Anda di halaman 1dari 45

REFERAT

PENGARUH TERAPI HIPERBARIK OKSIGEN TERHADAP


VERTIGO

Penyusun :
Ricky Rachmano F. 2009.04.0.0106
Jenny 2009.04.0.0112

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH


RSAL dr. RAMELAN SURABAYA
2015
LEMBAR PENGESAHAN

Judul referat Pengaruh Terapi Hiperbarik Oksigen Terhadap Vertigo


telah diperiksa dan disetujui sebagai salah satu tugas baca dalam rangka
menyelesaikan studi kepaniteraan Dokter Muda di bagian LAKESLA.

Mengetahui,
Pembimbing

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkah dan rahmatNya, kami bisa menyelesaikan referat dengan
topik Pengaruh Terapi Hiperbarik Oksigen Terhadap Vertigo dengan
lancar. Referat ini disusun sebagai salah satu tugas wajib untuk
menyelesaikan kepaniteraan klinik di bagian LAKESLA RSAL dr.
RAMELAN Surabaya, dengan harapan dapat dijadikan sebagai tambahan
ilmu yang bermanfaat bagi pengetahuan penulis maupun pembaca.
Dalam penulisan dan penyusunan referat ini tidak lepas dari
bantuan dan dukungan berbagai pihak, untuk itu kami mengucapkan
terima kasih kepada:
a. dr. , selaku Pembimbing Referat.
b. Para dokter di bagian LAKESLA RSAL dr. RAMELAN Surabaya.
c. Para perawat dan pegawai di LAKESLA RSAL dr. RAMELAN
Surabaya.
Kami menyadari bahwa referat yang kami susun ini masih jauh dari
kesempurnaan, maka saran dan kritik yang membangun dari semua pihak
sangat diharapkan. Semoga referat ini dapat memberi manfaat.

Surabaya, Juni 2015

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... i
KATA PENGANTAR ...................................................................................ii
DAFTAR ISI ............................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................... 2
2.1 Vertigo ............................................................................................. 2
2.1.1 Definisi ....................................................................................... 2
2.1.2 Epidemiologi .............................................................................. 2
2.1.3 Etiologi ....................................................................................... 3
2.1.4 Klasifikasi ................................................................................... 4
2.1.5 Patofisiologi ............................................................................... 7
2.1.6 Gejala klinis ............................................................................. 10
2.1.7 Pemeriksaan fisik ..................................................................... 14
2.1.8 Pemeriksaan penunjang .......................................................... 20
2.1.9 Diagnosis ................................................................................. 20
2.1.10 Penatalaksanaan ..................................................................... 20
2.1.10.1 Medikasi.............................................................................. 21
2.1.10.2 Terapi fisik .......................................................................... 23
2.2 Terapi Hiperbarik Oksigen............................................................. 25
2.2.1 Pengertian ............................................................................... 25
2.2.2 Hyperbarik chamber................................................................. 26
2.2.3. Fisiologi terapi hiperbarik oksigen ............................................ 26
2.2.4 Manfaat .................................................................................... 29
2.2.5 Indikasi..................................................................................... 30
2.2.6 Kontraindikasi .......................................................................... 33
2.2.7 Komplikasi ............................................................................... 35
2.3 Pengaruh Terapi HBO Terhadap Vertigo ...................................... 37
BAB III KESIMPULAN .............................................................................. 38
3.1 Kesimpulan ................................................................................... 38
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 40

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Vertigo adalah halusinasi gerakan lingkungan sekitar serasa
berputar mengelilingi pasien atau pasien serasa berputar mengelilingi
lingkungan sekitar. Vertigo tidak selalu sama dengan dizziness. Dizziness
adalah sebuah istilah non spesifik yang dapat dikategorikan ke dalan 4
subtipe tergantung gejala yang digambarkan oleh pasien. (Sura, D.J.,
2010).
Terdapat empat tipe dizziness yaitu vertigo, lightheadedness,
presyncope, dan disequilibrium. Yang paling sering adalah vertigo yaitu
sekitar 54% dari keluhan dizziness yang dilaporkan pada primary care.
(Lempert, T., 2009).
Hiperbarik oksigen saat ini menjadi terapi yang sangat membantu
dalam penyakit klinis seperti stroke, diabetes, luka bakar maupun tuli
mendadak, dll. Prinsip dari terapi oksigen hiperbarik ini adalah
memberikan asupan oksigen tingkat tinggi agar kerja dari setiap sel yang
ada di tubuh semakin baik dan optimal, diharapkan dapat membantu
penyakit-penyakit yang tergolong berbahaya dan mengancam jiwa dengan
fungsi dari oksigen tingkat tinggi tersebut.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Vertigo
2.1.1 Definisi
Vertigo adalah halusinasi gerakan lingkungan sekitar serasa
berputar mengelilingi pasien atau pasien serasa berputar mengelilingi
lingkungan sekitar. Vertigo tidak selalu sama dengan dizziness. Dizziness
adalah sebuah istilah non spesifik yang dapat dikategorikan ke dalan 4
subtipe tergantung gejala yang digambarkan oleh pasien. Dizziness dapat
berupa vertigo, presinkop (perasaan lemas disebabkan oleh berkurangnya
perfusi cerebral), light-headness, disequilibrium (perasaan goyang atau
tidak seimbang ketika berdiri). (Sura, D.J., 2010).
Vertigo - berasal dari bahasa Latin vertere yang artinya memutar -
merujuk pada sensasi berputar sehingga mengganggu rasa
keseimbangan seseorang, umumnya disebabkan oleh gangguan pada
sistim keseimbangan. (Labuguen, 2006).

2.1.2 Epidemiologi
Vertigo merupakan gejala yang sering didapatkan pada individu
dengan prevalensi sebesar 7%. Beberapa studi telah mencoba untuk
menyelidiki epidemiologi dizziness, yang meliputi vertigo dan non
vestibular dizziness. Dizziness telah ditemukan menjadi keluhan yang
paling sering diutarakan oleh pasien, yaitu sebesar 20-30% dari populasi
umum. Dari keempat jenis dizziness vertigo merupakan yang paling sering
yaitu sekitar 54%. Pada sebuah studi mengemukakan vertigo lebih banyak
ditemukan pada wanita disbanding pria (2:1), sekitar 88% pasien
mengalami episode rekuren. (Lempert, T., 2009).
Frekuensi Di Amerika Serikat, sekitar 500.000 orang menderita
stroke setiap tahunnya. Dari stroke yang terjadi, 85% merupakan stroke
iskemik, dan 1,5% diantaranya terjadi di serebelum. Rasio stroke iskemik
serebelum dibandingkan dengan stroke perdarahan serebelum adalah 3-

2
5: 1. Sebanyak 10% dari pasien infark serebelum, hanya memiliki gejala
vertigo dan ketidakseimbangan. Insidens sklerosis multiple berkisar
diantara 10-80/ 100.000 per tahun.
Jenis kelamin pada insidens penyakit cerebrovaskular sedikit lebih
tinggi pada pria dibandingkan wanita. Dalam satu seri pasien dengan
infark serebelum, rasio antara penderita pria dibandingkan wanita adalah
2:1.
Vertigo sentral biasanya diderita oleh populasi berusia tua karena
adanya faktor resiko yang berkaitan, diantaranya hipetensi, diabetes
melitus, atherosclerosis, dan stroke. Rata-rata pasien dengan infark
serebelum berusia 65 tahun, dengan setengah dari kasus terjadi pada
mereka yang berusia 60-80 tahun. Dalam satu seri, pasien dengan
hematoma serebelum rata-rata berusia 70 tahun. (Lempert, T., 2009).

2.1.3 Etiologi
Vertigo merupakan suatu gejala,sederet penyebabnya antara lain
akibat kecelakaan, stres, gangguan pada telinga bagian dalam, obat-
obatan, terlalu sedikit atau banyak aliran darah ke otak dan lain-lain.
Tubuh merasakan posisi dan mengendalikan keseimbangan melalui organ
keseimbangan yang terdapat di telinga bagian dalam. Organ ini memiliki
saraf yang berhubungan dengan area tertentu di otak. Vertigo bisa
disebabkan oleh kelainan di dalam telinga, di dalam saraf yang
menghubungkan telinga dengan otak dan di dalam otaknya sendiri.
(Arsyad, 2010).
Keseimbangan dikendalikan oleh otak kecil yang mendapat
informasi tentang posisi tubuh dari organ keseimbangan di telinga tengah
dan mata. Penyebab umum dari vertigo:
a. Keadaan lingkungan : mabuk darat, mabuk laut.
b. Obat-obatan : alkohol, gentamisin.
c. Kelainan telinga : endapan kalsium pada salah satu kanalis
semisirkularis di dalam telinga bagian dalam yang menyebabkan
benign paroxysmal positional

3
d. infeksi telinga bagian dalam karena bakteri, labirintis, penyakit
maniere,
e. peradangan saraf vestibuler, herpes zoster.
f. Kelainan Neurologis : Tumor otak, tumor yang menekan saraf
vestibularis, sklerosis multipel, dan patah tulang otak yang disertai
cedera pada labirin, persyarafannya atau keduanya.
g. Kelainan sirkularis : Gangguan fungsi otak sementara karena
berkurangnya aliran darah ke salah satu bagian otak ( transient
ischemic attack ) pada arteri vertebral dan arteri basiler. (Mamil,
2011).

Penyebab vertigo dapat berasal dari perifer yaitu dari organ


vestibuler sampai ke inti nervus VIII sedangkan kelainan sentral dari inti
nervus VIII sampai ke korteks.

2.1.4 Klasifikasi
Vertigo dapat diklasifikasikan menjadi :
a. Sentral diakibatkan oleh kelainan pada batang otak atau
cerebellum
b. Perifer disebabkan oleh kelainan pada telinga dalam atau nervus
cranialis vestibulocochlear (N. VIII).
c. Medical vertigo dapat diakibatkan oleh penurunan tekanan darah,
gula darah yang rendah, atau gangguan metabolic karena
pengobatan atau infeksi sistemik. (Lempert, 2009).

A. Vertigo Perifer
Terdapat tiga jenis vertigo perifer yang paling sering dialami yaitu :
1. Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV)
Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) merupakan
penyebab utama vertigo. Onsetnya lebih seriang terjadi pada usia
rata-rata 51 tahun. (Arsyad, 2010). Benign Paroxysmal Positional
Vertigo (BPPV) disebabkan oleh pergerakan otolit dalan kanalis

4
semisirkularis pada telinga dalam. Hal ini terutama akan
mempengaruhi kanalis posterior dan menyebabkan gejala klasik
tapi ini juga dapat mengenai kanalis anterior dan horizontal. Otoli
mengandung Kristal-kristal kecil kalsium karbonat yang berasal dari
utrikulus telinga dalam. Pergerakan dari otolit distimulasi oleh
perubahan posisi dan menimbulkan manifestasi klinik vertigo dan
nistagmus. (Kovar, 2006).
Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) biasanya
idiopatik tapi dapat juga diikuti trauma kepala, infeksi kronik
telinga, operasi dan neuritis vestibular sebelumny, meskipun
gejala benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) tidak terjadi
bertahun-tahun setelah episode. (Kovar, 2006).

2. Mnires disease
Mnires disease ditandai dengan vertigo yang intermiten
diikuti dengan keluhan pendengaran. (Antunes, 2009). Gangguan
pendengaran berupa tinnitus (nada rendah), dan tuli sensoris
pada fluktuasi frekuensi yang rendah, dan sensasi penuh pada
telinga. 10 Mnires disease terjadi pada sekitar 15% pada kasus
vertigo otologik. Mnires disease merupakan akibat dari
hipertensi endolimfatik. Hal ini terjadi karena dilatasi dari
membrane labirin bersamaan dengan kanalis semisirularis
telinga dalam dengan peningkatan volume endolimfe. Hal ini dapat
terjadi idiopatik atau sekunder akibat infeksi virus atau bakteri
telinga atau gangguan metabolic. (Mark, 2008).

3. Vestibular Neuritis
Vestibular neuritis ditandai dengan vertigo, mual, ataxia, dan
nistagmus. Hal ini berhubungan dengan infeksi virus pada
nervus vestibularis. Labirintis terjadi dengan komplek gejala yang
sama disertai dengan tinnitus atau penurunan pendengaran.

5
Keduanya terjadi pada sekitar 15% kasus vertigo otologik.
(Antunes, 2009).

B. Vertigo Sentral
Beberapa penyakit yang dapat menimbulkan vertigo sentral :
1. Migraine
Selby and Lance (1960) menemukan vertigo menjadi gejala
yang sering dilaporkan pada 27-33% pasien dengan migraine..
Sebelumnya telah dikenal sebagai bagian dari aura (selain
kabur, penglihatan ganda dan disarthria) untuk basilar migraine
dimana juga didapatkan keluhan sakit kepala sebelah. Vertigo pada
migraine lebih lama dibandingkan aura lainnya, dan seringkali
membaik dengan terapi yang digunakan untuk migraine.
2. Vertebrobasilar insufficiency
Vertebrobasilar insufficiency biasanya terjadi dengan
episode rekuren dari suatu vertigo dengan onset akut dan
spontan pada kebanyakan pasien terjadi beberapa detik sampai
beberapa menit. Lebih sering pada usia tua dan pada paien yang
memiliki factor resiko cerebrovascular disease. Sering juga
berhungan dengan gejala visual meliputi inkoordinasi, jatuh,
dan lemah. Pemeriksaan diantara gejala biasanya normal.
3. Tumor Intrakranial
Tumor intracranial jarang member manifestasi klinik vertigo
dikarenakan kebanyakan adalah tumbuh secara lambat sehingga
ada waktu untuk kompensasi sentral. Gejala yang lebih sering
adalah penurunan pendengaran atau gejala neurologis . Tumor
pada fossa posterior yang melibatkan ventrikel keempat atau Chiari
malformation sering tidak terdeteksi di CT scan dan butuh
MRI untuk diagnosis. Multipel sklerosis pada batang otak akan
ditandai dengan vertigo akut dan nistagmus walaupun biasanya
didaptkan riwayat gejala neurologia yang lain dan jarang vertigo
tanpa gejala neurologia lainnya. (Mark, 2008).

6
Tabel 2.1 Perbedaan vertigo sentral dan perifer
Ciri-ciri Vertigo Perifer Vertigo Sentral
Lesi Sistem vestibular (telinga Sistem vertebrobasiler
dalam, saraf perifer) dan gangguan vaskular
(otak, batang otak,
serebelum)
Penyebab Vertigo posisional iskemik batang otak,
paroksismal vertebrobasiler
jinak (BPPV), penyakit insufisiensi, neoplasma,
maniere, migren basiler
neuronitis vestibuler,
labirintis,
neuroma akustik, trauma
Gejala gangguan SSP Tidak ada Diantaranya :diplopia,
parestesi,
gangguan sensibilitas
dan fungsi
motorik, disartria,
gangguan serebelar
Masa laten 3-40 detik Tidak ada
Habituasi Ya Tidak
Intensitas vertigo Berat Ringan
Telinga berdenging dan Kadang-kadang Tidak ada
atau tuli
Nistagmus spontan + -

2.1.5 Patofisiologi
Vertigo timbul jika terdapat gangguan alat keseimbangan tubuh
yang mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh (informasi
aferen) yang sebenarnya dengan apa yang dipersepsi oleh susunan
saraf pusat (pusat kesadaran). Susunan aferen yang terpenting dalam
sistem ini adalah susunan vestibuler atau keseimbangan, yang secara
terus menerus menyampaikan impulsnya ke pusat keseimbangan.

7
Susunan lain yang berperan ialah sistem optik dan pro-prioseptik, jaras-
jaras yang menghubungkan nuklei vestibularis dengan nuklei N.III,IV dan
VI, susunan vestibuloretikularis, dan vestibulospinalis. Informasi yang
berguna untuk keseimbangan tubuh akan ditangkap oleh reseptor
vestibuler, visual, dan proprioseptik; reseptor vestibuler memberikan
kontribusi paling besar, yaitu lebih dari 50 % disusul kemudian
reseptor visual dan yang paling kecil kontribusinya adalah proprioseptik.
(Kovar, 2006).
Dalam kondisi fisiologis/normal, informasi yang tiba di pusat
integrasi alat keseimbangan tubuh berasal dari reseptor vestibuler, visual
dan proprioseptik kanan dan kiri akan diperbandingkan, jika semuanya
dalam keadaan sinkron dan wajar, akan diproses lebih lanjut. Respons
yang muncul berupa penyesuaian otot-otot mata dan penggerak tubuh
dalam keadaan bergerak. Di samping itu orang menyadari posisi
kepala dan tubuhnya terhadap lingkungan sekitar. Jika fungsi alat
keseimbangan tubuh di perifer atau sentral dalam kondisi tidak normal/
tidak fisiologis, atau ada rangsang gerakan yang aneh atau
berlebihan, maka proses pengolahan informasi akan terganggu,
akibatnya muncul gejala vertigo dan gejala otonom. Di samping itu,
respons penyesuaian otot menjadi tidak adekuat sehingga muncul
gerakan abnormal yang dapat berupa nistagmus, unsteadiness, ataksia
saat berdiri/ berjalan dan gejala lainnya. (Chain, 2009).
Ada beberapa teori yang berusaha menerangkan kejadian
ketidakseimbangan tubuh :
a. Teori rangsang berlebihan (overstimulation)
Teori ini berdasarkan asumsi bahwa rangsang yang berlebihan
menyebabkan hiperemi kanalis semisirkularis sehingga fungsinya
terganggu; akibatnya akan timbul vertigo, nistagmus, mual dan muntah.

b. Teori konflik sensorik


Menurut teori ini terjadi ketidakcocokan masukan sensorik yang
berasal dari berbagai reseptor sensorik perifer yaitu antara mata/visus,

8
vestibulum dan proprioseptik, atau ketidakseimbangan/asimetri masukan
sensorik dari sisi kiri dan kanan. Ketidakcocokan tersebut
menimbulkan kebingungan sensorik di sentral sehingga timbul respons
yang dapat berupa nistagmus (usaha koreksi bola mata), ataksia atau sulit
berjalan (gangguan vestibuler, serebelum) atau rasa melayang,
berputar (yang berasal dari sensasi kortikal). Berbeda dengan teori
rangsang berlebihan, teori ini lebih menekankan gangguan proses
pengolahan sentral sebagai penyebab.
c. Teori neural mismatch
Teori ini merupakan pengembangan teori konflik sensorik;
menurut teori ini otak mempunyai memori/ingatan tentang pola gerakan
tertentu; sehingga jika pada suatu saat dirasakan gerakan yang
aneh/tidak sesuai dengan pola gerakan yang telah tersimpan, timbul
reaksi dari susunan saraf otonom. Jika pola gerakan yang baru
tersebut dilakukan berulang-ulang akan terjadi mekanisme adaptasi
sehingga berangsur-angsur tidak lagi timbul gejala.
d. Teori otonomik
Teori ini menekankan perubahan reaksi susunan saraf otonom
sebagai usaha adaptasi gerakan/perubahan posisi, gejala klinis timbul
jika sistim simpatis terlalu dominan, sebaliknya hilang jika sistim
parasimpatis mulai berperan.
e. Teori neurohumoral
Di antaranya teori histamin (Takeda), teori dopamin (Kohl) dan
teori serotonin (Lucat) yang masing-masing menekankan peranan
neurotransmiter tertentu dalam mempengaruhi sistim saraf otonom yang
menyebabkan timbulnya gejala vertigo.
f. Teori sinap
Merupakan pengembangan teori sebelumnya yang meninjau peranan
neurotransmisi dan perubahan-perubahan biomolekuler yang terjadi pada
proses adaptasi, belajar dan daya ingat. Rangsang gerakan
menimbulkan stres yang akan memicu sekresi CRF (corticotropin
releasing factor), peningkatan kadar CRF selanjutnya akan

9
mengaktifkan susunan saraf simpatik yang selanjutnya mencetuskan
mekanisme adaptasi berupa meningkatnya aktivitas sistim saraf
parasimpatik. Teori ini dapat menerangkan gejala penyerta yang
sering timbul berupa pucat, berkeringat di awal serangan vertigo
akibat aktivitas simpatis, yang berkembang menjadi gejala mual,
muntah dan hipersalivasi setelah beberapa saat akibat dominasi aktivitas
susunan saraf parasimpatis.

2.1.6 Gejala klinis


Gejala klinis pasien dengan dizziness dan vertigo dapat berupa
gejala primer, sekunder ataupun gejala non spesifik. Gejala primer
diakibatkan oleh gangguan pada sensorium. Gejala primer berupa vertigo,
impulsion, oscilopsia, ataxia, gejala pendengaran. Vertigo, diartikan
sebagai sensasi berputa. Vertigo dapat horizontal, vertical atau rotasi.
Vertigo horizontal merupa tipe yang paling sering, disebabkan oleh
disfungsi dari telinga dalam. Jika bersamaan dengan nistagmus, pasien
biasanya merasakan sensasi pergerakan dari sisi yang berlawanan
dengan komponen lambat. Vertigo vertical jarang terjadi, jika sementara
biasanya disebabkan oleh BPPV. Namun jika menetap, biasanya berasal
dari sentral dan disertai dengan nistagmus dengan gerakan ke bawah
atau ke atas. Vertigo rotasi merupakan jenis yang paling jarang
ditemukan. Jika sementara biasnaya disebabakan BPPV namun jika
menetap disebabakan oleh sentral dan biasanya disertai dengan rotator
nistagmus.
Impulsi diartikan sebagai sensasi berpindah, biasanya
dideskrepsikan sebagai sensasi didorong atau diangkat. Sensasi impulse
mengindikasi disfungsi apparatus otolitik pada telinga dalam atau proses
sentral sinyal otolit.
Oscilopsia ilusi pergerakan dunia yang dirovokasi dengan
pergerakan kepala. Pasien dengan bilateral vestibular loss akan takut
untuk membuka kedua matanya. Sedangkan pasien dnegan unilateral

10
vestibular loss akan mengeluh dunia seakan berputar ketika pasien
menoleh pada sisi telinga yang mengalami gangguan. (Kovar, 2006).
Ataksia adalah ketidakstabilan berjalan, biasnaya universal pada
pasien dengan vertigo otologik dan sentral. Gejala pendengaran biasanya
berupa tinnitus, pengurangan pendengaran atau distorsi dan sensasi
penuh di telinga.12Gejala sekunder meliputi mual, gejala otonom,
kelelahan, sakit kepala, dan sensiivitas visual.
Gejala nonspesifik berupa giddiness dan light headness. Istilah ini
tidak terlalu memiliki makna pada penggunaan biasanya. Jarang dignkan
pada pasien dengan disfungsi telinga namun sering digunakan pada
pasien vertigo yang berhubungan dengan problem medik. (Kovar, 2006).
Suatu informasi penting yang didapatkan dari anamnesis dapat digunakan
untuk membedakan perifer atau sentral meliputi:
Karekteristk dizziness
Perlu ditanyakan mengenai sensasi yang dirasakan pasien apakah
sensasi berputar, atau sensasi non spesifik seperti giddiness atau liht
headness, atau hanya suatu perasaan yang berbeda (kebingungan).
Keparahan
Keparahan dari suatu vertigo juga dapat membantu, misalnya: pada
acute vestibular neuritis, gejala awal biasanya parah namun
berkurang dalam beberapa hari kedepan. Pada Mnires disease,
pada awalnya keparahan biasanya meningkat dan kemudian
berkurang setelahnya. Sedangakan pasien mengeluh vertigo ynag
menetap dan konstan mungkin memilki penyebab psikologis.
(Labuguen, 2006).
Onset dan durasi vertigo
Durasi tiap episode memiliki nilai diagnostic yang signifikan,
semakin lama durasi vertigo maka kemungkinan kea rah vertigo
sentral menjadi lebih besar. Vertigo perifer umumnya memilki onset
akut dibandingkan vertigo sentral kecuali pada cerebrovascular
attack. Perbedaan onset dan durasi maisng-masing penyebab
vertigo dapat dilihat pada table 4. (Lempert, 2009).

11
Vertigo sentral biasanya berkembang bertahap (kecuali pada
vertigo sentral yang berasal dari vascular misalnya CVA). Lesi
sentral biasanya menyebabkan tanda neurologis tambahan selain
vertigonya, menyebabkan ketidakseimbnagan yang parah,
nystagmus murni vertical, horizontal atau torsional dan tidak dapat
dihambat oleh fiksasi mata pada objek.

Tabel 2.2 Perbedaan Durasi gejala untuk berbagai Penyebab vertigo


Durasi episode Kemungkinan Diagnosis
Beberapa detik Peripheral cause: unilateral loss of vestibular
function; late stages of acute vestibular
neuronitis

Detik sampai Benign paroxysmal positional vertigo;


menit perilymphatic fistula

Beberapa menit Posterior transient ischemic attack;


sampai satu jam perilymphatic fistula

Beberapa jam Mnires disease; perilymphatic fistula from


trauma or surgery; migraine; acoustic neuroma

Beberapa hari Early acute vestibular neuronitis*; stroke;


migraine; multiple sclerosis

Beberapa minggu Psychogenic

Faktor Pencetus
Faktor pencetus dan dapat mempersempit diagnosis banding
pada vertigo vestibular perifer. Jika gejala terjadi hanya ketika
perubahan posisi, penyebab yang paling mungkin adalah BPPV.
Infeksi virus yang baru pada saluran pernapasan atas kemungkinan

12
berhubungan dnegan acute vestibular neutritis atau acute labyrhinti.
Faktor yang mencetuskan migraine dapat menyebabkan vertigo jika
pasien vertigo bersamaan dengan migraine. Vertigo dapat
disebabkan oleh fistula perilimfatik. Fistula perimfatik dapat
disebabkan oleh trauma baik langsung ataupun barotrauma,
mengejan. Bersin atau gerakan yang mengakibatkan telinga ke
bawah akan memprovokasi vertigo pada pasien dengan fistula
perilimfatik. Adanya fenomena Tullios (nistagmus dan vertigo yang
disebabkan suara bising pada frekuensi tertentu) mengarah kepada
penyebab perifer.
Stress psikis yang berat dapat menyebabkan vertigo,
menanyakan tentang stress psikologis atau psikiatri terutama pada
pasien yang pada anamsesis tidak cocok dengan penyebab fisik
vertigo manapun. (Labuguen, 2006).

Gejala Penyerta
Gejala penyerta berupa penurunan pendengaran, nyeri, mual,
muntah dan gejala neurologis dapat membantu membedakan
diagnosis peneybab vertigo. Kebanyakan penyebab vertigo dengan
gangguan pendengaran berasal dari perifer, kecuali pada penyakit
serebrovaskular yang mengenai arteri auditorius interna atau arteri
anterior inferior cebellar. Nyeri yang menyertai vertigo dapat terjadi
bersamaan dengan infeksi akut telinga tengah, penyakit invasive
pada tulang temporal, atau iritasi meningeal. Vertigo sering
bersamaan dengan muntah dan mual pada acute vestibular
neuronitis dan pada meniere disease yang parah dan BPPV.
Pada vertigo sentral mual dan muntah tidak terlalu parah.
Gejala neurologis berupa kelemahan, disarthria, gangguan
penglihatan dan pendengaran, parestesia, penurunan kesadaran,
ataksia atau perubahan lain pada fungsi sensori dan motoris lebih
mengarahkan diagnosis ke vertigo sentral misalnya penyakit
cererovascular, neoplasma, atau multiple sklerosis. Pasien denga

13
migraine biasanya merasakan gejala lain yang berhubungan dengan
migraine misalnya sakit kepala yang tipikal (throbbing, unilateral,
kadnag disertai aura), mual, muntah, fotofobia, dan fonofobia. 21-35
persen pasien dengan migraine mengeluhkan vertigo. (Labuguen,
2006).

2.1.7 Pemeriksaan fisik


A. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis meliputi pemeriksaan nervus cranialis
untuk mencari tanda paralisis nervus, tuli sensorineural, nistagmus.
Nistagmus vertical 80% sensitive untuk lesi nucleus vestibular atau vermis
cerebellar. Nistagmus horizontal yang spontan dengan atau tanpa
nistagmus rotator konsisten dengan acute vestibular neuronitis.
(Lempert, 2009).

B. Gait test
a) Rombergs sign
Pasien dengan vertigo perifer memiliki gangguan keseimbangan
namun masih dapat berjalan, sedangkan pasien dengan vertigo sentral
memilki instabilitas yang parah dan seringkali tidak dapat berjalan.
walaupun Rombergs sign konsisten dengan masalah vestibular atau
propioseptif, hal ini tidak dapat dgunakan dalam mendiagnosis
vertigo. Pada sebuah studi, hanya 19% sensitive untuk gangguan
vestibular dan tidak berhubungan dengan penyebab yang lebih
serius dari dizziness (tidak hanya terbatas pada vertigo) misalnya drug
related vertigo, seizure, arrhythmia, atau cerebrovascular event.
(Labuguen, 2006).
Penderita berdiri dengan kedua kaki dirapatkan, mula-mula
dengan kedua mata terbuka kemudian tertutup. Biarkan pada posisi
demikian selama 20-30 detik. Harus dipastikan bahwa penderita tidak
dapat menentukan posisinya (misalnya dengan bantuan titik cahaya
atau suara tertentu). Pada kelainan vestibuler hanya pada mata tertutup

14
badan penderita akan bergoyang menjauhi garis tengah kemudian
kembali lagi, pada mata terbuka badan penderita tetap tegak.
Sedangkan pada kelainan serebeler badan penderita akan bergoyang
baik pada mata terbuka maupun pada mata tertutup.

Gambar 2.1 Uji Romberg

b) Heel-to- toe walking test


c) Unterberger's stepping test
Pasien disuruh untuk berjalan spot dengan mata tertutup jika
pasien berputar ke salah satu sisi maka pasien memilki lesi labirin pada
sisi tersebut. (Lempert, 2009).
Berdiri dengan kedua lengan lurus horisontal ke depan dan
jalan di tempat dengan mengangkat lutut setinggi mungkin selama
satu menit. Pada kelainan vestibuler posisi penderita akan
menyimpang/berputar ke arah lesi dengan gerakan seperti orang
melempar cakram; kepala dan badan berputar ke arah lesi, kedua
lengan bergerak ke arah lesi dengan lengan pada sisi lesi turun dan yang
lainnya naik. Keadaan ini disertai nistagmus dengan fase lambat ke arah
lesi.

15
Gambar 2.2 Uji Unterberger

d) Past-pointing test (Uji Tunjuk Barany)


Dengan jari telunjuk ekstensi dan lengan lurus ke depan, penderita
disuruh mengangkat lengannya ke atas, kemudian diturunkan sampai
menyentuh telunjuk tangan pemeriksa. Hal ini dilakukan berulang-
ulang dengan mata terbuka dan tertutup. Pada kelainan vestibuler
akan terlihat penyimpangan lengan penderita ke arah lesi.

Gambar 2.3 Uji Tunjuk Barany

16
C. Pemeriksaan untuk menentukan apakah letak lesinya di sentral atau
perifer.
Tes fungsi vestibuler dengan Dix-Hallpike manoeuver yaitu dari
posisi duduk di atas tempat tidur, penderita dibaringkan ke belakang
dengan cepat, sehingga kepalanya meng-gantung 45 di bawah garis
horisontal, kemudian kepalanya dimiringkan 45 ke kanan lalu ke kiri.
Perhatikan saat timbul dan hilangnya vertigo dan nistagmus, dengan uji
ini dapat dibedakan apakah lesinya perifer atau sentral. (Sura, D.J.,
2010).
Perifer (benign positional vertigo) : vertigo dan nistagmus
timbul setelah periode laten 2-10 detik, hilang dalam waktu kurang
dari 1 menit, akan berkurang atau menghilang bila tes diulang-ulang
beberapa kali (fatigue). Sentral : tidak ada periode laten, nistagmus
dan vertigo ber-langsung lebih dari 1 menit, bila diulangulang reaksi
tetap seperti semula (non-fatigue). (Arsyad, 2010).

Gambar 2.4 Dix-hallpike

17
D. Test hiperventilasi
Tes ini dilakukan jika pemeriksaan-pemeriksaan yang lain
hasilnya normal. Pasien diinstruksikan untuk bernapas kuat dan
dalam 30 kali. Lalu diperiksa nistagmus dan tanyakan pasien apakah
prosedur ersebut menginduksi terjadinya vertigo. Jika pasien
merasakan vertigo tanpa nistagmus maka didiagnosis sebagai
sindrom hiperventilasi. Jika nistagmus terjadi setelah hiperventilais
menandakan adanya tumor pada nervus VIII. (Arsyad, 2010).

E. Tes Kalori
Tes ini membutuhkan peralatan yang sederhana. Kepala penderita
diangkat ke belakang (menengadah) sebanyak 60. (Tujuannya ialah agar
bejana lateral di labirin berada dalam posisi vertikal, dengan demikian
dapat dipengaruhi secara maksimal oleh aliran konveksi akibat
endolimf). Tabung suntik berukuran 20 mL dengan ujung jarum yang
dilindungi oleh karet ukuran no 15 diisi dengan air bersuhu 30C (kirakira
7 di bawah suhu badan) air disemprotkan ke liang telinga dengan
kecepatan 1 mL/detik, dengan demikian gendang telinga tersiram air
selama kira-kira 20 detik.
Bola mata penderita segera diamati terhadap adanya
nistagmus. Arah gerak nistagmus ialah ke sisi yang berlawanan dengan
sisi telinga yang dialiri (karena air yang disuntikkan lebih dingin dari
suhu badan) Arah gerak dicatat, demikian juga frekuensinya
(biasanya 3-5 kali/detik) dan lamanya nistagmus berlangsung
dicatat.Lamanya nistagmus berlangsung berbeda pada tiap penderita.
Biasanya antara - 2 menit. Setelah istirahat 5 menit, telinga ke-2 dites.
Hal yang penting diperhatikan ialah membandingkan lamanya
nistagmus pada kedua sisi, yang pada keadaan normal hampir
serupa. Pada penderita sedemikian 5 mL air es diinjeksikan ke
telinga, secara lambat, sehingga lamanya injeksi berlangsung ialah 20
detik. Pada keadaan normal hal ini akan mencetuskan nistagmus yang
berlangsung 2-2,5 menit. Bila tidak timbul nistagmus, dapat disuntikkan air

18
es 20 mL selama 30 detik. Bila ini juga tidak menimbulkan
nistagmus, maka dapat dianggap bahwa labirin tidak berfungsi. 6
Tes ini memungkinkan kita menentukan apakah keadaan
labirin normal hipoaktif atau tidak berfungsi.
- Elektronistagmogram
Pemeriksaan ini hanya dilakukan di rumah sakit, dengan tujuan
untuk merekam gerakan mata pada nistagmus, dengan demikian
nistagmus tersebut dapat dianalisis secara kuantitatif.
- Posturografi
Dalam mempertahankan keseimbangan terdapat 3 unsur yang
mempunyai peranan penting : sistem visual, vestibular, dan
somatosensorik. Tes ini dilakukan dengan 6 tahap :
a. Pada tahap ini tempat berdiri penderita terfiksasi dan
pandangan pun dalam keadaan biasa (normal).
b. Pandangan dihalangi (mata ditutup) dan tempat berdiri terfiksasi
(serupa dengan tes romberg).
c. Pandangan melihat pemandangan yang bergoyang, dan ia berdiri
pada tempat yang terfiksasi. Dengan bergeraknya yang dipandang,
maka input visus tidak dapat digunakan sebagai patokan untuk
orientasi ruangan.
d. Pandangan yang dilihat biasa, namun tumpuan untuk berdiri
digoyang. Dengan bergoyangnya tempat berpijak, maka input
somatosensorik dari badan bagian bawah dapat diganggu.
e. Mata ditutup dan tempat berpijak digayang.
f. Pandangan melihat pemandangan yang bergoyang dan tumpuan
berpijak digoyang.
Dengan menggoyang maka informasi sensorik menjadi rancu (kacau,
tidak akurat) sehingga penderita harus menggunakan sistem sensorik
lainnya untuk input (informasi).

19
F. Fungsi Pendengaran
a. Tes garpu tala : Rinne, Weber, Swabach. Untuk
membedakan tuli konduktif dan tuli perseptif
b. Audiometri : Loudness Balance Test, SISI, Bekesy
Audiometry, Tone Decay.

2.1.8 Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan penunjang pada vertigo meliputi tes audiometric,
vestibular testing, evalusi laboratories dan evalusi radiologis.
Tes audiologik tidak selalu diperlukan. Tes ini diperlukan jika pasien
mengeluhkan gangguan pendengaran. Namun jika diagnosis tidak jelas
maka dapat dilakukan audiometric pada semua pasien meskipun tidak
mengelhkan gangguan pendengaran.
Vestibular testing tidak dilakukan pada semau pasieen dengan
keluhan dizziness . Vestibular testing membantu jika tidak ditemukan
sebab yang jelas.
Pemeriksaan laboratories meliputi pemeriksaan elekrolit, gula darah,
funsi thyroid dapat menentukan etiologi vertigo pada kurang dari 1 persen
pasien.
Pemeriksaan radiologi sebaiknya dilakukan pada pasien dengan
vertigo yang memiliki tanda dan gejala neurologis, ada factor resiko untuk
terjadinya CVA, tuli unilateral yang progresif. MRI kepala mengevaluasi
struktur dan integritas batang otak, cerebellum, dan periventrikular white
matter, dan kompleks nervus VIII. (Antunes, 2009).

2.1.9 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Sekitar 20-40% pasien dapat didiagnosis segera setelah anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Diagnosis juga dapat ditentukan berdasarkan komplek
gejala yang terdapat pada pasien.

2.1.10 Penatalaksanaan

20
2.1.10.1 Medikasi
Karena penyebab vertigo beragam, sementara penderita seringkali
merasa sangat terganggu dengan keluhan vertigo tersebut, seringkali
menggunakan pengobatan simptomatik. Lamanya pengobatan bervariasi.
Sebagian besar kasus terapi dapat dihentikan setelah beberapa minggu.
Beberapa golongan yang sering digunakan :
a. Antihistamin
Tidak semua obat antihistamin mempunyai sifat anti vertigo.
Antihistamin yang dapat meredakan vertigo seperti obat dimenhidrinat,
difenhidramin, meksilin, siklisin. Antihistamin yang mempunyai anti vertigo
juga memiliki aktivitas anti-kholinergik di susunan saraf pusat. Mungkin
sifat anti-kholinergik ini ada kaitannya dengan kemampuannya sebagai
obat antivertigo. Efek samping yang umum dijumpai ialah sedasi
(mengantuk). Pada penderita vertigo yang berat efek samping ini
memberikan dampak yang positif. Beberapa antihistamin yang digunakan
adalah :
1. Betahistin
Senyawa Betahistin (suatu analog histamin) yang dapat
meningkatkan sirkulasi di telinga dalam, dapat diberikan untuk
mengatasi gejala vertigo. Efek samping Betahistin ialah gangguan di
lambung, rasa enek, dan sesekali rash di kulit.
- Betahistin Mesylate (Merislon)
Dengan dosis 6 mg (1 tablet) 12 mg, 3 kali sehari per oral.
- Betahistin di Hcl (Betaserc)
Dengan dosis 8 mg (1 tablet), 3 kali sehari. Maksimum 6 tablet
dibagi dalam beberapa dosis.
2. Dimenhidrinat (Dramamine)
Lama kerja obat ini ialah 4 6 jam. Dapat diberi per oral atau
parenteral (suntikan intramuscular dan intravena). Dapat diberikan
dengan dosis 25 mg 50 mg (1 tablet), 4 kali sehari. Efek samping
ialah mengantuk.
3. Difhenhidramin Hcl (Benadryl)

21
Lama aktivitas obat ini ialah 4 6 jam, diberikan dengan dosis 25 mg
(1 kapsul) 50 mg, 4 kali sehari per oral. Obat ini dapat juga
diberikan parenteral. Efek samping mengantuk.
b. Antagonis Kalsium
Dapat juga berkhasiat dalam mengobati vertigo. Obat antagonis
kalsium Cinnarizine (Stugeron) dan Flunarizine (Sibelium) sering
digunakan. Merupakan obat supresan vestibular karena sel rambut
vestibular mengandung banyak terowongan kalsium. Namun, antagonis
kalsium sering mempunyai khasiat lain seperti anti kholinergik dan
antihistamin. Sampai dimana sifat yang lain ini berperan dalam mengatasi
vertigo belum diketahui.
- Cinnarizine (Stugerone)
Mempunyai khasiat menekan fungsi vestibular. Dapat mengurangi
respons terhadap akselerasi angular dan linier. Dosis biasanya ialah
15 30 mg, 3 kali sehari atau 1 x 75 mg sehari. Efek samping ialah
rasa mengantuk (sedasi), rasa cape, diare atau konstipasi, mulut
rasa kering dan rash di kulit.
c. Fenotiazine
Kelompok obat ini banyak mempunyai sifat anti emetik (anti muntah).
Namun tidak semua mempunyai sifat anti vertigo. Khlorpromazine
(Largactil) dan Prokhlorperazine (Stemetil) sangat efektif untuk nausea
yang diakibatkan oleh bahan kimiawi namun kurang berkhasiat terhadap
vertigo.
- Promethazine (Phenergan)
Merupakan golongan Fenotiazine yang paling efektif mengobati
vertigo. Lama aktivitas obat ini ialah 4 6 jam. Diberikan dengan
dosis 12,5 mg 25 mg (1 draze), 4 kali sehari per oral atau
parenteral (suntikan intramuscular atau intravena). Efek samping
yang sering dijumpai ialah sedasi (mengantuk), sedangkan efek
samping ekstrapiramidal lebih sedikit disbanding obat Fenotiazine
lainnya.
- Khlorpromazine (Largactil)

22
Dapat diberikan pada penderita dengan serangan vertigo yang berat
dan akut. Obat ini dapat diberikan per oral atau parenteral (suntikan
intramuscular atau intravena). Dosis yang lazim ialah 25 mg (1
tablet) 50 mg, 3 4 kali sehari. Efek samping ialah sedasi
(mengantuk).
d. Obat Simpatomimetik
Obat simpatomimetik dapat juga menekan vertigo. Salah satunya
obat simpatomimetik yang dapat digunakan untuk menekan vertigo ialah
efedrin.
- Efedrin
Lama aktivitas ialah 4 6 jam. Dosis dapat diberikan 10 -25 mg, 4
kali sehari. Khasiat obat ini dapat sinergistik bila dikombinasi dengan
obat anti vertigo lainnya. Efek samping ialah insomnia, jantung
berdebar (palpitasi) dan menjadi gelisah gugup.
e. Obat Penenang Minor
Dapat diberikan kepada penderita vertigo untuk mengurangi
kecemasan yang diderita yang sering menyertai gejala vertigo.efek
samping seperti mulut kering dan penglihatan menjadi kabur.
- Lorazepam
Dosis dapat diberikan 0,5 mg 1 mg
- Diazepam
Dosis dapat diberikan 2 mg 5 mg.
f. Obat Anti Kholinergik
Obat antikolinergik yang aktif di sentral dapat menekan aktivitas
sistem vestibular dan dapat mengurangi gejala vertigo.
- Skopolamin
Skopolamin dapat pula dikombinasi dengan fenotiazine atau efedrin
dan mempunyai khasiat sinergistik. Dosis skopolamin ialah 0,3 mg
0,6 mg, 3 4 kali sehari. (Swartz, 2005).

2.1.10.2 Terapi fisik

23
Susunan saraf pusat mempunyai kemampuan untuk
mengkompensasi gangguan keseimbangan. Namun kadang-kadang
dijumpai beberapa penderita yang kemampuan adaptasinya kurang atau
tidak baik. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya gangguan lain di
susunan saraf pusat atau didapatkan deficit di sistem visual atau
proprioseptifnya. Kadang-kadang obat tidak banyak membantu, sehingga
perlu latihan fisik vestibular. Latihan bertujuan untuk mengatasi gangguan
vestibular, membiasakan atau mengadaptasi diri terhadap gangguan
keseimbangan. (Chain, 2009).
Tujuan latihan ialah :
1. Melatih gerakan kepala yang mencetuskan vertigo atau
disekuilibrium untuk meningkatkan kemampuan mengatasinya
secara lambat laun.
2. Melatih gerakan bola mata, latihan fiksasi pandangan mata.
3. Melatih meningkatkan kemampuan keseimbangan

Contoh latihan :
1. Berdiri tegak dengan mata dibuka, kemudian dengan mata ditutup.
2. Olahraga yang menggerakkan kepala (gerakan rotasi, fleksi,
ekstensi, gerak miring).
3. Dari sikap duduk disuruh berdiri dengan mata terbuka, kemudian
dengan mata tertutup.
4. Jalan di kamar atau ruangan dengan mata terbuka kemudian dengan
mata tertutup.
5. Berjalan tandem (kaki dalam posisi garis lurus, tumit kaki yang satu
menyentuh jari kaki lainnya dalam melangkah).
6. Jalan menaiki dan menuruni lereng.
7. Melirikkan mata kearah horizontal dan vertikal.
8. Melatih gerakan mata dengan mengikuti objek yang bergerak dan
juga memfiksasi pada objek yang diam.

Terapi Fisik Brand-Darrof

24
Ada berbagai macam latihan fisik, salah satunya adalah latihan
Brand-Darrof. (Chain, 2009).

Gambar 6. Gerakan Brand-Darrof


Keterangan Gambar:
1. Ambil posisi duduk.
1. Arahkan kepala ke kiri, jatuhkan badan ke posisi kanan, kemudian
balik posisi duduk.
2. Arahkan kepala ke kanan lalu jatuhkan badan ke sisi kiri. Masing-
masing gerakan lamanya sekitar satu menit, dapat dilakukan
berulang kali.
3. Untuk awal cukup 1-2 kali kiri kanan, makin lama makin bertambah.

2.2 Terapi Hiperbarik Oksigen


2.2.1 Pengertian
Kesehatan hiperbarik adalah ilmu yang mempelajari tentang
masalah kesehatan yang timbul akibat pemberian tekanan lebih dari 1
Atmosfer (Atm) terhadap tubuh dan aplikasinya untuk pengobatan
(Hariyanto et al, 2009).
Kesehatan hiperbarik, khususnya terapi oksigen hiperbarik
merupakan terapi yang sudah banyak digunakan untuk penyakit
penyelaman maupun penyakit bukan penyelaman baik sebagai terapi
utama maupun terapi tambahan (Hariyanto et al, 2009).
Yang dimaksud dengan terapi oksigen hiperbarik adalah tindakan
pengobatan dimana pasien menghirup oksigen murni (100%) secara

25
berkala ketika menyelam atau di dalam ruang udara yang bertekanan
tinggi (RUBT) dengan tekanan lebih besar daripada 1 ATA ( Atmosfir
Absolut) (Gill dan Bell, 2004; Hariyanto et al, 2009).
Tekanan 1 atmosfer (760 mmHg) adalah tekanan udara yang
dialami oleh semua benda, termasuk manusia, diatas permukaan laut,
bersifat tetap dari semua jurusan dan berada dalam keseimbangan
(Hariyanto et al, 2009).
Meskipun banyak keuntungan dari terapi oksigen hiperbarik yang
dapat diperoleh, cara ini pun juga mengandung resiko. Sebab itu terapi
oksigen harus dilaksanakan secara hati-hati sesuai prosedur yang
berlaku, sehingga mencapai hasil yang maksimal dengan resiko minimal
(Hariyanto et al, 2009).

2.2.2 Hyperbarik chamber


Terapi oksigen hiperbarik pada suatu ruang hiperbarik (hyperbaric
chamber) yang dibedakan menjadi 2, yaitu:
- Monoplace : pengobatan satu penderita
- Multiplace : pengobatan untuk beberapa penderita pada waktu
bersamaan dengan bantuan masker tiap pasiennya

Pasien dalam suatu ruangan menghisap oksigen 100% bertekanan


tinggi > 1 ATA. Tiap terapi diberikan selama 2-3 ATA, menghasilkan 6 ml
oksigen terlarut dalam 100 ml plasma, dan durasi rata-rata terapi 60-90
menit. Jumlah terapi bergantung dari jenis penyakit. Untuk akut sekitar 3-5
kali dan untuk kasus kronik bisa mencapai 50-60 kali. Dosis yang
digunakan pada perawatan tidak boleh lebih dari 3 ATA karena tidak
aman untuk pasien dan mempunyai efek imunosupresif (Adityo, 2015).

2.2.3. Fisiologi terapi hiperbarik oksigen

26
Terdapat 3 hukum yang berperan dalam terapi oksigen hiperbarik,
yaitu (Gill dan Bell, 2004; Hariyanto et al, 2009) :

Hukum Boyle
Pada suhu tetap, tekanan berbanding terbalik dengan volume.
P1V1 = P2V2 = P3V3.....= K
Ini adalah dasar untuk banyak aspek terapi hiperbarik. Dasar ini
terjadi ketika tuba eustachius tertutup mencegah pemerataan tekanan gas
sehingga kompresi gas memberikan rasa nyeri di telinga bagian tengah .
Pada pasien yang tidak bisa secara independen melakukan ekualisasi
tekanan, tympanostomy harus dipertimbangkan untuk menyediakan
saluran antara bagian dalam dan ruang telinga bagian luar. Demikian
pula, gas yang terperangkap dapat membesar dan membahayakan
selama dekompresi, seperti pada pneumotoraks yang terjadi selama
pemberian tekanan.

Hukum Dalton
Tekanan total suatu campuran gas adalah sama dengan jumlah
tekanan parsial dari masing masing bagian gas.
P = P1 + P2 + P3 +.....

Hukum Henry
Jumlah gas terlarut dalam cairan atau jaringan berbanding lurus
dengan tekanan parsial gas tersebut dalam cairan atau jaringan pada
suhu yang tetap.
Ini adalah dasar teori untuk meningkatkan tekanan oksigen jaringan
dengan pengobatan HBO. implikasi pada kasus dimana seseorang
bernafas menggunakan oksigen 100% bertekanan tinggi, sehingga
konsentrasi gas inert pada jaringan (terutama nitrogen) juga akan
meningkat. Nitrogen dapat larut dalam darah dan juga dapat keluar dari
plasma membentuk emboli gas arterial selama fase dekompresi.

27
Fisiologi dari HBO bermacam-macam yakni : (1) peningkatan
jumlah oksigen terlarut dalam jaringan.Sebagian besar oksigen yang
dibawa dalam darah terikat pada hemoglobin, dimana 97% tersaturasi
pada tekanan atmosfer, Namun beberapa oksigen dibawa oleh plasma.
Pada bagian ini akan meningkat pada terapi hiperbarik sesuai dengan
hukum Henry yang akan memaksimalkan oksigenasi jaringan. Ketika
menghirup udara normobaric, tekanan oksigen arteri adalah sekitar 100
mmHg, dan tekanan oksigen jaringan sekitar 55 mmHg. Namun, oksigen
100% pada tekanan 3 ATA dapat meningkatkan tekanan oksigen arteri
2000 mmHg, dan tekanan oksigen jaringan menjadi sekitar 500 mmHg,
dan hal ini memungkinkan pengiriman 60 ml oksigen per liter darah (
dibandingkan dengan 3 ml/l pada tekanan atmosfer ), yang cukup untuk
mendukung jaringan beristirahat tanpa kontribusi dari hemoglobin. Karena
oksigen terlarut banyak di dalam plasma maka dapat menjangkau daerah-
daerah yang terhambat di mana sel-sel darah merah tidak bisa lewat, dan
juga dapat mengaktifkan oksigenasi jaringan bahkan meskipun terdapat
gangguan hemoglobin yang berperan dalam pengangkutan oksigen,
seperti pada keracunan gas karbon monoksida dan anemia berat
(Andrew, 2001; Gill dan Bell, 2004).
(2) peningkatan gradien difusi oksigen ke dalam jaringan. Tekanan partial
oksigen yang tinggi dalam kapiler darah memberikan gradien yang besar
untuk poses difusi oksigen dari darah ke jaringan. keadaan tersebut
sangat berguna untuk jaringan yang hipoksia akibat angiopati
mikrovaskular seperti pada diabetes dan radiation necrosis. Selain itu,
HBO juga membantu menstimulasi angiogenesis dan mengatasi defek
patologis primer karena penurunan infiltrasi leukosit dan vasokonstriksi
dalam jaringan iskemik (Andrew, 2001; Gill dan Bell, 2004).
(3) vasokonstriksi arteriolar. Hyperoxic menyebabkan vasokonstriksi yang
cepat dan signifikan pada sebagian besar jaringan. HBO juga biasanya
meningkatkan resistensi vaskular sistemik, bradikardi serta menurunkan
CO sebesar 10-20%, dengan Stroke Volume masih terpelihara. Meskipun
demikian, hal ini masih dikompensasi oleh peningkatan pengangkutan

28
oksigen plasma yang 2 kali lebih besar daripada biasanya (Gill dan Bell,
2004; Hariyanto et al, 2009).
(4) efek terhadap pertumbuhan bakteri. HBO meningkatkan pembentukan
radikal bebas oksigen, yang mengoksidasi protein dan lipid membran ,
yang kemudian akan menyebabkan kerusakan DNA sehingga mencegah
multiplikasi, menghambat fungsi metabolisme bakteri serta memfasilitasi
sistem peroksidase yang digunakan leukosit untuk membunuh bakteri.
HBO sangat efektif terhadap bakteri anaerob dan bakteri microaerophilic
(Gill dan Bell, 2004).
(5) efek pada reperfusion injury. HBO menstimulasi pertahanan melawan
radikal bebas oksigen dan peroksidase lipid yang terjadi. Pada reperfusion
injury, leukosit menempel pada endotel venule, kemudian terjadi
pengeluaran unidentified humoral mediators yang menyebabkan konstriksi
arteriol lokal. HBO mencegah proses tersebut dengan memperbaiki hidup
dari kulit atau bahkan tungkai yang diimplatasi (Andrew, 2001).

2.2.4 Manfaat
a. Meningkatkan konsentrasi oksigen pada seluruh jaringan tubuh,
bahkan pada aliran darah yang berkurang
b. Merangsang pertumbuhan pembuluh darah baru untuk
meningkatkan aliran darah pada sirkulasi yang berkurang
c. Mampu membunuh bakteri, terutama bakteri anaerob seperti
Closteridium perfingens (penyebab penyakit gas gangren)
d. Mampu menghentikan aktivitas bakteri (bakteriostatik) antara lain
bakteri E. coli dan Pseudomonas sp. yang umumnya ditemukan
pada luka-luka mengganas.
e. Mampu menghambat produksi racun alfa toksin.
f. Meningkatkan viabilitas sel atau kemampuan sel untuk bertahan
hidup.
g. Menurunkan waktu paruh karboksihemoglobin dari 5 jam menjadi
20 menit pada penyakit keracunan gas CO

29
h. Dapat mempercepat proses penyembuhan luka dengan
pembentukan fibroblast
i. Meningkatkan produksi antioksidan tubuh tertentu
j. Mereduksi ukuran bubble nitrogen
k. Mereduksi edema
l. menahan proses penuaan dengan cara pembentukan kolagen yang
menjaga elastisitas kulit
m. badan menjadi lebih segar, badan tidak mudah lelah, gairah hidup
meningkat, tidur lebih enak dan pulas. (Amira et all, 2014; Sahni T,
2003)

2.2.5 Indikasi
Indikasi kondisi akut (di mana terapi HBO harus diberikan awal dan
dikombinasikan dengan pengobatan konvensional) yaitu : (Sahni T, 2003)
1. Ulkus yang tidak mengalami penyembuhan, luka bermasalah,
cangkok kulit yang mengalami reaksi penolakan.
Luka mempunyai masalah mendasar yaitu hipoksia jaringan
dengan tekanan oksigen biasanya dibawah 20 mmHg, dan
cenderung untuk terjadi infeksi. Dengan HBO 2-3 ATA selama 2
jam, oksigen meningkatkan vascular endothelial growth factor
(VEGF) pada sel endotel. Melalui siklus krebs akan terjadi
peningkatan NADH yang memicu fibroblast yang diperlukan untuk
mensintesis kolagen pada proses remodelling. Selain itu, oksigen
penting dalam hidroksilasi lisin dan prolin selama proses sintesis
dan penyatuan kolagen. Pada bagian luka juga terdapat edema
dan infeksi. Di bagian edema terdapat radikal bebas dalam jumlah
besar, mengalami kondisi hipooksigenasi karena hipoperfusi.
Pembentukan fibroblast akan mendorong terjadinya vasodilatasi
sehingga terjadi hipervaskular, hiperseluler dan hiperoksia.
Sedangkan infeksi diatasi oleh daya fagositosis leukosit,
peningkatan pembentukan radikal bebas, kemudian mengaktifkan
peroksidase.

30
2. Acute Traumatic Ischaemias (Crush injury, sindrom kompartemen,
dll)
Pada kasus ini kemungkinan besar ekstrimitas terjadi
nekrosis atau amputasi dan komplikasi sekunder untuk terjadi
infeksi, luka yang tidak sembuh dan ununited fraktur.
Penatalaksanaannya dengan cara pembedahan, antibiotik, serta
terapi HBO sebagai terapi adjuvant. Mekanisme HBO terhadap
kasus ini adalah dengan cara meningkatkan jumlah oksigen ke
jaringan, mereduksi edema, serta memediasi efek reperfusion
injury.
3. Clostridial myonecrosis (Gangrene Gas)
Clostridium welchii tidak dapat memproduksi toksin alfa
ketika pasien menjalani HBO. Organisme tersebut tidak mati, toksin
tidak dapat didetoksifikasi oleh HBO dan toksin dapat bertahan
selama 30 menit. Selain HBO, pembedahan dan antibiotik
(aminoglikosida, quinolones, sulfa, dan amfotericin B) juga penting
dalam penatalaksanaannya.
4. Necrotizing Soft Tissue Infections (jaringan subkutan, otot, fascia)
Penatalaksanaan primer berupa debridement dan pemberian
antibiotik. Sedangkan HBO sebagai terapi tambahan dengan
mekanisme kerja meningkatkan daya fagositas leukosit terhadap
bakteri, menghambat pertumbuhan organisme anaerob, serta
meningkatkan potensi reduksi oksidasi.
5. Kehilangan darah yang luar biasa (anemia)
HBO berperan dalam menyuplai oksigen yang cukup untuk
menyokong kebutuhan dasar metabolik pada masing-masing
jaringan tubuh sampai sel darah merah kembali normal.
6. Abses intrakranial
Terapi HBO direkomendasikan sebagai terapi adjuvant
karena sangat menguntungkan membunuh bakteri anaerob,
mereduksi edema, meningkatkan sistem pertahanan tubuh dan
mencegah terjadinya osteomyelitis.

31
7. Encephalopathy Post-anoxic
HBO meningkatkan suplai oksigen ke neuron yang iskemik,
mereduksi edema, dan mengembalikan fleksibilitas eritrosit.
8. Luka bakar (Thermal Burns)
HBO berperan dalam mempertahankan jaringan yang masih
viable, memperbaiki mikrosirkulasi, mengurangi edema,
mempercepat epitelialisasi, dan menurunkan produksi laktat.
9. Tuli mendadak (sudden deafness)
10. Iskemik patologis pada mata (visual vascular pathology)
HBO berperan dalam mereduksi vasogenic edema pada
retinal venous thrombosis.
11. Emboli udara atau gas *
12. Decompression sickness *
13. Keracunan gas karbon monoksida dan menghirup asap *
HBO pada tekanan 2,5 ATA mereduksi waktu paruh
carboxyhemoglobin dari 4-5 jam menjadi 20 menit atau kurang
sehingga mencegah delayed neuropsychological sequel dan
terminasi biochemical deterioration.
Nb: * Kuratif / lini utama dari pengobatan

Indikasi kondisi kronis yaitu :


1. Ulkus yang tidak mengalami penyembuhan / luka bermasalah
(diabetes / vena dll)
2. Radiasi yang menyebabkan kerusakan jaringan
HBO dapat menginduksi neovaskularisasi dan meningkatkan
tekanan oksigen jaringan.
3. Cangkok kulit dan penutup (yang mengalami reaksi
penolakan/rejection)
4. Osteomielitis kronis
Peran HBO dengan cara meningkatkan level oksigen pada
tulang dan jaringan, menstimulasi angiogenesis, meningkatkan
daya fagositosis, membantu efek aminoglikosid menembus dinding

32
sel bakteri dan aktivitas osteoklast dalam menghilangkan tulang
yang nekrosis.

2.2.6 Kontraindikasi
a. Kontraindikasi absolut:
Pneumothorax
Kontraindikasi absolut adalah pneumothorax yang belum
dirawat, kecuali bila sebelum pemberian oksigen hiperbarik dapat
dikerjakan tindakan bedah untuk mengatasi pneumothorax
tersebut
Keganasan
Selama beberapa tahun orang beranggapan bahwa
keganasan yang belum diobati atau keganasan metastasik dapat
menjadi lebih buruk pada pemakaian oksigen hiperbarik untuk
pengobatan dan termasuk kontraindikasi absolut kecuali pada
keadaan-keadaan luar biasa. Namun penelitian-penelitian yang
dikerjakan akhir-akhir ini menunjukan bahwa sel-sel ganas tidak
tumbuh lebih cepat dalam suasana oksigen hiperbarik, biasanya
secara bersama sama juga menerima terapi radiasi atau
kemoterapi.
Kehamilan
Kehamilan juga dianggap kontraindikasi karena tekanan
parsial oksigen yang tinggi berhubungan dengan penutupan patent
ductus arteriosus sehingga pada bayi prematur secara teori dapat
terjadi fibroplasia retrolental. Namun penelitian yang kemudian
dikerjakan menunjukan bahwa komplikasi ini tidak terjadi.

b. Kontraindikasi relatif
ISPA
Menyulitkan penderita untuk melaksanakan ekualisasi.
Dapat ditolong dengan penggunaan dekongestan atau melakukan
miringotomi bilateral

33
Sinusitis kronis
Sama dengan ISPA
Penyakit kejang
Menyebabkan penderita lebih mudah terserang konvulsi
oksigen. Bilamana perlu penderita dapat diberikan anti-konvulsan
sebelumnya.
Emfisema dengan retensi CO2
Ada kemungkinan bahwa penambahan oksigen lebih dari
normal akan menyebabkan penderita secara spontan berhenti
bernafas akibat rangsangan hipoksik. Pada penderita dengan
penyakit paru yang disertai retensi CO2, terapi oksigen hiperbarik
dapat dikerjakan bila penderita diintubasi atau memakai ventilator.
Panas tinggi yang tidak terkontrol
Merupakan predisposisi terjadinya konvulsi oksigen.
Kemungkinan ini dapat diperkecil dengan pemberian obat
antipiretik dan anti konvulsan.
Riwayat penumothorax spontan
Penderita yang mengalami pneumothorax spontan dalam
RUBT tunggal akan menimbulkan masalah tetapi di dalam RUBT
kamar ganda dapat dilakukan pertolongan-pertolongan yang
memadai. Sebab itu bagi penderita yang mempunyai riwayat
pneumothorax spontan harus dilakukan persiapan-persiapan untuk
mengatasi hal tersebut.
Riwayat operasi dada
Menyebabkan terjadinya luka dengan air trapping yang
timbul saat dekompresi. Setiap operasi dada harus diteliti kasus
demi kasus untuk menentukan langkah-langkah yang harus
diambil. Tetapi jelas dekompresi harus dilakukan secara lambat.
Riwayat operasi telinga
Operasi pada telinga dengan penempatan kawat atau
topangan plastik di dalam telinga setelah stapedoktomi, mungkin
suatu kontraindikasi pemakaian oksigen hiperbarik sebab

34
perubahan tekanan dapat mengganggu implan terseut konsultasi
dengan spesialis THT perlu dilakukan.
Kerusakan paru asimptomatis yang nampak secara radiologis
Memerlukan proses dekompresi yang sangat lambat.
Menurut pengalaman, waktu dekompresi antara 5-10 menit tidak
menimbulkan masalah.
Infeksi virus
Pada percobaan binatang ditemukan bahwa infeksi virus
akan lebih hebat bila binatang tersebut diberi oksigen hiperbarik.
Dengan alasan ini dianjurkan agar penderita yang terkena salesma
(common cold) menunda pengobatan dengan oksigen hiperbarik
sampai gejala akut menghilang..
Spherosis kongenital
Pada keadaan ini butir-butir eritrosit sangat fragil dan
pemberian oksigen hiperbarik dapat diikuti dengan hemolisis yang
berat. Bila memang pengobatan hiperbarik mutlak diperlukan,
keadaan ini tidak boleh jadi penghalang sehingga harus
dipersiapkan langkah-langkah yang perlu untuk mengatasi
komplikasi yang mungkin timbul.
Riwayat neuritis optik
Pada beberapa penderita dengan riwayat neuritis optik
terjadinya kebutaan dihubungkan dengan terapi oksigen hiperbarik.
Namun kasus yang terjadi sangat sedikit. Tetapi jika ada penderita
dengan riwayat neuritis optik diperkirakan mengalami gangguan
penglihatan yang berhubungan dengan retina, bagaimanapun
kecilnya pemberian oksigen hiperbarik harus segera dihentikan
dan perlu konsultasi dengan ahli mata. (Hariyanto et al, 2009).

2.2.7 Komplikasi
Ketika digunakan dalam protokol standar tekanan yang tidak
melebihi 3 ATA ( 300 kPa ) dan durasi pengobatan kurang dari 120 menit,
terapi oksigen hiperbarik aman. Efek samping yang paling umum adalah:

35
a. Barotrauma telinga
Sebagai akibat dari ketidakmampuan untuk menyamakan
tekanan di kedua sisi membran timpani akibat tuba eustachius tertutup.
Barotrauma telinga tengah dan sinus dapat dicegah dengan teknik
ekualisasi, dan otitis media dapat dicegah dengan pseudoephidrine.
Barotrauma telinga dalam sangat jarang, tapi jika membran timpani
ruptur dapat menyebabkan gangguan pendengaran permanen, tinnitus
dan vertigo.
b. Barotrauma paru
Pneumotoraks dan emboli udara lebih berbahaya pada terapi
ini. komplikasi akibat robek di pembuluh darah paru karena perubahan
tekanan, tapi jarang terjadi.
c. Barotrauma dental
Menyebabkan nyeri pada gigi yang berlubang akibat penekanan
saraf.
d. Toksisitas oksigen
Toksisitas oksigen dapat dicegah dengan bernafas selama lima
menit udara biasa di ruang udara bertekanan tinggi untuk setiap 30
menit oksigen . Hal ini memungkinkan antioksidan untuk menetralisir
radikal oksigen bebas yang terbentuk selama terapi.
e. Gangguan neurologis
Meningkatkan potensi terjadinya kejang akibat tingginya kadar
O2.
f. Fibroplasia retrolental
Tekanan parsial oksigen yang tinggi berhubungan dengan
penutupan patent ductus arteriosus sehingga pada bayi prematur
secara teori dapat terjadi fibroplasia retrolental.
g. Katarak
Komplikasi ini jarang terjadi. Menyebabkan pandangan
berkabut.

36
h. Transientmiopia reversibel
Meskipun jarang namun dapat terjadi setelah terapi HBO
berkepanjangan yang menyebabkan perubahan bentuk/deformitas dari
lensa. (Gill dan Bell, 2004).

2.3 Pengaruh Terapi HBO Terhadap Vertigo


Vertigo merupakan sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh
atau lingkungan sekitarnya dengan gejala lain yang timbul, terutama dari
jaringan otonomik yang disebabkan oleh gangguan alat keseimbangan
tubuh oleh berbagai keadaan atau penyakit. Vertigo ini timbul jika terdapat
ketidakcocokan informasi aferen yang disampaikan ke pusat kesadaran.
Susunan aferen yang terpenting adalah susunan vestibuler, dan yang
lainnya adalah sistem optik dan proprioseptik. Pusat integrasi alat
keseimbangan pertama ada di inti vestibularis, sedangkan cerebellum
sebagai pusat integrasi kedua.
Berbagai macam penyebab dari vertigo yakni lesi vestibular
(labirinitis, meniere, otitis media, BPPV), lesi saraf vestibularis (neuroma
akustik, neuronitis vestibular), dan lesi pada batang otak, cerebellum atau
lobus temporal (infark/perdarahan, insufisiensi vertebrobasilar, tumor,
epilepsi lobus temporal), kelainan vaskular seperti terdapat trombosis atau
emboli pada arteri labirintin (Arie Trijono, 2012).
Terapi HBO pada kasus vertigo merupakan terapi adjuvant yang
biasanya diberikan bersamaan dengan terapi rutin seperti kortikosteroid,
antibiotik, antiviral, vasodilator, roborantia. Pengaruh HBO berupa
mengurangi edema, peningkatan kelarutan oksigen, memperbaiki aliran
darah dan sel darah, meningkatkan potensial transmembran dan sintesis
ATP, serta aktifitas metabolisme sel dan pompa natrium kalium yang
mengakibatkan terjadinya keseimbangan ion dan fungsi elektrofisiologi
pada labirin (Gusti N.K, 2013).

37
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Vertigo adalah halusinasi gerakan lingkungan sekitar serasa
berputar mengelilingi pasien atau pasien serasa berputar mengelilingi
lingkungan sekitar (Sura, D.J., 2010).
Vertigo merupakan yang paling sering yaitu sekitar 54%. Pada
sebuah studi mengemukakan vertigo lebih banyak ditemukan pada wanita
disbanding pria (2:1), sekitar 88% pasien mengalami episode rekuren.
(Lempert, T., 2009).
Vertigo dapat diklasifikasikan menjadi : Sentral, Perifer, medical
vertigo (Lempert, 2009).
Berbagai macam penyebab dari vertigo yakni lesi vestibular
(labirinitis, meniere, otitis media, BPPV), lesi saraf vestibularis (neuroma
akustik, neuronitis vestibular), dan lesi pada batang otak, cerebellum atau
lobus temporal (infark/perdarahan, insufisiensi vertebrobasilar, tumor,
epilepsi lobus temporal), kelainan vaskular seperti terdapat trombosis atau
emboli pada arteri labirintin (Arie Trijono, 2012).
Diagnosis ditegakkan dari anamnesa, pemeriksaan fisik, dan
penunjang.
Penatalaksanaan vertigo secara medikasi yaitu dengan obat-
obatan antihistamin, antagonis kalsium, fenotiazin, obat penenang, obat
anti kolinergik. Sedangkan secara fisik dapat dilakukan terapi brand-darrof
(chain, 2009).
Terapi oksigen hiperbarik adalah tindakan pengobatan dimana
pasien menghirup oksigen murni (100%) secara berkala ketika menyelam
atau di dalam ruang udara yang bertekanan tinggi (RUBT) dengan
tekanan lebih besar daripada 1 ATA ( Atmosfir Absolut) (Gill dan Bell,
2004; Hariyanto et al, 2009).

38
Terdapat 3 hukum yang berperan dalam terapi oksigen hiperbarik,
yaitu : Hukum Boyle, Dalton, dan Henry yaitu (Gill dan Bell, 2004;
Hariyanto et al, 2009).
Meskipun banyak keuntungan dari terapi oksigen hiperbarik yang
dapat diperoleh, cara ini pun juga mengandung resiko. Sebab itu terapi
oksigen harus dilaksanakan secara hati-hati sesuai prosedur yang
berlaku, sehingga mencapai hasil yang maksimal dengan resiko minimal
(Hariyanto et al, 2009).
Terapi HBO pada kasus vertigo merupakan terapi adjuvant yang
biasanya diberikan bersamaan dengan terapi rutin seperti kortikosteroid,
antibiotik, antiviral, vasodilator, roborantia. Pengaruh HBO berupa
mengurangi edema, peningkatan kelarutan oksigen, memperbaiki aliran
darah dan sel darah, meningkatkan potensial transmembran dan sintesis
ATP, serta aktifitas metabolisme sel dan pompa natrium kalium yang
mengakibatkan terjadinya keseimbangan ion dan fungsi elektrofisiologi
pada labirin (Gusti N.K, 2013).

39
DAFTAR PUSTAKA

Adityo Wibowo, 2015, Oksigen Hiperbarik : Terapi Percepatan


Penyembuhan Luka, volume 5 number 9, Universitas Lampung,
<http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/juke/article/viewFile/645/649>

Agus, 2015, vertigo vestibular, FKU Kristen Krida Wacana, Ukrida

Amira et al, 2014, Resume Hyperbaric Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah
Denpasar Bali tanggal 26 s/d 30 September 2014, Mataram, Program
Studi Diploma III Keperawatan

Andrew David and Nicholas John Hawksley, 2001, Hyperbaric Oxygen


Therapy, volume 1 Number 5, British Journal of Anaesthesia, British,
<http://ceaccp.oxfordjournals.org/content/1/5/150.full.pdf>

Antunes, M.B., 2009, CNS Causes of Vertigo, WebMD LLC,


<http://emedicine.medscape.com/article/884048-overview#a0104>

Arie T., 2012, Tinitus dan Vertigo pada anak, simposium 17 nopember
2012, Hotel Puri Perdana, Blitar.

Arsyad, Soepardi, Efiaty, dkk., 2010, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung tenggorokan Kepal & Leher, Jakarta, Balai Penerbit FKUI.

Chain, T.C., 2009, Practical Neurology 3rd edition: Approach to the Patient
with Dizziness and Vertigo, Illnois Journal :Wolter kluwerlippincot William
and wilkins.

Gill AL and Bell CNA, 2004, Hyperbaric Oxygen : Its uses, Mechanisms of
Action and Outcomes, volume 97 number 7, QJM, Bristol, UK,
<http://qjmed.oxfordjournals.org/content/97/7/385.2.full>

Gusti N.K, 2013, Terapi Oksigen Hiperbarik Pada Tuli Sensorineural


Mendadak, FKU Udayana, Denpasar.

Hariyanto et al, 2009, Ilmu Kesehatan Penyelaman dan Hiperbarik,


LAKESLA, Surabaya.

Kovar, M., Jepson, T, Jones, S., 2006, Diagnosing and Treating: Benign
Paroxysmal Positional Vertigo, Journal Gerontological of Nursing.

Labuguen, R.H., 2006, Initial Evaluation of Vertigo, Journal : American


Family Physician January 15, Volume 73, Number 2.

40
Lempert, T, Neuhauser, H., 2009, Epidemiology of vertigo, migraine and
vestibular migraine. Journa l of Nerology:25:333-338.

Marril, KA., 2011, Central Vertigo, WebMD LLC,


<http://emedicine.medscape.com/article/794789-clinical#a0217>

Mark, A., 2008, Symposium on Clinical Emergencies: Vertigo Clinical


Assesment and Diagnosis. British Journal of Hospital Medicine, Vol 69, No
6.

Turner, B., Lewis, NE., 2010, Symposium Neurology :Systematic


Approach that Needed for establish of Vetigo, The Practitioner Journal
September 2010 - 254 (1732): 19-23.
Sahni T, 2004, Hyperbaric Oxygen Therapy : Current Trends and
Applications, Vol. 51, Journal of The Association of Physicians of India,
Review article, <http://eprints.undip.ac.id/29134/3/Bab_2.pdf >
Sura, D.J., Newell, S., 2010, Vertigo- Diagnosis and management in
primary care, Journal : BJMP 2010;3(4):a351.
Swartz, R, Longwell, P., 2005, Treatment of Vertigo, Journal of American
Family Physician March 15,2005:71:6.

41

Anda mungkin juga menyukai