Anda di halaman 1dari 24

Makalah Farmasi Klinik

Drug Induce Liver Disease

(Obat Penginduksi Penyakit Hati)

Disusun Oleh :

1. Riska Wahyuni (15010)


2. Rizka Wulandari (15010)
3. Sherina Putri (1501043)
4. Sherly Ramadani (15010)

Dosen : Husnawati, M. Si, Apt

Program Studi S1 Farmasi Riau

Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Riau

Yayasan Universitas Riau

Pekanbaru

2017
KATA PENGANTAR

Bismilahhirrahmannirrahim.
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan
kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas yang
diberikan oleh Dosen Pembimbing ini tepat pada batas waktu yang telah
ditentukan. Shalawat beriring salam penulis haturkan kepada Nabi
junjungan alam yakni Nabi Muhammad SAW dengan mengucapkan Allah
humma shali ala Muhammad wa ala ali muhammad .
Adapun tujuan Penyusun, menyusun makalah yang berjudul Drug
Induce Liver Disease (Obat Penginduksi Penyakit Hati) ini adalah sebagai
pemenuhan tugas yang telah diberikan dosen pembimbing kepada
mahasiswa untuk memenuhi persyaratan dalam mata kuliah Farmasi
Klinik.

Penulis juga sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat


membangun bila dalam penyusunan dan penulisan makalah ini terdapat
kekurangan dan kesalahan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca dan kami ucapkan terimakasih.

Pekanbaru, 16 Mei 2017

Penyusun
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.........................................................i
Daftar Isi..................................................................ii
BAB I. PENDAHULUAN...............................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................
1.2 Rumusan Masalah....................................................
1.3 Tujuan Penulisan.......................................................
BAB II. ISI..................................................................
2.1 Definisi......................................................................
2.2 Epidemiologi..................................................................
2.3 ......................................................................................
2.4 ......................................................................................
2.5.......................................................................................
2.6.......................................................................................
BAB III. PENUTUP.......................................................
3.1 Kesimpulan...............................................................
3.2 Saran........................................................................

DAFTAR PUSTAKA..........................................................
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hati merupakan salah satu organ tubuh yang besar dan merupakan pusat
metabolisme tubuh manusia. Organ ini memiliki fungsi yang kompleks di
antaranya mempunyai peranan dalam memetabolisme karbohidrat, protein, lemak,
vitamin dan obat-obatan (Ganong, 2008).

Gangguan fungsi hati masih menjadi masalah kesehatan besar di negara


maju maupun di negara berkembang. Indonesia merupakan negara dalam
peringkat endemik tinggi mengenai penyakit hati (Depkes RI, 2007). Angka
kejadian kerusakan hati sangat tinggi, dimulai dari kerusakan yang tidak tetap
namun dapat berlangsung lama . Salah satu penyebab kerusakan
hati adalah obat-obatan (Depkes RI, 2007).

Obat yang dikatakan hepatotoksik adalah obat yang dapat menginduksi kerusakan
hati atau biasanya disebut drug induced liver injury (Sonderup, 2006). Obat
penginduksi kerusakan hati semakin diakui sebagai penyebab terjadinya penyakit hati
akut dan kronis (Isabel et al, 2008).
Hepatotoksisitas merupakan komplikasi potensi obat yang paling sering
dijumapai dalam resep, hal ini mungkin dikarenakan peran hati dalam memetabolisme
obat (Aithal dan Day, 1999).

Sekitar 1000 sampai 3000 kasus obat ditarik dari pasaran dikarenakan
hepatotoksik (Department of Health and Human Services Food and Drug
Administration, 2009). Hepatotoksisitas merupakan komplikasi potensi obat yang
paling sering dijumpai dalam resep, hal ini mungkin dikarenakan peran hati dalam
memetabolisme obat. Hepatotoksisitas akibat obat harus selalu
dipertimbangkan sebagai kemungkinan penyebab penyakit hati. Sebuah survei dari
Acute Liver Failure Study Group (ALFSG) yang dilakukan pada pasien rawat inap di
17 rumah sakit Amerika Serikat menunjukan bahwa obat yang diresepkan (termasuk
asetaminofen) menyebabkan > 50% kasus gagal hati akut. Saat ini, efek hepatotoksik
merupakan alasan utama terhentinya pengembangan obat lebih lanjut dan ditariknya
obat yang telah disetujui oleh FDA dari pasaran (Andrade, et al, 2007).

Salah satu alasan penarikan obat di pasaran adalah karena obat-obat tersebut
menyebabkan peningkatan kadar enzim-enzim di hati (Dipiro, 2005)

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan Penulisan

BAB II

ISI

2.1 Definisi
Hati adalah salah satu organ terbesar pada tubuh manusia dengan bobot kurang
lebih sekitar 1,5 kg. Meskipun bobot hati hanya 2-3% dari bobot tubuh manusia, namun
organ hati terlibat sekitar 25-30% pemakaian oksigen (Koolman 1995). Hati sendiri
memiliki fungsi untuk membentuk kantong empedu dan isinya, melepaskan dan
menyimpan karbohidrat, membentuk urea, dan banyak fungsi lainnya yang
berhubungan dengan metabolisme lemak dan melakukan detoksifikasi berbagai obat
dan racun (Ganong, 1991). Organ hati mempunyai sistem enzim yang dapat
mensisntesis trigliserol, kolesterol, fosfolipid, dan lipoprotein dan juga hati aktif
mengubah berbagai asam-asam lemak menjadi benda keton (Martin, 1984).
Menurut Koolman (1995), hati atau hepar dapat mengantur konsentrasi asam
amino dalam plasma sehingga dapat memecah kelebihan asam amino dengan cara
mengubah nitrogen menjadi urea dan menyalurkannya ke ginjal. Jumlah fodfatidilkolin
dalam plasma merupakan salah satu hal yang mempengaruhi kemampuan hati untuk
memetabolisme obat (Gibson, 2006).
Hati atau hepar memiliki bagian-bagian yang disebut dengan lobus yang terbagi
menjadi beberapa bagian seperti lobus hepatis dextra dan lobus hepatis sinistra yang
masing-masing memiliki fungsinya sendiri (Moore & Agur, 1996). Lobus hepatis
dextra dibatasi dengan lobus hepatis sinister oleh fossa vesicae bilaris dan sulcus venae
carva pada facies visceralis hepatis.
Kerusakan hati akibat obat ( Drug Induced Liver Disease) adalah kerusakan hati
yang berkaitan dengan gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh karena terpajan obat
atau agen non-infeksius lainnya.
FDA-CDER (2001) mendefinisikan kerusakan hati sebagai peningkatan level
alanineaminotransferase (ALT/SGPT) lebih dari tiga kali dari batas atas nilainormal,
dan peningkatan level alkaline phosphatase (ALP) lebih dari dua kalidari batas atas
nilai normal, atau peningkatan level total bilirubine (TBL) lebih dari dua kali dari batas
atas nilai normal jika berkaitan dengan peningkatan alanine aminotransferase atau
alkaline phosphatase.

2.2 Epidemiologi
Gangguan fungsi hati dapat diakibatkan dari proses menghirup, menelan atau
pemberian parenteral dari sejumlah zat farmakologi dan kimia. Lebih dari 900 jenis
obat, racun dan herbal telah dilaporkan menyebabkan gangguan tersebut. 20-40% kasus
kegagalan hati tingkat berat (fulminan) diakibatkan karena obat. Sekitar 75% reaksi
idiosinkrasiobat mengakibatkan perlunya transplantasi hati atau parahnya dapat
menimbulkan kematian.
Angka kejadian DILD pada populasi umumdiperkirakan 1 2 kasus per 100.000
orang pertahun. Pada pusat rujukantersier kira-kira terdapat 1,2% hingga 6,6% kasus
penyakit hati akut yangdiakibatkan oleh DILI. Sedangkan estimasi insiden DILD
adalah 14 per 100.000 pasien per tahun pada penelitian prospektif yang dilakukan di
Prancis bagian utara, yang berarti 10 kali lebih tinggi dari rata-rata yangdilaporkan oleh
penelitian lain.
Laporan terbaru mengindikasikan bahwa DILD terjadi dalam 1/100 pasien yang
dirawat di bagian penyakit dalam. DILD adalah kejadian yang jarang tetapi terkadang
menjadi penyakit yangserius. Diagnosis yang cepat dan akurat sangat penting di dalam
praktek sehari-hari. Sebanyak 14% kasus DILD menyebabkan transplatasi hati bahkan
kematian di Singapore (Wai, 2006)

2.3 Etiologi
Obat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati dalam beberapa cara. Sebagian
langsung merusak hati, lainnya diubah oleh hati menjadi bahan kimia yang dapat
berbahaya bagi hati secara langsung maupun tidak langsung. Ada 3 jenis penyebab
hepatotoksisitas, yaitu toksisitas bergantung dosis (dose-dependent toxicity), toksisitas
idiosinkratik (idiosyncratic toxicity), dan alergi obat (drug allergy).
a. Hepatotoksik tergantung dosis
Hepatotoksisitas ini terjadi karena pemberian obat dengan dosis yang terlalu
tinggi. Overdosis acetaminophen (tylenol) merupakan contoh kasus hepatotoksik
tergantung dosis (Lee, 2012).
b. Toksisitas idiosinkratik
Toksisitas idiosinkratik ditemukan pada seseorang yang mewarisi gen
spesifik yang dapat mengontrol perubahan senyawa kimia obat tertentu dan dapat
mengakibatkan akumulasi obat yang menimbulkan bahaya bagi hati (Lee, 2012).
c. Alergi obat.
Alergi obat dapat menyebabkan hepatotoksisitas dengan mekanisme hati
mengalami peradangan ketika terjadi reaksi antigen-antibodi antara sel imun
tubuh terhadap obat (Lee, 2012).

Obat yang diprediksi menghasilkan kerusakan hati, seperti parasetamol, biasanya


terjadi dalam beberapa hari dan umumnya akibat dari toksisitas hati langsung obat atau
metabolitnya. Manifestasi sebagai penyakit yang jelas atau gejala dapat terjadi pada
periode intermediate (1-8 minggu) atau long (1 tahun). Patogenesis kerusakan hati
akibat obat biasanya melibatkan partisipasi obat beracun atau metabolit baik
memunculkan respon imun atau langsung mempengaruhi biokimia sel.

2.4 Patofisiologi
Secara patofisiologik, obat yang dapat menimbulkan kerusakan pada hati
dibedakan atas dua golongan yaitu hepatotoksin yang predictable dan yang
unpredictable
a. Predictable Drug Reactions (intrinsik)
Predictable Drug Reactions (intrinsic) merupakan obat yang
dapatdipastikan selalu akan menimbulkan kerusakan sel hepar bila
diberikankepada setiap penderita dengan dosis yang cukup tinggi. Dari
golonganini ada obat yang langsung merusak sel hati, ada pula yang
merusak secara tidak langsung yaitu dengan mengacaukan metabolisme
atau faalsel hati. Obat hepatotoksik predictable yang langsung merusak sel
hatiumumnya tidak digunakan lagi untuk pengobatan. Contohnya ialahkarbon
tetraklorid dan kloroform. Hepatotoksin yang predictable yangmerusak secara
tidak langsung masih banyak yang dipakai misalnya parasetamol, tetrasiklin,
metotreksat, etanol, steroid kontrasepsi danrifampisin. Tetrasiklin, etanol dan
metotreksat menimbulkan steatosisyaitu degenerasi lemak pada sel hati.
Parasetamol menimbul kannekrosis, sedangkan steroid kontrasepsi dan steroid
yang mengalamialkilasi pada atom C--17 menimbulkan ikterus akibat
terhambatnya pengeluaran empedu. Rifampisin dapat pula menimbulkan
ikteruskarena mempengaruhi konjugasi dan transpor bilirubin dalam hati.
b. Unpredictable Drug Reactions/ Idiosyncratic drug reactions
Kerusakan hati yang timbul disini bukan disebabkan karena
toksisitasintrinsik dari obat, tetapi karena adanya reaksi idiosinkrasi yang hanya
terjadi pada orang-orang tertentu. Ciri dari kelainan yang bersifatidiosinkrasi ini
ialah timbulnya tidak dapat diramalkan dan biasanya hanya terjadi pada sejumlah
kecil orang yang rentan.Menurut sebab terjadinya, reaksi yang berdasarkan
idiosinkrasi inidapat dibedakan dalam dua golongan yaitu karena
reaksihipersensitivitas dan karena kelainan metabolisme.
c. Reaksi Hipersensitivitas
Biasanya terjadi setelah satu sampai lima minggu dimana terjadi
prosessensitisasi. Biasanya dijumpai tanda-tanda sistemik berupa demam, ruam
kulit, eosinofilia dan kelainan histologik berupa peradangan granulomatosa atau
eosinofilik pada hati. Dengan memberikan satu atau dua challenge dose, gejala-
gejala di atas biasanya segera timbul lagi.
d. Reaksi idiosinkrasi karena kelainan metabolisme ( Metabolic-idiosyncratic )
Mempunyai masa laten yang sangat bervariasi yaitu antara satu
minggusampai lebih dari satu tahun. Biasanya tidak disertai demam, ruam
kulit,eosinofilia maupun kelainan histopatologik yang spesifik seperti di
atas.Dengan memberikan satu atau dua challenge dose kelainan ini tidak dapat
diinduksi untuk timbul lagi ; untuk ini obat perlu diberikan lagi selama beberapa
hari sampai beberapa minggu Hal ini menunjukkan bahwadiperlukan waktu yang
cukup lama agar penumpukan metabolit hepatotoksik dari obat sampai pada taraf
yang memungkinkan terjadinya kerusakan hati.

2.5 Gejala-Gejala Penyakit Hati


Pasien-pasien dengan penyakit hati yang ringan mungkin mempunyai sedikit atau
tidak mempunyai gejala-gejala atau tanda-tanda. Pasien-pasien dengan penyakit yang
lebih serius mengembangkan gejala-gejala dan tanda-tanda yang mungkin adalah tidak
spesifik atau spesifik.
Gejala-gejala tidak spesifik, yaitu, gejala-gejala yang tidak menyarankan bahwa
hati adalah penyebabnya, termasuk:
kelelahan,
kelemahan,
nyeri perut yang samar-samar, dan
kehilangan nafsu makan.

Gejala-gejala dan tanda-tanda yang adalah spesifik untuk penyakit hati termasuk:

menguningnya kulit (jaundice) yang disebabkan oleh akumulasi dari bilirubin


dalam darah,
gatal, dan
mudah memar yang disebabkan oleh pengurangan produksi dari faktor-faktor
pembeku darah oleh hati yang sakit.

Penyakit hati yang berat dan telah berlanjut dengan sirosis dapat menghasilkan
gejala-gejala dan tanda-tanda yang berhubungan dengan sirosis; gejala-gejala ini
termasuk:

akumulasi cairan pada kaki-kaki (edema) dan perut (ascites),


kebingungan mental atau koma,
gagal ginjal,
mudah terserang infeksi-infeksi bakteri, dan
perdarahan pencernaan.

2.6 Tipe-Tipe Penyakit Hati Yang Disebabkan Oleh Obat-Obat


a. Hepatitis Akut Dan Kronis
Obat-obat tertentu dapat menyebabkan hepatitis (peradangan dari sel-sel hati)
akut dan kronis yang dapat menjurus pada necrosis (kematian) dari sel-sel. Hepatitis
akut yang diinduksi obat ditentukan sebagai hepatitis yang berlangsung kurang dari
3 bulan, sementara hepatitis kronis berlangsung lebih lama dari 3 bulan. Hepatiis
akut yang diinduksi obat adalah jauh lebih umum daripada hepatitis kronis yang
diinduksi obat dengan suatu perbandingan dari 9:1.
Gejala-gejala khas dari hepatitis yang diinduksi obat termasuk:

* kehilangan nafsu makan,


* mual,
* demam,
* kelemahan,
* kecapaian, dan
* nyeri perut.

Pada kasus-kasus yang lebih serius, pasien-pasien dapat mengembangkan urin


yang gelap warnanya, demam, tinja yang pucat warnanya, dan jaundice
(penampakan kuning pada kulit dan bagian putih mata). Pasien-pasien dengan
hepatitis biasanya mempunyai tingkat-tingkat darah yang tinggi dari AST, ALT, dan
bilirubin. Keduanya hepatitis akut dan kronis secara khas menghilang setelah
penghentian obat, namun adakalanya hepatitis akut dapat menjadi cukup berat/parah
untuk menyebabkan gagal hati akut (lihat diskusi kemudian di artikel ini), dan
hepatitis kronis dapat pada kejadian-kejadian yang jarang, menjurus pada kerusakan
hati yang permanan dan sirosis.
Contoh-contoh dari obat-obat yang dapat menyebabkan hepatitis akut
termasuk acetaminophen (Tylenol), phenytoin (Dilantin), aspirin, isoniazid
(Nydrazid, Laniazid), diclofenac (Voltaren), dan amoxicillin/clavulanic acid
(Augmentin).
Contoh-contoh dari obat-obat yang dapat menyebabkan hepatitis kronis
termasuk minocycline (Minocin), nitrofurantoin (Furadantin, Macrodantin),
phenytoin (Dilantin), propylthiouracil, fenofibrate (Tricor), dan methamphetamine
("ecstasy").
b. Gagal Hati Akut
Jarang, obat-obat menyebabkan gagal hati akut (fulminant hepatitis). Pasien-
pasien ini sangat sakit dengan gejala-gejala hepatitis akut dan persoalan-persoalan
tambahan dari kebingungan atau koma (encephalopathy) dan memar atau perdarahan
(coagulopathy). Faktanya, sampai dengan 80% dari orang-orang dengan fulminant
hepatitis meninggal dalam waktu hari-hari sampai minggu-minggu. Di Amerika,
acetaminophen (Tylenol) adalah penyebab yang palng umum dari gagal hati akut.
c. Kolestasis (Cholestasis)
Cholestasis adalah kondisi dimana pengeluaran dan/atau aliran dari empedu
dikurangi. Bilirubin dan asam empedu normalnya disekresikan (dikeluarkan) oleh
hati kedalam empedu dan dieliminasi dari tubuh via usus, menumpuk dalam tubuh
menjurus pada jaundice dan gatal. Obat-obat yang menyebabkan cholestasis secara
khas mengganggu sekresi empedu dari sel-sel hati tanpa menyebabkan hepatitis atau
necrosis (kematian) sel hati. Pasien-pasien dengan cholestasis yang diinduksi obat
secara khas mempunyai tingkat-tingkat darah yang meninggi dari bilirubin namun
mempunyai tingkat-tingkat AST dan ALT yang normal atau meninggi sedikit.
Tingkat-tingkat darah alkaline phosphate (enzim yang dibuat saluran-saluran
empedu) meningkat karena sel-sel dari saluran-saluran empedu juga terganggu
fungsinya dan membocorkan enzim. Disamping gatal dan jaundice, pasien-pasien
biasanya tidak sesakit pasien-pasien dengan hepatitis akut.
Contoh-contoh dari obat-obat yang telah dilaporkan menyebabkan cholestasis
termasuk erythromycin (E-Mycin, Ilosone), chlorpromazine (Thorazine),
sulfamethoxazole dan trimethoprim (Bactrim; Septra), amitriptyline (Elavil, Endep),
carbamazepine (Tegretol), ampicillin (Omnipen; Polycillin; Principen),
ampicillin/clavulanic acid (Augmentin), rifampin (Rifadin), estradiol (Estrace;
Climara; Estraderm; Menostar), captopril (Capoten), pil-pil pencegah kehamilan
(oral contraceptives), anabolic steroids, naproxen (Naprosyn), amiodarone
(Cordarone), haloperidol (Haldol), imipramine (Tofranil), tetracycline
(Achromycin), dan phenytoin (Dilantin).
Kebanyakan pasien-pasien dengan cholestasis yang diinduksi obat akan
sembuh sepenuhnya dalam waktu berminggu-minggu setelah penghentian obat,
namun pada beberapa pasien-pasien, jaundice, gatal, dan tes-tes hati abnormal dapat
berlangsung berbulan-bulan setelah penghentian obat. Pasien sekali-kali dapat
mengembangkan penyakit hati kronis dan gagal hati. Jaundice dan cholestasis yang
diinduksi obat yang berlangsung lebih lama dari 3 bulan disebut cholestasis kronis.
d. Steatosis (fatty liver)
Penyebab-penyebab yang paling umum dari akumulasi lemak pada hati adalah
alkoholisme dan non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD) yang berhubungan
dengan kegemukan dan diabetes. Obat-obat mungkin menyebabkan fatty liver
dengan atau tanpa hepatitis yang berkaitan. Pasien-pasien dengan fatty liver yang
diinduksi obat mempunyai hanya beberapa gejala-gejala, atau tidak ada. Mereka
secara khas mempunyai peninggian-peninggian yang ringan sampai sedang pada
tingkat-tingkat darah dari ALT dan AST, dan juga mungkin mengembangkan hati-
hati yang membesar. Pada kasus-kasus yang berat/parah, fatty liver yang diinduksi
obat dapat menjurus pada sirosis dan gagal hati.
Obat-obat yang dilaporkan menyebabkan fatty liver termasuk total parenteral
nutrition, methotrexate (Rheumatrex), griseofulvin (Grifulvin V), tamoxifen
(Nolvadex), steroids, valproate (Depakote), dan amiodarone (Cordarone).
Pada situasi-situasi tertentu, fatty liver sendiri dapat mengancam nyawa.
Contohnya, Reye's syndrome adalah penyakit hati yang jarang yang dapat
menyebabkan fatty liver, gagal hati, dan koma. Dipercayai terjadi pada anak-anak
dan remaja-remaja dengan influensa ketika mereka diberikan aspirin. Contoh lain
dari fatty liver yang serius disebabkan oleh dosis yang tinggi dari intravenous
tetracycline atau amiodarone. Herba-herba tertentu (contohnya, herba china Jin Bu
Huan, digunakan sebagai obat penenang dan pembebas nyeri) juga dapat
menyebabkan fatty liver yang serius.
e. Sirosis
Penyakit-penyakit hati kronis seperti hepatitis, fatty liver, atau cholestasis
dapat menjurus pada necrosis (kematian) dari sel-sel hati. Jaringan parut terbentuk
sebagai bagian dari proses penyembuhan yang berhubungan dengan sel-sel hati yang
mati, dan luka-luka parut yang berat dari hati dapat menjurus pada sirosis.
Contoh yang paling umum dari sirosis yang diinduksi obat adalah sirosis
alkohol. Contoh-contoh dari obat-obat yang dapat menyebabkan penyakit-penyakit
hati kronis dan sirosis termasuk methotrexate (Rheumatrex), amiodarone
(Cordarone), dan methyldopa (Aldomet).
f. Thrombosis Vena Hepatik
Normalnya, darah dari usus-usus dikirim ke hati via vena portal, dan darah
yang meninggalkan hati menuju ke jantung diangkut via vena-vena hepatik kedalam
inferior vena cava (vena yang besar yang mengalir kedalam jantung). Obat-obat
tertentu dapat menyebabkan terbentuknya bekuan-bekuan darah (thrombosis) pada
vena-vena hepatik dan pada inferior vena cava. Thrombosis dari vena hepatik dan
inferior vena cava dapat menjurus pada hati yang membesar, nyeri perut,
penumpukan cairan pada perut (ascites), dan gagal hati. Sindrom ini disebut Budd
Chiari syndrome. Obat-obat yang paling penting yang menyebabkan Budd-Chiari
syndrome adalah pil-pil pencegah kehamilan atau birth control pills (oral
contraceptives). Birth control pills juga dapat menyebabkan penyakit yang berkaitan
yang disebut penyakit veno-occlusive dimana darah membeku hanya pada vena-
vena hepatik yang paling kecil. Pyrrolizidine alkaloids yang ditemukan pada herba-
herba tertentu (seperti, borage, comfrey) juga dapat menyebabkan penyakit veno-
occlusive.

2.7 Obat-obatan yang dapat menyebabkan Drug Induced Liver Disease (DILD)
Obat-obat penyebab hepatotoksisitas antara lain :
a. Analgesik
Asetaminofen (parasetamol) merupakan salah satu
analgesik yang paling umum digunakan. Obat ini secara efektif
menurunkan demam dan mengurangi nyeri ringan sampai
sedang, dan dianggap, secara umum, sebagai obat yang sangat
aman.
Kerusakan sel yang disebabkan oleh acetaminophen tidak
hanya berhubungan dengan overdosis atau penggunaan dosis
tinggi, melainkan juga dapat diakibatkan oleh penggunaan
kronis pada dosis rendah (<4g / hari), terutama ditambah faktor
predisposisi lain, seperti konsumsi alkohol kronis. Injury sel hati
setelah meminum acetaminophen bukan karena disebabkan oleh
obat itu sendiri, tetapi karena metabolit beracun dari
acetaminophen yang dihasilkan oleh kelompok enzim dalam
hati,yaitu sitokrom P450. Metabolit ini biasanya tidak berbahaya
melalui karena berinteraksi dengan antioksidan endogen,
glutathione. Namun, bila terjadi overproduksi dari metabolit
asetaminofen, cadangan glutathione dalam hati menjadi habis,
dan metabolit mulai menumpuk dan menyebabkan kerusakan
jaringan. Injury sel hepar dapat dibatasi dengan pemberian N-
acetylcysteine, yang mengembalikan cadangan glutathione liver.
Aspirin telah diketahui berpotensi hepatotoksik. Hampir
semua kasus yang dilaporkan terjadi pada anak-anak dan
dewasa muda dengan kelainan pada jaringan ikat seperti Still's
disease, rheumatoid arthritis dan systemic lupus
erythematosus,, dan perempuan telah lebih sering terpengaruh
daripada laki-laki. Aspirin terlibat dalam sebagian besar kasus
tersebut. Sekitar 50% dari pasien dengan juvenile rheumatoid
arthritis terbukti menderita/mengalami berbagai derajat injury
sel liver yang ditandai oleh peningkatan dari plasma
aminotransferases selama menjalani terapi aspirin dosis tinggi
konvensional (conventional high-dosage aspirin therapy). Obat
lain dalam kategori ini termasuk gabapentin yang menunjukkan
hepatotoksisitas sebagai salah satu efek samping.
b. Obat-obatan anti tuberkulosis
Hepatotoksisitas adalah salah satu efek samping obat
paling penting yang terkait dengan obat anti-tuberkulosis yang
mungkin membatasi penggunaan obat tersebut. Beberapa studi
sebelumnya menunjukkan peningkatan sementara serum enzim
hepatoseluler (misalnya alanine aminotransferase dan aspartat
aminotransferase) pada sekitar 10% dari pasien yang menerima
kombinasi kemoterapi standar, termasuk isoniazid dan
rifampisin, dari 1-2% penderita keluar/menghentikan terapi
karena hepatotoksisitas berat yang akhirnya menyebabkan
hepatitis fulminan. Meskipun terjadinya hepatotoksisitas yang
diinduksi obat sulit diprediksi, telah diamati bahwa pasien
tertentu memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami
hepatotoksisitas selama menjalani kemoterapi anti-tuberkulosis.
Obat anti-tuberkulosis lain yang dapat menyebabkan
hepatotoksisitas yaitu pirazinamid, rifabutin.

c. Anti-hyperlipidemic

Obat anti-hiperlipidemia dengan potensi tertinggi untuk


menyebabkan injury sel hepar adalah sediaan lepas lambat dari
niacin. Statin, yang merupakan HMG CoA reductase inhibitors,
sangat jarang menimbulkan hepatotoksisitas yang signifikan
secara klinis, meskipun sering didapatkan elevasi asimtomatik
dari aminotransferases. Dugaan bahwa ezetimibe mungkin
memiliki risiko rendah hepatotoksisitas baru-baru ini telah
dipertanyakan dan mungkin bukan merupakan "alternatif statin
yang aman" pada pasien yang memiliki penyakit liver
sebelumnya. Pola injury liver yang disebabkan oleh obat anti-
hyperlipidemics biasanya hepatoseluler atau bercampur dengan
gambaran cholestatic.

HMG CoA reduktase inhibitor (Statin)

Penelitian awal statin yang dilakukan pada hewan coba


menunjukkan bahwa statin pada dosis yang sangat tinggi
dapat menyebabkan hepatotoksisitas, tetapi pada dosis terapi
statin tidak menyebabkan liver injury yang signifikan.
lovastatin dosis tinggi menyebabkan nekrosis hepatoseluler
yang signifikan pada kelinci. Pola injury juga terlihat pada
model marmot (guinea pig) yang dipapar simvastatin dosis
tinggi. Namun, nekrosis hepatoseluler akibat statin ini sangat
jarang terjadi pada manusia.

Atorvastatin:

Atorvastatin-related hepatotoxicity dikaitkan dengan pola


campuran liver injury yang biasanya terjadi beberapa bulan
setelah dimulai pengobatan.

Lovastatin:

Telah dilaporkan terjadi liver injury campuran antara pola


hepatoseluler dan kolestasis pada penggunaan lovastatin.

Simvastatin
Simvastatin hepatotoksisitas dihipotesiskan terjadi karena
drug-drug interactions.

Pravastatin:

Pravastatin telah dilaporkan menyebabkan acute intrahepatic


cholestasis. Dalam hal ini, toksisitas hati terjadi dalam waktu 2
bulan setelah dimulainya pengobatan dan membaik dalam
waktu 2 bulan setelah penghentian terapi.

Niacin

Penggunaan sediaan lepas-lambat niacin diluar pengawasan


dokter sering mengakibatkan dose-related toxicity. Terjadinya
hepatotoksisitas yang umumnya muncul antara 1 minggu
sampai 48 bulan setelah dimulainya pengobatan dan biasanya
reda dengan penghentian terapi.
ezetimibe:

Penelitian terbaru menunjukan bahwa ezetimibe jarang


menyebabkan hepatotoksisitas dalam severe cholestatic
hepatitis dan acute autoimmune hepatitis. Terjadinya
hepatotoksisitas yang umumnya muncul antara 1 minggu
sampai 48 bulan setelah dimulainya pengobatan dan biasanya
reda dengan penghentian terapi.

d. Obat-obatan anti hipertensi

Metil dopa digunakan dalam pengobatan hipertensi. Telah


dilaporkan terjadi kerusakan liver ringan atau berat pada pasien
yang mendapat terapi methyldopa. Pada kasus yang ringan bias
asimtomatik, peningkatan sementara dari transaminases, dan
menurut berbagai laporan dapat terjadi pada 2% sampai 10%
pasien yang mendapat methyldopa. Kerusakan hati dalam bentuk
acute hepatitis, chronic active hepatitis atau cholestasis lebih
(83)
sering terjadi pada wanita dan tidak ada yang temporal
hubungan dekat sama antara waktu onset klinis cedera hati
terbuka, yang pada 50% kasus terjadi setelah empat minggu.
Dalam studi in vitro telah ditunjukkan bahwa obat ini
dimetabolisme oleh mikrosom liver baik pada manusia atau pada
tikus, oleh system cytochrome P450 , dengan konsekuensi terbentuk
ikatan kovalen dengan makromolekul seluler. Ikatan kovalen ini
dihambat oleh berbagai agent, termasuk gluthatione, ascorbic
acid, dan superoxide dismutase.

e. Agen-agen anaesthesi

Halotan, anestesi yang paling banyak digunakan saat ini


diterima sebagai penyebab kerusakan hati. Multiple eksposur
merupakan faktor utama yang menjadi predisposisi pasien
terhadap liver injury, terutama jika paparan kembali terjadi dalam
waktu 3 bulan. Pasien obesitas dan perempuan tampak lebih
rentan tetapi anak-anak dan dewasa muda kurang beresiko.
Serangkaian penyelidikan yang dilakukan di Liver Unit
mengidentifikasi sebuah antibodi diarahkan terhadap hepatocyte
surface antigen diubah oleh metabolit halotan. Perubahan pada
determinan antigenic (antigenic determinant) tersebut mungkin
disebabkan oleh hasil dari metabolisme oksidatif halotan yang
menghasilkan protein trifluroacetylated. (Gambar 5)

Gambar 3. Mekanisme yang mendasari predictable dan immune


mediated hepatotoxicity dari halotan

Sangat mungkin bahwa semua individu yang terpapar obat


tersebut menghasilkan perubahan pada hepatocyte membrane
determinants tetapi hanya sebagian kecil yang
mencapai/mengalami reaksi imunologis melawan perubahan
tersebut. Fakta bahwa banyak pasien dengan severe halothane
hepatitis memiliki circulating antibodies yang ditujukan terhadap
organ lain memunculkan dugaan yang kuat bahwa ada factor yang
mendasari, yaitu adanya defek genetic yang meregulasi system
imun. Sebaliknya, pada beberapa pasien dengan hepatitis akibat
halotan tidak memiliki bukti keterlibatan system immune, dan
kerusakan hati pada kasus-kasus ini mungkin diakibatkan oleh
overproduksi turunan hepatotoksik dari reductive halothane
metabolism. Stimulasi khusus yang sama dengan proses ini
dengan menggunakan hewan coba didapatkan dose related
hepatotoxicity.

Efek dari penyakit hati pada farmakokinetik dan


farmakodinamik
sangatlah kompleks diantaranya menurunnya fungsi hati untuk
membersihkan
darah saat mengeliminasi obat-obatan yang dimetabolisme oleh
hati itu sendiri
atau ekskresi bilier yang mempengaruhi peningkatan protein
plasma yang pada
akhirnya terjadi pada proses distribusi dan eliminasi. Pasien
dengan sirosis hati
lebih sensitive terhadap efek samping yang ditimbulkan morfin dan
benzodiazepine.

Obat-obatan NSAID dapat memicu gagal ginjal pada pasien


dengan sirosis dan asites hal ini disebabkan karena hilangnya
produksi
prostaglandin pada ginjal yang merupakan vasodilator dari asites,
dan pada pasien
gangguan fungsi hati disarankan untuk menghindari penggunaan
inhibitor
cyclooxygenase. Untuk pasien dengan gangguan fungsi hati
diperlukan penurunan
dosis untuk menghindari akumulasi yang berlebihan dari
penggunaan obat yang
mungkin dapat menyebabkan reaksi sehingga menimbulkan efek
samping yang
serius. Penggunaan obat-obatan yang harus mengalami
biotransformasi pada hati
juga harus dihindari kecuali benar-benar essential. Hal yang paling
berbahaya
untuk pasien dengan gangguan fungsi hati adalah obat-obatan
dengan ekstraksi
hepatik rendah dan rentang terapeutik yang sempit. Obat tersebut
harus diberikan
secara peroral dan dosis harus dikurangi <50% dari dosis normal
(Dourakis,
2008).

Dalam tabel 1 menurut Navarro (2006), beberapa obat


dapat menyebabkan
kerusakan pada hati seperti hepatoseluller, kolestasis ataupun
gabungan dari
hepatitis dan kolestasis.

Kelas Terapi Nama Obat Menyebabkan


Antidiabetik Acarbose Hepatoselluler
Antiviral Allopurinol Hepatoseluller
Analgesic non Acetaminophen Hepatoseluller
narkotik NSAIDs Hepatoseluller
Antiaritmia Amiadarone
Verapamil Kolestasis
Relaksasi Otot Baclofen Hepatoselluler
Antidepresan Buproprion Hepatoseluller
Fluoxetine Hepatoseluller
Mirtazapine Mixed
Paroxetine Hepatoseluller
Sertraline Hepatoseluller
Trazodone Hepatoseluller
Tricyclics Mixed
Antiretrovial semua Hepatoseluller
(HAART)
Obat Herbal Kava-kava Hepatoseluller
Germande Hepatoseluller
Antituberkulosis Isoniazid Hepatoseluller
Pyrazinamide Hepatoseluller
Rifampin Hepatoseluller
Antijamur Ketoconazole Hepatoseluller
Terbinafine Mixed
Antihipertensi Enalapril Kolestasis
Kapropil Kolestasis
Irbesartan Mixed
Lisinopril Hepatoseluller
Losartan Hepatoseluller
Imunosupresan Metotrexate Hepatoseluller
Azathioprine Kolestasis
Antitukak Omeprazole Hepatoseluller
Antipsikosis Risperidone Hepatoseluller
Phenothiazine Mixed
Antidislipidemia Gol statin Hepatoseluller
Antibiotic Amoksisilin Mixed
Eritromisin Mixed
Klindamicin Kolestasis
Nitrofurantion Kolestasis
Tetracyclin Hepatoseluller
Antikonvulsan Gol sulfonamide Kolestasis
Antiansietas Trimetoprim Kolestasis
Antiepilepsi Trovafloxacin Hepatoseluller
Valproic acid Hepatoseluller
Amitriptyline Kolestasis
Antiandrogen Karbamazepin Kolestasis
Na Phenobarbital Kolestasis
Antipsikotik Flutamide Kolestasis
Antiplatelet Chlorpromazine Mixed
Klopidogrel Mixed

2.8 Diagnosis
Terdapat beberapa metode diagnostik yang digunakan untuk membantu dalam
mendiagnosis DILD diantaranya adalah The Naranjo Adverse Drug Reactions
Probability Scale (NADRPS) yang digunakan untuk menilai reaksiefek samping obat,
The Council for International Organizations of Medical Sciences or Roussel Uclaf
Causality Assessment Method (CIOMS/RUCAM),Maria and Victorino (M&V), dan di
Jepang terdapat skala diagnostik yangdigunakan untuk mendiagnosis DILI berdasarkan
kriteria CIOMS/RUCAM dengan menambahkan Drug-lymphocyte stimulation test
(DLST) yang disebut Digestive Disease Week Japan(DDW-J). Skala DDW-J telah
dilaporkan mempunyai nilai sensitivitas yang lebih tinggi bila dibandingkandengan
CIOMS/RUCAM (93,8% vs 77,8%) pada analisis terhadap 127 pasien di Jepang.
Bagaimanapun, skala ini harus dievaluasi pada pasien non-Jepang untuk melihat
efektivitas penggunaannya secara universal.
Diantarasemua kriteria yang ada, CIOMS/RUCAM merupakan metode
diagnostik yang paling banyak digunakan dan baru-baru ini menjadi metode
standar untuk diagnosis DILI.
Berdasarkan international concensus criteria maka diagnosis hepatotoksisitas karena
obat berdasarkan :
1. Waktu dari mulai minum obat dan penghentian obat sampai awitan reaksinyata
adalah sugestif (5-90 hari dari awal minum obat) atau kompatibel(kurang dari
lima hari atau lebih dari 90 hari sejak mulai minum obat dantidak lebih 15 hari
dari penghentian obat untuk reaksi hepatoseluler dantidak lebih dari 30 hari dari
penghentian obat untuk reaksi kolestatik)dengan hepatotoksisitas obat.
2. Perjalanan reaksi sesudah penghentian obat adalah sangat sugestif (penurunan
enzim hati paling tidak 50% dari konsentrasi di atas batas atasnormal dalam 8
hari) atau sugestif (penurunan enzim hati paling tidak 50%dari konsentrasi di atas
batas atas normal dalam 30 hari untuk reaksihepatoseluler dan 180 hari untuk
reaksi kolestatik) dari reaksi obat.
3. Alternatif sebab lain telah dieksklusi dengan pemeriksaan teliti, termasuk biopsi
hati tiap kasus.
4. Dijumpai respons positif pada pemaparan ulang dengan obat yang sama paling
tidak kenaikan dua kali lipat enzim hati.

Dikatakan reaksi drugs related jika semua ketiga kriteria terpenuhi atau jika dua
dari tiga kriteria pertama terpenuhi dengan respons positif pada pemaparan ulang obat.

2.9 Perawatan Penyakit-Penyakit Hati Yang Diinduksi Oleh Obat


Perawatan yang paling penting untuk penyakit hati yang diinduksi obat adalah
menghentikan obat yang menyebabkan penyakit hati. Pada kebanyakan pasien-pasien,
tanda-tanda dan gejala-gejala dari penyakit hati akan menghilang dan tes-tes darah akan
menjadi normal dan tidak akan ada kerusakan hati jangka panjang. Ada pengecualian-
pengecualian, bagaimanapun. Contohnya, overdosis Tylenol dirawat dengan oral N-
acetylcysteine untuk mencegah necrosis hati yang parah dan gagal hati. Transplantasi
hati mungkin perlu untuk beberapa pasien-pasien dengan gagal hati akut. Beberapa
obat-obat juga dapat menyebabkan kerusakan hati yang tidak dapat diubah lagi dan
sirosis.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

Demikianlah hasil pembahasan dalam makalah mengenai Obat


yang Menyebabkan Penyakit Hati. Diharapkan kepada pembaca
sekalian, yang menjadikan makalah ini sebagai panduan dalam
membuat makalah selanjutnya, maka diharapkan dapat melengkapi
referensi yang berkaitan.

Kami sebagai penyusun sadar bahwa makalah ini jauh dari


kesempurnaan karena kami memiliki keterbatasan-keterbatasan yang
tidak dapat kami pungkiri, untuk itu kami harapkan kritik dan saran
yang membangun dari para pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

Davis M, Williams R. 1977. Hepatic Disorders. In: Davies DM, editor.


Textbook of Adverse Drug Reactions, Oxford: Oxford University Press.

Lee WM. 2003. Acute liver failure in the United States. Semin Liver Dis.
23:217226

Ostapowicz G, Fontana RJ, Schidt FV. 2002. Results of a prospective


study of acute liver failure at 17 tertiary care centers in the United
States. Ann Intern Med. 137(12):947954

Zimmerman HJ. 1978. Hepatotoxicity. New York: Appleton Century Crofts..

Anda mungkin juga menyukai