Anda di halaman 1dari 41

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit gastritis adalah gangguan kesehatan yang sering muncul
akibat pola makan yang salah dan stres (Siswono, 2007). Penyakit gastritis
adalah suatu penyakit luka atau lecet pada mukosa lambung. Seseorang
penderita penyakit gastritis akan mengalami keluhan nyeri pada lambung,
mual, muntah, lemas, kembung, dan terasa sesak, nyeri pada ulu hati,
tidak ada nafsu makan, wajah pucat, suhu badan naik, keringat dingin,
pusing atau bersendawa serta dapat juga terjadi perdarahan saluran cerna
(Mansyoer, 2001).
Salah satu penyebab dari gastritis adalah infeksi dari bakteri
Helicobacter pylori (H. pylori) dan merupakan satu-satunya bakteri yang
hidup di lambung. Bahkan diperkirakan lebih dari 50% penduduk dunia
terinfeksi bakteri ini sejak kecil. Penemuan infeksi Helicobacter pylori ini
mungkin berdampak pada tingginya kejadian gastritis, pada beberapa
daerah di Indonesia menunjukkan angka kejadian gastritis yang cukup
tinggi.
Menurut data dari World Health Organization (WHO) bahwa
Indonesia berada pada urutan keempat menurut banyaknya jumlah
penderita gastritis setelah Amerika Serikat, Inggris dan Bangladesh dengan
jumlah 430 juta penderita gastritis (Depkes RI, 2004). Di Negara-Negara
Asia, Indonesia berada pada urutan ke tiga setelah negara India dan
Thailand yaitu berjumlah 123 ribu penderita. Sedangkan di Indonesia
sendiri kota yang penduduknya paling banyak menderita penyakit
gastritis adalah Kota Jakarta yaitu 25 ribu penduduk. Pemicu dari penyakit
gastritis di Jakarta yaitu dipengaruhi oleh jumlah penduduk yang padat
dan berpotensi gila kerja sehingga mengakibatkan makan menjadi tidak
teratur dan banyak menderita penyakit gastritis (Profil Dinkes, 2004).
Dari penelitian yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan RI
angka kejadian gastritis dibeberapa kota di Indonesia ada yang tinggi
mencapai 91,6% yaitu di Kota Medan, lalu di beberapa kota lainnya
seperti Surabaya 31,2%, Denpasar46%, Jakarta 50%,Bandung 32,5%,
Palembang 35,5%, Aceh 31,7%, dan Pontianak 31,2%. Hal tersebut
disebabkan oleh pola makan yang tidak sehat (Rial,2010).
Ada berbagai cara untuk mengatasi agar tidak terkena penyakit
gastritis, yaitu dengan banyak minum kurang lebih 8 gelas/hari, istirahat
cukup, kurangi kegiatan fisik, hindari makanan pedas dan panas serta
hindari stress.
Penyakitgastritis ini marak sekali terjadi dalam masyarakat kita.
Padahal apabila tidak ditindaklanjuti kemungkinan besar dapat
memperburuk kondisi kesehatan kita. Oleh karena itu kami menyusun

1
makalah ini agar bermanfaat untuk memberikan edukasi bagi masyarakat
khususnya bagi para pembaca. Inti sari dari makalah ini adalah pemberian
asuhan keperawatan yang tepat bagi klien yang menderita gastritis.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana anatomi dan fisiologi lambung manusia ?
2. Apa definisi dari gastritis?
3. Apa klasifikasi dari gastritis ?
4. Bagaimana etiologi dari gastritis?
5. Bagaimana patofisiologi dari gastritis?
6. Bagaimana komplikasi dari gastritis?
7. Bagaimana manifestasi klinis dari gastritis?
8. Bagaimana asuhan keperawatan keperawatan yang harus
dilakukan untuk pasien gastritis ?

1.3 Tujuan
1. Tujuan umum
Mahasiswa dapat memahami dan melakukan peran sebagai
perawat dalam pencegahan dan penanganan masalah
gastrointestinal terutama masalah gastritis.
2. Tujuan khusus
a. Menjelaskan anatomi dan fisiologi sistem gastrointestinal
khususnya lambung.
b. Mengetahui dan memahami definisi gastritis.
c. Mengetahui dan memahami klasifikasi gastritis.
d. Mengetahui dan memahami etiologi dari gastritis.
e. Menjelaskan secara singkat tentang patofisiologi dan WOC
dari gastritis.
f. Mengetahui dan memahami komplikasi dan prognosis dari
gastritis.
g. Menyebutkan dan memahami manifestasi klinis dari
gastritis.
h. Memahami dan mampu mempraktikkan asuhan
keperawatan yang tepat untuk pasien gastritis.

1.4 Manfaat
Menambah pengetahuan serta keterampilan mahasiswa dalam
pengerjaan makalah dan presentasi di depan kelas. Menambah kecakapan
dan rasa percaya diri mahasiswa serta lebih memahami masalah
gastrointestinal terutama masalah gastritis serta memahami asuhan
keperawatan pada klien dengan masalah gastritis.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Lambung


Lambung lebar dan merupakan bagian yang dapat berdilatasi dari
saluran cerna. Lambung bervariasi dalam bentuk tergantung dari jumlah
makanan di dalamnya, adanya gelombang peristaltik, tekanan dari organ
lain, respirasi, dan postur tubuh. Posisi, bentuk, dan mobilitas lambung
sangat bervariasi.
Lambung biasanya memiliki bentuk J dan terletak di kuadran kiri
atas abdomen. Lambung memiliki bagian antara lain :
a. Permukaan anterior dan posterior
b. Curvature minor pada sisi kanan
c. Curvature mayor pada sisi kiri
d. Prificium cardia tempat oesophagus bergabung
e. Fundus : kubah diatas tingkat orificium cardia, normal diisi
oleh gelembung udara
f. Corpus : bagian terbesar lambung
g. Canalis pyloricus : tabung sempit di bawah corpus
h. Lubang pylorus : kedalam bagian pertama duodenum
i. Orificium cardia tidak memiliki sfingter khusus (cincin otot
yang membuka dan menutup dengan kontraksi dan relaksasi),
tetapi tetap tertutup oleh lipatan membrane mukosa dan oleh
serat otot pada bagian bawah esophagus.
j. Lubang pylorus dikelilingi oleh sphincter pylori, sfingter
definitive yang dibentuk oleh penebalan otot sirkular lambung.
k. Lapisan peritoneum. Lambung dilapisi oleh peritoneum
,kecuali sepanjang garis curvature mayor dan minor, padanya
direfleksikan dalam lipatan ganda.
l. Curvature mayor berhubungan dengan colon transversum oleh
omentum mayus, lipatan ganda peritoneum ,dan dengan lien.
m. Curvature minor berhubungan dengan hepar oleh omentum
minus, lipatan ganda peritoneum.
Struktur yang dimiliki lambung adalah sebagai berikut:
a. Membrane mukosa : vascular, merah, membentuk lipatan dan
terapat jutaan lubang duktus beberapa jenis kelenjar.
b. Lapisan submukosa : jaringan longgar areolar
c. Lapisan muscular : serat otot sirkular, oblik, dan longitudinal
d. Lapisan peritoneal
Suplay darah pada lambung oleh arteria gastrica, dari arteria
coeliaca dan percabangan, berjalannya sepanjang curvature mayor dan
minor diantara lipatan peritoneum dan memberikan percabangan pada
kedua sisi lambung. Drainase limfe merupakan saluran kedalam kelenjar
sepanjang kedua curvature, di sekeliling kedua lubang, kedalam kelenjar
aorticus dan cisterna chyla.

3
Fungsi lambung disini bertindak sebagai hopper, yaitu organ
yang berisi makanan didalam kantong dan mengeluarkan secara bertahap
kedalam usus, meneruskan pencernaan makanan sampai pada tahap
dimana pencernaan lebih lanjut dapat terjadi didalam usus dan menyekresi
faktor intrinsik yang dibutuhkan untuk diabsorbsi vitamin B12
Di dalam lambung terdapat cairan yang disebut dengan cairan
lambung. Cairan lambung tersebut adalah cairan encer yang disekresikan
oleh kelenjar dan sel sel membrane mukosa lambung. Cairan ini terdiri
dari :
a. Asam hidroklorida dalam larutan cair,
b. Pepsinogen yang dikonversi oleh asam dalam lambung menjadi
pepsin , pepsin memecah protein menjadi molekul yang lebih
kecil,
c. Mucus disekresi dari sel sel pada permukaan membrane
mukosa, fungsi utamanya adalah melapisi permukaan
membrane mukosa untuk melindunginya dari pencernaan oleh
asam hidroklorida.
Cairan lambung tersebut disekresi dalam dua fase, yaitu:
1. Fase serebral. Antisipasi terhadap makanan menyebabkan
stimulus otak berjalan melalui nervus vagus ke lambung tempat
kelenjar dan sel dirangsang untuk sekresi. Pada fase ini gastrin,
hormone yang disekresi oleh sel membrane mukosa canalis
pylori lambung, memasuki aliran darah dan akhirnya tiba
kembali di membrane mukosa lambung yang merangsang
produksi cairan lambung lebih banyak.
2. Fase gastrik. Lebih banyak gastrin diproduksi oleh kombinasi
tiga peristiwa regangan mekanik lambung oleh makanan,
adanya produk protein didalam lambung lebih lanjut, mungkin
oleh produksi lebih banyak gastrin.
Setelah dilakukan proses pencernaan di mulut, proses pencernaan
dilakukan di dalam lambung. Jumlah pencernaan yang dilakukan didalam
lambung hanya sedikit, dibatasi oleh konversi prtein mejadi pepton.
Dalam keadaan istirahat lambung berkontraksi. Bila waktu makan
berikutnya tidak tiba, akan terjadi gelombang peristaltic yang
menyebabkan nyeri lapar mendadak.
Lambung berdistensi untuk mengakomodasi makanan yang masuk,
dan kemudian gelombang peristaltic dimulai pada bagian atas dan berjalan
kebawah menuju pylorus sebanyak empat kali dalam satu waktu. Pada
awalanya pylorus tetap tertutup dan efek gelombang pada saat ini adalah
untuk mencampur makanan dan memajankan makanan dengan cairan
lambung. Kemudian sphincter pylori mulai mengalami relaksasi dan
mengeluarkan sejumlah kecil makanan setiap saat. Pengosongan cepat

4
terjadi dalam 5 jam, namun dapat terjadi lebih lama apabila seseorang
cemas atau terdapat banyak lemak dalam makanan.

2.2 Definisi Gastritis


Gastritis atau Dyspepsia atau istilah yang sering dikenal oleh
masyarakat sebagai maag atau penyakit lambung adalah kumpulan gejala
yang dirasakan sebagai nyeri terutama ulu hati. Orang yang terserang
penyakit ini biasanya sering mual, muntah, rasa penuh, dan rasa tidak
nyaman.
Gastritis adalah inflamasi mukosa lambung (kapita selekta
kedokteran, 2011).
Gastritis adalah suatu peradangan local atau menyebar pada
mukosa lambung yang berkembang bila mekanisme protektif mukosa
dipenuhi dengan bakteri atau bahan iritan. (J. Reves, 1999)

2.3 Klasifikasi Gastritis


Pengklasifikasan gastritis dibedakan menjadi 2, yaitu:
1. Gastritis akut
Gastritis (inflamasi mukosa lambung) paling sering
diakibatkan oleh kesembronoan diit, misalnya makan terlalu
banyak, terlalu cepat, makan makanan yang terlalu banyak bumbu,
atau makanan yang terinfeksi. Penyebab lain termasuk, alcohol,
aspirin, refluks empedu, atau terapi radiasi. Gastritis dapat juga
menjadi tanda pertama infeksi sistemik akut. Bentuk gastritis akut
yang lebih parah disebabkan oleh asam kuat atau alkali, yang dapat
menyebabkan mukosa menjadi ganggren atau perforasi.

2. Gastritis kronis
Inflamasi lambung yang berkepanjangan yang disebabkan
baik oleh ulkus lambung jinak maupun ganas, atau oleh
Helicobacter pylori. Gastritis kronis diklasifikasikan sebagai tipe A
dan tipe B. Tipe A berkaitan dengan penyakit autoimun, misalnya
anemia pernisiosa. Tipe A ini terjadi pada fundus atau korpus
lambung, tipe B (H. pylori) mengenai antrum dan pylorus.
Mungkin berkaitan dengan bakteri H. pylori. Faktor diit seperti
minuman panas, bumbu penyedap, penggunaan obat, alkohol,
merokok, atau refluks isi usus kedalam lambung.

2.4 Etiologi Gastritis


1. Gastritis akut
a. Obat-obatan seperti obat anti inflamasi non steroid yang
bersifat mengiritasi mukosa lambung
b. Minuman beralkohol

5
c. Infeksi bakteri seperti H. pylori (paling sering), E. Colli,
Tuberculosis, dll
d. Inveksi virus oleh Sitomegalovirus (Giannakis, 2008)
e. Infeksi jamur, seperti Candidiasis, Histoplamosis, dan
Phycomycosis (Feldman, 1999)
f. Stress fisik yang disebabkan luka bakar, sepsis, trauma,
pembedahan, gagal napas, gagal ginjal, kerusakan susunan
saraf pusat, dan refluks usus-lambung (Lewis, 2000)
g. Makanan dan minuman yang bersifat iritan
h. Garam empedu, terjadi pada kondisi refluks garam empedu
dari usus kecil ke mukosa lambung sehingga menimbulka
respons peradangan mukosa (Mukherjee, 2009)
i. Iskemia
j. Trauma langsung lambung

2. Gastritis kronis
Penyebab pasti dari penyakit gastritis kronis belum
diketahui, tetapi ada dua predisposisi penting yang bisa
meningkatkan kejadian gastritis kronis, yaitu infeksi dan non-
infeksi (Wehbi, 2008).

2.2 Gastritis infeksi


a. H. Pylori. Beberapa peneliti menyebutkan bakteri ini
merupakan penyebab utama dari gastritis kronis
( Anderson, 2007)
b. Helicobacter heilmannii, Mycobacteriosis, dan syphilis
(Quentin, 2006)
c. Infeksi parasite
d. Infeksi virus
2.3 Gastritis non-infeksi
a. Kondisi imunologi didasarkan pada kenyataan, terdapat
kira-kira 60% serum pasien gastritis kronik mempunyai
antibody terhadap sel parietalnya (Genta, 1996)
b. Gastropati akibat kimia, dihubungkan dengan kondisi
refluks garam empedu kronis dan kontak dengan
OAINS atau Aspirin (Mukherjee, 2009)
c. Gastropati uremik, terjadi pada gagal ginjal kronis yang
menyebabkan ureum terlalu banyak beredar pada
mukosa lambung ( Wehbi, 2008)
d. Gastritis granuloma non-infeksi kronis yang
berhubungan dengan berbagai penyakit
e. Gastritis limfositik, sering disebut dengan collagenous
gastritis (Sepulveda, 2004)
f. Eosinophilic gastritis (Quentin, 2006)
g. Injuri radiasi pada lambung (Sepulveda, 2004)

6
h. Iskemik gastritis (Sipponen, 1999)
i. Gastritis sekunder dari terapi obat-obatan (Wehbi, 2008)

2.5 Patofisiologi dan WOC Gastritis


1. Gastritis akut.
Faktor faktor etiologi di atas biasanya tidak berdiri sendiri,
contohnya stress fisik akan menyebabkan perfusi mukosa lambung
terganggu sehingga timbul daerah daerah infark kecil, selain itu
sekresi lambung juga terpacu. Mucosal barrier pada pasien stress fisik
biasanya tidak terganggu. Hal tersebut yang membedakannya dengan
gastritis erosive karena bahan kimia atau obat. Pada gastritis refluk,
gastritis karena bahan kimia dan obat menyebabkan mucosal barrier
rusak sehingga difusi balik ion H + meninggi. Suasana asam yang
terdapat pada lumen lambung akan mempercepat kerusakan mucosal
barrier oleh cairan usus (Lewis, 2000).
Pada kondisi dimana pasien mengonsumsi alkohol bersamaan
dengan aspirin, efeknya akan lebih merusak dibandingkan dengan efek
masing masing agen tersebut secara terpisah. Gastritis erosive
hemoragik difus biasanya terjadi pada peminum alkohol berat dan
pengguna aspirin, kondisi tersebut dapat menyebabkan perlunya
dilakukan reseksi lambung. Penyakit yang serius ini akan dianggap
sebagai ulkus akibat stress, karena keduanya memiliki banyak
persamaan (Lewis, 2000).
Gastritis erosive akut (disebut juga gastritis reaktif) dapat terjadi
karena pajanan beberapa faktor atau agen termasuk OAINS, kokain,
refluk garam empedu, iskemia, radiasi yang mengakibatkan kondisi
hemoragi, erosi, dan ukus. Akibat pengaruh gravitasi, agen ini akan
berada pada bagian terbesar kurvatura lambung dan memberikan
manifestasi terjadinya gastritis pada bagian distal atau yang terdekat
dengan area akumulasi agen. Mekanisme utama dari injuri adalah
penurunan sintesis prostaglandin yang bertanggung jawab
memproteksi terjadinya fibrosis dan struktur pada bagian distal
(Wehbi, 2009).
Infeksi bakteri merupakan penyebab lain yang dapat meningkatkan
peradangan pada mukosa lambung. Helicobacter pylori merupakan
bakteri utama yang paling sering menyebabkan terjadinya gastritis
akut. Prevalensi terjadinya infeksi oleh H. pylori pada individu
tergantung dari faktor usia, sosioekonomi, dan ras. Pada beberapa studi
di Amerika Serikat, didapatkan infeksi pada anak anak sebesar 20
%, pada usia 40 tahunan sebesar 50 % dan pada usia lanjut sebesar
60% (Harris, 2007). Hal ini menggambarkan bahwa semakin
meningkatnya usia, maka akan semakin meningkat pula rasio
mengalami infeksi H. pylori. Proses bagaimana bakteri ini melakukan

7
transmisi pada manusia masih belum diketahui secara pasti, tetapi pada
beberapa studi dipercaya bahwa transisi bakteri antara individu satu ke
individu lain dapat terjadi melalui rute oral fekal, selain itu dapat
juga karena mengonsumsi air atau makanan yang terkontaminasi.
Kondisi ini sering terjadi pada pasien dengan golongan ekonomi
rendah, akibat buruknya status hygiene nutrisi (Weck, 2009).
Gastritis akut akibat infeksi H. pylori biasanya bersifat
asimtomatik. Bakteri yang masuk akan memproteksi dirinya dengan
lapian mucus. Proteksi lapisan ini akan menutupi mukosa lambung dan
melindungi dari asam lambung. Penetrasi atau daya tembus bakteri ke
lapisan mukosa menyebabkan terjadinya kontak dengan sel sel
epithelia lambung dan terjadi adhesi (perlengketan) sehingga
menghasilka respons peradangan melalui pengaktifan enzim untuk
mengaktifkan IL-8. Hal tersebut menyebabkan fungsi barrier lambung
terganggu dan terjadilah gastritis akut (Santacroce, 2008).
Gastritis pada tuberkulosa berhubungan deng adanya penurunan
fungsi imun dan akibat umum dari gangguan system penapasan.
Infeksi virus dari Sitomegalovirus atau infeksi jamur terjadi pada
beberapa pasien dengan penurunan imunitas seperti kanker, pasca
transplantasi organ, dan AIDS. Kondisi kondisi tersebut
meningkatkan risiko terjadinya gastritis kronis (Wehbi, 2009).
Kondisi tersebut akan menimbulkan terjadinya respons peradangan
lokan, dimana mukosa memerah, edematosa dan ditutupi oleh mucus
yang melekut, erosi kecil, serta perdarahan (sering timbul). Derajat
peradangan sangat bervariasi dan menimbulkan berbagai masalah
keperawatan pada pasien.

2. Gastritis kronis
Patofisiologi terjadinya gastritis kronis masih belum jelas
diketahui, tetapi ada beberapa teori yang berhubungan dengan kondisi
kerusakan permukaan mukosa lambung secara menahun (Guyton,
1996).
Absorpsi pada lambung, normalnya sangat rendah. Derajat
absorpsi yang rendah ini terutama disebabkan oleh dua gambaran
spesifik dari mukosa lambung, antara lain :
a. Lambung dilapisi oleh sel sel mukosa yag sangat resisten,
yang menyekresi mucus yang sangat kental dan lekat,
b. Mukosa lambung mempunyai sambungan yang sangat rapat
(tight junctions) antara sel sel epitel yang berdekatan.

8
Dua hal ini kemudian bersamasama ditambah dengan hambatan
hambatan absorpsi lambung yang lain disebut sawar lambung.
Secara normal, sawar ini begitu resisten terhadap difusi, bahkan ion
hydrogen cairan lambung memiliki konsentrasi tinggi sekitar 100.000
kali konsentrasi ion hydrogen dalam plasma, selain itu sawar ini juga
jarang berdifusi bahkan melalui lapisan epitel yang paling tipis dalam
epitel lambung sendiri (Guyton, 1996). Pada gastritis, permeabilitas
sawar sangat meningkat. Ion hydrogen kemudian berdifusi kedalam
epitel lambung mengakibatkan kerusakan tambahan dan menimbulkan
suatu lingkaran setan kerusakan, serta atorfi progresif mukosa
lambung. Peristiwa ini juga mengakibatkan mukosa lambung rentan
terhadap pencernaan peptida sehingga sering menyebabkan ulkus
lambung (Leweis, 2000).
Pada banyak orang yang mengalami gastritis autoimun, mukosa
lambung secara bertahap menjadi atrofi sampai sedikit atau tidak ada
aktivitas kelenjar lambung yang tersisa. Ada juga anggapan bahwa
beberapa orang mempunyai autoimunitas terhadap mukosa lambung,
hal ini juga akhirnya menyebabkan atrofi lambung. Kehilangan sekresi
lambung pada atrofi lambung menimbulkan aklorhidria (aclorhydria)
dan terkadang anemia pernisiosa. Aklorhidria berat yaitu lambung
benar benar gagal menyekresi asam hidrokloridan dan hal ini
didiagnosis apabila pH sekresi lambung gagal turun dibawah 6,5
setelah adanya rangsangan maksimal. Hipoklorhidria berarti sekresi
asam berkurang, biasanya bila asam tidak disekresi, maka pepsin juga
tidak disekresi. Bahkan bila terjadi, hilangnya asam akan menghambat
fungsi pepsin karena pepsin membutuhkan medium asam untuk
bekerja. Meskipun aklorhidria berhubungan dengan penurunan atau
bahkan tidak adanya kemampuan pencernaan oleh lambung,
keseluruhan pencernaan makanan pada semua traktus gastrointestinal
tetap hampir normal. Hal ini sebenarnya terjadi karena tripsin dan
enzim enzim lain yang disekresi pankreas tetap mampu mencerna
sebagian besar protein pada makanan (Guyton, 1996).
Anemia pernisiosa sering menyertai aklorhidria dan atrofi
lambung. Sekresi lambung yang normal mengandung glikoprotein
yang disebut faktor intrinsik, disekresi oleh sel parietal yang lama
dengan yang menyekresi asam hidroklorida, faktor intrinsik harus ada
untuk absorpsi vitamin B12 (kobalamin) yang adekuat dari ileum.
Faktor intrinsik bergabung dengan vitamin B12 dan kemudian
melindunginya dari pencernaan dan penghancuran selama melewati
truktus gastrointestinal. Kemudian ketika komples faktor instrinsik
vitamin B12 mencapai ileum terminalis, faktor intrinsic berikatan
dengan reseptor pada permukaan epitel ileum. Hal ini sebaliknya

9
membuat vitamin B12 dapat diabsorpsi. Pada keadaan tidak ditemukan
faktor intrinsik, hanya sekitar seperlima vitamin B 12 yang tidak
diperoleh adekuat dari makanan sehingga terjadi kegagalan
pematangan di sumsum tulang yang mengakibatkan anemia pernisiosa
(Price, 1995).
H. pylori merupakan bakteri gram negative yang dapat hidup dan
berkoloni didalam lambung. Bakteri ini dapat hidup dengan
membentuk lapisan mucus dan menutupi permukaan epitelium
lambung. Kehadiran bakteri ini akan menimbulkan kerusakan jaringan.
Respon tubuh terhadap bakteri ini adalah memproduksi sel sel
limfosit dan menginfiltrasi lamina propia serta epitel lambung oleh
leukosit polimononuklear pada mukosa lambung yang menyebabkab
aktifnya kondisi peradangan pada mukosa lambung. Interaksi dari
kehadiran Helicobacter pylori pada mukosa menghasilkan pelepasan
sitokinin proinflamasi IL-8 yang akan meningkatkan rekruitmen sel
sel polimononuklear yang akan memulai proses inflamasi secara
keseluruhan (Anderson, 2007).
Adanya peningkatan asam duodenum juga akan terjadi presipitasi
pengeluaran garam empedu yang secara normal akan menghambat
pertumbuhan H. pylori. Kerusakan progresif juga terjadi pada
duodenum dan menghadirkan metaplasia di lambung. Dengan proses
secara berulang, maka akan terjadi gangguan struktur pada duodenum
dan lambung sehingga mengakibatkan terbentuknya jaringan ulkus
peptikum dan menimbulkan kanker lambung (Mukherjee, 2009).
Tuberkulosa dan jamur akan memengaruhi terbentuknya
granuloma pada lambung. Kondisi ini secara profresif akan
menyebabkan nekrosis dan penyakit gastritis granuloma (Wehbi,
2008).
Gastritis limfositik merupakan tipe peradangan mukosa lambung
kronis dengan penebalan permukaan dan faveolat epitelium oleh T
limfosit dan disertai dengan infiltrasi pada lamina propia. Adanya
respons tinggi terhadap anti H. pylori meningkatkan produksi limfosit
untuk melakukan proses fagositosis pada bakteri, maka hal ini pada
akhirnya menghasilkan akumulasi pada permukaan mukosa dan
menimbulkan peradangan (Sepulveda, 2004).
Gastritis eosinofilik terjadi akibat infiltrasi selektif eosinofil pada
mukosa lambung. Walaupun kondisi ini masih bersifat idiopatik, tetapi
pada beberapa studi disebutkan peran sitokinin sebagai proinflamasi
merupakan faktor penting terjadinya gastritis eosinofip (Quentin,
2006).
Radiasi dosis kecil (>1500R) dapat menyebabkan kerusakan
mukosa secara reversibel, sedangkan pada radiasi dengan dosis tinggi

10
akan menimbulkan kerusakan yang irreversible dan berhubungan
dengan kondisi atrofi dan iskemia serta ulkus. Efek radiasi seperti
kerusakan mukosa permanen, atrofi jaringan undus, erosi mukosa, dan
perdarahan kapiler secara progresif akan mengembangkan terjadinya
gastritis radiasi (Sepulveda,2004).
Gastritis iskemia dipercaya merupakan kondisi yang dihasilkan
oleh terbentuknya thrombus yang menyumbat arteri arteri seliaka
dan mesentrika superior. Kondisi ini akan menurunkan aliran pada
beberapa area di lambung dan akan menimbulkan reaksi iskemia pada
area tersebut dengan menampilkan peradangan pada mukosa
sekitarnya (Sipponen, 1999).
Kondisi gastritis kronis akan menimbulkan manifestasi berbagai
masalah keperawatan pada pasien.

11
Web of Caution (WOC)
1. Gastritis akut
STRES FISIK
Predisposisi OAINS(Indometasin,i
2. infeksi
bakteri Helicobacter
3. buprofen,asam Trauma langsung, pembedahan
pylori salisilat) transplantasi organ, tuberkulosis, luka
bakar, sepsis, gagal pernafaan, gagal
ginjal, keruskan susunan saraf pusat,
dan refluks usus-lambung.

Stres
psikologis

Sekresi
+
H
Perlindungan mukosa Perfusi darah lokal
menurun. meningkat
menurun Garamem
pedu

Agregasi bahan
kimia

Kurang pengetahuan Gastritis akut Perdarah Hematemesi


an s

Respon psikologis

MK:
Kecemasan

MK: Aktual/resiko
ketidakseimbangan nutrisi
kurang dan kebutuhan
risiko ketidakseimbangan
cairan

12
2. Gastritis kronis
Infeksi virus, infeksi
Presdisposisi1.infeksi
jamur, makanan
2. dan Gastropati akibat kimia, Terbentuknya Infiltrasi
bakteri Helicobacter
minuman 3. yang kondidi refluks
Penurunan empedu trombus pada arteri- eosinofil
pylori, Mycobacteriosis
bersifat iritan,
4. kronis, dan kontak Minuman
imunitas arteri seliak dan
beralkohol pada
dan syphylis.
iskemia, dan trauma dengan OAINS atau mesentrika superior. mukosa
langsung lambung. aspirin.

Infeksi virus, infeksi Penurunan Sintesis Gastritis


Minuman berlkohol
parasit, makanan imunitasprostaglandin eosinofil
dan inuman iritan.
iskemia Stres
Sintesis psikologis
prostagladin
Efek radiasi pada menurun +
mukosa. Sekresi H
Fungsi barier Perlindungan Peradangan Perfusi darah meningkat,
terganggu. mukosa menurunmukosa lambung lokal menurun
sekresi
Atrofi, erosi dan
pepsinogen
pendarahan
Permeabilitas Garam
sawar lambung empedu
meningkat,
Fungsi barier kerusakan dan
terganggu atrofi progresif Agregasi bahan kimia
Mual, muntah dan Respon saraf lokal
mukosa lambung meningkat
anoreksia dari iritasi mukosa
Kurang
Gastritis Metaplasia Ulkus
pengetahuan
Intake nutrisi tidak adekuat kronis epitel peptikum
kehilangan cairan dan MK: Nyeri keganasan
elektrolit lambung

Mual, muntah Respon saraf lokal Gangguan Respon


dan anoreksia. dari iritasi mukosa absorpsi vit psikologis
B 12

Kecemas
Nyeri Defisiensi kobalmin
Intake nutrisi tidak an
adekuat, kehilangan
cairan dan elektrolit
Peningkatan
Anemia pernisiosa
karsinoid
Aktua/resiko lambung.
ketidakseimbangan
nutrisi kurang dan
kebutuhan risiko
13
ketidakseimbangan
cairan.
2.6 Manifestasi klinis
1. Gastritis akut
a. Dapat terjadi ulserasi superfisial dan mengarah pada hemoragi.
b. Rasa tak nyaman pada abdomen dengan sakit kepala, kelesuan,
mual, dan anoreksia. Mungkin terjadi muntah dan cegukan.
c. Beberapa pasien menunjukkan asimptomatik
d. Dapat terjadi kolik dan diare jika makanan yang mengiritasi
tidak dimuntahkan, tetapi malah mencapai usus.
e. Pasien biasanya pulih kembali sekitar sehari, meskipun napsu
makan mungkin akan hilang selama 2 sampai 3 hari
2. Gastritis kronis
a. Gastritis tipe A
Pada dasarnya asimptomatik kecuali gejala-gejala defisiensi
vitamin B12.
b. Gastritis tipe B
Pasien mengeluh anoreksia, nyeri ulu hati setelah makan,
bertahak (sendawa), rasa asam dalam mulut, atau mual dan
muntah

2.7 Pemeriksaan Diagnostik


Gastroskopi merupakan adanya perdarahan (hemoragi) pada
lambung, erosi atau gluster, perforasi lambung. Pemeriksaan yang harus
dilakukan adalah serangkaian pemeriksaan sinar-X dan pemeriksaan
histilogis.
Gastritis kronis tipe A berkaiatan dengan tidak adanya atau
rendahnya kadar asam hidroklorida dengan pemeriksaan kadar asam
hidroklorida dengan pemeriksaan kadar gastrin untuk mengesampingkan
hipergastrinema sekunder ( gastrin lebih dari 1000pg/mL).
Gastritis kronis tipe B berkaitan dengan hiperklorhidria.
Pemeriksaan jumlah sel darah lengkap akan memperlihatkan adanya
anemic mikrositik pada kasus yang kronis. Endoskopi saluran cerna atas
dengan biopsy adalah bersifat diagnostic, juga melakukan pemeriksaan H.
pylori.

2.8 Komplikasi
1. Gastritis akut
a. Perdarahan saluran cerna bagian atas, yang merupakan
kedaruratan medis; terkadang perdarahan yang terjadi cukup
banyak sehingga dapat menyebabkan kematian.
b. Ulkus, jika prosesnya hebat.
c. Gangguan cairan dan elektrolit pada kondisi muntah hebat

2. Gastritis kronis
a. Anemia pernisiosa

14
b. Ulkus peptikum
c. Keganasan lambung

2.9 Prognosis
1. Gastritis akut umumnya akan sembuh dalam waktu beberapa hari
2. Insidensi ulkus lambung dan kanker lambung meningkat pada
gastritis kronis tipe A
3. Gastritis dapat menimbulkan komplikasi perdarahan saluran cerna
dan gejala klinis yang berulang.

2.10 Asuhan Keperawatan Teoritis.


1. Asuhan Keperawatan Teoritis Gastritis Akut.
a. Pengkajian
Pada anamnesis biasanya didapatkan keluhan abdomen yang
tidak jelas seperti mual dan muntah atau anoreksia sehingga
menyebabkan pemenuhan kebutuhan nutrisi harian pasien
berkurang. Pada beberapa jenis pasien didapatkan keluhan yang
lebih berat seperti nyeri epigastrium, muntah, perdarahan, dan
hematemesis yang nimbulkan manifestasi kecemasan secara
individu.
Perawat perlu mengkaji faktor predisposisi dan penyebab,
seperti kebiasaan mengonsumsi makan berbumbu, serta minuman
yang mengandung kafein dan alcohol (merupakan agen agen
penyebab iritasi mukosa lambung). Makanan dan minuman yang
dikonsumsi dalam 24 jam terakhir harus didokumentasikan,
khususnya pada pasien yangmengonsumsi Aspirin dengan alcohol.
Riwayat penggunaan obat obatan sebelumnya, khususnya pada
pasien yang menderita penyakit peradangansendi yang
menggunakan OAINS pada pasca-intervensi kemoterapi. Riwayat
penurunan imunitas seperti kanker, luka bakar, sepsis, trauma,
pembedahan, gagal napas, gagal ginjal, dan kerusakan susunan
saraf pusat bisa menjadi faktor penyebab gastritis akut.
Pengkajian riwayat sanitasi lingkungan, penggunaan air minum
dan cara pengolahan makanan perlu ditanyakan untuk mengkaji
kemungkinan infeksi H. pylori. Pada pemeriksaan fisik biasanya
tidak didapatkan tanda spesifik, biasanya hanya didapatkan
keluhan nyeri tekan dan ketuk pada abdomen kuadran kiri atas.
Pengkajian diagnostic perlu dilakukan apabila keluhannya
memanjang dan resisten terhadap program pengobatan medis.
Diagnosis gastritis akut erosive ditegakkan dengan pemeriksaan
endoskopi dan dilanjutkan dengan pemeriksaan histopatologi
biopsy mukosa lambung. Pemeriksaaan radiologi biasanya tidak
mempunyai arti, pemeriksaan tersebut baru dapat membantu
apabila menggunakan kontras ganda. Pada pemeriksaan endoskopi,

15
akan tampak erosi multiple yang biasanya sebagian tampak
berdarah dan letaknya tersebar, terkadang juga dapat dijumpai erosi
yang mengelompok pada suatu daerah. Mukosa umumnya tampak
merah dan edema. Kadang dijumpai daerah erosi yang ditemukan
pada mukosa yang tampak normal. Pada saat pemeriksaan dapat
dijumpai lesi yang terdiri atas semua tigkatan perjalanan
penyakitnya, akibatnya pada satu itu terdapat erosi yang masih
baru bersama sama dengan lesi yang sudah mengalami
penyembuhan. Pada pemeriksaan histopatologi, kerusakan mukosa
karena erosi tidak pernah melewati mukosa muskularis. Ciri khas
gastritis erosive adalah sembuh sempurna dan terjadi dalam waktu
yang relative singkat. Oleh karena itu, pemeriksaan endoskopi
sebiknya dilakukan seawal mungkin (Lewis, 2000).
Pemeriksaan yang dapat dilakukan pada penderita gastritis
antara lain :
a. Pemeriksaan darah
Tes ini digunakan untuk memeriksa adanya bakteri H. pylori
dalam darah. Hasil tes yang positif menunjukkan bahwa pasien
pernah kontak dengan bakteri pada suatu waktu dalam
hidupnya, tapi itu tidak menunjukkan bahwa pasien tersebut
terkena infeksi. Tes darah dapat juga dilakukan untuk
memeriksa anemia, yang terjadi akibat perdarahan pada
lambung akibat gastritis.
b. Pemeriksaan pernapasan
Tes ini dapat menentukan apakah pasien terinfeksi H. pylori atau
tidak.
c. Pemeriksaan feces
Tes ini memeriksa apakah terdapat H. pylori dalam feces atau
tidak. Hasil yang positif dapat mengindikasikan terjadinya
infeksi. Pemeriksaan juga dilakukan terhadap adanya darah
dalam feces. Hal ini menunjukkan adanya perdarahan pada
lambung.
d. Endoskopi saluran cerna bagian atas
Dengan tes ini dapat terlihat adanya ketidaknormalan pada
saluran cerna bagian atas yang mungkin tidak terlihat dari sinar-
X. Tes ini dilakukan dengan cara memasukkan sebuah selang
kecil yang flexible (endoskop) melalui mulut dan masuk
kedalam esophagus, lambung dan bagian atas usus kecil.
Tenggorokan akan lebih dahulu dimatirasakan (anestesi)
sebelum endoskop dimasukkan untuk memastikan pasien
merasa nyaman menjalani tes ini. Jika ada jaringan dalam
saluran cerna yang terlihat mencurigakan, dokter akan
mengambil sedikit sampel (bipsy) dari jaringan tersebut. Sampel

16
itu kemudian akan dibawa ke laboratorium untuk diperiksa. Tes
ini memakan waktu lebih kurang 20 sampai 30 menit. Pasien
biasanya tidak langsung disuruh pulang ketika tes ini selesai,
tetapi harus menunggu sampai efek dari anestesi menghilang,
lebih kurang satu atau dua jam. Hampir tidak ada resiko akibat
tes ini. Komplikasi yang sering terjadi adalah rasa tidak nyaman
pada tenggorokan akibat menelan ondoskop.
e. Biopsy
Yaitu pemeriksaan yang sebenarnya masih merupakan bagian
dari endoskopi. Jika dokter menemukan adanya radang, sampel
jaringan dinding lambung mungkin akan diambil untuk diteliti
di laboratorium. Melalui biopsy ini, dokter juga bisa mendeteksi
keberadaan bakteri H. pylori
f. Rontgen saluran cerna bagian atas
Tes ini akan melihat adanya tanda - tanda gastritis atau penyakit
pencernaan lainnya. Biasanya akan diminta menelan cairan
barium terlebih dahulu sebelum dilakukan rontgen. Cairan ini
akan melapisi saluran cerna dan akan terlihat lebih jelas ketika
dirontgen.

1. Pengkajian penatalaksaan medis


Gastritis akut biasanya mereda bila agen agen
penyebabnya dapat dihilangkan. Intervensi medis yang
dilakukan apabila keluhan tetap tidak hilang dengan
menghindari agen penyebab adalah dengan terapi
farmakologis, meliputi terapi cairan dan terapi obat (Wehbi,
2008).
a. Terapi cairan, hal ini diberikan pada fase akut untuk hidrasi
pasca muntah yang berlebihan.
b. Terapi obat.

Prinsip pemberian terapi adalah sebagai berikut :


a. Tidak ada obat spesifik untuk menyembuhkan kecuali pada
infeksi H. pylori (Santacroce, 2008).
b. Pemberian terapi sesuai dengan faktor penyebab yang
diketahui, seperti pada tuberculosis makan akan mendapatkan
OAT (Obat Anti Tuberkulosa) yang disesuaikan dengan
protocol pemberian dari Depkes RI.
c. Pemberian obat farmakologis disesuaikan dengan kondisi dan
toleransi pasien.

Obat obat farmakologis, antara lain :


1. Antasida

17
2. Penghambat H2
3. Penghambatan pompa proton
4. Antibiotic

b. Diagnosis keperawatan
Diagnosis keperawatan yang lazim pada pasien dengan gastritis
akut adalah sebagai berikut.
1. Nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa lambung.
2. Risiko ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan ketidakadekuatan intake nutrisi sekunder
akibat nyeri, ketidaknyamanan lambung dan intestinal.
3. Risiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan
dengan keluarnya cairan dari muntah yang berlebihan.
4. Kecemasan berhubungan dengan adanya nyeri dan muntah
darah.
5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan ketidakadekuatan
informasi penatalaksanaan diet dan fakta penerus iritasi pada
mukosa lambung.

c. Rencana keperawatan
Priorits intervensi dilakukan untuk menurunkan respons nyeri
epigastrium, menurunkan.
Risiko ketidakseimbangan Ciaran dan elektrolit, pemenuhan
intake nutrisi harian, dan penurunan respons kecemasan.

Nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa lambung


Tujuan dalam waktu 2 x 24 jam nyeri berkurang/ hilang atau teradaptasi.
Kriteria evaluasi :
a. Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi.
b. Skala nyeri 0-1 (0-4)
c. Dapat mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri
d. Pasien tidak gelisah.
Intervensi rasional
Jelaskan dan bantu pasien dengan Pendekatan dengan menggunakan relaksasi
tindakan pereda nyeri dan nonfarmakologi lainnya telah
nonfarmakologi dan non - invasif menunjukkan keefektifan dalam mengurangi
nyeri
Lakukan manajemen nyeri : a. Istirahat secara fisiologis akan
a. Istirahatkan pasien pada menurunkan kebutuhan oksigen yang
saat nyeri muncul diperlukan untuk memenuhi
b. Ajarkan teknik relaksasi begutuhan metabolism basal.
napas dalam saat nyeri b. Meningkatkan intake oksigen
muncul. sehingga akan menurunkan nyeri
c. Ajarkan teknik distraksi sekunder dari iskemia intestinal.

18
pada saat nyeri c. Distraksi (pengalihan perhatian) dapat
d. Manajemen lingkungan : menurunkan stimulus internal
lingkungan tenang, batasi d. Lingkungan tenang akan menurunkan
pengunjung, dan stimulus nyeri eksternal. Pembatasan
istirahatkan pasien. pengunjung membantu meningkatkan
e. Lakukan manajemen kondisi oksigen ruangan yang akan
sentuhan berkurang apabila banyak pengunjung
yang berada diruangan. Istirahat akan
menurunkan kebutuhan oksigen
jaringan perifer.
e. Manajemen sentuhan pada saat nyeri
berupa sentuhan dan dukungan
psikologis dapat membantu
menurunkan.
Tingkatkan pengetahuan pasien Pengetahuan yang akan dirasakan membantu
tentang penyebab nyeri dan mengurangi nyeri yang dirasakan dan dapat
menghubungkan berapa lama nyeri mmbantu mengembangkan kepatuhan pasien
akan berlangsung terhadap rencana terapeutik.
Tindakan kolaborasi a. Cimetidine penghambat Histamin H2
a. Pemakaian penghambat H2 menurunkan produksi asam lambung,
(seperti Cimetidin atau meningkatkan pH lambung dan
Ranitidin). menurunkan iritasi pada mukosa
b. Antasida lambung. Hal ini penting untuk
penyembuhan serta pencegahan lesi.
b. Antasida untuk mempertahankan pH
lambung pada tingkat 4,5

Risiko ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan


ketidakadekuatan intake nutrisi respons sekunder akibat nyeri, ketidaknyamanan
lambung dan intestinal
Tujuan: dalam waktu 1x24 jam pasien akan mempertahankan kebutuhan nutrisi
yang adekuat
Kriteria evaluasi:
a. Membuat pilihan diet untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dalam situasi
individu
b. Menunjukkan peningkatan berat badan
Intervensi Rasional
Kaji pengetahuan pasien tentang Tingkat pengetahuan dipengaruhi oleh
intake nutrisi kondisi sosial ekonomi pasien. Perawat
menggunakan pendekatan yang sesuai
dengan kondisi pasien. Dengan mengetahui
tingkat pengetahuan tersebut, perawat dapat
lebih terarah dalam memberikan pendidikan

19
kesehatan yang sesuai dengan pengetahuan
pasien secara infektif dan efisien
Mulai dengan makanan kecil dan Kanduangan makanan dapat mengakibatkan
tingkatkan sesuai dengan toleransi. ketidaktoleransian GI, sehingga
Catat tanda kepenuhan gaster, memerlukan perubahan pada kecepatan atau
regurgutas, dan diare. tipe formula
Berikan diet nutrisi seimbang Macam-macam jenis makanan dapat dibuat
(misalnya: semi kental atau makanan untuk tambahan atau batasan faktor tertentu,
halus) atau makanan selang (contoh: seperti lemak dan gula atau memberikan
makanan dihancurkan atau sediaan makanan yang disediakan pasien.
yang dijual) sesuai indikasi
Fasilitas pasien memperoleh diet Konsumsi minuman yang mengandung
sesuai indikasi dan anjurkan kafein perlu dihindari karena kafein adalah
menghindari paparan dari agen iritan stimulant system saraf pusat yang dapat
meningkatkan aktivitas lambung serta
sekresi pepsin. Konsumsi alcohol harus
dihindari, demikian juga dengan rokok
karena nikotin akan mengurangi sekresi
bikarbonat pancreas sehingga akan
menghambat netralisasi asam lambung
dalam duodenum. Nikoton juga
meningkatkan netralisasi asam lambung
dalam duodenum. Nikotin juga
meningkatkan stimulasi parasimpatis yang
meningkatkan aktivitas otot dalam usus dan
dapat menimbulkan mual dan muntah
Berikan diet secara rutin Pemberian diet sedikit tapi sering pada
pasien gastritis akut merupakan intervensi
yang tidak efektif dan tidak efisien apabila
pasien mendapat reseptor H2, dimana
pemberian diet sedikit tapi sering akan
merangsang pegeluaran kembali asam
lambung yang berakibat meningkatkan
perasaan tidak nyaman pada
gastrointestinal. Pemberian diet sedikit tapi
sering pada kondisi di rumah sakit
merupakan intervensi yang jarang dilakukan
karena tidak efisien dalam pengaturan pola
pemberian dan persiapan makanan, kondisi
tersebut juga menyebabkan makanan yang
sudah dingin membuat selera makan pasien
berkurang. Pemberian rutin 3x sehari

20
ditunjang dengan pemberian reseptor
penghambat H2 memiliki arti efisiensi dan
efektifitas dalam persiapan material
makanan, makanan masih dalam keadaan
hangat serta memudahkan perawat dan diet
pasien dalam memantau kemmapuan makan
dari pasien. Hal ini dengan pemberian diet
makanan secara rutin akan memberikan
kondisi normal terhadap fungsi
gastrointestinal dalam melakukan aktifitas
rutin selama dirwata dan setelah pasien
pulang kerumah
Berikan nutrisi parenteral Nutrisi secara intravena dapat membantu
memenuhi kebutuhan nutrisi yang
diperlukan oleh pasien untuk
mempertahankan nutrisi harian.

Resiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan keluarnya


cairan dari muntah yang berlebihan
Tujuan: dalam waktu 1x 24 jam ketidakseimbangan cairan dan elektrolit tidak
terjadi.
Kriteria evaluasi:
a. Pasien tidak mengeluh pusing
b. Turgor kulit normal
c. Membrane mukosa lembab
d. TTV dalam batas normal, CRT lebih dari 3 detik, urine lebih dari 600mL
perhari
e. Laboratorium: nilai elektrolit normal, hematocrit dan protein meningkat,
BUN atau Ceratin menurun
Intervensi Rasional
Monitor status cairan (turgor kulit, Jumlah dan tipe cairan pengganti ditentukan
membrane mukosa dan urine output) dari keadaan status cairan. Penurunan
volume cairan mengakibatkan menurunnya
produksi urine. Monitor dilakukan dengan
ketat dengan produksi urine. Produksi urine
kurang dari 600mL perhari merupakan
tanda-tanda syok hipovolemik.
Kaji sumber kehilangan cairan Kehilangan cairan dari muntah dapat
dipengaruhi dengan keluarnya natrium
melalui oral yang juga akan meningkatkan
resiko gangguan elektrolit
Pengukuran tekanan darah Hipotensi dapat terjadi pada kondisi
hopovolemia. Hal tersebut menunjukkan

21
manifestasi terlibatnya system
kardiovaskuler untuk melakukan
kompensasi mempertahankan tekanan darah
Kaji warna kulit, suhu, sianosis, nadi Mengetahui adanya pengaruh peningkatan
perifer dan diaphoresis secara teratur tahanan perifer.
Tindakan kolaborasi: pertahankan Jalur yang paten penting untuk pemberian
pemberian cairan secara intravena cairan cepat dan memudahkan perawata
dalam melakukan control intake dan output
cairan

Kurang pengetahuan berhubungan dengan ketidakadekuatan informasi


penatalaksanaan diet dan faktor pencetus iritan pada mukosa lambung
Tujuan: dalam waktu 1x24 jam pasien mampu melaksakan apa yang telah
diinformasikan
Kriteria evaluasi:
a. Pasien mampu mengulang ( menyebutkan kembali ) infomasi penting yang
diberikan
b. Pasien terlihat termotivasi terhadap informasi yang dijelaskan
Intervensi Rasional
Kaji kemampuan pasien untuk Keberhasilan proses pembelajaran
mengikuti pembelajaran ( tingkat dipengaruhi oleh kesiapan fisik emosional,
kecemasan, kelelahan umum, dan lingkungan yang kondusif
pengetahuan pasien sebelumnya
dan suasana yang tepat)
Jelaskan tentang proses terjadinya Pengetahuan pasien tentang gastritis
gastritis akut sampai menimbulkan dievaluasi sehingga rencana penyuluhan
keluhan pada pasien. dapat bersifat individual. Diet disesuaikan
dan diberikan sesua dengan kebutuhan kalori
harian, makanan yang disukai serta pola
makan
Bantu pasien mengidentifikasi agen Meningkatkan partisipasi pasien dalam
iritan pogram pengobatan dan mencegah klien
untuk kontak kembali dengan agen iritan
lambung
Hindari dan beri daftar agen-agen Pasien diberi daftar agen-agen iritan untuk
iritan yang menjadi predisposisi dihindari ( missal: kafein, nikotin, bumbu
timbulnya keluhan pedas, pengiritasi atau makanan sangat
merangsang dan alcohol)
Tekankan pentingnya Diet TKTP dan cairan yang adekuat
mempertahankan intake nutrisi memenuhi peningkatan kebutuhan metabolit
yang mengandung protein dan tubuh. Pendidikan kesehatan tentang hal
kalori yang tinggi serta intake tersebut meningkatkan kemandirian pasien
cairan yang cukup setiap hari. dalam perawatan penyakitnya.

22
Kecemasan berhubungan dengan adanya nyeri, muntah darah
Tujuan: secara subjektif melaporkan rasa cemas berkurang
Kriteria evaluasi:
a. Pasien mampu mengungkapkan perasaannya kepada perawat
b. Pasien dapat mendemonstrasikan ketrampilan pemecahan masalahnya dan
perubahan koping yang digunakan sesuai situasi yang dihadapi
c. Pasien dapat mencatat penurunan kecemasan atau ketakutan dibawah
standar
d. Pasien dapat rileks dan tidur atau istirahat dengan baik
Intervensi Rasional
Monitor respons fisik, seperti Digunakan dalam mengevaluasi derajat atau
kelelahan, perubahan tanda vital, tingkat kesadaran atau konsentrasi,
serta gerakan yang berulang-ulang; khususnya ketika melakukan komunikasi
catat kesesuaian respon verbal dan verbal
non verbal serta komunikasi
Anjurkan pasien dan keluarga untuk Memberikan kesempatan untuk
mengungkapkan dan berkonsentrasi, kejelasan dari rasa takut, dan
mengekspresikan rasa takutnya mengurangi cemas yang berlebihan
Catat reaksi dari pasien atau Respons dan kecemasan anggota keluarga
keluarga, berikan kesempatan untuk terhadap apa yang terjadi, dapat disampaikan
mendiskusikan perasaan/ kepada perawat
konsentrasinya, serta harapan masa
depan
Anjurkan aktivitas pengalihan Sejumlah aktivitas maupun ketrampilan baik
perhatian sesuai kemampuan sendiri maupun dibantu selama melakukan
individu, seperti: menulis, rawat inap dapat menurunkan tingkat
menonton TV, dan ketrampilan kebosanan yang dapat menjadi stimulus
tangan kecepatan

c. Evaluasi
Hal yang duharapkan pada pasien gastritis akut setelah
mendapat intervensi keperawatan adalah sebagai berikut:
a. Nyeri episgatrium berkurang atau beradaptasi
b. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit tidak terjadi
c. Informasi terpenuhi
d. Tingkat kecemasan berkurang

2. Asuhan Keperawatan Gastritis Kronis.


a. Pengkajian
Pada anamnesis, perawat menanyakan tentang keluhan yang
dirasakan pasien. Ada beberapa penekanan penting yang perlu
dilakukan perawat pada saat anamnesis, yaitu sebagai berikut:

23
1. Apakah pasien mengalami ulu hati, apabila ada lakukan
pengkajian nyeri dengan pendekatan PQRST
2. Apakah pasien mengeluh tidak nafsu makan, atau mual, atau
muntah?
3. Bagaimana keluhan terjadi. Pada waktu kapan saja ?sebelum
atau sesudah makan, setelah mencerna makanan pedas atau
pengiritasi, atau setelah mencerna obat tertentu atau alcohol.
4. Bagaimana cara pasien untuk menurunkan keluhan ?minta
pertolongan kesehatan atau berupaya untuk mengobati sendiri.
5. Apakah keluhan yang ada berhubungan dengan ansietas,
depresi, stress, alergi, makan dan minum terlalu banyak atau
makan terlalu cepat?
6. Bagaimana kaluhan berkurang atau hilang ?apakah dengan obat-
obatan atau sembuh dengan sendirinya.
7. Apakah riwayat penyakit lambung atau pembedahan lambung
sebelumnya ?
8. Bagaimana riwauyat diet ?apa saja makanan yang dikonsumsi
selama 72 jam terakhir.
9. Apakah ada orang lain dilingkungan pasien yang mempunyai
gejala serupa ?
10. Apakah pasien memuntahkan darah ?
11. Sejak kapan pasien terlihat pucat ?

Perawat perlu mengkaji faktor predisposisi penyebab, seperti


kebiasaan mengkonsumsi makanan berbumbu dan minuman
dengan kandungan kafein dan alcohol. Hal tersebut merupakan
agen-agen yang menyebabkan iritasi mukosa lambung. Makanan
dan minuman dalam 24jam terakhir harus didokumentasikan,
khususnya pada pasien yang mengkonsumsi aspirin dengan
alcohol.
Pengkajian riwayat penggunaan obat, khususnya pada pasien
yang menderita penyakit peradaan tinggi pada penggunaan OAINS
dan pasien pasca intervensi kemoterapi. Riwayat adanya penurunan
imunitas seperti kanker, luka bakar, sepsis, trauma, pembedahan,
gagal napas, gagal ginjal, dan kerusakan susunan saraf pusat dapat
menjadi faktor penyebab gastritis akut.
Pengkajian riwayat sanitasi lingkungan, penggunaan air minum
dan cara pengolahan makanan perlu ditanyakan untuk mengkaji
kemungkinan infeksi H. pylori. Infeksi ini menimbulkan keluhan
nyeri epigastrium, mual, muntah, kembung malaise dan kadang-
kadang demam.
Pada gastritis autoimun didapatkan berbagai manifestasi yang
berhubungan dengan defisiensi kobalamin. Manifestasi defisiensi
kobalamin akan mempengaruhi kondisis fungsi hematologi,

24
gastrointestinal, dan system saraf. Pada pengkajian hematologi,
akan didapatkan tanda dan gejala megaloblastik anemia, tetapi bisa
didapatkan adanya purpura dari trombositopenia. Gejala lainnya
dari anemia termasuk kelemahan, vertigo, tinnitus, palpitasi,
angina, dan gejala gagal jantung kongestif (Sepulveda, 2008).
Manifestasi pada gastrointestinal dapat berupa ulkus lidah,
anoreksia, penurunan berat badan, diare, dan malabsorpsi yang
dihubungkan dengan perubahan megaloblastik (Mukherjee, 2009).
Manifestasi neurologis terjadi akibat adanya demielinisasi,
degenerasi akson, dan kematian neural dengan memberikan
pengaruh pada saraf perifer, posterior, dan lateral dari kolum spina
dan serebrum. Tanda dan gejala yang muncul berupa parastesia
kelemahan, dan ataksia. Perubahan yang lebih berat berupa
perubahan mental dan psikosis (Sepulveda, 2008). Kondisi anemia
pernisiosa ini dihubungkan dengan peningkatan karsinoid lambung
dan meningkatkan terjadinya kanker lambung (Genta, 1996).
Pada pemeriksaan fisik biasanya didapatkan nyeri tekan
abdomen, dehidrasi (perubahan turgor kulit, membrane mukosa
kering ), dan bukti adanya gangguan sistemik dari sekunder anemia
pernisiosa.
Pengkajian diagnostic perlu dilakukan apabila keluhan
memanjang dan resisten terhadap program pengobatan medis.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksan histopatologi biopsy
mukosa lambung. Secara patologi anatomi, gastritis kronik fundus
dapat dibagi menjadi gastritis superfisial, gastritis atrofi, dan
gastritis lambung. Jenis gastritis disebut gastritis superfisialis
apabila kelainan hanya terbatas pada epitel mukosa superfisial. Sel
sel kelenjar mukosa lambung tidak terkena, kelainannya biasanya
berupa peradangan kronik (Lewis, 2000).
Pemeriksaan lainnya yang mendukung adalah dengan
pemeriksaan endoskopi untuk fisualisasi langsung dan biopsy
kondisi arsitektur mikrovaskular subepitelium dan mikostruktur
permukaan mukosa. Pada gastritis atrofi terdapat kerusakan
sebagian sel sel kelenjar fundus. Atrofi lambung ditandai dengan
kerusakan yang berat pada sel - sel kelenjar fundus. Sebagian
besar kelenjar fundus menghilang dan diganti oleh sel sel usus
dan mukosa. Pada pemeriksaan gastroskopi, perubhan perubahan
yang terjadi sering tidak begitu tampak. Setelah terjadi kerusakan
berat, misalnya atrofi lambung, baru akan terlihat atrofi mukosa.
Pada fundus dan korpus, hampir hamper tidak tampak lagi rugae.
Mukosa pucat dan pembuluh darah submukosa kelihatan.
Pemeriksaan radiologi tidak berguna untuk menegakkan
diagnosis gastritis kronik. Terkadang gastritis kronik antrum dapat

25
menyebabkan penyempitan daerah antrum-pilorus yang pada
pemeriksaan radiologi menyerupai proses ganas.

1. Pengkajian penatalaksaan medis.


Penatalaksanaan diberikan sesuai dengan penyebab spesifik
yang diketahui misalnya akibat infeksi H. pylori. Pengobatan
simptomatis dilakukan untuk menurunkan keluhan, seperti
pemberian obat obat lambung. Anemia yang disebabkan oleh
gastritis kronik biasanya bereaksi baik terhaadap pemberian
vitamin B12 atau preparat besi, tergantung dari defisiensinya.
Apabila penyebabnya dapat ditemukan, misalnya refluks usus
lambung, sebaiknya dikoreksi.

b. Diagnosis keperawatan
Diagnosis keperawatan yang lazim pada pasien dengan gastritis
kronis adalah sebagiai berikut :
1. Nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa lambung.
2. Resiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan
dengan keluarnya cairan dari muntah yang berlebihan.
3. Ketidakseimbangan nutrisi berhubungan dengan intake nutrisi
tidak adekuat sekunder akibat mual, muntah, dan anoreksia.
4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan penatalaksanaan diet
dan proses penyakit.
5. Kecemasan berhubungan dengan kondisi penyakit dan program
pengobatan.

c. Rencana keperawatan
Prioritas intervensi dilakukan untuk menurunkan respons nyeri
episgastrium, penurunan risiko ketidakseimbangan cairat dan
elektrolit, pemenuhan intake nutrisi harian, dan penurunan respons
kecemasan.

Nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa lambung


Tujuan: dalam waktu 1x24 jam nyeri berkurang/hilang atau teradaptasi
Kriteria evaluasi:
a. Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat teradaptasi
b. Skala nyeri 0-1 ( 0-4)
c. Dapat mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri
d. Pasien tidak gelisah
Intervensi Rasional
Kaji skla nyeri 0-4 Perawat mengkaji tingkat nyeri dan
kenyamanan pasien setelah penggunaan
obat-obatan dan menghindari zat pengiritasi
Jelaskan dan bantu pasien dengan Pendekatan dengan menggunakan relaksasi

26
tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan nonfarmakologi lainnya telah
dan non-invasif menunjukkan keefektifan dalam
mengurangi nyeri
Lakukan manajemen nyeri Istirahat secara fisiologis akan menurunkan
a. Istirahatkan pasien kebutuhan oksigen yang diperlukan untuk
b. Ajarkan teknik distraksi pada memenuhi kebutuhan metabolism basal
saat nyeri Distraksi (pengalihan perhatian) dapat
c. Manajemen pemberian diet menurunkan stimulus internal
dan menghindari agen iritan Dengan menghindari makanan dan
mukosa lambung minuman yang mengiritasi mukosa
lambung, maka dapat menurunkan
intensitas nyeri
Tingkatkan pengetahuan tentang Pengetahuan yang akan dirasakan
sebab-sebab nyeri dan membantu mengurangi nyerinya dan dapat
menghubungkan berapa lama nyeri membantu mengembangkan kepatuhan
akan berlangsung pasien terhadap rencana teraupetik.
Tindakan kolaborasi : Simetidin menghambat histamine H2,
a. Pemakaian penghambat H2 menurunkan produksi asam lambung,
seperti Cimetidin/ Ranitidin meningkatka pH lambung dan menurunkan
b. Antasida iritasi pada mukosa lambung, penting untuk
penyembuhan dan pencegahan lesi.
Antasida untuk mempertahankan pH
lambung pada tingkat 4,5.

Risiko ketidakseimbangan cairn dan elektrolit berhubungan dengan keluarnya cairan


dari muntah yang berlebihan.
Tujuan : Dalam waktu 1x24 jam tidak terjadi ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit
Kriteria evaluasi :
a. Pasien tidak mengeluh pusing
b. Membrane mukosa lembab, turgor kulit normal
c. TTV dalam batas normal, CRT >3 detik
d. Urine >600mL/hari
e. Laboratorium : nilai elektrolit normal, nilai hematocrit dan protein serum
meningkat, BUN/keratin menurun.
Intervensi Rasional
Monitor status cairan (turgor kulit, Jumlah dan tipe cairan pengganti ditentukan
membrane mukosa, dan keluaran dari keadaan status cairan. Penurunan
urine) volume cairan mengakibatkan menurunnya
produksi urine. Monitor dilakukan dengan
ketat pada produksi urune <600 mL/hari
karena hal tersebut merupakan tanda tanda
terjadinya syok hipovolemik.

27
Kaji sumber kehilangan cairan. Kehilangan cairan dari muntah dapat disertai
dengan keluarnya natrium peroral yang juga
akan meningkatkan risiko gangguan
elektrolit.
Pengukuran tekanan darah Hipotensi dapat terjadi pada kondisi
hypovolemia. Hal tersebut menunjukkan
manifestasi terlibatnya system
kardiovaskular untuk melakukan kompensasi
mempertahankan tekanan darah.
Manajemen pemberian cairan Intake dan output cairan setiap hari dipantau
untuk mendeteksi tanda tanda awal
dehidrasi (keluaran urine minimal 30mL/jam,
masukan minimal 1,5L/hari). bila makanan
dan minuman ditunda, maka biasanya cairan
intravena (3L/hari) diberikan. Masukan
cairan ditambah nilai kalori diukur (1 L
dekstrose 5% dalam air = 170 kalori
karbohidrat). Nilai elektrolit (natrium,
kalium, dan klorida) dapat dikaji setiap 24
jam untuk mendeteksi indicator awal
ketidakseimbangan (Smeltzer, 2002).

Resiko ketidakseimbangan nutrisi berhubungan dengan intake nutrisi tidak adekuat


sekunder akibat mual, muntah, anoreksia.
Tujuan : dalam waktu 2 x 24 jam setelah diberikan asupan, nutrisi pasien terpenuhi
Kriteria evaluasi :
a. Pasien dapat mempertahankan status asupan nutrisi yang adekuat
b. Pernyataan motivasi yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya.
Intervensi Rasional
Kaji status nnutrisi pasien,turgor Memvalidasi dan menetapkan derajat masalah
kulit, berat badan dan derajat untuk menetapkan pilihan intervensi yang
penurunan berat badan, integritas tepat.
mukosa oral, kemampuan menela,
riwayat mual/muntah dan diare
Fasilitasi pasien memeroleh diet Memperhitungkan keinginan individu dapat
biasa yang disukai pasien (sesuai memperbaiki intake nutrisi
indikasi).
Pantau intake dan output, anurkan Berguna dalam mengukur keefektifan nutrisi
untuk timbang berat badan secara dan dukungan cairan. Makanan dan cairan
periodic (seminggu sekali). tidak diizinkan masuk per oral selama
beberapa jam atau beberapa hari sampai gejala
akut berkurang. Bila makanan diberikan,
adanya gejala yang menunjukkan berulangnya

28
episode gastritis dievaluasi dan dilaporkan.
Lakukan dan ajarkan perawatan Menurunkan rasa tidak enak, karena sisa
mulut sebelum dan sesudah makanan dan bau obat yang dapat merangsang
makan, serta sebelum dan sesudah pusat muntah.
intervensi atau pemeriksaan per
oral.
Fasilitasi pasien memperoleh diet Konsumsi minuman yang mengandung kafein
sesuai indikasi dan anjurkan dihindari karena kafein adalah stimulus system
menghindari paparan dari agen saraf pusat yang dapat meningkatkan aktivitas
iritan. lambung dan sekresi pepsin. Konsumsi alcohol
juga dihindari, demikina juga dengan rokok
karena nikotin akan mengurangi sekresi
bikarbonat pancreas sehingga dapat
menghambat netralisasi asam lambugn dalam
duodenum. Nikotin juga meningkatkan
stimulasi parasimpatetis yang menigkatkan
aktivitas otot dalam usus dan dapat
menimbulkan mual dan muntah.
Kolaborasi dengan ahli diet untuk Merencanakan diet dengan kandungan nutrisi
menetapkan komposisi dan jenis yang adekuat untuk memenuhi peningkatan
diet yang tepat. kebutuhan energy dan kalori sehubungan
dengan status hipermetabolik pasien.
Kolaborasi untuk pemberian anti Meningkatkan rasa nyaman pada
muntah gastrointestinal dan meningkatkan intake
nutrisi dan cairan per oral

Kurang pengetahuan berhubungan dengan penatalaksaan diet dan proses penyakit


Tujuan : dalam waktu 1x24 jam pasien mampu melaksanakan apa yang telah
diinformasikan.
Kriteria evaluasi :
a. Pasien mampu mengulang (menyebutkan kembali) informasi penting yang
diberikan.
b. Pasien terlihat termotivasi terhadap informasi yang dijelaskan.
Intervensi Rasional
Kaji kemampuan pasien untuk Keberhasilan proses pembelajaran dipengaruhi
mengikuti pembelajaran oleh kesiapan fisik, emosional, dan lingkungan
(tingkat kecemasan, kelelahan yang kondusif.
umum, pengetahuan pasien
sebelumnya dan suasana yang
tepat).
Jelaskan tentang proses Pengetahuan pasien tentang gastritis dievaluasi
terjadinya gastritis kronis sehingga rencana penyuluhan dapat secara
sampai menimbulkan keluhan individual. Diet diberukan dan disesuaikan

29
pada pasien dengan jumlah kebutuhan kalori harian, makanan
yang disukai, dan pola makan.
Hindari dan beri daftar agen Pasien diberi daftar agen agen iritan untul
agen iritan yang menjadi dihindari (misalnya kafein, nikotin, bumbu pedas,
predisposisi timbulnya keluhan. pengiritasi atau makanan yang sangat
merangsang, dan alcohol)
Bantu pasien mengidentifikasi Meningkatkan partisipasi pasien dalam program
agen iritan pengobatan dan mencegah klien untuk kontak
kembali dengan agen iritan lambung.
Jelaskan pentingnya obat Pasien dengan anemia pernisioma diberi instruksi
obatan dan vitamin B12 tentang kebutuhan terhadap vitamin B12 jangka
panjang.

Kecemasan berhubungan dengan nyeri, muntah darah


Tujuan : secara subjektif melaporkan rasa cemas berkurang
Kriteria evaluasi :
a. Pasien mampu mengungkapkan perasaannya kepada perawat
b. Pasien dapat mendemonstrasikan ketrampilan pemecahan masalah dan
perubahan koping yang digunakan sesuai situasi yang dihadappi
c. Pasien dapat mencatat penurunan kecemasan atau ketakutan dibawah sadar
d. Pasien daot rileks dan tidur/ istirahat dengan baik
Intervensi Rasional
Monitor respons fisik, seperti Digunakan dalam mengevaluasi derajat/ tingkat
kelemahan, perubahan tanda kesadaran/ konsentrasi, khususnya ketika
vital, dan gerakan yang berulang melakukan komunikasi verbal.
ulang. Catat kesesuaian
respons verbal dan nonverbal
selama komunikasi
Anjurkan pasien dan keluarga Memberikan kesempatan untuk berkonsentrasi,
untuk mengungkapkan dan kejelasan dari rasa takut dan mengurangi cemas
mengekspresikan rasa takutnya. yang berlebihan.
Catat reaksi dari pasien / Respons dan kecemasan anggota keluarga
keluarga. Berikan kesempatan terhadap apa yang terjadi dapat disampaikan
untuk mendiskusikan kepada perawat
perasaannya, konsentrasinya,
dan harapan masa depan.
Anjurkan antivitas pengalihan Sejumlah aktivitas atau keterampilan baik sendiri
perhatian sesuai kemampuan maupun dibantu selama melakukan rawat inap
individu, seperti menulis, dapat menurunkan tingkat kebosanan yang dapat
menonton TV dan keterampilan menjadi stimulus kecemasa.
tangan.

d. Evaluasi

30
a.Tipe A berkaitan dengan tidak adanya atau rendahnya kadar asam
hidroklorida
b. Tipe B berkaitan dengan hiperklorhidria
c.Gastroskopi, gastrointestinal bagian atas, serangkaian pemeriksaan sinar-X
dan pemeriksaan histologis

31
BAB 3
TINJAUAN ASUHAN KEPERAWATAN KASUS

Kasus:
Nn.T (22Th) adalah mahasiswi tingkat akhir yang sedang
menempuh skripsi. Ia mengeluh perut bagian atas kiri terasa nyeri. Saat
ditanyakan, Nn.T mengaku tidak bisa tidur dikarenakan perutnya yang
terasa nyeri saat digerakkan, sering mual saat makan, dan merasa cemas.
Saat diperiksa, ditemukan bahwa adanya peningkatan tekanan nadi dan
suhu tubuh, penurunan tekanan darah, dan adanya distensi pada abdomen.

Asuhan Keperawatan:
3.1Pengkajian
3.1.1 Anamnesa
1. Identitas Pasien
- Nama : Nn.T
- Usia : 22 Thn
- Jenis kelamin : Perempuan
- Jenis pekerjaan : Mahasiswi
- Alamat : Surabaya
- Suku/bangsa : Jawa/Indonesia
- Agama : Islam

2. Riwayat sakit dan kesehatan


a Keluhan utama : Nyeri perut bagian atas
. saat digerakkan

b Riwayat penyakit saat : Selama 3 hari Nn.T


. ini mengeluh nyeri dibagian
perut atas, merasa mual
saat makan dan terlihat
cemas.Nn.T juga
mengatakan bahwa
perutnya terasa nyeri saat
ditekan
c Riwayat penyakit : Riwayat Gastritis
. dahulu

3.1.2 Pemeriksaan fisik: Review of System

1. B1 (breath) : Tidak ada masalah dengan RR

32
2. B2 (blood) : Mengalami penurunan tekanan darah,
warna kulit pucat.
3. B3 (brain) : Kelemahan, nyeri epigastrum.

4. B4 (bladder) : Gangguan elektrolit (muntah)

5. B5 (bowel) : Anemia, mual, muntah, nyeri ulu hati,


tidak toleran terhadap makanan pedas
6. B6 (bone) : Kelelahan

3.1.3 Pemeriksaan Diagnostik


a) Pemeriksaan darah
Tes ini digunakan untuk memeriksa apakah terdapat H.
Pylori dalam darah. Hasil tes yang positif menunujukkan bahwa pasien
pernah kontak dengan bakteri pada suatu waktu dalam hidupnya tapi itu
tidak menunjukkan bahwa pasien tersebut terkena infeksi. Tes darah dapat
juga dilakukan untuk memeriksa anemia yang terjadi akibat perdarahan
lambung karena gastritis.
b) Uji napas urea
Suatu metode diagnostik berdasarkan prinsip bahwa urea diubah
oleh urease H. Pylori dalam lambung menjadi amoniak dan
karbondioksida (CO2). CO2 cepat diabsorbsi melalui dinding lambung dan
dapat terdeteksi dalam udara ekspirasi.
c) Pemeriksaan feces
Tes ini memeriksa apakah terdapat bakteri H. Pylori dalam feses
atau tidak. Hasil yang positif dapat mengindikasikan terjadinya infeksi.
Pemeriksaan juga dilakukan terhadap adanya darah dalam feses. Hal ini
menunjukkan adanya perdarahan dalam lambung.
d) Endoskopi saluran cerna bagian atas
Dengan tes ini dapat terlihat adanya ketidaknormalan pada saluran
cerna bagian atas yang mungkin tidak terlihat dari sinar-X. Tes ini
dilakukan dengan cara memasukkan sebuah selang kecil yang fleksibel
(endoskop) melalui mulut dan masuk ke dalam esofagus, lambung dan
bagian atas usus kecil. Tenggorokan akan terlebih dahulu dianestesi
sebelum endoskop dimasukkan untuk memastikan pasien merasa nyaman
menjalani tes ini. Jika ada jaringan dalam saluran cerna yang terlihat
mencurigakan, dokter akan mengambil sedikit sampel (biopsy) dari
jaringan tersebut. Sampel itu kemudian akan dibawa ke laboratorium
untuk diperiksa. Tes ini memakan waktu kurang lebih 20 sampai 30 menit.
Pasien biasanya tidak langsung disuruh pulang ketika tes ini selesai, tetapi
harus menunggu sampai efek dari anestesi menghilang kurang lebih satu
atau dua jam. Hampir tidak ada resioko akibat tes ini. Komplikasi yang

33
sering terjadi adalah rasa tidak nyaman pada tenggorokan akibat menelan
endoskop.
e) Rontgen saluran cerna bagian atas
Tes ini akan melihat adanya tanda-tanda gastritis atau penyakit
pencernaan lainnya. Biasanya akan diminta menelan cairan barium terlebih
dahulu sebelum di rontgen. Cairan ini akan melapisi saluran cerna dan
akan terlihat lebih jelas ketika di rontgen.
f) Analisis Lambung
Tes ini untuk mengetahui sekresi asam dan merupakan teknik
penting untuk menegakkan diagnosis penyakit lambung. Suatu tabung
nasogastrik dimasukkan ke dalam lambung dan dilakukan aspirasi isi
lambung puasa untuk dianalisis. Analisis basal mengukur BAO ( Basal
Acid Output) tanpa perangsangan. Uji ini bermanfaat untuk menegakkan
diagnosis sindrom Zolinger-Elison (suatu tumor pankreas yang menyekresi
gastrin dalam jumlah besar yang selanjutnya akan menyebabkan asiditas
nyata).
g) Analisis stimulasi
Dapat dilakukan dengan mengukur pengeluaran asam maksimal
yang disebut MAO (Maximum Acid Output) setelah pemberian obat yang
merangsang sekresi asam seperti histamin atau pentagastrin. Tes ini untuk
mengetahui teradinya aklorhidria atau tidak.

3.2 Analisa Data


No. Data Etiologi Masalah
Keperawatan
1. DS:Pasien Kontak Penyebab Nyeri
mengeluh nyeri
DO: terlihat saat Iritasi Mukosa Lambung
cemas
P:Saat digunakan
bergerak. Faktor Psikologis(Cemas)
Q :nyeri tajam
seperti ditekan Mempengaruhi sistem limbik
R: di perut bagian
atas kiri Persepsi tidak nyaman
S: skala ke 6
T: saat tidak Nyeri
beraktifitas dan saat
bergerak.

34
2. DS: pasien mual, Kontak Penyebab Resiko
tidak nafsu makan Ketidakseimbangan
DO: pasien terlihat Iritasi Mukosa lambung Nutrisi
lesu,lemas,dan
pucat Pelepasan
Histamin,bradikinin,serotonin
,prostaglandin

Stimulus chemoresptor trigger


zone

Stimulus pada pusat muntah


di medulla oblongata

Koordinasi aktivitas gerak


lambung

Mual,muntah

3 DS: Pasien merasa Kontak penyebab Resiko


mual-mual saat ketidakseimbangan
makan Iritasi mukosa lambung cairan dan elektrolit
DO: Pasien muntah
Pelepasan Histamin,
bradikinin, serotonin,
prostaglandin

Stimulus chemoresptor trigger


zone

Stimulus pada pusat muntah


di medulla oblongata

Koordinasi aktivitas gerak


lambung

Mual,muntah

Intake cairan dalam tubuh

35
berkurang

Gangguan keseimbangan
elektrolit dalam tubuh

3.3 Diagnosa Keperawatan


1. Nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa lambung.
2. Risiko ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan ketidakadekuatan intake nutrisi sekunder
akibat nyeri, ketidaknyamanan lambung dan intestinal.
3. Risiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan
dengan keluarnya cairan dari muntah yang berlebihan.

3.4 Rencana Keperawatan


1. Nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa lambung
Tujuan dalam waktu 2 x 24 jam nyeri berkurang/ hilang atau teradaptasi.
Kriteria evaluasi :
a. Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi.
b. Skala nyeri 0-1 (0-4)
c. Dapat mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri
d. Pasien tidak gelisah.
Intervensi Rasional
Jelaskan dan bantu pasien dengan Pendekatan dengan menggunakan relaksasi
tindakan pereda nyeri dan nonfarmakologi lainnya telah
nonfarmakologi dan non invasive menunjukkan keefektifan dalam mengurangi
nyeri
Lakukan manajemen nyeri : a. Istirahat secara fisiologis akan
menurunkan kebutuhan oksigen yang
a. Istirahatkan pasien pada saat diperlukan untuk memenuhi begutuhan
nyeri muncul metabolism basal.
b. Ajarkan teknik relaksasi b. Meningkatkan intake oksigen sehingga
napas dalam saat nyeri akan menurunkan nyeri sekunder dari
muncul iskemia intestinal.
c. Ajarkan teknik distraksi pada c. Distraksi (pengalihan perhatian) dapat
saat nyeri menurunkan stimulus internal
d. Manajemen lingkungan : d. Lingkungan tenang akan menurunkan
lingkungan tenang, batasi stimulus nyeri eksternal. Pembatasan
pengunjung, dan istirahatkan pengunjung membantu meningkatkan
pasien. kondisi oksigen ruangan yang akan
e. Lakukan manajemen berkurang apabila banyak pengunjung
sentuhan yang berada diruangan. Istirahat
akanmenurunkan kebutuhan oksigen
jaringan perifer.

36
e. Manajemen sentuhan pada saat nyeri
berupa sentuhan dan dukungan psikologis
dapat membantu menurunkan.
Tingkatkan pengetahuan pasien Pengetahuan yang akan dirasakan membantu
tentang penyebab nyeri dan mengurangi nyeri yang dirasakan dan dapat
menghubungkan berapa lama nyeri mmbantu mengembangkan kepatuhan pasien
akan berlangsung terhadap rencana terapeutik.
Tindakan kolaborasi a. Cimetidine penghambat Histamin H2
a. Pemakaian penghambat H2 menurunkan produksi asam lambung,
(seperti Cimetidin atau meningkatkan pH lambung dan
Ranitidin) menurunkan iritasi pada mukosa lambung.
b. Antasida Hal ini penting untuk penyembuhan serta
pencegahan lesi.
b. Antasida untuk mempertahankan pH
lambung pada tingkat 4,5

2. Risiko ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan


ketidakadekuatan intake nutrisi respons sekunder akibat nyeri, ketidaknyamanan
lambung dan intestinal
Tujuan: dalam waktu 1x24 jam pasien akan mempertahankan kebutuhan nutrisi yang
adekuat
Kriteria evaluasi:
a. Membuat pilihan diet untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dalam situasi
individu
b. Menunjukkan peningkatan berat badan
Intervensi Rasional
Kaji pengetahuan pasien tentang Tingkat pengetahuan dipengaruhi oleh
intake nutrisi kondisi sosial ekonomi pasien. Perawat
menggunakan pendekatan yang sesuai dengan
kondisi pasien. Dengan mengetahui tingkat
pengetahuan tersebut, perawat dapat lebih
terarah dalam memberikan pendidikan
kesehatan yang sesuai dengan pengetahuan
pasien secara infektif dan efisien
Mulai dengan makanan kecil dan Kanduangan makanan dapat mengakibatkan
tingkatkan sesuai dengan toleransi. ketidaktoleransian GI, sehingga memerlukan
Catat tanda kepenuhan gaster, perubahan pada kecepatan atau tipe formula
regurgutas, dan diare.
Berikan diet nutrisi seimbang Macam-macam jenis makanan dapat dibuat
(misalnya: semi kental atau untuk tambahan atau batasan faktor tertentu,
makanan halus) atau makanan seperti lemak dan gula atau memberikan
selang (contoh: makanan makanan yang disediakan pasien.
dihancurkan atau sediaan yang

37
dijual) sesuai indikasi
Fasilitas pasien memperoleh diet Konsumsi minuman yang mengandung kafein
sesuai indikasi dan anjurkan perlu dihindari karena kafein adalah stimulant
menghindari paparan dari agen system saraf pusat yang dapat meningkatkan
iritan aktivitas lambung serta sekresi pepsin.
Konsumsi alcohol harus dihindari, demikian
juga dengan rokok karena nikotin akan
mengurangi sekresi bikarbonat pancreas
sehingga akan menghambat netralisasi asam
lambung dalam duodenum. Nikoton juga
meningkatkan netralisasi asam lambung
dalam duodenum. Nikotin juga meningkatkan
stimulasi parasimpatis yang meningkatkan
aktivitas otot dalam usus dan dapat
menimbulkan mual dan muntah
Berikan diet secara rutin Pemberian diet sedikit tapi sering pada pasien
gastritis akut merupakan intervensi yang tidak
efektif dan tidak efisien apabila pasien
mendapat reseptor H2, dimana pemberian diet
sedikit tapi sering akan merangsang
pegeluaran kembali asam lambung yang
berakibat meningkatkan perasaan tidak
nyaman pada gastrointestinal. Pemberian diet
sedikit tapi sering pada kondisi di rumah sakit
merupakan intervensi yang jarang dilakukan
karena tidak efisien dalam pengaturan pola
pemberian dan persiapan makanan, kondisi
tersebut juga menyebabkan makanan yang
sudah dingin membuat selera makan pasien
berkurang. Pemberian rutin 3x sehari
ditunjang dengan pemberian reseptor
penghambat H2 memiliki arti efisiensi dan
efektifitas dalam persiapan material makanan,
makanan masih dalam keadaan hangat serta
memudahkan perawat dan diet pasien dalam
memantau kemmapuan makan dari pasien.
Hal ini dengan pemberian diet makanan
secara rutin akan memberikan kondisi normal
terhadap fungsi gastrointestinal dalam
melakukan aktifitas rutin selama dirwata dan
setelah pasien pulang kerumah
Berikan nutrisi parenteral Nutrisi secara intravena dapat membantu

38
memenuhi kebutuhan nutrisi yang diperlukan
oleh pasien untuk mempertahankan nutrisi
harian.

1. Resiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan keluarnya


cairan dari muntah yang berlebihan
Tujuan: dalam waktu 1x 24 jam ketidakseimbangan cairan dan elektrolit tidak
terjadi.
Kriteria evaluasi:
a. Pasien tidak mengeluh pusing
b. Turgor kulit normal
c. Membrane mukosa lembab
d. TTV dalam batas normal, CRT lebih dari 3 detik, urine lebih dari 600mL
perhari
e. Laboratorium: nilai elektrolit normal, hematocrit dan protein meningkat, BUN
atau Ceratin menurun
Intervensi Rasional
Monitor status cairan (turgor kulit, Jumlah dan tipe cairan pengganti ditentukan
membrane mukosa dan urine dari keadaan status cairan. Penurunan volume
output) cairan mengakibatkan menurunnya produksi
urine. Monitor dilakukan dengan ketat dengan
produksi urine. Produksi urine kurang dari
600mL perhari merupakan tanda-tanda syok
hipovolemik.
Kaji sumber kehilangan cairan Kehilangan cairan dari muntah dapat
dipengaruhi dengan keluarnya natrium melalui
oral yang juga akan meningkatkan resiko
gangguan elektrolit
Pengukuran tekanan darah Hipotensi dapat terjadi pada kondisi
hopovolemia. Hal tersebut menunjukkan
manifestasi terlibatnya system kardiovaskuler
untuk melakukan kompensasi
mempertahankan tekanan darah
Kaji warna kulit, suhu, sianosis, Mengetahui adanya pengaruh peningkatan
nadi perifer dan diaphoresis secara tahanan perifer.
teratur
Tindakan kolaborasi: pertahankan Jalur yang paten penting untuk pemberian
pemberian cairan secara intravena cairan cepat dan memudahkan
perawatandalam melakukan kontrol intake dan
output cairan

39
BAB 4
KESIMPULAN

Gastritis atau yang lebih dikenal masyarakat dengan sebutan


penyakit maag adalah suatu peradangan local atau menyebar pada mukosa
lambung yang berkembang bila mekanisme protektif mukosa dipenuhi
dengan bakteri atau bahan iritan. Gastritis diklasifikasikan menjadi dua,
yaitu gastritis akut dan gastritis kronis. Gastritis akut paling sering
disebabkan oleh kesembronoan diit, alcohol, aspirin, atau terapi radiasi.
Gastritis akut juga dapat menjadi tanda pertama infeksi sistemik akut.
Sedangkan gastritis kronis diklasifikasikan menjadi dua, yaitu tipe A dan
tipe B. Tipe A berkaitan dengan penyakit autoimun. Tipe B (H. pylori)
mengenai antrum dan pylorus.
Patofisiologi terjadinya gastritis kronis masih belum jelas
diketahui, namun ada beberapa teori yang berhubungan dengan kondisi
krusakan permukaan mukosa lambung secara menahun. Pada banyak
orang yang mengalami gastritis autoimun, mukosa lambung secara
bertahap menjadi atrofi sampai sedikit atau tidak ada aktivitas kelenjar
lambung yang tersisa. Ada juga anggapan bahwa beberapa orang
mempunyai autoimunitas terhadap mukosa lambung, hal ini juga yang
akhirnya menyebabkan atrofi lambung.
H. pylori merupakan bakteri gram negative yang dapat hidup dan
berkoloni dalam lambung. Bakteri ini dapat hidup dengan membentuk
mucus dan menutupi permukaan epitelium lambung. Kehadiran bakteri ini
akan menimbulkan kerusakan jaringan. Respon tubuh terhadap bakteri ini
adalah memproduksi sel sel limfosit dan menginfiltrasi lamina propia
serta epitel lambung oleh leukosit polimononuklear pada mukosa lambung
yang menyebabkab aktifnya kondisi peradangan pada mukosa lambung.
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan gastritis akut
antara lain adalah perdarahan saluran cerna bagian atas, ulkus, dan
gangguan cairan dan elektrolit pada kondisi muntah hebat. Sedangan yang
dapat terjadi pada pasien dengan gastritis kronis antara lain anemia
pernisiosa, ulkus peptikum, dan keganasan lambung.

40
DAFTAR PUSTAKA

Baughman, Diane C. 2000. Keperawatan Medical Bedah: Buku


Saku untuk Brunner & Suddarth. Jakarta: EGC

Bulechek, Gloria M, Howard K. Butcher, dan Joanne McCloskey


Dochterman. Nursing Interventions Classification (NIC) Sixth Edition.
Mosby

Herdman, T. H. and Kamitsuru, S (Eds). 2014. NANDA


International Nursing Diagnosis: Defitions & Classification, 2015-2017.
Oxford: Wiley Blackwell

John Gibson. 2003. Fisiologi Anatomi Modern untuk Perawat


Edisi 2. Jakarta: EGC

Misnadiarly. 2009. Mengenal Penyakit Organ Cerna: Gastritis


(Dyspepsia atau Maag), Infeksi Mycobacteria pada Ulcer
Gastrointestinal/ Misnadiarly: Ed. 1. Jakarta: Pustaka Popular Obor

Moorhead, Sue, Marion Johnson, Meridean L. Maas, dan Elizabeth


Swanson. Nursing Outcomes Classification (NOC) Measurement of
Health Outcomes Fifth edition. Elsevier

Sabistons Essentials of Surgery. 1995. Buku Ajar Bedah. Jakarta:


EGC

Smetzer. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &


Suddarth Edisi 8 Vol 2. Jakarta: EGC

Soeparman. 2011. Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2. Jakarta: Gaya Baru

Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi


Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Vol. 1. Jakarta: EGC

Priyanto, Agus dan Sri Lestari. 2008. Endoskopi Gastrointestinal.


Jakarta: Salemba Medika

41

Anda mungkin juga menyukai