Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Perkembangan Islam pada masa sekarang, tidak terlepas


daripada problema atau masalah-masalah tentang hukum Islam
yang masih belum terjawab oleh sumber hukum Islam terutama
yang dijelaskan di dalam al-Quran dan as-Sunah. Dari berbagai
permasalahan yang ada saat ini, pengembangan untuk
pengambilan hukum dalam menyelesaikan suatu permasalahan
dapat dikaji melalui pendapat para sahabat dan tabiin melalui
ijma dan qiyas. Ijma dan qiyas dapat dijadikan sumber hukum
setelah al-Quran dan as-Sunah yang kurang dapat menjawab
persoalan dalam hukum Islam. Seiring perkembangan waktu,
ijma dan qiyas yang bersandar pada al-Quran dan as-Sunah
terkadang juga mendapat hasil yang kurang memuaskan dalam
mengatasi masalah hukum Islam pada saat ini. Maka,
terbentuklah istihsan dan istishab yang keduanya merupakan
pengembangan dari ijma dan qiyas, meskipun pendapat para
ulama klasik masih terdapat perbedaan tentang kehujjahannya
sebagai sumber hukum Islam.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa definisi istihsan dan istishab menurut para ulama?


2. Bagaimana kehujjahan istihsan dan istishab sebagai sumber
hukum Islam?
3. Bagaimana pandangan para ulama mengenai istihsan dan
istishab?

1.3 Tujuan Penulisan

1
1. Untuk mengetahui definisi istihsan dan istishab.
2. Untuk menjelaskan tentang kehujjahan istihsan dan istishab
sebagai sumber hukum Islam.
3. Untuk menjelaskan berbagai pendapat ulama tentang
istihsan dan istishab.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Istihsan (



)
2.1.1 Definisi Istihsan

Secara etimologi, istihsan berarti meminta berbuat


kebaikan, yakni menghitung-hitung sesuatu dan menganggap
baik.1 Sedangkan menurut terminologi ahli ushul fiqh, istihsan
adalah sebagai berikut:2

Menurut Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Mustashfa juz I: 137,


Istihsan adalah semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid
menurut akalnya.3

Al-Muwafiq Ibnu Qudamah Al-Hambali berkata, Istihsan adalah


suatu keadilan terhadap hukum dan pandangannya karena ada
dalil tertentu dari Al-Quran dan As-Sunah.

1 Rachmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: CV Pustaka Setia, 2007,


hlm. 111.

2 Ibid, hlm. 111-112.

3 Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Mushtashfa fi Ilm Al-Ushul, Beirut: Dar Al-


Kutub Al-Ilmiyah, hlm. 137.

2
Abu Ishaq Asy-Syatibi dalam madzhab Al-Maliki berkata, Istihsan
adalah pengambilan suatu kemaslahatan yang bersifat juzi
dalam menanggapi dalil yang bersifat global.

Menurut Al-Hasan Al-Kurkhi Al-Hanafi, Istihsan adalah perbuatan


adil terhadap suatu permasalahan hukum dengan memandang
hukum yang lain, karena adanya suatu yang lebih kuat yang
membutuhkan keadilan.

Menurut Muhammad Abu Zahrah, Definisi yang lebih baik


adalah menurut Al-Hasan Al-Kurkhi di atas.

Sebagian ulama yang lainnya mengatakan bahwa Istihsan


adalah perbuatan adil dalam hukum yang menggunakan dalil
adat untuk kemaslahatan manusia, dan lain-lain.

Jadi, istihsan merupakan perbuatan adil para mujtahid


yang menganggap baik suatu permasalahan hukum dengan
meninggalkan salah satu dalil yang jelas/kuat untuk menuju
kepada dalil yang lain, karena ada sesuatu hal.

2.1.2 Korelasi Qiyas dan Istihsan

Mengenai hubungan antara qiyas dan istihsan sangat erat.


Istihsan merupakan pengembangan dari hasil para mujtahid
menentukan suatu hukum melalui qiyas. Di dalam qiyas, sesuatu
hal atau peristiwa tidak ada hukumnya, baik berupa nash
ataupun ijma, kemudian dipersamakan dengan sesuatu hal atau
peristiwa yang sudah jelas hukumnya, baik dari nash atau ijma,
karena persamaan illatnya. Sedangkan di dalam istihsan sendiri,
ada dua dalil untuk menetapkan hukum sesuatu hal atau
peristiwa, kemudian seseorang mujtahid meninggalkan salah

3
satu dalil yang jelas atau kuat untuk menuju kepada dalil yang
lain, karena ada sesuatu hal.4

2.1.3 Pembagian Istihsan

Di dalam istihsan dapat dibagi dari dua segi, yaitu:5

1. Segi dalil yang ditinggalkan dan dalil yang dipakai:


a) Dari qiyas yang jelas menuju qiyas yang tidak jelas.
Contoh: Menurut qiyas, hak pengairan dan lalu lintas yang
ada dalam tanah pertanian yang diwakafkan, tidak ikut
diwakafkan, apabila tidak disebutkan tegas-tegas. Menurut
istihsan, dapat masuk.
Menurut qiyas yang jelas, wakaf tersebut disamakan
dengan jual beli, karena persamaan tujuan, yaitu
mengeluarkan hak milik atas sesuatu dari orang yang
mempunyainya. Dalam jual beli hak pengairan dan lalu
lintas tidak termasuk. Demikian pula dalam wakaf.
Akan tetapi, menurut qiyas yang tidak jelas, wakaf tersebut
disamakan dengan sewa menyewa, karena tujuannya
sama, yaitu mengambil manfaat barang bukan miliknya
sendiri. Dalam menyewakan tanah pertanian, hak
pengairan dan lalu lintas termasuk, meskipun tidak
disebutkan. Demikian pula dalam wakaf.
Meninggalkan ketentuan qiyas yang jelas dan mengambil
ketentuan qiyas yang tidak jelas, seperti dalam contoh di
atas, dinamakan istihsan. Dasar peninggalan ini ialah
pengambilan manfaat dari barang wakafan.

4 A. Hanafie, Usul Fiqh, Jakarta: PT Widjaya, 1993, hlm. 142-143.

5 Ibid, hlm. 143-144.

4
b) Dari ketentuan nash yang umum menuju hukum yang
khusus.
Contoh: Pengecualian hukuman potong tangan pencuri dari
ketentuan ayat 38 al-Maidah yang berbunyi:







Artinya:
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi
apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.
dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-
Maidah: 38).
Yang menyatakan adanya hukuman tersebut apabila
pencurian tersebut dilakukan dalam musim kelaparan,
sebagaimana yang pernah digariskan Umar r.a.

c) Dari hukum yang umum kepada hukum pengecualian.


Contoh: Orang yang dititipi sesuatu barang, sesudah
meninggalkannya, harus menggantinya, apabila ia
melalaikan pemeliharaan barang tersebut. Dari segi
istihsan, seorang ayah tidak diwajibkan menggantinya,
karena ia bisa menggunakan harta benda anaknya untuk
mengongkosi hidupnya (anak) atau untuk dagang, yang
boleh jadi bisa mengalami kerugian.

2. Segi sandaran dasar istihsan:


a) Dasar yang berupa qiyas, seperti dalam contoh diatas.
b) Dasar yang berupa nash. Seperti larangan menjual barang
yang tidak/belum ada yang dikeluarkan Nabi Saw, akan

5
tetapi ia memperbolehkan salam (jual buah tanaman
sebelum masa mengetamnya).
c) Dasar yang berupa kebiasaan. Seperti pesan pakaian yang
seharusnya tidak sah, karena barangnya belum ada. Akan
tetapi menurut istihsan, diperbolehkan, karena perbuatan
semacam itu telah menjadi kebiasaan.

2.1.4 Kehujjahan Istihsan dan Pandangan Para Ulama

Para ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan istihsan,


antara lain:6

a. Ulama Hanafiyah

Ulama Hanafiyah membolehkan berhujjah dengan istihsan.


Menurut mereka, berhujjah dengan istihsan hanyalah berdalilkan
qiyas yang tidak jelas yang dikuatkan terhadap qiyas yang jelas
atau menguatkan satu qiyas dengan qiyas lain yang
bertentangan dengannya berdasarkan dalil yang menghendaki
penguatan itu. Atau berdalilkan maslahat untuk mengecualikan
sebagian dari hukum yang bersifat umum.7

Abu Zahra berpendapat bahwa Abu Hanifah banyak sekali


menggunakan istihsan. Begitu pula dalam keterangan yang
ditulis dalam beberapa kitab ushul yang menyebutkan bahwa
Hanafiyah mengakui adanya istihsan. Bahkan, dalam beberapa

6 Rahmat Syafei, Op. Cit., hlm. 112.

7 Ahmad Jamal, Al-Fath Fiqih, Gresik: CV. Putra Kembar Jaya, 2007, hlm.
45.

6
kitab fiqhnya banyak sekali terdapat permasalahan yang
menyangkut istihsan.8

b. Ulama Malikiyah

Asy-Syatibi berkata bahwa sesungguhnya istihsan itu


dianggap dalil yang kuat dalam hukum sebagaimana pendapat
Imam Maliki dan Imam Abu Hanifah. Begitu pula menurut Abu
Zahra, bahwa Imam Malik sering berfatwa dengan menggunakan
istihsan.

c. Ulama Hanabilah

Dalam beberapa kitab ushul disebutkan bahwa golongan


Hanabilah mengakui adanya istihsan, sebagaimana dikatakan
oleh Imam Al-Amudi dan Ibnu Hazib. Akan tetapi, Al-Jalal Al-
Mahalli dalam kitab Syarh Al-Jam Al-Jawami mengatakan bahwa
istihsan itu diakui oleh Abu Hanifah, namun ulama yang lain
mengingkarinya termasuk di dalamnya golongan Hanabilah.

d. Ulama Syafiiyah

Golongan Syafiiyah secara masyhur tidak mengakui


adanya istihsan, dan mereka betul-betul menjauhi untuk
menggunakannya dalam istinbath hukum dan tidak
menggunakannya sebagai dalil. Bahkan Imam Syafii berkata:








Barang siapa yang menggunakan istihsan berarti ia telah
membuat syariat. Beliau juga berkata, Segala urusan itu telah
diatur oleh Allah Swt, setidaknya ada yang menyerupainya

8 Rahmat Syafei, Loc. Cit.

7
sehingga dibolehkan menggunakan qiyas, namun tidak
dibolehkan menggunakan istihsan.

2.2 Istishab (



)
2.2.1 Definisi Istishab dan Hakikat Istishab

Ditinjau dari segi bahasa, perkataan istihsab diambil dari


perkataan Istishabtu ma kaana fil madhi, artinya saya
membawa serta apa yang telah ada waktu yang lampau sampai
sekarang.9 Sedangkan istishab jika ditinjau dari segi
terminologinya menurut ulama ahli ushul fiqh adalah mengambil
hukum yang telah ada atau ditetapkan pada masa lalu dan tetap
dipakai hingga masa-masa selanjutnya, sebelum ada hukum
yang mengubahnya. Misalnya; seseorang ragu-ragu, apakah
sudah wudhu atau belum? Dalam keadaan seperti ini, ketentuan
harusnya berpegang kepada belum wudhu karena hukum yang
asal adalah belum wudhu.10

Oleh sebab itu, apabila seorang mujtahid ditanya tentang


hukum kontrak atau suatu pengelolaan yang tidak ditemukan
nash-nya dalam al-Quran dan as-Sunah, juga tidak ditemukan
dalil syara yang meng-itlak-kan hukumnya, maka hukumnya
adalah boleh, berdasarkan kaidah:11

9 A. Hanafie, Usul Fiqh, Jakarta: PT Widjaya, 1993, hlm. 141.

10 Ahmad Jamal, Al-Fath Fiqih, Gresik: CV Putra Kembar Jaya, 2007,


hlm. 45.

11 Abdul Mujib, Al-Qawaidu Al-Fiqhiyyah, Yogyakarta: Nur Cahaya,


1980, hlm. 63.

8
Artinya:

Pangkal sesuatu itu adalah kebolehan.

Yaitu suatu keadaan, pada saat Allah Swt menciptakan segala


sesuatu yang ada di bumi secara keseluruhan. Maka selama
tidak terdapat dalil yang menunjukkan atas perubahan dari
kebolehannya, keadaan segala sesuatu itu dihukumi dengan sifat
asalnya.12

Dan apabila seorang mujtahid ditanya tentang hukum


binatang, benda-benda, tumbuh-tumbuhan, makanan dan
minuman, atau suatu amal yang hukumnya tidak ditemukan
dalam suatu dalil syara, maka hukumnya adalah boleh.
Kebolehan adalah pangkal (asal), meskipun tidak terdapat dalil
yang menunjukkan atas kebolehannya. Dengan demikian,
pangkal sesuatu itu adalah boleh. Allah Swt telah berfirman
dalam al-Quran:



Artinya:

Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk


kamu. (QS. Al-Baqarah: 29)

Dan Allah Swt juga telah menjelaskan dalam beberapa ayat


lainnya, bahwa Dia telah menaklukkan segala yang ada di langit
dan di bumi untuk manusia. Dengan kata lain, segala sesuatu
yang ada di bumi itu tidak akan dijadikan dan ditaklukkan,
kecuali dibolehkan bagi manusia. Seandainya hal itu terlarang

12 Rahmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: CV Pustaka Setia, 2007,


hlm. 125.

9
bagi mereka, niscaya semuanya diciptakan bukan untuk
mereka.13

2.2.2 Kehujjahan Istishab dan Pandangan Para Ulama

Istishab adalah akhir dalil syara yang dijadikan tempat


kembali bagi para mujtahid untuk mengetahui hukum suatu
peristiwa yang dihadapinya. Ulama ushul berkata,
Sesungguhnya istishab ialah akhir tempat beredarnya fatwa.
Yaitu mengetahui sesuatu menurut hukum yang telah ditetapkan
baginya selama tidak terdapat dalil yang mengubahnya. Ini
adalah teori dalam pengambilan dalil yang telah menjadi
kebiasaan dan tradisi manusia dalam mengelola berbagai
ketetapan untuk mereka. Misalnya; kehalalan pernikahan bagi
suami-istri sebab akad pernikahan dianggap ada sampai ada
ketetapan yang menghapuskan kehalalan itu. Demikian pula
halnya dengan tanggungan karena utang piutang atau sebab
ketetapan apa saja, dianggap tetap ada sampai ada ketetapan
yang menghapuskannya. Tanggungan yang telah dibebaskan dari
orang yang terkena tuntutan utang piutang atau ketetapan apa
saja, dianggap bebas sampai ada ketetapan yang
membebaskannya. Singkatnya, asal sesuatu itu adalah ketetapan
sesuatu yang telah ada, menurut keadaan semula sampai
terdapat sesuatu yang mengubahnya.14

Para ulama ushul fiqh berbeda pendapat tentang


kehujjahan istishab, antara lain:15

13 Ibid, hlm. 125-126.

14 Ibid.

10
a. Menjadikan istishab sebagai pegangan dalam menentukan
hukum sesuatu peristiwa yang belum ada hukumnya, baik
dalam al-Quran, as-Sunah maupun ijma. Ulama yang
termasuk kelompok ini adalah Syafiiyah, Hanabilah,
Malikiyah, Dhahiriyah dan sebagian kecil dari ulama
Hanafiyah dan ulama Syiah. Dalil yang mereka jadikan
alasan, antara lain sebagai berikut:



Artinya:
Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna
untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang mereka kerjakan. (QS. Yunus: 36).
Berdasarkan kaidah prinsip diatas, para ulama ushul
fiqh menetapkan kaidah-kaidah fiqh sebagai berikut:16
Pertama: asal sesuatu itu tetap sebagaimana adanya







Artinya:
Pada dasarnya yang dijadikan dasar adalah sesuatu yang
jadi sebelumnya.

Kedua: Apa yang telah diyakini adanya, tidak hilang karena


adanya keragu-raguan.





Artinya:
Apa yang diyakini adanya tidak hilang karena adanya
keragu-raguan.

Ketiga: Asal hukum sesuatu adalah hilang sampai ada dalil


yang mengharuskan meninggalkan hukum tersebut.

15 Ahmad Jamal, Op. Cit., hlm. 46.

16 Abdul Mujib, Op. Cit., hlm. 64-65.

11





Artinya:

Pangkal sesuatu itu adalah kebolehan.

b. Menolak istishab sebagai pegangan dalam menetapkan


hukum. Ulama golongan kedua ini kebanyakan adalah ulama
Hanafiyah. Mereka menyatakan bahwa istishab dengan
pengertian seperti diatas adalah tanpa dasar, dengan kata
lain istishab itu menjadi hujjah untuk menetapkan berlakunya
hukum yang telah ada dan menolak akibat hukum yang
timbul dari ketetapan yang berlawanan dengan ketetapan
yang sudah ada, bukan sebagai hujjah untuk menetapkan
perkara yang belum tetap hukumnya.17
Istishab bukanlah hujjah untuk menetapkan sesuatu
yang tidak tetap. Telah dijelaskan tentang penetapan orang
yang hilang atau yang tidak diketahui tempat tinggalnya dan
tempat kematiannya, bahwa orang tersebut ditetapkan tidak
hilang dan dihukumi sebagai orang yang hidup sampai
adanya petunjuk yang menunjukkan kematiannya. Istishab-
lah yang menunjukkan atas hidupnya orang tersebut dan
menolak dugaan kematiannya serta warisan harta bendanya
juga perceraian pernikahannya. Tetapi hal itu bukanlah hujjah
untuk menetapkan pewaris dari lainnya, karena hidup yang
ditetapkan menurut istishab itu adalah hidup yang didasarkan
pengakuan.18

17 Ahmad Jamal, Loc. Cit.

18 Rahmat Syafei, Op. Cit., hlm. 127.

12
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

13
Dari pemaparan pembahasan materi diatas, dapat kami
simpulkan sebagai berikut:

1. Istihsan merupakan perbuatan adil para mujtahid yang


menganggap baik suatu permasalahan hukum dengan
meninggalkan salah satu dalil yang jelas/kuat untuk menuju
kepada dalil yang lain, karena ada sesuatu hal. Sedangkan
Istishab adalah mengambil hukum yang telah ada atau
ditetapkan pada masa lalu dan tetap dipakai hingga masa-
masa selanjutnya, sebelum ada hukum yang mengubahnya.
2. Kehujjahan istihsan dalam Islam juga dapat dijadikan sebagai
sumber hukum Islam, selama masih terdapat dalil al-Quran
dan as-Sunah sebagai sandaran dan berpedoman pada ijma
dan qiyas yang telah disepakati. Begitu juga dengan istishab.
3. Menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah, istihsan
dapat menjadi sumber hukum Islam, sedangkan ulama
Syafiiyah tidak menggunakannya. Sedangkan istishab
digunakan oleh ulama Syafiiyah, Malikiyah, Hanabilah
sebagai sumber hukum Islam, sedangkan ulama Hanafiyah
tidak menggunakannya.

3.2 Saran

Kita sebagai umat Islam sebaiknya dapat lebih peka dalam


menjawab persoalan-persoalan Islam pada zaman modern ini
dalam segi pengambilan hukum bukan hanya al-Quran, as-
Sunah, ijma, dan qiyas saja, tetapi penggunaan istihsan dan
istishab juga perlu diperhitungkan.

DAFTAR PUSTAKA

14
Al-Ghazali, Abu Hamid. Al-Mushtashfa fi Ilm Al-Ushul. Beirut: Dar
Al-Kutub Al- Ilmiyah.
Hanafie, A. 1993. Usul Fiqh. Jakarta: PT Widjaya.
Jamal, Ahmad. 2007. Al-Fath Fiqih. Gresik: CV. Putra Kembar Jaya.
Mujib, Abdul. 1980. Al-Qawaidu Al-Fiqhiyyah. Yogyakarta: Nur
Cahaya.
Syafei, Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka
Setia.

15

Anda mungkin juga menyukai