BAB I :
Ayat 6 : Standar pelayanan Minimal yang selanjutnya disingkat SPM adalah ketentuan tentang
jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh
setiap warga negara secara minimal.
Ayat 7 : Indikator SPM adalah tolak ukur untuk prestasi kuantitatif dan kualitatif yang digunakan
untuk menggambarkan besaran sasaran yang hendak dipenuh didalarn pencapaian suatu SPM
tertentu berupa masukan, proses, hasil dan atau manfaat pelayanan.
Ayat 8 : Pelayanan dasar adalah jenis pelayanan publik yang mendasar dan mutlak untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sosial ekonomi dan pemerintahan.
Sejak ditetapkan oleh Gubernur Sulawesi Tengah RSUD Undata sebagai Badan Layanan
Umum (BLU) pada tanggal 9 Agustus 2010 hingga saat ini upaya pencapaian Standar Pelayanan
Minimal sudah di galakkan dan diterapkan karena SPM ini adalah salah satu dokumen sebagai
salah satu syarat mutlak untuk menjadi Badan Layanan Umum Daerah. Seluruh unit-unit
pelayanan dan untuk mendorong peningkatan mutu pelayanan di RSUD Undata juga sedang
menggiatkan self assesment melalui elemen-elemen penilaian yang ada pada standar akreditasi
rumah sakit yang mengacu kepada sistem Joint Comission International (JCI) yang telah
dikeluarkan oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) yang dapat mendorong percepatan
akreditasi Rumah sakit Umum Daerah Undata Propinsi Sulawesi Tengah.
1. Mengapa setelah menjadi BLUD, anggaran yang diperlukan oleh RSUD justru lebih
banyak dibandingkan dengan sebelum BLUD?
Jawab:
Anggaran tersebut diperlukan untuk peningkatan pelayanan. Jika selama ini pelayanan RSUD
mutunya dibawah SPM, maka pasti RSUD mendapat banyak komplain dari masyarakat.
Bapak/ibu pejabat daerah juga enggan berobat ke RSUD, dan lebih memilih ke RS swasta atau
ke luar daerah. Mengapa? Karena pelayanan di RSUD dianggap buruk, tidak bermutu, apalagi
bergengsi. Jadi RSUD membutuhkan anggaran tersebut untuk mengangkat kualitas pelayanan
minimal agar sesuai dengan SPM.
Menjadi BLUD bukan berarti kemudian RS menjadi sebagai mesin uang (bagi Pemda). BLUD
berarti menjadikan RS lebih bermutu. Jika RS bermutu, masyarakat yang sakit akan lebih cepat
sehat kembali. Jika mereka sehat, mereka akan lebih produktif, bisa kerja lebih banyak, bisa
membayar pajak lebih banyak. Kalau mereka sakit lebih lama, mereka akan butuh subsidi lebih
banyak. Pemda pilih mana?
2. Apa untungnya BLUD bagi Pemda kalau anggaran/subsidi untuk RSUD malah tambah
banyak (dari proyeksi keuangan di RSB)?
Jawab:
Permendagri 61/2007 Pasal 1 ayat 1 berbunyi: Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya
disingkat BLUD adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah di lingkungan Pemerintah Daerah yang
dibentuk untuk memberikan pelayanan pada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa
yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan, dan dalam melakukan kegiatannya
didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.
Dilain pihak, BLUD atau tidak BLUD, RSUD memiliki misi untuk melayani seluruh lapisan
masyarakat, termasuk orang miskin. Jadi sepanjang RS diwajibkan untuk melayani orang miskin
maka sepanjang itulah subsidi dari pemerintah dibutuhkan. Karena fakir miskin dan anak
terlantar dipelihara oleh negara, bukan oleh RS. Jika sudah jadi BLUD, diharapkan RSUD akan
menjadi lebih efisien. Jadi untungnya bagi Pemda adalah anggaran daerah bisa dimanfaatkan
secara lebih baik, tidak bocor (inefisiensi), tidak salah alokasi (subsidi untuk pelayanan yang
dinikmati oleh bukan orang miskin), dan masih banyak lagi.
3. Lalu dimana letak bedanya antara yang sudah BLUD dengan yang belum?
Jawab:
Bedanya: yang sudah BLUD diharapkan tarifnya sesuai dengan unit cost. Jadi kalau tarif
pelayanan untuk orang miskin lebih rendah dari unit cost, disitulah subsidi pemerintah terjadi.
Pelayanan Kelas III tentunya boleh-boleh saja disubsidi. Namun jangan sampai pelayanan Kelas
VIP dan Kelas I yang disubsidi oleh Pemerintah. Artinya jangan sampai tarif di kelas-kelas
pelayanan tersebut lebih rendah dari unit cost karena itu berarti APBD mensubsidi orang mampu.
4. Mengapa perlu ada insentif khusus/jasa layanan untuk tenaga yang bekerja di RS?
Bukankan mereka sudah mendapat gaji?
Jawab:
Kita perlu memberi insentif tersebut karena profesionalisme, karena orang-orang yang bekerja di
RS merupakan profesi-profesi yang khusus. Semakin langka suatu profesi, makin tinggi
insentifnya. Dan itu berlaku dimanapun di seluruh dunia. Selain itu, terkait juga dengan masalah
risiko pekerjaan. Orang yang bekerja di RS menghadapi berbagai risiko, mulai dari tertular
penyakit pasien sampai risiko tuntutan kalau terjadi kesalahan. Ini perlu dilindungi, salah satunya
dengan memberi insentif lebih. Kemudian terkait masalah kekhususan pekerjaan. Pelayanan di
SKPD lain di daerah kebanyakan tidak buka 24 jam. Jadi Pk. 14.00 para karyawannya sudah bisa
pulang dengan tenang dan besoknya baru melanjutkan pekerjaannya lagi. Orang yang bekerja di
RS tidak bisa seperti itu. Meskipun yang shift pagi bisa pulang ke rumah pukul 14.00, tetap saja
sewaktu-waktu mereka harus ready jika ada masalah di RS, entah dia itu manajemen, apalagi
kalau dia adalah seorang dokter atau perawat.
Karena keterampilannya bersifat khusus, orang-orang yang bekerja di RS saat masih bersekolah
menempuh pendidikan dengan perjuangan yang sangat tidak mudah. Maka wajar jika diberi
insentif yang berbeda dengan SKPD lainnya.
Untuk mendapatkan tingkat profesionalisme seperti yang dimiliki oleh staf yang bekerja di RS
sangat tidak mudah. Diperlukan pengorbanan berupa tenaga, pikiran, waktu dan finansial yang
tidak sedikit untuk menjadi profesi tertentu (misal dokter spesialis, perawat khusus, dan
sebagainya). Pemerintah juga harus bisa memastikan bahwa orang-orang yang bekerja di RS
memiliki kompetensi yang memenuhi standar. Orang-orang yang datang ke RS dengan masalah
kesehatan berarti menyerahkan nasibnya bahkan nyawanya pada tenaga kesehatan. Tentunya
kita tidak ingin masyarakat ini kemudian dilayani oleh tenaga yang tidak kompeten.
5. Banyak kekhawatiran di kalangan pejabat Pemda, bahwa jika RSUD sudah dtetapkan
menjadi BLUD maka tarifnya jadi mahal. Bagaimana menjelaskan hal ini?
Jawab:
Tarif naik atau tidak pasca BLUD, itu kembali pada kebijakan Pemda itu sendiri. Pemda
bertanggung jawab untuk menjamin bahwa semua warganya bisa mengakses pelayanan
kesehatan yang bermutu. Jika ada warganya yang tidak mampu mengakses karena keterbatasan
finansial, mana disitulah tanggung jawab Pemda untuk membelikan pelayanan tersebut bagi
warganya yang tidak mampu dan itulah yang disebut sebagai subsidi. Untuk pelayanan di kelas-
kelas lainnya, jika masih mendapat subsidi dari Pemda maka bisa saja tarifnya tidak naik atau
naik sedikit, sesuai dengan selisih unit cost yang terjadi. Namun pertanyaannya adalah apakah
wajar jika masyarakat yang mampu juga mendapat subsidi dari Pemda?
6. Apa saja yang harus berubah di RSUD jika telah ditetapkan sebagai BLUD?
Jawab:
Menjadi BLUD itu berarti mengubah budaya kerja. Bukan masalah uang saja, tapi mindset harus
ikut berubah. Tadinya biasa dilayani, sekarang melayani. Tadinya pasien butuh RS sekarang
RS butuh pelanggan. Tadinya uang disetor (ke Pemda), sekarang bisa dikelola sendiri (di
rekening RSUD). Jika mindset tidak berubah, bisa dibayangkan bagaimana cara orang-orang
RSUD mengelola uang yang sangat banyak tersebut.
7. Bukankan berubah menjadi BLUD prinsipnya hanya berubah dari dulu setor,
sekarang tidak?
Jawab:
Tidak sesederhana itu. Dulu sebelum BLUD, mentalnya adalah mental setoran dan mental
menghabiskan anggaran sebab jika anggaran tidak terserap/tidak habis, maka akan dianggap
kinerjanya jelek. Sedangkan jika sudah BLUD, mentalnya kebalikan, yaitu harus berhemat, harus
efisien. Jika ada dua barang yang satu seharga Rp 500 yang satubnya lagi seharga Rp 600 dengan
mutu sama, mengapa harus membuang uang Rp 100 meskipun di anggaran sudah direncanakan
Rp 600? Jadi tidak sesederhana dulu setor sekarang tidak. RS harus mulai berpikir
enterpreneurship. Manajer RS dituntut untuk menjadi Manajer sungguhan, bukan sekedar Kepala
RS, Kepala Keuangan, Kepala Perencanaan, Kepala Staf dan seterusnya, tapi sebagai manajer
keuangan, manajer SDM, manajer operasional.
8. Banyak RS yang melaksanakan morning report. Sebenarnya morning report untuk apa?
Dan berapa lama diperlukan waktu untuk melakukan morning report?
Jawab:
Morning report biasanya digunakan sebagai moment untuk berkomunikasi antara manajemen
dengan fungsional sekaligus membahas berbagai masalah yang ada di RS dan menyepakati
solusinya. Dari berbagai masalah yang di-morning-report-kan, baru bisa diketahui butuh berapa
lama untuk melakukan morning report. Idealnya antara 30-60 menit jika dilakukan setiap hari.
Jika hanya seminggu sekali, tentu lebih banyak waktu yang diperlukan karena masalah yang
perlu dibahas sudah terakumulasi dalam seminggu.
Morning report ini juga bisa berfungsi sebagai sarana untuk mengubah budaya organisasi. Jika
pimpinan RS komitmen untuk melaksanakan morning report, harus on time. Misalnya saja
semua sepakat MM dimulai Pk. 7.00. Jadi begitu waktu menunjukkan Pk. 7 MM harus dimulai,
tidak perlu menunggu yang belum datang. Lama kelamaan yang biasa terlambat akan
menyesuaikan diri. (Kebiasaan untuk datang terlambat ke sebuat pertemuan adalah karena
pertemuan sering molor dari undangan.) Namun pimpinan harus memberi contoh. Pimpinan
bukan hanya direktur tapi juga semua pejabat di RS. Semua atasan harus beri contoh pada
bawahan masing-masing. Ini salah satu cara mengubah budaya organisasi. Jika ini berlangsung
secara konsisten, maka komponen-komponen yang ada di dalam RS akan bisa kompak.
Semakin banyak staf RS yang paham tentang BLUD akan semakin baik, sebab nanti para
pimpinan tidak terlalu susah menggerakkan orang-orangnya untuk mencapai tujuan bersama.
9. Mengapa permohonan RSUD untuk menjadi BLUD bisa ditolak? Bagaimana agar bisa
lebih meyakinkan Pemda (dan DPRD)?
Jawab:
Jika syarat administratif (dari hasil penilaian BLUD oleh tim penilai) nilainya kurang dari 60,
maka pasti harus ditolak. Namun ini masih bisa diperbaiki. RS harus melengkapi atau
memperbaiki syarat administrasi tersebut sesuai dengan masukan dari tim penilai. Lalu kemudian
dilakukan penilaian ulang. Jika penyebabnya bukan syarat administratif (misal karena politis) RS
perlu gunakan pendekatan atau advokasi. Gunakan semua peraturan tentang BLUD dan semua
referensi yang terkait sebagai amunisi. Untuk dapat menggunakannya sebagai amunisi, tentu
harus menguasai dulu isi peraturan-peraturan tersebut, dan yang terpenting memahami prinsip
BLUD. Jika semua peraturan sudah dibaca dan dikuasai, pasti bisa memberikan penjelasan yang
logis dan berdasar kuat saat melakukan advokasi.
10. Apa contohnya bahwa RSUD akan lebih efisien jika sudah ditetapkan sebagai PPK
BLUD?
Jawab:
Contoh dulu sebuah RSUD di Jawa Tengah membeli lift untuk pasien seharga Rp 400 juta
dengan penunjukkan langsung. Jika belum BLUD, pengadaan dengan harga setinggi itu harus
melalui lelang. Harga lift ditambah dengan biaya lelang dan sebagainya, maka anggaran yang
dibutuhkan kira-kira menjadi Rp 600 juta. Dalam hal ini BLUD menghemat anggaran
pemerintah sebesar Rp 200 juta. Ini baru dari pengadaan lift.
Contoh lain, BLUD menetapkan tarif berdasarkan unit cost. Jika tarif Kelas III lebih rendah dari
unit cost, maka selisihnya disubsidi oleh pemda. Sedangkan tarif Kelas VIP dan Kelas I tidak
boleh lebih kecil dari unit cost (diatur oleh Perbup). Dan karena ditetapkan dengan Perbup, maka
tarif VIP dan Kelas I bisa dibuat menyesuaikan dengan kenaikan harga-harga, agar tidak
dibawah unit cost. Jika tarif Kelas VIP masih dibawah unit cost (karena ditetapkan melalui Perda
yang sulit diubah) siapa yang akan menanggung selisihnya? Secara tidak disadari, selisih ini
ditutupi oleh APBD. Artinya APBD diserap oleh orang kaya. Dengan kata lain Pemda
mensubsidi orang yang sebenarnya mampu membayar sendiri. Tentu saja ini jauh dari prinsip
efisiensi.
Contoh lain lagi adalah di Perencanaan Tahunan. RBA bersifat fleksibel, jadi bisa mengikuti
kebutuhan RS (pasien). Kalau tidak memerlukan suatu barang/jasa maka RS tidak perlu
membeli, meskipun saat merencanakan hal tersebut dianggarkan. Jika perlu dan kurang, RS bisa
menambah anggaran, meskipun saat perencanaan hal tersebut anggarannya kurang dibandingkan
dengan kebutuhan saat implementasi. Dengan cara ini pasti RS menjadi jauh lebih efisien
dibandingkan butuh nggak butuh tetap beli, dan jika tidak terpakai barang akan numpuk di
gudang sampai expired.
Dalam hal kepegawaian, jika kompetensi seorang karyawan tidak pas dengan kebutuhan RS
(apalagi jika perilakunya juga tidak sesuai dengan budaya kerja yang ingin dikembangkan), bisa
saja dikembalikan staf tersebut ke pemda dengan alasan kinerja (karena BLUD punya ukuran
kinerja). Atau diberhentikan (kalau pegawai yang bersangkutan diangkat oleh BLUD) dan RS
bisa merekrut staf baru yang lebih sesuai. Tentunya ini akan lebih menghemat anggaran
RS/Pemda dibandingkan dengan mempekerjakan orang yang hanya makan gaji buta namun
kinerjanya tidak jelas.
Isu-isu Penting Rumah Sakit Sebagai BLUD
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) adalah unit kerja atau SKPD pemerintah daerah yang
paling banyak diubah statusnya menjadi BLUD (Badan Layanan Umum Daerah). Karakter
RSUD memang sangat cocok dengan status BLUD, misalnya (1) memberikan pelayanan
langsung kepada masyarakat; (2) menarik bayaran atas jasa yang diberikannya; (3) memiliki
lingkungan persaingan yang berbeda dengan SKPD biasa; (4) pendapatan yang diperoleh dari
jasa yang diberikannya cukup signifikan; dan (5)adanya spesialisasi dalam hal keahlian
karyawannya.
Pengangkatan RSUD menjadi BLUD dapat dimaknai sebagai sebuah bentuk keprofesional
pelayanan publik di pemerintahan daerah. Namun, sebagai pihak mengkritik ini karena
sebenarnya menunjukkan bahwa Pemda belum mampu mengelola dan memberdayakan dana
berlimpah yang dimilikinya untuk menyediakan pelayanan publik yang berkualitas. Bahkan ada
yang pesimis bahwa BLUD tidak akan berhasil kecuali hanya menjadi sumber penghasilan bagi
para pengelolanya.
Isu-isu Penting
Ada beberapa isu penting terkait penetapan RSUD sebagai BLUD, di antaranya:
Pemerintah telah menerbitkan banyak regulasi terkait dengan pengelolaan keuangan BLU dan
BLUD. Berikut disajikan beberapa Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri Keuangan
(PMK), dan Keputusan Menteri Kesehatan terkait dengan BLU dan BLUD.
Iftitah
Diterbitkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 tentang Pedoman teknis
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah serta di perkuat dengan lahirnyan
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah sakit mengharuskan Pemerintah Daerah
supaya manajemen Rumah Sakit menganut Pola PPK- BLUD dalam rangka meningkatkan
pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Untuk itulah di butuhkan kesiapan daerah dalam rangka
menyahuti regulasi yang ada.
Perkembangan pengelolaan rumah sakit, baik dari aspek manajemen maupun operasional sangat
dipengaruhi oleh berbagai tuntutan dari lingkungan, yaitu antara lain bahwa rumah sakit dituntut
untuk memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu, dan biaya pelayanan kesehatan terkendali
sehingga akan berujung pada kepuasan pasien. Tuntutan lainnya adalah pengendalian biaya.
Pengendalian biaya merupakan masalah yang kompleks karena dipengaruhi oleh berbagai pihak
yaitu mekanisme pasar, tindakan ekonomis, sumber daya manusia yang dimiliki (profesionalitas)
dan yang tidak kalah penting adalah perkembangan teknologi dari rumah sakit itu sendiri.
Rumah sakit sebagai salah satu jenis Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) merupakan ujung
tombak dalam pembangunan kesehatan masyarakat. Namun, tak sedikit keluhan selama ini
diarahkan pada kualitas pelayanan rumah sakit yang dinilai masih rendah. Ini terutama rumah
sakit daerah atau rumah sakit milik pemerintah. Penyebabnya sangat klasik, yaitu masalah
keterbatasan dana yang dimiliki oleh rumah sakit umum daerah dan rumah sakit milik
pemerintah, sehingga tidak bisa mengembangkan mutu layanannya, baik karena peralatan medis
yang terbatas maupun kemampuan sumber daya manusia (SDM) yang rendah.
Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atau
unit kerja pada satuan kerja perangkat daerah dilingkungan pemerintah daerah yang di bentuk
untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/ atau jasa yang
dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya di dasarkan
pada prinsipi efesiensi dan produktivitas.
Tujuan dibentuknya BLUD adalah sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 3 yang
menyebutkan bahwa PPK-BLUD bertujuan meningkatkan kwalitas pelayanan masyarakat
untuk mewujudkan penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah dan/ atau pemerintah daerah dalam
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Adapun azas BLUD
dalah memberikan pelayanan kesehatan dengan praktek bisnis yang sehat, yang pengelolaannya
dilakukan berdasarkan kewenangan yang didelegasikan oleh Kepala Daerah. Artinya ada prinsip-
prinsip yang dibangun dalam manajemen BLUD yang tidak sama dengan SKPD yang lain.
Untuk syarat Substansi dan Teknis agak mudah karena sudah melekat pada Rumah Sakit,
sementara syarat administrasi ini harus benar-benara di godok dan di buat dengan kajian yang
lebih dalam. Ini penting sehingga tidak terkesan nantinya Penerapan BLUD hanya dijadikan
sebagai kendaraan untuk mengejar renumerasi semata.
Sebagaimana amanah Permendagri Nomor 61 Tahun 2007 tentang Pedoman teknis Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum Daerah, ada 3 syarat utama yang harus di tempuh daerah
dalam rangka mewujudkan rumah sakit menuju BLUD yaitu:
Pertama syarat teknis: Persyaratan terpenuhi apabila (1) kinerja pelayanan dibidang tugas dan
fungsinya layak dikelola dan ditingkatkan pencapaiannya atas rekomendasi sekretaris daerah
untuk SKPD atau Kepala SKPD untuk unit kerja. (2) Kinerja keuangan SKPD sehat. (3)
memiliki potensi untuk meningkatkan penyelenggaraan pelayanan secara efektif, efesien dan
produktif. (4) memiliki spesifikasi teknis yang terkait langsung dengan layanan umum kepada
masyarakat. (5) tingkat kemampuan pendapatan dari layanan yang cenderung meningkat dan
efisien dalam membiayai pengeluaran.
Kedua syarat substantif: Persyaratan ini terpenuhi apabila, (1) tugas dan fungsi SKPD atau unit
kerja bersifat operasional dalam menyelenggarakan pelayanan umum yang menghasilkan semi
barang/jasa publik, (2) penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum untuk meningkatkan
kualitas dan kuantitas pelayanan masyarakat, (3) pengelolaan wilayah/kawasan tertentu untuk
tujuan meningkatkan perekonomian masyarakat atau layanan umum, (4) pengelolaan dana
khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau pelayanan masyarakat.
Ketiga syarat administrasi: persyaratan ini meliputi; (1) surat pernyataan kesanggupan untuk
meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan dan mamfaat bagi masyarakat, (2) pola tata kelola,
(3) rencana strategis bisnis, (4) standar pelayanan minimal, (5) laporan keuangan pokok atau
prognosa/proyeksi laporan keuangan dan (6) laporan audit terakhir atau pernyataan bersedia
untuk diaudit secara independen.
Diantara ke-3 syarat diatas, yang paling agak berat adalah syarat administrasi, untuk itu
Pemerintah Daerah yang akan menerapkan PPK-BLUD pada Rumah Sakit Daerah harus benar-
benar mempersipakan syarat administrasi dengan baik, yang nantinya akan dilakukan penilaiaan
oleh tim yang di tetapkan dengan Keputusan Kepala Daerah.
Pengalaman selama menjadi Tim Penilai BLUD ada 3 Dokumen yang agak berat untuk di susun
meliputi: Dokumen Tata Kelola, Rencana Strategis Bisnis dan Standar Pelayanan Minimal. Perlu
diingat bahwa Dokumen Tata Kelola dan Standar Pelayanan Minimal nantinya ditetapkan
dengan Peraturan Kepala Daerah (Gubernur/Walikota/Bupati).
Ada 5 Kriteria atau Indikator dalam menyusun Standar pelayanan minimal, yaitu :
1. Fokus pada jenis pelayanan, dalam arti mengutamakan kegiatan pelayanan yang menunjang
terwujudnya tugas dan fungsi BLUD;
2. Terukur, merupakan kegiatan yang pencapaiannya dapat dinilai sesuai dengan standar yang
telah ditetapkan;
3. Dapat dicapai, merupakan kegiatan nyata yang dapat dihitung tingkat pencapaiannya, rasional
sesuai kemampuan dan tingkat pemanfaatannya;
4. Relevan dan dapat diandalkan, merupakan kegiatan yang sejalan, berkaitan dan dapat
dipercaya untuk menunjang tugas dan fungsi BLUD;
5. Tepat waktu, merupakan kesesuaian jadwal dan kegiatan pelayanan yang telah ditetapkan.
Rumah Sakit Pemerintah Daerah yang telah menjadi BLUD dapat memungut biaya kepada
masyarakat sebagai imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan. Imbalan atas barang/jasa
layanan yang diberikan tersebut ditetapkan dalam bentuk tarif yang disusun atas dasar
perhitungan biaya per unit layanan atau hasil per investasi dana. Tarif layanan diusulkan oleh
rumah sakit kepada menteri keuangan/menteri kesehatan/kepala SKPD sesuai dengan
kewenangannya, dan kemudian ditetapkan oleh kepala daerah dengan peraturan kepala daerah.
Terkait penetapan tarif, nantinya dibedakan menjadi 2 bagian yaitu Tarif bisnis dan Tarif Umum.
Untuk tarif bisnis besaran nya ditentapkan dengan Peraturan Kepala Daerah, sedangkan untuk
tarif umum (Golongan III) besaranya ditetapkan dengan Qanun.
Lembaga ini juga telah melahirkan kurang lebih 8 Rumah Sakit di Aceh bahkan luar Aceh
menjadi BLUD, sebut saja RSUD Meuraxa Kota Banda Aceh, RSUD Yulidin Away Kab. Aceh
Selatan, Rumah Sakit Ibu dan Anak Propinsi Aceh, Rumah Sakit Idi Kab.Aceh Timur, Rumah
Sakit Pirngadi Sumatera Utara, Rumah Sakit Pandan, Tapanuli Utara, RSUD Pidie.
Oleh karena itu tidak berlebihan kalau Pemerintah Daerah menjadikan CHSM Unsyiah sebagai
mitra kerja dalam melakukan pembenahan Manajemen Rumah Sakit Umum Daerah di Aceh.
Tentunya masyarakat akan berharap bayak mampukan spirit Undang-Undang Nomor 44 Tahun
2009 menjadi tonggak sejarah baru dalam dunia Manajemen Rumah Sakit Umum Daerah.
Semoga saja Rumah Sakit Pasca berubah Status menjadi PPK-BLUD menjadi lebih profesional
dan mandiri serta lebih bagus dalam pelayanannya bagi masyarakat sehingga diharapkan tidak
ada lagi rakyat Aceh yang berobat ke Penang. Wallahu `alam bishawab
Rumah Sakit Sebagai Badan Layanan Umum
December 25, 2012 by rhyerhiathy
Badan layanan umum adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan atau jasa yang dijual
tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada
prinsip efisiensi dan produktivitas. Berdasar PP no: 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum, tujuan BLU adalah meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa
dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip eknomi dan
produktivitas dan penerapan praktik bisnis yang sehat. Praktik bisnis yang sehat artinya
berdasarkan kaidah manajemen yang baik mencakup perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, pengendalian dan pertanggungjawaban.
Secara umum asas badan layanan umum adalah pelayanan umum yang pengelolaannya
berdasarkan kewenangan yang didelegasikan, tidak terpisah secara hukum dari instansi
induknya.
1. Pejabat BLU bertanggungjawab atas pelaksanaan kegiatan layanan umum kepada pimpinan
instansi induk,
2. BLU tidak mencari laba,
3. Rencana kerja, anggaran dan laporan BLU dan instansi induk tidak terpisah,
4. Pengelolaan sejalan dengan praktik bisnis yang sehat.
1. Persyaratan substantif BLU, fungsi dasar pelayanan public. Memperoleh imbalan atas
seluruh/sebagian layanan berupa barang/jasa yang diberikan kepada masyarakat (fungsi cost
sharing). Harus berorientasi pada layanan publik/masyarakat. Oleh karenanya, BLU tidak
mengutamakan mencari keuntungan.
2. Persyaratan keuangan/administratif diatur oleh Menteri Keuangan/Pejabat Pengelola Keuangan
Daerah. Persyaratan administratif termasuk keuangan di bawah ini digunakan oleh Kementerian
Keuangan untuk menentukan suatu unit pemerintah dapat diberikan status Kandidat BLU atau
BLU. Suatu unit dapat langsung atau secara bertahap memperoleh status BLU tergantung
kesiapan dan kemampuan memenuhi persyaratan BLU.
2. Persyaratan teknis BLU diatur oleh Kementerian/Lembaga teknis/satker perangkat daerah yang
bersangkutan. Upaya pendirian sebuah BLU memperhatikan kriteria teknis yang ditentukan oleh
masing-masing kementerian negara/lembaga yang bersangkutan. Kriteria tersebut antara lain
meliputi aspek jenis dan mutu layanan produk, aspek kinerja keuangan, dan aspek manfaat
pelayanan bagi masyarakat.
Pilar utama dalam pelaksanaan PPK-BLU adalah mempromosikan (1) peningkatan kinerja
pelayanan publik; (2) fleksibilitas pengelolaan keuangan; dan (3) tata kelola yang baik (good
governance).
(1) Berkedudukan sebagai instansi pemerintah (bukan kekayaan negara yang dipisahkan);
(2) Menghasilkan barang dan/atau jasa yang seluruhnya/sebagian dijual kepada publik;
(4) Dikelola secara otonom dengan prinsip efisiensi dan produktivitas ala korporasi
(5) Rencana kerja, anggaran, dan pertanggungjawaban dikonsolidasikan pada instansi induk;
(7) Pegawai dapat terdiri dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Non-PNS.
Diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Badan Layanan Umum (BLU) adalah sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 69 ayat (7)
UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. PP tersebut bertujuan untuk
meningkatkan pelayanan publik oleh Pemerintah, karena sebelumnya tidak ada pengaturan yang
spesifik mengenai unit pemerintahan yang melakukan pelayanan kepada masyarakat yang pada
saat itu bentuk dan modelnya beraneka macam.
Jenis BLU disini antara lain rumah sakit, lembaga pendidikan, pelayanan lisensi, penyiaran, dan
lain-lain. Rumah sakit sebagai salah satu jenis BLU merupakan ujung tombak dalam
pembangunan kesehatan masyarakat. Namun, tak sedikit keluhan selama ini diarahkan pada
kualitas pelayanan rumah sakit yang dinilai masih rendah. Ini terutama rumah sakit daerah atau
rumah sakit milik pemerintah. Penyebabnya sangat klasik, yaitu masalah keterbatasan dana yang
dimiliki oleh rumah sakit umum daerah dan rumah sakit milik pemerintah, sehingga tidak bisa
mengembangkan mutu layanannya, baik karena peralatan medis yang terbatas maupun
kemampuan sumber daya manusia (SDM) yang rendah.
Perkembangan pengelolaan rumah sakit, baik dari aspek manajemen maupun operasional sangat
dipengaruhi oleh berbagai tuntutan dari lingkungan, yaitu antara lain bahwa rumah sakit dituntut
untuk memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu, dan biaya pelayanan kesehatan terkendali
sehingga akan berujung pada kepuasan pasien. Tuntutan lainnya adalah pengendalian biaya.
Pengendalian biaya merupakan masalah yang kompleks karena dipengaruhi oleh berbagai pihak
yaitu mekanisme pasar, tindakan ekonomis, sumber daya manusia yang dimiliki (profesionalitas)
dan yang tidak kalah penting adalah perkembangan teknologi dari rumah sakit itu sendiri. Rumah
sakit pemerintah yang terdapat di tingkat pusat dan daerah tidak lepas dari pengaruh
perkembangan tuntutan tersebut.
Dipandang dari segmentasi kelompok masyarakat, secara umum rumah sakit pemerintah
merupakan layanan jasa yang menyediakan untuk kalangan menengah ke bawah, sedangkan
rumah sakit swasta melayani masyarakat kelas menengah ke atas. Biaya kesehatan cenderung
terus meningkat,dan rumah sakit dituntut untuk secara mandiri mengatasi masalah tersebut.
Peningkatan biaya kesehatan menyebabkan fenomena tersendiri bagi rumah sakit pemerintahan
karena rumah sakit pemerintah memiliki segmen layanan kesehatan untuk kalangan menengah
ke bawah. Akibatnya rumah sakit pemerintah diharapkan menjadi rumah sakit yang murah dan
bermutu.
Standar Pelayanan dan Tarif Layanan Rumah Sakit Pemerintah Daerah yang telah menjadi BLU
/ BLUD menggunakan standar pelayanan minimum yang ditetapkan oleh menteri/pimpinan
lembaga /gubernur /bupati /walikota sesuai dengan kewenangannya, harus mempertimbangkan
kualitas layanan, pemerataan dan kesetaraan layanan, biaya serta kemudahan untuk mendapatkan
layanan.
Paket undang-undang bidang keuangan negara merupakan paket reformasi yang signifikan di
bidang keuangan negara yang kita alami sejak kemerdekaan. Undang-undang Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara, yang menekankan basis kinerja dalam penganggaran, memberi
landasan yang penting bagi orientasi baru tersebut di Indonesia.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara membuka koridor baru
bagi penerapan basis kinerja dalam penganggaran di lingkungan pemerintah. Instansi pemerintah
yang tugas pokok dan fungsinya memberi pelayanan kepada masyarakat dapat menerapkan pola
pengelolaan keuangan yang fleksibel dengan menonjolkan produktivitas, efisiensi, dan
efektivitas dalam segala aktivitasnya. Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), diharapkan
menjadi contoh konkrit yang menonjol dari penerapan manajemen keuangan berbasis pada hasil
(kinerja). Peluang ini secara khusus menyediakan kesempatan bagi satuan-satuan kerja
pemerintah yang melaksanakan tugas operasional pelayanan publik, untuk membedakannya dari
fungsi pemerintah sebagai regulator dan penentu kebijakan.
Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah Satuan kerja Perangkat
Daerah atau Unit Kerja pada Satuan Kerja Perangkat Daerah di lingkungan pemerintah daerah
yang dibentuk untuk memberikan pelayanan pada masyarakat berupa penyediaan barang
dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan, dan dalam melakukan
kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Organisasi BLU cenderung
sebagai organisasi nirlaba kepemerintahan Sesuai dengan PP No:23 tahun 2005 pasal 26
menyebutkan bahwa akuntansi dan laporan keuangan diselenggarakan sesuai dengan
Standar Akuntansi keuangan (SAK) yang diterbitkan oleh asosiasi profesi akuntansi Indonesia.
Ketentuan ini mengakibatkan ketidakkonsistensian yaitu bahwa organisasi BLU yang cenderung
sebagai organisasi kepemerintahan tetapi pelaporan akuntansi menggunakan PSAK (standar
akuntansi keuangan ), bukan menggunakan PSAP (Standar akuntansi pemerintahan).
Standar akuntansi pemerintah disusun oleh komite standar akuntansi pemerintah(KSAP). Standar
ini digunakan untuk organisasi kepemerintahan dan merupakan pedoman dalam penyususnan
dan penyajian laporan keuangan. SAP dinyatakan dalam PSAP. Organisasi pemerintahan sebagai
organisasi yang nirlaba semestinya menggunakan SAP bukan SAK. Oleh karena itu jika rumah
sakit pemerintah sebagai badan layanan umum semestinya juga menggunakan SAP bukan SAK,
namun dalam PP disebutkan badan layanan umum sebagai institusi yang nirlaba menggunakan
SAK. Dalam hal ini SAK yang tepat adalah PSAK no 45 yaitu standar akuntansi keuangan untuk
organisasi nirlaba.
1. Laporan posisi keuangan (aktiva, utang dan aktiva bersih, tidak disebut neraca). Klasifikasi aktiva
dan kewajiban sesuai dengan perusahaan pada umumnya. Sedangkan aktiva bersih
diklasifikasikan aktiva bersih tidak terikat, terikat kontemporer dan terikat permanen. Yang
dimaksud pembatasan permanen adalah pembatasan penggunaan sumber daya yang
ditetapkan oleh penyumbang. Sedangkan pembatasan temporer adalah pembatasan
penggunaan sumber daya oleh penyumbang yang menetapkan agar sumber daya tersebut
dipertahankan sampai pada periode tertentu atau sampai dengan terpenuhinya keadaan
terntentu
2. Laporan aktivitas, (yaitu penghasilan, beban dan kerugian dan perubahan dalan aktiva bersih)
3. Laporan arus kas yang mencakup arus kas dari aktivtitas operasi, aktivtais investasi dan aktivtias
pendanaan
4. Catatan atas laporan keuangan, antara lain sifat dan jumlah pembatasan permanen atau
temporer. dan perubahan klasifikasi aktiva bersih
Laporan keuangan rumah sakit diaudit oleh auditor independen Adapun Laporan Keuangan
rumah sakit pemerintah daerah sebagai BLU yang disusun harus menyediakan informasi untuk:
1. Mengukur jasa atau manfaat bagi entitas yang bersangkutan;
2. Pertanggungjawaban manajemen rumah sakit (disajikan dalam bentuk laporan aktivitas dan
laporan arus kas);
3. Mengetahui kontinuitas pemberian jasa (disajikan dalam bentuk laporan posisi keuangan);
Dalam hal konsolidasi laporan keuangan rumah sakit pemerintah daerah dengan laporan
keuangan kementerian negara/lembaga, maupun laporan keuangan pemerintah daerah, maka
rumah sakit pemerintah daerah sebagai BLU/BLUD mengembangkan sub sistem akuntansi
keuangan yang menghasilkan Laporan Keuangan sesuai dengan SAP
Berdasarkan PMK No. 76/PMK.05/2008 tentang Pedoman Akuntansi Dan Pelaporan Keuangan
Badan Layanan Umum dan sesuai pula dengan Pasal 27 PP No. 23 tahun 2005, maka rumah
sakit pemerintah daerah dalam rangka pertanggung jawaban atas pengelolaan keuangan dan
kegiatan pelayanannya, menyusun dan menyajikan : 1. Laporan Keuangan; dan 2. Laporan
Kinerja.Laporan Keuangan tersebut paling sedikit terdiri dari: 1. Laporan Realisasi Anggaran
dan atau Laporan Operasional; 2. Neraca; 3. Laporan Arus Kas; dan 4. Catatan atas Laporan
Keuangan.
Laporan Keuangan rumah sakit pemerintah daerah sebelum disampaikan kepada entitas
pelaporan direview oleh satuan pemeriksaan intern, namun dalam hal tidak terdapat satuan
pemeriksaan intern, review dilakukan oleh aparat pengawasan intern kementerian negara/
lembaga. Review ini dilaksanakan secara bersamaan dengan pelaksanaan anggaran dan
penyusunan Laporan Keuangan BLU. Sedangkan Laporan Keuangan tahunan BLU diaudit oleh
auditor eksternal.
BLU sebagai Instansi Satuan Kerja Perangkat Daerah Dipimpin oleh Pejabat Pengguna
Anggaran yang berwenang/bertugas :
1. Menyusun RKA
2. Menyusun DPA
3. Melaksanakan anggaran belanja satker
4. Melakukan pengujian atas tagihan dan memerintahkan pembayaran
5. Melaksanakan pemungutan penerimaan bukan pajak
6. Mengelola utang dan piutang
7. Menggunakan barang milik Daerah
8. Mengawasi pelaksanaan anggaran
9. Menyusun dan menyampaikan laporan keuangan
Rumah sakit pemerintah dituntut untuk menjadi rumah sakit yang murah dan bermutu. Dalam
pengelolaannya rumah sakit pemerintah memiliki peraturan pendukung yang terkait dengan
pengelolaan keuangan yang fleksibel. Berdasar PP no: 23 tahun 2005 tersebut rumah sakit
pemerintah telah mengalami perubahan sebagai badan layanan umum. Perubahan kelembagaan
ini berimbas pada pertanggungjawaban keuangan bukan lagi kepada departemen kesehatan tetapi
kepada departemen keuangan.
Sebagaimana telah diuraikan di atas dari aspek pelaporan keuangan yang harus mengikuti
standar akuntansi keuangan, maka dalam pengelolaan teknis keuangan pun harus
diselenggarakan dengan mengacu pada prinsip-prinsip akuntanbilitas, transparansi dan efisiensi.
Anggaran yang disusun rumah sakit pemeritah juga harus disusun dengan berbasis kinerja
(sesuai dengan Kepmendagri no 29 tahun 2002). Berdasar prinsip-prinsip tersebut, aspek teknis
keuangan perlu didukung
adanya hubungan yang baik dan berkelanjutan antara rumah sakit,dengan pemerintah dan dengan
para stakeholder, khususnya dalam penentuan biaya pelayana kesehatan yang mencakup unit
cost, efisiensi dan kualitas pelayanan. Yang perlu dipertimbangankan lagi adalah adalah adanya
audit atau pemeriksaan bukan saja dari pihak independen terhadap pelaporan keuangan tetapi
juga perlu audit klinik. Dengan berubahnya kelembagaan sebagai BLU tentu saja aspek teknis
sangat berhubungan erat dengan basis kinerja
Sesuai dengan syarat-syarat BLU bahwa yang dimaksud dengan persyaratan substantif,
persyaratan teknis dan persyaratan admnistratif adalah berkaitan dengan standar layanan,
penentuan tarif layanan, pengelolaan keuangan,tata kelola semuanya harus berbasis kinerja. Hal-
hal yang harus dipersiapkan bagi rumah sakit untuk menjadi BLU dalam aspek teknis keuangan
adalah:
1. Penentuan tarif harus berdasar unit cost dan mutu layanan. Dengan demikian rumah sakit
pemerintah harus mampu melakukan penelusuran (cost tracing) terhadap penentuan segala
macam tarif yang ditetapkan dalam layanan. Selama ini aspek penentuan tarif masih berbasis
aggaran ataupun subsidi pemerintah sehingga masih terdapat suatu cost culture yang tidak
mendukung untuk peningkatan kinerja atau mutu layanan. Penyusunan tarif rumah sakit
seharusnya berbasis pada unit cost, pasar (kesanggupan konsumen untuk membayar dan
strategi yang diipilih. Tarif tersebut diharapkan dapat menutup semua biaya, diluar subsidi yang
diharapkan. Yang perlu diperhatikan adalah usulan tarif jangan berbasis pada presentase
tertentu namun berdasar pada kajian yang dapat dipertanggungjawabkan. Secara umum
tahapan penentuan tarif harus melalui mekanisme usulan dari setiap divisi dalam rumah sakit
dan aspek pasar dan dilanjutkan kepada pemilik. Pemilik rumah sakit pemerintah adalah
pemerintah daerah dan DPRD.
1. Penyusunan anggaran harus berbasis akuntansi biaya bukan hanya berbasis subsidi dari
pemerintah. Dengan demikian penyusunan anggaran harus didasari dari indikator input,
indikator proses dan indikator output.
2. Menyusun laporan keuangan sesuai dengan PSAK 45 yang disusun oleh organsisasi profesi
akuntan dan siap diaudit oleh Kantor Akuntan Independen bukan diaudit dari pemerintah.
3. Sistem remunerasi yang berbasis indikator dan bersifat evidance based. Dalam penyusunan
sistem remunerasi rumah sakit perlu memiliki dasar pemikiran bahwatingkatan pemberian
remunerasi didasari pada tingkatan, yaitu tingkatan satu adalah basic salary yang merupakan
alat jaminan safety bagi karyawan. Basic salary tidak dipengaruhi oleh pendapatan rumah sakit.
Tingkatan dua adalah incentives yaitu sebagai alat pemberian motivasi bagi karyawan.
Pemberian incentives ini sangat dipengaruhi oleh pendapatan rumah sakit. Tingkatan yang
ketiga adalah bonus sebagai alat pemberian reward kepada karyawan.Pemberian bonus ini
sangat dipengaruhi oleh tingkat keuntungan rumah sakit. Implementasi aspek teknis keuangan
bagi rumah sakit ini akan menjadi nilai plus dalam upayanya untuk peningkatan kualitas jasa
layanan dan praktik tata kelola yang transparan. Perhitungan dan penelusuran terhadap unit
cost memerlukan persyaratan sebagai berikut:
1. Menuntut adanya dukungan dari para stakeholder,
2. Memiliki keinginan yang kuat dari rumah sakit untuk berbenah, tanpa meninggalkan
misi layanan sosial tetapi harus tetap mengunggulkan rumah sakit sebagai alat
bargaining position,
3. Kesanggupan untuk mewujudkan desakan akuntabilitas dari publik kepada rumah sakit,
khususnya mengenai pola penentuan tariff,
4. 4. Dukungan dari seluruh tim ahli, baik ahli medis, komite medis, sistem informasi
rumah sakit, akuntansi dan costing.
Dengan implementasi perubahan kelembagaan menjadi badan layanan umum, dalam aspek
teknis keuangan diharapkan rumah sakit akan memberi kepastian mutu dan kepastian biaya
menuju pada pelayanan kesehatan yang lebih baik.
Pendapatan dan belanja BLU tetap merupakan bagian APBD dengan aset yang tidak dipisahkan.
Namun lembaga ini tidak mengutamakan mencari keuntungan semata, lebih memprioritaskan
pelayanan masyarakat. Selain itu, peran pemerintah daerah dalam pembiayaan juga tetap.
BLU di sini beroperasi sebagai unit kerja pemerintah daerah bertujuan memberikan layanan
umum yang pengelolaannya berdasarkan kewenangan yang didelegasikan oleh instansi induk
bersangkutan. Sesuai dengan asas yang diamanatkan, BLU mengelola penyelenggaraan layanan
umum sejalan dengan praktek bisnis yang sehat.
Rumah Sakit Pemerintah Daerah yang telah menjadi BLU/ BLUD menggunakan standar
pelayanan minimum yang ditetapkan oleh menteri/ pimpinan lembaga/ gubernur/ bupati/
walikota sesuai dengan kewenangannya, harus mempertimbangkan kualitas layanan, pemerataan
dan kesetaraan layanan, biaya serta kemudahan untuk mendapatkan layanan. Dalam hal rumah
sakit pemerintah di daerah (RSUD) maka standar pelayanan minimal ditetapkan oleh kepala
daerah dengan peraturan kepala daerah. Standar pelayanan minimal tersebut harus memenuhi
persyaratan, yaitu :
1. Fokus pada jenis pelayanan, dalam arti mengutamakan kegiatan pelayanan yang menunjang
terwujudnya tugas dan fungsi BLU/ BLUD;
2. Terukur, merupakan kegiatan yang pencapaiannya dapat dinilai sesuai dengan standar yang
telah ditetapkan;
3. Dapat dicapai, merupakan kegiatan nyata yang dapat dihitung tingkat pencapaiannya, rasional
sesuai kemampuan dan tingkat pemanfaatannya;
4. Relevan dan dapat diandalkan, merupakan kegiatan yang sejalan, berkaitan dan dapat dipercaya
untuk menunjang tugas dan fungsi BLU/ BLUD; dan
5. Tepat waktu, merupakan kesesuaian jadwal dan kegiatan pelayanan yang telah ditetapkan.
Rumah Sakit Pemerintah Daerah yang telah menjadi BLU/ BLUD dapat memungut biaya kepada
masyarakat sebagai imbalan atas barang/ jasa layanan yang diberikan. Imbalan atas barang/ jasa
layanan yang diberikan tersebut ditetapkan dalam bentuk tarif yang disusun atas dasar
perhitungan biaya per unit layanan atau hasil per investasi dana.
Tarif layanan diusulkan oleh rumah sakit kepada menteri keuangan/ menteri kesehatan/ kepala
SKPD sesuai dengan kewenangannya, dan kemudian ditetapkan oleh menteri keuangan/ kepala
daerah dengan peraturan menteri keuangan/ peraturan kepala daerah. Tarif layanan yang
diusulkan dan ditetapkan tersebut harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
Rumah sakit BLU memperoleh dana APBN untuk biaya operasional dan belanja modal. Biaya
operasional biasanya digunakan untuk biaya gaji pegawai dan biaya pemeliharaan aktiva tetap.
Sedangkan belanja modal adalah pengeluaran untuk pembelian tanah dan pembangunan gedung,
yang dikapitalisasi di Neraca dan dicatat sebagai penambahan Aktiva Tetap. Pada saat
pembuatan RBA, BLU mengajukan rencana bisnis dan anggaran ke departemen induk untuk
mendapat persetujuan. Departemen induk akan memasukkan anggaran yang diminta dalam
Rencana Kerja dan Anggaran (selanjutnya disebut RKA) departemen yang bersangkutan. RBA
BLU dikonsolidasikan dengan RKA dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari RKA
Kementerian/Lembaga. Pendapatan dan Belanja BLU dalam RKA tahunan dikonsolidasikan
dalam RKA Kementerian/Lembaga.
Surplus Anggaran BLU dapat digunakan dalam tahun anggaran berikutnya, kecuali atas perintah
KDH, disetorkan sebagian atau seluruhnya ke Kas Umum Daerah, dengan mempertimbangakan
posisi Likuiditas BLU. Defisit Anggaran BLU dapat diajukan pembiayaan dalam tahun anggaran
berikutnya kepada PPKD. PPKD dapat mengajukan anggaran untuk menutupi difisit pelaksanaan
anggaran BLU dalam APBD tahun anggaran berikutnya
Laporan keuangan BLU disampaikan kepada kementerian/ lembaga. RKA dan Laporan
Keuangan BLU merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari RKA dan Laporan Keuangan
Kementerian Negara/Lembaga. pendapatan dan Belanja BLU dalam RKA tahunan
dikonsolidasikan dalam RKA Kementerian Negara/Lembaga. Laporan keuangan BLU
dilampirkan pada laporan keuangan kementerian negara/lembaga Laporan keuangan BLU
digabungkan dengan Laporan Keuangan kementerian negara/lembaga sesuai SAP.
1. Tata kelola keuangan RS lebih baik dan transparan karena menggunakan pelaporan standar
akutansi keuangan yang memberi informasi tentang laporan aktivitas, laporan posisi keuangan,
laporan arus kas dan catatan laporan keuangan.
2. RS masih mendapat subsidi dari pemerintah seperti biaya gaji pegawai, biaya operasional, dan
biaya investasi atau modal.
3. pendapatan RS dapat digunakan langsung tidak disetor ke kantor kas Negara, hanya dilaporkan
saja ke Departemen Keuangan.
4. RS dapat mengembangkan pelayanannya karena tersedianya dana untuk kegiatan operasional
RS.
5. Membantu RS meningkatkan kualitas SDM nya dengan perekrutan yang sesuai kebutuhan dan
kompetensi.
6. Adanya insentif dan honor yang bisa diberikan kepada karyawan oleh pimpinan RS.
Format Standar Pelayanan Minimal *)
Posted on May 22, 2010 by triandyn
Banyak yang sering keliru dalam menerjemahkan SPM sebuah Rumah Sakit. Sebagai contoh,
sebuah rumah sakit memiliki visi menjadi pelayanan unggulan bagi masyarakat di daerahnya.
Indikator tercapainya pelayanan unggulan tersebut adalah tercapainya SPM. Ini tentu saja keliru
sebab SPM (Standar Pelayanan Minimal) adalah merupakan batas bawah dari kemampuan
sebuah rumah sakit. Jadi input, proses dan output dari sebuah RS tidak boleh kurang dari batas
bawah yang telah ditetapkan tersebut.
Jika dianalogikan dengan anak sekolah, seorang anak dikatakan sudah menguasai pelajaran
sebelumnya dan boleh melanjutkan ke level berikutnya jika ia mampu melewati ujian/tes
evaluasi dengan nilai tidak kurang dari 6. Mendapat nilai 6 atau lebih adalah pertanda (indikator)
bahwa si anak sudah menguasai pelajaran sebelumnya. Jika nilainya kurang dari 6, maka itu
adalah pertanda bahwa ia harus mengulang. Jika anak tersebut ingin menjadi unggulan (juara
kelas), maka tidak cukup dengan nilai 6 (batas bawah). Ia harus mampu melewati tes tersebut
dengan nilai setinggi-tingginya, mengalahkan teman-temannya yang lain. Saat ia memperoleh
nilai tertinggi maka ia disebut sebagai juara. Ini adalah indikator bahwa ia unggul dibandingkan
dengan pesaing-pesaingnya.
Jadi indikator SPM tentu saja berbeda dengan indikator visi. Indikator SPM diciptakan supaya
pelayanan di RS tidak lebih rendah dari batas minimal yang diijinkan, untuk menjamin
keselamatan pasien maupun petugas. SPM ini merupakan janji Pemerintah dan RS yang
bersangkutan bahwa pelayanan yang akan diberikan kepada masyarakat tidak akan lebih rendah
dari nilai-nilai yang tercantung dalam SPM tersebut. Oleh karena itu SPM harus ditandatangani
oleh pemerintah dari RS yang menerapkan BLUD.
Menyusun SPM tidak mudah. Diperlukan komitmen dari seluruh komponen yang ada di rumah
sakit untuk menyepakati mengenai indikator yang akan digunakan untuk mengukur mutu
pelayanan, cara mengukurnya, batas waktu pencapaian, dan sebagainya, hingga alokasi anggaran
yang diperlukan untuk mencapai SPM tersebut. Menurut Permendagri No. 61 Tahun 2007,
format SPM untuk Badan Layanan Umum Daerah adalah sebagai berikut.
Sebuah Standar Pelayanan Minimal harus memuat komponen: indikator, dimensi mutu, tujuan
indikator, rasionalisasi, definisi termonilogi yang akan digunakan, frekuensi updateing
(pengumpulan) data, periode dilakukannya analisis, numerator (pembilang), denominator
(penyebut), standar pencapaian (treshold/target) dan sumber data (nominator dan denominator).
Untuk menyusun SPM secara utuh dan kemudian dituangkan kedalam Perda, outline atau
kerangka yang dapat digunakan adalah sebagai berikut.