Anda di halaman 1dari 5

Fenomena Hidrologi (Proses Terbentuknya Embun)

Laporan
Untuk Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Hidrologi

Dosen Pengampu : Ferryati Masitoh

Disusun Oleh :
Ariq adnan (160722614652)
Ifana Fitri Tazkia (160722614658)
Fadel Mahardika (160722614608)
Febriana Adi Saputro (160722614665)
Offering / Tahun : G/2016

Asisten Dosen: Yan Jatmika Aji

PROGRAM STUDI S1 GEOGRAFI


JURUSAN GEOGRAFI
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGRI MALANG
2017
Laporan Fenomena Hidrologi (Proses Terbentuknya Embun)

I. Tujuan

Mahasiswa dapat mengetahui fenomena hidrologi yang terjadi disekitar.


Mahasiswa dapat mengetahui proses terjadinya fenomena terbentuknya
embun.
Mahasiswa mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi proses
terbentuknya embun.

II. Alat dan Bahan

1. Kamera
2. Alat tulis
3. Keras Hvs

III. Dasar Teori

Hidrologi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang berkaitan dengan air di


bumi, proses terjadinya, peredaran dan agihannya, sifat-sifat kimia dan fisikanya,
dan reaksi dengan lingkungannya, termasuk hubungannya dengan makhluk-
makhluk hidup (Seyhan, 1995). Hidrologi juga dapat disebut ilmu yang
mempelajari presipitasi, evaporasi dan transpirasi, aliran permukaan, dan air tanah
(Suyono, 1978). Berdasarkan hal tersebut maka hidrologi juga dapat dikatakan
sebagai ilmu yang mempelajari sirkulasi air.

Presipitasi merupakan salah satu bagian dari siklus hidrologi. Menurut Utomo
(2016), presipitasi adalah proses kondensasi udara yang lembab yang jatuh ke
permukaan bumi. Sedangkan menurut Mori (2006), presipitasi didefinisikan
sebagai uap yang mengkondensasi dan jatuh ke tanah dalam rangkaian proses siklus
hidrologi. resipitasi selalu terjadi jika ada pendinginan udara, sehingga menyebabkan
kondensasi. Faktor utama terjadinya presipitasi adalah: 1). Masa uap air; 2). Inti-inti
kondensasi (seperti partikel-partikel debu, kristal, garam dan lain-lain); 3).
Pendinginan udara karena pengangkatan udara (pengangkatan udara dapat terjadi
secara siklonik, orografik, dan konvektiv).
Berdasarkan jenisnya, Seyhan (1990) mengklasifikasikan presipitasi menjadi
2 yakni presipitasi vertikal dan presipitasi horisontal. Presipitasi vertikal merupakan
presipitasi yang jatuh di atas permukaan bumi dan diukur oleh penakar hujan.
Presipitasi horizontal merupakan presipitasi yang dibentuk di atas permukaan bumi
dan tidak dapat diukur oleh penakar hujan. Salah satu bentuk dari presipitasi vertikal
adalah embun.

Embun adalah udara lembap yang dikondensasikan persis di atas permukaan


suatu objek (Utomo, 2016). Sedangkan menurut KBBI (1991), Embun merupakan
uap air yang jatuh dari udara menjadi titik-titik air terutama pada malam hari. Embun
ini biasa ditemui di pagi hari dalam bentuk titiik-titik yang berada di atas permukaan
yang dingin seperti di atas vegetasi, permukaan tanah, besi, aspal dsb.

ketika didinginkan, tanpa mengubah kadar air atau tekanan, hanya kejenuhan. Dengan
kata lain, tekanan uap jenuh pada suhu titik embun adalah sama pada tekanan uap air
lingkungan.

IV. Langkah Kerja

1. Menyiapkan alat perekam.


2. Mencari tempat yang memungkinkan terdapat tititk- titik embun.
3. Merekam fenomena embun saat menjelang pagi.
4. Menyusun laporan.

V. Hasil

(Terlampir Video)

VI. Pembahasan

Embun merupakan salah satu fenomena hidrologi yang biasa terjadi pada
malam hingga pagi hari. Embun merupakan salah satu bentuk dari jenis presipitasi
horisontal menurut ers Embun ini biasanya banyak ditemui di pagi hari dengan
bentuk berupa titik-titik air. Titik-titik air tersebut umumnya berada di atas dedaunan,
aspal dan permukaan tanah.

Berdasarkan prosesnya, embun ini berasal dari uap air yang berada di
atmosfer. Uap air yang berasal dari hasil penguapan di siang hari tersebut kemudian
terkondensasi di malam hari. Pada siang hari, permukaan objek akan menyerap panas
dari matahari. Suhu panas permukaan objek ini membuat uap air di sekitarnya tetap
berada dalam fasa (zat) gas. Namun, ketika malam hari permukaan objek akan
meradiasikan panasnya, sehingga akan mendingin. Pada saat itu uap air di atmosfer
akan mengembun/mengalami proses kondensasi. Hal tersebut dikarenakan uap air
kehilangan sumber panasnya sehingga uap air yang tidak dapat mempertahankan fasa
gasnya dan berubah menjadi titik-titik air/embun.

Dalam proses pembentukannya, embun dapat terbentuk secara baik jika pada
malam hari tersebut keadaan langitnya bersih/cerah dan udaranya tenang/tanpa angin.
Hal ini dikarenakan pada kondisi tersebut permukaan bumi menjadi lebih cepat
melakukan radiasinya dan menjadi lebih dingin daripada permukaan udara diatasnya.
Akibatnya udara yang bersinggungan dengan permukaan bumi akan menjadi dingin
karena konduksi. Jika proses ini terus berlangsung, maka udara pun akan semakin
dingin sampai pada titik embun. Pada saat titik embun tersebut kemudian uap air akan
mengalami proses kondensasi. Objek gelap seperti tumbuhan, logam, aspal dan tanah
yang memiliki sifat untuk cepat menerima panas dan cepat pula dalam melepaskan
panas akan menjadi lebih cepat dingin. Dengan demikian udara yang lembap akan
langsung menempel pada permukaan objek yang gelap. Hal tersebut dikarenakan
objek yang gelap bersifat dingin.

Embun hanya dapat terbentuk dan terdapat pada saat malam hingga menjelang
pagi. Hal ini dikarenakan suhu permukaan objek sudah tidak lebih dingin daripada
permukaan udara. Sehingga proses kondensasi sudah tidak dapat berlangsung lagi.
Selain itu, pada saat sinar matahari bersinar embun-embun yang tadinya menempel di
atas suatu permukaan objek akan menghilang dan berubah menjadi uap-uap air di
udara. Hal ini dikarenakan embun-embun tersebut kembali berubah menerima panas,
sehingga akan mengalami proses penguapan/evaporasi lagi dan membentuk uap-uap
air di udara.

VII. Kesimpulan

Embun merupakan titik-titik air di atas permukaan suatu objek pada malam
sampai pagi hari yang berasal dari hasil kondensasi uap-uap air di udara. Kondensasi
tersebut terjadi pada malam hingga menjelang pagi hari karena pada saat tersebut
suhu permukaan suatu objek lebih dingin dibandingkan suhu permukaan udara.
Karena kondisi tersebut maka uap-uap air akan kehilangan sumber panasnya.
Sehingga tidak dapat lagi mempertahankan fasa gasnya dan berubah menjadi titik-
titik air (fasa cair).

VIII. DAFTAR PUSTAKA

Depdikbud. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Mori, K. 2006. Hidrologi Untuk Pengairan. Jakarta: Pradnya Paramita.

Seyhan, E. 1990. Dasar-dasar Hidrologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Seyhan, E. 1995. Dasar-dasar Hidrologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Suyono, S. 1978. Hidrologi Pengairan. Jakarta: Pradnya Paramita.

Utomo, D. H. 2016. Meteorologi Klimatologi. Yogyakarta: Magnum Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai