Anda di halaman 1dari 31

REFLEKSI KASUS

MORBUS HANSEN TIPE MULTIBASILER


Diajukan untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu Syarat
Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin di
RSUD Sunan Kalijaga Demak

Disusun oleh:
Nurul Putri Fitriani
01.211.6479

Pembimbing:
dr. Wahyu Hidayat, Sp. KK.
dr. Ridha Setiawati, Sp.KK.

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2017
BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. T
Umur : 21 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Dombo 3/2 Sayung, Demak
No CM : 199997
Masuk poli kulit : 29 Desember 2016

B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan pada hari Kamis, 29 November 2016 jam 10.00 WIB dipoli kulit
dan kelamin RSUD Sunan Kalijaga Demak
a. Keluhan Utama : bercak putih di lengan bawah tangan kiri yang mati rasa
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien seorang anak perempuan datang ke Poli Kulit dan Kelamin RSUD
Demak dengan keluhan bercak putih di lengan bawah tangan kiri 4 tahun.
Bercak awalnya berjumlahnya satu di lengan bawah tangan kiri lalu bertambah di
bagian telapak tangan dengan ukuran yang lebih kecil, awalnya berwarna
kemerahan di bagian pinggirnya lama kelamaan bagian tepinya mulai berubah
warna tanpa diberikan pengobatan sebelumnya, berbentuk oval, ukuran semakin
lama semakin bertambah dan mati rasa. Bercak kering dan tidak bersisik.
Pasien mengatakan tidak ada kelemahan pada lengan, tangan, tungkai dan
kakinya. Timbulnya bercak tidak disertai dengan nyeri sendi, penglihatan
berkurang (-), mata berair (-), pasien dapat menutup mata dengan sempurna,
hidung tersumbat (-), riwayat mulut yang mencong sebelumnya (-), rasa
kesemutan pada kedua tangan dan kaki (-), tangan kiri terasa membengkak (+),
pasien masih bisa memasang kancing baju sendiri dan memegang gelas tidak
terjatuh, kulit terasa lebih kering dibandingkan sebelum sakit. demam pada malam
hari, telinga kanan dan kiri terasa tebal dan mati rasa (+), alis dan bulu mata
rontok (+).
Di lingkungan sekitarnya ada yang mengalami keluhan yang serupa dengan
pasien yaitu kakak perempuannya. Pasien sehari-hari hanya di rumah menemani
kakak perempuannya, membantu pekerjaan rumah. Pasien mandi sehari 2 kali,
menggunakan sabun dan setiap kali selesai mandi menggunakan baju bersih.
Riwayat penggunaan alat mandi atau handuk bersama dengan anggota keluarga
lainnya tidak ada.
c. Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat penyakit seperti ini sebelumnya : disangkal
- Riwayat hipertensi : disangkal
- Riwayat kencing manis : disangkal
- Riwayat alergi obat : disangkal
- Riwayat alergi makanan : disangkal
d. Riwayat Penyakit Keluarga :
- Riwayat keluarga dengan keluhan serupa : kakak kandung perempuan
pasien menderita kusta dan sementara dalam terapi sudah 1 tahun.
- Riwayat hipertensi : disangkal
- Riwayat kencing manis : disangkal
- Riwayat alergi obat : disangkal
- Riwayat alergi makanan : disangkal
e. Riwayat Sosial dan Ekonomi :
- Pasien menggunakan jaminan kesehatan BPJS PBI, kesan ekonomi : kurang
f. Riwayat pengobatan
- Pasien sedang rutin mengonsumsi obat paket MH MDTMB. Pengobatan sudah
berlangsung selama 6 hari (23 Desember 2016 29 Desember 2016)

C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : tampak sakit ringan
Kesadaran : composmentis
Tekanan darah : tidak dilakukan pemeriksaan.
Frekuensi Nadi : tidak dilakukan pemeriksaan.
Frekuensi Pernafasan : tidak dilakukan pemeriksaan.
Temperatur : afebris.
Warna kulit : sawo matang

a. Status Generalis
Kepala : Normochepal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-),sklera ikterik(-/-), madarosis (+/+)
Telinga : Megalobuli (+/+), otorhhea (-/-), kemerahan (-/-)
Hidung : Rhinorea (-/-), epistaksis (-/-), hidung pelana (+)
Mulut : Sianosis (-),bibir kering(-), perdarahan (-), mukosa hiperemis
(-), tonsil T1-T1 tidak hiperemis, faring tidak hiperemis
Leher : Tidak ada pembesaran KGB
b. Thorax dan abdomen : tidak dilakukan pemeriksaan
c. Ekstremitas : edema (+) pada tangan kiri, deformitas/ mutilasi (+) pada jari telunjuk
tangan kiri.
D. STATUS DERMATOLOGIKUS
a. Lokasi I : lengan bawah tangan kiri
b. UKK I : plak hipopigmentasi dengan tepi hiperpigmentasi, multipel,
berbentuk oval, berbatas sirkumskrip, xerosis (+) dan anestesi

a. Lokasi II : wajah
b. UKK II : madarosis (+/+), hidung plana (+), facies leonine (-), lagoftalmus (-/-)

a. Lokasi III : telinga


b. UKK III : cuping telinga menebal (+/+) , simetris, bilateral dan megalobuli (+/
+)

a. Lokasi IV : kedua extremitas atas


b. UKK IV : mutilasi (-/+) pada jari telunjuk tangan kiri, deformitas (-/-),
edema (-/+), claw hand (-/-), wrist drop (-/-), kontraktur (-/-)

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Mikrobiologi (BTA) (27/ Desember/ 2016)
Reitz serum
Cuping telinga kanan 2+ (POS DUA)
Cuping telinga kiri 2+ (POS DUA)
Tangan 2+ (POS DUA)

Pemeriksaan Hematologi (23/


Basophil 0,5 01
Desember/ MCH 25 () 26 34 2016)
Hemoglobin MCHC
11,1 () 32,5
11,7-15,5 32 36
Hematocrit MCV
34,2 () 35 4777 80 100
RDW 11,5 14,5
Leukosit 6,1 3,6 14,9
11 ()
Trombosit MPV
261 150 10,1
400 () 6,8 10
Eritrosit PDW
4,44 4 6 11 10 18
Netrofil LED
54 1 Jam 50 7040 () 0 20
Limfosit LED 2 Jam 25 40
36,4 80 () 0 20
Monosit 8,6 () 2 8
Eosinophil 0,5 () 24

F. PEMERIKSAAN TAMBAHAN
Pemeriksaan sensibilitas berupa rasa raba
- Hasil (-) pada semua lesi
G. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan sensibilitas (tusuk dan suhu)
b. Pemeriksaan saraf tepi
c. Pemeriksaan histopatologi
d. Tes lepromin
e. Pemeriksaan KOH

H. DIAGNOSA BANDING
Morbus Hansen tipe MultiBasiler
Ptiriasis vesikolor
Ptiriasis alba

I. DIAGNOSA KERJA
MORBUS HANSEN TIPE MULTIBASILER

J. PENATALAKSANAAN
MDT MB program WHO (12-18 bulan)
(Diawal bulan/ hari ke 1)
R/ Rifampisin 600 mg tab No. I
S.1.d.d.tab 1
R/ Klofazimin 300 mg tab No. I
S.1.d.d.tab 1
R/ DDS 100 mg tab No. I
S.1.d.d.tab 1
R/ Paracetamol 500 mg tab No. XV
S. 3.d.d.tab.1 prn

(Hari ke 2- 28)
R/ Klofazimin 50 mg tab No. XXVII
S.1.d.d.tab 1
R/ DDS 100 mg tab No. XXVII
S.1.d.d.tab.1
R/ Paracetamol 500 mg tab No. XV
S. 3.d.d.tab.1 prn

EDUKASI
Pengobatan penyakit kusta berlangsung lama, kurang lebih selama 12 18 bulan
sehingga perlu meminum obat secara teratur.
Selama pengobatan, pasien harus rutin kontrol untuk pemeriksaan secara klinis di
rumah sakit setiap bulan dan secara bakterioskopis minimal 3 bulan.
Setelah 2-3 tahun dinyatakan Release from treatment, perlu dilakukan pemeriksaan
klinis dan bakterioskopi setiap tahun selama 5 tahun.
Penyakit kusta dapat ditularkan melalui inhalasi sehingga pasien disarankan untuk
selalu menggunakan masker.
Memakai sarung tangan jika bekerja dengan benda tajam atau panas.
Cuci tangan setiap sesudah bekerja dengan sabun yang terutama banyak mengandung
pelembab bukan detergen.
Untuk menambah kelembapan dapat dioleskan minyak (baby oil).
Apabila muncul tanda-tanda perubahan sensibilitas dan kekuatan otot segera kembali
untuk memeriksakan diri ke dokter, contohnya berupa luka atau lepuh yang tidak
terasa sakit dan mati rasa di bagian yang lain. Jika terdapat gangguan pada aktivitas
sehari-hari, seperti memasang kancing baju, memegang pulpen, mengambil benda
kecil atau kesulitan berjalan. Adanya kelainan pada mata berupa penglihatan yang
kabur, kesulitan membuka atau menutup mata, serta alis mata dan bulu mata yang
menjadi botak.
Segera kontrol ke rumah sakit jika didapatkan gejala seperti tangan dan kaki yang
menggantung atau berbentuk seperti cakar, jari-jari tangan terasa kaku dan kesemutan,
nyeri sendi.
Jika ada anggota keluarga yang mempunyai gejala yang sama segera dibawa kerumah
sakit.

K. PROGNOSIS
- Ad vitam : dubia ad bonam
- Ad sanationam : dubia ad malam
- Ad fungtionam : dubia ad malam
- Ad kosmetikam : dubia ad bonam

L. RESUME
Telah dilakukan pemeriksaan pada Nn T usia 21 tahun dengan keluhan bercak putih di
lengan bawah tangan kiri 4 tahun. Bercak awalnya berjumlahnya satu di lengan bawah
tangan kiri lalu bertambah di bagian telapak tangan dengan ukuran yang lebih kecil,
awalnya berwarna kemerahan di bagian pinggirnya lama kelamaan bagian tepinya mulai
berubah warna tanpa diberikan pengobatan sebelumnya, berbentuk oval, ukuran semakin
lama semakin bertambah dan mati rasa. demam pada malam hari, telinga kanan dan kiri
terasa tebal dan mati rasa (+), alis dan bulu mata rontok (+).kakak kandung perempuan
pasien menderita kusta dan sementara dalam terapi sudah 1 tahun Pasien sehari-hari
hanya di rumah menemani kakak perempuannya.
Dari pemeriksaan fisik ditemukan lesi di lengan bawah tangan kiri dengan ujud
kelainan kulit berupa plak hipopigmentasi dengan tepi hiperpigmentasi, multipel,
berbentuk oval, berbatas sirkumskrip. Pada wajah di dapatkan madarosis (+/+), hidung
plana (+). Pada telinga didapatkan cuping telinga menebal (+/+) , megalobuli (+/+)
simetris, dan bilateral. Dan pada tangan kiri didapatkan mutilasi jari telunjuk. Pada
pemeriksaan Reitz ser : 2+ (positif 2), pemeriksaan sensibilitas dengan raba hasilnya (-)
pada semua lesi.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didapatkan
diagnosis Morbus Hansen tipe multibasiler. Pengobatan yang diberikan dengan MDT MB
dari WHO selama 12 18 bulan, pada hari pertama yakni rifampisin 600 mg, klofazimin
300 mg, DDS 100 mg,. Pada hari ke-2 sampai hari ke- 28 diberikan DDS 100 mg,
klofazimin 50 mg. Diberikan paracetamol 500 mg untuk asimptomatik berupa demam.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
I. SINONIM
Lepra,Morbus Hansen1,5,6

II. DEFINISI
Penyakit Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh
Mycobacterium Leprae yang pertama menyerang saraf perifer, selanjutnya dapat
menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas, sistem retikuloendotelial,
mata, otot, tulang dan testis,kecuali susunan saraf pusat.4
Penyakit kusta juga dapat mengenai mukosa hidung, konka, nasofaring dan
laring.11

III. ETIOLOGI
Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium Leprae ditemukan oleh G.A
Hansen pada tahun 1873 yang sampai sekarang belum dapat dibiakkan dalam media
artifisial. Kuman ini bersifat tahan asam, berbentuk batang dengan ukuran 1-8, lebar
0,2-0,5 biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel
terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dalam media buatan.
Kuman ini juga dapat menyebabkan infeksi sistemik pada hewan Armadilo. Masa belah
diri kuman ini memerlukan waktu yang sangat lama dibandingkan dengan kuman lain
yakni 12-21 hari. Oleh karena itu masa tunas menjadi lama yaitu 2-5 tahun.7

Mycobacterium leprae
IV. EPIDEMIOLOGI
Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan karena cara penularannya
belum diketahui dengan pasti, hanya berdasarkan anggapan yang klasik ialah melalui
kontak langsung antar kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi,
sebab M. Leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet.
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenitas kuman penyebab,
cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang
berhubungan dengan kerentanan, perubahan-perubahan imunitas dan kemungkinan
adanya reservoir luar manusia. Belum ditemukannya medium artifisial mempersulit
untuk mempelajari sifat-sifat Mycobacterium Leprae.5
Angka kejadian penyakit kusta di dunia dilaporkan mencapai 5.5 juta kasus,
kebanyakan penyakit menginfeksi penduduk yang hidup di daerah tropis dan sub tropis.
Secara keseluruhan 80 % kasus didapatkan di 5 negara, diantaranya India, Myanmar,
Indonesia, Brazil dan Nigeria.
Penyakit kusta jarang menyebabkan kematian, tatapi penyakit ini sering
menyebabkan kecacatan yang signifikan, pada penderita kusta tipe LL 70-75%
mengalami kecacatan pada mata, tangan dan kaki. Berdasarkan suatu penelitian angka
kejadian dari gangguan fungsi saraf pada daerah yang endemik tercatat 1,7 per 100
pasien pertahun pada kusta tipe paubasiler dan 12 per 100 pasien pada kusta tipe
multibasiler. Frekuensi angka kejadian lesi saraf baru selama penderita mendapatkan
pengobatan adalah 2% pada kusta tipe PB dan 11 % pada kusta tipe MB. Pada
penelitian secara luas komplikasi okular pada penyakit kusta ditemukan kebutaan
akibat penyakit kusta sekitar 10 % penderita.7
Kusta dapat terjadi pada semua ras di dunia, pada orang afrika dilaporkan
insiden kusta bentuk tuberkuloid lebih tinggi. Orang kulit putih dan penduduk cina
lebih sering terkena kusta tipe leprosa.2
Di Indonesia penderita anak-anak dibawah umur 14 tahun 13 %, tetapi anak
dibawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi tertinggi pada kelompok umur antara
25-35 tahun. Faktor sosial ekonomi memegang peranan, makin rendah sosial
ekonominya makin subur penyakit kusta.7
V. PATOGENESIS
Meskipun cara masuk M. Leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui
dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering ialah
melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mucosa
nasal. Pengaruh M. Leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang,
kemampuan hidup M. Leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang
lama, serta sifat kuman yang avirulen dan nontoksis.7
M. Leprae merupakan parasit obligat intraseluler yang terutama terdapat pada
sel makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel schwann di
jaringan saraf. Bila kuman M. Leprae masuk dalam tubuh dan bereaksi mengeluarkan
makrofag (berasal dari sel monosit darah,sel mononuclear, histiosit)4
Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M. Leprae, di samping
itu sel schwann berfungsi sebagai dieliminasi dan hanya sedikit fungsinya sebagai
fagositosis. Jadi bila terjadi gannguan imunitas tubuh dalam sel schwann, kuman dapat
bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya aktivitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi
kerusakan yang progresif.7
VI. KLASIFIKASI
Jenis Klasifikasi yang umum
A. Klasifikasi Internasional : Klasifikasi Madrid (1953)
o Indeterminate ( I )
o Tuberkuloid ( T )
o Borderline Dimorphous ( B )
o Lepromatosa ( L )

B. Klasifikasi untuk kepentingan riset : Klasifikasi Ridley Jopling (1962)


o Tuberkuloid ( TT )
o Borderlne Tuberkuloid ( BT )
o Mid- borderline ( BB )
o Borderlne Lepromatous ( BL )
o Lepromatosa ( LL )
C. Klasifikasi untuk kepentingan Program Kusta : Klasifikasi WHO (1981) dan
modifikasi WHO (1988)
o Paubasilar ( PB )
Hanya kusta tipe I, TT dan sebagian besar BT dengan BTA negatif menurut
Kriteri Ridley dan Jopling atau tipe I dan T menurut klasifikasi Madrid.
o Multibasiler ( MB )
Termasuk Kusta tipe LL, BL, BB dan sebagian BT menurut criteria Ridley
dan Jopling atau B dan L menurut Madrid dan semua tipe kusta dengan
BTA positif.6
Untuk pasien yang sedang dalam pengobatan diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Bila pada mulanya didiagnosis tipe MB, tetapi diobati sebagai MB apapun hasil pemeriksaan
BTA nya saat ini.
2. Bila awalnya di diagnosis tipe MB harus dibuat klasifikasi baru berdasarkan gambaran klinis
dan hasil BTA saat ini.

Selain Klasifikasi diatas juga di dapatkan :


o Kusta tipe neural
Yaitu penyakit kusta yang ditandai oleh hilangnya fungsi sensoris pada daeerah
sepanjang distribusi sensoris batang saraf yang menebal (dapat disertai paralysis
motoris maupun tidak), tanpa ditemukannya bercak pada kulit.
o Kusta Histoid
Pada kusta Histoid didapatkan lesi kulit berupa nodula-nodula dengan kulit
sekitarnya normal, secara klinis didapatkan nodula-nodula licin berkilat,
padat,eritematosa, bentuk bulat atau oval dengan ukuran penampang bervariasi 1
20 mm.3

VII. MANIFESTASI KLINIS


Kusta Multibasiler
Sifat Lepromatosa Borderline Mid Borderline
( LL) Lepromatosa ( BB )
(BL)
Lesi Makula, Infiltrat Macula, Plakat, Plakat, Dome-
Bentuk difus, papul, nodul papul shaped (kubah),
Punched-out
Jumlah Tak terhitung, Sukar dihitung, Dapat dihitung,
praktis tidak ada masih ada kulit kulit sehat jelas
kulit yang sehat sehat ada
Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris
Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar,agak
berkilat
Batas Tak jelas Agak jelas Agak jelas
Anestesia Tak ada sampai Tak jelas Lebih jelas
tak jelas
BTA
Lesi kulit Banyak (ada Banyak Agak banyak
globus)
Sekret hidung Banyak (ada Biasanya negatif Negatif
globus)
Tes Lepromin Negatif Negatif Biasanya negatif
Kusta Paubasiler
Sifat Borderline Tuberkuloid (TT) Indeterminate (I)
Tuberkuloid (BT)
Lesi Makula dibatasi Makula saja, Hanya macula
Bentuk infiltrat, infiltrat makula dibatasi
saja infiltrat
Jumlah Beberapa atau satu Satu dapat Satu atau beberapa
dengan satelit beberapa
Distribusi Masih asimetris Asimetris Variasi
Permukaan Kering bersisik Kering bersisik Halus agak
berkilat
Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau
dapat tidak jelas
Anesthesia Jelas Jelas Tak ada sampai
tak jelas
BTA Negatif atau + 1 Negatif Negative

Tes lepromin Positif lemah Positif kuat ( 3+) Dapat positif


lemah atau negatif
Perbedaan tipe PB dan MB
N Paubasiler (PB) Multibasiler (MB)

o
1. Bercak :
1. Jumlah 1-6 Banyak
2. Ukuran kecil dan besar Kecil
3. Batas tegas Tidak tegas
4. Permukaan kering dan kasar Halus dan berkilat
5. Mati rasa selalu ada dan jelas Biasanya tidak jelas
6. Kehilangan biasanya ada Biasanya tidak ada
kemampuan
berkeringat, bulu
rontok
7. Distribusi unilateral/bilateral, Bilateral dan simetris
asimetris
2. Infiltrat
1. Kulit Tidak ada, kadang ada Ada, kadang tidak ada
2. Mukosa (hidung Tidak pernah ada Ada, kadang tidak ada
tersumbat, perdarahan
hidung)
3. Nodulus Tidak ada Ada
4. Ciri-ciri khusus Penyembuhan di bag. Ginekomastia,
Tengah bercak (central madarosis, suara parau
healing)
5. Penebalan saraf Jumlah sedikit, unilateral, Jumlah banyak,
lebih sering terjadi dini bilateral, pada fase
lanjut
6. Deformitas (cacat) Biasanya terjadi dini, Pada fase lanjut,
asimetris simetris
7. Hapusan kulit BTA (-) BTA (+)

Ridley-Jopling
Gambaran Klinis organ tubuh lain yang dapat diserang :
1. Mata : Iritis, Iridosiklitis, gangguan visus sampai
kebutaan
2. Hidung : Epistaksis, hidung pelana.
3. Tulang dan sendi : Absorbsi, mutilasi, arthritis
4. Lidah : ulkus, nodus
5. Testis : ginekomastia,epididmis akut, orkitis, atrofi
6. Kelenjar Limfe : Limfadenitis
7. Rambut : Alopesia, Madarosis
8. Ginjal : Glomerulonefritis, amilodosis ginjal,
piolonefritis, nefritis interstisial
Predileksi Lesi Kulit
Bagian tubuh yang relatif lebih dingin, misalnya pada muka, hidung,
(mukosa), telinga, anggota tubuh dan bagian tubuh yang terbuka.4
Predileksi kerusakan Saraf tepi
Kuman ini lebih sering mengenai saraf tepi yang lebih superfisial dengan
suhu yang relatif lebih dingin. Saraf tepi yang terkena akan menunjukan
berbagai kelainan yaitu :
o N.Fasialis : Lagoftalmus,mulut mencong
o N.Trigeminus : anestesi kornea
o N. aurikularis magnus : anestesi daun telinga
o N. Radialis : Tangan lunglai (drop wrist)
o N. Ulnaris : Anestesi dan paresis/paralysis otot tangan jari V dan
sebagian jari IV. Kerusakan N. Ulnaris dan N. Medianus menyebabkan jari kiting
(claw Toes) dan tangan cakar (claw hand)
o N. Peroneus komunis : Kaki samper (droop foot)
o N. Tibialis posterior : Mati rasa telapak kaki dan jari kiting.

Manifestasi penyakit yang menunjukan bahwa penyakit kusta masih aktif adalah :
o Kulit: Lesi membesar, jumlah bertambah, ulserasi,
eritematosa, infiltrat atau nodus.
o Saraf : Nyeri, gangguan fungsi bertambah, jumlah
saraf yang terkena bertambah.
Tanda sisa penyakit kusta :
o Kulit: Atrofi, keriput, non-repigmentasi dan bulu hilang
o Saraf : Mati rasa persisten, paralysis, kontarktur dan
atrofi otot.7

Lesi PausiBasiler (TT)


Lesi Multi Basiler (LL)
VIII. DIAGNOSIS
Diagnosis Penyakit kusta di dasarkan pada penemuan tanda kardinal (tanda
utama), yaitu :
1. Bercak kulit yang mati rasa
Bercak hipopgmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau meninggi (plak).
Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa raba, rasa suhu,
rasa nyeri.
2. Penebalan Saraf Tepi
Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai atau tanpa gannguan fungsi saraf
yang terkena, yaitu :
a. Gangguan fungsi saraf sensoris : mati rasa
b. Gangguan fungsi motoris : paresis atau paralisis
c. Gangguan fungsi otonom : kulit kering, retak, edema, tempat pertumbuhan
rambut terganggu
3. Ditemukan kuman tahan asam
Bahan pemeriksaan adalah apusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada bagian
yang aktif. Kadang-kadang diperoleh dari biops di kulit atau saraf.9
Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan
satu tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan maka kita hanya dapat
mengatakan tersangka kusta dan pasien perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6
bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan.7
Gejala prodormal penyakit kusta biasanya tidak terlihat dan penyakit ini tidak
dikenali sampai didapatkan erupsi pada kulit. Pada 90% pasien menunjukan gejala
kehilangan sensasi rasa beberapa tahun lebih dulu sebelum lesi pada kulit tampak.
Rangsang suhu adalah sensasi yang pertama hilang, pasien sulit memebedakan rasa
panas dan dingin, selanjutnya pasien baru kehilangan sensasi raba dan nyeri.
Kehilangan sensasi ini terutama pada tangan dan kaki.3

IX. PEMERIKSAAN PASIEN


1. Anamnesis
a. Keluhan pasien
b. Riwayat kontak dengan pasien
c. Latar belakang keluarga, misalnya keadaan sosial ekonomi
2. Inspeksi
Dengan penerangan yang baik, lesi kulit harus diperhatikan dan juga kerusakan
kulit.
3. Palpasi
a. Kelainan kulit : nodus, infiltrat, jaringan parut, ulkus, khususnya pada tangan
dan kaki
b. Kelainan saraf : Pemeriksaan saraf dengan teliti, N. Aurikularis magnus,
N.Ulnaris dan N.Peroneus. Harus dicatat adanya nyeri tekan dan penebalan saraf,
pemeriksaan harus simetris .
Pemeriksaan saraf tepi :
o Bandingkan saraf bagian kiri dan kanan
o Membesar atau tidak
o Pembesaran regular (smooth) atau irreguler, bergumpal
o Perabaan keras atau kenyal
o Nyeri atau tidak
4. Tes fungsi saraf
a. Tes Sensoris, dengan menggunakan kapas, jarum serta tabung reaksi berisi air
hangat dan dingin.
b. Tes otonom, berdasarkan adnya gangguan berkeringat di makula anestesi.
o Tes dengan pensil tinta (tes Gunawan)
Pensil tinta digoriskan mulai dari bagian tengah lesi yang dicurigai terus
sampai kedaerah kulit normal.
o Tes Pilocarpin
Daerah kulit pada makula dan perbatasannya disuntikan pilokarpin subkutan
setelah beberapa menit tampak daerah kulit normal berkeringat, sedangkan
daerah lesi tetap kering.

c. Tes motoris
o Voluntary Muscle Test ( VMT )
5. Mencari komplikasi7

X. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
1. Pemeriksaan Bakterioskopis (sayatan kulit)
Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif. Tempat yang paling sering
diambil adalah cuping telinga, lengan, pungung, bokong dan paha atau bisa juga dari
sekret hidung. Dengan cara membuat kerokan pada kulit dengan menggunakan skapel
kemudian hasil kerokan diletakan pada gelas obyek, dapat dibuat beberapa apusan
dari tempat yang berbeda. Preparat apusan dipulas dengan Ziehl-nielsen atau
modifikasi dengan Kinyoun menurut prosedurnya.5
Indeks Bakteri ( IB ) :
1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP
2+ Bila 1-10 BTA dalam 10 LP
3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP
4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP
5+ bila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
6+ bila > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
Indeks Morfologi (IM)
Indeks morfologi dikalkulasi dengan menghitung kuman batang yang solid pada
pewarnaan tahan asam, basil lepra yang diwarnai dengan karbol fuchsin yang solid
merupakan bakteri yang viabel, basil yang terwarna irreguler mungkin karena mati
dan berdegenerasi.3
2. Biopsi Kulit
Biopsi kulit dapat digunakan untuk menunjukan indeks morfologi, yang berguna
untuk evaluasi pengobatan pasien yaitu jumlah bakteri yang viabel per 100 bakteri
pada jaringan lepra.3
3. Tes Lepromin
Lepromin adalah suspensi yang berisi M.Lepra yang dimatikan diambil dari manusia
yang terinfeksi dan jaringan Armadillo. Setelah terjadi inokulasi intradermal, akan
timbul reaksi cepat (48 jam, reaksi Fernandez) juga reaksi lambat (3-4 minggu, reaksi
mitsuda). Reaksi Mitsuda merupakan respon granulomatosis terhadap antigen adalah
lebih tepat. Pasien-pasien dengan kusta tipe TT atau BT mempunyai respon positif
kuat (> 5 mm) akan tetapi pasien dengan tipe LL tidak ada respon. Tes ini merupakan
petunjuk untuk mengetahui fungsi sistem imunitas seluler seseorang. Respon imunitas
seluler terhadap M.Leprae juga dapat dilihat dengan menggunakan Lymphocite
Transformation Test (LTT) dan Lymphocyte Migration Inhibition Test (LMIT). Dasar
test ini adalah untuk mendeteksi antibodi atau antigen M.Leprae.3
4. Tes-tes Serologis
Tes serologi mayor meliputi Fluorescent Antibody absorbtion test (FLA-ABS),
Radioimunoassay (RIA), ELISA, Passive Hemaglutination Assay (PHA), Serum
Antibody Compettion Test (SACT) dan Particle agglutination assay (PAA).
5. Analisa Polymerase Chain Reaction (PCR)
o PCR bisa untuk mendeteksi dan mengidentifikasi M.Leprae.
o Tehnik ini sering digunakan ketika basil tahan asam telah ditemukan
tetapi gambaran klinis atau gambaran histopatologinya atipikal. Test ini tidak
berguna saat basil tahan asam tidak ditemukan dengan mikrosakop cahaya.3
6. Pemeriksaan Histopatologi
o Pada tipe TT didapatkan bangunan epiteloid granuloma dalam papiladermis,
di sekitarnya di dapatkan struktur neovaskuler. Granuloma tertangkap oleh
Limfosit yang meluas ke epidermis dan kadang terbentuk sel datia langhans.
Nervus pada dermal dihancurkan atau mengalami pembengkakan karena adanya
granuloma, tidak didapatkan basil tahan asam.
o Pada tipe LL epidermis normal, daerah yang tidak patologik memisahkan
epidermis dari reaksi granulomatous difus dengan makrofag, sel busa histiosit
yang besar (Virchow atau sel lepra) dan didapatkan banyak basil tahan asam yang
bergabung membentuk globi. Sel epiteloid dan sel datia tidak ditemukan.
Granuloma banyak terdapat di sekitar pembuluh darah, saraf dan kulit kadang
ditemukan banyak sel plasma. Saraf kulit dapat terlihat dengan mudah.
o Tipe BT, Granuloma terdiri dari epiteloid dan limfosit, saraf pada kulit
kebanyakan sudah rusak, basil mungkin ditemukan atau tidak ada.
o Tipe BB, granuloma terdiri dari epiteloid, saraf kulit mungkin masih ada dan
basil terlihat lebih banyak dari tipe BT.
o Tipe BL, granuloma dibangun oleh histiosit, saraf kulit masih ada dan basil
ditemukan lebih banyak dari tipe lainya.2
XI. KOMPLIKASI
Reaksi Kusta
Terminologi reaksi digunakan untuk menggambarkan keadaan mengenai
berbagai gejala dan tanda radang akut lesi penderita kusta,yang dapat dianggap
sebagai kelaziman pada perjalanan penyakit atau bagian komplikasi penyakit kusta.
Seluruh komplikasi penyakit kusta yang dimaksud meliputi :
o Komplikasi jaringan akibat invasi massif M.leprae
o Komplikasi akibat reaksi
o Komplikasi akibat imunitas yang menurun
o Komplikasi akibat kerusakan saraf
o Komplikasi disebabkan resisten terhadap obat antikusta
Penyebab pasti dari reaksi kusta belum diketahui dengan pasti, kemungkinan
reaksi ini menggambarkan reaksi hipersensitifitas akut terhadap antigen basil yang
menimbulkan gangguan keseimbangan imunitas yang telah ada.
Berbagai faktor yang dianggap sering mendahului timbulnya reaksi kusta antara
lain :
o Setelah pengobatan antikusta yang intensif
o Infeksi rekuren
o Pembedahan
o Stress fisik
o Imunisasi
o Kehamilan
o Saat-saat setelah melahirkan
Ada 2 tipe reaksi menurut hipersensitivitas yang menyebabkannya, yaitu:
1. Reaksi lepra tipe 1, yang disebabkan oleh hipersensitivitas seluler
2. Reaksi lepra tipe 2 disebabkan oleh hipersensitivitas humoral
3. Fenomene Lucio atau reaksi kusta tipe 3, yang merupakan lanjutan dari reaksi
tipe 2.7
Raksi Kusta tipe I
Menurut Jopling reaksi kusta tipe 1 adalah delayed hypersensitivity reaction.
Antigen yang berasal dari basil yang telah mati akan bereaksi dengan limfosit T
disertai perubahan sistem imunitas seluler yang cepat. Jadi pada dasarnya reaksi
kusta tipe 1 ini terjadi akibat perubahan keseimbangan antar imunitas seluler dan
basil maka hasil akhir reaksi tersebut dapat terjadi upgrading/reversal apabila
menuju ke arah tuberkuloid (terjadi peningkatan SIS) atau down grading apabila
menuju ke bentuk lepromatosa (terjadi penurunan SIS).2

Reversal Reaction
Secara garis besar manifestasi dari reaksi kusta tipe 1 dapat digolongkan
sebagai berikut :
Organ yang Reaksi ringan Reaksi berat
diserang
Kulit Lesi kulit yang telah ada Lesi yang telah ada menjadi
menjadi lepromatosa eritematosa. Timbul lesi baru
kadang-kadang disertai panas dan
malaise.
Saraf Membesar tidak nyeri Mrmbesar, nyeri, fungsi terganggu
fungsi tidak terganggu. berlangsung lebih dari 6 minggu
lesi kurang dari 6 minggu
Kulit dan Lesi yang telah ada Lesi kulilt yang eritematosa disertai
saraf menjadi lebih ulserasi atau edema pada
bersama-sama eritematosa, nyeri saraf tangan/kaki dan fungsinya
berlangsung kurang dari terganggu, berlangsung > 6 mg
6 minggu

Reaksi Kusta tipe II


Reaksi kusta tipe 2 ini dikenal dengan nama Eritema Nodusum Leprosum
(ENL). Reaksi ini merupakan reaksi hipersensitivitas tipe III menurut comb dan
Gell, antigen berasal dari produk kuman yang telah mati dan bereaksi dengan
antibody membentuk kompleks Ag-Ab yang mengaktivasi komplemen sehingga
terjadi ENL. Jadi ENL merupakan reaksi humoral yang merupakan manifestasi
sindrom komplek imun. Terutama terjadi pada bentuk LL dan kadang-kadang pada
bentuk BL, biasanya terjadi gejala sistemik.
Baik Reaksi tipe 1 maupun tipe 2 ada hubungannya dengan pemberian
pengobatan antikusta hanya saja reaksi tipe 2 tidak lazim terjadi pada 6 bulan
pertama pengobatan, tetapi justru terjadi pada akhir pengobatan karena basil telah
menjadi granular. Selain itu pada reaksi ini tidak terlihat gambaran perubahan lesi
kusta.

Erythema Nodosum leprosum


Manifestasi reaksi lepra tipe 2 dapat sebagai berikut :
Organ yang Reaksi ringan Reaksi berat
diserang
Kulit Timbul sedikit nodus yang banyak nodus yang nyeri dan
beberapa diantaranya terjadi mengalami ulserasi disertai
ulserasi. Disertai demam demam tinggi dan malaise
ringan dan malaise
Saraf Saraf membesar tetapi nyeri Saraf membesar ,nyeri dan
dan fungsinya tidak fungsinya terganggu.
terganggu
Mata Tidak ada gangguan Nyeri, penurunan visus dan
merah di sekitar limbus
Testis Lunak,tidak nyeri Lunak, nyeri dan membesar
Kulit, saraf, Gejalanya seperti tersebut Gejalanya seperti tersebut
mata dan testis diatas diatas disertai keadaan sakit
bersama-sama yang keras dan nyeri yang
sangat.

Fenomena Lucio
Lucio leprosy (diffuse non-nodular type of leprosy ) yang ditetapkan pertama
kali oleh Lucio dan Alvarado pada tahun 1852 di mexico adalah salah satu tipe dari
kusta dengan gambaran klinik kusta tipe muiltibasiler. Gambaran klinis lcio leprosy
umumnya status generalis tidak ditemukan kelainan, kulit terlihat eritem yang
menebal dan mengkilat, kerontokan rambut, penebalan kelopak mata sehingga
penderita terlihat mengantuk dan melankolik. Penurunan sensoris terjadi biasanya
setelah kelainan kulit menghilang. Sama seperti pada kusta tipe lepromatosa dapat
terjadi edema dan ulkus pada kedua tungkai.
Ulserasi juga dapat terjadi pada mukosa hidung menyebabkan gejala-gejala
hidung dan epistaksis, mengenai laring sehingga suara menjadi serak dan iktiosis
pada fase lanjut. Namun demikian tidak terdapat nodul, kelemahan motorik,
kontraksi jari-jari dan kerusakan mata.
Pemeriksaan laboratorium biasanya didapatkan anemia normokrom normositer
ringan dan pada pemeriksaan bubur jaringan kulit dengan pewarnaan Zeihl Neelsen
ditemukan banyak basil tahan asam. Kerusakan akibat kusta dapat menyebabkan
ulserasi, selulitis, skar da destruksi tulang. Kerusakan pada mata dapat terjadi
lagoftalmus, ectropion dan entropion.10
Lucio phenomenon

Klasifikasi Cacat
Cacat pada tangan dan kaki
Tingkat 0:
Tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau deformitas yang
terlihat
Tingkat 1:
Ada gangguan sensibilitas tanpa kerusakan atau deformitas yang terlihat
Tingkat 2:
Terdapat kerusakan atau deformitas

Cacat pada mata


Tingkat 0 :
Tidak ada gangguan pada mata akibat kusta; tidak ada gannguan penglihatan
Tingkat 1 :
Ada gangguan pada mata akibat kusta; tidak ada gangguan penglihatan
Tingkat 2 :
Gangguan penglihatan berat (visus < 6/60;tidak dapat menghitung jari pada jarak
6 meter

XII. DIAGNOSIS BANDING


Beberapa hal penting dalam menentukan diagnosis banding :
o Ada macula hipopigmentasi
o Pemeriksaan bakteriologi memperlihatkan basil tahan asam
o Ada daerah anestesi
o Ada pembengkaan saraf tepi atau cabang-cabangnya.

Tipe I ( Makula hipopigmentasi ) :


o Tinea versikolor
o Vitiligo
o Ptiriasis Rosea
o Dermatitis seboroika
o Liken simplek kronik
Tipe TT ( Makula eritematosa dengan pinggir meninggi )
o Tinea Corporis
o Psoriasis
o Lupus eritematosus tipe discoid
o Ptiriasis rosea
Tipe BT, BB, BL (Infiltrat merah tak berbatas tegas)
o Selulitis
o Erisipelas
o Psoriasis
Tipe LL ( Bentuk nodula )
o Lupus eritematosis sistemik
o Dermatomiositis
o Erupsi obat

XIII. PENATALAKSANAAN
Tujuan farmakoterapi pada penderita kusta adalah untuk mengurangi
morbiditas, mencegah komplikasi dan menghilangkan penyakit ini nantinya.7
Manajemen paenatalaksanaan penderita mencakup terapi medikamentosa
diantaranya kemoterapi untuk menghentikan proses infeksi, penatalaksanaan untuk
meminimalkan deformitas berupa rehabilitasi fisik, sosial dan psikologi. Deformitas
potensial dapat dicegah dengan memberi edukasi pada pasien tentang adanya
kerusakan saraf dengan perawatan diri untuk mengurangi kerusakan yang lain.
Mengetahui perjalanan penyakit pasien sangat penting untuk mengetahui
kepatuhan pasien dalam berobat, memonitor resistensi terhadap obat dan reaksi yang
timbul akibat obat.

A. MEDIKAMENTOSA
Progaram Multi Drug Terapi (MDT) dimulai pada tahun 1981 yaitu ketika
kelompok studi kemoterapi WHO secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan
kusta dengan kombinasi yang selanjutnya dikenal sebagai rejimen MDT-WHO.
Rejimen ini terdiri atas kombinasi obat-obatan Dapson, Rifampisin dan klofasimin.
Kombinasi obat-obatan ini dapat membunuh bakteri patogen dan menyembuhkan
pasien.
MDT adalah suatu terapi yang aman, efektif dan mudah didapatkan oleh
penderita yang kurang mampu.
Obat-obat pada rejimen MDT-WHO
1. Dapson (DDS, 4,4 diamino difenil sulfon). Obat ini bersifat bakteriostatik
dengan menghambat enzim dihidrofolat sintetase. Jadi tidak sperti pada kuman
lain, dapson bekerja sebagai anti metabolit PABA. Resistensi terhadap dapson
timbul sebagai akibat kandungan enzim sintetase yang terlalu tinggi pada kuman
kusta. Dapson biasanya diberikan dalam dosis tunggal, yaitu 50-100 mg/hari
untuk dewasa atau 2 mg/kg BB untuk anak-anak. Indeks morfologi kuman pada
penderita LL yang diobati dengan dapson biasanya menjadi 0 setelah 5 sampai 6
bulan. Obat sangat murah, efektif dan relatif aman. Efek samping yang mungkin
timbul antara lain : erupsi obat, Anemia hemolitik, leukopenia, insomnia
neuropati, nekrosis epidermal toksik, hepatitis dan methemoglobinemia. Namun
efek samping tersebut jarang dijumpai pada dosis lazim.
2. Rifampisin merupakan obat yang paling ampuh saat ini untuk kusta dan
bersifat bakterisidal kuat pada dosis lazim. Rifampisin bekerja dengan
menghambat enzim polimerase RNA yang berikatan secara irreversibel. Dosis
tunggal 600 mg/hari (atau 5-15 mg/kg bb) mampu membunuh kuman kira-kira
99,9 % dalam waktu beberapa hari. Pemberian seminggu sekali dengan dosis
tinggi ( 900-1200 mg) dapat menimbulkan gejala yang disebut flu like syndrom.
Pemberian 600 mg atau 1200 mg sebulan sekali ditoleransi dengan baik. Efek
samping yang harus diperhatikan adalah : hepatotoksik, nefrotoksik, gejala
gastrointestinal dan erupsi kulit. Obat ini harganya mahal dan saat ini telah
dilaporkan adanya resistensi.
3. Klofazimin (lamprene CIBA GEIGY : B-663). Obat ini merupakan turunan
zat warna iminofenazine dan mempunyai efek bakteriostatik sama dengan
dapson. Bekerjanya mungkin melalui gangguan metabolisme radikal oksigen. Di
samping itu obat ini juga mempunyai efek antiinflamasi sehingga berguna untuk
pengobatan reaksi kusta khususnya : ENL. Dosis untuk kusta adalah 50 mg/hari
atau 100 mg tiga kali seminggu dan untuk anak-anak 1mg/kg BB/hari. Selain itu
dosis bulanan 300 mg juga diberikan setiap bulan untuk mengurangi reaksi tipe 1
dan 2. Kekurangan obat ini harganya mahal di samping itu menyebabkan
pigmentasi kulit yang sering merupakan masalah pada ketaatan penderita. Efek
sampingnya hanya terjadi pada dosis tinggi,berupa gangguan gastrointestinal
(Nyeri abdomen, diare, anoreksi dan vomitus).
4. Etionamid dan protionamid, Kedua obat ini merupakan obat antituberkulosis
dan hanya sedikit dipakai pada kusta. Dahulu dipakai sebagai pengganti
klofazimin, pada kasus-kasus yang keberatan karena pigmentasinya obat ini
bekerja bakteriostatik tetapi karena cepat tiombul resistensi, lebih toksik
harganya mahal serta efek hepatotoksiknya, maka sekarang tidak dianjurkan lagi
pada rejimen pengobatan kusta.

Skema Rejimen MDT-WHO


Rejimemen MDT-WHO baku terdiri atas kombinasi obat-obatan dapson, Rifampisin
dan klofazimin dengan skema menurut WHO sebagai berikut :
1. Rejimen PB untuk kusta PB, terdiri atas Rifampisin 600 mg sebulan
sekali, di bawah pengawasan ditambah dapson 100 mg/hr (1-2
mg/kgBB) selama 6 bulan
2. Rejimen MB untuk kusta MB, terdiri atas kombinasi Rifampisisn 600
mg sebulan sekali di bawah pengawasan, dapson 100 mg/hari swakelola,
ditambah klofazimin 300 mg sebulan sekali diawasi dan 50 mg/hari
swakelola. Lama pengobatan minimal 2 tahun dan juga mungkin sampai
BTA negatif. Dosis tersebut merupakan dosis dewasa untuk anak-anak
disesuaikan dengan berat badan
Obat dan dosis Rejimen MDT-PB
Obat Dewasa Anak

BB< 35 kg BB > 35 kg 10-14 tahun

Rifampisin 450 mg/bln 600 mg/bln 450 mg/bln


(diawasi) (diawasi) (diawasi)

Dapson (swakelola) 50 mg/hr (1-2 mg/kg BB/hr) 100mg/hr 50 mg/hr


1-2 mg/kgBB/hari)

Obat kusta dalam Rejimen MDT MB


Obat Dewasa Anak

BB<35 kg BB . 35 kg 10-14 tahun

Rifampisin 450mg/bln (diawasi) 600mg/bulan (diawasi) 450 mg/bln


(12-15 mg/kgBB/bl)
(diawsi

Klofazimin 300 mg/bln diawasi dan 200 mg/bln diawasi


diteruskan 50 mg/hr diteruskan 50 mg
swakelola selang sehari

Dapson swakelola 50 mg/hr 100mg/hari 50 mg/hari


(1-2 mg/kg BB/hari)

Obat Kusta baru


Dalam pelaksanaanya program MDT WHO masih ada beberapa masalah yang
timbul, yaitu adanya persisten, resistensi, rifampisin dan lamanya pengobatan
terutama untuk kusta MB. Untuk penderita kusta PB rejimen MDT-PB juga masih
menimbulkan beberapa masalah antara lain: masih menetapnya lesi kulit setelah 6
bulan pengobatan dan late reversal Reaction yang timbul setelah MDT. Oleh karena
itu diperlukan obat-obat baru dengan mekanisme bakterisidal yang berbeda dengan
obat-obat rejimen MDT saat ini, obat-obat kusta baru yang ideal memiliki syarat
antara lain : bersifat bakterisidal kuat terhadap M.Leprae, tidak antagonis dengan obat
yang sudah ada aman dan akseptabilitas penderita baik dapat di berikan per oral dan
sebaiknya diberikan tidak lebih dari sekali sehari. Obat-obatan yang dipakai yaitu :
1. Ofloksasin 400 mg/hari diberikan bersama rifampisin 600mg/hari selama 1 bulan
baik untuk penderita kusta MB atau PB
2. Minosiklin 100 mg/hari
3. Klaritromisin 500 mg/hari untuk penderita kusta tipe MB.2

B. NON MEDIKAMENTOSA
Edukasi :
- Pasien harus diberi penjelasan tentang diagnosis dan prognosis
penyakitnya.
- Pasien harus diberitahu bagaimana tentang hilangnya sensasi rasa yang
terjadi, pasien harus berhati-hati dan mencegah terjadinya trauma dengan
menggunakan alas kaki.
- Mengetahui kapan terjadinya anestesi pada anggota tubuh dan
kelemahanya serta kerusakan pada matanya.
- Pasien harus mempelajari bagaimana mengenal timbulnya reaksi kusta
dan ia harus mendapatkan pengobatan secepatnya jika hal ini terjadi.
- Deforrmitas yang potensial kemungkinan biasa dicegah jika penderita
dapat mengatasi kerusakan saraf sejak dini dan berlatih untuk mengurangi
kerusakan lebih lanjut.
- Kemungkinan pasien membutuhkan konsultasi psikologi dalam
menghadapi penyakitnya untuk mengatasi stigma yang beredar di masyarakat.
- Fisio terapi dan terapi okupasi dibutuhkan sebagai rehabilitasi.
- Penggunaan obat sesuai aturan dan memperhatikan cara pemakaian,
jangan terlalu berlebihan karena dapat menyebabkan iritasi.7
DAFTAR PUSTAKA

1. Prof. Dr.dr. H. Muh. Dali Amiruddin. Penyakit Kusta. Dalam : Marwali Harahap, Prof.,
Dr.(Ed), Ilmu Penyakit Kulit. Hipokrates, Jakarta. 2000 : 260-76
2. WHO Media Centre. Leprosy. Available from: http//www. whoint.co.id
3. Sidharta. What is Leprosy ?. Available from : http//www.medline.com
4. Rea, L Modlin. Leprosy. In : Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 6th ed. Vol.
I, Mc Graw Hill, New York, 2003 : 1962-1972
5. Djuanda A. Kusta. Dalam : Kosasih, I made Wisnu, Syamsoe- Daili, Menaldi. Penyakit
Kulit dan Kelamin. Edisi III. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2002 ; 173-80.
6. Siregar RS. Kusta. Dalam : Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. EGC. Jakarta. 1996.
Hal : 179-186.
7. Djuanda A. Kusta Diagnosis dan Penatalaksanaan.Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 1997.
8. Graham R, Tony Burns. Infeksi Bakteri dan Virus. Dalam : Lecture Notes Dermatology.
EMS. Edisi Kedelapan. Balai Penerbit Erlangga. Jakarta. 2002. Hal : 23-25
9. Riddley S. The Pathogenesis Of A Skin Lession. In : Skin Biopsy in Leprosy Histological
interpretation and Clinical Application. Second Edition 1985. CIBA-GEIGY Limited,
Basle (Switzerland).Pp: 17-22
10. A.Haris L.,dkk.Lucio Leprosy .Dalam :Perkembangan penyakit kulit kelamin di
Indonesia menjelang Abad 21.Erlangga University Pers.Surabaya.1999

Anda mungkin juga menyukai