Anda di halaman 1dari 33

PENTINGNYA RSUD MENJADI BLU*

Oleh: Trizaldi Putra


Staf RSUD Batam
Dalam tulisan ini penulis mencoba mengambarkan tentang keuntungan Rumah Sakit
Umum Daerah (RSUD) menjadi Badan Layanan Umum (BLU). BLU yang merupakan suatu
konsep pengelolalaan pelayanan publik yang bisa menjadi jalan terbaik bagi manajemen rumah
sakit pemerintah, terutama dalam pengelolaan keuangannya. Karena rumah sakit milik
pemerintah tidak berorientasi profit tapi tetap dituntut untuk dapat memberikan pelayanan yang
bermutu serta menjamin kelancaran operasional rumah sakit.
Kewajiban Pemerintah
Kesehatan merupakan kebutuhan mendasar dari setiap manusia. Maka Pelayanan
kesehatan menjadi tanggung jawab pemerintah yang telah disepakati secara global, yaitu
kesepakatan bahwa kesehatan adalah hak asasi manusia. Selain itu, ada mandat nasional seperti
yang tertuang dalam UUD 1945 serta UU No 23/1992 tentang kesehatan, mengenai tanggung
jawab pemerintah menyediakan pelayanan dan fasilitas kesehatan yang layak.
Sejalan dengan diterapkannya otonomi daerah yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004
tentang pemerintahan daerah yang meggantikan UU No.22 Tahun 1999, dinyatakan bahwa
penanganan kesehatan merupakan urusan yang wajib dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah baik
Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Sesuai dengan hal tersebut, maka Pemerintah Daerah
berkewajiban untuk memenuhi dan menjamin pelayanan kesehatan bagi seluruh warga
masyarakatnya. Pemerintah Daerah tak hanya bertanggung jawab menyediakan pelayanan
kesehatan dasar di Puskesmas, tapi juga menyediakan Rumah Sakit tempat pelayanan kesehatan
esensial yang diperlukan orang untuk mendapat perawatan lebih lanjut dan guna
mempertahankan hidup. Untuk itu rumah sakit harus mempunyai misi memberikan pelayanan
kesehatan yang menyeluruh dan terpadu, meliputi kuratif, rehabilitatif, preventif dan promotif
yang bermutu dan terjangkau.
Permasalahan RSUD dan Kebijakan BLU
Rumah sakit milik Pemerintah terutama Rumah Sakit Daerah (RSUD) adalah merupakan
sarana pelayanan kesehatan yang menjadi ujung tombak dalam memberikan pelayanan kesehatan
lanjutan kepada masyarakat di daerah. Untuk itu diharapkan RSUD dapat memberikan pelayanan
kesehatan yang bermutu dan dapat terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Namun sampai
saat ini, sering kali masyarakatkan mengeluhkan pelayanan kesehatan yang mereka rasakan di
RSUD, keluhannya terutama diarahkan pada kualitas pelayanan rumah sakit yang dinilai masih
rendah sehingga terciptanya citra pelayanan RSUD yang buruk di masyarakat. Salah satu
penyebab rendahnya kualitas pelayanan di RSUD adalah merupakan masalah klasik, yaitu
masalah keterbatasan dana dan lambatnya pencairan dana anggaran dari pemerintah serta
ketatnya manajemen pengelolaan keuangan di rumah sakit. Akibatnya, rumah sakit tidak bisa
mengembangkan mutu layanan sehingga menurunnya mutu layanan kepada pasien atau
konsumen.
Menyadari hal tersebut, maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor
23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (BLU) sebagai salah satu
upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan publik. Dengan adanya PP ini, maka memungkinkan
status rumah sakit milik pemerintah termasuk RSUD kini bisa berubah menjadi Badan Layanan
Umum (BLU). Pelaksanaan BLU dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat didasarkan
atas prinsip efektivitas, efisiensi dan prokdutifitas dan tanpa mengutamakan mencari keuntungan
tapi mempunyai keleluasaan dalam mengelola keuangan dan mendayagunakan pendapatannya.
Keuntungan BLU dan Harapan Peningkatan Mutu RSUD
RSUD yang merupakan Rumah Sakit milik Pemerintah Kabupaten/Kota diharapkan bisa
memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat
sehingga pasien atau konsumen merasa puas terhadap pelayanan yang diberikan. Hal tersebut
dapat diwujudkan dengan menjadikan RSUD sebagai BLU, karena dengan BLU manajemen
RSUD memiliki otonomi yang luas dalam melaksanakan prinsip-prinsip manajemen korporasi
yang efektif dan akuntabel menangkap potensi pasar. Sehingga manajemen dapat
mengembangkan rumah sakit untuk meningkatkan kinerja dan mutu pelayanan. Selain itu,
diharapkan dengan BLU dapat menghilangkan image negatif masyarakat tentang RSUD, dimana
selama ini RSUD sering diidentikkan dengan pelayanan buruk dan untuk masyarakat tidak
mampu.
Beberapa kelebihan RSUD menjadi BLU, diantaranya adalah dimana manajemen rumah
sakit memiliki keleluasaan dalam mengelola keuangannya dan pendayagunaan pendapatannya,
dan rumah sakit tidak menyetorkan pendapatan kepada kas daerah. Hal ini tentu akan
memberikan dampak yang positif terhadap rumah sakit karena rumah sakit diberikan
kewenangan untuk melakukan pengadaan alat kesehatan dan obata-obatan yang bersumber dari
penghasilan rumah sakit tersebut sehinga dapat dapat menjamin keberlansungan pelayanan, serta
memungkinkan manajemen untuk melakukan pengajian pegawai secara proporsional dan
mengembangkan strategi pelayanan. Pendapatan rumah sakit selain dari penghasilan sendiri,
rumah sakit masih mendapat subsidi dari pemerintah seperti biaya gaji pegawai, dan biaya
investasi/modal. Dengan konsep BLU juga membuka kemungkinan rumah sakit untuk
melakukan kerjasama dengan pihak ketiga.
Mengutip pernyataan Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat UI, Prof Ascobat Gani,
menyebut aturan di BLU ini sangat revolusioner. Tapi yang lebih penting, dengan menjadi BLU,
maka pimpinan rumah sakit memiliki hak untuk mengatur penggajian karyawannya. Ini berbeda
dengan aturan sebelumnya, yaitu semua karyawan mendapat gaji sama tanpa membedakan
prestasi atau hasil kerjanya. Dengan BLU pimpinan rumah sakit bisa memberikan honor, insetif,
atau bonus di luar ketentuan gaji. Sehingga tidak ada lagi istilah PGPS alias Pinter Goblok
Pembayaran Sama.
Pengelolaan RSUD dengan prinsip BLU, memungkinkan manajemen untuk meningkatkan
Sumber Daya Manusia (SDM) rumah sakit dan merekrut karyawan sesuai dengan kebutuhan dan
kompetensi yang diinginkan. Penempatan tenaga profesional tidak harus berdasarkan
kepangkatan, penjenjangan dan sejenisnya tetapi lebih di fokuskan pada profesionalisme SDM ,
sehingga dapat menjamin terlaksananya pelayanan rumah sakit yang bermutu sesuai dengan
tujuan dan arah dari BLU.
Perubahan status rumah sakit menjadi BLU saat ini sudah menjadi prioritas bagi banyak
RSUD agar RSUD lebih mandiri dan mampu berkembang menjadi lembaga yang berorientasi
terhadap kepuasaan pelanggan. Namun suata RSUD untuk menjadi BLU tidak diberikan secara
otomatis, tapi sebuah RSUD harus dapat memenuhi berbagai persyaratan, yaitu persyaratan
subtantif, teknis dan administratif. Untuk itu dibutuhkan berbagai persiapan agar bisa memenuhi
persyaratan-persayaratan tersebut. Secara teknis yang menjadi pertimbangan untuk merubah
status RSUD menjadi BLU adalah dengan melihat kinerja pelayanan rumah sakit dan kinerja
keuangan rumah sakit. Jadi BLU merupakan suatu yang harus diraih oleh RSUD itu sendiri
dengan menunjukkan kinerja pelayanan yang baik dan kinerja keuangan yang sehat serta
berusaha memenuhi persyaratan-persyaratan lainnya.
Untuk itu diperlukan sebuah komitmen bersama untuk dapat merubah status RSUD menjadi
BLU. Sehingga dengan BLU diharapkan dapat meningkatkan kinerja rumah sakit untuk
kepentingan publik serta memungkinkan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang
bermutu dari tenaga-tenaga yang professional. Hal ini dapat diwujudkan karena dengan BLU
rumah sakit tidak lagi dikelola secara birokratik tapi di kelola secara enterpreneur namun tetap
mengutamakan fungsi sosial dari pada keuntungan.
Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit
Sebagai Persyaratan BLUD
Rumah Sakit merupakan sumber daya kesehatan yang mempunyai karakteristik dan
organisasi yang sangat kompleks, dimana penyelenggaran pelayanan kesehatan di Rumah sakit
sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan perorangan memerlukan berbagai dukungan
dalam penyelenggaraan upaya kesehatan. Salah satu sumber daya yang terdapat di rumah sakit
adalah sumber daya manusia yang perlu dikelola dengan baik, tenaga kesehatan dengan
perangkat keilmuan yang beragam, berinteraksi satu sama lain, Ilmu pengetahuan dan teknologi
kedokteran yang berkembang sangat pesat yang perlu diikuti oleh tenaga kesehatan dalam rangka
pemberian pelayanan yang bermutu dan terstandarisasi. Pada hakekatnya rumah sakit berfungsi
sebagai tempat penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Fungsi dimaksud memiliki
makna tanggung jawab yang seyogyanya merupakan tanggung jawab pemerintah dalam
meningkatkan taraf kesejahteraan mesyarakat.

Adanya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2005 Tentang


Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal yang terdapat pada:

BAB I :

Ayat 6 : Standar pelayanan Minimal yang selanjutnya disingkat SPM adalah ketentuan tentang
jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh
setiap warga negara secara minimal.

Ayat 7 : Indikator SPM adalah tolak ukur untuk prestasi kuantitatif dan kualitatif yang digunakan
untuk menggambarkan besaran sasaran yang hendak dipenuh didalarn pencapaian suatu SPM
tertentu berupa masukan, proses, hasil dan atau manfaat pelayanan.

Ayat 8 : Pelayanan dasar adalah jenis pelayanan publik yang mendasar dan mutlak untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sosial ekonomi dan pemerintahan.

Demikian pula dalam penjelasan pasal 39 ayat 2 PP RI No 58 tahun 2005 tentang


Pengelolaan Keuangan Daerah menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan standar pelayanan
minimal adalah tolak ukur kinerja dalam menentukan capaian jenis dan mutu pelayanan dasar
yang merupakan urusan wajib daerah.

Standar Pelayanan Minimal terintegrasi di dalam proses penyelenggaraan pelayanan yang


ada di rumah sakit sehingga seluruh sumber daya manusia diharapkan mampu memaknai
indikator-indikator yang ada dalam Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit karena merupakan
kontrak antara pemerintah, masyarakat dan penyedia pelayanan kesehatan yaitu rumah sakit.

Sejak ditetapkan oleh Gubernur Sulawesi Tengah RSUD Undata sebagai Badan Layanan
Umum (BLU) pada tanggal 9 Agustus 2010 hingga saat ini upaya pencapaian Standar Pelayanan
Minimal sudah di galakkan dan diterapkan karena SPM ini adalah salah satu dokumen sebagai
salah satu syarat mutlak untuk menjadi Badan Layanan Umum Daerah. Seluruh unit-unit
pelayanan dan untuk mendorong peningkatan mutu pelayanan di RSUD Undata juga sedang
menggiatkan self assesment melalui elemen-elemen penilaian yang ada pada standar akreditasi
rumah sakit yang mengacu kepada sistem Joint Comission International (JCI) yang telah
dikeluarkan oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) yang dapat mendorong percepatan
akreditasi Rumah sakit Umum Daerah Undata Propinsi Sulawesi Tengah.

Oleh : Drg.Silviani Kesuma, MPH.


Tanya jawab seputar BLUD
Berikut ini adalah tanya jawab terkait dengan persiapan RSUD untuk menjadi BLUD, berisi
rangkuman dari hasil workshop dan konsultasi yang dilakukan oleh PKMK FK UGM dengan
beberapa RSUD di Indonesia. Saat membantu sebuat RSUD dalam persiapan menerapkan PPK
BLUD, tim konsultan/fasilitator seringkali dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan dari RSUD
yang didasari pada kebutuhan untuk mempersiapkan diri dalam melakukan advokasi dengan
Pemda dan DPRD.

1. Mengapa setelah menjadi BLUD, anggaran yang diperlukan oleh RSUD justru lebih
banyak dibandingkan dengan sebelum BLUD?

Jawab:

Anggaran tersebut diperlukan untuk peningkatan pelayanan. Jika selama ini pelayanan RSUD
mutunya dibawah SPM, maka pasti RSUD mendapat banyak komplain dari masyarakat.
Bapak/ibu pejabat daerah juga enggan berobat ke RSUD, dan lebih memilih ke RS swasta atau
ke luar daerah. Mengapa? Karena pelayanan di RSUD dianggap buruk, tidak bermutu, apalagi
bergengsi. Jadi RSUD membutuhkan anggaran tersebut untuk mengangkat kualitas pelayanan
minimal agar sesuai dengan SPM.

Menjadi BLUD bukan berarti kemudian RS menjadi sebagai mesin uang (bagi Pemda). BLUD
berarti menjadikan RS lebih bermutu. Jika RS bermutu, masyarakat yang sakit akan lebih cepat
sehat kembali. Jika mereka sehat, mereka akan lebih produktif, bisa kerja lebih banyak, bisa
membayar pajak lebih banyak. Kalau mereka sakit lebih lama, mereka akan butuh subsidi lebih
banyak. Pemda pilih mana?

2. Apa untungnya BLUD bagi Pemda kalau anggaran/subsidi untuk RSUD malah tambah
banyak (dari proyeksi keuangan di RSB)?

Jawab:

Permendagri 61/2007 Pasal 1 ayat 1 berbunyi: Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya
disingkat BLUD adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah di lingkungan Pemerintah Daerah yang
dibentuk untuk memberikan pelayanan pada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa
yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan, dan dalam melakukan kegiatannya
didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.

Dilain pihak, BLUD atau tidak BLUD, RSUD memiliki misi untuk melayani seluruh lapisan
masyarakat, termasuk orang miskin. Jadi sepanjang RS diwajibkan untuk melayani orang miskin
maka sepanjang itulah subsidi dari pemerintah dibutuhkan. Karena fakir miskin dan anak
terlantar dipelihara oleh negara, bukan oleh RS. Jika sudah jadi BLUD, diharapkan RSUD akan
menjadi lebih efisien. Jadi untungnya bagi Pemda adalah anggaran daerah bisa dimanfaatkan
secara lebih baik, tidak bocor (inefisiensi), tidak salah alokasi (subsidi untuk pelayanan yang
dinikmati oleh bukan orang miskin), dan masih banyak lagi.
3. Lalu dimana letak bedanya antara yang sudah BLUD dengan yang belum?

Jawab:

Bedanya: yang sudah BLUD diharapkan tarifnya sesuai dengan unit cost. Jadi kalau tarif
pelayanan untuk orang miskin lebih rendah dari unit cost, disitulah subsidi pemerintah terjadi.
Pelayanan Kelas III tentunya boleh-boleh saja disubsidi. Namun jangan sampai pelayanan Kelas
VIP dan Kelas I yang disubsidi oleh Pemerintah. Artinya jangan sampai tarif di kelas-kelas
pelayanan tersebut lebih rendah dari unit cost karena itu berarti APBD mensubsidi orang mampu.

4. Mengapa perlu ada insentif khusus/jasa layanan untuk tenaga yang bekerja di RS?
Bukankan mereka sudah mendapat gaji?

Jawab:

Kita perlu memberi insentif tersebut karena profesionalisme, karena orang-orang yang bekerja di
RS merupakan profesi-profesi yang khusus. Semakin langka suatu profesi, makin tinggi
insentifnya. Dan itu berlaku dimanapun di seluruh dunia. Selain itu, terkait juga dengan masalah
risiko pekerjaan. Orang yang bekerja di RS menghadapi berbagai risiko, mulai dari tertular
penyakit pasien sampai risiko tuntutan kalau terjadi kesalahan. Ini perlu dilindungi, salah satunya
dengan memberi insentif lebih. Kemudian terkait masalah kekhususan pekerjaan. Pelayanan di
SKPD lain di daerah kebanyakan tidak buka 24 jam. Jadi Pk. 14.00 para karyawannya sudah bisa
pulang dengan tenang dan besoknya baru melanjutkan pekerjaannya lagi. Orang yang bekerja di
RS tidak bisa seperti itu. Meskipun yang shift pagi bisa pulang ke rumah pukul 14.00, tetap saja
sewaktu-waktu mereka harus ready jika ada masalah di RS, entah dia itu manajemen, apalagi
kalau dia adalah seorang dokter atau perawat.

Karena keterampilannya bersifat khusus, orang-orang yang bekerja di RS saat masih bersekolah
menempuh pendidikan dengan perjuangan yang sangat tidak mudah. Maka wajar jika diberi
insentif yang berbeda dengan SKPD lainnya.

Untuk mendapatkan tingkat profesionalisme seperti yang dimiliki oleh staf yang bekerja di RS
sangat tidak mudah. Diperlukan pengorbanan berupa tenaga, pikiran, waktu dan finansial yang
tidak sedikit untuk menjadi profesi tertentu (misal dokter spesialis, perawat khusus, dan
sebagainya). Pemerintah juga harus bisa memastikan bahwa orang-orang yang bekerja di RS
memiliki kompetensi yang memenuhi standar. Orang-orang yang datang ke RS dengan masalah
kesehatan berarti menyerahkan nasibnya bahkan nyawanya pada tenaga kesehatan. Tentunya
kita tidak ingin masyarakat ini kemudian dilayani oleh tenaga yang tidak kompeten.

5. Banyak kekhawatiran di kalangan pejabat Pemda, bahwa jika RSUD sudah dtetapkan
menjadi BLUD maka tarifnya jadi mahal. Bagaimana menjelaskan hal ini?

Jawab:

Tarif naik atau tidak pasca BLUD, itu kembali pada kebijakan Pemda itu sendiri. Pemda
bertanggung jawab untuk menjamin bahwa semua warganya bisa mengakses pelayanan
kesehatan yang bermutu. Jika ada warganya yang tidak mampu mengakses karena keterbatasan
finansial, mana disitulah tanggung jawab Pemda untuk membelikan pelayanan tersebut bagi
warganya yang tidak mampu dan itulah yang disebut sebagai subsidi. Untuk pelayanan di kelas-
kelas lainnya, jika masih mendapat subsidi dari Pemda maka bisa saja tarifnya tidak naik atau
naik sedikit, sesuai dengan selisih unit cost yang terjadi. Namun pertanyaannya adalah apakah
wajar jika masyarakat yang mampu juga mendapat subsidi dari Pemda?

6. Apa saja yang harus berubah di RSUD jika telah ditetapkan sebagai BLUD?

Jawab:

Menjadi BLUD itu berarti mengubah budaya kerja. Bukan masalah uang saja, tapi mindset harus
ikut berubah. Tadinya biasa dilayani, sekarang melayani. Tadinya pasien butuh RS sekarang
RS butuh pelanggan. Tadinya uang disetor (ke Pemda), sekarang bisa dikelola sendiri (di
rekening RSUD). Jika mindset tidak berubah, bisa dibayangkan bagaimana cara orang-orang
RSUD mengelola uang yang sangat banyak tersebut.

7. Bukankan berubah menjadi BLUD prinsipnya hanya berubah dari dulu setor,
sekarang tidak?

Jawab:

Tidak sesederhana itu. Dulu sebelum BLUD, mentalnya adalah mental setoran dan mental
menghabiskan anggaran sebab jika anggaran tidak terserap/tidak habis, maka akan dianggap
kinerjanya jelek. Sedangkan jika sudah BLUD, mentalnya kebalikan, yaitu harus berhemat, harus
efisien. Jika ada dua barang yang satu seharga Rp 500 yang satubnya lagi seharga Rp 600 dengan
mutu sama, mengapa harus membuang uang Rp 100 meskipun di anggaran sudah direncanakan
Rp 600? Jadi tidak sesederhana dulu setor sekarang tidak. RS harus mulai berpikir
enterpreneurship. Manajer RS dituntut untuk menjadi Manajer sungguhan, bukan sekedar Kepala
RS, Kepala Keuangan, Kepala Perencanaan, Kepala Staf dan seterusnya, tapi sebagai manajer
keuangan, manajer SDM, manajer operasional.

8. Banyak RS yang melaksanakan morning report. Sebenarnya morning report untuk apa?
Dan berapa lama diperlukan waktu untuk melakukan morning report?

Jawab:

Morning report biasanya digunakan sebagai moment untuk berkomunikasi antara manajemen
dengan fungsional sekaligus membahas berbagai masalah yang ada di RS dan menyepakati
solusinya. Dari berbagai masalah yang di-morning-report-kan, baru bisa diketahui butuh berapa
lama untuk melakukan morning report. Idealnya antara 30-60 menit jika dilakukan setiap hari.
Jika hanya seminggu sekali, tentu lebih banyak waktu yang diperlukan karena masalah yang
perlu dibahas sudah terakumulasi dalam seminggu.

Morning report ini juga bisa berfungsi sebagai sarana untuk mengubah budaya organisasi. Jika
pimpinan RS komitmen untuk melaksanakan morning report, harus on time. Misalnya saja
semua sepakat MM dimulai Pk. 7.00. Jadi begitu waktu menunjukkan Pk. 7 MM harus dimulai,
tidak perlu menunggu yang belum datang. Lama kelamaan yang biasa terlambat akan
menyesuaikan diri. (Kebiasaan untuk datang terlambat ke sebuat pertemuan adalah karena
pertemuan sering molor dari undangan.) Namun pimpinan harus memberi contoh. Pimpinan
bukan hanya direktur tapi juga semua pejabat di RS. Semua atasan harus beri contoh pada
bawahan masing-masing. Ini salah satu cara mengubah budaya organisasi. Jika ini berlangsung
secara konsisten, maka komponen-komponen yang ada di dalam RS akan bisa kompak.

Semakin banyak staf RS yang paham tentang BLUD akan semakin baik, sebab nanti para
pimpinan tidak terlalu susah menggerakkan orang-orangnya untuk mencapai tujuan bersama.

9. Mengapa permohonan RSUD untuk menjadi BLUD bisa ditolak? Bagaimana agar bisa
lebih meyakinkan Pemda (dan DPRD)?

Jawab:

Jika syarat administratif (dari hasil penilaian BLUD oleh tim penilai) nilainya kurang dari 60,
maka pasti harus ditolak. Namun ini masih bisa diperbaiki. RS harus melengkapi atau
memperbaiki syarat administrasi tersebut sesuai dengan masukan dari tim penilai. Lalu kemudian
dilakukan penilaian ulang. Jika penyebabnya bukan syarat administratif (misal karena politis) RS
perlu gunakan pendekatan atau advokasi. Gunakan semua peraturan tentang BLUD dan semua
referensi yang terkait sebagai amunisi. Untuk dapat menggunakannya sebagai amunisi, tentu
harus menguasai dulu isi peraturan-peraturan tersebut, dan yang terpenting memahami prinsip
BLUD. Jika semua peraturan sudah dibaca dan dikuasai, pasti bisa memberikan penjelasan yang
logis dan berdasar kuat saat melakukan advokasi.

10. Apa contohnya bahwa RSUD akan lebih efisien jika sudah ditetapkan sebagai PPK
BLUD?

Jawab:

Contoh dulu sebuah RSUD di Jawa Tengah membeli lift untuk pasien seharga Rp 400 juta
dengan penunjukkan langsung. Jika belum BLUD, pengadaan dengan harga setinggi itu harus
melalui lelang. Harga lift ditambah dengan biaya lelang dan sebagainya, maka anggaran yang
dibutuhkan kira-kira menjadi Rp 600 juta. Dalam hal ini BLUD menghemat anggaran
pemerintah sebesar Rp 200 juta. Ini baru dari pengadaan lift.

Contoh lain, BLUD menetapkan tarif berdasarkan unit cost. Jika tarif Kelas III lebih rendah dari
unit cost, maka selisihnya disubsidi oleh pemda. Sedangkan tarif Kelas VIP dan Kelas I tidak
boleh lebih kecil dari unit cost (diatur oleh Perbup). Dan karena ditetapkan dengan Perbup, maka
tarif VIP dan Kelas I bisa dibuat menyesuaikan dengan kenaikan harga-harga, agar tidak
dibawah unit cost. Jika tarif Kelas VIP masih dibawah unit cost (karena ditetapkan melalui Perda
yang sulit diubah) siapa yang akan menanggung selisihnya? Secara tidak disadari, selisih ini
ditutupi oleh APBD. Artinya APBD diserap oleh orang kaya. Dengan kata lain Pemda
mensubsidi orang yang sebenarnya mampu membayar sendiri. Tentu saja ini jauh dari prinsip
efisiensi.
Contoh lain lagi adalah di Perencanaan Tahunan. RBA bersifat fleksibel, jadi bisa mengikuti
kebutuhan RS (pasien). Kalau tidak memerlukan suatu barang/jasa maka RS tidak perlu
membeli, meskipun saat merencanakan hal tersebut dianggarkan. Jika perlu dan kurang, RS bisa
menambah anggaran, meskipun saat perencanaan hal tersebut anggarannya kurang dibandingkan
dengan kebutuhan saat implementasi. Dengan cara ini pasti RS menjadi jauh lebih efisien
dibandingkan butuh nggak butuh tetap beli, dan jika tidak terpakai barang akan numpuk di
gudang sampai expired.

Dalam hal kepegawaian, jika kompetensi seorang karyawan tidak pas dengan kebutuhan RS
(apalagi jika perilakunya juga tidak sesuai dengan budaya kerja yang ingin dikembangkan), bisa
saja dikembalikan staf tersebut ke pemda dengan alasan kinerja (karena BLUD punya ukuran
kinerja). Atau diberhentikan (kalau pegawai yang bersangkutan diangkat oleh BLUD) dan RS
bisa merekrut staf baru yang lebih sesuai. Tentunya ini akan lebih menghemat anggaran
RS/Pemda dibandingkan dengan mempekerjakan orang yang hanya makan gaji buta namun
kinerjanya tidak jelas.
Isu-isu Penting Rumah Sakit Sebagai BLUD
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) adalah unit kerja atau SKPD pemerintah daerah yang
paling banyak diubah statusnya menjadi BLUD (Badan Layanan Umum Daerah). Karakter
RSUD memang sangat cocok dengan status BLUD, misalnya (1) memberikan pelayanan
langsung kepada masyarakat; (2) menarik bayaran atas jasa yang diberikannya; (3) memiliki
lingkungan persaingan yang berbeda dengan SKPD biasa; (4) pendapatan yang diperoleh dari
jasa yang diberikannya cukup signifikan; dan (5)adanya spesialisasi dalam hal keahlian
karyawannya.

Pengangkatan RSUD menjadi BLUD dapat dimaknai sebagai sebuah bentuk keprofesional
pelayanan publik di pemerintahan daerah. Namun, sebagai pihak mengkritik ini karena
sebenarnya menunjukkan bahwa Pemda belum mampu mengelola dan memberdayakan dana
berlimpah yang dimilikinya untuk menyediakan pelayanan publik yang berkualitas. Bahkan ada
yang pesimis bahwa BLUD tidak akan berhasil kecuali hanya menjadi sumber penghasilan bagi
para pengelolanya.

Isu-isu Penting

Ada beberapa isu penting terkait penetapan RSUD sebagai BLUD, di antaranya:

1. Penganggaran. Berbeda dengan SKPD yang menyusun dokumen RKA-SKPD, BLUD


membuat RBA.
2. Pengelolaan keuangan. Fleksibilitas merupakan salah satu alasan mengapa pengelolaan
keuangan BLUD menggunakan pola yang berbeda. BLUD dapat menggunakan
pendapatan yang diperoleh dari pelayanan yang diberikannya (charges) untuk membiayai
operasional BLUD.
3. Penatausahaan dan akuntansi. Penatausahaan dan akuntansi BLUD didasarkan pada
prinsip efektifitas, efisiensi, dan profesionalitas, dan mengikuti apa yang berlaku di
bisnis. Standar akuntansi yang diikuti adalah Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang
dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI).
4. Pertanggungjawaban. Pengelola BLUD menyampaikan pertanggungjawaban kepada
kepala daerah dan laporan keuangan BLUD akan diintegrasikan dengan laporan
keuangan SKPD Pemda lainnya. Oleh karena ada perbedaan antara SAK dengan SAP,
maka harus dilakukan penyesuaian atau konversi dari SAK ke SAP.
5. Kerja sama. Sebagai entitas ekonomi yang diberi keleluasaan untuk memperoleh
pendapatan sendiri, BLUD dapat melakukan kerja sama dengan pihak ketiga, sesuai
dengan fungsi dan bidang bisnisnya. Namun, karena BLUD bukanlah merupakan
kekayaan daerah yang dipisahkan, maka kerja sama yang dilakukan masih dalam
kerangka atau lingkup kekuasaan kepala daerah.
6. Pengadaan barang dan jasa. Bagi RSUD yang berstatus BLUD penuh, sistem
pengadaan barang dan jasa tidak mengikuti Keppres 80/2003. Untuk RSUD, Menteri
Kesehatan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan yang menyatakan bahwa RSUD
yang berstatus BLUD penuh tidak mempedomani Keppres 80.
Peraturan Perundangan tentang BLUD

Pemerintah telah menerbitkan banyak regulasi terkait dengan pengelolaan keuangan BLU dan
BLUD. Berikut disajikan beberapa Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri Keuangan
(PMK), dan Keputusan Menteri Kesehatan terkait dengan BLU dan BLUD.

1. Peraturan Pemerintah No.23/2005 tentang Pengelolan Keuangan Badan Layanan Umum.


(Silahkan unduh di sini)
2. Permendagri No.61/2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan
Layanan Umum Daerah.
3. Peraturan Menteri Keuangan No. 07/PMK.02/2006 tentang Persyaratan Administratif
dalam Rangka Pengusulan dan Penetapan Satuan Kerja Instansi Pemerintah untuk
Menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum.
4. Peraturan Menteri Keuangan No.08/PMK.02/2006 tentang Kewenangan Pengadaan
Barang/Jasa pada Badan Layanan Umum.
5. Peraturan Menteri Keuangan No. 66/PMK.02/2006 tentang Tata Cara Penyusunan,
Pengajuan, Penetapan, dan Perubahan Rencana Bisnis dan Anggaran serta Dokumen
Pelaksanaan Anggaran Badan Layanan Umum.
6. Peraturan Menteri Keuangan No.10/PMK.02/2006 tentang Pedoman Penetapan
Remunerasi bagi Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas, dan Pegawai Badan Layanan
Umum.
7. Peraturan Menteri Keuangan No. 73/PMK.05/2007 tentang Perubahan atas Peraturan
Menteri Keuangan No.10/PMK.02/2006 Tentang Pedoman Penetapan Remunerasi Bagi
Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas, dan Pegawai Badan Layanan Umum.
8. Peraturan Menteri Keuangan No.109/PMK.05/2007 tentang Dewan Pengawas Badan
Layanan Umum.
9. Peraturan Menteri Keuangan No. 119/PMK.05/2007 tentang Persyaratan Administratif
Dalam Rangka Pengusulan dan Penetapan Satuan Kerja Instansi Pemerintah Untuk
Menerapkan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum.
10. Peraturan Menteri Keuangan No.44/PMK.05/2009 tentang Rencana Bisnis dan Anggaran
serta Pelaksanaan Anggaran Badan Layanan Umum.
11. Peraturan Menteri Keuangan No.119/PMK.02/2009 tentang Petunjuk Penyusunan dan
Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dan
Penyusunan, Penelaahan, Pengesahan dan Pelaksanaan Daftar Isian Pelaksanaan
Anggaran Tahun Anggaran 2010.
12. Peraturan Menteri Keuangan No.217/PMK.05/2009 tentang Pedoman Pemberian Bonus
atas Prestasi Bagi Rumah Sakit Eks-Perjan yang Menerapkan Pengelolaan Keuangan
Badan Layanan Umum
13. Keputusan Menteri Kesehatan No. 703/MENKES/SK/IX/2006 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa pada Instansi Pemerintah Pola Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum di Lingkungan Departemen Kesehatan.
14. Peraturan Dirjen Perbendaharaan No. PER-08/PB/2008 tentang Pedoman Penyusunan
Laporan Dewan Pengawas Badan Layanan Umum di Lingkungan Pemerintah Pusat.
Diskusi tentang pengelolaan keuangan BLUD, khususnya RSUD akan tetap hangat dalam
beberapa tahun ke depan, sepanjang peraturan yang dibuat oleh Pemerintah belum sepenuhnya
dipahami atau dapat diimplementasikan oleh Daerah.

Sumber : Syukri Abdulah : http://syukriy.wordpress.com/2010/01/14/rsud-sebagai-blud-isu-isu-


penting/
Ketika rumah sakit menjadi BLUD
Rabu, 18 Desember 2013 09:24 WIB Opini

Oleh : MUHAMMAD SYARIF,S.HI,M.H

Iftitah

Diterbitkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 tentang Pedoman teknis
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah serta di perkuat dengan lahirnyan
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah sakit mengharuskan Pemerintah Daerah
supaya manajemen Rumah Sakit menganut Pola PPK- BLUD dalam rangka meningkatkan
pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Untuk itulah di butuhkan kesiapan daerah dalam rangka
menyahuti regulasi yang ada.

Perkembangan pengelolaan rumah sakit, baik dari aspek manajemen maupun operasional sangat
dipengaruhi oleh berbagai tuntutan dari lingkungan, yaitu antara lain bahwa rumah sakit dituntut
untuk memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu, dan biaya pelayanan kesehatan terkendali
sehingga akan berujung pada kepuasan pasien. Tuntutan lainnya adalah pengendalian biaya.
Pengendalian biaya merupakan masalah yang kompleks karena dipengaruhi oleh berbagai pihak
yaitu mekanisme pasar, tindakan ekonomis, sumber daya manusia yang dimiliki (profesionalitas)
dan yang tidak kalah penting adalah perkembangan teknologi dari rumah sakit itu sendiri.

Rumah sakit sebagai salah satu jenis Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) merupakan ujung
tombak dalam pembangunan kesehatan masyarakat. Namun, tak sedikit keluhan selama ini
diarahkan pada kualitas pelayanan rumah sakit yang dinilai masih rendah. Ini terutama rumah
sakit daerah atau rumah sakit milik pemerintah. Penyebabnya sangat klasik, yaitu masalah
keterbatasan dana yang dimiliki oleh rumah sakit umum daerah dan rumah sakit milik
pemerintah, sehingga tidak bisa mengembangkan mutu layanannya, baik karena peralatan medis
yang terbatas maupun kemampuan sumber daya manusia (SDM) yang rendah.

Pengertian, Tujuan dan Azas BLUD

Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atau
unit kerja pada satuan kerja perangkat daerah dilingkungan pemerintah daerah yang di bentuk
untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/ atau jasa yang
dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya di dasarkan
pada prinsipi efesiensi dan produktivitas.

Tujuan dibentuknya BLUD adalah sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 3 yang
menyebutkan bahwa PPK-BLUD bertujuan meningkatkan kwalitas pelayanan masyarakat
untuk mewujudkan penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah dan/ atau pemerintah daerah dalam
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Adapun azas BLUD
dalah memberikan pelayanan kesehatan dengan praktek bisnis yang sehat, yang pengelolaannya
dilakukan berdasarkan kewenangan yang didelegasikan oleh Kepala Daerah. Artinya ada prinsip-
prinsip yang dibangun dalam manajemen BLUD yang tidak sama dengan SKPD yang lain.
Untuk syarat Substansi dan Teknis agak mudah karena sudah melekat pada Rumah Sakit,
sementara syarat administrasi ini harus benar-benara di godok dan di buat dengan kajian yang
lebih dalam. Ini penting sehingga tidak terkesan nantinya Penerapan BLUD hanya dijadikan
sebagai kendaraan untuk mengejar renumerasi semata.

Rumah Sakit Umum Daerah Sebagai BLUD

Sebagaimana amanah Permendagri Nomor 61 Tahun 2007 tentang Pedoman teknis Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum Daerah, ada 3 syarat utama yang harus di tempuh daerah
dalam rangka mewujudkan rumah sakit menuju BLUD yaitu:

Pertama syarat teknis: Persyaratan terpenuhi apabila (1) kinerja pelayanan dibidang tugas dan
fungsinya layak dikelola dan ditingkatkan pencapaiannya atas rekomendasi sekretaris daerah
untuk SKPD atau Kepala SKPD untuk unit kerja. (2) Kinerja keuangan SKPD sehat. (3)
memiliki potensi untuk meningkatkan penyelenggaraan pelayanan secara efektif, efesien dan
produktif. (4) memiliki spesifikasi teknis yang terkait langsung dengan layanan umum kepada
masyarakat. (5) tingkat kemampuan pendapatan dari layanan yang cenderung meningkat dan
efisien dalam membiayai pengeluaran.

Kedua syarat substantif: Persyaratan ini terpenuhi apabila, (1) tugas dan fungsi SKPD atau unit
kerja bersifat operasional dalam menyelenggarakan pelayanan umum yang menghasilkan semi
barang/jasa publik, (2) penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum untuk meningkatkan
kualitas dan kuantitas pelayanan masyarakat, (3) pengelolaan wilayah/kawasan tertentu untuk
tujuan meningkatkan perekonomian masyarakat atau layanan umum, (4) pengelolaan dana
khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau pelayanan masyarakat.

Ketiga syarat administrasi: persyaratan ini meliputi; (1) surat pernyataan kesanggupan untuk
meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan dan mamfaat bagi masyarakat, (2) pola tata kelola,
(3) rencana strategis bisnis, (4) standar pelayanan minimal, (5) laporan keuangan pokok atau
prognosa/proyeksi laporan keuangan dan (6) laporan audit terakhir atau pernyataan bersedia
untuk diaudit secara independen.

Diantara ke-3 syarat diatas, yang paling agak berat adalah syarat administrasi, untuk itu
Pemerintah Daerah yang akan menerapkan PPK-BLUD pada Rumah Sakit Daerah harus benar-
benar mempersipakan syarat administrasi dengan baik, yang nantinya akan dilakukan penilaiaan
oleh tim yang di tetapkan dengan Keputusan Kepala Daerah.

Pengalaman selama menjadi Tim Penilai BLUD ada 3 Dokumen yang agak berat untuk di susun
meliputi: Dokumen Tata Kelola, Rencana Strategis Bisnis dan Standar Pelayanan Minimal. Perlu
diingat bahwa Dokumen Tata Kelola dan Standar Pelayanan Minimal nantinya ditetapkan
dengan Peraturan Kepala Daerah (Gubernur/Walikota/Bupati).

Ada 5 Kriteria atau Indikator dalam menyusun Standar pelayanan minimal, yaitu :
1. Fokus pada jenis pelayanan, dalam arti mengutamakan kegiatan pelayanan yang menunjang
terwujudnya tugas dan fungsi BLUD;

2. Terukur, merupakan kegiatan yang pencapaiannya dapat dinilai sesuai dengan standar yang
telah ditetapkan;

3. Dapat dicapai, merupakan kegiatan nyata yang dapat dihitung tingkat pencapaiannya, rasional
sesuai kemampuan dan tingkat pemanfaatannya;

4. Relevan dan dapat diandalkan, merupakan kegiatan yang sejalan, berkaitan dan dapat
dipercaya untuk menunjang tugas dan fungsi BLUD;

5. Tepat waktu, merupakan kesesuaian jadwal dan kegiatan pelayanan yang telah ditetapkan.

Rumah Sakit Pemerintah Daerah yang telah menjadi BLUD dapat memungut biaya kepada
masyarakat sebagai imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan. Imbalan atas barang/jasa
layanan yang diberikan tersebut ditetapkan dalam bentuk tarif yang disusun atas dasar
perhitungan biaya per unit layanan atau hasil per investasi dana. Tarif layanan diusulkan oleh
rumah sakit kepada menteri keuangan/menteri kesehatan/kepala SKPD sesuai dengan
kewenangannya, dan kemudian ditetapkan oleh kepala daerah dengan peraturan kepala daerah.

Terkait penetapan tarif, nantinya dibedakan menjadi 2 bagian yaitu Tarif bisnis dan Tarif Umum.
Untuk tarif bisnis besaran nya ditentapkan dengan Peraturan Kepala Daerah, sedangkan untuk
tarif umum (Golongan III) besaranya ditetapkan dengan Qanun.

Urgensi Pendampingan dalam menyusun Dokumen BLUD

Mencermati persyaratan sebagaimana dimaksud pada Permendagri Nomor 61 Tahun 2007,


kiranya Pemerintah Daerah dapat bekerjasama dengan lembaga yang sudah berpengalam di
bidang pelayanan kesehatan. Menurut Kajian Aceh Research Institute, untuk kondisi Aceh,
Center for Health Managemen Service (CHSM) Unsyiah dinilai sebagai lembaga yang tepat
dalam melakukan proses pendampingan dalam menyusun Dokumen Administrasi Rumah Sakit
menuju BLUD. Lembaga yang dibentuk tahun 2008, telah banyak melakukan berbagai pelatihan
kepada Instansi Pemerintah dalam rangka peningkatan kwalitas pelayanan Kesehatan dan
Manajemen Rumah Sakit.

Lembaga ini juga telah melahirkan kurang lebih 8 Rumah Sakit di Aceh bahkan luar Aceh
menjadi BLUD, sebut saja RSUD Meuraxa Kota Banda Aceh, RSUD Yulidin Away Kab. Aceh
Selatan, Rumah Sakit Ibu dan Anak Propinsi Aceh, Rumah Sakit Idi Kab.Aceh Timur, Rumah
Sakit Pirngadi Sumatera Utara, Rumah Sakit Pandan, Tapanuli Utara, RSUD Pidie.

Oleh karena itu tidak berlebihan kalau Pemerintah Daerah menjadikan CHSM Unsyiah sebagai
mitra kerja dalam melakukan pembenahan Manajemen Rumah Sakit Umum Daerah di Aceh.

Tentunya masyarakat akan berharap bayak mampukan spirit Undang-Undang Nomor 44 Tahun
2009 menjadi tonggak sejarah baru dalam dunia Manajemen Rumah Sakit Umum Daerah.
Semoga saja Rumah Sakit Pasca berubah Status menjadi PPK-BLUD menjadi lebih profesional
dan mandiri serta lebih bagus dalam pelayanannya bagi masyarakat sehingga diharapkan tidak
ada lagi rakyat Aceh yang berobat ke Penang. Wallahu `alam bishawab
Rumah Sakit Sebagai Badan Layanan Umum
December 25, 2012 by rhyerhiathy

RUMAH SAKIT SEBAGAI BADAN LAYANAN UMUM

Badan layanan umum adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan atau jasa yang dijual
tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada
prinsip efisiensi dan produktivitas. Berdasar PP no: 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum, tujuan BLU adalah meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa
dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip eknomi dan
produktivitas dan penerapan praktik bisnis yang sehat. Praktik bisnis yang sehat artinya
berdasarkan kaidah manajemen yang baik mencakup perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, pengendalian dan pertanggungjawaban.

Secara umum asas badan layanan umum adalah pelayanan umum yang pengelolaannya
berdasarkan kewenangan yang didelegasikan, tidak terpisah secara hukum dari instansi
induknya.

Asas BLU yang lainnya adalah:

1. Pejabat BLU bertanggungjawab atas pelaksanaan kegiatan layanan umum kepada pimpinan
instansi induk,
2. BLU tidak mencari laba,
3. Rencana kerja, anggaran dan laporan BLU dan instansi induk tidak terpisah,
4. Pengelolaan sejalan dengan praktik bisnis yang sehat.

Persyaratan BLU yaitu

1. Persyaratan substantif BLU, fungsi dasar pelayanan public. Memperoleh imbalan atas
seluruh/sebagian layanan berupa barang/jasa yang diberikan kepada masyarakat (fungsi cost
sharing). Harus berorientasi pada layanan publik/masyarakat. Oleh karenanya, BLU tidak
mengutamakan mencari keuntungan.
2. Persyaratan keuangan/administratif diatur oleh Menteri Keuangan/Pejabat Pengelola Keuangan
Daerah. Persyaratan administratif termasuk keuangan di bawah ini digunakan oleh Kementerian
Keuangan untuk menentukan suatu unit pemerintah dapat diberikan status Kandidat BLU atau
BLU. Suatu unit dapat langsung atau secara bertahap memperoleh status BLU tergantung
kesiapan dan kemampuan memenuhi persyaratan BLU.

2. Persyaratan teknis BLU diatur oleh Kementerian/Lembaga teknis/satker perangkat daerah yang
bersangkutan. Upaya pendirian sebuah BLU memperhatikan kriteria teknis yang ditentukan oleh
masing-masing kementerian negara/lembaga yang bersangkutan. Kriteria tersebut antara lain
meliputi aspek jenis dan mutu layanan produk, aspek kinerja keuangan, dan aspek manfaat
pelayanan bagi masyarakat.

Pilar utama dalam pelaksanaan PPK-BLU adalah mempromosikan (1) peningkatan kinerja
pelayanan publik; (2) fleksibilitas pengelolaan keuangan; dan (3) tata kelola yang baik (good
governance).

Karakteristik BLU terdiri dari:

(1) Berkedudukan sebagai instansi pemerintah (bukan kekayaan negara yang dipisahkan);

(2) Menghasilkan barang dan/atau jasa yang seluruhnya/sebagian dijual kepada publik;

(3) Tidak bertujuan mencari keuntungan;

(4) Dikelola secara otonom dengan prinsip efisiensi dan produktivitas ala korporasi

(5) Rencana kerja, anggaran, dan pertanggungjawaban dikonsolidasikan pada instansi induk;

(6) Pendapatan operasional dan sumbangan dapat digunakan langsung;

(7) Pegawai dapat terdiri dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Non-PNS.

PPK-BLU memberikan fleksibilitas dalam rangka pelaksanaan anggaran, termasuk pengelolaan


pendapatan dan belanja, pengelolaan kas, dan pengadaan barang/jasa. Tetapi sebagai
pengimbang, BLU dipegang ketat dalam perencanaan dan penganggarannya, serta dalam
pertanggungjawabannya. BLU wajib mengkalkulasi harga pokok dari layanannya dengan
kualitas dan kuantitas yang distandarkan oleh menteri teknis pembina. Demikian pula dalam
pertanggungjawabannya, BLU harus mampu menghitung dan menyajikan anggaran yang
digunakannya dalam kaitannya dengan layanan yang telah direalisasikan.

Alasan Rumah Sakit Pemerintah Dijadikan BLU

Diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Badan Layanan Umum (BLU) adalah sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 69 ayat (7)
UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. PP tersebut bertujuan untuk
meningkatkan pelayanan publik oleh Pemerintah, karena sebelumnya tidak ada pengaturan yang
spesifik mengenai unit pemerintahan yang melakukan pelayanan kepada masyarakat yang pada
saat itu bentuk dan modelnya beraneka macam.

Jenis BLU disini antara lain rumah sakit, lembaga pendidikan, pelayanan lisensi, penyiaran, dan
lain-lain. Rumah sakit sebagai salah satu jenis BLU merupakan ujung tombak dalam
pembangunan kesehatan masyarakat. Namun, tak sedikit keluhan selama ini diarahkan pada
kualitas pelayanan rumah sakit yang dinilai masih rendah. Ini terutama rumah sakit daerah atau
rumah sakit milik pemerintah. Penyebabnya sangat klasik, yaitu masalah keterbatasan dana yang
dimiliki oleh rumah sakit umum daerah dan rumah sakit milik pemerintah, sehingga tidak bisa
mengembangkan mutu layanannya, baik karena peralatan medis yang terbatas maupun
kemampuan sumber daya manusia (SDM) yang rendah.

Perkembangan pengelolaan rumah sakit, baik dari aspek manajemen maupun operasional sangat
dipengaruhi oleh berbagai tuntutan dari lingkungan, yaitu antara lain bahwa rumah sakit dituntut
untuk memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu, dan biaya pelayanan kesehatan terkendali
sehingga akan berujung pada kepuasan pasien. Tuntutan lainnya adalah pengendalian biaya.
Pengendalian biaya merupakan masalah yang kompleks karena dipengaruhi oleh berbagai pihak
yaitu mekanisme pasar, tindakan ekonomis, sumber daya manusia yang dimiliki (profesionalitas)
dan yang tidak kalah penting adalah perkembangan teknologi dari rumah sakit itu sendiri. Rumah
sakit pemerintah yang terdapat di tingkat pusat dan daerah tidak lepas dari pengaruh
perkembangan tuntutan tersebut.

Dipandang dari segmentasi kelompok masyarakat, secara umum rumah sakit pemerintah
merupakan layanan jasa yang menyediakan untuk kalangan menengah ke bawah, sedangkan
rumah sakit swasta melayani masyarakat kelas menengah ke atas. Biaya kesehatan cenderung
terus meningkat,dan rumah sakit dituntut untuk secara mandiri mengatasi masalah tersebut.
Peningkatan biaya kesehatan menyebabkan fenomena tersendiri bagi rumah sakit pemerintahan
karena rumah sakit pemerintah memiliki segmen layanan kesehatan untuk kalangan menengah
ke bawah. Akibatnya rumah sakit pemerintah diharapkan menjadi rumah sakit yang murah dan
bermutu.

Standar Pelayanan dan Tarif Layanan Rumah Sakit Pemerintah Daerah yang telah menjadi BLU
/ BLUD menggunakan standar pelayanan minimum yang ditetapkan oleh menteri/pimpinan
lembaga /gubernur /bupati /walikota sesuai dengan kewenangannya, harus mempertimbangkan
kualitas layanan, pemerataan dan kesetaraan layanan, biaya serta kemudahan untuk mendapatkan
layanan.

Rumah Sakit Sebagai BLU: Tinjauan Aspek Pelaporan Keuangan Dan


Pertanggungjawabannya

Paket undang-undang bidang keuangan negara merupakan paket reformasi yang signifikan di
bidang keuangan negara yang kita alami sejak kemerdekaan. Undang-undang Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara, yang menekankan basis kinerja dalam penganggaran, memberi
landasan yang penting bagi orientasi baru tersebut di Indonesia.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara membuka koridor baru
bagi penerapan basis kinerja dalam penganggaran di lingkungan pemerintah. Instansi pemerintah
yang tugas pokok dan fungsinya memberi pelayanan kepada masyarakat dapat menerapkan pola
pengelolaan keuangan yang fleksibel dengan menonjolkan produktivitas, efisiensi, dan
efektivitas dalam segala aktivitasnya. Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), diharapkan
menjadi contoh konkrit yang menonjol dari penerapan manajemen keuangan berbasis pada hasil
(kinerja). Peluang ini secara khusus menyediakan kesempatan bagi satuan-satuan kerja
pemerintah yang melaksanakan tugas operasional pelayanan publik, untuk membedakannya dari
fungsi pemerintah sebagai regulator dan penentu kebijakan.
Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah Satuan kerja Perangkat
Daerah atau Unit Kerja pada Satuan Kerja Perangkat Daerah di lingkungan pemerintah daerah
yang dibentuk untuk memberikan pelayanan pada masyarakat berupa penyediaan barang
dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan, dan dalam melakukan
kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Organisasi BLU cenderung
sebagai organisasi nirlaba kepemerintahan Sesuai dengan PP No:23 tahun 2005 pasal 26
menyebutkan bahwa akuntansi dan laporan keuangan diselenggarakan sesuai dengan

Standar Akuntansi keuangan (SAK) yang diterbitkan oleh asosiasi profesi akuntansi Indonesia.
Ketentuan ini mengakibatkan ketidakkonsistensian yaitu bahwa organisasi BLU yang cenderung
sebagai organisasi kepemerintahan tetapi pelaporan akuntansi menggunakan PSAK (standar
akuntansi keuangan ), bukan menggunakan PSAP (Standar akuntansi pemerintahan).

Standar akuntansi pemerintah disusun oleh komite standar akuntansi pemerintah(KSAP). Standar
ini digunakan untuk organisasi kepemerintahan dan merupakan pedoman dalam penyususnan
dan penyajian laporan keuangan. SAP dinyatakan dalam PSAP. Organisasi pemerintahan sebagai
organisasi yang nirlaba semestinya menggunakan SAP bukan SAK. Oleh karena itu jika rumah
sakit pemerintah sebagai badan layanan umum semestinya juga menggunakan SAP bukan SAK,
namun dalam PP disebutkan badan layanan umum sebagai institusi yang nirlaba menggunakan
SAK. Dalam hal ini SAK yang tepat adalah PSAK no 45 yaitu standar akuntansi keuangan untuk
organisasi nirlaba.

1. Mengukur jasa atau manfaat entitas nirlaba,


2. Pertanggungjawaban manajemen entitas rumah sakit, (disajikan dalam bentuk laporan aktivtias
dan laporan arus kas)
3. Mengetahui kontinuitas pemberian jasa, (disajikan dalam bentuk laporan posisi keuangan)
4. Mengetahui perubahan aktiva bersih, (disajikan dalam bentuk laporan aktivitas)

Dengan demikian laporan keuangan rumah sakit pemerintahan akan mencakup:

1. Laporan posisi keuangan (aktiva, utang dan aktiva bersih, tidak disebut neraca). Klasifikasi aktiva
dan kewajiban sesuai dengan perusahaan pada umumnya. Sedangkan aktiva bersih
diklasifikasikan aktiva bersih tidak terikat, terikat kontemporer dan terikat permanen. Yang
dimaksud pembatasan permanen adalah pembatasan penggunaan sumber daya yang
ditetapkan oleh penyumbang. Sedangkan pembatasan temporer adalah pembatasan
penggunaan sumber daya oleh penyumbang yang menetapkan agar sumber daya tersebut
dipertahankan sampai pada periode tertentu atau sampai dengan terpenuhinya keadaan
terntentu
2. Laporan aktivitas, (yaitu penghasilan, beban dan kerugian dan perubahan dalan aktiva bersih)
3. Laporan arus kas yang mencakup arus kas dari aktivtitas operasi, aktivtais investasi dan aktivtias
pendanaan
4. Catatan atas laporan keuangan, antara lain sifat dan jumlah pembatasan permanen atau
temporer. dan perubahan klasifikasi aktiva bersih

Laporan keuangan rumah sakit diaudit oleh auditor independen Adapun Laporan Keuangan
rumah sakit pemerintah daerah sebagai BLU yang disusun harus menyediakan informasi untuk:
1. Mengukur jasa atau manfaat bagi entitas yang bersangkutan;

2. Pertanggungjawaban manajemen rumah sakit (disajikan dalam bentuk laporan aktivitas dan
laporan arus kas);

3. Mengetahui kontinuitas pemberian jasa (disajikan dalam bentuk laporan posisi keuangan);

4. Mengetahui perubahan aktiva bersih (disajikan dalam bentuk laporan aktivitas).

Dalam hal konsolidasi laporan keuangan rumah sakit pemerintah daerah dengan laporan
keuangan kementerian negara/lembaga, maupun laporan keuangan pemerintah daerah, maka
rumah sakit pemerintah daerah sebagai BLU/BLUD mengembangkan sub sistem akuntansi
keuangan yang menghasilkan Laporan Keuangan sesuai dengan SAP

Berdasarkan PMK No. 76/PMK.05/2008 tentang Pedoman Akuntansi Dan Pelaporan Keuangan
Badan Layanan Umum dan sesuai pula dengan Pasal 27 PP No. 23 tahun 2005, maka rumah
sakit pemerintah daerah dalam rangka pertanggung jawaban atas pengelolaan keuangan dan
kegiatan pelayanannya, menyusun dan menyajikan : 1. Laporan Keuangan; dan 2. Laporan
Kinerja.Laporan Keuangan tersebut paling sedikit terdiri dari: 1. Laporan Realisasi Anggaran
dan atau Laporan Operasional; 2. Neraca; 3. Laporan Arus Kas; dan 4. Catatan atas Laporan
Keuangan.

Laporan Keuangan rumah sakit pemerintah daerah sebelum disampaikan kepada entitas
pelaporan direview oleh satuan pemeriksaan intern, namun dalam hal tidak terdapat satuan
pemeriksaan intern, review dilakukan oleh aparat pengawasan intern kementerian negara/
lembaga. Review ini dilaksanakan secara bersamaan dengan pelaksanaan anggaran dan
penyusunan Laporan Keuangan BLU. Sedangkan Laporan Keuangan tahunan BLU diaudit oleh
auditor eksternal.

BLU sebagai Instansi Satuan Kerja Perangkat Daerah Dipimpin oleh Pejabat Pengguna
Anggaran yang berwenang/bertugas :

1. Menyusun RKA
2. Menyusun DPA
3. Melaksanakan anggaran belanja satker
4. Melakukan pengujian atas tagihan dan memerintahkan pembayaran
5. Melaksanakan pemungutan penerimaan bukan pajak
6. Mengelola utang dan piutang
7. Menggunakan barang milik Daerah
8. Mengawasi pelaksanaan anggaran
9. Menyusun dan menyampaikan laporan keuangan

Rumah Sakit Sebagai Blu: Tinjauan Dari Aspek Teknis Keuangan

Rumah sakit pemerintah dituntut untuk menjadi rumah sakit yang murah dan bermutu. Dalam
pengelolaannya rumah sakit pemerintah memiliki peraturan pendukung yang terkait dengan
pengelolaan keuangan yang fleksibel. Berdasar PP no: 23 tahun 2005 tersebut rumah sakit
pemerintah telah mengalami perubahan sebagai badan layanan umum. Perubahan kelembagaan
ini berimbas pada pertanggungjawaban keuangan bukan lagi kepada departemen kesehatan tetapi
kepada departemen keuangan.

Sebagaimana telah diuraikan di atas dari aspek pelaporan keuangan yang harus mengikuti
standar akuntansi keuangan, maka dalam pengelolaan teknis keuangan pun harus
diselenggarakan dengan mengacu pada prinsip-prinsip akuntanbilitas, transparansi dan efisiensi.
Anggaran yang disusun rumah sakit pemeritah juga harus disusun dengan berbasis kinerja
(sesuai dengan Kepmendagri no 29 tahun 2002). Berdasar prinsip-prinsip tersebut, aspek teknis
keuangan perlu didukung

adanya hubungan yang baik dan berkelanjutan antara rumah sakit,dengan pemerintah dan dengan
para stakeholder, khususnya dalam penentuan biaya pelayana kesehatan yang mencakup unit
cost, efisiensi dan kualitas pelayanan. Yang perlu dipertimbangankan lagi adalah adalah adanya
audit atau pemeriksaan bukan saja dari pihak independen terhadap pelaporan keuangan tetapi
juga perlu audit klinik. Dengan berubahnya kelembagaan sebagai BLU tentu saja aspek teknis
sangat berhubungan erat dengan basis kinerja

Sesuai dengan syarat-syarat BLU bahwa yang dimaksud dengan persyaratan substantif,
persyaratan teknis dan persyaratan admnistratif adalah berkaitan dengan standar layanan,
penentuan tarif layanan, pengelolaan keuangan,tata kelola semuanya harus berbasis kinerja. Hal-
hal yang harus dipersiapkan bagi rumah sakit untuk menjadi BLU dalam aspek teknis keuangan
adalah:

1. Penentuan tarif harus berdasar unit cost dan mutu layanan. Dengan demikian rumah sakit
pemerintah harus mampu melakukan penelusuran (cost tracing) terhadap penentuan segala
macam tarif yang ditetapkan dalam layanan. Selama ini aspek penentuan tarif masih berbasis
aggaran ataupun subsidi pemerintah sehingga masih terdapat suatu cost culture yang tidak
mendukung untuk peningkatan kinerja atau mutu layanan. Penyusunan tarif rumah sakit
seharusnya berbasis pada unit cost, pasar (kesanggupan konsumen untuk membayar dan
strategi yang diipilih. Tarif tersebut diharapkan dapat menutup semua biaya, diluar subsidi yang
diharapkan. Yang perlu diperhatikan adalah usulan tarif jangan berbasis pada presentase
tertentu namun berdasar pada kajian yang dapat dipertanggungjawabkan. Secara umum
tahapan penentuan tarif harus melalui mekanisme usulan dari setiap divisi dalam rumah sakit
dan aspek pasar dan dilanjutkan kepada pemilik. Pemilik rumah sakit pemerintah adalah
pemerintah daerah dan DPRD.

1. Penyusunan anggaran harus berbasis akuntansi biaya bukan hanya berbasis subsidi dari
pemerintah. Dengan demikian penyusunan anggaran harus didasari dari indikator input,
indikator proses dan indikator output.
2. Menyusun laporan keuangan sesuai dengan PSAK 45 yang disusun oleh organsisasi profesi
akuntan dan siap diaudit oleh Kantor Akuntan Independen bukan diaudit dari pemerintah.
3. Sistem remunerasi yang berbasis indikator dan bersifat evidance based. Dalam penyusunan
sistem remunerasi rumah sakit perlu memiliki dasar pemikiran bahwatingkatan pemberian
remunerasi didasari pada tingkatan, yaitu tingkatan satu adalah basic salary yang merupakan
alat jaminan safety bagi karyawan. Basic salary tidak dipengaruhi oleh pendapatan rumah sakit.
Tingkatan dua adalah incentives yaitu sebagai alat pemberian motivasi bagi karyawan.
Pemberian incentives ini sangat dipengaruhi oleh pendapatan rumah sakit. Tingkatan yang
ketiga adalah bonus sebagai alat pemberian reward kepada karyawan.Pemberian bonus ini
sangat dipengaruhi oleh tingkat keuntungan rumah sakit. Implementasi aspek teknis keuangan
bagi rumah sakit ini akan menjadi nilai plus dalam upayanya untuk peningkatan kualitas jasa
layanan dan praktik tata kelola yang transparan. Perhitungan dan penelusuran terhadap unit
cost memerlukan persyaratan sebagai berikut:
1. Menuntut adanya dukungan dari para stakeholder,
2. Memiliki keinginan yang kuat dari rumah sakit untuk berbenah, tanpa meninggalkan
misi layanan sosial tetapi harus tetap mengunggulkan rumah sakit sebagai alat
bargaining position,
3. Kesanggupan untuk mewujudkan desakan akuntabilitas dari publik kepada rumah sakit,
khususnya mengenai pola penentuan tariff,
4. 4. Dukungan dari seluruh tim ahli, baik ahli medis, komite medis, sistem informasi
rumah sakit, akuntansi dan costing.

Dengan implementasi perubahan kelembagaan menjadi badan layanan umum, dalam aspek
teknis keuangan diharapkan rumah sakit akan memberi kepastian mutu dan kepastian biaya
menuju pada pelayanan kesehatan yang lebih baik.

Pendapatan dan belanja BLU tetap merupakan bagian APBD dengan aset yang tidak dipisahkan.
Namun lembaga ini tidak mengutamakan mencari keuntungan semata, lebih memprioritaskan
pelayanan masyarakat. Selain itu, peran pemerintah daerah dalam pembiayaan juga tetap.

BLU di sini beroperasi sebagai unit kerja pemerintah daerah bertujuan memberikan layanan
umum yang pengelolaannya berdasarkan kewenangan yang didelegasikan oleh instansi induk
bersangkutan. Sesuai dengan asas yang diamanatkan, BLU mengelola penyelenggaraan layanan
umum sejalan dengan praktek bisnis yang sehat.

Rumah Sakit Pemerintah Daerah yang telah menjadi BLU/ BLUD menggunakan standar
pelayanan minimum yang ditetapkan oleh menteri/ pimpinan lembaga/ gubernur/ bupati/
walikota sesuai dengan kewenangannya, harus mempertimbangkan kualitas layanan, pemerataan
dan kesetaraan layanan, biaya serta kemudahan untuk mendapatkan layanan. Dalam hal rumah
sakit pemerintah di daerah (RSUD) maka standar pelayanan minimal ditetapkan oleh kepala
daerah dengan peraturan kepala daerah. Standar pelayanan minimal tersebut harus memenuhi
persyaratan, yaitu :

1. Fokus pada jenis pelayanan, dalam arti mengutamakan kegiatan pelayanan yang menunjang
terwujudnya tugas dan fungsi BLU/ BLUD;
2. Terukur, merupakan kegiatan yang pencapaiannya dapat dinilai sesuai dengan standar yang
telah ditetapkan;
3. Dapat dicapai, merupakan kegiatan nyata yang dapat dihitung tingkat pencapaiannya, rasional
sesuai kemampuan dan tingkat pemanfaatannya;
4. Relevan dan dapat diandalkan, merupakan kegiatan yang sejalan, berkaitan dan dapat dipercaya
untuk menunjang tugas dan fungsi BLU/ BLUD; dan
5. Tepat waktu, merupakan kesesuaian jadwal dan kegiatan pelayanan yang telah ditetapkan.
Rumah Sakit Pemerintah Daerah yang telah menjadi BLU/ BLUD dapat memungut biaya kepada
masyarakat sebagai imbalan atas barang/ jasa layanan yang diberikan. Imbalan atas barang/ jasa
layanan yang diberikan tersebut ditetapkan dalam bentuk tarif yang disusun atas dasar
perhitungan biaya per unit layanan atau hasil per investasi dana.

Tarif layanan diusulkan oleh rumah sakit kepada menteri keuangan/ menteri kesehatan/ kepala
SKPD sesuai dengan kewenangannya, dan kemudian ditetapkan oleh menteri keuangan/ kepala
daerah dengan peraturan menteri keuangan/ peraturan kepala daerah. Tarif layanan yang
diusulkan dan ditetapkan tersebut harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

1. Kontinuitas dan pengembangan layanan;

2. Daya beli masyarakat;

3. Asas keadilan dan kepatutan; dan

4. Kompetisi yang sehat.

Pembiayaan Rumah Sakit BLU

Rumah sakit BLU memperoleh dana APBN untuk biaya operasional dan belanja modal. Biaya
operasional biasanya digunakan untuk biaya gaji pegawai dan biaya pemeliharaan aktiva tetap.
Sedangkan belanja modal adalah pengeluaran untuk pembelian tanah dan pembangunan gedung,
yang dikapitalisasi di Neraca dan dicatat sebagai penambahan Aktiva Tetap. Pada saat
pembuatan RBA, BLU mengajukan rencana bisnis dan anggaran ke departemen induk untuk
mendapat persetujuan. Departemen induk akan memasukkan anggaran yang diminta dalam
Rencana Kerja dan Anggaran (selanjutnya disebut RKA) departemen yang bersangkutan. RBA
BLU dikonsolidasikan dengan RKA dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari RKA
Kementerian/Lembaga. Pendapatan dan Belanja BLU dalam RKA tahunan dikonsolidasikan
dalam RKA Kementerian/Lembaga.

Surplus Anggaran BLU dapat digunakan dalam tahun anggaran berikutnya, kecuali atas perintah
KDH, disetorkan sebagian atau seluruhnya ke Kas Umum Daerah, dengan mempertimbangakan
posisi Likuiditas BLU. Defisit Anggaran BLU dapat diajukan pembiayaan dalam tahun anggaran
berikutnya kepada PPKD. PPKD dapat mengajukan anggaran untuk menutupi difisit pelaksanaan
anggaran BLU dalam APBD tahun anggaran berikutnya

Penerimaan Lembaga Dimasukkan dalam Anggaran Pemerintah Pusat atau Daerah

Pendapatan BLU, baik penghasilan operasional maupun non-operasional, sumbangan pihak


ketiga atau hibah, merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (selanjutnya disebut PNBP).
Pendapatan BLU seperti diuraikan di atas telah dikonsolidasikan dalam RKA departemen atau
lembaga yang membawahinya, yang kemudian akan digabungkan dalam APBN Pemerintah dan
disahkan oleh DPR. Laporan keuangan unit-unit usaha yang diselenggarakan oleh BLU
dikonsolidasikan dalam laporan keuangan. Laporan unit-unit usaha ini dapat dimasukkan dalam
pendapatan operasional maupun non-operasional, misalnya pendapatan dari kerjasama operasi
dengan pihak ketiga, pendapatan pengelolaan dan sewa kantin untuk pegawai atau untuk umum.

Laporan keuangan BLU disampaikan kepada kementerian/ lembaga. RKA dan Laporan
Keuangan BLU merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari RKA dan Laporan Keuangan
Kementerian Negara/Lembaga. pendapatan dan Belanja BLU dalam RKA tahunan
dikonsolidasikan dalam RKA Kementerian Negara/Lembaga. Laporan keuangan BLU
dilampirkan pada laporan keuangan kementerian negara/lembaga Laporan keuangan BLU
digabungkan dengan Laporan Keuangan kementerian negara/lembaga sesuai SAP.

Keuntungan BLU Bagi Rumah Sakit

Keuntungan BLU bagi rumah sakit yaitu :

1. Tata kelola keuangan RS lebih baik dan transparan karena menggunakan pelaporan standar
akutansi keuangan yang memberi informasi tentang laporan aktivitas, laporan posisi keuangan,
laporan arus kas dan catatan laporan keuangan.
2. RS masih mendapat subsidi dari pemerintah seperti biaya gaji pegawai, biaya operasional, dan
biaya investasi atau modal.
3. pendapatan RS dapat digunakan langsung tidak disetor ke kantor kas Negara, hanya dilaporkan
saja ke Departemen Keuangan.
4. RS dapat mengembangkan pelayanannya karena tersedianya dana untuk kegiatan operasional
RS.
5. Membantu RS meningkatkan kualitas SDM nya dengan perekrutan yang sesuai kebutuhan dan
kompetensi.
6. Adanya insentif dan honor yang bisa diberikan kepada karyawan oleh pimpinan RS.
Format Standar Pelayanan Minimal *)
Posted on May 22, 2010 by triandyn

Banyak yang sering keliru dalam menerjemahkan SPM sebuah Rumah Sakit. Sebagai contoh,
sebuah rumah sakit memiliki visi menjadi pelayanan unggulan bagi masyarakat di daerahnya.
Indikator tercapainya pelayanan unggulan tersebut adalah tercapainya SPM. Ini tentu saja keliru
sebab SPM (Standar Pelayanan Minimal) adalah merupakan batas bawah dari kemampuan
sebuah rumah sakit. Jadi input, proses dan output dari sebuah RS tidak boleh kurang dari batas
bawah yang telah ditetapkan tersebut.

Jika dianalogikan dengan anak sekolah, seorang anak dikatakan sudah menguasai pelajaran
sebelumnya dan boleh melanjutkan ke level berikutnya jika ia mampu melewati ujian/tes
evaluasi dengan nilai tidak kurang dari 6. Mendapat nilai 6 atau lebih adalah pertanda (indikator)
bahwa si anak sudah menguasai pelajaran sebelumnya. Jika nilainya kurang dari 6, maka itu
adalah pertanda bahwa ia harus mengulang. Jika anak tersebut ingin menjadi unggulan (juara
kelas), maka tidak cukup dengan nilai 6 (batas bawah). Ia harus mampu melewati tes tersebut
dengan nilai setinggi-tingginya, mengalahkan teman-temannya yang lain. Saat ia memperoleh
nilai tertinggi maka ia disebut sebagai juara. Ini adalah indikator bahwa ia unggul dibandingkan
dengan pesaing-pesaingnya.

Jadi indikator SPM tentu saja berbeda dengan indikator visi. Indikator SPM diciptakan supaya
pelayanan di RS tidak lebih rendah dari batas minimal yang diijinkan, untuk menjamin
keselamatan pasien maupun petugas. SPM ini merupakan janji Pemerintah dan RS yang
bersangkutan bahwa pelayanan yang akan diberikan kepada masyarakat tidak akan lebih rendah
dari nilai-nilai yang tercantung dalam SPM tersebut. Oleh karena itu SPM harus ditandatangani
oleh pemerintah dari RS yang menerapkan BLUD.

Menyusun SPM tidak mudah. Diperlukan komitmen dari seluruh komponen yang ada di rumah
sakit untuk menyepakati mengenai indikator yang akan digunakan untuk mengukur mutu
pelayanan, cara mengukurnya, batas waktu pencapaian, dan sebagainya, hingga alokasi anggaran
yang diperlukan untuk mencapai SPM tersebut. Menurut Permendagri No. 61 Tahun 2007,
format SPM untuk Badan Layanan Umum Daerah adalah sebagai berikut.
Sebuah Standar Pelayanan Minimal harus memuat komponen: indikator, dimensi mutu, tujuan
indikator, rasionalisasi, definisi termonilogi yang akan digunakan, frekuensi updateing
(pengumpulan) data, periode dilakukannya analisis, numerator (pembilang), denominator
(penyebut), standar pencapaian (treshold/target) dan sumber data (nominator dan denominator).

Untuk menyusun SPM secara utuh dan kemudian dituangkan kedalam Perda, outline atau
kerangka yang dapat digunakan adalah sebagai berikut.

Bab I Pendahuluan yang terdiri dari;


o Latar Belakang
o Maksud dan tujuan
o Pengertian umum dan khusus
o Landasan Hukum
Bab II Sistematika Dokumen Standar Pelayanan Minimal Rumahsakit
Bab III Standar Pelayanan Minimal Rumahsakit.
o Jenis Pelayanan
o SPM setiap jenis pelayanan,Indikator dan Standar
Penutup
Lampiran

*) dari berbagai sumber


STANDART PELAYANAN DAN TARIF LAYANAN RUMAH SAKIT
Standar pelayanan dan tarif layanan Rumah sakit Pemerintah Daerah yang telah menjadi
BLU/BLUD menggunakan standar pelayanan minimum yang ditetapkan oleh menteri/pimpinan
lembaga/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya, harus mempertimbangkan
kualitas layanan, pemerataan dan kesetaraan layanan, biaya serta kemudahan untuk
mendapatkan layanan. Dalam hal rumah sakit pemerintah di daerah (RSUD) maka standar
pelayanan minimal ditetapkan oleh kepala daerah dengan peraturan kepala daerah. Menurut
PP No. 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan
Minimal, Standar Pelayanan Minimal yang selanjutnya disingkat SPM adalah ketentuan tentang
jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh
setiap warga secara minimal. Prinsip-prinsip standar pelayanan minimal menurut PP No 65
Tahun 2005, yaitu: 1. SPM disusun sebagai alat pemerintah dan pemerintah daerah untuk
menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada masyarakat secara merata dalam rangka
penyelenggaraan urusan wajib. 2. SPM ditetapkan oleh pemerintah dan diberlakukan untuk
seluruh Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. 3.
Penerapan SPM oleh Pemerintah Daerah merupakan bagian dari penyelenggaraaan pelayanan
dasar nasional. 4. SPM bersifat sederhana, konkrit, mudah diukur, terbuka,terjangkau dan
dapat dipertanggungjawabkan serta mempunyai batas waktu pencapaian. 5. SPM disesuaikan
dengan perkembangan kebutuhan, prioritas, dan kemampuan keuangan nasional dan daerah
serta kemampuan kelembagaan dan personil daerah dalam bidang yang bersangkutan.
Menurut PP No 23 tahun 2005, standar pelayanan minimal BLU harus memenuhi persyaratan,
yaitu : 1. Fokus pada jenis pelayanan, dalam arti mengutamakan kegiatan pelayanan yang
menunjang terwujudnya tugas dan fungsi BLU/BLUD; 2. Terukur, merupakan kegiatan yang
pencapaiannya dapat dinilai sesuai dengan standar yang telah ditetapkan; 3. Dapat dicapai,
merupakan kegiatan nyata yang dapat dihitung tingkat pencapaiannya, rasional sesuai
kemampuan dan tingkat pemanfaatannya; 4. Relevan dan dapat diandalkan, merupakan
kegiatan yang sejalan, berkaitan dan dapat dipercaya untuk menunjang tugas dan fungsi
BLU/BLUD; 5. Tepat waktu, merupakan kesesuaian jadwal dan kegiatan pelayanan yang telah
ditetapkan. Rumah Sakit Pemerintah Daerah yang telah menjadi BLU/BLUD dapat memungut
biaya kepada masyarakat sebagai imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan. Imbalan
atas barang/jasa layanan yang diberikan tersebut ditetapkan dalam bentuk tarif yang disusun
atas dasar perhitungan biaya per unit layanan atau hasil per investasi dana. Tarif layanan
diusulkan oleh rumah sakit kepada menteri keuangan/menteri kesehatan/kepala SKPD sesuai
dengan kewenangannya, dan kemudian ditetapkan oleh menteri keuangan/kepala daerah
dengan peraturan menteri keuangan/peraturan kepala daerah. Menurut PP No 23 Tahun 2005,
tarif layanan yang diusulkan dan ditetapkan harus mempertimbangkan hal-hal: kontinuitas dan
pengembangan layanan; daya beli masyarakat; asas keadilan dan kepatutan; dan kompetisi
yang sehat. Dengan terbitnya PP No. 23 Tahun 2005, rumah sakit pemerintah daerah
mengalami perubahan menjadi BLU. Perubahan ini berimbas pada pertanggungjawaban
keuangan tidak lagi kepada Departemen Kesehatan tetapi kepada Departemen Keuangan,
sehingga harus mengikuti standar akuntansi keuangan yang pengelolaannya mengacu pada
prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi dan efisiensi. Anggaran yang akan disusun pun harus
berbasis kinerja. Penyusunan anggaran rumah sakit harus berbasis akuntansi biaya yang
didasari dari indikator input, indikator proses dan indikator output, sebagaimana diatur
berdasarkan PP No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, PMK
No. 76/PMK.05/2008 tentang Pedoman Akuntansi Dan Pelaporan Keuangan Badan Layanan
Umum, dan khusus untuk RSUD, pengelolaan keuangannya harus mengacu dan berdasarkan
Permendagri No. 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan
Layanan Umum Daerah. Menurut Mahsun dalam bukunya Akuntansi Sektor Publik (2011:233)
bahwa pengelolaan keuangan BLU terdiri dari: 1. Perencanaan dan Penganggaran BLU
menyusun rencana strategi bisnis lima tahunan dengan mengacu kepada rencana strategis
kementrian Negara/Lembaga (Renstra-KL) atau Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah (RPJMD). BLU menyusun rencana bisnis dan Anggaran (RBA) tahunan dengan mengacu
kepada rencana strategi bisnis. RBA disusun berdasarkan basis kinerja dan perhitungan
akuntansi biaya menurut jenis layanannya, serta berdasarkan kebutuhan dan kemampuan
pendapatan yang diperkirakan akan diterima dari masyarakat, badan lain, APBN/APBD. 2.
Dokumen Pelaksanaan Anggaran Dokumen pelaksanaan anggaran BLU paling sedikit mencakup
seluruh pendapatan belanja proyeksi arus kas, serta jumlah dan kualitas jasa dan/atau barang
yang akan dihasilkan oleh BLU. 3. Pendapatan dan Belanja Penerimaan anggaran bersumber
dari APBN/APBD diberlakukan sebagai pendapatan BLU. Pendapatan yang diperoleh dari jasa
layanan yang diberikan kepada masyarakat dan hibah tidak terikat yang diperoleh dari
masyarakat atau badan lain merupakan pendapatan operasional BLU. Hibah terikat yang
diperoleh dari masyarakat atau badan lain merupakan pendapatan yang harus diperlakukan
sesuai dengan pertukaran. Hasil kerjasama BLU dengan pihak lain dan/atau hasil usaha lainnya
merupakan pendapatan bagi BLU. Belanja BLU terdiri dari unsur biaya yang sesuai dengan
struktur biaya yang dituangkan dalam RBA definitif. Pengelolaan belanja BLU diselenggarakan
secara fleksibel berdasarkan kesetaraan antara volume kegiatan pelayanan dengan jumlah
pengeluaran, mengikuti praktik bisnis yang sehat fleksibilitas pengelolaan belanja berlaku
dalam ambang batas sesuai dengan yang ditetapkan dalam RBA, jika melebih ambang batas
harus mendapat persetujuan dari menteri keuangan/gubernur/bupati/walikota atas usulan
menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD, sesuai dengan kewenangannya. Jika terjadi
kekurangan anggaran, BLU dapat mengajukan usulan tambahan anggaran dari APBN/APBD
kepada menteri keuangan/PPKD melalui menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD sesuai
dengan kewenangannya. Belanja BLU dilaporkan belanja barang dan jasa kementrian
negara/lembaga/SKPD/Pemerintah Daerah. 4. Pengelolaan kas Pengelolaan kas BLU
dilaksanakan berdasarkan praktik bisnis yang sehat. Penarikan dana yang bersumber dari
APBN/APBD dilakukan dengan menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM) sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. 6. Pengelolaan Utang dan Piutang BLU dapat
memberikan piutang sehubungan dengan penyerahan barang, jasa, dan/atau transaksi lainnya
yang berhubungan langsung atau tidak langsung dengan kegiatan BLU. Piutang BLU dikelola dan
diselesaikan secara tertib, efisien, ekonomis, transparan dan bertanggung jawab serta dapat
memberikan nilai tambah, sesuai dengan praktik bisnis yang sehat dan berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Piutang BLU dapat dihapus secara mutlak atau bersyarat oleh pejabat
yang berwenang, yang nilainya ditetapkan secara berjenjang. Utang BLU dikelola dan
diselsesaikan secara tertib, efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggungjawab serta dapat
memberikan nilai tambah, sesuai dengan praktik bisnis yang sehat dan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Pemanfaatan utang yang berasal dari perikatan pinjamana
jangka pendek ditujukan hanya untuk belanja operasional. Pemanfaatan utang yang berasal
dari perikatan pinjaman jangka panjang ditujukan hanya untuk belanja modal. 7. Investasi BLU
tidak melakukan investasi jangka panjang, kecuali atas persetujuan Menteri
Keuangan/gubernur/bnupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Keuntungan yang
diperoleh dari investasi jangka panjang merupakan pendapatan BLU. 8. Pengelolaan Barang
Pengadaan barang atau jasa oleh BLU dilakukan berdasarkan prisip efisiensi dan ekonomis,
sesuai dengan praktik bisnis yang sehat. Kewenangan pengadaan barang/jasa diselenggarakan
berdasarkan jenjang nilai yang diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan/gubernur/bupati/walikota. 9. Penyelesaian Kerugian Setiap kerugian negara/daerah
pada BLU yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang
diselesaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyelesaian
kerugian negara/daerah. Organisasi BLU cenderung sebagai organisasi nirlaba kepemerintahan
Sesuai dengan PP No 23 tahun 2005 pasal 26 menyebutkan bahwa akuntansi dan laporan
keuangan diselenggarakan sesuai dengan Standar Akuntansi keuangan (SAK) yang diterbitkan
oleh asosiasi profesi akuntansi Indonesia. Ketentuan ini mengakibatkan ketidak konsistensian
yaitu bahwa organisasi BLU yang cenderung sebagai organisasi kepemerintahan tetapi
pelaporan akuntansi menggunakan PSAK (standar akuntansi keuangan) dari IAI, bukan
menggunakan PSAP (Standar akuntansi pemerintahan). Standar akuntansi pemerintah disusun
oleh komite standar akuntansi pemerintah (KSAP). Standar ini digunakan untuk organisasi
kepemerintahan dan merupakan pedoman dalam penyususnan dan penyajian laporan
keuangan. SAP dinyatakan dalam PSAP. Organisasi pemerintahan sebagai organisasi yang
nirlaba semestinya menggunakan SAP bukan SAK. Oleh karena itu jika rumah sakit pemerintah
sebagai badan layanan umum semestinya juga menggunakan SAP bukan SAK, namun dalam PP
No 23 tahun 2005 disebutkan badan layanan umum sebagai institusi yang nirlaba menggunakan
SAK. Dalam hal ini SAK yang tepat adalah PSAK no 45 yaitu standar akuntansi keuangan untuk
organisasi nirlaba. Laporan keuangan rumah sakit pemerintah daerah merupakan laporan yang
disusun oleh pihak manajemen sebagai bentuk penyampaian laporan keuangan suatu entitas.
Laporan keuangan tersebut merupakan penyampaian informasi kepada pihak-pihak yang
berkepentingan terhadap entitas tersebut, sehingga isi pelaporan keuangan rumah sakit
pemerintah daerah harus mengikuti ketentuan untuk pelaporan keuangan sebagaimana diatur
menurut SAK, yaitu sebagai organisasi nirlaba (PSAK No. 45) dan menyanggupi untuk laporan
keuangannya tersebut diaudit oleh auditor independen. Disisi lain, mengingat rumah sakit
pemerintah daerah merupakan instansi milik pemerintah maka pelaporan keuangannya juga
harus mengacu pada Permenkeu No 76/PMK.05/2008 tentang Pedoman Akuntansi dan
Pelaporan Keuangan Badan Layanan Umum. Adapun Laporan Keuangan rumah sakit
pemerintah daerah sebagai BLU yang disusun harus menyediakan informasi untuk: 1. Mengukur
jasa atau manfaat bagi entitas yang bersangkutan; 2. Pertanggungjawaban manajemen rumah
sakit (disajikan dalam bentuk laporan aktivitas dan laporan arus kas); 3. Mengetahui kontinuitas
pemberian jasa (disajikan dalam bentuk laporan posisi keuangan); 4. Mengetahui perubahan
aktiva bersih (disajikan dalam bentuk laporan aktivitas). Dalam hal konsolidasi laporan
keuangan rumah sakit pemerintah daerah dengan laporan keuangan kementerian
negara/lembaga, maupun laporan keuangan pemerintah daerah, maka rumah sakit pemerintah
daerah sebagai BLU/BLUD mengembangkan sub sistem akuntansi keuangan yang menghasilkan
Laporan Keuangan sesuai dengan SAP (Pasal 6 ayat (4) PMK No. 76/PMK.05/2008 tentang
Pedoman Akuntansi Dan Pelaporan Keuangan Badan Layanan Umum).

Anda mungkin juga menyukai