Anda di halaman 1dari 3

BAB I

PENDAHULUAN

Kehamilan pada ibu dengan penyakit Lupus Eritematosus sangat berhubungan dengan
tingkat kesakitan dan kematian ibu dan janin, yang sampai saat ini masih menjadi salah satu
indikator kesehatan nasional. Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit inflamasi
autoimun kronis akibat pengendapan kompleks imun yang tidak spesifik pada berbagai organ
yang penyebabnya belum diketahui secara jelas, serta manifestasi klinis, perjalanan penyakit,
1
dan prognosis yang sangat beragam. Penyakit ini terutama menyerang wanita usia
reproduksi dengan angka kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik dan
hormonal serta lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi LES.
Manifestasi klinis LES sangat luas, meliputi keterlibatan kulit, dan mukosa, sendi, darah,
jantung, paru, ginjal, susunan saraf pusat (SSP) dan sistem imun. Dilaporkan bahwa pada
1000 pasien yang diikuti selama 10 tahun, manifestasi klinis terbanyak berturut- turut adalah
arthritis sebesar 48,1%, ruam malar 31,1%, nefropati 27,9%, fotosensitifity 22,9%,
keterlibatan neurologik 19,4%, dan demam 16,6%. Sedangkan manifestasi klinis yang jarang
dijumpai adalah miositis 4,3%, ruam discoid 7,8%, anemia hemolitik 4,8%, dan lesi
subkutaneus akut 6,7%. Survival rate 5 tahun pasien LES di RSCM adalah 88% dari
pengamatanterhadap 108 orang pasien LES yang berobat dari tahun 1990-2002. Angka
kematian pasien dengan LES hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Pada
tahun-tahun pertama mortalitas LES berkaitan dengan aktifitas penyakit dan infeksi
( termasuk infeksi M. tuberculosis, virus, jamur dan protozoa), sedangkan dalam jangka
panjang berkaitan dengan penyakit vaskular aterosklerosis.
Tingginya kasus LES ini merupakan salah satu hal yang harus diwaspadai karena banyak
faktor merugikan yang mempengaruhi fungsi tubuh akibat gangguan sistem autoimun.
Penyakit LES menyerang hampir 90% wanita yang terjadi pada rentang usia reproduksi
antara 15-40 tahun dengan rasio wanita dan laki-laki adalah 9:1. Penyakit LES yang
kebanyakan terjadi pada wanita di usia reproduksi seringkali menimbulkan masalah
kesehatan terutama pada masa kehamilan yang dapat membahayakan kondisi ibu dan janin.
Dilaporkan wanita hamil yang menderita LES memiliki komplikasi yang buruk terhadap
kondisi ibu dan janin. Oleh karena itu penyakit LES sangat berisiko tinggi pada kehamilan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Etiologi dan Pathogenesis LES


Etiologi dan pathogenesis LES masih belum diketahui dengan jelas.Meskipun demikian
terdapat banyak bukti yang mencakup pengaruh faktor genetik, lingkungan dan hormonal
terhadap respon imun.Kerusakan jaringan disebabkan oleh autoantibodi komplek imun dan
limfosit T. Seperti halnya penyakit autoimun yang lain, suseptibilitas LES tergantung oleh
gen yang multiple. Interaksi antara faktor lingkungan, genetik dan hormonal yang saling
terkait akan menimbulkan abnormalitas respon imun pada tubuh penderita LES. Beberapa
faktor pencetus yang dilaporkan menyebabkan kambuhnya LES adalah stress fisik maupun
mental, infeksi, paparan ultraviolet dan obat-obatan. Obat-obatan yang diduga mencetuskan
LES adalah procainamine, hidralasin, quidine dan sulfasalasine. Pada LES ini sel tubuh
sendiri dikenali sebagai antigen.

Bagan 1. Pathogenesis dari LES

Faktor lingkungan memegang peranan penting, melakukan interaksi dengan sel yang
suseptibel sehingga akan menghasilkan respon imun yang abnormal dengan segala akibatnya.
Faktor genetik mempunyai peran penting, di mana 10 20% pasien penderita LES
mempunyai kerabat penderita LES. Adapun gen yang berperan terutama gen yang mengkode
unsur unsur sistem imun. Kaitan dengan dengan haplotip MHC tertentu terutama HLA
-DR2 dan HLA - DR3 serta dengan komponen komplemen yang berperan pada fase awal
reaksi ikat komplemen telah terbukti. Gen gen lain yang berperan adalah gen yang
mengkode reseptor sel T, immunoglobulin dan sitokin.
Ditemukan bahwa hormon prolaktin dapat merangsang respon imun. Pada LES, cirinya
adalah adanya gangguan sistem imun pada sel T dan sel B serta pada interaksi antara kedua
sel tersebut, hal ini akan menimbulkan aktifasi sistem neuroendokrin . Di dalam tubuh
sebenarnya terdapat kelompok limfosit B yang memproduksi autoantibodi maupun sel T yang
bersifat sitotoksik terhadap diri sendiri. Populasi sel yang autoreaktif ini diatur dan
dikendalikan oleh sel limfosit T supresor.Kegagalan mekanisme kendali mengakibatkan
terbentuknya autoantibodi yang kemudian membentuk kompleks imun atau berkaitan dengan
jaringan.Sel T sitotoksik dapat menyerang sel tubuh secara langsung, sambil mengeluarkan
mediator yang mengakibatkan reaksi peradangan. Antibodi dan komplemen yang melapisi sel
tersebut mengakibatkan perusakan sel oleh sel fagosit dan sel Killer.
Bagian yang penting dalam pathogenesis ini adalah terganggunya mekanisme regulasi
yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada individu yang resisten.
Dalam keadaan normal,kompleks imun dimusnahkan oleh sel fagosit mononuklear, terutama
di hati, limpa dan paru tanpa bantuan komplemen. Dalam proses tersebut, ukuran kompleks
merupakan faktor yang penting. Pada umumnya kompleks yang besar dapat dengan mudah
dimusnahkan oleh makrofag dalam hati. Kompleks kecil dan larut sulit untuk dimusnahkan,
karenanya dapat lebih lama berada dalam sirkulasi.

Anda mungkin juga menyukai