Anda di halaman 1dari 15

LK 2.1.

Artikel Genre Sastra

Tulislah sebuah artikel tentang genre sastra yang bersumber dari minimal lima sumber bacaan sastra.
Artikel tersebut secara komprehensif memuat difinisi sastra dan genrenya yaitu puisi, prosa, dan drama.

Artikel ini merupakan salah satu tagihan yang harus Saudara kumpulkan di dalam E-Portofolio.

Petunjuk:

1. Artikel ditulis maksimal 1000 kata


2. Ditulis dengan huruf arial 11, margin atas, bawah, kanan, kiri 2.
3. Menggunakan minimal 5 sumber bacaan.
4. Kerjakan seperti format berikut.

Nama : Kartini
Instansi : SDN Sukamerang 4 Kersamanah
Mengajar Kelas : ..............................................
Judul Artikel : Genre Sastra
Sumber Bacaan : 1. Jenis-Jenis Sastra ( Genre )
2. Genre Sastra
3. Aliran dan Genre Sastra
4. Sasra Nusantara
5. Hakikat Sastra Anak

Isi Artikel
1. Jenis-Jenis Sastra ( Genre )- Jenis-jenis sastra disebut jenre/genre sastra. Sastra
digolongkan/dikelompokkan menjadi dua kelompok yakni sastra imajinatif dan sastra non
imajinatif. Selain itu sastra juga dikelompokkan menjadi dua kelompok sesuai dengan maksud
atau tujuan penulis, yakni sastra anak dan sastra dewasa. Maksudnya ada penulis yang
membuat karya sastra untuk orang dewasa, dan ada yang menulis karya sastra khusus untuk
anak-anak.

1). Sastra Imajinatif

Imajinasi berasal dari kata imagination yang artinya angan-angan atau khayal. Jadi, karaya
sastra imajinatif adalah karya sastra yang ditulis dengan menggunakan daya khayalnya
penulis/pengarang, sehingga cerita dalam karya sastra imajinatif bukanlah suatu kejadian
yang sebenarnya.

Karya sastra imajinatif terdiri atas 3 jenis yakni prosa, puisi, dan drama.
a. Pengertian Prosa
Prosa adalah karya sastra yang ditulis dengan menggunakan kalimat-kalimat yang disusun
susul menyusul. Kalimat yang disusun membentuk kesatuan pikiran menjadi paragraf,
paragraf membentuk bab atau bagian-bagian, dan seterusnya.

b. Pengertian Puisi
Puisi adalah karya sastra yang ditulis dengan bentuk larik-larik dan bait-bait.

c. Pengertian Drama
Drama adalah karya sastra yang ditulis dengan bahasa dalam bentuk dialog. Perbedaan
drama dengan puisi dan prosa adalah terletak pada tujuan penulisan naskah. Naskah drama
ditulis dengan tujuan utamanya untuk dipertunjukkan, bukan untuk dibaca dan dihayati seperti
pada prosa dan puisi.
2. Sastra non imajinatif
Sastra non imajinatif adalah karya sastra yang ditulis tanpa menggunakan sifat khayalnya
pengarang, sehingga cerita dalam karya sastra non imajinatif merupakan cerita yang ditulis
berdasarkan cerita nyata/sebenarnya. Sebagian para ahli sastra berpendapat bahwa sastra
non imajinatif bukan termasuk karya sastra.

Sastra Imajinatif
Sastra imajinatif adalah sastra yang berupaya untuk menerangkan, menjelaskan, memahami,
membuka pandangan baru, dan memberikan makna realitas kehidupan agar manusia lebih
mengerti dan bersikap yang semestinya terhadap realitas kehidupan. Dengan kata lain, sastra
imajinatif berupaya menyempurnakan realitas kehidupan walaupun sebenarnya fakta atau realitas
kehidupan sehari-hari tidak begitu penting dalam sastra imajinatif. Jenis-jenis tersebut antara lain
puisi, fiksi atau prosa naratif, dan drama. Puisi dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni puisi epik,
puisi lirik, dan puisi dramatik.

Fiksi atau prosa naratif terbagi atas tiga genre, yakni novel atau roman, cerita pendek
(cerpen), dan novelet (novel pendek). Drama adalah karya sastra yang mengungkapkan cerita
melalui dialog-dialog para tokohnya Pada akhirnya, semua pembahasan mengenai sastra imajinatif
ini harus bermuara pada bagaimana cara memahami ketiga jenis sastra imajinatif tersebut secara
komprehensif. Tanpa adanya pemahaman ini, apa yang dipelajari dalam hakikat dan jenis sastra
imajinatif ini hanya sekadar hiasan ilmu yang akan cepat pudar.

Sastra Non-imajinatif
Sastra non-imajinatif memiliki beberapa ciri yang mudah membedakannya dengan sastra
imajinatif. Setidaknya terdapat dua ciri yang berkenaan dengan sastra tersebut. Pertama, dalam
karya sastra tersebut unsur faktualnya lebih menonjol daripada khayalinya. Kedua, bahasa yang
digunakan cenderung denotatif dan kalaupun muncul konotatif, kekonotatifan tersebut amat
bergantung pada gaya penulisan yang dimiliki pengarang.

Persamaannya, baik sastra imajinatif maupun non-imajinatif, keduanya sama-sama memenuhi


estetika seni (unity = keutuhan, balance = keseimbangan, harmony = keselarasan, dan right
emphasis = pusat penekanan suatu unsur). Sastra non-imajinatif itu sendiri merupakan sastra yang
lebih menonjolkan unsur kefaktualan daripada daya khayalnya dan ditopang dengan penggunaan
bahasa yang cenderung denotatif. Dalam praktiknya jenis sastra non-imajinatif ini terdiri atas karya-
karya yang berbentuk esai, kritik, biografi, autobiografi, memoar, catatan harian, dan surat-surat.
A. Aliran Sastra

Kata mazhab atau aliran berasal dari kata stroming (bahasa Belanda) yang mulai muncul di
Indonesia pada zaman Pujangga Baru. Kata itu bermakna keyakinan yang dianut golongan-
golongan pengarang yang sepaham, ditimbulkan karena menentang paham-paham lama
(Hadimadja,1972:9). Dalam bahasa Inggris, terdapat dua kata yang maknanya sangat berkaitan
dengan aliran, yaitu periods, age, school, generation dan movements.

Aliran sastra pada dasarnya berupaya menggambarkan prinsip (pandangan hidup, politik, dll)
yang dianut sastrawan dalam menghasilkan karya sastra. Dengan kata lain, aliran sangat erat
hubungannya dengan sikap/jiwa pengarang dan objek yang dikemukakan dalam karangannya.

Pada prinsipnya, aliran sastra dibedakan menjadi dua bagian besar, yakni (1) idealisme, dan
(2) materialisme. Idealismeadalah aliran romantik yang bertolak dari cita-cita yang dianut oleh
penulisnya. Menurut aliran ini, segala sesuatu yang terlihat di alam ini hanyalah merupakan
bayangan dari bayangan abadi yang tidak terduga oleh pikiran manusia. Aliran idealisme ini dapat
dibagi menjadi (a) romantisisme, (b) simbolik, (c) mistisisme, dan (d) surealisme.

1. Romantisisme adalah aliran karya sastra yang sangat mengutamakan perasaan, sehingga
objek yang dikemukakan tidak lagi asli, tetapi telah bertambah dengan unsur perasaan si
pengarang. Aliran ini dicirikan oleh minat pada alam dan cara hidup yang sederhana, minat
pada pemandangan alam, perhatian pada kepercayaan asli, penekanan pada kespontanan
dalam pikiran, tindakan, serta pengungkapan pikiran. Pengikut aliran ini menganggap
imajinasi lebih penting daripada aturan formal dan fakta. Aliran ini kadangkadang berpadu
dengan aliran idealisme dan realisme sehingga timbul aliran romantik idealisme,
dan romantik realisme.
2. Romantik idealisme adalah aliran kesusastraan yang mengutamakan perasaan yang
melambung tinggi ke dalam fantasi dan cita-cita. Hasil sastra Angkatan. Pujangga Baru
umumnya termasuk aliran ini. Sementara romantik realism mengutamakan perasaan yang
bertolak dari kenyataan (contoh: puisi-puisi Chairil Anwar dan Asrul Sani).
3. Simbolik adalah aliran yang muncul sebagai reaksi atas realisme dan naturalisme.
Pengarang berupaya menampilkan pengalaman batin secara simbolik. Dunia yang secara
indrawi dapat kita cerap menunjukkan suatu dunia rohani yang tersembunyi di belakang
dunia indrawi. Aliran ini selalu menggunakan simbol atau perlambang hewan atau tumbuhan
sebagai pelaku dalam cerita. Contoh karya sastra yang beraliran ini misalnya Tinjaulah Dunia
Sana, Dengarlah Keluhan Pohon Mangga karya Maria Amin dan Kisah
Negara Kambing karya Alex Leo.
4. Mistisisme adalah aliran kesusastraan yang bersifat melukiskan hubungan manusia dengan
Tuhan. Mistisisme selalu memaparkan keharuan dan kekaguman si penulis terhadap
keagungan Maha Pencipta. Contoh karya sastra yang beraliran ini adalah sebagaian besar
karya Amir Hamzah, Bahrum Rangkuti, dan J.E.Tatengkeng.
5. Surealisme adalah aliran karya sastra yang melukiskan berbagai objek dan tanggapan
secara serentak. Karya sastra bercorak surealis umumnya susah dipahami karena gaya
pengucapannya yang melompat-lompat dan kadang terasa agak kacau. Contoh karya sastra
aliran ini misalnya Radio Masyarakat karya Rosihan Anwar, Merahnya Merah karya Iwan
Simatupang, dan Tumbang karya Trisno Sumardjo.
6. Materialisme berkeyakinan bahwa segala sesuatu yang bersifat kenyataan dapat diselidiki
dengan akal manusia. Dalam kesusastraan, aliran ini dapat dibedakan
atasrealisme dan naturalisme.
7. Realisme adalah aliran karya sastra yang berusaha menggambarkan/memaparkan/
menceritakan sesuatu sebagaimana kenyataannya. Aliran ini umumnya lebih objektif
memandang segala sesuatu (tanpa mengikutsertakan perasaan). Sebagaimana kita tahu,
Plato dalam teori mimetiknya pernah menyatakan bahwa sastra adalah tiruan kenyataan/
realitas. Berangkat dari inilah kemudian berkembang aliran-aliran, seperti: naturalisme,
dan determinisme.
8. Realisme sosialis adalah aliran karya sastra secara realis yang digunakan pengarang untuk
mencapai cita-cita perjuangan sosialis.
9. Naturalisme adalah aliran karya sastra yang ingin menggambarkan realitas secara jujur
bahkan cenderung berlebihan dan terkesan jorok. Aliran ini berkembang dari realisme. Ada
tiga paham yang berkembang dari aliran realisme (1) saintisme (hanya sains yang dapat
menghasilkan pengetahuan yang benar), (2) positivisme ( menolak metafisika, hanya
pancaindra kita berpijak pada kenyataan), dan (3) determinisme (segala sesuatu sudah
ditentukan oleh sebab musabab tertentu).
10. Impresionisme adalah aliran kesusastraan yang memusatkan perhatian pada apa yang
terjadi dalam batin tokoh utama. Impresionisme lebih mengutamakan pemberian
kesan/pengaruh kepada perasaan daripada kenyataan atau keadaan yang sebenarnya.
Beberapa pengarang Pujangga Baru memperlihatkan impresionisme dalam beberapa
karyanya.

B. Genre Sastra

Karya sastra menurut genre atau jenisnya terbagi atas puisi, prosa, dan drama. Pembagian
tersebut semata-mata didasarkan atas perbedaan bentuk fisiknya saja, bukan substansinya.
Substansi karya sastra apa pun bentuknya tetap sama, yakni pengalaman kemanusiaan dalam
segala wujud dan dimensinya. Pengenalan terhadap ciri-ciri bentuk sastra ini memudahkan proses
pemahaman terhadap maknanya. Demikian pula komponenkomponen yang turut membangun
karya sastra tersebut. Berikut ini dipaparkan ketiga bentuk karya sastra tersebut.
1. Puisi

Puisi adalah karya sastra yang khas penggunaan bahasanya dan memuat pengalaman yang
disusun secara khas pula. Pengalaman batin yang terkandung dalam puisi disusun dari peristiwa
yang telah diberi makna dan ditafsirkan secara estetik.

Susunan kata dalam puisi relatif lebih padat dibandingkan prosa. Kehadiran kata-kata dan
ungkapan dalam puisi diperhitungkan dari berbagai segi: makna, citraan, rima, ritme, nada, rasa,
dan jangkauan simboliknya. Sebagai alat, katakata dalam puisi harus mampu diboboti oleh
gagasan yang ingin diutarakan penyair. Di samping itu, kata-kata puisi harus pula mampu
membangkitkan tanggapan rasa pembacanya. Kebebasan penyair untuk memperlakukan bahasa
sebagai bahan puisi itu dalam istilah kesusastraan dikenal sebagai lisentia poetica. Istilah ini
menyiratkan adanya semacam kewenangan bagi penyair untuk mematuhi atau menyimpangi
norma ketatabahasaan. Pematuhan dan penyimpangan ini haruslah mempertimbangkan
tercapainya kepuitisannya.

Dari segi bentuknya kita mengenal puisi terikat dan puisi bebas. Puisi terikat dapat dikatakan
sebagai puisi lama, puisi yang diciptakan oleh masyarakat lama, seperti pantun, syair,dan
gurindam.

Puisi baru, puisi bebas atau yang lebih dikenal sebagai puisi modern yang mulai muncul pada
masa Pujangga Baru dan dipopulerkan oleh Angkatan 45 yang dipelopori oleh Chairil Anwar. Puisi
modern dilahirkan dalam semangat mencari kebebasan pengucapan pribadi. Puisi modern dapat
dianggap sebagai bentuk pengucapan puisi yang tidak menginginkan pola-pola estetika yang kaku
atau patokan-patokan yang membelenggu kebebasan jiwa penyair. Dengan demikian, nilai puisi
modern dapat dilihat pada keutuhan, keselarasan, dan kepadatan ucapan, dan bukan terletak pada
jumlah bait dan larik yang membangunnya.

Sebagai sistem tanda, karya sastra puisi dapat disikapi sebagai salah satu ragam penggunaan
bahasa dalam kegiatan komunikasi. Akan tetapi, bentuk komunikasi dalam sastra juga bersifat
khas karena (1) tidak mempunyai bentuk hubungan timbal balik antara penutur dan penanggap
secara langsung, (2) pemahaman pesannya telah mengalami otonomisasi karena pemahaman
pesan tidak terjadi secara otomatis, dan (3) berbeda dengan komunikasi lisan, karena komunikasi
sastra tidak lagi terikat oleh konteks hubungan langsung, misalnya tempat, waktu, dan peristiwa.

Untuk mengapresiasi suatu puisi seorang pembaca harus menciptakan kontak, dalam arti
membaca teks sastra dan melakukan penghayatan. Kontak ini bisa terjadi apabila pembaca
memahami kode kebahasaan ataupun sistem tanda dalam puisi yang diapresiasi. Hanya melalui
hubungan yang demikian komunikasi dapat berlangsung dan karya sastra mendapatkan
maknanya.

Gejala komunikasi seperti di atas dapat dihubungkan dengan sejumlah fungsi bahasa seperti
fungsi (1) emotif, (2) referensial, (3) puitik, (4) fatis, (5) metalingual, dan (6) konatif (Jacobson,
dalam Teeuw, 1984).

Fungsi emotif mengacu pada fungsi bahasa untuk menggambarkan, membentuk dan
mengekspresikan gagasan, perasaan, pendapat, dan sikap penyair.

Fungsi referensial mengacu pada fungsi bahasa untuk menggambarkan objek, peristiwa, benda
ataupun kenyataan tertentu sejalan dengan gagasan, perasaan, pendapat, dan sikap yang kita
sampaikan, contoh dari pernyataan tersebut, misalnya dalam pernyataan Aku ini binatang jalang di
tengah kumpulan terbuang.

Fungsi puitik yakni fungsi bahasa untuk menggambarkan makna sebagaimana terdapat dalam
lambang kebahasaan itu sendiri. Untuk memahami makna binatang jalang misalnya, pembaca
dapat menggambarkannya sebagai (mahluk bernyawa, kuat, liar, tidak terikat, tidak tergantung
pada yang lain) dan sebagainya sebagai pemaknaan dari binatang jalang.

Fungsi fatis, mengacu pada konsepsi bahwa bentuk kebahasaan yang digunakan dalam
komunikasi juga bisa digunakan untuk fungsi mempertahankan hubungan. Hal ini berguna untuk
menciptakan kesan keakraban ataupun menciptakan bentuk-bentuk hubungan tertentu. Contoh
dari pernyataan di atas misalnya, ketika kita membawa keranjang belanjaan, kita mungkin
mendapat pertanyaan, Dari pasar? Kita tentunya hanya menjawab Ya! karena ujaran tersebut
hanya untuk menciptakan keakraban atau hubungan sosial dan tidak mempunyai gagasan atau
konsepsi apapun. Di dalam karya sastra penggunaan bahasa yang berkaitan dengan
fungsi fatis bisa juga muncul apabila penggunaan bahasa itu hanya sekedar hiasan, sarana
pemandu bunyi, atau sekedar kelayakan saja.

Fungsi konatif berisi konsepsi bahwa peristiwa bahasa dalam komunikasi berfungsi menimbulkan
efek, imbauan, ataupun dorongan tertentu penanggapnya. Contoh dari pernyataan di atas, misal
ketika kita membaca tulisan Awas jalan licinmungkin secara refleks kita akan mengurangi
kecepatan dalam berkendaraan atau berjalan. Dalam membaca karya sastra, fungsi konatif itu
berkaitan dengan efek pemahaman, misalnya, tentang nilai kehidupan yang mendorong kesadaran
batin pembaca untuk melakukan ataupun menghayati pemahaman yang diperoleh itu dalam
kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan uraian di atas, dapat kita pahami bahwa puisi sebagai suatu struktur makro
keberadaannya terkait dengan penyair, konteks, gagasan, sistem tanda yang terwujud dalam
bentuk teks yang menjadi sarana kontak dengan pembaca (penerima). Selain komponen makro
kita juga mendapatkan komponen mikro, yakni komponen yang membentuk puisi sebagai teks
secara internal. Jelasnya suatu puisi akan memanfaatkan (1) bunyi bahasa, (2) katakata atau diksi,
dan (3) penggunaan gaya bahasa untuk menciptakan kontak dengan pembacanya.

Unsur keindahan bunyi dalam puisi juga ditunjang oleh penggunaan unsur bunyi yang juga
mempunyai berbagai macam karakteristik, seperti asonansi, disonansi, aliterasi, rima, dan irama.

Untuk memahami makna puisi, kita akan menemukan makna literal, pengertian tersirat, dan nilai
kehidupan. Makna literal merupakan makna yang digambarkan oleh kata-kata dalam puisi seperti
lazim dipersepsikan dalam kehidupan sehari-hari. Ketika membaca larik puisi Aku ini binatang
jalang, misalnya, kata aku akan memberikan gambaran seseorang sebagai persona, misalnya
penyair. Sementara kata binatang jalang membentuk gambaran dari sesuatu yang disebut binatang
jalang. Dalam kesadaran batin pembaca mungkin akan muncul gambaran hewan yang disebut
singa, harimau, atau hewan yang dapat dikategorikan sebagai binatang jalang.

Larik puisi Aku ini binatang jalang, tentu saja tidak memuat informasi ataupun pengertian
bahwa aku ini merupakan hewan harimau. Gambaran bahwa aku merupakan binatang jalang
hanya merupakan perbandingan atau metafora aku layaknya atau bagaikan binatang jalang.
Dengan kata lain, menggambarkan aku seperti singa atau harimau memuat pengertian yang
tersirat. Guna memahami pengertian tersiratnya kita mestilah memahami gambaran ciri singa
ataupun harimau yang layak diperbandingkan atau dihubungkan dengan ciri yang tedapat pada
manusia. Dengan begitu, kita tidak akan mengangkat ciri singa yang mempunyai kaki empat, suka
makan daging mentah, telanjang, tetapi mengambil ciri singa yang menggambarkan kekuatan,
keberanian, berkeliaran, dan sebagainya.

Untuk memahami nilai kehidupan tentu saja kita harus memahami makna yang terdapat dalam
puisi tersebut. Apabila hal tersebut dilaksanakan dan dihayati dalam kehidupan sehari-hari,
manfaat itu berlaku juga bagi kehidupan manusia pada umumnya. Jadi jelas pemahaman nilai-nilai
kehidupan memang benarbenar memiliki relevansi dengan kenyataan kehidupan sehari-hari.

2. Prosa

Prosa merupakan jenis karya sastra dengan ciri-ciri antara lain (1) bentuknya yang bersifat
penguraian, (2) adanya satuan-satuan makna dalam wujud alineaalinea, dan (3) penggunaan
bahasa yang cenderung longgar. Bentuk ini merupakan rangkaian peristiwa imajinatif yang
diperankan oleh pelaku-pelaku cerita, dengan latar dan tahapan tertentu yang sering disebut
dengan cerita rekaan. Bentuk ini terbagi atas kategori cerita pendek, novelet, dan novel.
Sebagai cerita rekaan, ia juga harus memiliki unsur-unsur, seperti pengarang, isi cerita, bahasa
dan unsur-unsur fiksi. Unsur-unsur cerita rekaan antara lain sebagai berikut (a) tokoh dan
penokohan, (b) alur, (c) latar, (d) tema, (e) amanat, (f) sudut pandang, (g) dan gaya bahasa, yang
semuanya saling berhubungan sehingga membentuk satu cerita yang utuh.

Pembagian bentuk prosa seperti yang dikemukakan oleh H.B.Yassin adalah cerpen, novel, dan
roman. Menurutnya, cerpen adalah cerita fiksi yang habis dibaca dalam sekali duduk. Novel adalah
cerita fiksi yang mengisahkan perjalanan hidup para tokohnya dengan segala liku-liku perjalanan
dan perubahan nasibnya. sedangkan roman adalah cerita fiksi yang mengisahkan tokoh-tokohnya
sejak kanak-kanak sampai tutup usia. Jadi, panjang pendeknya cerita tidak dapat dijadikan
patokan. Namun, sekarang ini istilah roman sudah jarang digunakan karena dianggap sama
dengan novel.

Cerpen biasanya memiliki alur tunggal, pelaku terbatas (jumlahnya sedikit), dan mencakup
peristiwa yang terbatas pula. Kualitas tokoh dalam cerpen jarang dikembangkan secara penuh.
Karena serba dibatasi, tokoh dalam cerpen biasanya langsung ditunjukkan karakternya. Artinya,
karakter tokoh langsung ditunjukkan oleh pengarangnya melalui narasi, deskripsi, atau dialog. Di
samping itu, cerita pendek biasanya mencakup rentang waktu cerita yang pendek pula, misalnya
semalam, sehari, seminggu, sebulan, atau setahun.

Novel memiliki durasi cerita yang lebih panjang dibandingkan dengan cerpen. Novel memiliki
peluang yang cukup untuk mengeksplorasi karakter tokohnya dalam rentang waktu yang cukup
panjang dan kronologi cerita yang bervariasi (ganda). Novel memungkinkan kita untuk menangkap
perkembangan kejiwaan tokoh secara lebih komprehensif dan memungkinkan adanya penyajian
secara panjang lebar mengenai permasalahan manusia. Itulah sebabnya, permasalahan yang
diangkat menjadi tema-tema novel umumnya jauh lebih kompleks dan rumit bila dibandingkan
dengan cerpen. Permasalahan hidup manusia yang menjadi sumber inspirasi penulis sangatlah
rumit dan kompleks. Jika dipetakan pemasalahan itu meliputi hubungan antarmanusia dengan
Tuhan, manusia dengan alam semesta, manusia dengan masyarakat, dan manusia dengan dirinya
sendiri. Peranan tokoh tidak statis, tetapi bergerak dalam pergerakan waktu. Keterbatasan dan
keleluasaan juga membawa konsekuensi pada rincian-rincian yang sering menjadi bumbu cerita.

Demikianlah sebuah karya sastra, sebagaimana rumah, juga dibangun oleh unsur-unsur yang
mendukung keberadaannya. Unsur-unsur pembangun karya sastra lazim disebut dengan
unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Menurut Jakob Sumardjo dan Saini K.M. (1985) yang dimaksud
dengan unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang berasal dari dalam karya sastra itu sendiri, seperti:
tema, tokoh, alur, latar, sudut pandang, amanat, dan gaya bahasa. Unsur-unsur ini harus ada
karena akan menjadi kerangka dan isi karya tersebut. Sementara itu, unsur ekstrinsik adalah
unsur-unsur yang berasal dari luar karya sastra, misalnya sosial, budaya, ekonomi, politik, agama,
dan filsafat. Faktor ekstrinsik tidak menjadi penentu yang menggoyahkan karya sastra. Akan tetapi,
bagi pembaca, hal tersebut tetap penting untuk diketahui karena akan membantu pemahaman
makna karya sastra, mengingat tidak ada karya sastra yang lahir dari kekosongan budaya.

3. Drama

Pada dasarnya drama tidak jauh berbeda dengan karya prosa fiksi. Kesamaan itu berkaitan
dengan aspek kesastraan yang terkandung di dalamnya. Namun, ada perbedaan esensial yang
membedakan antara karya drama dan karya prosa fiksi, yakni pada tujuannya. Tujuan utama
penulisan naskah drama adalah untuk dipentaskan. Semi (1988) menyatakan bahwa drama adalah
cerita atau tiruan perilaku manusia yang dipentaskan.

Jika dicermati secara saksama, drama memiliki dua aspek esensial, yakni aspek cerita dan aspek
pementasan yang berhubungan dengan seni lakon atau teater. Drama sebenarnya memiliki tiga
dimensi, yakni (1) sastra, (2) gerakan, dan (3) ujaran. Oleh karena itu, naskah drama tidak disusun
khusus untuk dibaca seperti cerpen atau novel, tetapi lebih daripada itu dalam penciptaan naskah
drama sudah dipertimbangkan aspek-aspek pementasannya. Dalam hampir setiap naskah drama
selalu ditemukan narasi, dialog, dan arahan tentang petunjuk lakuan atau akting.
Pengertian Sastra
Sastra merupakan kata serapan dari bahasa Sansekerta sastra, yang berarti teks yang
mengandung instruksi atau pedoman, dari kata dasar sas- yang berarti instruksi atau ajaran.
Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada kesusastraan atau
sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu.
Selain itu dalam arti kesusastraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis dan sastra lisan
(sastra oral). Di sini sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan bahasa yang
dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu. biasanya
kesusastraan dibagi menurut daerah geografis atau bahasa.
Suatu hasil karya baru dapat dikatakan memiliki nilai sastra bila di dalamnya terdapat
kesepadanan antara bentuk dan dan isinya. Bentuk bahasa baik dan indah, dan susunannya
beserta isinya dapat menimbulkan perasaan haru dan kagum di hati pembacanya.
Bentuk dan isi sastra harus saling mengisi, yaitu dapat menimbulkan kesan yang mendalam
di hati para pembacanya sebagai perwujudan nilai-nilai karya seni.apabila isi tulisan cukup baik
tetapi cara pengungkapan bahaanya buruk, karya tersebut tidak dapat disebut sebagai cipta sastra,
begitu juga sebaliknya.

C. Sejarah Sastra
Sastra mengalami perkembangan seiring dengan kemajuan kebudayaan manusia. Sejak
manusia menemukan bahasa, mereka terus mengembangkan kemampuan berbahasanya hingga
menciptakan sastra yang lebih dapat mengeksprsikan perasaan manusia yang tak akan terpenuhi
hanya dengan memakai bahasa sehari-hari.
Dalam perkembangannya, sastra mengalami pembagian masa melewati kurun waktu
tertentu. berikut pembagiannya.
1. Zaman Purba, yang juga terbagi dalam beberapa masa, yaitu:
a. Zaman Baru;
b. Zaman Perunggu;
c. Zaman Tembaga;
d. Zaman Besi.
2. Masa Budha-Hindu
3. Masa Islam
4. Masa Sastra Melayu
5. Masa Sastra Peralihan
6. Masa Sastra Indonesia Modern
D. Fungsi Sastra
Dalam kehidupan masyarakat, sastra mempunyai beberapa fungsi yaitu:
1. Fungsi rekreatif, yaitu sastra dapat memberikan hiburan yang menyenangkan bagi penikmat
atau pembacanya.
2. Fungsi didaktif, yaitu sastra mampu mengarahkan atau mendidik pembacanya karena nilai-nilai
kebenaran dan kebaikan yang terkandung di dalamnya.
3. Fungsi estetis, yaitu sastra mampu memberikan keindahan bagi penikmat/pembacanya karena
sifat keindahannya.
4. Fungsi moralitas, yaitu sastra mampu memberikan pengetahuan kepada pembaca/peminatnya
sehingga tahu moral yang baik dan buruk, karena sastra yang baik selalu mengandung moral yang
tinggi.
5. Fungsi religius, yaitu sastra pun menghailkan karya-karya yang mengandung ajaran agama
yang dapat diteladani para penikmat/pembaca sastra.
E. Genre Sastra
Sastra memiliki genre atau ragam. Secara garis besar, sastra dibagi dalam beberapa genre,
yaitu sebagai berikut.
Dilihat dari bentuknya, sastra terdiri atas 4 bentuk yaitu:
1. Prosa, yaitu sastra yang berbentuk naratif. Bentuk sastra yang diuraikan menggunakan bahasa
bebas dan panjang tidak terikat oleh aturan-aturan tertentu.
2. Puisi, yaitu karangan yang mementingkan bunyi, bentuk, dan diksi. Untuk puisi lama, selalu
terikat oleh kaidah atau aturan tertentu, yaitu:
a. Jumlah baris tiap-tiap baitnya.
b. Jumlah suku kata atau kata dalam tiap-tiap barisnya.
c. Irama.
d. Persamaan bunyi kata.
3. Prosa liris, yaitu bentuk sastra yang disajikan seperti bentuk puisi namun menggunakan
bahasa yang bebas terurai seperti pada prosa.
4. Drama, yaitu bentuk sastra yang dilukiskan dengan menggunaka nbahasa yang bebas dan
panjang, serta disajikan menggunakan dialog atau monolog.
Dilihat dari isinya, sastra terdiri atas 4 macam, yaitu:
1. Epik, yaitu karangan yang melukiskan sesuatu secara obyektif tanpa mengikutkan pikiran dan
perasaan pribadi pengarang.
2. Lirik, yaitu karangan yang berisi curahan perasaan pengarang secara subyektif.
3. Didaktif, yaitu karya sastra yang isinya mendidik penikmat/pembaca tentang moral, tata krama,
masalah agama, dan lain-lain.
4. Dramatik, yaitu karya sastra yang isinya melukiskan sesuatu kejadian (baik atau buruk) dengan
pelukisan yang berlebih-lebihan.

F. Pembagian Sastra
Karya sastra Indonesia dapat dibagi menjadi 2 menurut zaman pembuatan karya tersebut.
Yang pertama adalah karya sastra lama Indonesia dan karya sastra baru Indonesia. Masing-
masing karya memiliki ciri khas tersendiri.

Karya sastra lama adalah karya sastra yang lahir dalam masyarakat lama, yaitu suatu
masyarakat yang masih memegang adat istiadat yang berlaku di daerahnya. Karya sastra lama
biasanya bersifat moral, pendidikan, nasihat, adat istiadat, serta ajaran-ajaran agama. Sastra lama
Indonesia memiliki ciri-ciri:
1. Terikat oleh kebiasaan dan adat masyarakat.
2. Bersifat istana sentris.
3. Bentuknya baku.
4. Cenderung anonim.

Bentuk karya sastra lama Indonesia adalah Pantun, Gurindam, Syair, Hikayat, Dongeng,
dan Tambo.

Karya sastra baru Indonesia sangat berbeda dengan sastra lama. Karya sastra ini sudah
tidak dipengaruhi adat kebiasaan masyarakat sekitarnya. Malahan karya sastra baru Indonesoia
cenderung dipengaruhi oleh sastra dari Barat. Ciri-ciri sastra baru Indonesia adalah:
1. Ceritanya berkisar kehidupan masyatrakat.
2. Bersifat dinamis.
3. Mencerminkan kepribadian pengarangnya.
4. Selalu diberi nama sang pembuat karya.

Bentuk sastra baru Indonesia antara lain adalah Roman/Novel, Cerpen, dan Puisi Modern.
Jadi, yang masuk ke dalam kategori sastra adalah:
Pantun;
Puisi;
Sajak;
Pribahasa;
Kata Mutiara;
Majas;
Novel;
Cerita/Cerpen (tertulis atau lisan);
Syair;
Drama;
Lukisan/Kaligrafi
G. Perkembangan Sastra Indonesia
Secara umum, waktu sastra Indonesia terbagi atas beberapa angkatan:
1. Pujangga Lama
Pujangga lama merupakan bentuk pengklasifikaian karya sastra di Indonesia yang dihasilkan
sebelum abad ke-20. Pada masa ini karya sastra di Indonesia didimnasi oleh syair, pantun,
gurindam hidayat.
Karya Sastra Pujangga Lama
Sejarah Melayu
Hikayat Abdullah
Hikayat Hang Tuah
Hikayat Kalila dan Damina
Syair Bidasari
Syair Ken Tambunan
Syair Raja Mambang Jaujari
Syair Raja Siak

2. Sastra Melayu Lama


Karya sastra di Indonesia yang dihasilkan antara tahun 1870-1942, yang berkembang di
lingkungan masyarakat Sumatera seperti Langkat, Tapanuli, Padang, dan daerah Sumatera
lainnya, orang Tionghoa dan masyarakat Indo-Eropa. Karya Sastra pertama yang terbit sekitar
tahun 1870 masih dalam bentuk syair, ikayat, dan terjemahan novel Barat.
Karya Sastra Melayu Barat
Robinson Crusoe (terjemahan)
Nyai Dasima oleh G. Francis (Indo)
Cerita Si Conat oleh F.D.J. Pangemanan
3. Angkatan Balai Pustaka
Karya sastra di Indonesia sejak tahun1920-1950, yang dipelopori oleh penerbit Balai
Pustaka. Prosa ( novel, cerita pendek, dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair,
pantun, gurindam, dan hikayat dalam khazanah sastra Indonesia pada masa ini.
Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dati bacaan cabul
dan liar yang dihasilkan oleh sastra melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian
(cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa
yaitu: bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa, dan bahasa Sunda dan dalam jumlh terbatas dalam
bahasa Bali, bahasa Batak, dan Bahasa Madura.
Pengarang dan karya sastra Angkatan Balai Pustaka
Tjinta dan Hawa Nafsu oleh Merari Siregar
Siti Nurbaya oleh Marah Rusli
Katak Hendak Menjadi Lembu oleh Abdul Muis
Tak Putus Dirundung Malang oleh Sutan Takdir Alisjabbana
Pahlawawan Minabasa oleh Marius Ramis Dayoh
4. Pujangga Baru
Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh balai
Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang
menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra
intelektual, nasionalistik, dan elitis menjadi bapak sastra modern Indonesia.
Pada masa itu, terbit pula majalah Poedjangga Baroe yang dipimpin oleh Sutan Takdir
Alisjabhana, Amir Hamzah, dan Armijn Pane. Karya sastra di Indonesia setelah zaman balai
Pustaka (tahun 1930-1942), dipelopori oleh Sutan Takdir Alisjahbana dkk. Masa ini ada dua
kelompok sastrawan Pujangga Baru yaitu:
a. Kelompok Seni untuk Seni yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Amir Hamzah.
b. Kelompok Seni untuk Pembangunan Masyarakat yang dimotori oleh Sutan Takdir Alisjabhana,
Armijn Pane, dan Rustan Effendi.
Penulis dan karya sastra Pujangga Baru
Tebaran Mega oleh Sutan Takdir Alisjabhana
Belenggu oleh Armijn Pane
Buah Rindu oleh Tengku Amir Hamzah
Puspa Mega oleh Sanusi Pane
Tanah Air oleh Muhammad Yamin

5. Angkatan 45
Pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya telah mewarnai karya sastrawan 45.
Karya sastra angkatan ini lebih realistik dibanding karya angkatan Pujangga Baru yang romantik-
idealistik.
Penulis dan karya sastra Angkatan 45
Deru Tjampur Debu oleh Chairil Anwar
Gadis Pantai oleh Pramoedya Ananta Toer
Harimau-Harimau! Oleh Mochtar Lubis
Suling oleh Utuy Tatang Sontani.
6. Angkatan 50-an
Angkatan 50-an ditandai dengan terbitnya majalah sastra Kisah asuhan H.B.Jasin. ciri
angkatan ini adalah karya sastra yang didominasi dengan cerita pendek dan kumpulan puisi.
Majalah tersebut bertahan sampai tahun 1956 dan diteruskan dengan majalah sastra lainnya,
Sastra.
Pada angkatan ini muncul gerakan komunis di kalangan sastrawan, yang bergabung dalam
Lembaga Kebudajaan Rakjatn (Lekra) yang berkonsep sastra realisme-sosialis. Timbullah
perpecahan dan polemik yang berkepanjangan di antara kalangan sastrawan di Indonesia pada
awal tahun 1960, menyebabkan andeknya perkembangan sastra karena masuk ke dalam politik
praktis dan berakhir pada tahun 1965 dengan pecahnya G30S di Indonesia.
Penulis dan karya sastra Angkatan 50-60-an
Cari Muatan oleh Ajib Rosisi
Datang Malam oleh Bokor Hutasubut
Surat Cinta oleh Enday Rasidin
Balada Orang Tertjinta oleh W.S. Rendra
7. Angkatan 66-70-an
Angkatan ini ditandai dengan terbitnya majalah sastra Horison. Semangat avant-garde
sangat menonjol pada angkatan ini. banyak karya sastra pada angkatan ini yang sangat beragam
dalam aliran sastra, munculnya karya sastra beraliran surrealistik, arus kesadaran, arketip,
abdsurd, dan lain-lain pada masa angkatan ini di Indonesia.
Penulis dan karya sastra angkatan 66
O oleh Sutardji Calzoum Bachri
Berbala oleh Danarto
Edan oleh putu wijaya
8. Dasawarsa 80-an
Karya sastra di Indonesia pada kurun waktu setelah tahun 1980, ditandai dengan banyaknya
roman percintaan, dengan sastrawan wanita yang menonjol pada masa tersebut yaitu Marga T.
Majalah Horison tidak ada lagi, karya sastra Indonesia pada masa angkatan ii tersebar luas di
berbagai majalah dan penerbitan umum.
Karya sastra Angkatan Dasawarsa 80-an
Badai Pasti Berlalu
Sajak Sikat Gigi
Manusia Kamar
Karmila
9. Angkatan Reformasi
Seiring terjadinya pergeseran kekuasaan politik dari tangan Soeharto ke BJ Habibie lalu KH
Abdurahman Wahid (Gusdur) dan Megawati Sukarnoputri, muncul wacana tentang Sastrawan
Angkatan Reformasi. Munculnya angkatan ini ditandai dengan maraknya karya-karya sastra, puisi,
cerpen, maupun novel, yang bertema sosial-politik, khususnya seputar Reformasi. Di Rubrik sastra
Harian Republika, misalnya, selama berbukan-bulan dibuka rubrik sajak-sajak peduli bangsa atau
sajak-sajak reformasi. Berbagai pentas pembacaan sajak dan penerbitan buku antologi puisi juga
didomionasi sajak-sajak bertema sosial-politik.
Sastrawan Angkatan Reformasi merefleksikan keadaan sosial dan Politik yang terjadi pada
akhir tahun 1990-an, seiring dengan jatuhnya Orde Baru. Proses reformasi politik yang dimulai
pada tahun 1998 banyak melatar belakangi kelahiran karya-karya sastra. Bahkan, penyair-penyair
yang semula jauh dari tema-tema sosial politik, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Achmadun
YosibHerfanda, dan Acep Zamsan Noer, Hartoto Benny Hidayat, juga ikut meramaikan suasana
dengan sajak-sajak sosial-politik mereka.
10. Sastrawan Angkatan 2000-an
Setelah wacana tentang lahirnya Sastrawan Angkatan Reformasi muncul, namun tidak
berhasil dikukuhkan karena tidak memiliki juru bicara, Korrie Layun Rampan pada tahunj 2002
melempar wacana tentang lahirnya Sastrawan angkatan 2000. Sebuah buku tebal tentang
Angkatan 2000 yang disusunnya diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta, tahun 2002. Seratus lebih
penyair, cerpenis, novelis, eseis, dan kritikus sasra dimasukkan Korrie ke dalam Angkatan 2000-
an, termasuk mereka yang sudah mulai menulis sejak 1980-an, seperti Afrizal Malna, Ahmadun
Yosi Herfanda dan Seno Gumira Asjidarma, serta muncul pada akhir 1990-an, seperti Ayu Utami,
dan Dorothea Rosa Herliany.

11. Cybesastra
Era internet memasuki komunitas sastra di Indonesia. Banyak karya sastra Indonesia yang
tidak dipublikasi berupa buku namun termaktub di dunia maya, baik yang dikelola resmi oleh
pemerintah, organisasi non-profit, maupun situs pribadi. Ada banyak situs sastra di dunia maya.

HAKIKAT SASTRA ANAK


Sastra berbicara tentang hidup dan kehidupan, tentang berbagai persoalan hidup manusia,
tentang kehidupan di sekitar manusia, tentang kehidupan pada umumnya, yang semuanya
diungkapkan dengan cra bahasa yang khas. Artinya, baik cara pengungkapan maupun bahasa
yang dipergunakan untuk mengungkapkan berbagai persoalan hidup, atau biasa disebut gagasan,
adalah khas sastra, khas dalam pengertian lain dari pada yang lain. Dalam bahasa sastra
terkandung unsur dan tujuan keindahan. Bahasa sastra lebih bernuansa keindahan daripada
kepraktisan. Karakteristik tersebut juga berlaku dalam sastra anak.
Sastra: memberi kesenangan dan pemahaman tentang kehidupan.Sastra menurut
Lukens (2003:9) menawarkan dua hal utama, yaitu kesenangan dan pemahaman. Sastra hadir
kepada pembaca pertama tama adalah memberikan hiburan, hiburan yang
menyenangkan. Sastra: citra dan metafora kehidupan. Saxbya (1991:4) mengatakan bahwa
sastra pada hakikatnya adalah citraan kehidupan, gambaran kehidupan. Siapakah penulis sastra
anak? sastra anak adalah karya sastra yang menempatkan sudut pandang anak sebagai pusat
pencitraan.

GENRE SASTRA ANAK


Sebagaimana halnya dalam sastra dewasa, sastra anak juga mengenal apa yang disebut
genre. Genre dapat dipahami sebagai suatu macam atau tipe kesastraan yang memiliki
seperangkat karakteristik umum (Lukens, 2003:13). Atau menurut Mitchell (2003:5-6). Secara garis
besar Lukens mengelompokkan genre sastra anak ke dalam enam macam, yaitu realisme, fiksi
formula, fantasi, sastra tradisional, puisi, dan nonfiksi.

1. Realisme
Realisme dalam sastra dapat dipahami bahwa cerita yang dikisahkan itu mungkin saja ada
dan terjadi walau tidak harus bahwa ia memang benar benar ada dan terjadi. Karakteristik umum
cerita realisme adalah narasi fiksional yang menampilkan tokoh dengan karakter yang menarik
yang dikemas dalam latar tempat dan waktu yang memungkinkan.
Cerita realisme, cerita realisme biasanya bercerita tentang masalah masalah sosial yang
menampilkan tokoh utama protagonis sebagai pelaku cerita. Masalah masalah yang dihadapi
itulah yang menjadi sumber pengembangan konflik dan alur cerita. Untuk cerita anak, cerita lebih
banyak diselesaikan, tetapi harus tetap mempertahankan logika cerita.
Realisme binatang. Cerita realisme binatang adalah cerita tentang binatang yang bersifat
nonfiksi. Misalnya yang berkaitan dengan bentuk fisik, habitat, cara dan siklus hidup dll.
Realisme historis. Cerita realisme historis mengisahkan peristiwa yang terjadi pada masa
lampau.
Realisme olahraga. Realisme olah raga adalah cerita tentang berbagai hal yang berkaitan dengan
dunia olahraga.
2. Fiksi Formula
Genre ini sengaja disebut sebagai fiksi formula karena memiliki pola pola tertentu
membedakannya dengan jenis yang lain. Jenis sastra anak yang dapat dikategorikan kedalam fiksi
formula adalah cerita misteri dan detektif, cerita romantis, dan novel serial.
Cerita Misterius dan Detektif biasanya dikemas dalam suatu waktu, lampau, kini, atau
mendatang, dan menyajikan terir tiab bagian.

Cerita Romantis cerita ini biasa menampilkan kisah simplistis dan sentimentalis hubungan
laki laki perempuan, dan itu seolah olah merupakan satu satunya fokus dalam dunia remaja
Novel Serial dimaksudkan sebagai novel yang diterbitkan secara terpisah, namun novel
novel itu merupakan saku kesatuan unit.
3. Fantasi
Cerita fantasi dikembangkan lewat imajinasi yang lazim dan dapat diterima sehingga
sebagai cerita dapat diterima oleh pembaca. Jenis sastra anak yang dapat dikelompokkan ke
dalam fantasi ini adalah cerita fantasi, fantasi tingkat tinggi, dan fiksi lain.
Cerita Fantasi dapat dipahami sebagai cerita yang menampilkan tokoh, alur, atau tema
yang derajat kebenarannya diragukan, baik menyangkut seluruh atau sebagian dari cerita. Cerita
fantasi juga menampilkan berbagai peristiwa dan aksi realistik sebagaimana halnya dalam cerita
realistik, tetapi di didalamnya juga terdapat sesuatu yang sulit diterima.
Cerita Fantasi Tinggi cerita yang pertama tama ditandai oleh adanya fokus konflik antara
yang baik dan yang jahat, antara kebaikan dan kejahatan.
Fiksi sain. Fiksi spekulatif yang pengarangnya mengambil postulat dari dunia nyata sebagaimana
yang kita ketahui dan mengaitkan fakta dengan hukum alam.
4 Sastra Tradisional
Istilah tradisional dalam kesastraan menunjukkan bahwa bentuk itu berasal dari cerita
yang telah mentradisi, tidak diketahui kapan mulainya dan siapa penciptanya, dan dikisahkan
secara turun menurun secara lisan. Jenis cerita yang dikelompokkan ke dalam genre adalah
fabel, dongeng rakyat, mitologi, legenda, dan epos.
Fabel. Fabel adalah cerita binatang yang dimaksudkan sebagai personifikasi karakter
manusia. Pada umumnya fabel tidak panjang, dan secara jelas mengandung ajaran moral dan
pesan moral. Tujuan penyampaian dan ajaran moral inilah yang menjadi fokus pencitraan dan
sekaligus menyebabkan hadirnya fabel di tengah masyarakat.
Dongeng Rakyat. Dongeng rakyat merupakan salah satu bentuk dari cerita tradisional.
Dongeng pun hadir terutama karena dimaksudkan untuk menyampaikan ajaran moral, konflik
kepentingan antara yang baik dan yang buruk, dan yang baik pastinya akan menang.
Mitos. Mitos merupakan cerita masa lampau yang dimiliki oleh bangsa bangsa di dunia.
Mitos dapat dipahami sebagai sebuah cerita yang berkaitan dengan dewa dewa atau tentang
kehidupan supranatural yang lain, juga sering mengandung sifat pendewaan manusia atau
manusia keturunan dewa. Mitos diyakini mengandung kristalisasi nilai nilai yang telah hidup
sekian lama di masyarakat di suatu kebudayaan. Ia dipahami sebagai suatu sistem komunikasi
yang memberikan pesan yang berkaitan dengan aturan aturan masa lalu, ide, ingatan, dan
kenangan atau keputusan keputusan yang diyakini. Jadi, di dalam mitos terkandung unsur tata
nilai kehidupan masyarakat.
Legenda. Legenda mempunyai kemiripan dengan mitologi, bahkan sering tumpang tindih
penamaan diantara keduanya. Keduanya, yang jelas sama sama merupakan cerita tradisional.
Legenda sengaja dikaitkan dengan aspek kesejarahan sehingga, selain memiliki pijakan latar yang
pasti, seolah olah mengesankan bahwa ceritanya memiliki kebenaran sejarah.
Epos. Epos merupakan sebuah cerita panjang yang berbentuk syair atau puisi dengan
pengarang yang tidak pernah diketahui, anonim. Cerita epos memperlihatkan nilai - nilai penting
dari masyarakat pemiliknya yang mengesankan pembaca sehingga dapat memberikan kekuatan
moral dan keberanian.
5 Puisi
Sebuah karya sastra berbentuk puisi jika di dalamnya terdapat pendayagunaan berbagai
unsur bahasa untuk mencapai efek keindahan. Genre puisi anak dapat berwujud puisi puisi lirik
tembang tembang anak tradisional, lirik tembang tembang nina bobo, puisi naratif, dan puisi
personal. Puisi naratif adalah puisi yang di dalamnya mengandung cerita, atau ceritanya yang
dikisahkan dengan cara puisi.
6 Nonfiksi
Tidak semua buku nonfiksi dapat dimasukkan dalam genre ini, khususnya buku buku
yang tidak diperhatikan keharmonisan bentu bahasa dan isi. Untuk kepentingan praktis, bacaan
nonfiksi dapat dikelompokkan dalam subgenre buku informasi dan biografi.
Buku informasi. Buku ini memberikan informasi fakta, konsep, hubungan antar fakta dan
konsep dll yang mampu menstimulasi keingintahuan anak atau pembaca.
Biografi. Biografi adalah buku yang berisi riwayat hidup seseorang. Tentu saja tidak semua
aspek kehidupan dan peristiwa dikisahkan, melaikan dibatasi pada hal hal tertentu yang
dipandang perlu dan menarik untuk diketahui orang lain.
7 Pembagian Genre yang Diusulkan
Di bawah ini dikemukakan genre sastra anak berdasarkan analogi pembagian genre sastra
dewasa dengan masih memanfaatkan pembagian Lukens. Genre sastra anak cukup dibedakan ke
dalam fiksi, nonfiksi, puisi, sastra tradisional, dan komik dengan masing masing memiliki
subgenre.
(1) Fiksi bentuk penulisan fiksi adalah prosa. Artinya, karangan ditulis secara prosa, bentuk
uraian dengan kalimat relatif panjang, dan format penulisan memenuhi halaman dari margin kiri ke
kanan.
Genre fiksi yang dimaksudkan di sini dalam pengertian fiksi modern, yaitu yang menunjuk
pada cerita yang ditulis relatif baru, pengarang jelas, dan beredar sudah dalam bentuk buku atau
cetakan lewat media masa seperti koran dan majalah.
(2) Nonfiksi. Jika fiksi berisi cerita yang tidak menunjuk pada kebenaran faktual dan sejarah,
nonfiksi justru sebaliknya, yaitu karangan yang menunjuk pada kebenaran faktuial, sejarah, atau
sesuatu yang lain yang memiliki kerangka acuan pasti atau memiliki bukti bukti empiris, sebagai
mana karangan ilmiah yang dihasilkan anak anak dalam pelajaran mengarang di sekolah yang
berangkat dari fakta tertentu.
(3) Puisi. Puisi hadir dengan bahasa singkat padat, larik larik pendek yang mungkin membentuk
bait bait, dan secara format penulisan tidak memenuhi halaman dari margin kiri sampai kanan.
Puisi yang dimaksudkan di sini adalah puisi anak modern, yaitu yang menun jukkan pada
pengertian puisi yang ditulis dalam waktu kini, ada pengarangnya, dan tersebar lewat buku atau
media masa koran dan majalah.
(4) Sastra Tradisional. Sastra tradisional adalah sastra rakyat yang tidak jelas kapan
penciptaannya dan tidak pernah diketahui pengarangnya yang diwariskan secara turun menurun
terutama lewat sarana lisan atau dalam bentuk tulisan (tangan).
Puisi tradisional, yaitu puisi yang tidak pernah diketahui waktu penulisan dan siapa penyairnya.
(5) Komik. komik adalah cerita bergambar dengan sedikit tulisan, bahkan kadang kadang ada
gambar yang tanpa tulisan karena gambar gambar itu sudah berbicara sendiri. Berdasarkan isi
cerita, komik dapat di kategorikan ke dalam komik fiksi dan nonfiksi. komik fiksi adalah komik yang
isinya berupa cerita khayal, secara faktual tidak pernah ada dan terjadi, dan lebih mengandalkan
kekuatan imajinasi pengarangnya.Komik nonfiksi, dipihak lain, isinya mengisahkan sesuatu yang
pernah ada yang terjadi dalam sejarah, jadi bersifat faktual. Intinya komik haruslah dibuat dengan
memperhatikan nilai nilai edukatif.
KONTRIBUSI SASTRA ANAK
Sastra anak diyakini memiliki kontribusi yang besar bagi sebagian manusia yang
mempunyai jati diri yang jelas. Kepribadian dan atau jati diri seorang anak dibentuk dan terbentuk
lewat lingkungan baik diusahakan secara sadar maupun tidak sadar. Saxby mengemukakan bahwa
kontribusi sastra anak tersebut membentang dari dukungan terhadap pertumbuhan berbagai
pengalaman (rasa, emosi, bahasa), personal (kognitif, sosial, etis, spiritual), eksplorasi dan
penemuan, namun juga petualangan dalam kenikmatan. Sementara itu, Huck dkk. mengemukakan
bahwa nilai sastra anak secara garis besar dapat dibedakan kedalan dua kelompok, yaitu personal
(personal values) dan nilai pendidikan (educational values) dengan masing masing masih dapat
dirinci menjadi sejumlah subkategori nilai. Sejumlah kontribusi sastra anak bagi anak yang sedang
dalam taraf pertumbuhan dan perkembangan yang melibatkan berbagai aspek kedirian yang
secara garis besar dikelompokkan ke dalam nilai personal dan nilai pendidikan.
1 Nilai personal
a. perkembangan emosional
Anak usia dini yang belum dapat berbicara, atau baru berada dalam tahap perkembangan
bahasa satu kata atau kalimat dalam dua tiga kata, sudah ikut tertawa tawa ketika diajak
bernyanyi bersama sambil bertepuk tangan. Anak tampak menikmati lagu lagu bersajak yang
ritnis dan larut dalam kegembiraan. Hal itu dapat dipahami bahwa sastra lisan yang berwujud puisi-
lagu tersebut dapat merangsang kegembiraan anak, merangsang emosi anak untuk bergembira,
bahkan ketika anak masih berstatus bayi.
Dalam perkembangan selanjutnya seyelah anak dapat memahami cerita, baik diperoleh
lewat pendengaran, misalnya diceritai atau dibicarakan, maupun lewat kegiatan membaca sendiri,
anak akan memperoleh demonstrasi kehidupan sebagaimana yang diperagakan oleh para tokoh
cerita.
Dengan demikian, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan membaca buku
buku cerita itu anak akan belajar bersikap dan bertingkah laku secara benar. Kemampuan
seseorang mengelolah emosi istilah yang dipakai adalah Emotional Quotient (EQ) yang analog
Intelligence Quotient (IQ), juga Spiritual Qoutient (SQ) _dewasa ini dipandang sebagai aspek
personalitas yang besar pengaruhnya bagi kesuksesan hidup, bahkan diyakini lebih berperan dari
pada IQ.
b. Perkembangan Intelektual
Hubungan yang dibangun dalam pengembangan alur pada umunya berupa hubungan
sebab akibat. Artinya, suatu peristiwa terjadi akibat atau mengakibatkan terjadinya peristiwa
peristiwa yang lain. Untuk dapat memahami cerita itu, anak harus mengikuti logika hubungan
tersebut. Pembelajaran seni yang antara lain bertujuan untuk menanam pupuk, dan
mengembangkan daya apresiasi sejak anak usia dini, juga diyakini berperan besar dalam
menunjang perkembangan perkembangan kemampuan diri.
c. Perkembangan Imajinasi
Bagi anak usia dini yang belum dapat membaca dan hanya dapat memahami sastra lewat
orang lain, cara menyampaikannya masih amat berpengaruh sebagian halnya orang dewasa
mengapresiasi poetry reading atau deklamasi. Sastra yang notabene adalah karya yang
mengandalkan kekuatan imajinasi menawarkan petualangan imajinasi yang luar biasa kepada
anak. Imajinasi dalam pengertian ini jangan dipahami sebagai khayalan atau daya khayal saja,
tetapi lebih menunjuk pada makna creative thinking, pemikiran yang kreatif, jadi ia bersifat
produktif. Oleh karena itu, Sejak dini potensi yang amat penting itu harus diberi saluran agar dapat
berkembang secara wajar dan maksimal antara lain lewat penyediaan bacaan sastra.

d. Pertumbuhan Rasa Sosial


Kesadaran untuk hidup bermasyarakat atau masuk dalam kelompok tersebut pada diri anak
semakin besar sejalan dengan perkembangan usia. Bahkan, pengaruh kelompok dan atau
kehidupan bermasyarakat tersebut akan semakin besar melebihi pengaruh lingkungan dikeluarga,
misalnya dalam penerimaan konsep baik dan buruk. Anak usia 10 sampai 12 tahun sudah
mempunyai cita rasa keadilan dan peduli kepada orang lain yang lebih tinggi. Bacaan cerita sastra
yang mengeksploitasi kehidupan bersosial secara baik akan mampu menjadikannya sebagia
contoh bertingkah laku sosial kepada anak sebagaimana aturan sosial yang berlaku.
e. Pertumbuhan Rasa Etis dan Religius
Nilai-nilai sosial, moral, etika, dan religius, perlu ditanamkan kepada anak sejak dini secara
efektif lewat sikap dan perilaku hidup keseharian. Hal itu tidak saja dapat dicontohkan oleh dewasa
di sekeliling anak, melainkan juga lewat bacaan cerita sastra yang juga menampilkan sikap dan
perilaku tokoh. Pada umumnya anak akan mengidentifikasikan diri dengan tokoh-tokoh yang baik
itu, dan itu berarti tumbuhnya kesadaran untuk meneladani sikap dan perilaku tokoh tersebut.

Nilai Pendidikan
1 Eksplorasi dan Penemuan
Lewat kekuatan imajinatif anak dibawa masuk ke sebuah pengalaman yang juga
imajinatif,pengalaman batin yang tidak harus dialami secara faktual, yang sekaligus juga berfungsi
meningkatkan daya imajinatif. Berhadapan dengan cerita, anak dapat dibiasakan mengkritisinya,
misalnya ikut menebak sesuatu seperti dalam cerita detektif dan misterius, menemukan bukti
bukti, alasan bertindak, menemukan jalan keluar kesulitan yang dihadapi tokoh, dan lain lain
termasuk memprediksikan bagian penyelesaian kisahnya. Berpikir secara logis dan kritis yang
demikian dapat dibiasakan dan atau dilatihkan lewat eksplorasi dan penemuan penemuan dalam
bacaan cerita sastra.
2 Perkembangan Bahasa
Sastra adalah sebuah karya seni yang bermediakan bahasa, maka aspek bahasa
memegang peran penting di dalamnya. Sastra tidak lain adalah suatu bentuk permainan bahasa,
dan bahkan dalam genre puisi unsur permainan tersebut cukup menonjol, misalnya yang berwujud
permainan rima dan irama. Prasyarat untuk dapat membaca atau mendengarkan dan memahami
sastra adalah penguasaan bahasa yang bersangkutan. Bahasa dipergunakan untuk memahami
dunia yang ditawarkan, tetapi sekaligus sastra juga berfungsi meningkatkan kemampuan
berbahasa anak, baik menyimak, membaca, berbicara, maupun menulis. Bacaan sastra untuk anak
yang baik antara lain adalah yang ditingkat kesulitan berbahasanya masih dalam jangkauan anak,
tetapi bahasa yang terlalu sederhana untuk usia tertentu, baik kosakata maupun struktur kalimat,
justru kurang meningkatkan kekayaan bahasa anak. Pengenalan kesastraan kepada anak
terutama di sekolah sebaiknya melibatkan keempat saluran berbahasa tersebut dengan strategi
yang dikreasikan sendiri oleh guru secara kontekstual.
3 Pengembangan Nilai Keindahan
Sebagai salah satu bentuk karya seni, sastra memiliki aspek keindahan. Keindahan itu
dalam genre puisi antara lain dicapai dengan pemainan bunyi, kata, dan makna. Keindahan dalam
genre fiksi antara lain dicapai lewat penyajian yang menarik, bersuspense tinggi, dan diungkap
lewat bahasa yang tepat. Artinya, aspek bahasa itu maupun mendukung hidupnya cerita,
mendukung ekspresi sikap dan perilaku tokoh, mendukung gagasan tentang dunia yang
disampaikan, dan dari aspek bahasa itu juga dipilih kata, struktur, dan ungkapan yang tepat.
4 Penanaman Wawasan Multikultural
Sastra tradisional, misalnya, mengandung berbagai aspek kebudayaan tradisional
masyarakat pendukungnya , maka dengan membaca cerita tradisional dari berbagai daerah akan
di peroleh pengetahuan dan wawasan tentang kebudayaan masyarakat yang bersangkutan.
Dengan demikian, aspek invisible culture ini dipahami lebih penting dari pada visble culture
misalnya, adat kebiasaan, norma norma yang berlaku, masalah yang layak dan tak layak yang
dibicarakan di muka umum, dan lain lain. Adanya perbedaan invisble culture diantara berbagai
kelompok sosial tersebut dapat mengundang konflik jika tidak pandai pandai menempatkan diri
dalam bersikap ketika berhadapan dengan warga dari kultur lain.
5 Penanaman Kebiasaan Membaca
Kata kata bijak yang mengatakan bahwa buku adalah jendela buku ilmu pengetahuan,
buku adalah jendela untuk melihat dunia, menemui relevansinya yang semakin kuat dalam abad
informasi dewasa ini. Peran bacaan sastra selain ikut membentuk kepribadian anak, juga
menumbuhkan dan rasa ingin dan mau membaca, yang akhirnya membaca tidak terbatas hanya
pada bacaan sastra. Sastra dapat memotivasi anak untuk mau membaca. Kalau sebagian kita
dapat kecanduan merokok, mengapa tidak diusahakan kecanduan membaca, dan itu sudah
ditimbulkan dan dibiasakan sejak anak anak.

Anda mungkin juga menyukai