah Bedah Mulut II merupakan mata kuliah wajib yang diberikan pada
semester V dengan beban 2 SKS. Mata kuliah ini membahas tentang etiologi, diagnosis,
dan tindakan bedah impaksi. Disamping itu matakuliah ini juga membahas tentang
fraktur tulang-tulang fasial, diagnosis, klassifikasi serta penatalaksanaannya secara
garis besar sesuai dengan kompetensinya serta berbagai macam metode fiksasi
interdental dan intermaksiler.

6. Tujuan pembelajaran (dulu TIU)


Setelah mengikuti mata kuliah ini mahasiswa diharapkan dapat mendiagnosa,
memprediksi gigi yang mengalami impaksi baik secara langsung maupun tidak
langsung. Efek langsung umumnya adanya gangguan neurologist, sedang efek tidak
langsung kemungkinan terjadinya infeksi yang berkelanjutan dan proses-proses
patologis lainnya.
Dalam fraktur tulang-tulang fasial mahasiswa diharapkan dapat mengerti, memahami
serta mendiagnose berbagai macam fraktur tulang-tulang fasial dan komplikasi yang
mungkin terjadi. Untuk kemudian mampu memberi pertolongan emergency dan early
treatment kemudian merujuk pasien tersebut sesuai dengan kompetensinya.
Disdamping itu mahasiswa diharapkan mampu untuk melakukan replantasi sebagai
salah tindakan emergency dibidang kedokteran gigi.

8
7. Outcome pembelajaran (Learning outcomes=LO)
A. Knowledge and understanding
1. Mahasiswa memahami proses tumbuh kembang dentokraniofasial pranatal dan
pascanatal dan adanya keanekaragaman sosial, ekonomi, budaya, agama dan ras
berdasarkan asal usul pasien.
2. Mahasiswa mampu menjelaskan temuan, diagnosis dan perawatan pilihan,
ketidaknyamanan dan resiko perawatan
3. Mahasiswa mampu memahami obat dan bahan yang digunakan untuk post
operasi gigi impaksi dan perawatan fraktur, termasuk efek samping dan
interaksinya

B. Intellectual (thinking)
1. Mahasiswa mampu menginterpretasikan hasil pemeriksaan radiologi dan
pemeriksaan intra oral dan ekstra oral pada kasus impaksi dan fraktur.
2. Mahasiswa mampu mengembangkan rencana perawatan yang komprehensif dan
rasional berdasarkan diagnosis

C. Practical skill
1. Mahasiswa mampu melakukan prosedur flap operasi, pengurangan tulang, dan
suturing pasca operasi impaksi.
2. Mahasiswa mampu merencanakan perawatan fraktur secara terbuka maupun
tertutup dan replantasi gigi.
3. Mahasiswa mampu merencanakan perawatan pasca operasi gigi impaksi dan
pasca perawatan fraktur tulang.

D. Managerial skill
Mahasiswa mampu menanggulangi komplikasi pasca bedah minor dan membuat
surat rujukan kepada spesialis bidang lain terkait dengan penyakit /kelainan pasien

9
UNIVERSITAS GADJAH MADA
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
Jl. Denta No.1 Sekip Utara Yogyakarta

BAHAN AJAR
Pertemuan ke-1 & 2

BEDAH MULUT II
Semester V/ 2 SKS (2-0)/KGS 3503

Oleh:

drg. Rahardjo, SU., Sp.BM.


drg. M. Masykur Rahmat, Sp.BM.

Didanai dengan dana BOPTN P3-UGM


Tahun Anggaran 2013
November 2013

10
BAB I
PENDAHULUAN DAN TEORI TERJADINYA IMPAKSI

1. PENDAHULUAN
A. Deskripsi Singkat
Materi kuliah ini berisi Pendahuluan; Pengertian dan definisi impaksi; Sejarah
perkembangan pertumbuhan rahang; Etiologi terjadinya gigi impaksi dan Pengaruh
budaya manusia terhadap pertumbuhan rahang.
B. Manfaat
Mahasiswa diharapkan dapat memahami proses tumbuh kembang dentokraniofasial
pranatal dan pascanatal dan memahami adanya keanekaragaman sosial, ekonomi, budaya,
agama dan ras berdasarkan asal usul pasien
C. Relevansi
Materi ini memiliki relevansi dengan bidang ilmu bedah dengan memberi pengetahuan
kepada mahasiswa tentang proses tumbuh kembang dentokraniofasial pranatal dan
pascanatal.
D. Learning Outcome
Setelah mengikuti kuliah ini, diharapkan mahasiswa dapat mengerti tentang proses
pertumbuhan rahang dan penyebab terjadinya gigi impaksi yang berhubungan dengan
lingkungannya.

2. PENYAJIAN
Penyajian materi perkuliah ini dilakuan dengan metode dosen memberi penjelasan di
depan kelas dan ada interaksi dengan mahasiswa (active learning). Mahasiswa diperbolehkan
bertanya atau mengemukakan pendapatnya secara langsung maupun dosen member
pertanyaan sehingga mahasiswa dapat menjawab langsung. Media ajar yang digunakan
adalah teks (power point), memberi contoh dengan gambar.
Materi perkuliahan Pendahuluan berisi kontrak pembelajaran, pokok bahasan dan
materi pembelajaran Bedah Mulut II selama satu semester, tujuan pembelajaran serta
outcome pembelajaran. Setelah mahasiswa memahami materi tersebut dilakukan

11
penandantanganan Kontrak Pembelajaran dan Outcome Learning oleh dosen pengampu dan
wakil mahasiswa.
Sejarah pertumbuhan perkembangan rahang dimulai dari adanya evolusi homo sapien.
Adanya evolusi tersebut diduga terjadi penciutan rahang. Peran diet dan kebiasaan hidup
juga sebagai salah satu stimulus primer terhadap perkembangan rahang.
Menurut Tetsch dan Wagner (1992) bahwa impaksi merupakan gigi yang dihambat
erupsinya oleh struktur keras disekelilingnya atau terbenam seluruhnya di dalam tulang.
Yavuz dkk. (2008) menjelaskan beberapa faktor sebagai etiologi terjadinya impaksi antara
lain faktor lokal dan faktor sistemik. Faktor local dapat berupa obstruksi mekanik, kurangnya
ruang pada lengkung rahang, premature loss pada gigi decidui dan ukuran lengkung gigi
mengalami discrepancy. Faktor sistemik yang berperan pada etiologi impaksi antara lain
gangguan endokrin, genetik maupun radiasi.
Beberapa teori menyebutkan tentang definisi impaksi. Prinsipnya bahwa gigi impaksi
merupakan gigi yang tidak dapat erupsi karena terhalang. Salah satu teori dari Mc. Graw Hill
(1969) mengemukakan bahwa Impaksi adalah pengurungan gigi-gigi dalam rahang
pertumbuhan gigi tertahan, sedangkan Embeded ialah keadaan gigi impacted yang tertanam
jauh dalam tulang rahang. Pendapat lain dikemukakan oleh G.W Pederson (1988) yang
menyebutkan Impaksi sebagai gigi yang jalan erupsi normalnya terhalang atau terblokir,
biasanya oleh gigi di dekatnya atau jaringan patologis. Beberapa penghalang erupsi antara
lain gigi sebelahnya, jaringan lunak, jaringan tulang dan tumor/neoplasma. Prevalensi
impaksi dapat diketahui dari urutan gigi berdasarkan frekuensi banyaknya kejadian impacted
yaitu molar tiga bawah, molar tiga atas, caninus atas, premolar bawah, caninus bawah,
premolar atas, incisivus satu atas, dan incisivus dua atas. Gigi M3 bawah merupakan yang
paling sering terjadi impaksi.

12
3. PENUTUP
Pada akhir perkuliahan, untuk mengetahui tingkat pemahahaman mahasiswa akan
diberikan kuis seperti :
Sebutkan salah satu etiologi terjadinya impaksi!
Jawaban :
Faktor local dapat berupa obstruksi mekanik, kurangnya ruang pada lengkung
rahang, premature loss pada gigi decidui dan ukuran lengkung gigi mengalami
discrepancy.
Faktor sistemik antara lain gangguan endokrin, genetic, dan radiasi.

Kuis tersebut tidak diperhitungkan untuk nilai akhir.

Contoh test sumatif antara lain :


Terjadinya impaksi gigi dapat disebabkan oleh:
A. Kebiasaan buruk yang sering dilakukan
B. Makanan yang berserat
C. Latihan fisik yang berlebihan
D. Penyakit infeksi kronis
E. Pengaruh lingkungan yang buruk

Kunci jawaban : D

Penilaian didasarkan atas keseluruhan proses kegiatan pembelajaran meliputi:


a. Ujian (UTS dan UAS) : 70%
b. Seminar / Diskusi : 30% (Kehadiran 30%, Makalah 40% dan Keaktifan 30%)

Nilai Akhir ditentukan berdasarkan PAN

Nilai Rentang Simpangan Baku (SB)


A Di atas 1,5 SB
B + 0,5 SB sd + 1,5 SB
C - 0,5 SB sd + 0,5 SB
D - 1,5 SB sd - 0,5 SB
E Di bawah 0,5 SB

13
UNIVERSITAS GADJAH MADA
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
Jl. Denta No.1 Sekip Utara Yogyakarta

BAHAN AJAR
Pertemuan ke-3

BEDAH MULUT II
Semester V/ 2 SKS (2-0)/KGS 3503

Oleh:

drg. Rahardjo, SU., Sp.BM.


drg. M. Masykur Rahmat, Sp.BM.

Didanai dengan dana BOPTN P3-UGM


Tahun Anggaran 2013
November 2013

14
BAB II
PRINSIP DASAR BEDAH MINOR

1. PENDAHULUAN
A. Deskripsi Singkat
Materi kuliah ini berisi Prinsip dasar pembuatan flap dan macamnya; Metode suturing
bedah mulut; dan Metode drainage.
B. Manfaat
Mahasiswa diharapkan dapat melakukan prosedur asepsis, flap operasi, pengurangan
tulang, dan suturing
C. Relevansi
Materi ini memiliki relevansi dengan bidang ilmu bedah dengan memberi pengetahuan
kepada mahasiswa tentang prinsip dasar dan prosedur bedah monor.
D. Learning Outcome
Setelah mengikuti kuliah ini, diharapkan mahasiswa dapat mengerti dan memahami
tentang prinsip-prinsip tindakan bedah minor

2. PENYAJIAN
Penyajian materi perkuliah ini dilakuan dengan metode dosen memberi penjelasan di
depan kelas dan ada interaksi dengan mahasiswa (active learning). Mahasiswa diperbolehkan
bertanya atau mengemukakan pendapatnya secara langsung maupun dosen memberi
pertanyaan sehingga mahasiswa dapat menjawab langsung. Media ajar yang digunakan
adalah teks (power point), memberi contoh dengan gambar.
Materi perkuliahan berisi Indikasi dan kontraindikasi pencabutan gigi impaksi, Prinsip
dasar pembuatan flap dan macamnya; Metode suturing bedah mulut; dan Metode drainage.
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada bedah minor antara lain penatalaksanaan operasi,
persiapan operasi, penentuan teknik operasi dan prediksi kemungkinan komplikasi.
Prinsip dasar pencabutan gigi impaksi meliputi indikasi dan kontraindikasi untuk
pencabutan gigi impaksi, serta status kompromis medis. Indikasi pencabutan gigi impaksi
antara lain pencegahan penyakit periodontal, pencegahan karies gigi, pencegahan
pericoronitis, pencegahan resorpsi akar, gigi impaksi dibawah dental prosthesis, pencegahan

15
kista dan tumor odontogenik, Treatment of Pain of Unexplained Origin, pencegahan fraktur
rahang, memfasilitasi untuk perawatan orthodontic, dan optimalisasi penyembuhan
perawatan periodontal.
Kontraindikasi pencabutan gigi impaksi antara lain Extremes of Age, status kompromis
medis, dan kemungkinan terjadi kerusakan yang parah struktur jaringan di area impaksi gigi.
Status kompromis medis dapat berupa gangguan perdarahan, penyakit kardiovaskuler,
penyakit pernafasan/paru-paru, gagal ginjal kronis dan dialysis, diabetes serta kelainan pada
sel darah merah dan darah putih. Gangguan perdarahan dapat berupa thrombocytopenia,
haemophilia, penyakit von wielbrand, pasien yang mengkonsumsi obat antikoagulan.
Penyakit kardiovaskuler contohnya CHF, cardiac arythmia, infective endocarditis, angina
pectoris dan hipertensi. Penyakit pernafasan/paru seperti asthma dan TBC. Kelainan sel
darah merah dan sel darah putih contohnya Anemia, Leukimia dan Lymphoma (Hodgkin /
Non-Hodgkin).
Teknik pencabutan gigi impaksi dilakukan dengan incisi untuk membuat
flap/mucoperiosteal flap sehingga incisinya harus mencapai periosteum. Syarat-syarat
pembuatan flap yaitu 1) Flap harus mempunyai aliran darah yang baik, oleh karena itu
pelaksanaannya antara lain dasar flap sebesar flap sendiri, gunting flap secukupnya, incise
hendaknya sejajar dengan pembuluh darah pada daerah itu dan basis dar flap lebih besar dari
puncaknya; 2) Daerah operasi harus sebanding dengan flap. Luas flap dibuat sedemikian
rupa sehingga tidak mengganggu jalannya operasi; 3) Perencanaan pembuatan flap dilakukan
sebelum operasi hingga pada jahitan supaya tidak mengalami trauma dari tulang; 4) Incisi
dimulai dari bagian interdental.
Design flap antara lain 1) Flap envelop dengan cara Insisi envelope dibuka ke arah
lateral sehingga tulang yang menutupi gigi impaksi terbuka; 2) Flap tiga-sudut, pada saat flap
jaringan dibuka pada insisi pembebas, akan diperoleh lapangan pandang yang lebih luas,
terutama pada aspek apikal daerah pembedahan; 3) Flap segiempat.

16
3. PENUTUP
Pada akhir perkuliahan, untuk mengetahui tingkat pemahahaman mahasiswa akan
diberikan kuis seperti :
Sebutkan kontraindikasi pencabutan gigi impaksi!
Jawaban :
Extremes of Age, status kompromis medis, dan kemungkinan terjadi kerusakan yang
parah struktur jaringan di area impaksi gigi

Kuis tersebut tidak diperhitungkan untuk nilai akhir.

Contoh test sumatif antara lain :


Klasifikasi impaksi gigi molar bawah yang berhubungan dengan posisi gigi impaksi
diklasifikasikan menurut:
A. Thomas Wisdom
B. Winter
C. Pearl-Gregory
D. Ivy
E. Risdon
Kunci jawaban : B

Penilaian didasarkan atas keseluruhan proses kegiatan pembelajaran meliputi:


a. Ujian (UTS dan UAS) : 70%
b. Seminar / Diskusi : 30% (Kehadiran 30%, Makalah 40% dan Keaktifan 30%)

Nilai Akhir ditentukan berdasarkan PAN

Nilai Rentang Simpangan Baku (SB)


A Di atas 1,5 SB
B + 0,5 SB sd + 1,5 SB
C - 0,5 SB sd + 0,5 SB
D - 1,5 SB sd - 0,5 SB
E Di bawah 0,5 SB

17
UNIVERSITAS GADJAH MADA
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
Jl. Denta No.1 Sekip Utara Yogyakarta

BAHAN AJAR
Pertemuan ke-4 & 5

BEDAH MULUT II
Semester V/ 2 SKS (2-0)/KGS 3503

Oleh:

drg. Rahardjo, SU., Sp.BM.


drg. M. Masykur Rahmat, Sp.BM.

Didanai dengan dana BOPTN P3-UGM


Tahun Anggaran 2013
November 2013

18
BAB III
GIGI IMPAKSI RAHANG BAWAH DAN CARA OPERASINYA,
GIGI IMPAKSI RAHANG ATAS DAN CARA OPERASINYA

1. PENDAHULUAN
A. Deskripsi Singkat
Materi kuliah ini berisi Klasifikasi gigi impaksi molar tiga bawah dan operasinya;
Operasi gigi premolar bawah; Operasi gigi caninus bawah; Klasifikasi gigi impaksi
caninus atas; Metode rontgen foto : shift skeltch methode;Operasi gigi impaksi caninus
atas.
B. Manfaat
Mahasiswa diharapkan dapat menginterpretasikan hasil pemeriksaan radiologi intra oral
dan ekstra oral secara umum, mengembangkan rencana perawatan yang komprehensif dan
rasional berdasarkan diagnosis, menentukan klasifikasi impaksi, menentukan klas impaksi
berdasarkan rontgen foto, menentukan rencana operasi berdasarkan klasifikasi dan
mampu melakukan perawatan pasca operasi.
C. Relevansi
Materi ini memiliki relevansi dengan bidang ilmu bedah dan bidang radiologi dengan
memberi pengetahuan kepada mahasiswa tentang klasifikasi dan cara operasi gigi impaksi
rahang atas dan rahang bawah serta mahasiswa dapat membaca hasil rontgen foto.
D. Learning Outcome
Setelah mengikuti kuliah ini, diharapkan mahasiswa dapat mengerti tentang cara-cara
operasi, menentukan klasifikasi gigi impaksi, dan dapat membaca rontgen foto

2. PENYAJIAN
Penyajian materi perkuliah ini dilakuan dengan metode dosen memberi penjelasan di
depan kelas dan ada interaksi dengan mahasiswa (active learning). Mahasiswa diperbolehkan
bertanya atau mengemukakan pendapatnya secara langsung maupun dosen memberi
pertanyaan sehingga mahasiswa dapat menjawab langsung. Media ajar yang digunakan
adalah teks (power point), memberi contoh dengan gambar.

19
Materi perkuliahan Klasifikasi gigi impaksi molar tiga bawah dan operasinya; Operasi
gigi premolar bawah; Operasi gigi caninus bawah; Klasifikasi gigi impaksi caninus atas;
Metode rontgen foto : shift skeltch methode;Operasi gigi impaksi caninus atas.
Menurut Pell dan Georgy (1969) menjelaskan klasifikasi gigi impaksi molar 3 bawah
berdasarkan hubungan molar ketiga bawah dengan ramus dan molar kedua bawah sebagai
berikut: Klas I: cukup ruang antara bagian distal dari molar dua dengan ramus mandibula
untuk erupsi molar tiga (ruang distal molar dua ke ramus = mesio distal atau lebih besar
dari molar tiga); Klas II: ruang antara bagian distal molar dua dengan ramus lebih kecil dari
ukuran mesio distal molar tiga; Klas III: Hampir seluruh molar tiga berada dalam ramus.
Klasifikasi gigi impaksi molar 3 bawah berdasarkan kedalaman relatif dari gigi molar
ketiga bawah dalam tulang terhadap molar kedua bawah yaitu Posisi A: bagian tertinggi
molar ketiga setinggi atau lebih tinggi dari molar kedua; Posisi B: bagian tertinggi gigi
impaksi diantara bidang oklusal dan servikal molar kedua; Posisi C: bagian tertinggi gigi
impaksi ada di bawah garis servikal (Pell dan Georgy, 1969).
Winter (1982) menjelaskan klasifikasi gigi impaksi molar 3 bawah berdasarkan aksis
panjang gigi impaksi molar 3 dengan panjang gigi molar kedua terbagi menjadi Vertikal,
Hosrisontal, Mesio angular, dan Disto angular.
Klasifikasi gigi impaksi molar 3 atas berdasarkan letak antara impacted molar tiga atas
dengan sinus maxillaris yaitu 1) Sinus Approximation : (S.A) berupa tidak adanya tulang atau
adanya dinding pemisah tulang yang sangat tipis antara gigi impacted molar tiga atas dengan
sinus maxilaris dan 2) No Sinus Approximation : (N.S.A) ditandai adanya 2 mm atau lebih
jarak antara gigi impacted molar tiga atas dengan sinus maxillaries.
Oral dan maxillofacial merupakan area sulit sehingga dibutuhkan Pemeriksaan
Radiographic sebagai alat diagnostik yang sangat penting dan berharga bagi oral surgeons
serta untuk Penentuan diagnosis dan terapi. Sebelum pelaksanaan operasi impaksi, didahului
dengan pemeriksaan yang teliti pada pasien, history dan pemeriksaan klinis pasien
Teknik radiographic yang digunakan di bedah mulut antara lain Panoramic radiograph;
Intraoral dental radiograph meliputi Periapical Radiographs, Bitewing Radiographs,
Occlusal Radiographs, Shift Scath; Conventional Skull Films and Radiographic Anatomy
meliputi Posteroanterior Skull, Lateral Skull, Axial Skull, Waters Projection Posteroanterior
Mandibular, Mandibular Radiograph (Eisler), Lateral Cephalometric Radiograph,

20
Temporomandibular Joint; Computed Tomography (CT Scan); Magnetic Resonance
Imaging (MRI).
Indikasi klinis yang membutuhkan radiography dari skull (tengkorak) dan
maxillofacial skeleton yaitu Fractur tulang maxillofacial, Fractur tengkorak (skull),
Pengamatan terhadap sinus, Penyakit yang berkaitan dengan dasar tengkorak dan TMJ
disorders.
Prosedur Magnetic Resonance Imaging (MRI) untuk membuat gambaran dari struktur
internal tubuh. Metode yang biasanya dipakai untuk menentukan posisi diskus artikularis dan
pemeriksaan jaringan lunak intraartikular apabila perawatan secara konservatif tidak berhasil
dan sebagai klarifikasi indikasi terapi invasif (surgery).
Persiapan operasi gigi impaksi meliputi 1) indikasi pengambilan M3 seperti gejala
simptomatik dan infeksi, karies, penyakit periodontal, oral pathology, resorpsi tulang,
anomali ortodontik, keperluan orthognatic surgery; 2) kontraindikasi perlu diperhatikan
antara lain prediksi ruang cukup, tidak ada riwayat patologi gigi, resiko riwayat penyakit
medis, resiko komplikasi tinggi; 3) diagnose; 4) profilaksis mengguankan antibiotic dan
antiradang; 5) informed consent pasien.
Prosedur pre-operative meliputi 1) anamnesis berupa riwayat medis antara lain riwayat
penyakit dan terapi obat serta riwayat dental meliputi rasa sakit dan riwayat pencabutan yang
sulit; 2) pemeriksaan klinis meliputi derajat erupsi, adanya karies/restorasi, status
periodontal, problem TMJ, perikoronitis, EO berupa lympadenophaty, trismus, bengkak; 4)
pemeriksaan radiografis meliputi orientasi, kedalaman, morfologi akar, hubungan dengan
canalis mandibula.
Keadaan asepsis menjadi prinsip pada prosedur bedah dengan cara mencegah mikroba
patogenik selama persiapan, pelaksanaan maupun post operasi. Oleh karena itu harus
menjadi perhatian untuk melakukan prosedur sterilisasi instrument yang benar. Persiapan
pada pasien meliputi kontrol rasa sakit dan kecemasan. Persiapan apda operator berupa
prosedur desinfektan, pemakaian baju operasi, gloves, masker dan kacamata.
Qurante operative meliputi Tipe impaksi, Desain flap, Jalan erupsi/pengambilan gigi,
Kesulitan pengambilan, Metode untuk mengatasi kesulitan tersebut, Posisi instrument, Posisi
pengurangan tulang, Debridement luka, dan Suture.

21
Anestesi juga sangat penting dalam prosedur operasi. Anestesi dilakukan secara local
dan teknik yang digunakan harus tepat. Definisi anestesi yaitu ketidakpekaan suatu bagian
yang disebabkan oleh pemutusan konduktivitas saraf sensoris dari daerah tersebut. Anestesi
sering digunakan pada gigi, jaringan keras maupun jaringan lunak dari maxilla dan
mandibula. Teknik anestesi dibagi 3 kategori yaitu 1) local infiltration meliputi daerah
ujung-ujung saraf terminal; 2) field block di daerah cabang saraf terminal; 3) nerve block
pada daerah cabang utama saraf.
Tindakan anestesi membutuhkan bahan anestetik. Definisi anestetik local yaitu obat
yang mampu menghambat konduksi saraf (terutama nyeri) secara reversibel pada bagian
tubuh yang spesifik. Kriteria anestetik lokal yang ideal antara lain tidak iritatif/merusak
jaringan secara permanen, batas keamanan lebar, onset cepat, durasi cukup lama, larut air,
stabil dalam larutan dan dapat disterilkan tanpa mengalami perubahan. Jenis anestetik lokal
antara lain gugus hidrofilik, gugus antara (ikatan ester atau amida), gugus hidrofobik.
Berdasarkan ikatan tersebut, anestetik local digolongkan menjadi 1) senyawa ester contohnya
prokain, tetrakain, benzokain, kokain, 2) senyawa amida antara lain lidokain, dibukain,
mepivakain, prilokain, articaine.
Golongan Esters (Alkohol) sering menimbulkan reaksi alergi karena senyawa tersebut
dihidrolisis oleh Enzim pseudocholinesterase di plasma dan memproduksi metabolit
paraaminobenzoic acid. Golongan amides jarang menimbulkan reaksi alergi karena senyawa
ini dimetabolisme di hati oleh mikrosomal menjadi agen yang inaktif.
Jenis anestetik local Lidokain diketahui dapat menganestesi lebih cepat, lebih kuat,
lebih lama dan lebih ekstensif daripada prokain. Indikasinya untuk anestesi infiltrasi, blok
saraf, anestesi epidural/ anestesi selaput lender. Apabila digunakan tanpa adrenalin dosis max
200 mg dalam waktu 24 jam sedangkan bila dengan adrenalin max 500mg. Penggunaan
anestesi lidokain dengan dosis berlebihan dapat menyebabkan kematian karena fibrilasi
ventrikel sehingga jantung berhenti
Mepivakain Hcl mempunyai sifat farmakologik sama dengan lidokain, memiliki
kecepatan timbulnya efek, durasi aksi, potensi dan toksisitas mirip lidokain. Perbedaan
dengan lidokain antara lain lama kerja lebih lama 20 %. Penggunaan bahan anestetik
Mepivakain Hcl untuk anestesi infiltrasi, blok saraf regional, anestesi spinal. Bahan ini
tersedia dalam bentuk larutan 1%, 1,5% , dan 2%. Kontraindikasi bahan ini yaitu untuk

22
pasien yang alergi dengan golongan amida atau pasien dengan penyakit hati yang parah.
Mepivakain Hcl dalam darah dapat memacu eksitasi sistem saraf sentral sehingga
menyebabkan konvulsi yang mengakibatkan depresi respirasi.
Prilokain Hcl merupakan derivat toluidin, formula kimiawi dan farmakologi mirip
lidokain dan mepivakain Hcl. Perbedaan bahan anestetik ini dengan kedua bahan
sebelumnya pada mula kerja dan masa kerja lebih lama daripada lidokain. Bahan ini
memiliki sifat toksik berupa methemoglobinemia (dari orto toluidin dan nitroso toluidin).
Penggunaan bahan ini untuk anestesi suntikan tersedia dalam kadar 1,0%; 2,0%; dan 3,0%
serta dosis total max 400 mg. Kontraindikasi bahan ini yaitu pada bayi, pasien
metaharmoglobinemia, pasien dengan penyakit hati, hipoksia, anemia, penyakit ginjal, gagal
jantung, wanita hamil, alergi amida.
Bupivakain merupakan bahan anestetik dengan struktur mirip lidokain, kecuali Gugus
amin dan butyl piperidin. Perbedaannya dengan lidokain yaitu masa kerja panjang.
Penggunaan bahan ini untuk analgesia selama persalinan dan masa pasca pembedahan.
Bahan ini lebih kardiotoksik daripada lidokain daripada lidokain. Pemakaian Bupivakain
dengan dosis yang berlebihan akan menyebabkan aritmia ventrikuler dan depresi miokard.
Dosis bahan ini digunakan tanpa epinefrin yaitu max 2mg/kg BB.

3. PENUTUP
Pada akhir perkuliahan, untuk mengetahui tingkat pemahahaman mahasiswa akan
diberikan kuis seperti :
Sebutkan jenis bajan anestetik lokal!
Jawaban :
Lidokain, Mepivakain Hcl, Prilokain Hcl, Bupivakain.

Kuis tersebut tidak diperhitungkan untuk nilai akhir.

Contoh test sumatif antara lain :


Index tingkat kesulitan pada gigi impaksi dihitung berdasarkan:
A. Gabungan klasifikasi Ivy-Winter
B. Gabungan klasifikasi Ivy-Pearl Gregory
C. Gabungan klasifikasi Risdon-Winter
D. Gabungan klasifikasi Winter-Pearl Gerogory

23
E. Gabungan klasifikasi Risdon-Pearl Gregory
Kunci jawaban : D

Penilaian didasarkan atas keseluruhan proses kegiatan pembelajaran meliputi:


a. Ujian (UTS dan UAS) : 70%
b. Seminar / Diskusi : 30% (Kehadiran 30%, Makalah 40% dan Keaktifan 30%)

Nilai Akhir ditentukan berdasarkan PAN

Nilai Rentang Simpangan Baku (SB)


A Di atas 1,5 SB
B + 0,5 SB sd + 1,5 SB
C - 0,5 SB sd + 0,5 SB
D - 1,5 SB sd - 0,5 SB
E Di bawah 0,5 SB

24
UNIVERSITAS GADJAH MADA
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
Jl. Denta No.1 Sekip Utara Yogyakarta

BAHAN AJAR
Pertemuan ke-6

BEDAH MULUT II
Semester V/ 2 SKS (2-0)/KGS 3503

Oleh:

drg. Rahardjo, SU., Sp.BM.


drg. M. Masykur Rahmat, Sp.BM.

Didanai dengan dana BOPTN P3-UGM


Tahun Anggaran 2013
November 2013

25
BAB IV
PERAWATAN PASCA OPERASI DAN FAKTOR KESUKARAN
OPERASI GIGI IMPAKSI

1. PENDAHULUAN
A. Deskripsi Singkat
Materi kuliah ini berisi Perawatan pasca operasi meliputi Perawatan luka operasi dan
Penggunaan fisioterapi; Faktor-faktor kesukaran operasi gigi impaksi meliputi Kondisi
keadaan umum pasien dan Kondisi keadaan lokal pasien.
B. Manfaat
Mahasiswa diharapkan dapat memahami memahami obat dan bahan yang digunakan
pasca operasi impaksi, termasuk efek samping dan interaksinya serta merencanakan
tindakan operasi berdasarkan analisis rontgen foto.
C. Relevansi
Materi ini memiliki relevansi dengan bidang ilmu bedah dan farmakologi dengan
memberi pengetahuan kepada mahasiswa tentang pengobatan, perawatan dan tindakan
yang harus dilakukan pasca operasi.
D. Learning Outcome
Setelah mengikuti kuliah ini, diharapkan mahasiswa dapat mengetahui tentang luka
operasi dan perawatannya serta mahasiswa dapat memahami dan mengerti tentang
kesukaran-kesukaran yang mungkin timbul selama operasi.

2. PENYAJIAN
Penyajian materi perkuliah ini dilakuan dengan metode dosen memberi penjelasan di
depan kelas dan ada interaksi dengan mahasiswa (active learning). Mahasiswa diperbolehkan
bertanya atau mengemukakan pendapatnya secara langsung maupun dosen memberi
pertanyaan sehingga mahasiswa dapat menjawab langsung. Media ajar yang digunakan
adalah teks (power point), memberi contoh dengan gambar.
Materi perkuliahan berisi tentang Perawatan pasca operasi meliputi Perawatan luka
operasi dan Penggunaan fisioterapi; Faktor-faktor kesukaran operasi gigi impaksi meliputi
Kondisi keadaan umum pasien dan Kondisi keadaan lokal pasien. Salah satu fungsi

26
klasifikasi gigi impaksi yaitu untuk menentukan tingkat kesulitan. Hal ini seperti dijelaskan
oleh Pederson mengenai Skala Index Kesulitan sebagai berikut:

Klasifikasi Indeks kesulitan

Klas I 1
Klas II 2
Klas III 3
Posisi A 1
Posisi B 2
Posisi C 3
Mesioangular 1
Horizontal 2
Vertical 3
Distoangular 4

Dari skala tersebut dapat ditentukan tingkat kesulitan sebagai berikut:

Tingkat kesulitan Skor

Ringan 34
Sedang 57

Sulit 8 10

Perawatan post operative meliputi instruksi post operative, pemberian obat


(antibiotika, analgesik, antiradang), problem post operative (kemungkinan terjadi
komplikasi), dan kontrol. Penggunaan antibiotik untuk prophylaxis mencegah infeksi local
pada oral surgery dibutuhkan terutama pada pasien kompromis medis. Tujuan prophylaxis
adalah untuk mencegah perluasan infeksi pada pasien yang beresiko. Indikasi prophylaxis
yaitu jika ada infeksi lokal maupun secara klinis resiko rendah tapi ada penyakit penyerta.
Prophylaxis yang digunakan dapat berupa Penisilin, Amox/Amoc clavulanic, Clindamycin.
Pemakaian prophylaxis terutama pada pre-operasi. Materi ini juga dapat dibaca lebih lanjut
di http://www.exodontia.info/files/BJOMS_2002._Classification_of_Surgical_Difficulty_in
Extracting_Impacted_3rd_Molars.pdf.

27
3. PENUTUP
Pada akhir perkuliahan, untuk mengetahui tingkat pemahahaman mahasiswa akan
diberikan kuis seperti:
Sebutkan jenis antibiotic untuk prophylaxis!
Jawaban :
Penisilin, Amox/Amoc clavulanic, Clindamycin.

Kuis tersebut tidak diperhitungkan untuk nilai akhir.

Contoh test sumatif antara lain :


Index tingkat kesulitan pada gigi impaksi dihitung berdasarkan:
A. Gabungan klasifikasi Ivy-Winter
B. Gabungan klasifikasi Ivy-Pearl Gregory
C. Gabungan klasifikasi Risdon-Winter
D. Gabungan klasifikasi Winter-Pearl Gerogory
E. Gabungan klasifikasi Risdon-Pearl Gregory
Kunci jawaban : D

Penilaian didasarkan atas keseluruhan proses kegiatan pembelajaran meliputi:


a. Ujian (UTS dan UAS) : 70%
b. Seminar / Diskusi : 30% (Kehadiran 30%, Makalah 40% dan Keaktifan 30%)

Nilai Akhir ditentukan berdasarkan PAN

Nilai Rentang Simpangan Baku (SB)


A Di atas 1,5 SB
B + 0,5 SB sd + 1,5 SB
C - 0,5 SB sd + 0,5 SB
D - 1,5 SB sd - 0,5 SB
E Di bawah 0,5 SB

28
UNIVERSITAS GADJAH MADA
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
Jl. Denta No.1 Sekip Utara Yogyakarta

BAHAN AJAR
Pertemuan ke-7

BEDAH MULUT II
Semester V/ 2 SKS (2-0)/KGS 3503

Oleh:

drg. Rahardjo, SU., Sp.BM.


drg. M. Masykur Rahmat, Sp.BM.

Didanai dengan dana BOPTN P3-UGM


Tahun Anggaran 2013
November 2013
29
BAB V
KOMPLIKASI DAN TINJAUAN UMUM PENYAKIT SISTEMIK
TERHADAP BEDAH MINOR
1. PENDAHULUAN
A. Deskripsi Singkat
Materi kuliah ini berisi 1) Komplikasi meliputi Komplikasi infeksi dan bukan infeksi; 2)
Tinjauan umum/garis besar penyakit sistemik terhadap bedah minor meliputi penyakit
DM dan penyakit jantung.
B. Manfaat
Mahasiswa diharapkan dapat menanggulangi komplikasi pasca bedah minor, mengerti
tentang pembuatan surat rujukan kepada spesialis bidang lain terkait dengan penyakit
/kelainan serta mampu melakukan rujukan kepada yang lebih kompeten sesuai dengan
bidang terkait
C. Relevansi
Materi ini memiliki relevansi dengan bidang ilmu bedah dan bidang lainnya yang lebih
kompeten dengan memberi pengetahuan kepada mahasiswa tentang komplikasi operasi
dan cara perawatannya serta cara merujuk pasien.
D. Learning Outcome
Setelah mengikuti kuliah ini, diharapkan mahasiswa dapat mengerti tentang komplikasi
operasi dan cara perawatannya, penyakit DM dan penyakit jantung beserta tanda-
tandanya dan merujuk ke bidang lain.

2. PENYAJIAN
Penyajian materi perkuliah ini dilakuan dengan metode dosen memberi penjelasan di
depan kelas dan ada interaksi dengan mahasiswa (active learning). Mahasiswa diperbolehkan
bertanya atau mengemukakan pendapatnya secara langsung maupun dosen memberi
pertanyaan sehingga mahasiswa dapat menjawab langsung. Media ajar yang digunakan
adalah teks (power point), memberi contoh dengan gambar.
Materi perkuliahan berisi Komplikasi meliputi Komplikasi infeksi dan bukan infeksi;
2) Tinjauan umum/garis besar penyakit sistemik terhadap bedah minor meliputi penyakit DM
dan penyakit jantung. Pasien resiko tinggi antara lain pasien disertai dengan penyakit

30
kardiovaskuler, penyakit pulmonal, kelainan neurologis, disfungsi endokrin, kelainan
koagulasi dan anemia.
Penyakit Kardiovaskuler antara lain Endokarditis, Aterosklerotik/ Angina, dan
Hipertensi. Penyakit Pulmonal meliputi COPD dan Asma. Kelainan Neurologis berupa
Stroke, Penyakit Parkinson, Epilepsi, Neuralgia. Disfungsi Endokrin contohnya Diabetes
Mellitus, Tiroid, Malfungsi Adrenal. Kelainan darah dapat berupa Hemifilia, Diastesis
Perdarahan. Kelainan Koagulasi contohnya Anemia.
Endokarditis merupakan infeksi endokardium yang melibatkan katup jantung, cacat
septum, dan mural jantung. Predisposisi berupa penyakit jantung kongenital, rematik, drug.
Penyebab Endokarditis Akut diketahui bakteri Staphylococcus aureus sedangkan Tipe
Kronis yaitu Streptococcus viridians. Profilaktik yang diberikan berupa Penisillin dan
Amoksisilin.
Aterosklerotik/ Angina sebagai penyakit jantung iskemik yang disebabkan perfusi
yang tidak mencukupi dari sebagian miokardium Angina pectoralis dapat mengenai
paroksimal sakit retrosternum, pundak kiri, lengan, dan mandibula. Profilaktik berupa
Nitrogliserin 0,03 mg (1/200gr) sublingual, posisi tegak, 5-10 menit sebelum bedah.
Kontraindikasinya yaitu pemberian anestesi local karena dapat menyebabkan infark.
Penatalaksanaan antara lain Profilaksis penisilin boleh diberikan dan Sedasi inhalasi oksida
nitrous oksigen, ditambahkan O2 50% dengan kecepatan tinggi.
Hipertensi diketahui dari tekanan diastolik sebagai indikator yang baik. Kategori
tekanan diastolic sebagai berikut > 90 mmHg sebagai Hipertensi ringan; > 100 mmHg
merupakan Hipertensi sedang serta > 110 mmHg termasuk Hipertensi berat. Batas maksimal
sebagai kontraindikasi yaitu 185 mmHg (sistolik) dan 115 mmHg (diastolik). Terapi yang
diberikan berupa mepivacaine 3% (Carbocaine). Dosis maksimal epinefrin 0,2 mg (10
carpules dari epinefrin 1: 100.000).
COPD merupakan kelainan progresif dari merokok, dan batuk produktif kronis
(smokers hack). Pada kelainan ini harus dihindari Sedatif (Oksida nitrous), Narkotik atau
barbiturat dan Posisi berbaring karena dapat menyebabkan ortopnea.
Asma diketahui sebagai kelainan karena adanya penyumbatan saluran pernafasan
reversible sehingga menyebabkan sesak nafas intermitten (mengi) dan bronkosparsme.
Penatalaksanaan terhadap asma meliputi hindari faktor penyebabnya, Profilaksis

31
(Theophylline, aminophylline, Cromolyn), inhaler isoprotenol dan pemberian epinefrin
1:1000 0,3-0,5 cc subcutan.
Stroke merupakan Cedera Cerebovaskular (CVA). Morbiditas timbul dari paralisis,
hilangnya sensasi, dan gangguan bicara. Penatalaksanaan stroke meliputi hindari hipertensi
seperti kecemasan, menggunakan anestesi lokal yang memadai dan sedasi oksigen nitrous
sesedikit mungkin.
Penyakit Parkinson sebagai keadaan patologis yang menunjukkan gangguan fungsi
dopamine sistem saraf di otak sehingga menghambat fungsi motorik. Kendala dapat berupa
efek samping dari levodopa dan sinemet.
Epilepsi merupakan hilangnya kesadaran sesaat sampai serangan kejang. Etiologi
berupa kelainan kongenital, trauma, penyakit cerebovaskular. Profilaksis yang diberikan
sedatif sorehari sebelum operasi dan sedasi oksida nitrous oksigen. Penatalaksanaan epilepsi
antara lain Pertama kali yang harus diperhatikan adalah mempertahankan jalan pernafasan
dan melindungi pasien, menempatkan pasien pada posisi berbaring miring dengan kepala
agak menengadah baik di lantai atau di kursi, keluarkan geligi tiruan dari rongga mulut dan
melonggarkan bagian pakaian yang ketat, dijaga supaya tidak cedera, diberikan oksigen
apabila terjadi hipoksia, dihindari memasukkan bahan atau alat-alat pelindung ke dalam
mulut, apabila kejang lebih dari 3-5 menit carilah bantuan dan pertimbangkan untuk
melakukan pemberian diazepam (Valium) 5-10 mg IV secara perlahan-lahan.
Neuralgia contohnya Neuralgia trigeminal (tic douloureux) ditandai sakit tajam,
menusuk, sebentar. Penatalaksanaan antara lain Pemberian Carbamazepine, Suntikan alkohol
absolut (95%), Rhizotomy.
Diabetes Mellitus (DM) terdapat 2 tipe yaitu Type I tergantung insulin dan Type 2
tidak tergantung insulin. Pada pasien DM terkontrol tidak diberikan antibiotik profilaktik.
Hipoglikemia (syok insulin) sebagai Diabetik ketoasidosis. Potential problems yang
berkaitan dengan Dental Care antara lain Uncontrolled diabetic patiens dapat menyebabkan
Infection, poor wound healing; Insulin reaction; Early onset of complications seperti
cardiovasculer, eyes, kidneys, nervous system (Angina, myocard infarct, hypertensi, CHF,
neurophaty); Oral Manifestation dapat berupa accelerated periodontal disease, gingival
proliferation, abses periodontal, xerostomia, poor healing, infection, oral ulcerations,
candidiasis, numbness, burning or pain in oral tissue. Pencegahan meliputi 1) Detection

32
(history, clinical finding, screening); 2) Refferal (diagnosis and treatment); 3) Monitoring
and control hyperglicemia; 4) Insulin reactions (having sugar). Treatment plan modification
berupa Controlled patient (no alteration of treatment planing).
Hemofilia terdapat beberapa jenis antara lain Hemofilia A, Hemofilia B dan Penyakit
Von Willebrand. Hemofilia A disebabkan defisiensi Faktor VIII dan dapat diberikan Asam
tranexamic. Hemofilia B contohnya Penyakit Chrismas karena defisiensi Faktor IX, dapat
diobati dengan pemberian Faktor IX. Penyakit Von Willebrand merupakan gagal
pembentukan platelet sehingga untuk mempertahankan dengan pemberioan platelet sampai
dengan 20.000-60.000/ mL.
Diastesis Perdarahan sebagai masalah pembekuan darah oleh karena penyakit hati atau
terapi antikoagulan. Keadaan ini dapat dilakukan Periksa PT dan PTT serta Pemberian
Vitamin K.
Keadaan normal Hematokrit Pria yaitu 39,8-52,2 ml/dl sedangkan wanita 34,9-46,9
ml/dl. Kadar normal Hemoglobin Pria yaitu 13,3-17,7 g/dl sedangkan wanita 11,7-17 ml/dl
Anemia dapat diketahui dari keadaan dibawah kadar normal tersebut. Etiologi anemia sesuai
jenisnya sebagai berikut Anemia Hipovolemik (perdarahan kronis); Anemia Defisiensi (Fe &
sianokobalamin); Penyakit sickle sel (Hemolitik); Kegagalan sumsum tulang (Aplastik).
Komplikasi pengambilan gigi impaksi terbagi menjadi 2 yaitu selama operasi dan
pasca operasi. Komplikasi selama operasi antara lain gigi, jaringan lunak, fraktur processus
alveolaris, fraktur tubmaksilaris, fraktur mandibula, instrument patah, dislokasi TMJ,
emphysema, perdarahan, masuknya gigi ke jaringan lunak atau sinus maksillaris, hubungan
ke oroantral, nerve injury. Komplikasi pasca operasi meliputi trismus, hematoma,
ecchymosis, edema, granuloma, rasa sakit, dry soket, infeksi, terhambatnya penyembuhan.
Komplikasi pada gigi selama operasi dapat berupa Fraktur gigi dan perpindahan tempat
atau Gigi tertelan dan penghambatan pernafasan. Fraktur tubmaksilaris pada gigi posterior
maksila dapat disebabkan oleh tipisnya tulang dari tuberositas maksilaris, Ankilosis,
Pengurangan resistance dari daerah tulang, dalam kaitannya pada molar tiga yang semi
impaksi atau impaksi. Perawatannya berupa Fraktur belum lepas dari periosteum, Reposisi
dan penjahitan periosteum dan Pencabutan ditunda 1,5 2 bulan. Instrument patah misalnya
fissure bur yang patah terjadi selama pengambilan gigi impaksi molar tiga mandibula.

33
Dislokasi unilateral TMJ dapat terjadi akibat terlalu lama membuka mulut selama
pencabutan. Penanganannya dilakukan tindakan reduksi dengan gerakan ke bawah dan
posterior pada mandibula.
Faktor penyebab emphisema subcutaneous/submucosal yaitu adanya udara yang masuk
melalui jaringan konektif yang longgar akibat penggunaan bur high speed pada saat
pembuangan tulang dan pembelahan gigi. Penelitian Neuner (1977) dan publikasi Charlebois
(1964) mengemukakan penggunaan rotor udar high speed pada saat ostotomy dapat
menyebabkan emphysema udara akibat pelepasan tekanan udara (diatas 4 atm) dan tekanan
semprotan (spray) udara (diatas 2 atm). Beberapa hal untuk menghindari facial emphysema
antara lain hindari penggunaan rotor udara yang high speed untuk osteotomy, nasehat kepada
pasien untuk menghindari peningkatan tekanan intraoral (khususnya yang bekerja
menghembus gelas dan bekerja diatas angin (pilot), Penutupan luka yang ketat dan
menggunakan tambahan jaringan adhesive pada pasien yang beresiko, hindari penggunaan
konsentrasi tinggi dari hydrogen peroxide pada perawatan luka. Emphysema dapat hilang
secara spontan selama 2-4 hari. Jika ukurannya besar, perawatan emphysema termasuk
keadaan mental pasien, yang menderita sakit memberikan sedative dan tindakan fisik (secara
bergantian compress hangat dan dingin, radiasi infra red, alkohol atau kain yang diberi
borax).
Faktor haemorrhage anatara lain trauma pada pembuluh darah, injuri atau putusnya
pembuluh darah (Alveolar inferior, Arteri palatal), Penyakit Haemorhagic. Penanganannya
meliputi compression, ligation, suturing, electrocoagulation, agen hemostati.
Seddon (1943) mengklasifikasikan injuri nervus kedalam tiga tipe kerusakan nervus
yaitu 1) Nuerapraxia (prognosis baik); 2) Axonotmesis; 3) Neurotmosis. Kerusakan
Nuerapraxia disebabkan kontak sederhana dengan nervus dan mengakibatkan kegagalan
konduksi sementara. Kerusakan ini dapat sembuh sempurna dalam waktu beberapa
hari/minggu. Axonotmesis disebabkan injuri nervus mengakibatkan degenerasi axon nervus
sehingga terjadi parestesi 6-8 minggu. Pada keadaan ini memungkinkan terjadi regenerasi.
Kerusakan Neurotmosis karena terputusnya atau robeknya nervus dan terdapat jaringan parut
yang mencegah regenerasi axon nervus sehingga terjadi kerusakan permanen pada fungsi
nervus ditandai parestesi dan anestesi. Perawatan kerusakan nervus meliputi tidak ada yang
dianjurkan, biasanya meredakan rasa sakit dengan analgesic, pemberian suplemen

34
multivitamin B komplek untuk memperbaiki sensasi, kerusakan dari neurotmosis harus
dirawat segera mungkin dengan graft untuk segmen nervus atau segmen yang putus harus
dijahit.
Trismus merupakan terbatasnya pembukaan mulut ditandai kekakuan atau kejang otot-
otot pengunyahan. Perawatannya meliputi Terapi panas seperti compress panas pada
extraoral selama 20 menit setiap jam sampai symptom reda, melakukan pemijatan yang
lembut pada TMJ, berikan obat analgesik antiinflamasi dan muskel relaksan, fisioterapi
selama 3-5 menit selama 3-4 hari terdiri dari gerakan membuka dan menutup mulut juga
gerakan ke arah lateral(samping), tujuannya meningkatkan luasnya pembukaan mulut,
berikan obat sedative (bromazepam (lexotanil): 1,5-3 mg dua kali sehari, untuk perawatan
stress yang terjadi bila trismus berlangsung sehingga terjadi peningkatan spasmus otot pada
daerah yang terlibat.
Etiologi Hematoma diakibatkan oleh hemorrhage kapiler yang lama ketika prosedur
kontrol perdarahan tidak dilakukan (seperti ligasi pembuluh darah yang kecil), darah
terakumulasi (terkumpul) didalam jaringan tanpa bisa keluar dari luka yang tertutup atau
penjahitan flap yang rapat dibawah tekanan dapat terjadi di submukosal, subperiosteal,
intramuskular, facial. Perawatannya antara lain penempatan pembalut dingin (kompres
dingin) selama 24 jam pertama kemudian terapi panas untuk meredakan lebih cepat.
Beberapa klinisi merekomendasikan antibiotik untuk menghindari supurasi dari hematoma
dan analgesik untuk meredakan rasa sakit.
Eccmosis muncul pada pembuluh darah kapiler. Kerusakan ini disebabkan refraktor.
Edema pada garis di bawah mata ditandai dari warna sangat merah sampai cyanotic akibat
pencabutan caninus maksilla yang mengalami ankylosis. Gangguan penyembuhan
merupakan secara local maupun general juga dapat terjadi sebagai komplikasi pasca operasi.
Materi ini diperkaya dengan bacaan di
http://www.drjaypmalmquist.com/_media/publications/hemostasis-bleeding-disorders.pdf.

35
3. PENUTUP
Pada akhir perkuliahan, untuk mengetahui tingkat pemahahaman mahasiswa akan
diberikan kuis seperti :
Apakah yang disebut trismus?

Jawaban :
Trismus merupakan terbatasnya pembukaan mulut ditandai kekakuan atau kejang
otot-otot pengunyahan.

Kuis tersebut tidak diperhitungkan untuk nilai akhir.

Contoh test sumatif antara lain :


Neoplasma yang dapat mengakibatkan impaksi gigi terutama di daerah anterior:
A. Calcifying odontogenik tumor
B. Odontoma
C. Ameloblastoma
D. Adematoid odontogenik tumor
E. Osteoma
Kunci jawaban : B

Penilaian didasarkan atas keseluruhan proses kegiatan pembelajaran meliputi:


a. Ujian (UTS dan UAS) : 70%
b. Seminar / Diskusi : 30% (Kehadiran 30%, Makalah 40% dan Keaktifan 30%)

Nilai Akhir ditentukan berdasarkan PAN

Nilai Rentang Simpangan Baku (SB)


A Di atas 1,5 SB
B + 0,5 SB sd + 1,5 SB
C - 0,5 SB sd + 0,5 SB
D - 1,5 SB sd - 0,5 SB
E Di bawah 0,5 SB

36
UNIVERSITAS GADJAH MADA
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
Jl. Denta No.1 Sekip Utara Yogyakarta

BAHAN AJAR
Pertemuan ke-8

BEDAH MULUT II
Semester V/ 2 SKS (2-0)/KGS 3503

Oleh:

drg. Rahardjo, SU., Sp.BM.


drg. M. Masykur Rahmat, Sp.BM.

Didanai dengan dana BOPTN P3-UGM


Tahun Anggaran 2013
November 2013
37
BAB VI
FRAKTUR TULANG-TULANG FASIAL

1. PENDAHULUAN
A. Deskripsi Singkat
Materi kuliah ini berisi Pendahuluan, Tinjauan umum fraktur tulang fasial dan Etiologi,
gejala-gejala serta faktor Predisposisi
B. Manfaat
Mahasiswa diharapkan dapat mengelola kegawatdaruratan gigi dan mulut berbagai usia
C. Relevansi
Materi ini memiliki relevansi dengan bidang ilmu bedah dengan memberi pengetahuan
mengenai fraktur tulang fasial serta pengelolaan kegawatdaruratan.
D. Learning Outcome
Setelah mengikuti kuliah ini, diharapkan mahasiswa dapat memahami dan mengerti
tentang definisi fraktur, macam-macam fraktur tulang, etiologi serta sebab-sebab fraktur
tulang, serta gejala-gejalanya.

2. PENYAJIAN
Penyajian materi perkuliahan ini dilakuan dengan metode dosen memberi penjelasan di
depan kelas dan ada interaksi dengan mahasiswa (active learning). Mahasiswa diperbolehkan
bertanya atau mengemukakan pendapatnya secara langsung maupun dosen memberi
pertanyaan sehingga mahasiswa dapat menjawab langsung. Media ajar yang digunakan
adalah teks (power point), memberi contoh dengan gambar.
Materi perkuliahan berisi tentang Pengertian dan definisi fraktur, pembagian tulang
fasial, Insidensi fraktur tulang dan kaitannya serta macam-macam fraktur tulang. Pada
perkuliahan ini juga dijelaskan tentang Etiologi fraktur tulang fasial, faktor-faktor
predisposisi fraktur tulang dan gejala-gejala fraktur tulang fasial
Menurut Dingman tulang-tulang fasial/muka dibagi menjadi 3 bagian yaitu 1)
Sepertiga bagian bawah meliputi seluruh mandibula; 2) Sepertiga bagian tengah terdiri dari
tulang-tulang maxilla, tulang zygoma, tulang-tulang hidung; 3) Sepertiga bagian atas
mencakup tulang frontalis.

38
Tinjauan umum fraktur tulang fasial meliputi insidensi fraktur tulang fasial. Tanda-
tanda fraktur secara umum dan macam-macam fraktur pada umumnya. Hal ini berlaku umum
bahkan untuk fraktur tulang pada umumnya. Menurut Rowe dan Kelly bahwa insidensi
fraktur tulang fasial pada 1/3 bawah dan tengah sebagai berikut 67.2% pada mandibula,
23.6% di tulang-tulang maksilla dan sekitar 9.2% kombinasi keduanya. Pada masa dulu
insidensi fraktur mandibula lebih tinggi dibandingkan fraktur maksilla (3:1) sedangkan pada
masa sekarang telah mengalami penurunan menjadi 2:1. Fraktur tulang mandibula lebih
sering terjadi oleh karena bentuk dan posisinya.
Fraktur didefinisikan sebagai hilangnya kontinuitas dalam tulang. Macam fraktur
terbagi menjadi 1) Complete fraktur yaitu tulang patah seluruhnya menjadi 2 atau lebih; 2)
Incomplete fraktur (partial fraktur) yaitu tulang tidak patah sama sekali atau retak; 3)
Greenstick fraktur merupakan suatu incomplete fracture dari tulang yang kalsifikasinya
belum sempurna; 4) Simple fracture (closed fracture/fracture clausa) sebagai fractur dengan
tidak ada luka kulit atau mukosa yang menghubungkan udara luar dengan tulang yang
fraktur; 5) Compound fracture (open fracture) yaitu patah tulang rahang dan tulang yang
patah berhubungan dengan rongga mulut atau permukaan luar wajah melalui suatu kelukaan
mukosa atau kulit; 6) Single yaitu suatu patah rahang yang hanya menyangkut suatu tempat
saja; 7) Multiple sebagai patah rahang yang terjadi di dua tempat atau lebih dan biasanya
bilateral; 8) Comminuted merupakan patah rahang yang terpecah pecah menjadi beberapa
bagian; 9) Complicated yaitu patah rahang yang disertai oleh atau dihubungkan dengan
kelukaan yang hebat disekitarnya. Keadaan ini melibatkan maxilla dan mandibula.Biasanya
terjadi pada luka tembak; 10) Impacted yaitu patah tulang rahang dengan patahannya masuk
ke tempat patahan lainnya; 11) Spontaneus atau pathologic diketahui sebagai patah rahang
karena faktor predisposing; 12) Depressed yaitu patahan tulang masuk ke dalam jaringan
yang lebih dalam, misalnya patahan tulang maksilla masuk ke dalam sinus maksillaris.
Etiologi terjadinya fraktur rahang dapat disebabkan oleh faktor predisposing dan
exciting. Faktor predisposing meliputi 1) Penyakit tulang menyeluruh yang menyebabkan
kerusakan pada tulang, misalnya penyakit Ricketsia, osteomalacia, hyperparathyroidisme
dll; 2) Penyakit tulang rahang lokal, misalnya adanya kista, tumor rahang baik jinak atau
ganas, dysplasia fibrosa, osteomyelitis, dsb. Faktor exciting dapat terjadi akibat dari
rudapaksa (trauma) atau benturan pada tulang rahang, baik secara langsung maupun tidak

39
langsung, atau kontraksi otot secara mendadak. Faktor ini dapat terjadi secara 1) Langsung,
artinya patah tulang terjadi pada tempat yang terkena trauma atau benturan; 2) Tidak
langsung, artinya patah tulang terjadi tidak pada tempat trauma/rudapaksa atau benturan,
melainkan jauh dari tempat terjadinya trauma; 3) Kontraksi otot yang mendadak dapat
menyebabkan patah tulang di tempat perlekatan otot tersebut. Keadaan ini sering terjadi
pada daerah yang mempunyai predisposisi untuk patah tulang, baik karena faktor lokal
maupun generasi /menyeluruh.
Tanda-tanda fraktur meliputi 1) Rasa sakit seperti sakit tekan, tenderness; 2) oedem; 3)
Gangguan Fungsi; 4) Discolorasi seperti Echymosis; 5) Deformitas; 6) Mobilitas Abnormal
berupa deviasi artikulasi; 7) Krepitasi; 8) Trismus; 9) Malokusi contohnya Avulsi, trauma;
10) Kelainan mata antara lain haematoma, diplopia pada fraktur maksila; 11) Hipersalivasi;
12) Foetor ex ore seperti halitosis; 13) Parestesi; 14) Lacerasi rupture. Pada setiap kasus
tidak selalu ditandai dengan seluruh tanda-tanda diatas, tergantung daerah yang terkena,
Jenis fraktur, trauma dan ada atau tidaknya gigi.
Sebab fraktur antara lain perkelahian, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, jatuh,
luka tembak dll. Sebab fraktur tersebut sering terjadi pada usia antara 20-29 tahun,
sedangkan pada usia <15 tahun karena bermain, perkelahian, jatuh dll. Bacaan lebih lanjut
antara lain di http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S002013830000245X

3. PENUTUP
Pada akhir perkuliahan, untuk mengetahui tingkat pemahahaman mahasiswa akan
diberikan kuis seperti :
Sebutkan sebab terjadinya fraktur pada usia anak-anak!
Jawaban :
bermain, perkelahian, jatuh dll.

Kuis tersebut tidak diperhitungkan untuk nilai akhir.

Contoh test sumatif antara lain :


Gigi yang sering mengalami impaksi pada maxilla adalah gigi:
A. Caninus
B. Insisivus

40
C. Supernumerari
D. Molar ketiga
E. Paramolar
Kunci jawaban : A

Penilaian didasarkan atas keseluruhan proses kegiatan pembelajaran meliputi:


a. Ujian (UTS dan UAS) : 70%
b. Seminar / Diskusi : 30% (Kehadiran 30%, Makalah 40% dan Keaktifan 30%)

Nilai Akhir ditentukan berdasarkan PAN

Nilai Rentang Simpangan Baku (SB)


A Di atas 1,5 SB
B + 0,5 SB sd + 1,5 SB
C - 0,5 SB sd + 0,5 SB
D - 1,5 SB sd - 0,5 SB
E Di bawah 0,5 SB

41
UNIVERSITAS GADJAH MADA
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
Jl. Denta No.1 Sekip Utara Yogyakarta

BAHAN AJAR
Pertemuan ke-9 dan 10

BEDAH MULUT II
Semester V/ 2 SKS (2-0)/KGS 3503

Oleh:

drg. Rahardjo, SU., Sp.BM.


drg. M. Masykur Rahmat, Sp.BM.

Didanai dengan dana BOPTN P3-UGM


Tahun Anggaran 2013
November 2013
42
BAB VII
TINJAUAN KHUSUS FRAKTUR TULANG-TULANG FASIAL

1. PENDAHULUAN
A. Deskripsi Singkat
Materi kuliah ini berisi Fraktur Mandibula, Fraktur Condylus, Fraktur Maxilla, Fraktur os
Zygoma, Pendahuluan, dan Trauma pada gigi geligi
B. Manfaat
Mahasiswa diharapkan dapat mengelola kegawatdaruratan gigi dan mulut berbagai usia.
C. Relevansi
Materi ini memiliki relevansi dengan bidang ilmu bedah dengan memberi pengetahuan
mengenai fraktur mandibula, fraktur condylus, fraktur maxilla, fraktur os zygoma, trauma
pada gigi-geligi serta pengelolaan kegawatdaruratan.
D. Learning Outcome
Setelah mengikuti kuliah ini, diharapkan mahasiswa dapat memahami dan mengerti
tentang etiologi, klasifikasi, dan gejala pada fraktur mandibula, fraktur condylus, fraktur
maxilla, fraktur os zygoma serta trauma pada gigi-geligi.

2. PENYAJIAN
Penyajian materi perkuliahan ini dilakuan dengan metode dosen memberi penjelasan di
depan kelas dan ada interaksi dengan mahasiswa (active learning). Mahasiswa diperbolehkan
bertanya atau mengemukakan pendapatnya secara langsung maupun dosen memberi
pertanyaan sehingga mahasiswa dapat menjawab langsung. Media ajar yang digunakan
adalah teks (power point), memberi contoh dengan gambar.
Materi perkuliahan berisi tentang etiologi, klasifikasi, dan gejala pada fraktur
mandibula, fraktur condylus, fraktur maxilla, fraktur os zygoma serta trauma pada gigi-
geligi.
Tinjauan mengenai fraktur mandibula berdasarkan jenis tulang mandibula yang padat,
tebal dan kuat. Kelemahan tulang mandibula yaitu bentuk dan posisinya serta terdapat daerah
predileksi seperti simphisis, foramen mentale, angulus dan condylus. Klasifikasi fraktur

43
mandibula (Dingman) berdasarkan 1) arah dan favourabilitas dalam merawat terbagi
menjadi: a. Horizontal yaitu favourable dan unfavourable, b. Vertikal yaitu favourable dan
unfavourable; 2) tingkat keparahannya yaitu a. Fraktur simple (closed) dan b. Fraktur
compound (open); 3) tipe Fraktur dibagi menjadi a. Greenstick (incomplete F), b.
Comminuted (dapat simple/compound), c. Impacted, d. Depressed, e. Complicated; 4)
ada/tidaknya gigi yaitu a. Dentulous (klas I), b. Partial Edentulous (klas II), c. Edentulous
(klas III). Pembagian klas ini juga sesuai dengan Rowe dan Kelly; 5) ketebalannya, terbagi
menjadi incomplete dan complete; 6) sisi yang terkena dapat dikategorikan menjadi
unilateral dan bilateral.
Fraktur mandibula juga dapat diklasifikasikan sesuai lokasi dan insidensinya sebagai
berikut a. Dentoalveolar (3%), b. Symphisis (14%), c. Corpus mandibula (21%), d. Ramus
mandibula (3%), e. Angulus mandibula (20%), f. Processus Coronoideus (2%) dan g.
Processus Condyloideus (36%).
Pengaruh muskulus pada dislokasi fragmen mandibula. Muskulus yang terlibat antara
lain 1) m. retractors/elevators pada processus coronoideus menarik ke posterior dan superior.
Otot-otot yang terlibat m. temporalis posterior dan m.masseter bagian internal; 2) m.
Protrusor pada processus Condyloideus. Otot-otot yang terlibat m.pterigoideus lateralis/ext.
menarik ke arah media anterior; 3. m. elevator, Otototot yang terlibat m.masseter, m.
pterigoideus medialis/internus dan m. temporalis enterior; 4) m. depressors dan retractors,
Otot-otot yang terlibat m. digastricus dan m. geniohyoideus.
Fraktur Rahang Atas/Maxilla, berdasarkan garis fraktur dan tulang terlibat dibagi
menjadi 1) Fraktur processu alveolaris maxillae, dapat mengenai 1 atau lebih gigi geligi.
Bila trauma keras, dapat terjadi avulse komplit, tetapi umumnya masih terikat oleh jaringan
lunak/alveolar mukosa. Lokalisasi pada daerah tuber (pencabutan gigi molar tiga); anterior
(karena trauma dari depan atau dari bawah/mandibula); Lateral, karena trauma dari lateral; 2)
Fraktur vertical/unilateral maxillae, Fraktur pada median line, sepihak /unilateral,
mengenai septum nasalis satu sisi, bagian paling tipis dari processus Palatinus dan os
palatine kemudian fossa nasalis lateralis. Biasanya bersama-sama dengan fraktur
proc.frontalis maxillae dan os nasalis pada sisi yang sama. Trauma dari depan atau lateral
dapat depresed dan bergerak ke bawah, sehingga terjadi over lapping/tumpangtindih pada
median line, tetapi dapat juga bergerak ke-latro-interior, sehingga terjadi separasi pada

44
median line. Sinus maxillaries juga terlibat, dan sering terisi blood clot; 3) Fraktur
horisontal bilateral (Le Fort I = Transverse maxillary=fraktur Guerin). Jenis fraktur ini
diperkenalkan oleh Rene Le Fort pada tahun 1901. Garis fraktur berjalan transversal di atas
gigi geligi, dan segment fraktur terdiri atas processus alveolaris, dasar sinus maxillaris dan
sebagian dindingnya, palatum dan bagian bawah processus Pterygoideus os sphenoidalis; 4)
Fraktur pyramidal (Le Fort II). Trauma terjadi di daerah maxilla bagian atas. Garis
Fraktur ke arah lateral, melalui cs lacrimalis,rima orbita inferior, dasar orbita, kemudian
pada atau dekatnya sutura zigomatico maxillaris. Kearah posterolateral, yaitu melalui
dinding lateral maxilla menuju pterygoid plates, dan masuk kedalam fossa
pterygomaxillaris. Pada midline/median line, meluas dari sutura nasofrontalis, ke belakang
melalui bagian atas dari os ethmoidale dan os vomer. Pada fraktur ini terjadi separasi dari
os nasale dan proc. Frontalis maxillaris dengan os frontalis; 5) Fraktur Transverse facialis
(Le Fort.III = Craniofacial disjunction). Pada fraktur ini terjadi separasi menyeluruh
tulang facial dari perlekatan cranial , dan hanya dilekatkan oleh jaringan lunak. Garis
fraktur melalui sutura zigomaticofrontalis, sutura maxillofrontalis, s.nasofrontalis, termasuk
dasar orbita, os ethmoidale, proc.pterygoideus os sphenoidalis. Sering disebut juga fraktur
multiple ossisfacialis. Insidensi yaitu mandibula sebesar 67,2% dan maxilla 23,6%, serta
campuran keduanya sebesar 9,2%.
Fraktur OS Zygomaticum (malar fraktur), sesuai Klasifikasi oleh Knight dan north
(1961)-Inggris, fraktur ini diklasifikasikan dalam 6 grup yaitu 1) No significant displacement
(6%), Terlihat dalam ro, tapi tidak menunjukkan perubahan bentuk secara klinis; 2) Fraktur
arcus zygomaticum (Zygomatic arch fractures) sekitar 10%. Trauma pada arcus, sehingga
terdesak ke medial tanpa melibatkan dinding orbita dan sinus max. Fragment ada 2, dengan
3 garis fraktur. Komplikasi yang terjadi antara lain trismus; 3) Unrotated body fracture
(33%) atau Fraktur corpus zygoma tanpa rotasi. Trauma terjadi pada prominencia
zygomaticum dan corpus. Displacement kearah sinus max. fragment bergerak ke arah
medioposteroinferior. Garis fraktur pada sutura zygomatico maxillaris, s.
zygomaticofrontalis, s. zygomaticotemporalis; 4) Medially rotared body fractures (11%)
atau Fraktur corpus zygomaticum dengan rotasi kemedial. Trauma terjadi pada prominensia,
diatas sumbu horisontal, sehingga fragment bergerak ke arah medioposteroinferior. Apabila
dilihat dari depan, sebelah kanan bergerak sesuai jarum jam, sebelah kiri berlawanan arah

45
jarum jam. Tipe A berupa tepi infra orbita bergerak ke bawah disertai prominensia ke luar
dan Tipe B ditandai tepi infraorbita ke bawah dan sutura zygomaticofrontale ke medial; 5)
Laterally rotated body fracture (22%) atau Fraktur corpus zygomaticum dengan rotasi ke
lateral. Trauma terjadi pada prominensia, dibawah sumbu horizontal dan fragment bergerak
ke arah medio-posterior. Apabila dilihat dari depan, sebelah kiri berputar searah jarum jam,
sebelah kanan berlawanan arah jarum jam. Tipe A berupa prominensia bergerak/terdesak ke
medial dan tepi infra orbital bergerak ke atas. Tipe B berupa prominensia ke medial dan
sutura zygomaticofrontalis bergerak ke lateral /ke luar. 6) Complex Farcture (18%). Fraktur
ini terjadi pada beberapa tempat dan berkeping-keping.

3. PENUTUP
Pada akhir perkuliahan, untuk mengetahui tingkat pemahahaman mahasiswa akan
diberikan kuis seperti :
Sebutkan klasifikasi fraktur mandibula sesuai lokasinya!
Jawaban:
Fraktur mandibula sesuai lokasi sebagai berikut a. Dentoalveolar, b. Symphisis, c. Corpus
mandibula, d. Ramus mandibula, e. Angulus mandibula, f. Processus Coronoideus dan g.
Processus Condyloideus.

Kuis tersebut tidak diperhitungkan untuk nilai akhir.

Contoh test sumatif antara lain :


Laki-laki umur 40 tahun terlihat ada pembengkakan pada regio mandibula kanan. Pada
palpasi terasa sakit. Pada gambaran rontgen foto OPG terlihat gigi 48 mesioversi. Pada
pemeriksaan klinis terlihat sebagian mahkota mesial gigi 48 dan setinggi 47. Diagnosis
keadaan tersebut adalah:
A. Impaksi gigi 48 Klas I menurut Winter
B. Impaksi gigi 48 Klas II menurut Winter
C. Impaksi gigi 48 Klas I menurut Pearl Gregory
D. Impaksi gigi 48 Klas II menurut Pearl Gregory
E. Impaksi gigi 48 Klas II mesioversi
Kunci jawaban : A

46
Penilaian didasarkan atas keseluruhan proses kegiatan pembelajaran meliputi:
a. Ujian (UTS dan UAS) : 70%
b. Seminar / Diskusi : 30% (Kehadiran 30%, Makalah 40% dan Keaktifan 30%)

Nilai Akhir ditentukan berdasarkan PAN

Nilai Rentang Simpangan Baku (SB)


A Di atas 1,5 SB
B + 0,5 SB sd + 1,5 SB
C - 0,5 SB sd + 0,5 SB
D - 1,5 SB sd - 0,5 SB
E Di bawah 0,5 SB

47
UNIVERSITAS GADJAH MADA
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
Jl. Denta No.1 Sekip Utara Yogyakarta

BAHAN AJAR
Pertemuan ke-11

BEDAH MULUT II
Semester V/ 2 SKS (2-0)/KGS 3503

Oleh:

drg. Rahardjo, SU., Sp.BM.


drg. M. Masykur Rahmat, Sp.BM.

Didanai dengan dana BOPTN P3-UGM


Tahun Anggaran 2013
November 2013
48
BAB VIII
PEMERIKSAAN DAN PERAWATAN FRAKTUR TULANG FASIAL

1. PENDAHULUAN
A. Deskripsi Singkat
Materi kuliah ini berisi Pemeriksaan pada fraktur tulang-tulang fasial, Pemeriksaan
subyektif dan obyektif, Diagnosis dan rencana perawatan serta pendekatannya.
B. Manfaat
Mahasiswa diharapkan dapat menginterpretasikan hasil pemeriksaan laboratoris dan
radiografi intra oral dan ekstra oral untuk diagnosis kelainan dan penyakit pada sistem
stomatognati, menentukan pemeriksaan penunjang radiologi intra oral dan ekstra oral
yang dibutuhkan, menginterpretasikan hasil pemeriksaan radiologi intra oral dan ekstra
oral secara umum, menganalisis kondisi fisik, psikologis dan sosial melalui pemeriksaan
klinis, mengidentifikasi kondisi psikologis dan sosial ekonomi pasien berkaitan dengan
penatalaksana an lebih lanjut
C. Relevansi
Materi ini memiliki relevansi dengan bidang ilmu bedah dan oral medicine untuk
memberi pengetahuan mengenai pemeriksaan subyektif dan obyektif pada fraktur tulang
fasial antara lain anamnesis pada keluarga dan pasien, Pemeriksaan fisik lokal maupun
general, Pemeriksaan radiologis, Pemeriksaan laboratoris (darah, urin dll) dan Rencana
konsultasi medis. Selanjutnya dapat digunakan untuk menentukan diagnosis dan
melakukan rujukan
D. Learning Outcome
Setelah mengikuti kuliah ini, diharapkan mahasiswa dapat memahami dan mengerti cara-
cara melakukan anamnesis, melakukan pemeriksaan klinis baik lokal maupun general,
serta pemeriksaan penunjang lainya (radiologis dan laboratories), mampu untuk
melakukan anemnesis, pemeriksaan klinis dan penunjang lainnya, mampu untuk
menetapkan diagnosis berdasar pemeriksaan tersebut, mampu untuk mengidentifikasi
kondisi fisik, psikologis dan sosial pasient berkaitan dengan penatalaksanaan kasus,
mampu melakukan cara dan macam rujukan yang diperlukan.

49
2. PENYAJIAN
Penyajian materi perkuliahan ini dilakuan dengan metode dosen memberi penjelasan di
depan kelas dan ada interaksi dengan mahasiswa (active learning). Mahasiswa diperbolehkan
bertanya atau mengemukakan pendapatnya secara langsung maupun dosen memberi
pertanyaan sehingga mahasiswa dapat menjawab langsung. Media ajar yang digunakan
adalah teks (power point), memberi contoh dengan gambar.
Materi perkuliahan berisi tentang Pemeriksaan pada fraktur tulang-tulang fasial,
Pemeriksaan subyektif dan obyektif, Diagnosis dan rencana perawatan serta pendekatannya.
Pemeriksaan meliputi anamnesis pada keluarga, pasien atau pengantar, Pemeriksaan fisik
lokal maupun general, Pemeriksaan radiologis, Pemeriksaan laboratoris (darah, urin dll) dan
Rencana konsultasi medis. Hasil pemeriksaan tersebut dapat digunakan untuk menentukan
diagnosis dan melakukan rujukan.
Pada pemeriksaan subyektif dilakukan anamnesis pada keluarga, pasien atau
pengantar. Selain itu ditanyakan tentang Identitas pasien, Waktu kejadian, Tempat kejadian,
Keadaan pasien (pingsan, tak sadar, mual, muntah dll), Riwayat penyakit dahulu, Riwayat
penyakit dari keluarga.
Pemeriksaan Fisik secara general dengan melakukan Pemeriksaan jalan nafas, Total
obstruksi meliputi Tenang, tak ada suara, menyebabkan asfiksia (hipoksia dan hiperkarbia),
Waktu inspirasi terjadi retraksi supraklavikuler dan interkostal serta tak ada pengembangan
rongga dada. Obstruksi parsial dilakukan dengan melihat adanya bunyi kasar atau gaduh dan
disertai retraksi antara lain Snorring (mendengkur), timbul karena adanya obstruksi di
hypofarings oleh pangkal lidah; Crowing (tercekik), oleh karena adanya spasme larings;
Gurgling (mencekuk), menunjukkan adanya benda asing pada air way; Wheezing (bunyi
ngiiiik), menunjukkan adanya obstruksi bronkhus. Obstruksi mendadak, dapat memberikan
gejala klinis secara umum, antara lain Hiperkarbia berupa peninggian PCO2, pasien
somnolen; Hipoksemia dengan melihat adanya tanda takikardia, gelisah, banyak keringat,
somnolen, penurunan PO2, sianosis.
Pemeriksaan perdarahan dilakukan secara eksternal dan internal. Secara eksternal
untuk mengetahui secara langsung, apakah darah arteri atau vena. Arteri, merah segar, deras
atau muncrat, berdenyut seirama denyut jantung. Vena, merah tua, lebih lambat dan tak

50
berdenyut, bila dari banyak venule nampak diffuse. Secara Internal melalui pemeriksaan
adanya Hematoma, lebam kulit atau echymosis. Pemeriksaan tersebut dapat juga tak terlihat,
hanya dari tanda-tanda klinis keadaan umumnya, seperti lemas, keringat dingin, tensi turun,
pucat, bahkan Hb akan terlihat menurun terus, bahkan kalau terus akan terjadi syok
hipovolemik.
Pemeriksaan Kesadaran dengan melihat tingkat kesadaran secara klinis antara lain
Compos mentis (sadar betul dan dapat berkomunikasi), Apatis (Sikap acuh tak acuh dan tidak
segera menjawab kalau ditanya), Delirium (Kesadaran menurun disertai kekacauan mental
dan motorik seperti halusinasi, ilusi, disorientasi dan iritatif), Somnolen (letargi, obtundasi)
yaitu Tingkat kesadaran yang ditandai oleh mudahnya penderita dibangunkan, mampu
menjawab secara verbal dan menangkis nyeri. Sopor (stupor) diketahui dengan rangsang
nyeri penderita tidak dapat dibangunkan sempurna. Reaksi terhadap perintah tidak konsisten
dan samar.Tidak ada jawaban verbal tetapi gerak motorik untuk menangkis nyeri masih baik.
Koma ringan berupa Reaksi terhadap rangsang nyeri tidak terorganisasi, dan merupakan
jawaban primitif. Penderita tak dapat dibangunkan sama sekali. Koma dalam diketahui bila
tidak ada sama sekali jawaban terhadap rangsang nyeri yang bagaimanapun kuatnya.
Pembagian diatas adalah klinis, sehingga tak ada batas yang tegas, sehingga muncul istilah
soporo-komatous, somnolen-sopor. Semakin kuat rangsang yang dibutuhkan untuk
membangkitkan jawaban, semakin dalam penurunan tingkat kesadaran.
Perkembangan kesadaran juga dapat diikuti dengan menngunakan GCS (Glasgow
Coma Scale). Jawaban yang diteliti adalah a) Membuka mata, b) Verbal, c) Motorik. Dari
nilai GCS ini dapat untuk menilai perkembangan kesadaran pasien atau untuk menentukan
apakah pasien mengalami Cedera Kepala (Trauma capitis). Kisaran nilainya adalah 1)
Cidera Kepala Ringan (GCS: 13 15); 2) Cidera Kepala Sedang (GCS: 9 12); 3) Cidera
Kepala Berat (GCS: 3 8)
Pemeriksaan Pupil dengan cara perhatikan keadaan dan ukuran pupil : normal, besar
(midriasis), kecil (miosis), apakah kanan dan kiri sama besar ? Stimulasi saraf simpatik dan
inhibisi parasimpatik dapat menyebabkan midriasis. Stimulasi parasimpatik dan inhibisi
simpatik dapat mengakibatkan miosis. Midriasis, dapat karena obat inhibitor parasimpatik
(atrophine, scopolamine, benedryl), dan stimulator simpatik (cocaine, ephedrine, adrenaline).
Miosis, dapat karena obat stimulator parasimpatik (bromida, neostigmine, nicotine), dan

51
inhibitor simpatik (reserpine, alpha-methyldopa, priscoline). Pupil yang masih bereaksi
menandakan bahwa mesensephalon belum rusak. Lesi pada mesensephalon mengakibatkan
dilatasi pupil dan tak bereaksi pada cahaya. Pupil yang melebar satu sisi dan tak ada reaksi
cahaya menandakan tekanan saraf ke-III. Miosis dan masih bereaksi pada cahaya dapat
menunjukkan adanya kerusakan pontin, atau karena heroin.
Pemeriksaan Fraktur (fragmen) dengan melakukan pemeriksaan adanya fraktur pada
wajah dan kepala. Selanjutnya pada badan dan extremitas bagian atas (tangan) dan bawah
(kaki), lalu adanya luka pada jaringan lunak dan fraktur pada tulang-tulang tersebut. Hal ini
menjadi penting karena akan menentukan konsultasi medik dan pemeriksaan penunjang lain
yang diperlukan.
Pemeriksaan Fisik secara local pada ekstra oral maupun intra oral. Ekstra oral antara
lain 1) Inspeksi untuk melihat adanya pembengkakan, lebam pada kulit, asymetris wajah,
hematoma; 2) Palpasi untuk mengetahui adanya sakit tekan, step pada alignment tepi tulang,
luksasi gigi dan fragment tulang. Adanya floating jaw maksilla, menunjukkan fraktur Le Fort
I. Fraktur pada os nasale, os zygoma dst; 3) Perkusi untuk mengetahui adanya radang
periodontal serta 4) Auskultasi untuk memeriksa adanya krepitasi, klicking. Pemeriksaan
Intra Oral dengan melakukan 1) Inspeksi untuk mengetahui adanya maloklusi, perdarahan
gingiva, hematom sublingual, adanya ruptur gingiva dan mukosa, pembengkakan, occlusal
plane; adanya benda asing dalam mulut, seperti blood clot, gigi tiruan, gigi yang avulse;
Adanya luka/vulnus pada jaringan lunak dalam rongga mulut; 2) Palpasi antara lain
Bimanual, Tenderness, Fracture line/steps, Crepitation, Teeth (Luksasi, jumlah,
missing, avulse), Cedera n. alveolaris Inferior.
Pemeriksaan Penunjang berupa 1) Pemeriksaan radiografis untuk melihat adanya
trauma maksillofasial khususnya fraktur tulang, mutlak diperlukan adanya pemeriksaan
radiografis. Pemeriksaan radiografis ini umumnya bertujuan a) Mendiagnosis fraktur tulang
tersebut, b) Mengetahui arah terjadinya trauma untuk kepentingan forensic, c) Membantu
dalam melakukan tindakan operatif (open reduksi), d) Mengontrol dan mengevaluasi hasil
perawatan reposisi baik secara tertutup atau terbuka, e) Mengetahui perkembangan
perawatan dan proses penyembuhan fraktur, f) Mengetahui adanya komplikasi post-op.
Roentgenogram adalah pemeriksaan tambahan yang sangat penting dalam mendiagnosis
fraktur tulang wajah dan rahang. Interpreatsi adanya lesi dan fraktur tulang akan menjadi

52
sulit bila struktur tulang adalah superimposed. Roentgen foto kepala secara extra oral yang
sering digunakan untuk mendukung diagnosis lesi dan fraktur tulang antara lain Panoramik
atau Orthopantomograf (OPG), Lateral projection of skull, Posterior-anterior projection of
mandible, Lateral oblique projection of mandible, Lateral projection of temporomandibular
joint, Anterior-Posterior projection of mandibular condylar processes (Modified Townes
projection), Inferior-Superior projection of mandible, Inferior-Superior oblique projection of
mandible, Posterior-Anterior oblique projection of face (Waters Projection), Anterior-
Posterior oblique projection of face (Reverse Waters projection), Superior-Inferior
projection of hard palate, Superior-Inferior oblique projection of hard palate, Submental-
Vertical projection of zygomatic arches (Vertex), Lateral projection of nasal bones,
Superior- Inferior projection of nasal bones.
. Panoramic Imaging disebut juga Pantomography/Orthopantomography (OPG) adalah
teknik untuk menghasilkan gambaran tomografik tunggal dari struktur fasial termasuk
lengkung gigi geligi maksilla dan mandibula serta jaringan pendukungnya. Keuntungan
gambaran panoramik antara lain Memberi gambaran yang luas dari tulang fasial dan gigi
geligi, Dosis radiasi yang rendah, Nyaman untuk pasien, Bisa dipakai untuk pasien yang tak
bisa membuka mulut, Dapat dilakukan dalam waktu yang relatif cepat (3-4 menit), termasuk
waktu yang diperlukan untuk mengatur posisi pasien, Pasien mudah untuk turut memahami
gambaran panoramik. Kekurangan gambaran panoramic yaitu Gambar tidak mampu
menyajikan detail anatomik bila dibanding dengan dental rontgen, Gambaran antar gigi
(terutama P) sering tumpang tindih (overlap), Gambaran photo mempunyai pembesaran yang
tidak sama dan adanya penyimpangan geometric, Kadang-kadang terlihat gambaran yang
overlapping dengan struktur anatomis lainnya, misalnya spina cervicalis dapat terlihat seperti
lesi odontogenic, adanya sialolith sub lingual seperti lesi pada tulang, Posisi dagu pasien
harus tepat, tidak boleh terlalu keatas atau terlalu turun, Bila terlalu keatas akan terlihat
overlapping gigi geligi, dan terlihat bayangan opak (opaque Shadow) pada akar gigi
maksilla. Bila terlalu rendah, gambaran symphisis akan terpotong dan terjadi distorsi gigi
anterior mandibula.
Penampakan struktur anatomi yang penting hasil Panoramik pada MANDIBULA
antara lain 1) Processus Condyloideus, 2) Processus Coronoideus, 3) Ramus mandibula 4)
Corpus mandibula, 5) Symphisis, 6) Gigi geligi dan jaringan pendukung. Bayangan struktur

53
lain yang overlap berupa 1) Bayangan Pharingeal airway, 2) Dinding posterior
nasopaharynx, 3) Vertebrae cervicalis, 4) Daun telinga bawah dan assesori, 5) Palatum molle
dan uvula, 6) Dorsum linguae, 7) Ghost shadow, dikedua sisi mandibula.
Gambaran hasil panoramic MAKSILLA antara lain 1) Tulang cortical maksilla, 2)
Fissura Pterygomaxillari, 3) Sinus maksillaris, 4) Zigomatic complex, 5) Cavum nasi dan
concha, 6) TMJ, 7) Gigi geligi maksilla dan alveolus.
. Lateral Projection of Skull, pada proyeksi ini arah masuk sinar diletakkan sedikit
dimuka tulang zygoma, sehingga pada radiogram akan terlihat nyata sinus frontalis. Pada
radiogram ini akan terlihat 1) Jaringan lunak muka, 2) Bagian luar dan dalam dari sinus
frontalis, 3) Corpal dalam orofaring, 4) Hubungan RA dan RB, 5) Displacement dari fraktur
tulang fasial, 6) Spina nasalis. Pada radiogram ini terlihat tertumpuknya tulang-tulang kepala
sebelah kiri dengan tulang kepala sebelah kanan.Waktu eksposi detik, dan jarak target ke
film adalah 36 inchi. Indikasi untuk melihat patah tulang tengkorak dilihat dari samping dan
melihat kelainan pathologis tulang tengkorak dilihat dari samping.
Pemeriksaan laboratories pada trauma umumnya ditujukan untuk a) Mengidentifikasi
cairan yang ada (misalnya antara mucin atau cairan cerebrospinal, musin bila kering akan
mengeras dan tak mengandung glukosa, cairan cerebrospinal bila kering tak mengeras dan
mengandung glukosa); b) Untuk mengetahui kadar HB, Hmt dll, yang bertujuan untuk
mendiagnosis adanya perdarahan internal atau tidak dan keadaan umum pasien; c) Untuk
mengetahui adanya penyakit yang telah diderita sebelumnya, yg sangat mempengaruhi
proses perawatannya, d) Mengetahui kemungkinan adanya kontaminasi dan infeksi yang
menyertainya, e) Untuk persiapan operasi bila diperlukan tindakan operatif dalam
perawatannya, f) Untuk evaluasi hasil perawatan atau tindakan (misalnya pasca tranfusi
darah).
Hasil pemeriksaan-pemeriksaan tersebut selanjutnya dapat dilakukan langkah berupa a)
Pertolongan pertama yang akan diberikan, b) Obat dan terapi yang akan diberikan, c)
Rujukan yang akan dilakukan, d) Alat transportasi yang diperlukan, e) Posisi pasien pada
saat melakukan perjalanan.
Penyembuhan Fraktur Tulang secara garis besar ada 3 fase yang saling overlapping,
yakni a) Fase Perdarahan, Terjadinya perdarahan yang diikuti dengan pengorganisasian
clot dan proliferasi dari pembuluh darah kecil. Fase ini merupakan fase non-spesifik karena

54
semua proses penyembuhan selalu dimulai dari blood clot. Berlangsung selama lebih kurang
10 hari sejak terjadinya trauma. b) Fase Pembentukan Callus terdiri dari 1) Pembentukan
callus primer, Terlihat suatu anyaman tulang yang masih lemah dan nampak seperti kain pel
(goni) yang kasar. Callus primer ini terjadi dalam 10 20 hari pertama.2) Pembentukan
callus secundair. Terbentuk setelah pembentukan callus primer, dalam waktu antara 20 60
hari setelah fraktur terjadi. Dalam callus secundair maka system Haversi terbentuk menuju
arah kemana-mana. Cepat lambatnya pembentukan callus tergantung dari beberapa hal,
misalnya Bentuk fraktur kalau simple akan cepat tetapi complicated lebih lama, Umur,
makin muda makin cepat proses pembentukan callus, Kondisi sistemik, dalam keadaan sehat
maka penyembuhan lebih cepat, sedangkan pada keadaan sistemik, seperti DM, maka
penyembuhan menjadi lebih lama. c) Fase Rekonstruksi Fungsional. Fungsi kekuatan
mekanis dari tulang menjadi sangat penting dan system Haversi yang terbentuk akan sesuai
dengan tekanan fungsional yang ada. Kelebihan tulang yg terbentuk akan diresorbsi. Tulang
akan dibentuk sesuai dengan fungsinya, karena itu mungkin akan di tambah disatu sisi dan
akan diresorbsi disisi lain. Sebagai contoh dalam fase ini akan diperlukan 2-3 tahun untuk
membentuk kembali pada tulang femur. Dalam hal ini yang berpengaruh adalah tarikan otot
dan fungsi tulang.
Lebih lanjut Weinmann dan Sicher, membagi proses penyembuhan tulang ini
dalam 6 tahap, yakni 1) Penjendalan darah darai hematoma, 2) Organisasi darah dari
hematoma, 3) Pembentukan callus fibrous, 4) Pembentukan callus primer, 5) Pembentukan
callus secundair, 6) Rekonstruksi Fungsional.
1) Penjendalan darah dari hematoma. Setelah terjadi fraktur pertama kali akan
terlihat pecahnya pembuluh darah pada sumsum tulang, korteks, periosteum, muskullus dan
jaringan ikat sekitarnya. Hematoma akan memenuhi ujung-ujung patahan dan meluas sampai
baik ke suimsum tulang maupun ke jaringan sekitarnya. Hematoma ini akan menjenal dalam
waktu 6-8 jam setelah aksident.
.2) Organisasi darah dari hematoma. Setelah blood clot terjadi maka akan terbentuk
anyaman fibrin dalam upaya mengorganisir hematoma tersebut. Dalam hematoma
mengandung pecahan-2 periosteum, otot, fascia, tulang dan sumsum tulang, yang pada
gilirannya nanti akan mengalami lisis dan diresorbsi tubuh. Dalam blood clot juga banyak
dijumpai sel sel inflamasi, dan ini banyak dirangsang oleh jaringan yang rusak dari pada oleh

55
bakteri. Kapiler-kapiler dari luar akan masuk kedalam jendalan (24-48 jam). Pada waktu ini
sel-sel fibroblas juga ikut masuk.Ciri khasnya antara lain Adanya proliferasi dari pembuluh
darah yang berperan sebagai suplay nutrisi, Pembuluh darah menjadi berkelok-kelok hal ini
menyebabkan aliran darah kembali dalam pembagian nutrisi, Proliferasi terjadi di seluruh
darah hematoma sehingga timbul panas dan hyperemia, keadaan hyperemia bertanggung-
jawab terhadap proliferasi dari tulang muda.jumlah ion Ca++ bertambah. Jika sudah lama
terjadi proses resorbsi ini berguna untuk membersihkan fragment-fragment yang tersisa.
3) Pembentukan Calus Fibrosa. Berasal dari hematoma yang sudah mengalami
proliferasi hematoma akan diorganisasi dan di ganti dengan suatu jaringan granulasi
(terbentuk dalam10 hari setelah fraktur). Setelah fungsi baik jaringan granulasi akan berubah
menjadi suatu jaringan ikat longgar. Fibroblas yang ada menghasilkan banyak sekali serabut
kolagen dan membentuk jaringan fibrous, dan jaringan yang terbentuk disebut Callus
Fibrosa.
4) Pembentukan Callus Primer. Terbentuk 10-30 hari setelah setelah fraktur
tulang. Secara struktural ia tersusun seperti anyaman kain pel atau anyaman goni (burlap),
karena itu disebut anyaman tulang (woven bone). Kadar Ca rendah. Masih dapat diiris
dengan dengan pisau (tetapi lebih kuat dari callus fibrosa). Ro: Tak terlihat (tampak
gambaran radiolution). Seorang ahli memberi nama callus primer, menurut tempatnya
digolongkan menjadi a) ANCHORING CALLUS ialah suatu callus yang terbentuk di luar,
garis fraktur dan mengikat dua fragment tulang, Sel-sel yang ada pada jaringan ikat fibrous
berdeferensi menjadi suatu osteoblas yang akan membentuk tulang spongiosa. b) SEALING
CALLUS, terbentuk pada ujung patahan tulang dan mengisi ruang sumsum pada ujung
patahan tersebut, dibentuk dari proliferasi endosteal. c) BRIDGING CALLUS, Terbentuk
pada daerah garis patahan tetapi di sebelah luar, Callus ini hanya terdapat pada ujung patahan
tulang, merupakan satu-satunya callus yang menjadi pemula terbentuknya kartilago (tulang
rawan). d) UNITING CALLUS, Callus primer terbentuk di antara ujung-ujung patahan
tulang diantara daerah callus lainnya, terbentuk paling akhir, berasal dari kalsifikasi
langsung. Resorbsi tulang pada ujung fragmen sudah terjadi pada saat terbentuknya callus ini
(uniting callus) karena penulangan dari jaringan ikat lebih banyak terjadi pada tempat fraktur
dan uniting callus terbentuk pada daerah yang telah terresorbsi, sehingga hasilnya adalah
penyambungan tulang yang baik dari ujung-ujung fraktur karena pada saat pembentukan

56
callus sudah terjadi proses resorbsi ujung-ujung patahan untuk diganti dengan callus maka
jika callus dikerok akan akan terlihat permukaan tulang yang halus.
5) Pembentukan Callus Sekunder, sudah merupakan tulang yang mendekati
sempurna, Terjadi suatu kalsifikasi yang penuh, Rontgen Foto: terlihat radiopak, bahkan
lebih radiopak dari tulang biasa (lebih kompak), Pola-pola haversi tak berpola seperti tulang
asli (tak teratur), Terbentuk pada 20-60 hari setelah fraktur. Pada saat ini merupakan akhir
perawatan dan juga akhir imobilisasi (Fixasi dibuka).
6) Rekonstruksi Fungsional. Pembangunan dan penyempurnaan dari tulang yang
patah adalah lama (berbulan-bulan sampai 2-3 tahun). Selama proses ini tempat patahan
masih bisa dideteksi (palpasi). Bila penulangan baik maka faktor kekuatan mekanis sangat
penting karena akan menyebabkan re-orientasi sistim haversi dan menggantikan sistem
pseudohaversi pada callus sekunder yang tidak berorientasi dan mempunyai susunan
menurut pola arah tekanan. Callus sekunder yang berlebihan akan diresorbsi dan disesuaikan
dengan bentuk asli. Kekurangsempurnaan pembentukan suatu sisi akan dieliminir oleh sisi
yang lain. Hal ini semua disebabkan karena tulang mempunyai kemampuan untuk aposisi
oleh osteoblast dan resorbsi oleh osteoclast.

3. PENUTUP
Pada akhir perkuliahan, untuk mengetahui tingkat pemahahaman mahasiswa akan
diberikan kuis seperti :
Menurut Weinmann dan Sicher, pada tahap manakah fiksasi fraktur dibuka?
Jawaban :
Pembentukan callus sekunder.

Kuis tersebut tidak diperhitungkan untuk nilai akhir.

Contoh test sumatif antara lain :


Klasifikasi impaksi menurut Winter adalah:
A. Lebih sederhanda daripada klasifikasi Pearl-Gregory
B. Klasifikasi Winter berdasarkan ketersediaan ruang bagi gigi yang impaksi
C. Klasifikasi Winter tidak hanya melihat gigi impaksi
D. Klasifikasi Winter tidak bisa untuk melihat tingkat kesulitan gigi impaksi

57
E. Klasifikasi Winter cukup dilakukan rontgen periapikal
Kunci jawaban : A

Penilaian didasarkan atas keseluruhan proses kegiatan pembelajaran meliputi:


a. Ujian (UTS dan UAS) : 70%
b. Seminar / Diskusi : 30% (Kehadiran 30%, Makalah 40% dan Keaktifan 30%)

Nilai Akhir ditentukan berdasarkan PAN

Nilai Rentang Simpangan Baku (SB)


A Di atas 1,5 SB
B + 0,5 SB sd + 1,5 SB
C - 0,5 SB sd + 0,5 SB
D - 1,5 SB sd - 0,5 SB
E Di bawah 0,5 SB

58
UNIVERSITAS GADJAH MADA
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
Jl. Denta No.1 Sekip Utara Yogyakarta

BAHAN AJAR
Pertemuan ke-12

BEDAH MULUT II
Semester V/ 2 SKS (2-0)/KGS 3503

Oleh:

drg. Rahardjo, SU., Sp.BM.


drg. M. Masykur Rahmat, Sp.BM.

Didanai dengan dana BOPTN P3-UGM


Tahun Anggaran 2013
November 2013

59
BAB IX
TRAUMA DENTAL

1. PENDAHULUAN
A. Deskripsi Singkat
Materi kuliah ini berisi Trauma pada gigi geligi, etiologi trauma, klassifikasi dan gejala
trauma serta fraktur gigi geligi.
B. Manfaat
Mahasiswa diharapkan dapat mengelola kegawatdaruratan gigi dan mulut berbagai usia
C. Relevansi
Materi ini memiliki relevansi dengan bidang ilmu bedah dengan memberi pengetahuan
mengenai trauma dental dan trauma area rongga mulut serta pengelolaan
kegawatdaruratan.
D. Learning Outcome
Setelah mengikuti kuliah ini, diharapkan mahasiswa dapat mengerti dan memahami
etiologi trauma, klassifikasi dan gejala trauma serta fraktur gigi geligi

2. PENYAJIAN
Penyajian materi perkuliahan ini dilakuan dengan metode dosen memberi penjelasan di
depan kelas dan ada interaksi dengan mahasiswa (active learning). Mahasiswa diperbolehkan
bertanya atau mengemukakan pendapatnya secara langsung maupun dosen memberi
pertanyaan sehingga mahasiswa dapat menjawab langsung. Media ajar yang digunakan
adalah teks (power point), memberi contoh dengan gambar.
Materi perkuliahan berisi tentang trauma pada gigi geligi, etiologi trauma, klassifikasi
dan gejala trauma serta fraktur gigi geligi. Injuri atau jejas dapat di definisikan sebagai
putusnya kesinambungan jaringan baik secara anatomis maupun fungsional. Wound healing
adalah suatu reaksi multicelluler, pada jaringan yang mengalami injuri dalam upaya
merestorasi continuitas (bentuk anatomi) dan fungsi. Wajah sangat memainkan peranan
penting dalam identifikasi diri, hal ini berhubungan dengan 1) Mempengaruhi tingkah laku
sosial (social behavior); 2) Wajah dianggap sebagai identitas seseorang yang paling khas dan

60
menonjol (self image); 3) Kesempurnaan penampilan akan menjamin kepercayaan diri
seseorang (self confidence). Oleh karena itu kesempurnaan wajah akan menjadi syarat
mutlak dalam mendukung peran tersebut serta kualitas hidup seseorang.
Trauma Dentofacial, insidensi pada laki-laki 2 kali lebih sering dibanding wanita, umur
12 tahun 30% dari trauma fasial melibatkan gigi, pada gigi dewasa puncak insidensi umur 10
tahun. Prevalensi usia 12 tahun jenis kelamin laki-laki 33% sedangkan wanita 19% tetapi
akan akan menurun drastis setelah usia 30 tahun. Etiologi trauma ini antara lain jatuh (35%),
KLL (30%), Perkelahian (20%), Olahraga (10%), dan Campuran (5%). Faktor predisposisi
meliputi 1) Overjet berlebihan, 2) Protrussif anterior maksilla, 3) Penutupan bibir tak cukup.
Tempat Kecelakaan antara lain di rumah, di jalan, di tempat publik.Tipe trauma diketahui
ada 2 macam yaitu 1) Direct trauma dan 2) Indirect trauma. Etiologi terjadinya trauma ini
disebabkan oleh faktor lingkungan dan manusia. Faktor lingkungan diketahui ada 2 macam
Unintentional injuries dan intentional injuries. Unintentional injuries contohnya jatuh,
relationship problem, kecelakaan, inappropriate use of teeth, biting hard itims, presence of
illness. Intentional injuries antara lain Physical abuse dan Iatrogenic prosedures. Faktor
manusia contohnya risk taking, sports, hyperactivity, stress behavior.
Pemeriksaan Pada Trauma Dentofasial meliputi anamnesis, pemeriksaan klinis dan
penunjang. Anamnesis antara lain: Bagaimana terjadinya kecelakaan, Dimana terjadinya
kecelakaan, Kapan terjadinya kecelakaan, Kondisi pasien saat kecelakaan: Pingsan,
cephalgia, amnesia, nausea, Adakah gangguan gigitan dan Riwayat medis (komorbiditas).
Pemeriksaan klinis meliputi Kelainan jaringan keras dan lunak (IO dan EO), Tes mobilitas
gigi, Malposisi gigi, Perkusi, Palpasi, Tes reaksi panas dingin, Tes sensibilitas elektrometik.
Pemeriksaan penunjang dilakukan Radiografi (intraoral: Lateral foto dan Oklusal foto dan
ekstraoral menggunakan Panoramik foto), CT-Scan (MSCT-3D, Micro CT-Scan), Magnetic
resonance imaging, Laboratoris (Darah rutin lengkap, Hemorhagic deathese (AT, BT, CT)).
Klasifikasi fraktur Dentoalveolar menurut Ellis dibagi menjadi 1) Fraktur email, 2)
fraktur email-dentin, 3) Fraktur email-dentin-pulpa, 4) Fraktur akar. Menurut WHO (1995),
klasifikasi traumatic dental injuries sebagai berikut 1) Jaringan Keras Gigi dan Pulpa, 2)
Jaringan Periodontal, 3) Tulang penyangga, 4) Gingiva dan Mukosa. Fraktur Jaringan Keras
Gigi dan Pulpa dibagi menjadi Enamel infraction, Fraktur Email, Fraktur email-dentin,
Complicated crown fracture, Uncomplicated Crown-Root fracture, Complicated Crown Root

61
Fracture, Root Fracture. Cedera Periodontal Ligamen dibagi menjadi Concussion,
Subluxation (loosening), Extrusive luxation. Cedera Pada Tulang Pendukung meliputi
Comminution of Alveolar socket, Fracture of Alveolar socket wall, Fracture of Alveolar
process, Fracture of mandible or maxilla. Cedera Pada Gingiva dan Mukosa terdiri dari
Laceration / robek (tajam), Contusion (tumpul), Abration (terkikis)
Sensitivitas dan spesifisitas. Sensitivitas adalah kemampuan untuk mendiagnosis
komplikasi proses penyembuhan. Nilai 1 berarti 100% mengalami perubahan patologis
(nekrosis), Spesifisitas yaitu kemampuan untuk mendiagnosis secara betul terhadap status
kesehatan. Nilai 1 berarti 100% sehat. Kondisi 100% sensitivitas dan 100% spesifisitas
adalah hal yang tidak pernah terjadi, pada kejadian trauma gigi
Metode testing pulpa ada 4 macam yaitu 1) Stimulasi mekanik antara lain Scraping
with a dental probe, Drilling, Aplikasi kapas yang dibasahi salin, 2) Test Termal contohnya
Gutta perca yang dipanasi (Mumford,1964), Aplikasi Es pada permukaan labial selama 5
detik, Ethyl chloride: dengan kapas dan CE lalu ditempelkan gigi, Aplikasi Carbon dioxide,
Dichlor-difluormethane. Kelemahan test termal dapat menyebabkan enamel infraction
karena thermal shock; 3) Electric pulp testing (EPT) dengan electric pulp tester yang dapat
diukur dan ditentukan voltasenya; 4) Laser Doppler Flowmetry (LDF) untuk
menggambarkan revaskularisasi pada gigi yang mengalami trauma.

3. PENUTUP
Pada akhir perkuliahan, untuk mengetahui tingkat pemahahaman mahasiswa akan
diberikan kuis seperti :
Sebutkan 2 cara metode testing pulpa!
Jawaban :
1) Stimulasi mekanik; 2) Test Termal; 3) Electric pulp testing (EPT); 4) Laser Doppler
Flowmetry (LDF)

Kuis tersebut tidak diperhitungkan untuk nilai akhir.

62
Contoh test sumatif antara lain :
Rontgen OPG pada kasus gigi impaksi diperlukan:
A. Agar perdarahan dapat dihindari
B. Untuk menentukan klasifikasi
C. Supaya tidak terjadi trismus setelah operasi
D. Untuk menentukan cara pengambilan
E. Untuk mengurangi pembengkakan
Kunci jawaban : D

Penilaian didasarkan atas keseluruhan proses kegiatan pembelajaran meliputi:


a. Ujian (UTS dan UAS) : 70%
b. Seminar / Diskusi : 30% (Kehadiran 30%, Makalah 40% dan Keaktifan 30%)

Nilai Akhir ditentukan berdasarkan PAN

Nilai Rentang Simpangan Baku (SB)


A Di atas 1,5 SB
B + 0,5 SB sd + 1,5 SB
C - 0,5 SB sd + 0,5 SB
D - 1,5 SB sd - 0,5 SB
E Di bawah 0,5 SB

63
UNIVERSITAS GADJAH MADA
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
Jl. Denta No.1 Sekip Utara Yogyakarta

BAHAN AJAR
Pertemuan ke-13

BEDAH MULUT II
Semester V/ 2 SKS (2-0)/KGS 3503

Oleh:

drg. Rahardjo, SU., Sp.BM.


drg. M. Masykur Rahmat, Sp.BM.

Didanai dengan dana BOPTN P3-UGM


Tahun Anggaran 2013
November 2013

64
BAB X
PENATALAKSANAAN TRAUMA DENTAL

1. PENDAHULUAN
A. Deskripsi Singkat
Materi kuliah ini berisi Perawatan Definitiv dan Penyembuhan fraktur tulang
B. Manfaat
Mahasiswa diharapkan dapat merencanakan material kedokteran gigi yang akan
digunakan dalam tindakan rekonstruksi untuk mengembalikan fungsi stomatognati yang
optimal, Menginterpretasikan hasil pemeriksaan radiologi intra oral dan ekstra oral secara
umum, Mengelola kegawatdaruratan akibat trauma di rongga mulut pada pasien segala
tingkatan usia, Meninterpretasikan hasil pemerriksaan laboratoris dan radiografi intra oral
dan ekstra oral untuk diagnosis kelainan dan penyakit pada sistem stomatognati,
Mengelola kegawatdaruratan di bidang kedokteran gigi
C. Relevansi
Materi ini memiliki relevansi dengan bidang ilmu bedah dengan memberi pengetahuan
mengenai penatalaksaan trauma dental untuk mengembalikan fungsi stomatognati yang
optimal
D. Learning Outcome
Setelah mengikuti kuliah ini, diharapkan mahasiswa dapat melakukan evaluasi dan
interpretasi hasil pemeriksaan penunjang, baik secara individual maupun dalam rangka
kolaborasi dengan team; mengerti dan memahami perawatan devinitif dalam upaya
penatalaksaan trauma maksilofasial, yang meliputi reduksi, reposisi, immobilisasi dan
mobilisasi; mengerti, memahamai dan mampu melakukan mininmal 3 jenis fiksasi
interdental dan 3 macam fiksasi intermaksiller; mampu melakukan replantasi gigi,
penutupan jaringan lunak dan pengobatan yang diperlukan (ATS, antibiotika, anelgetika
dll); mengerti dan memahami proses terjadinya penyembuhan jaringan lunak dan fraktur
tulang; mampu untuk menmgidentifikasi komplikasi yang mungkin terjadi selama proses
penyembuhan; memehami serta mampu mengidentifikasi akhir dari suatu penyembuhan
tulang; mengerti dan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur
jaringan lunak dan jaringan tulang, baik faktor-faktor yang menghambat maupun faktor

65
yang mempercepat; mengerti dan memahami berbagai macam komplikasi perawatan
fraktur tulang dan mengidentifikasinya; mampu menjelaskan pada pasien akan terjadinya
komplikasi serta rujukan yang harus dilakukan .

2. PENYAJIAN
Penyajian materi perkuliahan ini dilakuan dengan metode dosen memberi penjelasan di
depan kelas dan ada interaksi dengan mahasiswa (active learning). Mahasiswa diperbolehkan
bertanya atau mengemukakan pendapatnya secara langsung maupun dosen member
pertanyaan sehingga mahasiswa dapat menjawab langsung. Media ajar yang digunakan
adalah teks (power point), memberi contoh dengan gambar.
Materi perkuliahan berisi tentang Perawatan Definitiv penatalaksanan trauma dental
dan Penyembuhan fraktur tulang. Materi ini mencakup Evaluasi radiografis; Reduksi dan
fiksasi fraktur tulang antara lain Macam-macam reduksi, Jenis-jenis fiksasi, Cara pembuatan
beberapa jenis fiksasi; Reposisi dan fiksasi gigi geligi; Replantasi gigi; Waktu fiksasi pada
fraktur tulang dan fiksasi gigi; Macam vulnus dan penutupan jaringan lunak; Pengobatan
pada fraktur tulang dan trauma dental; Macam-macam penyembuhan dan proses
penyembuhan ytauma dental; Faktor yang mempercepat penyembuhan jaringan keras dan
lunak dan faktor yang menghambat penyembuhan, Macam-macam komplikasi perawatan
trauma dental dan Penatalaksanaan komplikasi perawatan trauma dental. Penatalaksanaan
trauma dental bervariasi tergantung dari Fasilitas yang tersedia, Kemampuan operator,
Tingkat kooperatif pasien, Bentuk anatomis gigi dan Umur pasien.
1. Crown Fractures terdiri dari Enamel in fraction, Enamel fracture, Enamel dentin
fractur enamel dentin fractur invalving the pulpa. Perawatnnya pada kasus ini yaitu dengan
pendekatan konservatif. Frekuensi pada gigi permanen 27%-76% dari dental trauma.
Etiologynyadisebabkan direct impact on the crown. Pemeriksaan klinis meliputi Perluasan
fraktur, Pembukaan pulpa, Dislokasi gigi, Reaksi test sensibilitas. Pemeriksaan radiografis
dilakukan untuk mengetahui Ukuran rongga pulpa, Pertumbuhan akar gigi dan Kondisi
sekitar gigi yang trauma. Diagnosis: Enamel infraction, Treatment yang dilakukan kontrol
sensibilitas > 6 bulan dan Sealling with resin, Prognosis: Pulp necrosis (0 3,5%).
Diagnosis: Enamel fracture, Treatment : Corrective grinding, Restorasi komposit, Kontrol
RO dan sensibilitas, Prognosis: Pulp necrosis (0 1,0%). Diagnosis: Enamel-denti fracture,

66
Treatment dengan Melekatkan fragmen mahkota, Restorasi dengan veneer, Restorasi dengan
komposit, Restorasi dengan jacket crown, Prognosis: Pulp necrosis (0 6%). Diagnosis:
Enamel-dentin fracture with pulp exposure, Treatment: Pulp capping, Pulpotomy,
Pulpectomy, Prognosis: Dubia ad bonam.
2. Crown Root fracture. Etiologi: anterior karena direct trauma, posterior karena
indirect trauma. Perawatannya Emergency: stabilisasi fragmen dengan LC atau wiring
sampai dilakuakan perawatan definitif dalam 3 minggu. Beberapa treatment yang harus
dilakukan ditampilkan pada tabel berikut:

Definitive treatment Indikation Prosedur

1. Extraction a. Fragmen crown sampai a. Anastesi


1/3 akar b. Ekstraksi
b. Fracture pada sumbu
panjang akar
2. Evakuasi fragmen a. Fracture super facial tanpa a. Anastaesi
crown dan restora di melibatkan pulpa b. Pengambilan fragmen
supra gingiva crown
c. Restorasi Supra-gingiva
dgn komposit
3. Evakuasi fragmen a. Bila fragmen koronal a. Anastesi
crown dan pembukaan melibatkan 1/3 akar atau b. Pengambilan fragmen
permukaan fraktur kurang c. Pulpektomi dan PSA
d. Gingivektomi sekitar
permukaan fraktur
e. restorasi
4. Ekstrusi dari fragmen a. Bila fragmen koronal < a. Lokal anastesi
apikal akar gigi b. PSA & filling
c. Akar ditarik 1 mm kearah
korornal dan fiksasi dgn
Lc
d. Restorasi > 1 bulan

3. Root fracture. Beberapa variasi penyembuhan fractur akar antara lain


Penyembuhan dengan jaringan terkalsifikasi dan Interposisi dengan PDL, Interposisi dengan
tulang dan PDL, Tidak sembuh dengan Interposisi jaringan granulasi. Prosedur Perawatan
antara lain Anastesi, Reposisi fragmen korornal, Cek posisi koronal dengan RO foto,

67
Immobilisasi dengan semi-rigidsplint (komposit & wire), Kontrol sensibilitas, Splin untuk 4
minggu, Kontrol setelah 1 tahun. Prognosis berupa 1) Pulp necrosis sekitar 20 40%
(tergantung umur); 2) Pulp canal obliteration sekitar 69 73%; 3) Root resorption sekitar 60
%. Pada Root resorption dapat terjadi a) Surface resorption (internal atau external), b)
External inflamatory resorption, c) Dental ankylosis.
Cedera luksasi pada gigi Permanent meliputi Concussion, Subluxation, Extrusive
luxation, Lateral luxation, Intrusive luxation. Perawatan pada cedera luksasi ditujukan 1)
Memfasilitasi penyembuhan jaringan pulpa, 2) Memfasilitasi penyembuhan jaringan
periodontal, 3) Eliminasi gangguan oklusi, 4) Mendukung terciptanya Estetika

Symptom Concussion Subluxation Extrusion Intrusion Lateral lux

1. Abnormal Mobility. - + + -+ -+

2. Percussion pain + -+ -+ - -

3. Percussion sound normal dull dull metallic metallic

4. Sensibilitay testing -+ -+ - - _

5.Radiographi c dislocation - -+ + + +

Prevalensi nekrosis pulpa digambarkan pada Tabel berikut:

Type of luxation No. of Teeth Pulp necrosis

1. Concussion 178 5 (3%)


2. Subluxation 223 14 (6%)
3. Extrusive 53 14 (26%)
4. Lateral luxation 122 71 (58%)
5. Intrusive 61 (875%)

68
Perawatan cedera luksasi sesuai tipenya dijelaskan pada Tabel berikut:

Type of luxation Presedures Prognosis

1 Concussion a. Observasi Pulp necrosis sangat sedikit


b. Medikasi (3%).
c. Monitor pulp sensibility.

2. Subluxation a. Anestesi Pulp necrosis 6%.


b. Fiksasi/splinting 2 mg
c. PSA bila nekosis.
3. Extrusive a. Anestesi Pulp necrosis 26 %
b. Reposisi
c. Splinting 3 minggu
d. PSA bila necrosis
4. Lateral Luxation a. Anestesi. Pulp necrosis 58%
b. Reposisi
c. Splinting 3 mg. Bila tulang #, 6
mg.
d. Monitor radiografis
e. PSA bila necrosis
5.Intrusive Sama dengan diatas Pulp necrosis 85%
f. Orthodontic extrusion

5. Avulsion yaitu lepasnya gigi secara keseluruhan dari soketnya. Perawatan yang
dilakukan yaitu dengan replantasi gigi, dengan dan tanpa perawatan endodontik. Kasus
avulsi gigi merupakan salah satu kasus kegawatdaruratan surgical yang memerlukan
tindakan segera, sehingga replantasi merupakan tindakan yang perlu segera untuk dilakukan,
karena Membahayakan kehidupan dengan perdarahannya, Membuat cacat, Menimbulkan
rasa sakit, Sebagai port dentere timbulnya infeksi. Dalam hal replantasi ini, dikalangan
para ahli terdapat 2 aliran yaitu 1) Kelompok yang penuh hati-hati. Kelompok ini sangat
selektif dalam melakukan prosedur replantasi, dengan persyaratan-persyaratan yang cukup
ketat; 2) Kelompok yang berani mengambil resiko kegagalan. Walaupun masih dengan
syarat yang sama, tetapi menerapkan dengan toleransi yang tinggi, berdasarkan pengalaman
empirik dan umur pasien.
Media Transport merupakan media yang digunakan pasien membawa gigi yang
terlepas, antara lain menggunakan saliva pasien, ditaruh didalam mulut atau mangkok kecil

69
atau tempat tertentu, Teeth Saver Neo, ditaruh dalam susu UHT, putih telur, normal salin
(NaCl 0,9%), aquadest, air kran.
Pertimbangan dalam melakukan replantasi dapat berupa 1) Gigi yg lepas tidak karena
adanya penyakit periodontal lanjut; 2) Socket Alveoler masih intact, sekurang-kurangnya
dalam 3 sisi; 3) Periode extra-alveolar tidak melebihi 60 menit dalam keadaan kering, 4)
Stage dari pertumbuhan akar gigi (terbuka/tertutup).
Prosedur replantasi sebagai berikut: 1) Pada gigi permanent yang akarnya belum
tumbuh sempurna, dan diluar mulut < 60 menit (kering) dengan cara gigi dibersihkan
daerah luka dengan antiseptic lalu gigi direndam dalam larutan garam fisiologis. Pasien
dilakukan injeksi infiltrasi selanjutnya dibersihkan soket gigi dengan lembut, dan Irigasi
dengan anti septik non-kaustik dan dibilas salin. Gigi dimasukkan kembali gigi kedalam
soket seperti semula kemudian dilakukan Splinting. 2) Pada gigi permanent yang akarnya
sudah sempurna, perlu dilakukan parawatan endodontik lebih dahulu, bila waktu diluar mulut
telah melebihi 60 menit (kering).
Kriteria Pemilihan Splinting yaitu 1) Pemasangan dan pelepasan mudah dan cepat; 2)
Splinting tidak boleh terlalu kaku tetapi tetap stabil; 3) Splint terletak disupragingival, agar
mudah dibersihkan; 3) Mudah dicapai bila memerlukan perawatan endodontic; 4) Splint
harus segera dilepas bila gigi cukup stabil dan soketnya; 5) Tidak boleh ada trauma oklusi.
Macam-macam splint contohnya 1) Composit resin splints; 2) Nylon line splints, dengan
dibantu bonded composit resin; 3) Komposit splint dengan kerangka wire, 0,4 mm (soft /
hard); 4) Suture splints, dengan benang silk; 5)Wire splints, model angka 8 atau Essig
method, Stout & Risdon; 6) Acrylic aplints.
Perawatan Pasca Bedah yang diinstruksikan ke pasien antara lain 1) Obat diteruskan
(antibiotik, antiinflamasi/analgetik); 2) Kontrol pendarahan, rasa sakit dan iritasi splint &
oklusi (tidak boleh trauma oklusi); 3) Penggunaan sikat gigi yang lunak dan obat kumur; 4)
Splint dibuka 6 minggu; 5) Kontrol rontgent photo.
Pengobatan yang diberikan berupa antiinflamasi dapat berupa glikokortikoid, OAINS.
Klasifikasi OAINS menurut Nevarra (2000) dibagi menjadi Inhibitor COX-1 selektif;
Inhibitor COX non-selektif; Preferentially COX-2 Inhibitor; Inhibitor COX- 2 selektif /
spesifik. Potensi OAINS berdasarkan miligram dari komponen aktif untuk setiap formula
sebagai berikut

70
Potensi OAINS mg/formula

Kuat Meloxicam 7.5, 15


Piroxicam 10, 20
Diclofenac 25, 50, 75
Sedang Celecoxib 100, 200
Nimesulide 100
Ketoprofen 100, 200
lemah Mefenamic acid 500
Naproxen 500
Nabumetone 500

Mula kerja OAINS sebagai berikut

Mula kerja OAINS T-max (Jam)

Cepat Diclofenac 0.8

Nimesulide 1.2 2.7

Lambat Celecoxib 24

Meloxicam 6

Keamanan sebagai suatu hal penting dalam pemilihan OAINS. Menurut Lancet (1994)
menyebutkan laporan perdarahan gastrointestinal sebagai berikut:
OAINS Smith Langman Garcia Henry
Risk Ratio Risk Ratio Risk Ratio Risk Ratio
Ibuprofen 2.0 2.0 2.9 1.0
Diklofenak 3.2 4.2 3.9 2.3
Naproxen 5.1 9.1 3.1 7.0
Indometasin 7.8 11.3 6.3 8.0
Piroksikam 10.9 13.7 18.0 9.0
Ketoprofen - 23.7 5.4 10.3

71
Hambatan pada COX sebagai berikut: 1) COX-1Selective antara lain Efek samping
G.I.besar , Efek Cardioprotektif, Contoh efek Aspirin pada Thromboxan (TXA2), Efek anti
inflamasi dan analgesik sama kuat; 2) Preferentially COX-2 Selective, antara lain Efek
samping G.I.Minimal, Resiko Cardio/Cerebro, vascular minimal, Efek anti inflamasi dan
analgesik sama kuat; 3) COX-2 Highly Selective/Specific antara lain Efek samping G.I.lebih
minimal, Resiko Cardio/Cerebro, vascular meningkat, Lebih bersifat analgesic.
Preferentially COX-2 Selective inhibitor diketahui memiliki resiko minimal pada
Gastrointestinal dan kardiovaskular, Memiliki keseimbangan efektivitas dan tolerabilitas,
contohnya Diclofenac.
Tahap Evaluasi menunjukkan hasil antara lain oleh Anderson pada hewan coba
dilakukan terhadap mobilitas gigi, pembentukan pocket, inflamasi gingival dan resorpsi
radix. Emmersten melakukan evaluasi setelah 3 tahun menunjukkan keberhasilan ditandai
Gigi cekat dan berfungsi, Gingiva normal dan Periapikal normal. Keragu-raguan hasil karena
keadaan klinis membaik, tetapi radiografis ada kelainan periapikal. Evaluasi yang dilakukan
oleh Chamberlin dan Goerig, setelah 1 tahun menunjukkan Gigi tetap cekat, Fungsi normal
dan tidak sakit, Mobilitas normal, Radiografis normal, Lamina dura normal, Sulcus, bentuk
dan warna gingiva normal.
Faktor penentu keberhasilan ditentukan oleh 1) EAT (Extra Alveolair Time); 2)
Lingkungan gigi diluar mulut; 3) Pemeliharaan permukaan radix; 4) Perawatan saluran akar;
5) Immobilisasi. Komplikasi dan kegagalan dapat disebabkan oleh 1) Ankylosis; 2) Resorpsi
eksternal; 3) Pembentukan pocket periodontal ; 4) Kelainan peripikal, post operative
Perawatan trauma jaringan keras meliputi jaringan keras, reposisi, immobilisasi dan
mobilisasi. Perawatan trauma jaringan lunak meliputi jaringan lunak, debridement dan
Rekonstruksi/ Hechting.

3. PENUTUP
Pada akhir perkuliahan, untuk mengetahui tingkat pemahahaman mahasiswa akan
diberikan kuis seperti :
Sebutkan factor penentu keberhasilan perawatan trauma dental !
Jawaban :

72
EAT (Extra Alveolair Time); 2) Lingkungan gigi diluar mulut; 3) Pemeliharaan
permukaan radix; 4) Perawatan saluran akar; 5) Immobilisasi.

Kuis tersebut tidak diperhitungkan untuk nilai akhir.

Contoh test sumatif antara lain :


Komplikasi operasi impaksi gigi Klas I menurut Pearl Gregory yang mungkin terjadi:
A. Perdarahan
B. Pembengkakan
C. Parestesi
D. Trismus
E. Abses
Kunci jawaban : C

Penilaian didasarkan atas keseluruhan proses kegiatan pembelajaran meliputi:


a. Ujian (UTS dan UAS) : 70%
b. Seminar / Diskusi : 30% (Kehadiran 30%, Makalah 40% dan Keaktifan 30%)

Nilai Akhir ditentukan berdasarkan PAN

Nilai Rentang Simpangan Baku (SB)


A Di atas 1,5 SB
B + 0,5 SB sd + 1,5 SB
C - 0,5 SB sd + 0,5 SB
D - 1,5 SB sd - 0,5 SB
E Di bawah 0,5 SB

73
UNIVERSITAS GADJAH MADA
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
Jl. Denta No.1 Sekip Utara Yogyakarta

BAHAN AJAR
Pertemuan ke-14

BEDAH MULUT II
Semester V/ 2 SKS (2-0)/KGS 3503

Oleh:

drg. Rahardjo, SU., Sp.BM.


drg. M. Masykur Rahmat, Sp.BM.

Didanai dengan dana BOPTN P3-UGM


Tahun Anggaran 2013
November 2013

74
BAB XI
SEMINAR

1. PENDAHULUAN
A. Deskripsi Singkat
Materi diskusi ini mengenai metode fiksasi interdental atau intermaksiller.
B. Manfaat
Mahasiswa diharapkan memahami metode fiksasi interdental atau intermaksiller pada
fraktur tulang fasial maupun trauma dental.
C. Relevansi
Materi ini memiliki relevansi dengan bidang bedah dan periodontologi.
D. Learning Outcome
Setelah mengikuti kuliah ini, diharapkan mahasiswa mampu memahami serta melakukan
fiksasi interdental dan intermaksiller, dalam kaitannya dengan penatalaksaan fraktur
tulang fasial dan trauma dental.

2. PENYAJIAN
Penyajian materi perkuliah ini dilakuan dengan metode dosen memandu diskusi.
Mahasiswa dibagi dalam 15 kelompok, dan masing-masing kelompok akan
mempresentasikan salah satu metode fiksasi interdental maupun intermaksiller. Interdental
Wiring (IDW) digunakan untuk merawat fraktur dentoalveolar, luksasi gigi, dan replantasi
gigi. Intermaksiller Wiring digunakan untuk merawat fraktur tulang pada maksilla maupun
mandibula.

3. PENUTUP
Pada kegiatan diskusi ini, tidak dilakukan tes formatif tetapi dosen akan memberikan resume
pada 10 menit terakhir. Kegiatan diskusi ini akan dilakukan penilaian meliputi Kehadiran
(30), Makalah (40%) dan Keaktifan (30%).

75
Penilaian didasarkan atas keseluruhan proses kegiatan pembelajaran meliputi:
a. Ujian (UTS dan UAS) : 70%
b. Seminar / Diskusi : 30% (Kehadiran 30%, Makalah 40% dan Keaktifan 30%)

Nilai Akhir ditentukan berdasarkan PAN

Nilai Rentang Simpangan Baku (SB)


A Di atas 1,5 SB
B + 0,5 SB sd + 1,5 SB
C - 0,5 SB sd + 0,5 SB
D - 1,5 SB sd - 0,5 SB
E Di bawah 0,5 SB

76
SUMBER PUSTAKA
1. Archer, H., 1979, Oral Surgery A Step by Step Attlas of Operative Techniques, Vol. I.,
W.B. Saunders Co., Philadelphia and London
2. Balaji, S.M., 2007, Text Book Of Oral And Maxillofacial Surgery, Delhi
3. Berger, A., 1946, Principles and Technique of Oral Surgery, Dental Item of Interest
Publishing Co. Inc., London
4. Blair, V.P., Ivy, R.H., 1957, Essentials of Oral, 4th ed., The C.V. Mosby Co., St. Louis
5. Comroe, B.I., Collins Jr, L.H., Crane, M.P., Internal Medicine in Dental Practice, 4tf
ed., Lea & Fabiger, Philadelphia
6. Durbeck, W.E., 1945, The Impacted Lower Thied Molar, Brooklyn New York Dental
Item of Interest, Publishing Co., Greet Britain London
7. Heasmen, P., 2003, Master Dentistry,Vol 2, Churchil Livingstone., St. Louis
8. Kruger, G.O., 1984, Text Book Of Oral And Maxillofacial Surgery, Moosby Company,
St. Louis, Toronto
9. Mead, S.V., 1954, Oral Surgery, 4th ed., The C.V. Mosby Co., St. Louis
10. Tjokronegoro, A., 1981, Kegawatdaruratan Dan Kegawatan Medik, FK UI

77

Anda mungkin juga menyukai