Anda di halaman 1dari 28

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Di Indonesia, prevalensi stroke mencapai angka 8,3 per 1.000
penduduk. Daerah yang memiliki prevalensi stroke tertinggi adalah Nanggroe
Aceh Darussalam (16,6 per 1.000 penduduk) dan yang terendah adalah Papua (3,8
per 1.000 penduduk). Menurut Riskesdas tahun 2007, stroke, bersama-sama
dengan hipertensi, penyakit jantung iskemik dan penyakit jantung lainnya, juga
merupakan penyakit tidak menular utama penyebab kematian di Indonesia. Stroke
menempati urutan pertama sebagai penyebab kematian utama semua usia di
Indonesia1.
Transient Ischemic Attack (TIA) merupakan suatu defisit neurologis
secara tiba-tiba dan defisit tersebut berlangsung hanya sementara (tidak lebih lama
dari 24 jam). Ketika otak kehilangan suplai darah, otak akan mencoba
memulihkan aliran darah. Jika suplai darah dapat dipulihkan, maka fungsi dari
sel-sel otak yang terkena dapat berfungsi kembali. Hal inilah yang terjadi pada
TIA (Transient Ischemic Attack) atau serangan stroke sementara atau mini stroke2.
Transient ischemic attack merepresentasikan suatu keadaan gawat
darurat dan merupakan sebuah tanda awal akan terjadinya stroke. Diperkirakan
hampir 1/3 pasien stroke mengalaminya. Resiko terbesar pada penyakit stroke
adalah pada saat 48 jam pertama setelah terjadinya TIA, dan evaluasi awal pada
instalasi gawat darurat merupakan kesempatan untuk mengidentifikasi keadaan
yang beresiko kearah rekurensi serangan stroke3.
Pusat perhatian dalam penanganan TIA sebaiknya ditujukan untuk
membedakan antara TIA dengan stroke dan tanda-tanda penyerta. Diagnosis yang
akurat didapatkan melalui riwayat onset mendadak dari tanda-tanda adanya proses
iskemik pada daerah vaskuler, disertai dengan pemeriksaan fisik dan
neuroimaging yang menunjukan tidak adanya proses infark pada otak. TIA jarang
ada yang berlangsung hingga lebih dari 1 jam, dan definisi yang menggunakan
patokan durasi 24 jam. Ketika diagnosis telah ditentukan, kriteria resiko klinis
dapat membantu penemuan pada pencitraan untuk mengidentifikasi resiko pasien
terkena serangan berulang3.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk membuat suatu
referat yang berjudul Transient Ischemic Attack. Pada referat ini akan dibahas
perkembangan dari konsep penanganan TIA. Mulai dari definisi, patofisiologi,
gejala, penegakan diagnosis, dan penatalaksanaan TIA.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Transient Ischemic Attack (TIA) merupakan suatu defisit neurologis secara
tiba-tiba dan defisit tersebut berlangsung hanya sementara (tidak lebih lama dari
24 jam) 4. Sekelompok ahli baru-baru ini mendefinisikan TIA sebagai episode
singkat disfungsi neurologis yang disebabkan oleh iskemik otak fokal atau retina,
dengan gejala klinis biasanya berlangsung < 1 jam, dan tanpa bukti infark akut.
Setiap definisi memiliki kelebihan dan kekurangan, dan definisi yang tepat saat ini
masih dalam perdebatan. Kebanyakan penelitian yang dilakukan telah
menggunakan definisi klasik, yaitu defisit neurologis berlangsung < 24 jam
karena iskemik fokal di otak atau retina5.

2.2 EPIDEMIOLOGI
Sekitar 200.000 sampai 500.000 TIA didiagnosis setiap tahun di Amerika
Serikat. TIA membawa risiko jangka pendek sangat tinggi terhadap stroke, dan
sekitar 15 % dari stroke didiagnosis didahului oleh TIA .
Insiden TIA meningkat dengan bertambahnya usia, dari 1-3 kasus per
100.000 pada usia yang lebih muda dari 35 tahun meningkat menjadi 1.500 kasus
per 100.000 pada usia lebih dari 85 tahun. Kurang dari 3 % dari semua infark
serebral besar terjadi di anak-anak. Stroke Pediatric sering memiliki etiologi yang
sangat berbeda dari stroke dewasa dan cenderung terjadi dengan frekuensi lebih
sedikit.
Insiden TIA pada pria (101 kasus per 100.000 penduduk) secara signifikan
lebih tinggi dibandingkan pada wanita (70 per 100.000). Insiden TIA di kulit
hitam (98 kasus per 100.000 penduduk) lebih tinggi dibandingkan dalam putih (81
per 100.000 penduduk)6.

3
2.3 ETIOLOGI
Transient Ischemic Attack (Serangan Iskemik Sesaat) disebabkan oleh
faktor penyebab yang sama dengan stroke. Iskemia adalah istilah kedokteran yang
biasa digunakan untuk menggambarkan penurunan suplai darah dan oksigen pada
sel. Stroke iskemik terjadi saat arteri yang mensuplai perdarahan otak mengalami
gangguan. Keadaan ini bisa disebabkan oleh stenosis dari arteri, yang
mengganggu aliran darah, kemudian menyebabkan turbulensi yang dapat
membentuk trombus. Klot tersebut dapat terbentuk pada arteri yang
memperdarahi otak, atau dapat terjadi pada bagian tubuh lainnya yang kemudian
terbawa sampai ke otak7.
Partikel bebas yang terbawa arus dinamakan embolus, dan klot yang
terbawa bebas dinamakan tromboemboli. Klot lokal dan yang berasal dari bagian
tubuh lainnya merupakan penyebab utama dari stroke dan TIA. Emboli otak yang
paling sering menjadi penyebab stroke berasal dari arteri carotis pada leher7.
Faktor resiko terjadinya TIA sama dengan faktor resiko penyebab stroke.
Definisi dari faktor resiko sendiri, yaitu karakteristik, tanda atau kumpulan gejala
pada penyakit yang diderita individu yang mana secara statistik berhubungan
dengan peningkatan kejadian kasus baru berikutnya (beberapa individu lain pada
suatu kelompok masyarakat). Beberapa faktor resiko TIA ada yang dapat
dimodifikasi dan ada yang tidak. Faktor yang dapat dimodifikasi yaitu7:
- Hipertensi
Merupakan penyebab utama pada stroke. Meskipun seseorang dengan
peningkatan tekanan darah sedang, tetap memiliki resiko lebih tinggi
untuk terkena stroke dibandingkan seseorang dengan tekanan darah
yang normal. Peningkatan darah ringan hingga besar pada seseorang
meningkatkan kejadian terkena stroke pada individu tersebut hingga 10
kali lipat. Tekanan darah yang lebih tinggi berarti resiko yang
meningkat. Meskipun pengurangan tekanan diastol yang hanya sebesar
6 mmHg, nilai tersebut dapat menurunkan resiko stroke sebesar 42%.

4
- Merokok
Merokok saat ini telah menunjukkan dapat meningkatkan kejadian
hipertensi, aterosklerosis, dan peningkatan resiko terkena stroke
hingga 2 sampai 4 kali dibandingkan dengan individu yang tidak
merokok. Teradapat hubungan respon berdasarkan dosis antara
merokok dengan kejadian iskemia serebral, perokok berat memiliki
resiko yang lebih tinggi.
Konsumsi tembakau lebih dari satu bungkus sehari dapat
melipatgandakan resiko terkena stroke. Berhenti merokok selama 5
tahun akan mengurangi resiko terjadinya stroke hingga sama dengan
resiko pada orang yang tidak pernah merokok.

- Penyakit Jantung dan Aritmia


Keadaan ini juga sering menjadi penyebab stroke, namun beberapa
keadaan tersebut bersifat kongenital. Tipe aritmia yang dinamakan
atrial fibrilasi seringkali dihubungkan dengan terjadinya stroke. AF
dapat meningkatkan kejadian stroke dan terbentuknya emboli hingga 5
kali lipat.

- Konsumsi Alkohol
Hubungan antara konsumsi alkohol dan stroke merupakan sesuatu
yang kompleks. Konsumsi alkohol dengan jumlah sedikit dapat
menurunkan resiko terjadinya stroke, sedangkan mengkonsumsi
alkohol dalam jumlah yang banyak dapat meningkatkan kejadian
stroke hingga 2-5 kali.
- Diabetes melitus meningkatkan resiko penyakit kardiovaskuler dan
serebrovaskuler. Kadar gula darah yang terkontrol dapat menurunkan
resiko terjadinya stroke. Peningkatan kejadian serangan awal dari
stroke meningkat sebanyak 2-6,5 kali pada wanita dan 1,5-2 kali pada
pria.

5
Berikut merupakan faktor yang tidak dapat dimodifikasi7:
- Jenis Kelamin
Pria memiliki kecenderungan terkena stroke sebanyak 1,25 kali lebih
besar dibandingkan dengan wanita, namun karena wanita rerata usia
hidupnya lebih lama dibandingkan pria, lebih banyak wanita yang mati
karena stroke tiap tahunnya.

- Usia
Usia adalah salah satu faktor resiko tunggal yang paling penting pada
stroke. Setiap individu di atas 55 tahun memiliki resiko 2 kali lipat
untuk terkena stroke, baik pada pria maupun wanita.
- Genetik
Peningkatan kejadian stroke pada suatu keluarga telah lama dicatat.
Penyebab faktor familial juga berperan pada stroke antara lain adalah
karena faktor keturunan yang cenderung mengidap stroke, faktor
keturunan terhadap faktor resiko stroke lain, dan pola hidup keluarga
tersebut. Penelitian belakangan ini menemukan bahwa terdapat
peningkatan reisko pada pria dengan ibu yang meninggal akibat stroke
dan wanita yang memiliki stroke pada riwayat penyakit keluarga.
- Ras
Kejadian stroke dan angka mortalitas sangat bervariasi antara ras satu
dengan lainnya. Ras kulit hitam memiliki resiko sebesar 2 kali lipat
untuk terkena stroke dibandingkan dengan ras kulit putih. Pada usia
45-55 tahun, angka kematian pada ras Afirka-Amerika meningkat 4
sampai 5 kali dibandingkan dengan ras kulit putih, perbedaan tersebut
berkurang seiring dengan peningkatan usia.
Ras asia, terutama suku Cina dan Jepang, memiliki angka kejadian
stroke yang tinggi. Kejadian stroke dan angka kematiannya di Jepang
sangat tinggi belakangan ini yang sebagian besar disebabkan oleh
penyakit jantung.

6
Beberapa penyebab potensial terjadinya stroke telah dapat diindentifikasi,
termasuk di antaranya6:
- Aterosklerosis pada arteri karotis eksterna dan arteri vertebral serta
arteri intrakranial.
- Embolus: akibat dari penyakit katup, trombus pada ventrikel,
pembentukan trombus akibat atrial fibrilasi, kelainan pada arkus aorta,
pembentukan emboli akbibat foramen oval yang paten (PFO) atau
defek pada septum atrium (ASD).
- Disesksi pembuluh darah arteri
- Arteritis yang disebabkan proses inflamasi pada arteri yang terjadi
terutama pada usia lanjut, lebih sering pada wanita; karena
noninfectious necrotizing vasculitis (penyebab utama); obat-obatan;
radiasi, trauma lokal, dan penyakit jaringan ikat.
- Obat-obatan simpatomimetik
- Lesi akibat masa (tumor atau subdural hematoma), kejadian ini jarang
menimbulkan gejala yang sesaat (TIA), lebih mengarah kepada gejala
yang progresif dan persisten.
- Hiperkoagulasi (akibat genetik, kanker, maupun proses infeksi)

2.4 PATOFISIOLOGI
2.4.1 Patogenesis Infark Otak
Derajat ambang batas aliran darah otak yang secara langsung berhubungan
dengan fungsi otak, yaitu:
a. Ambang fungsional adalah batas aliran darah otak (50-60cc/100gr/menit),
yang bila tidak terpenuhi akan menyebabkan terhentinya fungsi neuronal,
tetapi integritas sel-sel masih tetap utuh.
b. Ambang aktivitas listrik otak (threshold of brain electrical activity), adalah
batas aliran darah otak (15cc/100gr/menit) yang bila tidak tercapai, akan
menyebabkan aktivitas listrik neuronal terhenti, berarti sebagian struktur
intrasel telah berada dalam proses disintegrasi.

7
c. Ambang kematian sel (threshold of neuronal death), yaitu batas aliran
darah otak yang bila tidak terpenuhi, akan menyebabkan kerusakan total
sel-sel otak (CBF < 15cc/100gr/menit)8.

Pengurangan aliran darah yang disebabkan oleh sumbatan atau sebab lain
akan menyebabkan iskemia di suatu daerah otak. Terdapatnya kolateral di daerah
sekitarnya disertai mekanisme kompensasi fokal berupa vasodilatasi,
memungkinkan terjadinya beberapa keadaan berikut ini8:
a. Pada sumbatan kecil, terjadi daerah iskemia yang dalam waktu singkat
dikompensasi dengan mekanisme kolateral dan vasodilatasi lokal. Secara
klinis gejala yang timbul adalah transient ischemic attack (TIA), yang
dapat berupa hemiparesis sepintas atau amnesia umum sepintas, yang
berlangsung selama 24 jam.
b. Bila sumbatan agak besar, daerah iskemia lebih luas. Penurunan CBF
regional lebih besar, tetapi dengan mekanisme kompensasi mampu
memulihkan fungsi neurologik dalam waktu beberapa hari sampai dengan
2 minggu. Mungkin pada pemeriksaan klinik terdapat sedikit gangguan.
Keadaan ini secara klinis disebut RIND (Reversible Ischemic Neurology
Deficit).

8
c. Sumbatan yang cukup besar menyebabkan daerah iskemia yang luas,
sehingga mekanisme kolateral dan kompensasi tidak dapat mengatasinya.
Dalam keadaan ini akan timbul defisit neurologis yang berlanjut.

Pada iskemia otak yang luas, tampak daerah yang tidak homogen akibat
perbedaan tingkat iskemia, yang terdiri dari 3 lapisan (area) yang berbeda8:
1. Lapisan inti yang sangat iskemik (ischemic-core) terlihat sangat pucat
karena CBF-nya paling rendah. Tampak degenerasi neuron, pelebaran
pembuluh darah tanpa adanya aliran darah. Kadar asam laktat di
daerah ini tinggi dengan PO2 yang rendah. Daerah ini akan mengalami
nekrosis.
2. Daerah di sekitar ischemic-core yang CBF-nya juga rendah, tetapi
masih lebih tinggi daripada daerah ischemic-core. Walaupun sel-sel
tidak mengalami kematian, namun terjadi functional paralysis. Pada
daerah ini PO2 rendah, PCO2 tinggi, dan asam laktat meningkat. Tentu
saja terdapat kerusakan neuron dalam berbagai tingkat, edema jaringan
akibat bendungan dengan dilatasi pembuluh darah dan jaringan
berwarna pucat. Biasanya disebut sebagai ischemic penumbra. Daerah
ini masih mungkin diselamatkan dengan resusitasi dan manajemen
yang tepat.
3. Daerah di sekeliling penumbra tampak berwarna kemerahan dan
edema. Pembuluh darah mengalami dilatasi maksimal, PCO 2 dan PO2
tinggi dan kolateral maksimal. Pada daerah ini CBF sangat meninggi
sehingga disebut sebgai daerah luxury perfusion.

2.5 TANDA DAN GEJALA KLINIS


Gejala TIA sangat bervariasi antara pasien, namun gejala pada individu
tertentu cenderung sama. Beberapa gejala yang dapat ditemukan:

9
onsetnya tiba-tiba dan tanpa peringatan, dan pemulihan biasanya terjadi
dengan cepat, sering dalam beberapa menit
mati rasa mendadak atau kelemahan pada wajah, lengan atau kaki,
terutama pada satu sisi tubuh
tiba-tiba kesulitan melihat pada satu atau kedua mata
kebingungan mendadak, kesulitan berbicara atau memahami
tiba-tiba kesulitan berjalan, pusing, kehilangan keseimbangan atau
koordinasi
tiba-tiba sakit kepala parah dengan tidak diketahui penyebabnya

Gejala TIA juga dapat tergantung dari daerah otak yang mengalami
kekurangan darah. Secara klinis, TIA dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu:
a. TIA sistem karotis
Jika kelainan terjadi pada subendotelium arteria karotis interna dapat
timbul 2 kemungkinan:
- stenosis yang menimbulkan insufisiensi vaskuler dan
- sumber embolisasi yang menimbulkan oklusi di arteri serebral.
Bila terjadi embolisasi dari plaque atheromatosa di dinding arteri
karotis interna, maka setiap arteri serebral dapat menjadi sasaran oklusi.

10
Tetapi karena pola percabangannya, maka yang paling sering menjadi
sasaran embolisasi tersebut ialah arteri serebri anterior dan yang kedua
adalah arteri serebri posterior.
Buta sesisi yang sementara dan seringkali timbul secara berulang-
ulang (buta fugax) merupakan manifestasi embolisasi yang bersumber
pada arteri karotis interna. Sindroma oklusi arteri karotis interna yang
mudah dimengerti ialah gambaran penyakit yang timbul akibat oklusi di
dinding arteri karotis interna tepat pada orifisium arteria oftalmika, sebagai
cabang pertama dari arteri karotis interna.
Gejala yang bangkit ialah buta mutlak pada sisi ipsilateral (sisi
oklusi) dengan hemiparesis sisi kontralateral. Tanda yang dapat dijumpai
pada sindroma tersebut ialah tekanan intra-arteriil pada arteri-arteri retinal
yang rendah.
b. TIA sistem vertebrobasiler
Oklusi vertebrobasilar atau cabang-cabangnya dapat menimbulkan
gejala-gejala saraf otak, gangguan serebelar, gerakan involunter dan
gerakan tangkas yang dikenal sebagai sindroma pontin, sindroma
mesensefalon atau sindroma medulla oblongata. Ciri pokoknya ialah
adanya sifat alternans. Gangguan saraf otak timbul pada sisi ipsilateral
yang berkombinasi dengan gangguan ketangkasan gerakan atau
kelumpuhan pada anggota gerak sisi kontralateral. Atau gangguan saraf
otak ipsilateral yang berkombinasikan dengan hemihipestesia sisi
kontralateral. Gangguan serebelar yang bangkit bersifat ipsilateral
sedangkan gerakan involunter dijumpai pada sisi kontralateral4.

2.6 DIAGNOSIS
Gejala dan tanda-tanda TIA kebanyakan telah menghilang pada saat
individu yang terkena tiba di rumah sakit. Oleh karena itu, riwayat kesehatan
orang yang terkena mungkin menjadi dasar konfirmasi diagnosis TIA. Setelah tiba

11
di rumah sakit, pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan neurologis dan
pemeriksaan tekanan darah harus dilakukan. Beberapa pemeriksaan penunjang
juga dibutuhkan untuk mendiagnosis TIA.

2.6.1 Laboratorium
Pada evaluasi awal dari gejala TIA, kadar glukosa darah dan serum
elektrolit sebaiknya diukur untuk menyingkirkan adanya hipoglikemia atau
elektrolit imbalans yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran. Pemeriksaan
darah lengkap dan waktu koagulasi dapat membantu dalam menemukan adanya
penyakit yang menyangkut proses perdarahan dan terbentuknya trombosis. Pada
pasien muda, saat terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP, intoksikasi obat, atau
penyakit pembekuan darah, pemeriksaan tambahan untuk menyingkirkan penyakit
tersebut sebaiknya dilakukan, seperti rapid plasma reagen testing, pemeriksaan
CSF, screening obat pada urin, dan pemeriksaaan hiperkoagulabilitas lengkap.
Kadar lipid puasa juga harus diukur untuk mengetahui adanya resiko
kardiovaskular. Pemeriksaan kadar kolesterol berguna untuk penentuan dosis
penggunaan awal statin untuk mencapai target kadar LDL10.
Pada perawatan penderita di rumah sakit, maka pemeriksaan rutin
laboratorium selalu dikerjakan, misalnya: hemoglobin (Hb), LED, eritrosit,
trombosit, leukosit, hitung jenis, hematokrit (Ht), serta pemeriksaan hemostasis
lengkap termasuk kadar fibrinogen dan viskositas darah. Selain itu dilakukan juga
pemeriksaan kimia darah lengkap termasuk kolesterol, lipid, dan trigliserida. Dari
pemeriksaan ini diketahui kemungkinan polisitemia dan hiperviskositas darah8.
Pemeriksaan foto kepala dan servikal juga merupakan pemeriksaan yang
dikerjakan pada penderita TIA. Foto vertebra servikal, lateral, dan oblique kanan
dan kiri bermanfaat untuk melihat foramina vertebralis, apakah ada osteofit yang
akan mengganggu atau menekan arteri vertebralis, dan pada gerakan leher dapat
menyebabkan TIA8.
AHA/ASA merekomendasikan pemeriksaan neroimaging dalam 24 jam
pertama setelah onset. MRI DWI dipilih sebagai modalitas karena lebih sensitif
dibandingkan CTscan. CT scan masih yang paling sering digunakan dibanding

12
MRI karena faktor ketersediaan dan keakuratan untuk mengidentifikasi adanya
perdarahan intraserebral. Jika pasien telah menjalani CT scan emergensi, MRI
harus dilakukan sebgai follow-up karena superioritasnya dalam mengidentifikasi
infark serebri10.
Elektrokardigrafi harus dilakukan dalam perawatan pertama. Transthoracic
atau transesofageal ekokardiografi dapat digunakan untuk untuk melihat sumber
emboli jantung dan untuk mengetahui adanya patensi pada foramen oval, penyakit
vaskuler, trombosis jantung, dan aterosklerosis10.
Pemeriksaan kardiologi merupakan pemeriksaan penting karena gangguan
irama sering menjadi penyebab TIA. Sering dilupakan bahwa hipotensi ortostatik
dapat juga menjadi penyebab TIA oleh karena itu pemeriksaan tekanan darah
waktu tidur, duduk, dan berdiri harus dilakukan10.

2.6.2 Pemeriksaan Non Invasif


Pemeriksaan klinis neovaskuler ditujukan untuk menilai keadaan vaskuler
sistem karotis yang pemeriksaannya bersifat non invasif sebagai berikut8:
a. Pemeriksaan Bising Nadi dan Denyut Nadi Leher
Pemeriksaan ini harus dikerjakan pada setiap penderita TIA untuk menilai
keadaan perubahan besar dan perbedaan antara denyut nadi karotis kiri dan kanan,
perbedaan atau perbandingan antara denyut nadi arteri temporalis superfisialis kiri
dan kanan. Setelah itu dengan stetoskop didengar akan kemungkinan adanya
bising nadi (arterial bruits); sungkup stetoskop diletakkan di daerah orbita, di
bagian lateral bifuraksio karotis di leher dan retinoaurikuler.
Tempatkan pasien pada ruangan yang tenang. Kita gunakan diafragma dari
stetoskop karena bagian tersebut mampu mendeteksi frekuensi suara arterial bruits
yang lebih tinggi dibandingkan bell. Minta pasien menarik napas dalam kemudian
menahan napasnya. Auskultasi dimulai pada daerah proyeksi dari cartilage tiroid
kemudian ke arah sudut yang dibentuk oleh dagu. Dengan kata lain, auskultasi
dilakukan diatas garis proyeksi dari arteri karotis, yaitu pada bagian medial
muskulus sternomastoideus.

13
Terdapatnya bising nadi atau berkurangnya denyut nadi pada salah satu
sisi menunjukan kemungkinan kelainan morfologik pada pembuluh darah,
sehingga lebih lanjut harus ditentukan dengan pemeriksaan penunjang lain. Jadi
adanya intracranial bruits pada seseorang dengan TIA menunjukan adanya
kemungkinan besar gangguan pada pembuluh nadi utama yang ke otak.

b. Pemeriksaan Oftalmodinamometri
Pemeriksaan ini mengukur tekanan darah pada pangkal arteri oftalmika,
baik diastolik maupun sistolik dengan cara memberikan tekanan dari luar terhadap
arteri karotis retina / bola mata, yang kemudian tekanan ini dikurangi secara
bertahap kemudian denyutan arteri sentralis retina dideteksi dengan oftalmoskop.
Tekanan dari luar yang diaplikasikan pada bola mata diukur dengan
oftalmodinamometer yang telah diterapkan secara empirik. Secara prinsipil,
pengukuran tekanan darah ini berbeda dengan pengukuran tekanan darah pada
arteri brakialis. Aplikasi tekanan pada bola mata ditera dalam gram dan
dikonversikan ke dalam mmHg.
Jika terjadi penurunan tekanan pada salah satu sisi terutama tekanan
diastolik lebih daripada 25% maka perbedaan ini dianggap bermakna atau
penurunan tekanan sistolilk dan diastolik >20%. Hal ini berarti bahwa pada sisi
yang tekanannya menurun telah terjadi penurunan pressure-gradient yang terjadi
akibat gangguan aliran darah atau sumbatan pada bagian proksimal arteri karotis
interna atau arteri oftalmika.
Pada umumnya kelainan tersebut paling sering disebabkan karena proses
aterosklerosis pada bifuraksio karotis, pada pangkal arteri karotis interna atau
pada arteri karotis komunis. Dalam frekuensi yang lebih kecil sumbatan terjadi
pada pembuluh nadi yang lebih proksimal atau pada pangkal areteri karotis
komunis. Pemeriksaan oftalmodinamometri sangat berguna pada penderita TIA
yang mengenai sitem karotis dengan derajat akurasi 70-75%. Pengukuran
dilakukan dalam posisi setengah duduk supaya faktor gravitasi dapat memperjelas
ketajaman pengukuran.
Pada keadaan ini, hasil pengukuran oftalmodinamometri, hasil pengukuran
menjadi sulit diintepretasikan, yaitu pada:

14
- Aritmia Jantung
- Glaukoma berat
- Penderita yang gelisah atau nonkoperatif
- Penderita dengan kelainan dan asimetri pada arteri sentralis retina serta
cabang-cabangnya.
Pengukuran harus dilakukan beberapa kali dan selalu harus diukur tekanan
sistemik sebagai pembanding.

c. Pemeriksaan Funduskopi
Pemeriksaan oftalmoskopi merupakan pemeriksaan bedside yang sangat
bermanfaat pada penderita TIA, terutama TIA sistem karotis. Pada kasus-kasus
TIA akibat proses tromboembolik pada sistem karotis seringkali terjadi gangguan
visus homolateral yang menyertai gejala neurologik fokal kontralateral. Gejala
neurooftalmologik ini berupa transient monocular blindness, dimness of vision,
transient homonymus hemianopia, dan altitudinal hemianopic scotoma.
Beberapa pemeriksaan oftalmoskop yang penting adalah:

- Teradapat emboli pada pembuluh darah retina ipsilateral


o Adanya white plaque pada arteri retina sewaktu serangan TIA
dengan stenosis karotis yang jelas. Emboli ini terdiri atas materi
fibrin trombosit. Jenis kedua, emboli regional dengan adanya
yellow plaques yang tidak mengganggu retinal flow secara berarti.
Penemuan adanya plaques ini membantu diagnosis TIA kearah
ateroma pembuluh karotis.

- Retinopati hipertensif asimetrik.


o Pada penderita hipertensi sering ditemukan berbagai perubahan
yang khas berupa arteriosklerosis retina.

- Terdapat atrofi atopik primer yang tidak jelas sebabnya pada satu sisi.
o Keadaan ini dapat disebabkan karena flow yang sangat berkurang
pada sisi karotis yang tersumbat karena ateroma sehingga terjadi
iskemia retina sesisi dan berakibat atrofi optik primer.

15
- Oklusi arteria karotis retina sesisi atau neuropati optic iskemik (ischemic
optic neuropathy) yang akut.
o Pada keadaan ini perlu dipertimbangkan kemungkinan terjadinya
emboli pada sistem karotis.

d. Pemeriksaan Termografi Fasial


Prinsip pemeriksaan ini adalah sebagai berikut: penderita dengan oklusi
karotis atau insufisiensi karotis, maka peredaran darah yang ke wajah ipsilateral
juga akan berkurang termasuk sirkulasi ke kulit, terutama daerah orbita. Keadaan
ini mengakibatkan berkurangnya derajat penguapan panas (heat emission), yang
dengan cepat dapat dideteksi dengan infra red thermogram.

e. Pemeriksaan ultrasonografi karotis (ultrasonic imaging)-duplex songrafi


Dengan alat ini maka gambaran sistem karotis pada daerah leher atau
bifuraksio dapat diproyeksikan pada suatu layar. Demikian pula bila suatu stenosis
atau oklusi dapat dideteksi dengan alat ini.
Pemeriksaan ultrasonografi transkranial Doppler (TCD) dapat menilai
blood flow yang bersifat dinamis. Dengan pemeriksaan TCD ini dapat
diketahui/diperkirakan kelainan hemodinamik aliran darah otak berupa
terdapatnya penyubatan, aneurisme, atau malformasi. Pemeriksaan computed
axial tomography scanning (CAT-scan) dapat juga membantu melihat
kemungkinan adanya infark pada penderita TIA terutama silent infarct; jika
positif, maka kemungkinan tromboemboli serebral diperkuat.
Pemeriksaan lain yang lebih canggih adalah pemeriksaan SPEC (Simple
Photon Emission Computed Tomography) dan PET (Positive Emission
Tomography). Dua pemeriksaan ini menggunakan radiostop dan dapat
memperlihatkan secara dinamik perubahan-perubahan aliran darah pada otak pada
kegiatan mental ataupun fisik.
Pada pemeriksaan SPECT, aliran darah otak diproyeksikan secara global
dan dapat pula menilai perfusi radioisotop ke dalam darah di otak secara kualitatif.
Sedangkan pada PET dapat memperlihatkan adanya pengurangan aliran darah
secara kuantitatif. Dengan PET juga dapat dilihat aliran metabolisme oksigen
glukosa dan lain-lain di daerah sehat maupun sakit.

16
2.6.3 Pemeriksaan Invasif
Dari penderita TIA yang dianggap menderita gangguan hemodinamik,
maka 87% menunjukan adanya lesi vaskuler yang sesuai dengan gejala klinisnya.
Terhadap penderita ini telah dilakukan tindakan bedah pada pembuluh darah
ekstrakranial serta anastomosis arteri serebri media temporalis. Pemeriksaan
angiografi ini tidak dapat diganti dengan pemeriksaan apapun8.
Pada setiap penderita TIA dimana penyebabnya adalah gangguan
hemodinamik, maka setidaknya 4 versi angiogram harus dikerjakan. Hal ini perlu
untuk melihat patensi pembuluh darah ekstrakranial dengan tidak memandang
apakah TIA karotis atau TIA vertebrobasiler. Sering ditemukan, bahwa pada TIA
vertebrabasiler pembuluh-pembuluh karotis telah mengalami stenosis, atau oklusi,
atau sebaliknya. Selain melihat derajat stenosis, jenis sumbatan dapat pula
divisualisasi, misalnya bagaimana permukaan suatu plak, apakah terdapat
ireguleritas atau stenosis itu bersifat smooth dan multiple (plak labil atau stabil)8.
Meskipun arteriografi merupakan pemeriksaan penunjang yang
terpenting dan memiliki banyak keunggulan, namun kelemahannya adalah bahwa
sangat sedikit informasi yang dapat diperoleh mengenai proses hemodinamiknya
sendiri. Sebagai contoh, tidak jarang ditemukan penderita dengan oklusi karotis
bilateral yang hampir total tetapi asimtomatik 8.
Belakangan ini telah ada pemeriksaan transkranial Doppler (TCD) yang
menilai secara tidak langsung keadaan hemodinamik pembuluh darah otak utama.
Dengan pemeriksaan ini dapat diketahui besarnya aliran darah (flow) masing-
masing pembuluh darah otak. Perubahan aliran darah otak pada aneurisma ini
dapat juga diperkirakan dengan pemeriksaan TCD ini. Pemeriksaan yang non
invasif ini selain dapat dipakai sebagai penilaian hemodinamik pada strok juga
dapat digunakan untuk menilai kelainan struktural pembuluh darah otak pada pre
dan post tindakan ballooning/stenting 8.

2.6.4 Diagnosis Banding Transient Ischemic Attack 10.

DIAGNOSIS Temuan Klinis

Tumor SSP Sakit kepala berat pada unilateral

17
dengan mual dan muntah

Demam, sakit kepala, pusing, kaku


Infeksi SSP leher, mual, muntah, fotofobia,
perubahan status mental

Trauma Sakit Kepala, pusing, kontusio

Hipoglikemia Pusing, lemas, diaforesis

Sakit kepala berat dengan atau tanpa


Migren
fotofobia, usia muda

Diplopia, kelemahan tungkai,


Multiple Sklerosis
parestesia, retensi urin, neuritis optikus

Pusing dengan atau tanpa kehilangan


Kejang kesadaran, inkontinensia urin, lidah
tergigit, gerakan tonik klonik

Sakit kepala berat dengan onset cepat


Perdarahan Subaraknoid
dan fotofobia

Pusing berputar, diaphoresis, dengan


Vertigo (sentral atau perifer)
atau tanpa kehilangan daya dengar

2.7 PENATALAKSANAAN
Begitu terdapat suspek terhadap TIA, penatalaksanaan segera yang
dilakukan adalah mengembalikan fungsi optimal perfusi otak dan mencegah
terjadinya stroke. Pertimbangkan beberapa strategi penatalaksanaan berikut: (1)
Pertahankan posisi kepala pada bidang lunak yang datar. Posisi ini telah terbukti
dapat meningkatkan perfusi otak hingga 20%, dibandingkan dengan posisi
menekuk ke atas 30o. (2) Pertahankan euvolemi dan keseimbangan elektrolit. (3)
Optimalisasi perfusi jaringan dengan mencegah terjadinya hipoksia. Pemberian
oksigen telah terbukti memiliki hubungan dengan peningkatan perbaikan sel-sel
saraf 3.

2.7.1 Antihipertensi

18
Rekomendasi AHA/ASA untuk penatalaksanaan Stroke Iskemik Akut
1 Pasien yang akan mendapatkan terapi trombolitik atau terapi reperfusi
lainnya dengan tekanan sistole 185 mmHg atau tekanan diastole 110
mmHg, harus diturunkan tekanan darahnya terlebih dahulu. Tekanan
sistole >180 mmHg atau diastole >110 mmHg adalah kontraindikasi
untuk terapi trombolitik intravena.
2 Pasien yang memiliki indikasi penatalaksanaan cepat terhadap tekanan
darah harus segera ditangani.
3 Pada pasien tanpa terapi trombolitik atau terapi reperfusi lainnya
tekanan darah harus diturunkan jika meningkat hingga 220 mmHg
untuk tekanan sistole dan 120 mmHg untuk tekanan diastole.
4 Pasien dengan hipotensi, penyebab hipotensi harus dicari. Hipovolemia
dan aritmia jantung harus ditangani dengan cepat, dapat diberikan
vasopresor untuk meningkatkan aliran darah otak.
5 Pengobatan antihipertensi diindikasikan untuk mencegah stroke
berulang dan kejadian vaskuler lainnya. Untuk stroke iskemik pengobat
dilakukan setelah periode akut stroke (dalam 24 jam).
6 Target pasti untuk tekanan darah tidak ada, disesuaikan secara
individual, manfaat penurunan tekanan darah yang tercapai rata-rata
10/5 mmHg
7 Modifikasi pola hidup harus dilakukan dengan pendekatan yang
komprehensif
8 Obat pilihan sebagai terapi antihipertensi masih belum jelas, pilihan
yang sering digunakan adalah diuretik atau diuretic ditambah dengan
ACE inhibitor, dianjurkan menggunakan laporan JNC 7 dalam memilih
antihipertensi untuk stroke iskemik.

AHA/ASA merekomendasikan terapi untuk menurunkan tekanan darah


dimulai dalam 24 jam setelah terjadinya onset stroke iskemik akut. Terdapat
banyak variabel yang berpengaruh pada tekanan darah dan respon seseorang
terhadap antihipertensi, terutama menyangkut masalah usia.
AHA/ASA merekomendasikan hanya pasien dengan tekanan darah >
220/120 mmHg yang diberikan terapi antihipertensi, kecuali ditemukan indikasi
pemberian antihipertensi lainnya (Gagal Jantung Kongestif, Infark miokard, dan
Aorta Diseksi). Alasannya adalah otak yang iskemik dapat kehilangan
kemampuannya dalam autoregulasi dan MAP yang lebih tinggi diperlukan untuk
memaksimalkan perfusi ke jaringan melalui pembuluh darah kolateral
Target tekanan darah yang dianjurkan pada fase akut adalah 180/105
mmHg pada pasien dengan hipertensi dan 160-180/90-100 mmHg pada pasien

19
dengan tensi normal (harus dinaikan). Dalam 24-48 jam pertama, diperlukan
tekanan darah yang tinggi untuk mengkompensasi aliran darah otak hingga sistem
autoregulasi otak kembali. Fase selanjutnya, dianjurkan untuk menurunkan
tekanan darah untuk mencegah terjadinya edema cerebri, stroke berulang, dan
komplikasi kardiovaskuler. . Target yang direkomendasikan pada fase setelah 48
jam adalah sesuai dengan JNC 7, yaitu <140/90 mmHg untuk pasien tanpa
komplikasi dan <130/80 pada pasien yang memiliki diabetes melitus atau
Penyakit Ginjal Kronis.

2.7.2 Antiplatelet
Aspirin adalah regimen yang paling banyak telah dipelajari dan diterima
sebagai obat antiplatelet, dan memiliki alasan yang kuat digunakan sebagai terapi
awal. Obat ini dapat menurunkan resiko rekurensi stroke hingga 15%, pada dosis
yang berkisar antara 50mg hingga 1500mg. Dosis yang lebih rendah (61mg-325
mg per hari) juga efektif dan memiliki insiden perdarahan gastrointestinal yang
lebih rendah. Dosis aspirin yang berkisar antara 25 mg 2 kali sehari hingga 325
mg 4 kali sehari telah menunjukan manfaat dalam pencegahan stroke pasca TIA 3.

2.7.3 Antiplatelet lain dan kombinasinya


Ticlodipin adalah antagonis reseptor adenosin difosfat pada platelet yang
menunjukan hasil yang sama dibandingkan dengan aspirin dalam mencegah
terjadinya kejadian vaskuler pasca stroke. Obat ini memiliki resiko terjadinya
discariasis hematologi, sehingga penggunaannya sangat jarang.
Clopidogrel secara kimiawi memiliki struktur yang mirip dengan
ticlodipin dan bekerja dengan menghambat agregasi platelet. Clopidogrel
memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan penggunaan
Ticlodipin. Batas keamaanan penggunaanya dianggap setara dengan aspirin,
meskipun kejadian timbulnya diare dan ruam kulit lebih tinggi pada penggunaan
clopidogrel. Clopidogrel dapat digunakan pada pasien dengan intoleransi aspirin.

20
Kombinasi clopidogrel dan aspirin tidak memberikan manfaat tambahan
dan sering dihubungkan dengan peningkatan resiko perdarahan dibandingkan
penggunaannya secara tunggal 11.

2.7.4 Antikoagulan
Pasien dengan atrial fibrilasi atau sumber cardioemboli lainnya pada
pasien TIA atau stroke iskemik akut, direkomnedasikan penggunaan antikoagulasi
dengan antagonis vitamin K. Pada pasien dengan fibrilasi atrial, warfarin
menunjukan efektifitas yang maksimal dengan aspirin atau dengan aspirin
ditambah clopidogrel untuk mencegah terjadinya serangan stroke sekunder.
Sebaliknya pada pasien yang tidak memiliki cardioemboli, warfarin tidak
menunjukan manfaat dan meningkatkan resiko terjadinya perdarahan 3.
Generasi antikoagulan oral baru yang tidak memerlukan pengawasan pada
penggunaannya telah banyak digunakan untuk menggantikan warfarin pada pasien
ini. Dabigatran, penghambat trombin, memiliki efek yang sangat baik dalam
mencegah stroke dibandingkan dengan warfarin dengan dosis 150 mg dua kali
sehari. Obat ini memiliki resiko yang rendah terhadap kejadian perdarahan.
Penghambat faktor Xa termasuk diantaranya Rivaroxaban dan Apixaban juga
menunjukan manfaaat untuk menurunkan resiko terjadinya stroke pada pasien

21
dengan fibrilasi atrial. Apixaban menunjukan hasil yang lebih baik dan memiliki
resiko perdarahan yang lebih kecil 3.

Pada TIA juga terdapat langkah pengobatan awal dan pengobatan lanjutan,
yaitu 12 :
a. Pengobatan awal pada pasien TIA
- Aspirin 300 mg, kemudian dilanjutkan 75 mg (berikan PPI jika
pasien mengalami dispepsia)
- Gunakan clopidogrel hanya apabila pasien memiliki intoleransi
aspirin dan dispepsia berat
- Nasehati pasien untuk tidak mengemudi selama 1 bulan
- Pertimbangkan pemeriksaan ulang apabila TIA terjadi lebih dari
sekali dalam 7 hari, fluktuasi gejala, dan sakit kepala yang
signifikan.
b. Pengobatan lanjutan
- Simvastatin 20mg 40mg jika kadar kolesterol total > 3,5
- Penurunan tekanan darah dengan diuretik thiazid dan penghambat
ACE jika tekanan darah meningkat terutama pada pasien usia muda,
dengan diabetes, atau gagal ginjal.
- Dipyridamole MR 200mg 2 kali sehari (stop setelah 2 tahun).

22
2.7.5 Terapi Pembedahan
a. Endarterektomi Carotis
Aterosklerosis pada arteri karotis interna pada bifuraksio karotis adalah
penyebab yang umum pada TIA dan stroke. Penelitian telah membuktikan,
endarterektomi carotis menunjukan manfaat pada pasien TIA dengan stenosis
carotis derajat berat. Endarterektomi tidak memiliki manfaat pada pasien dengan
stenosis derajat sedang. Manfaat pembedahan didapatkan terutama pada pasien
dengan stroke dibandingkan dengan TIA, dan pada pasien dengan hemiparese
secara klinis 11.

b. Angioplasti dan Pemasangan Stent

23
Transluminal angioplasty dengan pemasangan stent sebagai terapi pada
stenosis carotis sedang dievaluasi sebagai alternatif dari penggunaan
endaterektomi karotis. Beberapa penelitian menyatakan tindakan ini memiliki
komplikasi yang rendah dan digunakan untuk pasien dengan resiko tinggi
pembedahan karena penyakit jantung atau faktor komorbid lainnya 11.
c. Ekstrakranial-Intrakranial Bypass
Ekstrakranial-Intrakranial Bypass adalah suatu prosedur yang didesain
untuk meningkatkan aliran darah otak melalui pipa penyalur dari sirkulasi karotis
eksterna ke sirkulasi karotis interna 11.
d. Pembedahan pada Kelainan Vertebrobasiler
TIA yang mengacu pada sirkulasi posterior biasanya disebabkan oleh
kelainan pada sistem vertebrobasiler. Bagian dari arteri vertebrae yang paling
sering mengalami kejadian ateroma adalah pangkal dari arteri vertebrae dan
sebelah bawah dari perbatasan cabang ekstrakranial ke intrakranial. Pada pasien
dengan lesi di bagian tengah dari vertebra dengan gejala iskemik akibat stenosis
dan obstruktif, terapi rekonstruksi bedah dan dekompresi dapat bermanfaat dalam
mengurangi gejala 11.

2.7.6 Modifikasi Faktor Resiko


Modifikasi faktor resiko merupakan salah satu terapi bagi TIA. Namun
pelaksanaannya masih belum diuji menggunakan uji klinis randomisasi.
1. Setelah mendapatkan penyebab TIA, hipertensi sebaiknya diobati, dan
pertahankan tekanan darah < 140/90 mmHg. Pada pasien dengan
diabetes, tekanan darah yang dianjurkan adalah < 130/85 mmHg.
2. Berhenti merokok. Konseling, terapi pengganti nikotin, bupropion, dan
program penghentian merokok dapat dipertimbangkan.
3. Penyakit jantung koroner, aritmia jantung, gagal jantung, dan penyakit
katup jantung harus diobati.
4. Konsumsi alkohol berlebih harus dihentikan.

24
5. Pengobatan terhadap hiperlipidemia sangat disarankan. Diet yang
disarankan adalah diet AHA dengan 30% kalori diperoleh dari lemak,
< 7% dari lemak jenuh, dan konsumsi kolesterol < 200 mg/hari.
6. Kadar gula darah puasa yang disarankan adalah <126 mg/dl. Jika
memiliki diabetes, diet dan obat oral serta insulin sangat diperlukan.
7. Aktivitas fisik (30-60 menit dalam > 3 atau 4 kali seminggu)
8. Penghentian obat pengganti estrogen pascamenopause tidak disarankan
11
.

2.8 PROGNOSIS
Sekitar 40 persen dari semua orang yang mengalami TIA akan mengalami
stroke. Banyak penelitian menunjukkan bahwa hampir setengah dari semua stroke
terjadi dalam dua hari pertama setelah TIA. Bahkan dalam waktu dua hari setelah
TIA, 5 persen orang akan mengalami stroke, dan dalam waktu tiga bulan setelah
TIA, 10 sampai 15 persen orang akan mengalami stroke 13.

25
BAB 3
KESIMPULAN

Transient Ischemic Attack (TIA) merupakan suatu defisit neurologis secara


tiba-tiba dan defisit tersebut berlangsung hanya sementara (tidak lebih lama dari
24 jam). Resiko TIA meningkat pada: Hipertensi, hiperkolesterol, aterosklerosis,
penyakit jantung (kelainan katup atau irama jantung), diabetes, merokok, riwayat
stroke dan usia (pria >45 tahun dan perempuan >55 tahun). Gejala pada TIA yaitu
hemihipestesia, hemiparese, hilangnya sebagian penglihatan atau pendengaran,
diplopia dan sakit kepala. Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis yang lengkap,
skening ultrasonik dan teknik Doppler, angiografi serebral dan pemeriksaan darah
lengkap. Penatalaksanaan TIA obat-obatan seperti aspirin, bisulfate
clopidogrel atau aspirin dipyridamole ER untuk mengurangi kecenderungan
pembentukan bekuan darah, yang merupakan penyebab utama dari stroke dan
pembedahan endarterektomi jika tidak dapat diatasi dengan obat-obatan. Adapun
pencegahan untuk TIA dengan mengurangi faktor resiko, modifikasi gaya hidup
sehat dan mengikuti serta berperan aktif dalam sosialisasi TIA. TIA dapat
menyebabkan stroke jika pengobatan dan pencegahan tidak adekuat.
Diharapkan di kemudian hari akan lebih banyak penelitian-penelitian
tentang TIA agar penanggulangan TIA dapat dilakukan sedini mungkin dan tidak
berkembang menjadi stroke. Oleh sebab itu perbaikan dan pembuatan referat ini
perlu dilakukan di kemudian hari untuk meningkatkan wawasan para calon-calon
dokter mengenai TIA. Penulis mohon maaf apabila terdapat kekurangan dalam
referat ini dan semoga bermanfaat.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Laporan Nasional:


Ringkasan Dasar (RISKESDAS) 2007.

2. Rothwell, PM .2007. "Effect of urgent treatment of transient ischemic


attack and minor stroke on early recurrent stroke (EXPRESS study): a
prospective population-based sequential comparison.

3. Matthew SS, Transient Ischemic Attack: An Evidence-Baced Update.


Emergency Medicine Practice. 2013;15.1

4. Sidharta P, Mardjono M. 2012. Stroke. Neurologi Klinis Dalam


Praktek Umum. Surabaya: Dian Rakyat.

5. Johnston SC. Transient Ischemic Attack: An Update. Stroke Clinical


Updates. 2007.

6. Nanda, A, Niranjan NS, Transient Ischemic Attack. Medscape. 2013

7. Transient Ischemic Attack. Available at: chealth.canoe.ca

8. Misbach J. 1999. Stroke: Aspek Diagnostik, Patofisiologi, dan


Manajemen. Jakarta: Balai Penerbit, Fakultas Kedokteran Indonesia.

9. McPhee, J. S.dan Papadakis A. M. 2011. Current Medical Diagnosis


and Treatment. 50th Anniversary Edition. New York: Mc Graw-Hill.

10. Simons BB, Cirignano B, Gadegbeku AB. Transient Ischemic Attack:


Part I. Diagnosis and Evaluation. Am Fam Physician.
2012;15;86(6):521-536.

27
11. Simons BB, Cirignano B, Gadegbeku AB. Transient Ischemic Attack:
Part II. Risk Factor Modification and Treatment. Am Fam Physician.
2012;15;86(6):527-532.

12. Clinical Manual. Transient Ischemic Attack: Management Guidelines.


2012.

13. National Stroke Association. Transient Ischemic Attack. 2011.

28

Anda mungkin juga menyukai