TINGKAH LAKU
PUNISHMENT
oleh
B.A. HABSY
Lecture In
DARUL ULUM UNIVERSITY
DAFTAR ISI
Daftar Isi..................................................................................................................................... i
Pendahuluan ............................................................................................................................ 1
Kesimpulan ............................................................................................................................... 26
i
PUNISHMENT
Pendahuluan
Punishment mengajarkan kita untuk tidak mengulangi responses yang
menyebabkan kerugian bagi kita. Meskipun punishment seringkali dianggap
buruk, namun tetap dibutuhkan dalam proses belajar seperti halnya reinforcement.
Pembelajaran yang merupakan konsekuensi dari sesuatu yang menghasilkan rasa
sakit, ketidaknyamanan, atau hilangnya reinforcers memiliki nilai kelangsungan
hidup bagi individu. Seperti dengan reinforcement, perubahan rangsangan yang
berfungsi sebagai konsekuensi dalam kontingensisi punishment seringkali dapat
digambarkan sebagai salah satu dari dua jenis operasional: stimulus baru disajikan
atau stimulus yang ada akan dihapus.
Meskipun banyak individu menganggap bahwa punishment merupakan hal
yang buruk-dan merupakan lawan dari reinforcement namun punishment memiliki
peran yang sama pentingnya seperti reinforcement dalam proses belajar.
Pembelajaran yang berasal dari konsekuensi yang menghasilkan rasa sakit atau
ketidaknyamanan, atau hilangnya berbagai macam reinforcer, memiliki nilai
ketahanan bagi individu. Punishment mengajarkan kita untuk tidak mengulangi
respond-respond yang dapat membahayakan diri kita.
Punishment sering kurang dipahami, sering disalahgunakan, dan
penerapannya dapat menjadi suatu yang kontroversial. Setidaknya beberapa dari
kesalahpahaman dan kontroversi seputar penggunaan punishment dalam program
pengubahan tingkah laku berasal dari kebingungan punishment yang
dibaselinekan pada pengalaman yaitu disamakan atau mempunyai konsep yang
dikaitkan dengan konotasi hukum. Salah satu makna umum dari punishment
adalah penerapan dari konsekuensi-konsekuensi aversive seperti sakit fisik, sakit
secara psikologis, dan hilangnya hak-hak istimewa, atau denda- dengan tujuan
untuk memberikan pembelajaran kepada individu yang telah berlaku tidak
baik/tidak pantas sehingga dia tidak akan mengulangi tingkah laku tersebut.
Dalam konotasi sehari-hari dari punishment, kebanyakan individu akan setuju
Punishment 1
bahwa seindividu guru yang mengirim mahaanak ke kantor kepala sekolah karena
bermain-main di kelas, atau petugas polisi yang mengeluarkan surat tilang kepada
pengendara yang ngebut, telah punishing/menghukum si pelaku. Namun, sebagai
prinsip tingkah laku, punishment bukan hanya tentang punishing/menghukum
individu tersebut; punishment merupakan sebuah respond kemungkinan
konsekuensi yang menekan frekuensi dari kemunculan response-response yang
serupa di waktu-waktu berikutnya.
Punishment 2
Bagian Pertama
PUNISHMENT by STIMULUS PRESENTATION
(Punishment dengan pemberian stimulus)
Punishment 3
Punishment Positif dan Punishment Negatif
Seperti reinforcement, terdapat dua jenis punishment, yaitu punishment
positif dan punishment negatif. Punishment positif terjadi ketika stimulus (atau
peningkatan intensitas stimulus yang sudah ada) segera diberikan/ disajikan
mengikuti kemunculan tingkah laku untuk menurunkan frekuensi dari tingkah
laku tersebut.Sedangkan Punishment negatif melibatkan pemutusan/menghentikan
stimulus yang sudah ada (atau penurunan intensitas stimulus yang sudah ada)
segera setelah kemunculan tingkah laku untuk menurunkan frekuensi dari tingkah
laku tersebut.
Seperti dengan reinforcement, pengubah positif dan negatif digunakan
dalam punishment berkonotasi baik niat maupun keinginan untuk perubahan
tingkah laku yang dihasilkan, mereka hanya menentukan bagaimana perubahan
stimulus yang menjabat sebagai konsekuensi punishing/menghukum dipengaruhi-
apakah yang terbaik adalah digambarkan sebagai penyajian stimulus baru
(punishment positif) atau pemutusan (atau pengurangan intensitas atau jumlah)
dari suatu stimulus yang sudah ada (punishment negatif).
Punishment positif dan reinforcement negatif sering membingungkan.
Karena kejadian aversive (penolakan/keengganan) dihubungkan dengan
punishment positif dan reinforcement negatif, pola payung pengkondisian
penghindaran/aversive control yang sering kali digunakan untuk menggambarkan
intervensi-intervensi yang melibatkan kedua prinsip ini. Kunci untuk
mengidentifikasi dan membedakan punishment positif dan reinforcement negatif
yang memungkinkan melibatkan stimulus aversive yang sama adalah (a)
Mengenali dampak yang berlawanan antara dua kemungkinan terhadap frekuensi
tingkah laku berikutnya/di masa yang akan datang, dan (b) menyadari bahwa dua
tingkah laku yang berbeda harus terlibat karena konsekuensi yang sama (yaitu,
perubahan stimulus) tidak dapat berfungsi sebagai punishment positif dan
reinforcement negatif untuk tingkah laku yang sama.
Dalam kontingensisi punishment positif, stimulus tidak hadir sebelum respon dan
dihadirkan sebagai konsekuensinya; dalam kontingensisi reinforcement negatif,
stimulus hadir sebelum responsesdan dihapus sebagai konsekuensinya.
Punishment 4
menunjukkan penurunan terjadinya frekuensi tingkah laku pada situasi yang sama
di waktu berikutnya. Jika punishment terjadi hanya dalam beberapa kondisi
stimulus dan tidak pada kondisi lainnya, efek supresi dari punishment akan paling
lazim di bawah kondisi tersebut.
Discriminative stimulus of punishment (SDP) merupakan satu stimulus dalam
pengkondisian yang merespon satu reaksi yang terjadi saat itu dan kecil
kemungkinan untuk berespon pada tingkah laku yang tidak tampak; sebagai hasil
dari respon- punishment kontinjensi yang dikirim dari stimulus yang terjadi saat
itu.
Contoh:
Dampak pada
frekuensi dari
SDp R SP respon yg sama di
waktu berikutnya-
SD
Ketika punishment dihentikan, hal itu merupakan efek supresi dalam merespon
yang sifatnya tidak permanen, fenomena ini sering disebut pemulihan dari
punishment, yang dapat disamakan dengan extinction. Kadang-kadang tingkat
bereaksi setelah punishment dihentikan tidak hanya akan sembuh tapi juga dapat
melebihi tingkat di mana itu terjadi sebelum punishment.
Punishment 5
waktu berikutnya. Perubahan stimulus dalam kontingensisi punishment positif
dapat disebut sebagai Punisher positif, atau lebih hanya sebagai Punisher.
Demikian pula istilah Punisher negatif dapat diterapkan pada perubahan stimulus
yang terlibat dalam punishment negatif. Seperti reinforcers, punishers dapat
digolongkan sebagai unconditioned atau conditioned.
a. Unconditione d Punishers
Unconditoned punisher atau punisher primer adalah stimulus yang fungsi
penyajiannya sebagai punishment, tanpa harus dipasangkan dengan punishers
lain. Unconditined punisher ini berkaitan dengan biologis manusia/individu.
Pendorong rasa sakit seperti yang disebabkan oleh trauma fisik tubuh, bau
tertentu dan selera, pengendalian fisik merupakan contoh perubahan stimulus
yang biasanya berfungsi sebagai unconditioned punishers bagi manusia.
Seperti uncoditioned reinforcers, uncoditioned punishers adalah "peristiwa
filogenetik penting yang secara langsung berpengaruh terhadap kebugaran"
dari organisme.
b. Conditione d Punishers
Conditioned punisher atau punisher sekunder adalah stimulus yang
berfungsi sebagai punishment sebagai akibat dari sejarah pengkondisian
seseindividu. Sebuah punisher dikondisikan memperoleh kemampuan untuk
berfungsi sebagai punisher melalui stimulus-stimulus yang berpasangan
dengan satu atau lebih unconditioned atau conditioned punishers.
Stimulasi yang bersifat netral sebelumnya dapat juga menjadi
conditioned punishers tanpa langsung memasangkan secara fisik dengan
punisher lain melalui proses memasangkan, dan ini dsebut pengkondisian
analog verbal/ verbal analog conditioning.
Perubahan stimulus yang telah dipasangkan dengan berbagai bentuk dari
unconditioned dan conditioned punishers dapat menjadi generalized
conditioned punisher (conditioned punisher yang berlaku secara umum).
Misalnya:
Menegur ("Tidak!" "Jangan lakukan itu"!)
Penolakan sosial (misalnya, cemberut, menggelengkan kepala,
mengerutkan kening).
Punishment 6
B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keefektivitasan
Punishment
Kesegeraan (Immediacy)
Sepresif yang maksimal saat kemunculan Punisher terjadi sesegera mungkin
setelah terjadinya respon target. Semakin lama penundaan waktu antara
terjadinya respon dan terjadinya perubahan stimulus, punishment akan kurang
efektif dalam mengubah frekuensi respon yang relevan.
Intensitas/Besarnya (Intensity/Magnitude)
Baseline peneliti menguji efek dari punishers dari berbagai intensitas atau
besarnya (dalam hal jumlah atau durasi) telah melaporkan tiga temuan yang
dapat diandalkan:
1) korelasi positif antara intensitas stimulus punishing/menghukum dan supresi
respon: semakin besar intesitas stimulus punishing, maka semakin segera
dan menyeluruh supresi terhadap terjadinya tingkah laku
2) pemulihan dari punishment berkorelasi negatif dengan intensitas stimulus
punishing/menghukum: semakin intens Punisher itu, semakin kecil
kemungkinan respon akan terulang kembali ketika punishment dihentikan.
3) Intensitas yang tinggi pada stimulus mungkin menjadi tidak efektif sebagai
punishment jika stimulus digunakan sebagai punishment awalnya memiliki
intensitas yang rendah dan meningkat secara bertahap.
Lerman dan Vorndran (2002) berpendapat: Sementara stimulus punishing
menjadi harus cukup intensif untuk sebuah aplikasi yang efektif, seharusnya
tidak lebih intens dari yang diperlukan.
Schedule/Jadual
Efek supresi dari sebuah punisher dimaksimalkan dengan jadwal punishment
(FR l) yang berkelanjutan di mana setiap kemunculan tingkah laku diikuti
dengan konsekuensi punishing. Secara umum, semakin besar proporsi
responsesyang diikuti oleh Punisher, semakin besar pengurangan akan respon.
Azrin dan Holz (1966) merangkum efek komparatif punishment pada jadwal
kontinyu dan intermittent sebagai berikut: Punishment yang terus-menerus
menghasilkan supresi lebih daripada punishment yang sifatnya sesaat selama
kontingensisi punishment dipertahankan. Namun, setelah punishment
kontingensisi telah dihentikan, punishment terus-menerus memungkinkan
pemulihan lebih cepat dari respon, mungkin karena tidak adanya punishment
bisa lebih cepat didiskriminasikan. Punishment yang sifatnya sesaat mungkin
agak efektif untuk beberapa kondisi.
Punishment 7
Reinforcement untuk Tingkah laku Target
Efektivitas punishment dimodulasi/diatur oleh kontinjensi reinforcement yang
menjaga persoalan tingkah laku. Punishment akan efektif jika reinforcement
untuk tingkah laku target dikurangi/diturunkan.
Escape dan avoidance adalah reaksi alami untuk stimulasi aversif. Tingkah
laku escape dan avoidance mengambil berbagai bentuk, dan beberapa
diantaranya dapat menjadi masalah lebih besar dari tingkah laku yang menjadi
sasaran punished. Sebagai contoh, seindividu mahaanak yang berulang kali
ditegur karena bekerja ceroboh atau datang ke kelas dengan keadaan tidak siap
belajar mungkin akan berhenti datang ke kelas sama sekali. Seseindividu yang
berbohong, menipu, atau menunjukkan tingkah laku yang tidak dikehendaki,
dilakukan untuk menghindari punishment. Individu terkadang lolos dari
Punishment 8
lingkungan punishing dengan mengkonsumsi drugs atau alkohol, atau dengan
hanya "tuning out."
Punishment 9
masyarakat. Alber dan Heward (2000) menggambarkan bagaimana cara kerja
kontingensisi secara alamiah dalam kelas secara khas menjadi kekuatan yang
dilakukan atau digunakan guru dari menegur tingkah laku yang mengganggu
sementara melemahkan penggunaan kontingensi pujian dan perhatian untuk
tingkah laku yang sesuai.
Punishment 10
yang membawa lingkungan ke kondisi yang jauh lebih baik daripada sebelum
kenakalan tersebut. Contoh: anak yang sering bermain lumpur dan berulang
kali membawa lumpur dibadannya dengan sepatunya kedalam rumah dan
membuat rumah kotor; kemudian individu tua melakukan overcorrection yaitu
dengan meminta anak mengepel atau menyapu lantai dan menyikat sepatunya
sampai bersih.
Punishment 11
6. Berikan pujian, perhatian, dan mungkin bentuk-bentuk reinforcement
untuk anak setiap kali ia "secara spontan" melakukan tingkah laku yang
tepat selama kegiatan.
Punishment 12
Segera mungkin memberikan punisher diawal rangkaian tingkah laku
muncul. Ini akan sangat efektif sebelum rantai tingkah laku yang tidak
diinginkan terbentuk.
Punishment 13
Hak klien untuk memperoleh penanganan/treatment yang efektif.
Seringkali penerapan punishment mengalami kegagalan dalam men-
supresi/menekan tingkah laku yang tidak diinginkan karena kemungkinan
kesalahan dalam penerapan prosedur/langkah-langkahnya. Dan selain itu
punishment dipandang sebagai tingkah laku yang sifatnya destruktif,
berbahaya dan memberikan ketidaknyamanan bagi individu yang
menerimanya.
Punishment 14
Bagian Kedua
PUNISHMENT by REMOVAL OF A STIMULUS
(Punishment dengan penghilangan stimulus)
A. Definisi Time-out
Time-out dari reinforcement positif, atau hanya disebut dengan time-out,
didefinisikan sebagai penarikan kesempatan untuk mendapatkan reinforcement
positif atau hilangnya akses kepada reinforcement positif untuk waktu tertentu,
bergantung pada terjadinya tingkah laku. Secara implisit dalam definisi time-out
terdapat tiga aspek penting:
(a) Perbedaan lingkungan antara "time-in" dan time-out.
(b) Hilangnya akses reinforcement dari kontingensisi-respon.
(c) Hasil penurunan frekuensi kemunculan tingkah laku di masa yang akan
datang.
Secara teknis, time-out sebagai prosedur punishment negatif menghapus stimulus
reinforcer untuk waktu tertentu bergantung pada terjadinya tingkah laku, yang
dampaknya bertujuan untuk mengurangi frekuensi tingkah laku diwaktu
berikutnya.
Time-out dapat dilihat dari perspektif prosedural, konseptual, dan fungsional.
Secara prosedural, ini merupakan periode waktu ketika individu baik
dipindahkan dari lingkungan reinforcement (misalnya, seindividu siswa
dikeluarkan dari kelas selama 5 menit) atau kehilangan akses ke reinforcers
dalam lingkungan (misalnya, seindividu siswa tidak memenuhi syarat untuk
mendapatkan reinforcers selama 5 menit).
Punishment 15
seseindividu relatif terhadap perubahan pengaturan, ia tetap berada di dalam
lingkungan.
Nonexclusion time-out terjadi pada salah satu dari empat cara berikut ini.
a) Rencana Mengabaikan. Rencana mengabaikan terjadi ketika reinforcers
sosial seperti perhatian, kontak fisik, atau interaksi verbal tersebut
dikeluarkan untuk jangka waktu singkat, bergantung pada terjadinya
tingkah laku yang tidak pantas. Sebagai contoh, mari kita anggap bahwa
selama sesi terapi kelompok untuk rehabilitasi narkoba klien mulai
mengungkapkan ketertarikan dirinya dengan mencuri uang untuk membeli
narkotika. Jika pada saat itu anggota lain dari kelompok memutuskan
hubungan dan tidak menanggapi verbalisasinyanya dengan cara apapun
sampai komentar dia lebih konsisten dengan diskusi kelompok, maka
rencana mengabaikan ini dapat diberlakukan.
b) Penarikan dari reinforcer positif tertentu
Penarikan reinforce tertentu telah terbukti dapat menurunkan level tingkah
laku yang tidak diinginkan. Contoh: pengakhiran dari kontingensisi acara
kartun ditelevisi, telah berhasil mengurangi frekuensi tingkah laku
menghisap jempol dari 3 individu anak.
c) Observasi kontingensisi
Dalam observasi kontingensisi, individu tetap berada dalam pengawasan
dan tidak ditarik dari lingkungannya, namun tetap tidak mendapatkan
reinforcer. Seindividu guru menggunakan contingent observation ketika
terjadinya suatu tingkah laku yang tidak diinginkan. Contoh siswa
diperintahkan untuk "duduk dan menonton" kegiatan. Ketika periode
observasi kontingensi berakhir, siswa kelompok bergabung kembali dan
mampu memperoleh penguatan untuk tingkah laku yang sesuai.
d) Pita Time-out. Pita Time-out didefinisikan sebagai band/tanda berwarna
yang dipasang pada pergelangan tangan anak dan menjadi diskriminatif
untuk menerima penguatan. Ketika pita ada di pergelanga n tangan anak, ia
berhak mendapatkan reinforcers. Jika anak bertingkah, pita dihapus, dan
segala bentuk interaksi sosial dengan anak dihentikan untuk jangka waktu
tertentu (misalnya, 2 menit). Jika tingkah laku yang tidak diinginkan masih
terjadi setelah 3 menit, batas waktu itu diperpanjang sampai kenakalan itu
selesai.
Punishment 16
Time-out Room, adalah setiap ruang terbatas yang berada di luar
lingkungan pendidikan atau tempat terapi yang normal bagi individu yang
tidak memiliki reinforcers positif; dan individu dapat ditempatkan dengan
aman untuk jangka waktu sementara. Time-out room minimal memiliki
perabotan (misalnya, kursi dan meja), cahaya yang cukup, panas, dan
ventilasi, namun tidak boleh memiliki fitur yang berpotensi sebagai
reinforcement (misalnya, gambar-gambar di dinding, telepon, benda
pecah). Ruangan harus aman, tapi tidak terkunci.
Partition Time-out. Dalam partition Time-out, individu tersebut tetap
berada dalam lingkungan time-in, namun pandangannya terhadap
lingkungan time-in dibatasi oleh sebuah partisi, dinding, bilik, atau struktur
serupa. Guru akan menggunakan partisi time-out dengan mengarahkan
individu, bergantung pada tingkah laku yang tidak diinginkan, untuk
berpindah dari tempat duduknya ke lokasi di belakang sebuah bilik di
dalam kelas untuk jangka waktu tertentu. Meskipun partisi time-out
memiliki keuntungan bagi siswa yaitu dia tetap dapat mendengarkan
konten akademik dan mendengarkan guru memuji siswa lain untuk
tingkah laku yang tepat, hal ini tetap mendatangkan kerugian. Artinya,
siswa tersebut masih dapat memperoleh reinforcement tersembunyi dari
siswa lain. Bahkan meskipun siswa tetap di dalam ruangan, dan partisi
time-out area mungkin disebut dengan nama yang tidak berbahaya
(misalnya, ruang hening, kantor, ruang pribadi), beberapa orang tua dapat
melihat semua jenis pemisahan dari siswa lain di kelas sebagai perlakuan
diskriminatif.
Hallway Time-out. Hallway time-out adalah metode populer yang dikenal
guru-dan mungkin orang tua ketika berhadapan dengan tingkah laku
mengganggu. Dalam metode ini, siswa diarahkan untuk meninggalkan
kelas dan duduk di lorong. Meskipun keuntungan dari variasi yang baru
saja disebutkan, pendekatan ini tidak sangat dianjurkan untuk dua alasan:
(a) siswa dapat memperoleh penguatan dari banyak sumber (misalnya,
siswa di kamar lain, individu berjalan di lorong), dan (b) terdapat
peningkatan kemungkinan untuk melarikan diri jika siswa yang agresif
dalam perjalanan untuk melakukan time-out. Pendekatan ini mungkin akan
lebih bermanfaat bagi anak-anak muda yang mengikuti patuh, tetapi jelas
tidak pantas bagi siswa yang tidak memiliki keterampilan kepatuhan dasar.
Punishment 17
C. Aspek yang diperlukan dari Time-out.
Punishment 18
dia harus menjelaskan secara eksplisit pola tingkah laku yang observeble
yang diharapkan terjadi dan merupakan hasil dari time-out.
7) Mendapatkan Izin. Salah satu tugas yang paling penting bagi guru adalah
harus melakukan dan memperoleh izin sebelum menggunakan time-out,
terutama variasi eksklusioner, (misalnya, meninggalkan individu tersebut
dalam waktu terlalu lama, melanjutkan penggunaan time-out walaupun sudah
tidak efektif), guru harus memperoleh persetujuan administratif sebelum
melakukannya.
Punishment 19
menggunakan teknik reduktif alternatif. Menggunakan time-out kadang-
kadang dapat menyebabkan kebingungan siswa atau klien tentang tingkah
laku yang dapat diterima dan yang tidak.
10) Menimbang Pilihan Lain. Walaupun time-out telah terbukti efektif dalam
mengurangi tingkah laku, tidak harus menjadi metode pilihan pertama.
Praktisi dihadapkan dengan tugas untuk mengurangi tingkah laku, awalnya
harus mempertimbangkan extinction atau prosedur reduktif positif (misalnya,
diferensial reinforcement untuk tingkah laku lain, diferensial reinforcement
untuk tingkah laku yang incompatible).
11) Issues Legal dan Etis dalam Time-out. Setidaknya dua kesimpulan telah
didiskusikan. Pertama, memindahkan individu ke sebuah ruangan yang
terkunci dianggap ilegal kecuali dapat dibuktikan bahwa pengasingan adalah
bagian dari rencana keseluruhan penanganan/treatment dan jika program ini
dilakukan dengan hati-hati dan diawasi secara ketat. Kedua, durasi time-out
dilakukan secara singkat (misalnya, kurang dari 10 menit). Perpanjangan
dapat diperoleh hanya jika mendapatkan persetujuan dari komite peninjau.
Punishment 20
3) dapat digabungkan dengan prosedur lain.
Punishment 21
4) Konsekuensi me nggabungkan dengan Kelompok. Cara terakhir
konsekuensi response cost dapat diimplementasikan dengan melibatkan
kelompok. Artinya, bergantung pada tingkah laku yang tidak diinginka dari
setiap anggota kelompok, seluruh kelompok kehilangan reinforcement pada
jumlah tertentu.
Punishment 22
(dan orang tua mereka) mungkin akan merasa lebih menyenangkan untuk
kehilangan reinforcers dari cadangan yang tersedia yang berasal dari
pendapatan mereka. Akibatnya, prosedur bonus response cost mungkin
kurang dapat memicu ledakan agresif atau emosi, atau menyinggung kepada
siswa atau orang tua mereka. Ketiga adalah kebutuhan untuk mengurangi
tingkah laku dengan cepat. Tingkah laku agresif atau patuh mungkin lebih
tepat ditekan dengan response cost karena kontingensi langsung mengurangi
reinforcers yang tersedia bagi siswa.
Punishment 23
Avoiding the Overuse of Response cost (Menghindari response cost yang
berlebihan). Response cost harus disimpan bagi tingkah laku mereka yang
tidak diinginkan terutama yang menarik perhatian kepada diri mereka sendiri,
dan harus ditekan dengan cepat. Para guru atau orang tua yang merupakan
perhatian utama harus selalu memfokuskan pada tingkah laku positif untuk di
reinforce; response cost harus menjadi pilihan terakhir dan harus
dikombinasikan dengan prosedur lain untuk membangun tingkah laku adaptif.
b) Avoidance/Penghindaran
Pengaturan di mana response cost terjadi atau individu yang mengelola ini
bisa menjadi stimulus yang mengkondisikan aversive. Jika situasi ini terjadi
di sekolah, siswa dapat menghindari sekolah, kelas, atau guru dengan
menjadi tidak ada atau lambat. Guru dapat mengurangi kemungkinan
terjadinya stimulus conditioned yang tidak menyenangkan dengan cara
memberikan secara bersama reinforcement positif untuk tingkah laku yang
sesuai.
Punishment 24
c) Jaminan Penurunan Tingkah laku yang diinginkan. Penarikan respon-
kontingensi reinforcers positif untuk satu tingkah laku dapat mempengaruhi
frekuensi tingkah laku lain. Guru dan praktisi lainnya dapat mengantisipasi
tingkah laku tersebut dan jelas menjelaskan aturan response cost,
memperkuat teman sekelas lain sebagai model tingkah laku yang tepat, dan
menghindari konfrontasi face-to-face.
Punishment 25
KESIMPULAN
Dalam menganalisa tingkah laku, kita tidak bisa menjauhkan diri dari
konsep punishment. Puishment merupakan salah satu metode untuk
mengurangi atau menekan atau bahkan menghilangkan tingkah laku yang
bermasalah atau yang tidak diingikan. Punishmennt akan menjadi suatu yang
disiplin, kuat dan lebih kompeten, dan praktis serta lebih efektif jika (a)
peran alami punishment dan kontribusi untuk kelangsungan hidup dan
belajar diakui dan dihargai, (b) lebih banyak pelaksanaan riset baseline dan
terapan tentang punishment, dan (c) perlakuan yang menampilkan
punishment positif dipandang sebagai teknologi standar yang akan digunakan
hanya jika semua metode lain gagal. Kontingensisi punishment positif dan
negatif terjadi secara alami dalam kehidupan sehari-hari sebagai bagian dari
campuran kompleks antara reinforcement bersamaan dengan kontinjensi
punishment. Punishment adalah bagian alami dari kehidupan.
Sumber Pustaka:
Cooper, J., Heron, T., & Heward, W. 2007. Applied Behavior Analysis-2nd
Edition. New Jersey: PearsonPrentice Hall.
Punishment 26