Makalah Eksaserbasi Asma Lapsus
Makalah Eksaserbasi Asma Lapsus
IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny NE
Umur : 49 tahun
Jenis kelamin : Wanita
Alamat : Pajagalan Kota
Agama : Islam
Suku bangsa : Madura
Tanggal pemeriksaan : Minggu,16 Oktober 2016
Nomor register : 54729
II. ANAMNESIS
KELUHAN UTAMA
Sesak nafas
KELUHAN TAMBAHAN
Sesak nafas sering timbul saat batuk pilek, batuk berdahak, berwarna
putih, berdarah (-).
1
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Orang tua pasien menderita asma
2
Temperature : 36,4 C aksiler
A. Status generalis
Kepala leher
Umum : slight anemis -, icterus -, sianosis -, dypnue +
Mata
Alis : normal
Bola mata : normal
Kelopak : normal
Konjungtiva : normal
Sclera : normal
Pupil : bulat, isokor, reflex cahaya +/+
Mata cowong : negatif
Telinga
Bentuk : normal
Lubang telinga : normal
Pendengaran : normal
Hidung
Penyumbatan : ada penyumbatan (rinhorea
Daya penciuman : normal
Mulut
Bibir : kering (-), tidak ada tanda sianosis
Gusi : tidak didapat perdarahan
Lidah : tidak kotor
Mukosa : tidak hiperemis
Palatum : tidak tampak ikterus
Leher
Kel.limfe : tidak ada pembesaran
Trakea : di tengah
Tiroid : tidak didapat pembesaran kelenjar
Arteri carotis : teraba pulsasi
3
Thorax
Umum
Bentuk : simetris
Pergerakan dada : simetris, retraksi suprasternal +
ICS : tidak ada pelebaran maupun penyempitan
Kulit dada : dalam batas normal
Kulit punggung : dalam batas normal
Axilla : pembesaran KGB (-)
Paru-paru
Inspeksi
Jenis Depan Belakang
pemeriksaan Kanan Kiri Kanan Kiri
Bentuk Simetris Simetris Simetris Simetris
Pergerakan Simetris Simetris Simetris Simetris
Palpasi
Jenis Depan Belakang
pemeriksaan Kanan Kiri Kanan Kiri
Pergerakan Simetris Simetris Simetris Simetris
Fremitus raba Normal Normal Normal Normal
Nyeri - - - -
Perkusi
Jenis Depan Belakang
pemeriksaan Kanan Kiri Kanan Kiri
Suara ketok Sonor Sonor Sonor Sonor
Sonor Sonor Sonor Sonor
Sonor Sonor Sonor Sonor
Nyeri ketok - - - -
Auskultasi
Jenis Depan Belakang
pemeriksaan Kanan Kiri Kanan Kiri
Suara nafas vesikuler vesikuler Vesikuler vesikuler
Suara Normal Normal Normal Normal
percakapan
Ronkhi - - - -
- - - -
- - - -
4
Wheezing - - -
Ekspirasi + + + +
paksa + + + +
Abdomen
Inspeksi : Supel, umbilicus masuk merata, meteorismus (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba, ginjal tidak teraba,
defans (-), nyeri tekan (-), turgor kulit cukup
Perkusi : timpani
Ekstremitas
Atas
Akral hangat
Tidak didapat deformitas
Sendi : tidak didapat kelainan
Kuku : tidak didapat kelainan, clubbing finger (-)
Jari : tidak didapat kelainan
Edema : tidak didapatkan
Bawah
Akral hangat
Tidak didapat deformitas
Sendi : tidak didapat kelainan
5
Kuku : tidak didapat kelainan, clubbing finger (-)
Jari : tidak didapat kelainan
Edema : (-)
V. RESUME
A. Anamnesis
Ny NE, 49 tahun datang ke UGD RSUD Muh Anwar dengan keluhan
sesak nafas disertai bunyi ngik sejak dua minggu ini. Dari anamnesa
didapatkan, sejak 20 tahun lalu pasien sering mengeluhkan sesak napas
dan telah didiagnosis menderita penyakit asma. Sesak nafas tersebut hilang
timbul, muncul tiap batuk pilek dan memberat saat cuaca dingin, pasien
juga mengeluhkan batuk berdahak, berwarna putih, darah (-). Pasien
mengaku saat sesak timbul masih mampu untuk berbicara tetapi beberapa
kata, berjalan, dan lebih nyaman dengan posisi duduk. Pasien berobat ke
dokter dan diberi berotec semprot, metilprednisolon, dan obat batuk.
Dengan minum obat tersebut, sesak nafasnya berkurang. Terakhir pasien
mengalami sesak 6 bulan yang lalu. Pasien alergi terhadap debu dan orang
tua pasien menderita asma.
B. Pemeriksaan Fisik
Respiratory Rate : 30x/mnt
Status Generalisata : dypnue (+)
retraksi suprasternal (+)
wheezing akhir ekspirasi (+/+)
6
VIII. TERAPI
Non Farmakologi : Hindari faktor pencetus
Farmakologi :
O2 3 L/menit nasal kanul
Nebulizer combivent setiap 20 menit dalam 1 jam, setelah itu nilai
kembali pemeriksaan fisik (auskultasi, otot bantu nafas, frekuensi
nafas, dan saturasi oksigen).
Respon baik dan stabil dalam 60 menit, pemeriksaan fisik normal,
saturasi oksigen > 95%, pulangkan.
Obat pulang :
Ambroxol tab 3 x 30 mg
Methilprednisolon tab 3 x 8 mg
Berotec aerosol
CTM 3 x 4 mg
Edukasi pengobatan yang benar dan kontrol ke poli dalam 3 hari
setelahnya.
IX. PROGNOSIS
Dubia ad bonam.
7
TINJAUAN PUSTAKA
I. Pendahuluan
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel
dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang
menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, yang menimbulkan gejala
episodik berulang dan mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam
atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas,
bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.(American
Academy of Allergy : 2007)
Definisi asma menurut WHO pada tahun 1975, yaitu keadaan kronik yang ditandai
oleh bronkospasme rekuren akibat penyempitan lumen saluran napas sebagai respon terhadap
stimulus yang tidak menyebabkan penyempitan serupa pada banyak orang.(Kartasasmita
CB ; 2008). Global Initiative for Asthma (GINA) mendefinisikan asma sebagai gangguan
inflamasi kronis salura n nafas dengan banyak sel berperan, khususnya sel mast, eosinofil,
dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi tersebut menyebabkan episode mengi
berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari.
Gejala tersebut biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas namun
bervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan
pengobatan. Inflamasi tersebut juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan nafas terhadap
berbagai rangsangan.(Nataprawira HMD ; 2008)
II. Etiologi
Sampai saat ini etiologi dari asma bronchial belum diketahui. Berbagai teori sudah
diajukan, akan tetapi yang paling disepakati adalah adanya gangguan parasimpatis
(hiperaktivitas saraf kolinergik), gangguan Simpatis (blok pada reseptor beta adrenergic dan
hiperaktifitas reseptor alfa adrenergik). Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat
diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu : (seperti pada gambar 1)
1. Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang
spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotic dan aspirin) dan
8
spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik
terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang
disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asma ekstrinsik.
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak
spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya
infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering
sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan
emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan.
3. Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk
alergik dan non-alergik.
Gambar 1: http://doctorology.net/wp-
content/uploads/2009/03/tipe-
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya
serangan asma bronkhial.
1. Faktor predisposisi
9
Genetik. Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum
diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi
biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat
alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan
foktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.
2. Faktor presipitasi
Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan (debu, bulu binatang, serbuk bunga,
spora jamur, bakteri dan polusi)
Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit (perhiasan, logam dan jam
tangan)
b. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma.
Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma.
Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti musim hujan, musim
kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu.
c. Stress
Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa
memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus
segera diobati penderita asma yang mengalami stress/gangguan emosi perlu diberi
nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi
maka gejala asmanya belum bisa diobati.
d. Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini
berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium
10
hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu
libur atau cuti.
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas
jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma.
Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.
III. Patogenesis
Asma merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang reversibel dan ditandai oleh
serangan batuk, mengi dan dispnea pada individu dengan jalan nafas hiperreaktif. Tidak
semua asma memiliki dasar alergi, dan tidak semua orang dengan penyakit atopik mengidap
asma. Asma mungkin bermula pada semua usia tetapi paling sering muncul pertama kali
dalam 5 tahun pertama kehidupan. Mereka yang asmanya muncul dalam 2 dekade pertama
kehidupan lebih besar kemungkinannya mengidap asma yang diperantarai oleh IgE dan
memiliki penyakit atopi terkait lainnya, terutama rinitis alergika dan dermatitis atopik.
(Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia.2004
Langkah pertama terbentuknya respon imun adalah aktivasi limfosit T oleh antigen
yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesori, yaitu suatu proses yang melibatkan molekul
Major Histocompability Complex atau MHC (MHC kelas II pada sel T CD4 + dan MHC kelas
I pada sel T CD8+). Sel dendritik merupakan Antigen Precenting Cells (APC) utama pada
saluran respiratori. Sel dendritik terbentuk dari prekursornya di dalam sumsum tulang, lalu
membentuk jaringan yang luas dan sel-selnya saling berhubungan di dalam epitel saluran
respiratori. Kemudian, sel-sel tersebut bermigrasi menuju kumpulan sel-sel limfoid di bawah
pengaruh GM-CSF, yaitu sitokin yang terbentuk oleh aktivasi sel epitel, fibroblas, sel T,
makrofag, dan sel mast. Setelah antigen ditangkap, sel dendritik pindah menuju daerah yang
banyak mengandung limfosit. Di tempat ini, dengan pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel
dendritik menjadi matang sebagai APC yang efektif.
Reaksi fase cepat pada asma dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitif terhadap
alergen Ig-E spesifik, terutama sel mast dan makrofag. Pada pasien dengan komponen alergi
yang kuat terhadap timbulnya asma, basofil juga ikut berperan. Reaksi fase lambat pada asma
timbul beberapa jam lebih lambat dibanding fase awal. Meliputi pengerakan dan aktivasi dari
11
sel-sel eosinofil, sel T, basofil, netrofil, dan makrofag. Juga terdapat retensi selektif sel T pada
saluran respiratori, ekspresi molekul adhesi, dan pelepasan newly generated mediator. Sel T
pada saluran respiratori yang teraktivasi oleh antigen, akan mengalami polarisasi ke arah Th2,
selanjutnya dalam 2 sampai 4 jam pertama fase lambat terjadi transkripsi dan transaksi gen,
serta produksi mediator pro inflamasi, seperti IL2, IL5, dan GM-CSF untuk pengerahan dan
aktivasi sel-sel inflamasi. Hal ini terus menerus terjadi, sehingga reaksi fase lambat semakin
lama semakin kuat.
Pada remodeling saluran respiratori, terjadi serangkaian proses yang menyebabkan
deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran respiratori melalui proses
dediferensiasi, migrasi, diferensiasi, dan maturasi struktur sel. Kombinsai antara kerusakan
sel epitel, perbaikan epitel yang berlanjut, ketidakseimbangan Matriks Metalloproteinase
(MMP) dan Tissue Inhibitor of Metalloproteinase (TIMP), produksi berlebih faktor
pertumbuhan profibrotik atau Transforming Growth Factors (TGF-), dan proliferasi serta
diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas diyakini merupakan proses yang penting dalam
remodelling. Miofibroblas yang teraktivasi akan memproduksi faktor-faktor pertumbuhan,
kemokin, dan sitokin yang menyebabkan proliferasi sel-sel otot polos saluran respiratori dan
meningkatkan permeabilitas mikrovaskular, menambah vaskularisasi, neovaskularisasi, dan
jaringan saraf. Peningkatan deposisi matriks molekul termasuk kompleks proteoglikan pada
dinding saluran respiratori dapat diamati pada pasien yang meninggal akibat asma. Hal
tersebut secara langsung berhubungan dengan lamanya penyakit.(Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan Di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.2004)
Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratori serta sel goblet dan kelenjar
submukosa terjadi pada bronkus pasien asma, terutama yang kronik dan berat. Secara
keseluruhan, saluran respiratori pasien asma, memperlihatkan perubahan struktur saluran
respiratori yang bervariasi dan dapat menyebabkan penebalan dinding saluran respiratori.
Remodeling juga merupakan hal penting pada patogenesis hiperaktivitas saluran respiratori
yang non spesifik, terutama pada pasien yang sembuh dalam waktu lama (lebih dari 1-2
tahun) atau yang tidak sembuh sempurna setelah terapi inhalasi kortikosteroid.(Pedoman
Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.2004)
12
Gambar 2 Patogenesis Asthma
Gejala asma, yaitu batuk sesak dengan mengi merupakan akibat dari obstruksi
bronkus yang didasari oleh inflamsai kronik dan hiperaktivitas bronkus.(Departemen
Kesehatan RI ;2009)
Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus
vagus dan mungkin juga epitel saluran nafas. Peregangan vagal menyebabkan refleks
bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan
membuat epitel jalan nafas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam
submukosa sehingga memperbesar reaksi yang terjadi.( Departemen Kesehatan RI ;2009)
13
IV. Patofisiologi Asma
Penyempitan saluran nafas yang terjadi pada pasien asma dapat disebabkan oleh
banyak faktor. Penyebab utamanya adalah kontraksi otot polos bronkial yang diprovokasi
mediator agonis yang dikeluarkan oleh sel inflamasi seperti histamin, triptase, prostaglandin
D2, dan leukotrien C4 yang dikeluarkan oleh sel mast, neuropeptidase yang dikeluarkan oleh
saraf aferen lokal dan asetilkolin yang berasal dari saraf eferen post ganglionik. Akibat yang
ditimbulkan dari kontraksi otot polos saluran nafas adalah hiperplasia kronik dari otot polos,
pembuluh darah, serta terjadi deposisi matriks pada saluran nafas. Namun,dapat juga timbul
pada keadaan dimana saluran nafas dipenuhi sekret yang banyak, tebal dan lengket
pengendapan protein plasma yang keluar dari mikrovaskularisasi bronkial dan debris seluler.(
Pusponegoro HD : 2005)
Secara garis besar, semua gangguan fungsi pada asma ditimbulkan oleh penyempitan
saluran respiratori, yang mempengaruhi seluruh struktur pohon trakeobronkial. Salah satu
mekanisme adaptasi terhadap penyempitan saluran nafas adalah kecenderungan untuk
bernafas dengan hiperventilasi untuk mendapatkan volume yang lebih besar, yang kemudian
dapat menimbulkan hiperinflasi toraks. (Gambar 4) Perubahan ini meningkatkan kerja
pernafasan agar tetap dapat mengalirkan udara pernafasan melalui jalur yang sempit dengan
rendahnya compliance pada kedua paru. Inflasi toraks berlebihan mengakibatkan otot
diafragma dan interkostal, secara mekanik, mengalami kesulitan bekerja sehingga kerjanya
menjadi tidak optimal . Peningkatan usaha bernafas dan penurunan kerja otot menyebabkan
timbulnya kelelahan dan gagal nafas.(Pusponegoro HD : 2005)
14
kontraktilitas ataupun fenotipnya. Sebagai tambahan, inflamasi pada dinding saluran nafas
yang terjadi akibat kontraksi otot polos tersebut. (Pusponegoro HD ; 2005)
Saluran respiratori dikatakan hiperreaktif atau hiperresponsif jika pada pemberian
histamin dan metakolin dengan konsentrasi kurang 8g% didapatkan penurunan Forced
Expiration Volume (FEV1) 20% yang merupakan kharakteristik asma, dan juga dapat
dijumpai pada penyakit yang lainnya seperti Chronic Obstruction Pulmonary Disease
(COPD), fibrosis kistik dan rhinitis alergi. Stimulus seperti olahraga, udara dingin, ataupun
adenosin, tidak memiliki pengaruh langsung terhadap otot polos saluran nafas (tidak seperti
histamin dan metakolin). Stimulus tersebut akan merangsang sel mast, ujung serabut dan sel
lain yang terdapat disaluran nafas untuk mengeluarkan mediatornya.(Pusponegoro HD ;
2005)
C. Otot polos saluran respiratori
Pada penderita asma ditemukan pemendekan dari panjang otot bronkus. Kelainan ini
disebabkan oleh perubahan pada aparatus kontraktil pada bagian elastisitas jaringan otot
polos atau pada matriks ektraselularnya. Peningkatan kontraktilitas otot pada pasien asma
berhubungan dengan peningkatan kecepatan pemendekan otot. Sebagai tambahan, terdapat
bukti bahwa perubahan pda struktur filamen kontraktilitas atau plastisitas dari sel otot polos
dapat menjadi etiologi hiperaktivitas saluran nafas yang terjadi secara kronik.(Pusponegoro
HD ; 2005)
Peran dari pergerakan aliran udara pernafasan dapat diketahui melalui hipotesis
pertubed equilibrium, yang mengatakan bahwa otot polos saluran nafas mengalami kekakuan
bila dalam waktu yang lama tidak direnggangkan sampai pada tahap akhir, yang merupakan
fase terlambat, dan menyebabkan penyempitan saluran nafas yang menetap atau persisten.
Kekakuan dari daya kontraksi, yang timbul sekunder terhadap inflamasi saluran nafas,
kemudian menyebabkan timbulnya edema adventsial dan lepasnya ikatan dari tekanan rekoil
elastis.(Pusponegoro HD ; 2005)
Mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast, seperti triptase dan protein kationik
eosinofil, dikatakan dapat meningkatkan respon otot polos untuk berkontraksi, sama seperti
mediator inflamasi yang lainnya seperti histamin. Keadaan inflamasi ini dapat memberikan
efek ke otot polos secara langsung ataupun sekunder terhadap geometri saluran nafas.
(Pusponegoro HD ; 2005)
D. Hipersekresi mukus
15
Hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet sering kali ditemukan pada saluran
nafas pasien asma dan penampakan remodeling saluran nafas merupakan karakteristik asma
kronis. Obstruksi yang luas akibat penumpukan mukus saluran nafas hampir selalu ditemukan
pada asma yang fatal dan menjadi penyebab ostruksi saluran nafas yang persisiten pada
serangan asma berat yang tidak mengalami perbaikan dengan bronkodilator.(Pusponegoro
HD ; 2005)
Sekresi mukus pada saluran nafas pasien asma tidak hanya berupa peningkatan
volume saja tetapi juga perbedaan pada viskoelastisitas. Penebalan dan perlengketan dari
sekret tidak hanya sekedar penambahan produksi musin saja tetapi terdapat juga penumpukan
sel epitel, pengendapan albumin yang bersal datri mikrovaskularisasi bronkial, eosinofil, dan
DNA yang berasal dari sel inflamasi yang mengalami lisis.(Pusponegoro HD ; 2005)
Hipersekresi mukus merefleksikan dua mekanisme patofisiologi yaitu mekanisme
terhadap sekresi sel yang mengalami metaplasia dan hiperplasia dan mekanisme patofisologi
hingga terjadi sekresi sel granulasi. Degranulasi sel Goblet yang dicetuskan oleh stimulus
lingkungan, diperkirakan terjadi karena adanya pelepasan neuropeptidase lokal atau aktivitas
jalur refleks kolinergik. Kemungkinan besar yang lebih penting adalah degranulasi yang
diprovokasi oleh mediator inflamasi, dengan aktivitas perangsang sekret, seperti neutrofil
elastase, kimase sel mast, leukotrien, histamin, produk neutrofil non-protease.(Pusponegoro
HD ; 2005)
E. Keterbatasan aliran udara ireversibel
Penebalan saluran nafas, yang merupakan karakteristik asma, terjadi pada bagian
kartilago dan membranosa dari saluran nafas, juga terjadi perubahan pada elastik dan
hilangnya hubungan antara saluran nafas dengan parenkim di sekitarnya, penebalan dinding
saluran nafas, ini menjelaskan mekanisme timbulnya penyempitan saluran nafas yang gagal
untuk kembali normal dan terjadi terus menerus. Kekakuan otot polos menyebabkan aliran
udara pernafasan terhambat hingga menjadi ireversibel.(Medical Communications Resources,
Inc ; 2006)
F. Eksaserbasi
Faktor yang dapat mencetuskan sehingga terjadi eksaserbasi dan yang dapat
menyebabkan bronkokonstriksi, seperti udara dingin, kabut, olahraga. Stimulus yang dapat
menyebabkan inflamasi saluran nafas seperti pemaparan alergen, virus saluran nafas.
Olahraga dan hiperventilasi pernafasan dengan keadaan udara dingin dan kering
16
menyebabkan bronkokonstriksi dan pelepasan sel lokal dan mediator inflamasi seperti
histamin, leukotrien yang dapat menstimulasi otot polos. Stimulus yang hanya menyebabkan
bronkokonstriksi tidak akan memperburuk respon bronkial yang diakibatkan oleh stimulus
yang lain, sehingga hanya bersifat sementara saja. Eksaserbasi asma dapat timbul selama
beberapa hari. Sebagian besar berhubungan dengan infeksi saluran nafas, yang paling sering
adalah common cold oleh Rhinovirus yang dapat menginduksi respon inflamasi
intrapulmoner. Pada pasien asma, inflamasi terjadi dengan derajat obstruksi yang bervariasi
serta dapat memperberat hipereaktivitas bronkial. Respon inflamasi ini melibatkan aktivasi
dan masuknya eosinofil dan atau neutrofil yang dimediasi oleh pelepasan sitokin atau
kemokin T atau sel epitel bronkial. Selain itu, paparan alergen juga mencetuskan eksaserbasi
pada pasien asma.(Medical Communications Resources, Inc ; 2006)
G. Asma nokturnal
Asma hanya mempengaruhi proses pertukaran gas bila serangan berat. Berat
ringannya hpoksemia arteri, dapat menggambarkan beratnya obstruksi saluran nafas yang
terjadi secara tidak merata di seluruh paru. Hipokapnea yang ditemukan pada serangan asma
ringan sampai sedang, dapat dilihat dari usaha bernafas yang lebih. Peningkatan PCO2 arteri
mengindikasikan sedang terjadi obstruksi berat dan ini dapat menghambat pergerakan otot
pernafasan dan usaha bernafas ( keracunan CO2)sehingga dapat timbul gagal nafas dan mati.
(Medical Communications Resources, Inc ; 2006)
V. Diagnosis
Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berkaitan dengan
cuaca. Anamsesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, di tambah dengan
pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan faal paru, akan
lebih meningkatkan nilai diagnostik.
Riwayat penyakit/gejala :
17
Bersifat episodik,seringkali reveribel dengan atau tanpa pengobatan
Pemeriksaan jasmani
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmanin dapat normal.
Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling serig ditemukan adalah mengi pada auskultasi.
Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun pada pengukuran
objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan napas, edema dan hipersekresi dapat
menyumbat saluran napas, maka sebagai kompensasi penderita bernapas pada volume paru
yang lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran napas. Hal itu meningkatkan kerja
pernapasan dan menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas, mengi dan hiperinflasi.
Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Walupun
demikian mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat, tetapi
biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar biacara,takikardi, hiperniflasi
dan penggunan otot bantu napas.
Faal paru
Umumya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi mengenai
asmanya, demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam menilai dispnea dan mengi,
sehingga dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal paru antara lain untuk menyamakan
18
persepsi dokter dan penderita, dan parameter objektif menilai berat asma. Pengukuran faal
paru digunakan untuk menilai ;
Parameter dan metode untuk menilai faal paru adalah pemeriksaan spirometri dan
arus puncak ekspirasi (APE).
Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP 1) dan kapasiti vital paksa
(KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang standar.
Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan penderita sehingga dibutuhkan
instruksi operator yang jelas dan kooeperasi penderita. Untuk mendapatkan nilai yang akurat,
diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan napas
diketahui dari nilai rasio VEP1/KVP<75% atau VEP1<80% nilai prediksi.
Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau pemeriksaan yang
lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter (PEF meter) yang relatif sangat
murah, mudah dibawa, terbuat dari plastik dan mungkin tersedia di berbagai tingkat layanan
kesehatan termasuk puskesmas ataupun instalasi gawat darurat. Alat PEF meter relatif mudah
digunakan/dipahami baik oleh dokter maupun penderita, sebaiknya digunakan penderita di
rumah sehari-hari untuk memantau kondisi asmanya. Manuver pemeriksaan APE dengan
ekspirasi paksa membutuhkan koperasi penderita dan instruksi yang jelas.
Dewasa :
2. Bronkitis kronik
19
3. Gagal jantung kongestif
5. Disfungsi larings
VII. Klasifikasi
Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis, sebelum pengobatan menurut
Global Initiative for Asthma (Medical Communications Resources, Inc;2006)
Tabl
e 1: Klasifikasi Derajat Asma sebelum pengobatan
Klasifikasi berat serangan asma akut menurut Pedoman Diagnostic Konsensus Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia.
20
T
able 2: Klasifikasi Berat Serangan Asma Akut
VIII. Penatalaksanaan
Serangan asma bervariasi dari ringan sampai berat bahkan dapat bersifat fatal atau
mengancam jiwa. Seringnya serangan asma menunjukkan penanganan asma sehari-hari yang
kurang tepat, dengan kata lain penanganan asma ditekankan kepada penanganan jangka
panjang, dengan tetap memperhatikan serangan asma akut atau perburukan gejala dengan
memberikan pengobatan yang tepat (1,2).
Penilaian berat serangan merupakan kunci pertama dalam penanganan serangan akut.
Langkah berikutnya adalah memberikan pengobatan tepat, selanjutnya menilai respons
pengobatan, dan berikutnya memahami tindakan apa yang sebaiknya dilakukan pada
penderita (pulang, observasi, rawat inap, intubasi, membutuhkan ventilator, ICU, dan lain-
lain) Langkah-langkah tersebut mutlak dilakukan, sayangnya seringkali yang dicermati
hanyalah bagian pengobatan tanpa memahami kapan dan bagaimana sebenarnya penanganan
serangan asma (1,2).
Penderita asma mutlak untuk memahami bagaimana mengatasi saat terjadi serangan,
apakah cukup diatasi di rumah saja dengan obat yang sehari-hari digunakan, ataukah ada obat
tambahan atau bahkan harus pergi ke rumah sakit. Konsep itu yang harus dibicarakan dengan
21
dokternya. Bila sampai membutuhkan pertolongan dokter dan atau fasilitas rumah sakit,
maka dokter wajib menilai beratnya serangan dan memberikan penanganan yang tepat (1).
Tabl
e 3: rencana pengobatan serangan asma berdasarkan berat serangan
dan tempat pengobatan (1,3)
Pada serangan ringan obat yang diberikan agonis beta-2 kerja singkat inhalasi dapat
berbentuk IDT, lebih dianjurkan dengan spacer, DPI atau nebulisasi. IDT dengan spacer
menghasilkan efek yang sama dengan nebulisasi, mempunyai onset yang lebih cepat, efek
samping lebih minimal dan membutuhkan waktu yang lebih cepat, sehingga lebih mudah
dikerjakan di rumah maupun di darurat gawat/rumah sakit. Walaupun pada beberapa keadaan
pemberian nebulisasi lebih superior misal pada penderita asma anak. Bila di rumah tidak
tersedia obat inhalasi, dapat diberikan agonis beta-2 kerja singkat oral, atau kombinasi oral
agonis kerja singkat dan teofilin. Dosis agonis beta-2 kerja singkat, inhalasi 2-4 semprot
setiap 3-4 jam, atau oral setiap 6-8 jam. Terapi tambahan tidak dibutuhkan jika pengobatan
tersebut di atas menghasilkan respons komplet (APE > 80% nilai terbaik/ prediksi) dan
22
respons tersebut bertahan minimal sampai 3-4 jam. Lanjutkan terapi tersebut selama 24-48
jam. Pada penderita dalam inhalasi steroid, selain terapi agonis beta-2 , tingkatkan dosis
steroid inhalasi, maksimal sampai dengan 2 kali lipat dosis sebelumnya. Anjurkan penderita
untuk mengunjungi dokter. Bila memberikan respons komplet, pertahankan terapi tersebut
sampai dengan 5-7 hari bebas serangan, kemudian kembali kepada terapi sebelumnya. Pada
serangan asma sedang -berat, bronkodilator saja tidak cukup untuk mengatasi serangan
karena tidak hanya terjadi bronkospasme tetapi juga peningkatan inflamasi jalan napas, oleh
karena itu mutlak dibutuhkan kortikosteroid. Dengan kata lain pada keadaan tidak ada
respons dengan agonis beta-2 kerja singkat inhalasi, atau bahkan perburukan, dapat
dianjurkan menggunakan kortikosteroid oral 0,5-1 mg/kgBB dalam 24 jam pertama, dan
T
able 4: Algoritme Penatalaksanaan Asma Eksaserbasi Akut di Rumah
23
T
able 5: Algoritme Penatalaksanaan Asma Eksaserbasi Akut di Rumah Sakit
(PDPI) (1)
24
Pengobatan diberikan bersamaan untuk mempercepat resolusi serangan akut.
A. Oksigen
Pada serangan asma segera berikan oksigen untuk mencapai kadar saturasi oksigen >
B. Agonis beta-2
Dianjurkan pemberian inhalasi dengan nebuliser atau dengan IDT dan spacer yang
menghasilkan efek bronkodilatasi yang sama dengan cara nebulisasi, onset yang cepat, efek
samping lebih sedikit dan membutuhkan waktu lebih singkat dan mudah di darurat gawat.
Pemberian inhalasi ipratropium bromide kombinasi dengan agonis beta-2 kerja singkat
aminofilin. Kombinasi tersebut menurunkan risiko perawatan di rumah sakit dan perbaikan
faal paru (APE dan VEP1). Alternatif pemberian adalah pemberian injeksi (subkutan atau
monitoring). Alternatif agonis beta-2 kerja singkat injeksi adalah epinefrin (adrenalin)
intravena dengan dosis 5-6 mg/ kg BB/ bolus yang diberikan dengan dilarutkan dalam larutan
NaCL fisiologis 0,9% dengan perbandingan 1:1. Pada penderita yang sedang menggunakan
aminofilin 6 jam sebelumnya maka dosis diturunkan setengahnya dan untuk mempertahankan
kadar aminofilin dalam darah, pemberian dilanjutkan secara drip dosis 0,5-0,9 mg/ kgBB/
jam (1,3,4).
C. Kortikosteroid
25
Pemberian agonis beta-2 kerja singkat inhalasi pada pengobatan awal tidak
memberikan respons
Kortikosteroid sistemik dapat diberikan oral atau intravena, pemberian oral lebih disukai
karena tidak invasif dan tidak mahal. Pada penderita yang tidak dapat diberikan oral karena
400 mg hidrokortison atau ekivalennya adalah adekuat untuk penderita dalam perawatan.
oral (prednison) dapat dilanjutkan sampai 10-14 hari. Pengamatan menunjukkan tidak
bermanfaat menurunkan dosis dalam waktu terlalu singkat ataupun terlalu lama sampai
D. Antibiotik
(pneumonia, bronkitis akut, sinusitis) yang ditandai dengan gejala sputum purulen dan
demam. Infeksi bakteri yang sering menyertai serangan asma adalah bakteri gram positif, dan
bakteri atipik kecuali pada keadaan dicurigai ada infeksi bakteri gram negatif dan bahkan
anaerob seperti sinusitis, bronkiektasis atau penyakit paru obstruksi kronik (1). Antibiotik
pilihan sesuai bakteri penyebab atau pengobatan empiris yang tepat untuk gram positif dan
atipik yaitu makrolid, golongan kuinolon dan alternatifnya yaitu amoksisilin/ amoksisilin
26
Berikut ini adalah tabel dan sediaan beberapa obat saat eksaserbasi. (1,3,4)
X. Pencegahan
b. Menghindari kelelahan
27
c. Menghindari stress psikis
28
DAFTAR PUSTAKA
4. John M. Weiler, Sergio Bonini, Robert Coifman, Timothy Craig, Lus Delgado,
Miguel Capa o-Filipe. Asthma & Immunology Work Group Report : Exercise-induced
asthma. Iowa City, Iowa, Rome and Siena, Italy, Millville, NJ, Hershey, Pa, Porto,
Portugal, and Colorado Springs, Colo : American Academy of Allergy : 2007
8. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUP Nasional Cipto
Mangunkusumo 2007
9. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Konsensus Asma : Pedoman Diagnosis dan
10. Rahajoe N. Tatalaksana Jangka Panjang Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno
B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta :
Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.134-46.
11. Suherman SK. Ascobat P. Adrenokortikotropin, Adrenokortikosteroid, Analog Sintetik
dan Antagonisnya. dalam: Gunawan SG, penyunting. Farmakologi dan Terapi. Edisi
5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008. h. 496-500.
29
12. Rahajoe N. Deteksi dan Penanganan Jangka Asma Anak. dalam : Manajemen Kasus
Respiratorik Anak Dalam Praktek Sehari-hari. Edisi pertama. Jakarta : Yapnas
Suddharprana; 2007.h. 97-106.
13. Supriyatno B. Diagnosis dan Penatalaksanaan Terkini Asma pada Anak. Majalah
Kedokteran Indonesia 2005;55(3):237-43.
14. Supriyatno B, Wahyudin B. Patogenesis dan Patofisiologi Asma Anak. dalam:
Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.
edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.85-96.
30
31