Anda di halaman 1dari 2

Hiperaldosteronimia / sindrom conn

Sejarah : Sindrom ini ditemukan untuk pertama kali oleh conn dalam tahun 1956. Menurut beliau sindrom ini
disebabkan oleh suatu aldosterone producing adrenal adenoma.

Pengertian : Keadaan klinis yang disebabkan oleh produksi berlebih aldosterone, suatu hormone mineral kortikoid
korteks adrenal. Efek metabolic aldosterone berkaitan dengan keseimbangan elektrolit dan cairan. Aldosterone
meningkatkan reabsorbsi natrium tubulus proksimal ginjal dan menyebabkan ekskresi kalium dan ion hydrogen.
Konsekuensi klinis kelebihan aldosterone adalah retensi natrium dan air , peningkatan volume cairan ekstrasel dan
hipertensi. Selain itu juga terjadi hypernatremia, hypokalemia dan alkalosis metabolic.

Jenisnya :
1. Hiperaldosteronisme primer (sindrom conn) Keadaan ini paling sering terjadi pada wanita usia pertengahan akibat
sekresi aldosterone autonomy.
Gejala klinisnya adalah hipertensi esensial bernigna, disertai sakit kepala, jarang dijumpai edema. Gejala yang
terpenting adalah hypokalemia ( k < 3,0 mMol/l ) tanpa suatu sebab yang jelas seperti pemakaian diuretik atau
muntah-muntah . kadang-kadang pasien mengalami simtom hypokalemia yang mempengaruhi ginjal atau sistem
nueromuskuler seperti poliuri, nokturia, parestesi, kelemahan otot, hiporefleksi episodic atau paralisis.

Epidemiologi : Terdapat pada sekitar 1% dari populasi yang hipertensif. Lebih banyak pada wanita, terutama pada
umur antara 30 50 tahun. Rasio kejadian antara wanita : pria adalah sekitar 2 : 1

Etiologi : Sindrom conn disebabkan oleh sekresi aldosterone yang terlalu banyak sehingga mengakibatkan retensi
natrium, alkalosis yang hipokalemik dan urin yang alkalis. Sebab-sebabnya bisa : suatu tumor dikorteks supraren,
suatu bilateral cortical nodular hyperplasia.

Klinik : - Manifestasi-manifestasi sebagai haus akan air, polyuria, nokyuria, polidipsi, hipertensi, kelemahan,
paralisis periodic, konvulsi otot-otot dan tetani biasanya tidak disertai edema - Keadaan ini sering disebut sebagai
hiperaldosteronisme primer untuk membedakan dengan hiperaldosteronisme sekunder yang adalah suatu mekanisme
kompensatoir pada beberapa keadaan edema (renal,kardiak, dan hepatic) dan pada salt-losing nephritis. - Beberapa
kasus yang terjadi didiagnosis sebagai potassium losing nephritis kemudian ternyata aldosteronisme primer.

Diagnosis : Diagnosis aldosteronisme didasarkan pada pengukuran peningkatan kadar aldosteron dalam plasma dan
urine dan pengukuran renin plasma. Renin plasma akan rendah pada aldosteronisme primer, tetapi tinggi pada
aldosteronisme sekunder. CT scan dan photoscanning inti dapat juga membantu menemukan dan melokalisasi lesi
adrenal pada pasien dengan aldosteronisme primer. Bila tumor tidak dapat dilokalisasikan.

Pengobatan : Spironolakton, suatu antagonis aldosteron dapat menghilangkan gejala-gejala hiperaldosteronisme.


Obat ini juga dapat digunakan untuk tes diagnostic, persiapan operasi dan pengobatan jangka panjang jika operasi
merupakan kontraindikasi. Jika dijumpai adenoma harus diangkat.

2. Hiperaldosteronisme sekunder Dijumpai pada keadaan dimana terjadi perangsangan renin persisten. Gejala klinis
dan pengobatan ditujukan pada penyebabnya dan jarang diperlukan pemeriksaan aldosterone. Hiperaldosteronisme
sekunder dapat dijumpai pada keadaan hipersekresi renin primer akibat hyperplasia sel jukstaglomerulus di ginjal (
sindrom barter ).

Pengaruh androgen yang berlebihan serta mekanisme kerjanya sebagai berikut :


a. Sentral Peningkatan kadar androgen dalam darah terutama akan mengganggu gonadostat di hipotalamus dan akan
menekan GnRH. Akibatnya adalah terganggunya perkembangan seksual, dan terjadinya penekanan langsung
terhadap gonadotropin baik pada tingkat hipotalamus maupun hipofisis. Dalam hal ini LH lebih jelas dipengaruhi
daripada FSH. Ini berarti bahwa peningkatan androgen yang beredar dalam darah mengganggu keserasian poros
hipotalamus-hipofisis-ovarium.

b. Perifer Terjadi gangguan pada tingkat ovarium dan folikel. Terjadi pemutusan androgen dalam sel-sel
perifolikuler, sehingga folikel ovarium menjadi resisten terhadap rangsangan gonadotropin. Belum jelas adanya
hambatan pada reseptor gonadotropin maunpun penjenuhan dengan androgen. Tetapi yang jelas ialah kadar
androgen lokal yang tinggi akan menyebabkan perkembangan folikel ovarium yang resistem. Peningkatan androgen
adrenal dapat menyebabkan hiperestronemia karena akan memanjangkan fase folikuler dan memendekkan fase
luteal dan konsekuensinya terjadi peningkatan rasio LH/FSH. Peristiwa ini yang menerangkan kerapnya infertilitas
dan ketidakteraturan haid pada wanita dengan hiperandrogen. Terapi deksametason dapat mengoreksi rasio LH/FSH
yang abnormal pada beberapa pasien dengan polikistik ovarium, yang dapat menyebabkan terjadinya ovulasi lagi.
Walaupun beberapa penelitian percaya bahwa pada pasien-pasien polikistik ovarium, abnormalitas adrenal adalah
gangguan yang primer, penelitian lain telah menyimpulkan bahwa itu adalah sekunder dari kelainan hormonal. Pada
pihak lain, hiperandrogen endogen akan menebalkan tunika albuginea ovarium. Juga ternyata bahwa pemberian
androgen eksogen yang berlebihan dapat menebalkan kapsul ovarium. Selanjutnya keadaan tersebut akan
mengganggu pelepasan folikel dan pecahannya bintik ovulasi. Ini merupakan bentuk lain dari androgen dalam
mengganggu mekanisme ovulasi. Secara klinis dengan menekan kadar androgen yang tinggi akan menyebabkan
folikel ovarium menjadi lebih peka terhadap gonadotropin endogen dan eksogen.

Referensi :
- Prof.DR.Dr.Sarwono Prawirohardjo,dkk.2008.Ilmu kandungan.Jakarta: P.T Bina Pustaka
- A price, Sylvia & Lorraine M. Wilson.2006.patofisiologi.Jakarta :EGC
- Prof.Dr.Haznam M.W.2009.endokrinologi.Bandung : Angkasa Offset
- Aru. W. Suddoyo, 2007. Ilmu Penyakit Dalam. Penerbit Edisi 4 Jilid .1 EGC: Jakarta -
Sherwood,lauralee.2011.fisiologi manusia .Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai