Anda di halaman 1dari 29

ANALISA PENGUBAHAN

TINGKAH LAKU

PUNISHMENT

oleh
B.A. HABSY

Lecture In
DARUL ULUM UNIVERSITY
DAFTAR ISI

Daftar Isi..................................................................................................................................... i

Pendahuluan ............................................................................................................................ 1

Bagian I: Punishment by Stimulus Presentation

A. Definisi dan Sifat Punishment .................................................................................... 3


Operasional dan Definisi Punishment ................................................................ 3
Punishment Positif dan Punishment Negatif ................................................. 4
Pengaruh Diskriminatif Punishment ................................................................. 4
Pemulihan dari Punishment .................................................................................... 5
Unconditioned dan Conditioned Punishment ............................................... 5
B. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Keefektifitasan Punishment ............ 7
C. Kemungkinan Efek Samping & Masalah dengan Punishment ................... 8
D. Contoh Intervensi Punishment Positif ................................................................... 10
E. Pedoman Penggunaan Punishment yang Efektif.............................................. 12
F. Pertimbangan Etis dalam Penggunaan Punishment........................................ 13

Bagian II: Punishment by Removing of a Stimulus

A. Definisi Time Out .............................................................................................................. 15


B. Prosedur Time Out dan Pengaplikasiannya ........................................................ 15
Nonexclusion Time-Out............................................................................................. 15
Exclusion Time-Out .................................................................................................... 12
C. Aspek yang diperlukan dari Time-Out .................................................................. 18
D. Keefektifan Penggunaan Time-Out.......................................................................... 18
E. Definisi Response Cost .................................................................................................. 20
F. Aspek-aspek dari Respon Cost yang diinginkan ................................................ 20
G. Metode Response Cost ................................................................................................... 21
H. Keefektifan Penggunaan Response Cost ............................................................... 22
I. Pertimbangan Response Cost ...................................................................................... 24

Kesimpulan ............................................................................................................................... 26

i
PUNISHMENT

Pendahuluan
Punishment mengajarkan kita untuk tidak mengulangi responses yang
menyebabkan kerugian bagi kita. Meskipun punishment seringkali dianggap
buruk, namun tetap dibutuhkan dalam proses belajar seperti halnya reinforcement.
Pembelajaran yang merupakan konsekuensi dari sesuatu yang menghasilkan rasa
sakit, ketidaknyamanan, atau hilangnya reinforcers memiliki nilai kelangsungan
hidup bagi individu. Seperti dengan reinforcement, perubahan rangsangan yang
berfungsi sebagai konsekuensi dalam kontingensisi punishment seringkali dapat
digambarkan sebagai salah satu dari dua jenis operasional: stimulus baru disajikan
atau stimulus yang ada akan dihapus.
Meskipun banyak individu menganggap bahwa punishment merupakan hal
yang buruk-dan merupakan lawan dari reinforcement namun punishment memiliki
peran yang sama pentingnya seperti reinforcement dalam proses belajar.
Pembelajaran yang berasal dari konsekuensi yang menghasilkan rasa sakit atau
ketidaknyamanan, atau hilangnya berbagai macam reinforcer, memiliki nilai
ketahanan bagi individu. Punishment mengajarkan kita untuk tidak mengulangi
respond-respond yang dapat membahayakan diri kita.
Punishment sering kurang dipahami, sering disalahgunakan, dan
penerapannya dapat menjadi suatu yang kontroversial. Setidaknya beberapa dari
kesalahpahaman dan kontroversi seputar penggunaan punishment dalam program
pengubahan tingkah laku berasal dari kebingungan punishment yang
dibaselinekan pada pengalaman yaitu disamakan atau mempunyai konsep yang
dikaitkan dengan konotasi hukum. Salah satu makna umum dari punishment
adalah penerapan dari konsekuensi-konsekuensi aversive seperti sakit fisik, sakit
secara psikologis, dan hilangnya hak-hak istimewa, atau denda- dengan tujuan
untuk memberikan pembelajaran kepada individu yang telah berlaku tidak
baik/tidak pantas sehingga dia tidak akan mengulangi tingkah laku tersebut.
Dalam konotasi sehari-hari dari punishment, kebanyakan individu akan setuju

Punishment 1
bahwa seindividu guru yang mengirim mahaanak ke kantor kepala sekolah karena
bermain-main di kelas, atau petugas polisi yang mengeluarkan surat tilang kepada
pengendara yang ngebut, telah punishing/menghukum si pelaku. Namun, sebagai
prinsip tingkah laku, punishment bukan hanya tentang punishing/menghukum
individu tersebut; punishment merupakan sebuah respond kemungkinan
konsekuensi yang menekan frekuensi dari kemunculan response-response yang
serupa di waktu-waktu berikutnya.

Punishment 2
Bagian Pertama
PUNISHMENT by STIMULUS PRESENTATION
(Punishment dengan pemberian stimulus)

A. Definisi dan Sifat Punishment

Operasional dan Definisi Punishment


Punishment terjadi saat stimulus berubah dengan seketika mengikuti
response dan mengurangi frekuensi kemunculan tingkah laku dalam kondisi
serupa di masa yang akan datang (Azrin & Holz, 1966). Dengan kata lain,
Punishment adalah proses penggunaan punisher yang tidak menyenangkan dan
melemahkan atau menurunkan kemunculan tingkah laku. Punishment tidak
didefinisikan oleh tindakan individu yang memberikan konsekuensi atau dengan
sifat konsekuensi itu saja.
Contoh: Andrea menggigit dan memukul dirinya, temannya, dan gurunya. Saat
tingkah laku itu muncul, guru langsung menarik Andrea sambil berkata,
No/Jangan/Tidak boleh!. Saat guru melakukan punishing, tingkah laku
menggigit dan memukul Andrea menurun.
Penurunan pada frekuensi kemunculan tingkah laku di waktu berikutnya
harus diamati sebelum konsekuensi-dasar pemberian intervensi memenuhi syarat
sebagai punishment. Punishment melibatkan hubungan antara 2 peristiwa, yaitu
tingkah laku (sebagai respon), dan peristiwa atau consequence yang mengikuti
respon. Hubungan tersebut baru bisa disebut sebagai punishment hanya apabila
respon yang diharapkan bisa mengurangi atau menghilangkan tingkah laku yang
tidak diinginkan.
Sebagai gambaran, Intervensi yang diberikan oleh guru terhadap tingkah
laku menggigit dan mencubit yang ditunjukkan oleh Andrea, berhasil mengurangi
frekuensi munculnya tingkah aku tersebut. Jari yang ditunjukkan sambil berkata
Tidak! merupakan klasifikasi dari sebagai punishment-based on treatment yang
hanya merupakan efek dari supresi. Namun, jika Andrea tetap melakukan tingkah
laku tersebut meskipun intervensi tetap dilaksanakan, maka intervensi tersebut
bukan lagi sebagai punishment. Karena penyajian punishers sering
membangkitkan tingkah laku yang tidak sesuai dengan tingkah laku yang sedang
dihukum, efek supresi langsung dari punishment dengan mudah dapat terjadi dluar
dugaan.

Punishment 3
Punishment Positif dan Punishment Negatif
Seperti reinforcement, terdapat dua jenis punishment, yaitu punishment
positif dan punishment negatif. Punishment positif terjadi ketika stimulus (atau
peningkatan intensitas stimulus yang sudah ada) segera diberikan/ disajikan
mengikuti kemunculan tingkah laku untuk menurunkan frekuensi dari tingkah
laku tersebut.Sedangkan Punishment negatif melibatkan pemutusan/menghentikan
stimulus yang sudah ada (atau penurunan intensitas stimulus yang sudah ada)
segera setelah kemunculan tingkah laku untuk menurunkan frekuensi dari tingkah
laku tersebut.
Seperti dengan reinforcement, pengubah positif dan negatif digunakan
dalam punishment berkonotasi baik niat maupun keinginan untuk perubahan
tingkah laku yang dihasilkan, mereka hanya menentukan bagaimana perubahan
stimulus yang menjabat sebagai konsekuensi punishing/menghukum dipengaruhi-
apakah yang terbaik adalah digambarkan sebagai penyajian stimulus baru
(punishment positif) atau pemutusan (atau pengurangan intensitas atau jumlah)
dari suatu stimulus yang sudah ada (punishment negatif).
Punishment positif dan reinforcement negatif sering membingungkan.
Karena kejadian aversive (penolakan/keengganan) dihubungkan dengan
punishment positif dan reinforcement negatif, pola payung pengkondisian
penghindaran/aversive control yang sering kali digunakan untuk menggambarkan
intervensi-intervensi yang melibatkan kedua prinsip ini. Kunci untuk
mengidentifikasi dan membedakan punishment positif dan reinforcement negatif
yang memungkinkan melibatkan stimulus aversive yang sama adalah (a)
Mengenali dampak yang berlawanan antara dua kemungkinan terhadap frekuensi
tingkah laku berikutnya/di masa yang akan datang, dan (b) menyadari bahwa dua
tingkah laku yang berbeda harus terlibat karena konsekuensi yang sama (yaitu,
perubahan stimulus) tidak dapat berfungsi sebagai punishment positif dan
reinforcement negatif untuk tingkah laku yang sama.
Dalam kontingensisi punishment positif, stimulus tidak hadir sebelum respon dan
dihadirkan sebagai konsekuensinya; dalam kontingensisi reinforcement negatif,
stimulus hadir sebelum responsesdan dihapus sebagai konsekuensinya.

Pengaruh Diskriminatif Punishment


Situasi Stimulus antesenden dimana punishment terjadi memainkan
peranan penting dalam menentukan kondisi lingkungan di mana efek supresi dari
punishment akan diamati. Tiga kondisi kontingensisi untuk hubungan fungsional
yang melibatkan punishment dapat dinyatakan seperti halnya dalam
reinforcement, yaitu: (1) dalam situasi stimulus tertentu (S), (2) beberapa jenis
tingkah laku (R), bila diikuti segera oleh (3) perubahan stimulus tertentu (SP),

Punishment 4
menunjukkan penurunan terjadinya frekuensi tingkah laku pada situasi yang sama
di waktu berikutnya. Jika punishment terjadi hanya dalam beberapa kondisi
stimulus dan tidak pada kondisi lainnya, efek supresi dari punishment akan paling
lazim di bawah kondisi tersebut.
Discriminative stimulus of punishment (SDP) merupakan satu stimulus dalam
pengkondisian yang merespon satu reaksi yang terjadi saat itu dan kecil
kemungkinan untuk berespon pada tingkah laku yang tidak tampak; sebagai hasil
dari respon- punishment kontinjensi yang dikirim dari stimulus yang terjadi saat
itu.

Contoh:

Dampak pada
frekuensi dari
SDp R SP respon yg sama di
waktu berikutnya-
SD

Nenek berada di Meraih toples kue


dapur sebelum Nenek marah
makan malam

Guru menjelaskan Adi mengobrol Adi disuruh


pelajaran berdiri di luar
kelas

Pemulihan dari Punishment

Ketika punishment dihentikan, hal itu merupakan efek supresi dalam merespon
yang sifatnya tidak permanen, fenomena ini sering disebut pemulihan dari
punishment, yang dapat disamakan dengan extinction. Kadang-kadang tingkat
bereaksi setelah punishment dihentikan tidak hanya akan sembuh tapi juga dapat
melebihi tingkat di mana itu terjadi sebelum punishment.

Unconditione d & Conditioned Punishers

Punisher adalah perubahan stimulus yang segera mengikuti terjadinya


tingkah laku dan mengurangi frekuensi munculnya tingkah laku yang sama di

Punishment 5
waktu berikutnya. Perubahan stimulus dalam kontingensisi punishment positif
dapat disebut sebagai Punisher positif, atau lebih hanya sebagai Punisher.
Demikian pula istilah Punisher negatif dapat diterapkan pada perubahan stimulus
yang terlibat dalam punishment negatif. Seperti reinforcers, punishers dapat
digolongkan sebagai unconditioned atau conditioned.

a. Unconditione d Punishers
Unconditoned punisher atau punisher primer adalah stimulus yang fungsi
penyajiannya sebagai punishment, tanpa harus dipasangkan dengan punishers
lain. Unconditined punisher ini berkaitan dengan biologis manusia/individu.
Pendorong rasa sakit seperti yang disebabkan oleh trauma fisik tubuh, bau
tertentu dan selera, pengendalian fisik merupakan contoh perubahan stimulus
yang biasanya berfungsi sebagai unconditioned punishers bagi manusia.
Seperti uncoditioned reinforcers, uncoditioned punishers adalah "peristiwa
filogenetik penting yang secara langsung berpengaruh terhadap kebugaran"
dari organisme.

b. Conditione d Punishers
Conditioned punisher atau punisher sekunder adalah stimulus yang
berfungsi sebagai punishment sebagai akibat dari sejarah pengkondisian
seseindividu. Sebuah punisher dikondisikan memperoleh kemampuan untuk
berfungsi sebagai punisher melalui stimulus-stimulus yang berpasangan
dengan satu atau lebih unconditioned atau conditioned punishers.
Stimulasi yang bersifat netral sebelumnya dapat juga menjadi
conditioned punishers tanpa langsung memasangkan secara fisik dengan
punisher lain melalui proses memasangkan, dan ini dsebut pengkondisian
analog verbal/ verbal analog conditioning.
Perubahan stimulus yang telah dipasangkan dengan berbagai bentuk dari
unconditioned dan conditioned punishers dapat menjadi generalized
conditioned punisher (conditioned punisher yang berlaku secara umum).
Misalnya:
Menegur ("Tidak!" "Jangan lakukan itu"!)
Penolakan sosial (misalnya, cemberut, menggelengkan kepala,
mengerutkan kening).

Punishment 6
B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keefektivitasan
Punishment

Kesegeraan (Immediacy)
Sepresif yang maksimal saat kemunculan Punisher terjadi sesegera mungkin
setelah terjadinya respon target. Semakin lama penundaan waktu antara
terjadinya respon dan terjadinya perubahan stimulus, punishment akan kurang
efektif dalam mengubah frekuensi respon yang relevan.

Intensitas/Besarnya (Intensity/Magnitude)
Baseline peneliti menguji efek dari punishers dari berbagai intensitas atau
besarnya (dalam hal jumlah atau durasi) telah melaporkan tiga temuan yang
dapat diandalkan:
1) korelasi positif antara intensitas stimulus punishing/menghukum dan supresi
respon: semakin besar intesitas stimulus punishing, maka semakin segera
dan menyeluruh supresi terhadap terjadinya tingkah laku
2) pemulihan dari punishment berkorelasi negatif dengan intensitas stimulus
punishing/menghukum: semakin intens Punisher itu, semakin kecil
kemungkinan respon akan terulang kembali ketika punishment dihentikan.
3) Intensitas yang tinggi pada stimulus mungkin menjadi tidak efektif sebagai
punishment jika stimulus digunakan sebagai punishment awalnya memiliki
intensitas yang rendah dan meningkat secara bertahap.
Lerman dan Vorndran (2002) berpendapat: Sementara stimulus punishing
menjadi harus cukup intensif untuk sebuah aplikasi yang efektif, seharusnya
tidak lebih intens dari yang diperlukan.

Schedule/Jadual
Efek supresi dari sebuah punisher dimaksimalkan dengan jadwal punishment
(FR l) yang berkelanjutan di mana setiap kemunculan tingkah laku diikuti
dengan konsekuensi punishing. Secara umum, semakin besar proporsi
responsesyang diikuti oleh Punisher, semakin besar pengurangan akan respon.
Azrin dan Holz (1966) merangkum efek komparatif punishment pada jadwal
kontinyu dan intermittent sebagai berikut: Punishment yang terus-menerus
menghasilkan supresi lebih daripada punishment yang sifatnya sesaat selama
kontingensisi punishment dipertahankan. Namun, setelah punishment
kontingensisi telah dihentikan, punishment terus-menerus memungkinkan
pemulihan lebih cepat dari respon, mungkin karena tidak adanya punishment
bisa lebih cepat didiskriminasikan. Punishment yang sifatnya sesaat mungkin
agak efektif untuk beberapa kondisi.

Punishment 7
Reinforcement untuk Tingkah laku Target
Efektivitas punishment dimodulasi/diatur oleh kontinjensi reinforcement yang
menjaga persoalan tingkah laku. Punishment akan efektif jika reinforcement
untuk tingkah laku target dikurangi/diturunkan.

Reinforcement untuk Tingkah laku Alternatif

Punsihment akan menjadi efektif jika reinforcement tersedia untuk tingkah


laku alternative. Milenson berpendapat, Jika punishment digunakan dalam
upaya untuk menghilangkan tingkah laku tertentu, maka apa pun reinforcement
pada tingkah laku yang tidak diinginkan harus dibuat tersedia melalui tingkah
laku yang lebih diinginkan. Hanya punishing anak-anak sekolah karena
"kenakalan" di kelas mungkin memiliki sedikit efek permanen. Reinforcers
untuk "kenakalan" harus dianalisa dan pencapaian dari reinforcers ini mungkin
diizinkan melalui respon yang berbeda, atau dalam situasi lainnya. . . Tetapi
untuk hal ini terjadi, tampaknya penting untuk memberikan alternatif
hadiah/rewarded sebagai respon punished.

C. Kemungkinan munculnya Efek Samping & Masalah dari


Punishment
Reaksi emosional dan Agresif

Punishment kadang-kadang menimbulkan reaksi emosional dan agresif yang


dapat melibatkan kombinasi dari responden dan tingkah laku operant yang
dikondisikan. Punishment, terutama punishment positif dalam bentuk stimulus
aversif, dapat menimbulkan tingkah laku agresif dengan komponen responden
dan komponen operant.

Escape/Pelarian dan Avoidance/Penghindaran

Escape dan avoidance adalah reaksi alami untuk stimulasi aversif. Tingkah
laku escape dan avoidance mengambil berbagai bentuk, dan beberapa
diantaranya dapat menjadi masalah lebih besar dari tingkah laku yang menjadi
sasaran punished. Sebagai contoh, seindividu mahaanak yang berulang kali
ditegur karena bekerja ceroboh atau datang ke kelas dengan keadaan tidak siap
belajar mungkin akan berhenti datang ke kelas sama sekali. Seseindividu yang
berbohong, menipu, atau menunjukkan tingkah laku yang tidak dikehendaki,
dilakukan untuk menghindari punishment. Individu terkadang lolos dari

Punishment 8
lingkungan punishing dengan mengkonsumsi drugs atau alkohol, atau dengan
hanya "tuning out."

Escape dan avoidance sebagai efek samping punishment, seperti reaksi


emosional dan agresif, dapat diminimalkan dengan menyediakan individu
dengan responses alternatif yang diinginkan untuk persoalan tingkah laku yang
menghindari pengiriman punishment dan memberikan/menyediakan
reinforcement.

Tingkah laku berlawanan/Contrast behavior


Contrast behavior adalah mengurangi responding dari punishment dalam satu
situasi yang mungkin dapat disertai dengan peningkatan responding dalam
situasi di mana responses menjadi unpunished. Contrast behavior untuk
punishment mengambil bentuk umum seperti berikut ini: (a) Responses serupa
terjadi pada dua komponen dari beberapa jadwal; (b) responses terhadap salah
satu komponen dari schedule adalah punished, sedangkan responses terhadap
komponen lain dilanjutkan dengan unpunished; (c) laju responding menurun
pada komponen punished dan meningkatkan pada komponen unpunished.
Sebagai contoh: Seindividu anak makan kue sebelum makan malam dari toples
didapur dengan rate/jumlah yang sama baik di hadapan maupun saat tidak ada
neneknya. Suatu hari, Nenek menegur dia untuk tidak makan kue sebelum
makan malam, yang mesupresi rate makan kue pada waktu predinner jika ia
berada di dapur; tetapi ketika Nenek tidak di dapur, anak itu makan cookie dari
tabung toples pada rate yang lebih tinggi dibandingkan saat dirinya berada
tanpa pengawasan sebelum punishment.
Efek contrast dari punishment bisa diminimalisir, atau dicegah sama sekali,
dengan secara konsisten punishing terjadinya tingkah laku target dalam semua
pengaturan yang relevan dan kondisi stimulus, setidaknya dengan
meminimalkan akses individu tersebut untuk mendapatkan reinforcement
untuk tingkah laku target, dan menyediakan alternatif tingkah laku yang
diinginkan.

Punishment dapat melibatkan Pemodelan/ Modelling yang tidak


diinginkan
Anak mungkin lebih cenderung untuk meniru tindakan individu tua atau
individu dewasa, dan bukan perkataannya.

Reinforcement Negatif dari Tingkah laku Agen Punishing/menghukum's


Reinforcement negatif dapat menjadi alasan untuk penggunaan luas (seringkali
tidak efektif dan tidak penting) dan bergantung pada (seringkali salah kaprah)
punishment dalam membesarkan anak, di pendidikan, dan kehidupan

Punishment 9
masyarakat. Alber dan Heward (2000) menggambarkan bagaimana cara kerja
kontingensisi secara alamiah dalam kelas secara khas menjadi kekuatan yang
dilakukan atau digunakan guru dari menegur tingkah laku yang mengganggu
sementara melemahkan penggunaan kontingensi pujian dan perhatian untuk
tingkah laku yang sesuai.

D. Contoh Intervensi Punishment Positif


Teguran: intervensi verbal yang digunakan dengan hemat. Contoh bentuk dari
teguran antara lain No! dapat men-supresi responding di waktu berikutnya.

Response mem-block: intervensi fisik yang segera ditampilkan secepat


individu memancarkan tingkah laku bermasalah untuk mencegah atau "block"
penyelesaian respon-telah terbukti efektif dalam mengurangi frekuensi dari
tingkah laku bermasalah. Contoh: saat seindividu anak hendak memasukkan
tangannya ke dalam mulut, gurunya segera mem-block dengan menaruh
telapak tangannya di depan mulut si anak.

Kontingensisi Latihan: intervensi di mana individu diwajibkan untuk


melakukan respon yang tidak topografi terkait dengan tingkah laku yang
bermasalah. Dengan kata lain, mem-punish individu dengan memintanya
melakukan kegiatan fisik.
Contoh: Setiap kali Ben memukul seseindividu, ia diminta untuk berdiri dan
duduk 10 kali. Awalnya, Ben harus secara fisik diminta untuk berdiri dengan
cara asisten guru memegang tangan anak itu sambil menarik ke depan
tubuhnya. Tindakan fisik disertai petunjuk lisan "berdiri", dan "duduk." Segera,
kapan saja memukul terjadi, individu dewasa terdekat hanya berkata, "Ben,
jangan memukul. Berdiri dan duduk 10 kali.", dan permintaan secara verbal
saja sudah cukup untuk Ben untuk menyelesaikan latihannya. Jika episode
memukul terjadi selama latihan kontingensi, prosedur itu diulang kembali.

Overcorrection: taktik pengurangan tingkah laku yang bergantung pada setiap


terjadinya tingkah laku bermasalah, pelajar diwajibkan untuk terlibat dalam
tingkah laku yang terbukti efektif -secara langsung atau secara logis berkaitan
dengan masalah tersebut. Overcorrection menggabungkan efek supresi dari
punishment dan efek edukatif praktek positif. Overcorrection mencakup dua
komponen: restitusi dan kebiasaaan/perbuatan positif.

Dalam overcorrection restitutional, pelajar perlu memperbaiki kerusakan yang


disebabkan oleh tingkah laku bermasalah dengan mengembalikan lingkungan
ke keadaan semula dan kemudian untuk terlibat dalam tingkah laku tambahan

Punishment 10
yang membawa lingkungan ke kondisi yang jauh lebih baik daripada sebelum
kenakalan tersebut. Contoh: anak yang sering bermain lumpur dan berulang
kali membawa lumpur dibadannya dengan sepatunya kedalam rumah dan
membuat rumah kotor; kemudian individu tua melakukan overcorrection yaitu
dengan meminta anak mengepel atau menyapu lantai dan menyikat sepatunya
sampai bersih.

Dalam overcorrection perbuatan positif, pelajar harus berulang kali melakukan


bentuk tingkah laku yang benar, atau tingkah laku yang berlawanan dengan
tingkah laku bermasalah, untuk durasi waktu yang spesifik atau jumlah
tanggapan. Overcorrection perbuatan positif memerlukan komponen mendidik
dalam hal itu mengharuskan individu untuk terlibat dalam tingkah laku
alternatif yang sesuai. Individu tua yang anaknya bermain lumpur dan langsung
masuk ke dalam rumah itu, bisa menambahkan komponen praktik yang positif
dengan meminta dia untuk berlatih menyeka kakinya di pintu luar dan
memasuki rumah selama 2 menit atau 5 kali dengan teratur. Overcorrection
yang mencakup restitusi, dan praktek positif membantu mengajarkan apa yang
harus dilakukan di samping apa yang tidak boleh dilakukan.

Beberapa pedoman umum yang disarankan dalam melakukan overcorrection:


1. Segera setelah terjadinya masalah tingkah laku (atau penemuan efek nya),
dengan nada, tenang tanpa emosi suara, mengatakan bahwa ia telah
bertingkah dan memberikan penjelasan singkat mengapa tingkah laku
tersebut harus diperbaiki. Jangan mengkritik atau memarahi.
Overcorrection memerlukan konsekuensi logis terkait untuk mengurangi
terjadinya tingkah laku bermasalah di waktu berikutnya. Kritik dan
memarahi tidak meningkatkan efektivitas dan dapat membahayakan
hubungan antara pelajar dan praktisi.
2. Memberikan instruksi lisan yang eksplisit menggambarkan urutan
overcorrection yang pelajar harus melakukan.
3. Melaksanakan urutan overcorrection sesegera mungkin setelah tingkah
laku bermasalah terjadi. Ketika lingkungan menjaga segera mulai lakukan
urutan overcorrection, katakan kepada pelajar saat proses akan dilakukan.
4. Monitor pelajar dalam melaksanakan seluruh kegiatan overcorrection.
Sediakan minimal beberapa respons cepat, termasuk bimbingan sentuhan
fisik lembut, diperlukan untuk memastikan bahwa pelajar melakukan
urutan overcorrection.
5. Sediakan pelajar beberapa umpan balik untuk respon yang benar. Jangan
memberikan terlalu banyak pujian dan perhatian kepada anak selama
melakukan urutan overcorrection.

Punishment 11
6. Berikan pujian, perhatian, dan mungkin bentuk-bentuk reinforcement
untuk anak setiap kali ia "secara spontan" melakukan tingkah laku yang
tepat selama kegiatan.

Keterbatasan yang terkait dengan overcorrection antara lain: Pertama,.


overcorrection adalah padat karya, prosedur yang memakan waktu dan
memerlukan perhatian penuh dari praktisi/guru. Kedua, untuk overcorrection
menjadi efektif sebagai punishment, waktu yang anak habiskan bersama individu
yang memantau pelaksanaan urutan overcorrection tidak boleh menjadi
reinforcing. Ketiga, seindividu anak yang sering bertingkah mungkin tidak
melaksanakan daftar panjang tingkah laku "pembersihan, hanya karena dia
diberitahu untuk melakukannya.
Tiga strategi untuk meminimalkan kemungkinan penolakan untuk melakukan
urutan overcorrection: 1) mengingatkan anak tentang apa tindakan disipliner yang
lebih parah akan ada dan, jika penolakan terus berlanjut, maka akan memaksakan
pendisiplinan; 2) membahas perlunya koreksi sebelum tingkah laku masalah
terjadi; dan 3) menetapkan koreksi sebagai harapan/ekspetasi dan rutinitas dari
kebiasaan untuk setiap tingkah laku yang mengganggu.
Jika anak menolak terlalu kuat atau menjadi agresif, overcorrection mungkin
bukan cara yang layak.

Stimulasi Kontingensisi Electric: sebagai punishment yang melibatkan


penyajian stimulus electric singkat-segera setelah tingkah laku bermasalah
terjadi.
Stimulasi kontingensisi electric dapat menjadi metode yang aman dan sangat
efektif untuk menekan kronis dan mengancam kehidupan, kecenderungan
tingkah laku yang melukai diri sendiri (SIB).

E. Pedoman Penggunaan Punishment yang Efektif


Untuk menerapkan punishment dengan efektif dan optimal dengan tujuan utnk
meminimalkan efek samping yang tidak diinginkan, maka beberapa hal yang
perlu diperhatikan:

Pilihlah Punishers yang efektif dan tepat/sesuai, yaitu: a) buatlah asesmen


punishers untuk mengidentifikasi punisher yang dapat diterapkan secara
aman dan konsisten; b) gunakan punishers dengan kualitas dan
level/tingkatan yang cukup; dan c) gunakan beragam punishers untuk untuk
memerangi habituasi/kebiasaan dan meningkatkan efektivitas punishers
kurang intrusif.

Punishment 12
Segera mungkin memberikan punisher diawal rangkaian tingkah laku
muncul. Ini akan sangat efektif sebelum rantai tingkah laku yang tidak
diinginkan terbentuk.

Segera melakukan punish disetiap tingkah laku muncul. Punishment akan


efektif ketika punisher mengikuti setiap response, terutama saat intervensi
punishment pertama kali diterapkan.

Secara berkala melakukan shift kepada schedule/jadual pemberian


punishment yang sifatnya sementara (intermittent punishment), jika
dimungkinkan. Terdapat dua panduan dalam melakukan punishment yang
sifatnya sementara, yaitu: pertama, continuous schedule dari punishment
(FR 1) harus digunakan untuk mengurangi tingkah laku yang bermasalah
untuk diterima secara klinis sebelum secara berkala dikurangi menjadi
intermittent punishment; dan kedua, gabungkan intermittent punishment
dengan extinction.

Gunakan meditasi dengan penundaan response-kepada-punishment

Tambahkan punishment dengan intervensi pelengkap, khususnya,


differencial reinforcement, extinction, dan intervensi anteseden.
Perhatikan dan bersiaplah untuk efek samping yang tidak terduga/ yang
tidak diinginkan terjadi.

Dokumentasikan, catat, gambarkan dan evaluasi data yang diperoleh secara


berkala, dalam catatan data harian.

F. Pertimbangan Etis dalam Penggunaan Punishment


Pertimbangan etis tentang penggunaan punishment berkaitan dengan tiga isu
utama, yaitu:

Hak klien untuk penanganan/treatment yang aman dan manusiawi.


Penggunaan punishment diharuskan dalam pelaksanaannya tidak
mendatangkan kerugian, secara fisik aman, dan disertai dengan sikap
menghargai individu.

Tanggung jawab profesional untuk me nggunakan setidaknya rambu-


rambu prosedur (least restrictive alternative). Sebelum mengimplikasikan
punishment, diharapkan adanya tahap uji coba untuk mengetahui
kefektifitasannya dan apakah sudah tepat dalam prosedur tindakannya.
Selain itu apakah punishment ini telah tepat digunakan atau sudah sesuaikah
untuk penanganan tingkah laku yang menjadi masalah.

Punishment 13
Hak klien untuk memperoleh penanganan/treatment yang efektif.
Seringkali penerapan punishment mengalami kegagalan dalam men-
supresi/menekan tingkah laku yang tidak diinginkan karena kemungkinan
kesalahan dalam penerapan prosedur/langkah-langkahnya. Dan selain itu
punishment dipandang sebagai tingkah laku yang sifatnya destruktif,
berbahaya dan memberikan ketidaknyamanan bagi individu yang
menerimanya.

Punishment 14
Bagian Kedua
PUNISHMENT by REMOVAL OF A STIMULUS
(Punishment dengan penghilangan stimulus)

Pada bagian ini, penulis membahas pemberian punishment negatif untuk


mengurangi atau bahkan menghilangkan tingkah laku yang tidak diinginkan.
Punishment negatif mencakup dua hal, yaitu time-out dari reinforcement positif
dan response cost.

A. Definisi Time-out
Time-out dari reinforcement positif, atau hanya disebut dengan time-out,
didefinisikan sebagai penarikan kesempatan untuk mendapatkan reinforcement
positif atau hilangnya akses kepada reinforcement positif untuk waktu tertentu,
bergantung pada terjadinya tingkah laku. Secara implisit dalam definisi time-out
terdapat tiga aspek penting:
(a) Perbedaan lingkungan antara "time-in" dan time-out.
(b) Hilangnya akses reinforcement dari kontingensisi-respon.
(c) Hasil penurunan frekuensi kemunculan tingkah laku di masa yang akan
datang.
Secara teknis, time-out sebagai prosedur punishment negatif menghapus stimulus
reinforcer untuk waktu tertentu bergantung pada terjadinya tingkah laku, yang
dampaknya bertujuan untuk mengurangi frekuensi tingkah laku diwaktu
berikutnya.
Time-out dapat dilihat dari perspektif prosedural, konseptual, dan fungsional.
Secara prosedural, ini merupakan periode waktu ketika individu baik
dipindahkan dari lingkungan reinforcement (misalnya, seindividu siswa
dikeluarkan dari kelas selama 5 menit) atau kehilangan akses ke reinforcers
dalam lingkungan (misalnya, seindividu siswa tidak memenuhi syarat untuk
mendapatkan reinforcers selama 5 menit).

B. Prosedur Pengaturan untuk Menggunakan Time-out


Ada dua jenis dasar time-out yaitu nonexclusion dan exclusion. Pada setiap
jenisnya, beberapa variasi memungkinkan fleksibilitas praktisi dalam
memutuskan suatu tindakan untuk mengurangi tingkah laku

1. Nonexlusion Time-out. Nonexclusion time-out berarti bahwa individu tidak


sepenuhnya dihapus secara fisik dari waktu dalam pengaturan. Meskipun posisi

Punishment 15
seseindividu relatif terhadap perubahan pengaturan, ia tetap berada di dalam
lingkungan.
Nonexclusion time-out terjadi pada salah satu dari empat cara berikut ini.
a) Rencana Mengabaikan. Rencana mengabaikan terjadi ketika reinforcers
sosial seperti perhatian, kontak fisik, atau interaksi verbal tersebut
dikeluarkan untuk jangka waktu singkat, bergantung pada terjadinya
tingkah laku yang tidak pantas. Sebagai contoh, mari kita anggap bahwa
selama sesi terapi kelompok untuk rehabilitasi narkoba klien mulai
mengungkapkan ketertarikan dirinya dengan mencuri uang untuk membeli
narkotika. Jika pada saat itu anggota lain dari kelompok memutuskan
hubungan dan tidak menanggapi verbalisasinyanya dengan cara apapun
sampai komentar dia lebih konsisten dengan diskusi kelompok, maka
rencana mengabaikan ini dapat diberlakukan.
b) Penarikan dari reinforcer positif tertentu
Penarikan reinforce tertentu telah terbukti dapat menurunkan level tingkah
laku yang tidak diinginkan. Contoh: pengakhiran dari kontingensisi acara
kartun ditelevisi, telah berhasil mengurangi frekuensi tingkah laku
menghisap jempol dari 3 individu anak.
c) Observasi kontingensisi
Dalam observasi kontingensisi, individu tetap berada dalam pengawasan
dan tidak ditarik dari lingkungannya, namun tetap tidak mendapatkan
reinforcer. Seindividu guru menggunakan contingent observation ketika
terjadinya suatu tingkah laku yang tidak diinginkan. Contoh siswa
diperintahkan untuk "duduk dan menonton" kegiatan. Ketika periode
observasi kontingensi berakhir, siswa kelompok bergabung kembali dan
mampu memperoleh penguatan untuk tingkah laku yang sesuai.
d) Pita Time-out. Pita Time-out didefinisikan sebagai band/tanda berwarna
yang dipasang pada pergelangan tangan anak dan menjadi diskriminatif
untuk menerima penguatan. Ketika pita ada di pergelanga n tangan anak, ia
berhak mendapatkan reinforcers. Jika anak bertingkah, pita dihapus, dan
segala bentuk interaksi sosial dengan anak dihentikan untuk jangka waktu
tertentu (misalnya, 2 menit). Jika tingkah laku yang tidak diinginkan masih
terjadi setelah 3 menit, batas waktu itu diperpanjang sampai kenakalan itu
selesai.

2. Exclusion time-out. Exclusion time-out didefinisikan sebagai kondisi dimana


individu dipindahkan atau ditarik dari lingkungan dalam jangka waktu tertentu,
bergantung pada terjadinya tingkah laku yang tidak diinginkan. Exclusion time-
out pada setting ruang kelas, dapat ditempuh dengan tiga metode pokok, yaitu:
time-out room, partition time-out, dan hallway time-out.

Punishment 16
Time-out Room, adalah setiap ruang terbatas yang berada di luar
lingkungan pendidikan atau tempat terapi yang normal bagi individu yang
tidak memiliki reinforcers positif; dan individu dapat ditempatkan dengan
aman untuk jangka waktu sementara. Time-out room minimal memiliki
perabotan (misalnya, kursi dan meja), cahaya yang cukup, panas, dan
ventilasi, namun tidak boleh memiliki fitur yang berpotensi sebagai
reinforcement (misalnya, gambar-gambar di dinding, telepon, benda
pecah). Ruangan harus aman, tapi tidak terkunci.
Partition Time-out. Dalam partition Time-out, individu tersebut tetap
berada dalam lingkungan time-in, namun pandangannya terhadap
lingkungan time-in dibatasi oleh sebuah partisi, dinding, bilik, atau struktur
serupa. Guru akan menggunakan partisi time-out dengan mengarahkan
individu, bergantung pada tingkah laku yang tidak diinginkan, untuk
berpindah dari tempat duduknya ke lokasi di belakang sebuah bilik di
dalam kelas untuk jangka waktu tertentu. Meskipun partisi time-out
memiliki keuntungan bagi siswa yaitu dia tetap dapat mendengarkan
konten akademik dan mendengarkan guru memuji siswa lain untuk
tingkah laku yang tepat, hal ini tetap mendatangkan kerugian. Artinya,
siswa tersebut masih dapat memperoleh reinforcement tersembunyi dari
siswa lain. Bahkan meskipun siswa tetap di dalam ruangan, dan partisi
time-out area mungkin disebut dengan nama yang tidak berbahaya
(misalnya, ruang hening, kantor, ruang pribadi), beberapa orang tua dapat
melihat semua jenis pemisahan dari siswa lain di kelas sebagai perlakuan
diskriminatif.
Hallway Time-out. Hallway time-out adalah metode populer yang dikenal
guru-dan mungkin orang tua ketika berhadapan dengan tingkah laku
mengganggu. Dalam metode ini, siswa diarahkan untuk meninggalkan
kelas dan duduk di lorong. Meskipun keuntungan dari variasi yang baru
saja disebutkan, pendekatan ini tidak sangat dianjurkan untuk dua alasan:
(a) siswa dapat memperoleh penguatan dari banyak sumber (misalnya,
siswa di kamar lain, individu berjalan di lorong), dan (b) terdapat
peningkatan kemungkinan untuk melarikan diri jika siswa yang agresif
dalam perjalanan untuk melakukan time-out. Pendekatan ini mungkin akan
lebih bermanfaat bagi anak-anak muda yang mengikuti patuh, tetapi jelas
tidak pantas bagi siswa yang tidak memiliki keterampilan kepatuhan dasar.

Time-out merupakan alternatif yang diinginkan untuk mengurangi tingkah


laku karena kemudahan aplikasi, penerimaan, penekanan efek tingkah laku
secara tepat, dan kemampuan untuk digabungkan dengan pendekatan lain.

Punishment 17
C. Aspek yang diperlukan dari Time-out.

1. Ease of Application (Mudah dilaksanakan). Dalam Time out, terutama


variasi nonexclusion, relatif mudah diterapkan. Bahkan secara fisik
mengeluarkan siswa dari lingkungan dapat diterapkan dengan mudah jika
guru bertindak secara resmi dan tidak berusaha untuk mempermalukan
siswa.
2. Acceptability ( Mudah diterima). Time-out, khususnya variasi
nonexclusion, memenuhi standar penerimaan karena guru menganggapnya
sebagai suatu metode yang efektif, tepat, dan adil. Meski begitu, sebelum
implementasi, guru harus selalu memeriksa untuk memastikan tetap sesuai
dengan kebijakan sekolah sebelum menerapkan time-out untuk pelanggaran
besar atau kecil.
3. Supresi tingkah laku secara cepat. Ketika secara efektif dilaksanakan,
time-out biasanya menekan tingkah laku sasaran secara moderat-cepat.
Kadang-kadang hanya membutuhkan beberapa aplikasi yang diperlukan
untuk mencapai tingkat pengurangan. Prosedur reduktif lain (misalnya,
Exctinction, reinforcement diferensial tingkat rendah/DRL) juga
menghasilkan penurunan dalam tingkah laku, tetapi mereka dapat memakan
waktu.
4. Aplikasi Gabungan. Time-out dapat dikombinasikan dengan prosedur lain,
untuk memperpanjang penggunaan dalam pengaplikasiannya.

D. Keefektifan Penggunaan Time-out

Implementasi efektif time-out mensyaratkan bahwa praktisi membuat beberapa


keputusan sebelum, selama, dan setelah implementasi time-out.

1) Reinforcing & Enriching pada Lingkungan Time-in. (Memperkuat dan


memperkaya linkungan time-in). Lingkungan time-in harus menjadi
reinforcing saat time-out menjadi efektif. Dalam membuat lingkungan time-
in, praktisi harus mencari cara untuk me-reinforce tingkah yang merupakan
tingkah laku alternatif atau incompatible terjadi pada saat time-out. Sebagai
contoh DRA, DRI.

2) Mendefinisikan Prilaku Memimpin ke Time-out. Sebelum time-out


diterapkan, gambarkan dan sampaikan tingkah laku yang diinginkan terjadi
selama time-out. Contoh jika guru memutuskan untuk menggunakan time-out,

Punishment 18
dia harus menjelaskan secara eksplisit pola tingkah laku yang observeble
yang diharapkan terjadi dan merupakan hasil dari time-out.

3) Mendefinisikan Prosedur Durasi dari Time-out. Dalam penerapan time-out


pada setting sekolah atau tempat terapi, durasi awal dari time-out harus
singkat dalam penerapannya. Periode 2 sampai 10 menit sudah cukup,
sekalipun durasi singkat menjadi tidak efektif pada awalnya bagi individu
yang pernah mengalami periode time-outyang panjang atau lama. Biasanya
periode time-out yang melebihi dari15 menit menjadi kurang efektif.

4) Mendefinisikan Kriteria Exit (mengakhiri time-out). Keputusan untuk


mengakhiri time-out tidak seharusnya didasarkan secara khusus pada bagian
waktu saja, namun harus juga memperhatikan kondisi tingkah laku yang
mengalami peningkatan. Jika tidak muncul kondisi tersebut, time-out adalah
meapat dihentikan jika tingkah laku yang tidak diinginkan tidak terjadi.

5) Memutuskan Nonexclusion atau exclusion Time-out. Kebijakan Dewan


sekolah atau kendala kelembagaan dapat digunakan untuk mengatur
parameter dari variasi time-out yang dapat digunakan dalam pengaturan
penerapannya. Selain itu, faktor fisik gedung (Kurangnya ruang yang
tersedia) dapat melarang bentuk ekslusif time-out.

6) Menjelaskan Aturan Time-out. Selain menjelaskan tingkah laku yang akan


dihasilkan melalui time-out, guru juga harus menyatakan aturan. Minimal,
aturan-aturan ini harus fokus pada durasi awal time-out
dan kriteria exit (misalnya, aturan-aturan yang menentukan kapan time-out
selesai dan apa yang terjadi jika tingkah laku yang tidak pantas terus-menerus
terjadi ketika time-out ).

7) Mendapatkan Izin. Salah satu tugas yang paling penting bagi guru adalah
harus melakukan dan memperoleh izin sebelum menggunakan time-out,
terutama variasi eksklusioner, (misalnya, meninggalkan individu tersebut
dalam waktu terlalu lama, melanjutkan penggunaan time-out walaupun sudah
tidak efektif), guru harus memperoleh persetujuan administratif sebelum
melakukannya.

8) Penerapan Time-out secara konsisten. Setiap terjadinya tingkah laku yang


tidak diinginkan dapat mengakibatkan time-out. Jika orang tua, guru, terapis,
tidak berada dalam posisi untuk memberikan konsekuensi time-out setelah
kemunculan tingkah laku target, mungkin akan lebih baik untuk

Punishment 19
menggunakan teknik reduktif alternatif. Menggunakan time-out kadang-
kadang dapat menyebabkan kebingungan siswa atau klien tentang tingkah
laku yang dapat diterima dan yang tidak.

9) Mengevaluasi Keefektifan. Secara umum, para pendidik dan para peneliti


mengunakan evaluasi berkala dalam penggunaan atau penerapan time-out.

10) Menimbang Pilihan Lain. Walaupun time-out telah terbukti efektif dalam
mengurangi tingkah laku, tidak harus menjadi metode pilihan pertama.
Praktisi dihadapkan dengan tugas untuk mengurangi tingkah laku, awalnya
harus mempertimbangkan extinction atau prosedur reduktif positif (misalnya,
diferensial reinforcement untuk tingkah laku lain, diferensial reinforcement
untuk tingkah laku yang incompatible).

11) Issues Legal dan Etis dalam Time-out. Setidaknya dua kesimpulan telah
didiskusikan. Pertama, memindahkan individu ke sebuah ruangan yang
terkunci dianggap ilegal kecuali dapat dibuktikan bahwa pengasingan adalah
bagian dari rencana keseluruhan penanganan/treatment dan jika program ini
dilakukan dengan hati-hati dan diawasi secara ketat. Kedua, durasi time-out
dilakukan secara singkat (misalnya, kurang dari 10 menit). Perpanjangan
dapat diperoleh hanya jika mendapatkan persetujuan dari komite peninjau.

E. Definisi Response Cost

Response Cost adalah bentuk punishment di mana hilangnya sejumlah


reinforcement tertentu, bergantung pada kinerja tingkah laku yang tidak
diinginkan, dan kemungkinan terjadinya penurunan tingkah laku di waktu
berikutnya.
Response cost terjadi setiap kali guru mengurangi jumlah menit istirahat,
meminta kembali, memperoleh kembali sticker yang diberikan sebagai reward,
atau "denda" bagi siswa yang melakukan pelanggaran, dengan hasil penurunan
frekuensi dari tingkah laku target di waktu berikutnya.

F. Aspek-aspek dari Response Cost yang diinginkan

Response cost memiliki beberapa keisitimewaan yang dapat membuat


itumenjadi suatu hal yang diinginkan untuk diaplikasikan, yaitu:
1) layak untuk mempercepat penurunan tingkah laku,
2) kenyamanan, dan

Punishment 20
3) dapat digabungkan dengan prosedur lain.

G. Metode Response cost

Empat metode untuk menerapkan response cost: sebagai denda langsung,


sebagai bonus response cost, dikombinasikan dengan reinforcement positif, dan
dalam pengaturan kelompok.
1) Fines (Denda). Response cost dapat diimplementasikan dengan denda
langsung kepada individu dalam jumlah tertentu dari reinforcers positif.
Siswa yang kehilangan waktu 5 menit gratis untuk setiap kemunculan
tingkah laku patuh adalah contohnya. Dalam hal ini, response cost
diterapkan terhadap rangsangan yang dikenal sebagai penguat dan tersedia
untuk individu tersebut. Dalam beberapa situasi, bagaimanapun,
menghilangkan unconditioned dan conditioned reinforcers (misalnya,
makanan, waktu bebas) dari orang lain akan dianggap secara legal dan etis
tidak tepat atau tidak diinginkan.

2) Bonus Response Cost . Praktisi dapat membuat reinforcers tambahan yang


tersedia secara noncontingently kepada individu, khususnya untuk
penghilangan dengan contingency response cost. Misalnya, jika distrik
sekolah biasanya mengalokasikan 15 menit istirahat setiap pagi bagi siswa di
tingkat sekolah dasar, dalam metode bonus response cost , siswa akan
memiliki 15 menit tambahan untuk istirahat. Tetapi setiap munculnya
tingkah laku yang tidak dinginkan, maka guru mengurangi jumlah bonus
menit istirahat bagi mereka.

3) Menggabungkan dengan Reinforce ment Positif. Response cost dapat


dikombinasikan dengan reinforcement positif. Sebagai contoh, siswa
mungkin mendapatkan token untuk meningkatkan prestasi akademis dan
sekaligus kehilangan token untuk contoh tingkah laku yang tidak pantas.
Dalam contoh lain, seindividu siswa dapat menerima titik, bintang, atau
stiker untuk masing-masing 10 tugas-tugas akademik yang diselesaikan
selama pagi hari, tapi kehilangan titik, bintang, atau stiker untuk masing-
masing dari 6 kejadian berteriak. Dari ketiga metode response cost diatas
setidaknya mempunyai dua keuntungan, yaitu: (a) jika semua tanda atau poin
yang tidak hilang melalui response cost, yang tersisa dapat digunakan untuk
reinforcers cadangan, sehingga menambah komponen reinforcement yang
dimasukkan ke dalam banyak program; dan (b) reinforcement dapat
menyediakan kembali dengan melakukan tingkah laku yang tepat.

Punishment 21
4) Konsekuensi me nggabungkan dengan Kelompok. Cara terakhir
konsekuensi response cost dapat diimplementasikan dengan melibatkan
kelompok. Artinya, bergantung pada tingkah laku yang tidak diinginka dari
setiap anggota kelompok, seluruh kelompok kehilangan reinforcement pada
jumlah tertentu.

H. Keefektifan Pengunaan Response cost

Untuk keefektifan pengunaan response cost, praktisi harus menentukan


kedekatan denda, memutuskan apakah bonus response cost adalah pilihan yang
lebih disukai, memastikan cadangan reinforcer, mengenali potensi hasil yang
tidak terencana atau tidak terduga, menghindari overusing response cost. Untuk
keefektifan pengunaan response cost, tingkah laku target untuk response cost
dan jumlah kebutuhan baik untuk secara eksplisit dinyatakan. Selanjutnya, setiap
aturan yang akan berlaku atas penolakan untuk mematuhi prosedur response cost
perlu dijelaskan. Termasuk dalam definisi tingkah laku sasaran harus kehilangan
point yang sesuai untuk tingkah laku masing-masing. Namun, dalam situasi di
mana beberapa tingkah laku tunduk pada contingency cost tanggapan atau di
mana tingkat keparahan tingkah laku menentukan response cost. Sejalan denda
yang lebih besar harus dikaitkan dengan tingkah laku yang lebih berat.
Akibatnya, besarnya punishment (response cost) harus sesuai dengan
pelanggaran.

Determining the Immediacy of the Fines ( Menentukan Kedekatan dari


Denda). Idealnya, denda harus diberlakukan segera setelah terjadinya setiap
tingkah laku yang tidak diinginkan. Response cost yang lebih cepat
diterapkan setelah terjadinya tingkah laku, maka prosedur akan menjadi lebih
efektif.
Response cost atau Bonus Response cost? Memutuskan variasi response
cost akan menjadi paling efektif untuk mengurangi tingkah laku, maka
biasanya muncul pertanyaan empiris. Namun, tiga pertimbangan dapat
membantu praktisi. Pertama, aversi prosedur setidaknya harus dicoba pada
awalnya. Konsisten dengan prinsip least restrictive alternative, suatu upaya
harus dilakukan untuk memastikan bahwa minimum kerugian reinforcers
terjadi untuk jumlah waktu minimum. Bonus response cost mungkin kurang
aversi dari dua variasi karena reinforcers tidak dikurangkan langsung dari
individu tersebut, melainkan mereka hilang dari kolam potensi yang tersedia
(misalnya, bonus) reinforcers. Kedua adalah sama dengan yang pertama dan
dapat dinyatakan dalam bentuk pertanyaan: Hal apakah yang dapat berpotensi
untuk menjadi agresif, ledakan emosi? Dari perspektif validitas sosial, siswa

Punishment 22
(dan orang tua mereka) mungkin akan merasa lebih menyenangkan untuk
kehilangan reinforcers dari cadangan yang tersedia yang berasal dari
pendapatan mereka. Akibatnya, prosedur bonus response cost mungkin
kurang dapat memicu ledakan agresif atau emosi, atau menyinggung kepada
siswa atau orang tua mereka. Ketiga adalah kebutuhan untuk mengurangi
tingkah laku dengan cepat. Tingkah laku agresif atau patuh mungkin lebih
tepat ditekan dengan response cost karena kontingensi langsung mengurangi
reinforcers yang tersedia bagi siswa.

Ensuring Reinforcement Reserve (Memastikan Reinforcement Cadangan).


Tersedianya dua saran yang berlaku untuk mengurangi kemungkinan tidak
memiliki reinforcers. Pertama, rasio dari point yang diterima ke poin yang
hilang dapat dikelola. Jika baseline data menunjukkan bahwa tingkah laku
tidak pantas terjadi pada tingkat tinggi, reinforcers lebih dapat diprogram
untuk dihapus. Juga, menentukan besarnya denda, dan menyatakan secara
eksplisit sebelumnya, sangat membantu. Pelanggaran ringan mungki n
memerlukan denda relatif kecil, sedangkan pelanggaran besar mungkin
memerlukan denda jauh lebih tinggi. Kedua. jika semua reinforcers hilang
dan tingkah laku lain yang tidak pantas terjadi, time-out mungkin diterapkan.
Setelah itu, ketika reinforcement telah kembali diperoleh untuk tingkah laku
yang tepat, response cost dapat dihidupkan kembali.
Untuk menentukan jumlah awal reinforcers tersedia, praktisi mengumpulkan
data dasar tentang terjadinya tingkah laku yang tidak pantas selama sesi.
Angka dasar rata-rata dapat ditingkatkan untuk jumlah reinforcers untuk
memastikan bahwa semua reinforcers tidak hilang saat biaya respon berlaku.

Recognizing the Potential Unplanned or Unexpected Outcomes (Menyadari


Potensi adanya hasil tak terencana atau tak terduga). Dua situasi mungkin
memerlukan pelaksanaan rencana yang kontingensi. Situasi pertama terjadi
saat pengulangan pengenaan response cost yang berfungsi untuk me-
reinforce, daripada mem-punish, tingkah laku yang tidak diinginkan. Bila
situasi ini muncul, praktisi harus berhenti menggunakan response cost dan
beralih ke prosedur lain yang reduktif (misalnya, habis-waktu atau DRA).
Situasi kedua terjadi ketika individu menolak untuk menyerah reinforcers
positifnya. Untuk mengurangi kemungkinan ini praktisi harus menjelaskan
konsekuensi dari penolakan tersebut terlebih dahulu dan (a) pastikan bahwa
pasokan yang cukup dari reinforcers cadangan tersedia, (b) menjatuhkan
hukuman denda tambahan untuk tidak menyerah pada penguat (misalnya,
stiker) dan / atau (c) mengganti individu dengan beberapa bagian fraksional
denda untuk mematuhi pembayaran segera.

Punishment 23
Avoiding the Overuse of Response cost (Menghindari response cost yang
berlebihan). Response cost harus disimpan bagi tingkah laku mereka yang
tidak diinginkan terutama yang menarik perhatian kepada diri mereka sendiri,
dan harus ditekan dengan cepat. Para guru atau orang tua yang merupakan
perhatian utama harus selalu memfokuskan pada tingkah laku positif untuk di
reinforce; response cost harus menjadi pilihan terakhir dan harus
dikombinasikan dengan prosedur lain untuk membangun tingkah laku adaptif.

Keeping Records (Menjaga Records). Setiap kemunculan response cost dan


tingkah laku yang terjadi, hal itu harus dicatat. Minimal, praktisi harus
mencatat berapa kali denda yang dikenakan, individu-individu kepada siapa
denda itu dikeluarkan, dan efek dari denda. Membantu pengumpulan data
harian untuk menentukan keefektifan dari prosedur response cost. Dengan
grafik efek dari program, analisis tingkah laku dapat menentukan efek dari
prosedur supresi.

I. Pertimbangan Response cost

Pelaksana response cost dapat meningkatkan:


a) agresivitas siswa. Penarikan Respon-kontingensi reinforcers positif dapat
meningkatkan agresivitas verbal dan fisik siswa. Siswa yang kehilangan
beberapa token, terutama dalam waktu singkat, secara lisan mungkin atau
penyerangan fisik guru. Tingkah laku emosional harus diabaikan bila
memungkinkan jika mereka menemani pelaksanaan response cost. Namun,
guru harus mengantisipasi kemungkinan ini dan (a) mendahului keputusan
untuk menggunakan response cost jika mereka menduga bahwa kondisi
buruk akan mengakibatkan setelah sebuah episode emosional, atau (b) siap
untuk "bertahan di dalam badai."

b) Avoidance/Penghindaran
Pengaturan di mana response cost terjadi atau individu yang mengelola ini
bisa menjadi stimulus yang mengkondisikan aversive. Jika situasi ini terjadi
di sekolah, siswa dapat menghindari sekolah, kelas, atau guru dengan
menjadi tidak ada atau lambat. Guru dapat mengurangi kemungkinan
terjadinya stimulus conditioned yang tidak menyenangkan dengan cara
memberikan secara bersama reinforcement positif untuk tingkah laku yang
sesuai.

Punishment 24
c) Jaminan Penurunan Tingkah laku yang diinginkan. Penarikan respon-
kontingensi reinforcers positif untuk satu tingkah laku dapat mempengaruhi
frekuensi tingkah laku lain. Guru dan praktisi lainnya dapat mengantisipasi
tingkah laku tersebut dan jelas menjelaskan aturan response cost,
memperkuat teman sekelas lain sebagai model tingkah laku yang tepat, dan
menghindari konfrontasi face-to-face.

d) Calling Attention to the Punished Behavior (Pemanggilan perhatian


terhadap tingkah laku yang di punished). Response cost memanggil perhatian
pada tingkah laku yang tidak diinginkan. Artinya, pada saat terjadinya
tingkah laku yang tidak pantas, siswa diberitahu tentang kehilangan
reinforcer. Perhatian guru-bahkan dalam bentuk pemberitahuan
penghilangan reinforceer bisa berfungsi sebagai konsekuensi reinforcing.
Akibatnya, perhatiannya dapat meningkatkan frekuensi tingkah laku di masa
depan.

e) Unpredictability/Ketidakpastian. Seperti dengan bentuk punishment lain,


efek samping response cost tidak dapat diprediksi. Pengaruh response cost
tampaknya terkait dengan sejumlah variabel yang tidak sepenuhnya
dipahami dan belum banyak diteliti pada seluruh individu, pengaturan, atau
tingkah laku. Variabel ini meliputi besarnya denda, punishment sebelumnya
dan sejarah reiforcement individu, frekuensi tingkah laku yang didenda, dan
ketersediaan tanggapan alternatif yang memenuhi syarat untuk penguatan.

Punishment 25
KESIMPULAN
Dalam menganalisa tingkah laku, kita tidak bisa menjauhkan diri dari
konsep punishment. Puishment merupakan salah satu metode untuk
mengurangi atau menekan atau bahkan menghilangkan tingkah laku yang
bermasalah atau yang tidak diingikan. Punishmennt akan menjadi suatu yang
disiplin, kuat dan lebih kompeten, dan praktis serta lebih efektif jika (a)
peran alami punishment dan kontribusi untuk kelangsungan hidup dan
belajar diakui dan dihargai, (b) lebih banyak pelaksanaan riset baseline dan
terapan tentang punishment, dan (c) perlakuan yang menampilkan
punishment positif dipandang sebagai teknologi standar yang akan digunakan
hanya jika semua metode lain gagal. Kontingensisi punishment positif dan
negatif terjadi secara alami dalam kehidupan sehari-hari sebagai bagian dari
campuran kompleks antara reinforcement bersamaan dengan kontinjensi
punishment. Punishment adalah bagian alami dari kehidupan.

Sumber Pustaka:

Cooper, J., Heron, T., & Heward, W. 2007. Applied Behavior Analysis-2nd
Edition. New Jersey: PearsonPrentice Hall.

Punishment 26

Anda mungkin juga menyukai