Anda di halaman 1dari 7

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

ANTHELMINTIK

Tanggal Praktikum : Rabu, 10 Mei 2017

Tanggal Pengumpulan Laporan : Selasa, 16 Mei 2017

Disusun oleh Kelompok 2:

Fitriyanti Dwi Rahayu P17335116016

Desti Retno Palupi P17335116020

Atim Inayah P17335116022

Hasna Nur Shifa P17335116044

Ridwan Yusuf P17335116064

LABORATORIUM FARMAKOLOGI

JURUSAN FARMASI

POLITEKNIK KESEHATAN BANDUNG

2017
I. NAMA PERCOBAAN
Anthelmintik

II. PENDAHULUAN
A. Tujuan Percobaan
- Dapat melakukan uji aktivitas anthelmintik secara in vitro
- Dapat menjelaskan mekanisme kerja anthelmintik dan efeknya terhadap
cacing

B. Dasar Teori
Antelmintika atau obat cacing (Yunani anti = lawan, helmintes =
cacing) adalah obat yang dapat memusnahkan cacing dalam tubuh manusia
dan hewan. Dalam istilah ini termasuk semua zat yang bekerja lokal
menghalau cacing dari saluran cerna maupun obat-obat sistemik yang
membasmi cacing serta larvanya, yang menghinggapi organ dan jaringan
tubuh (Tjay, 2007).
Banyak antelmintik dalam dosis terapi hanya bersifat melumpuhkan
cacing, jadi tidak mematikannya. Guna mencegah jangan sampai parasit
menjadi aktif lagi atau sisasisa cacing mati dapat menimbulkan reaksi alergi,
maka harus dikeluarkan secepat mungkin (Tjay dan Rahardja, 2002:185).
Kebanyakan antelmintik efektif terhadap satu macam cacing, sehingga
diperlukan diagnosis tepat sebelum menggunakan obat tertentu. Kebanyakan
antelmintik diberikan secara oral, pada saat makan atau sesudah makan.
Beberapa senyawa antelmintik yang lama, sudah tergeser oleh obat baru
seperti Mebendazole, Piperazin, Levamisol, Albendazole, Tiabendazole, dan
sebagainya. Karena obat tersebut kurang dimanfaatkan. (Gunawan, 2009).
Terdapat tiga golongan cacing yang menyerang manusia yaitu matoda,
trematoda, dan cestoda. Sebagaimana penggunaan antibiotika, antelmintik
ditujukan pada target metabolic yang terdapat dalam parasite tetapi tidak
mempengaruhi atau berfungsi lain untuk pejamu. (Mycek,2001).
Obat Antelmintik yang Lazim Digunakan
1. Piperazin
Efektif terhadap A.lumbricoides dan E.vermicularis. Mekanisme
kerjanya menyebabkan blokade respon otot cacing terhadap asetilkolin _
paralisis dan cacing mudah dikeluarkan oleh peristaltik usus. Absorpsi melalui
saluran cerna, ekskresi melalui urin.
Piperazin pertama kali digunakan sebagai antelmintik oleh Fayard pada
1949. Pengalaman klinik menunjukkan bahwa piperazin efektif sekali
terhadap A. lumbricoides dan E. vermicularis sebelumnya pernah dipakai
untuk penyakit pirai. Piperazin juga terdapat sebagai heksahidrat yang
mengandung 44% basa. Juga didapat sebagai garam sitrat, kalsium edetat dan
tartrat. Garam-garam ini bersifat stabil non higroskopis, berupa kristal putih
yang sangat larut dalam air, larutannnya bersifat sedikit asam. (Anonim,2010)
a. Efek antelmintik
Piperazin menyebabkan blokade respon otot cacing terhadap
asetilkolin sehinggga terjadi paralisis dan cacing mudah dikeluarkan oleh
peristaltik usus. Cacing biasanya keluar 1-3 hari setelah pengobatan dan tidak
diperlukan pencahar untuk mengeluarkan cacing itu. Cacing yang telah
terkena obat dapat menjadi normal kembali bila ditaruh dalam larutan garam
faal pada suhu 37C. (Anonim,2009)
Diduga cara kerja piperazin pada otot cacing dengan mengganggu
permeabilitas membran sel terhadap ion-ion yang berperan dalam
mempertahankan potensial istirahat, sehingga menyebabkan hiperpolarisasi
dan supresi impuls spontan, disertai paralisis.
Pada suatu studi yang dilakukan terhadap sukarelawan yang diberi
piperazin ternyata dalam urin dan lambungnya ditemukan suatu derivat
nitrosamine yakni N-monistrosopiperazine dan arti klinis dari penemuan ini
belum diketahui. (Anonim,2009)
b. Farmakokinetik
Penyerapan piperazin melalui saluran cerna, baik. Sebagian obat yang
diserap mengalami metabolisme, sisanya diekskresi melalui urin. Menurut,
Rogers (1958) tidak ada perbedaan yang berarti antara garam sitrat, fosfat dan
adipat dalam kecepatan ekskresinya melalui urin. Tetapi ditemukan variasi
yang besar pada kecepatan ekskresi antar individu. Yang diekskresi lewat urin
sebanyak 20% dan dalam bentuk utuh. Obat yang diekskresi lewat urin ini
berlangsung selama 24 jam. (Anonim,2009)
c. Efek nonterapi dan kontraindikasi
Piperazin memiliki batas keamanan yang lebar. Pada dosis terapi
umumnya tidak menyebabkan efek samping, kecuali kadang-kadang nausea,
vomitus, diare, dan alergi. Pemberian i.v menyebabkan penurunan tekanan
darah selintas. Dosis letal menyebabkan konvulsi dan depresi pernapasan.
Pada takar lajak atau pada akumulasi obat karena gangguan faal ginjal dapat
terjadi inkoordinasi otot, atau kelemahan otot, vertigo, kesulitan bicara,
bingung yang akan hilang setelah pengobatan dihentikan. Piperazin dapat
memperkuat efek kejang pada penderita epilepsi. Karena itu piperazin tidak
boleh diberikan pada penderita epilepsi dan gangguan hati dan ginjal.
Pemberian obat ini pada penderita malnutrisi dan anemia berat, perlu
mendapatkan pengawasan ekstra. Karena piperazin menghasilkan nitrosamin,
penggunaannya untuk wanita hamil hanya kalau benar-benar perlu atau kalau
tak tersedia obat alternatif. (Anonim,2009)
d. Sediaan dan posologi
Piperazin sitrat tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan sirop 500
mg/ml, sedangkan piperazin tartrat dalam tablet 250 mg dan 500 mg. Dosis
dewasa pada askariasis adalah 3,5 g sekali sehari. Dosis pada anak 75
mg/kgBB (maksimum 3,5 g) sekali sehari. Obat diberikan 2 hari berturut-
turut. Untuk cacing kremi (enterobiasis) dosis dewasa dan anak adalah 65
mg/kgBB (maksimum 2,5 g) sekali sehari selama 7 hari. Terapi hendaknya
diulangi sesudah 1-2 minggu. (Anonim,2009)

III. CARA KERJA


A. Alat dan Bahan
1. Alat: 2. Bahan:
- Beaker glass - Ascaris suum
- Hotplate - Larutan obat piperazin 0,2%
- Inkubator - Larutan obat pirantel pamoat 0,2%
- Pinset - NaCl 0,9%
- Batang pengaduk
- Termometer

B. Prosedur Kerja
1. Alat dan bahan disiapkan.
2. Cacing Ascaris suum diaktifkan di dalam inkubator pada suhu 37oC selama
lima belas menit.
3. Larutan obat piperazin 0,2%, pirantel pamoat 0,2%, dan NaCl 0,9%
dimasukkan masing-masing ke dalam beaker glass. Beaker glass diberi
label.
4. Cacing A. suum yang sudah aktif dimasukkan ke dalam masing-masing
beaker glass berisi larutan obat.
5. Pengamatan waktu paralisis atau waktu mati setiap 5 menit selama 1 jam.
6. Cara pengamatan waktu paralisi atau waktu mati yaitu dengan diusik
menggunakan batang pengaduk.
a. Jika cacing diam, cacing dipindahkan ke dalam air panas bersuhu
50oC. Kemudian diamati pergerakannya.
b. Bila di dalam air panas cacing tersebut masih bergerak. Artinya cacing
tersebut mengalami paralisis.
c. Bila di dalam air panas cacing tersebut diam. Artinya cacing tersebut
mati.
7. Dicatat waktu paralisis dan waktu mati cacing A. suum.

IV. HASIL PENGAMATAN

WAKTU
Kelompok 1
0' 5' 10' 15' 20' 25' 30' 35' 40' 45' 50' 55' 60'
NaCl 0,9% - - - - - - - - - - - - -
Piperazine 0,2% N N N N N N N N N N N N N
Pirantel pamoat 0,2% N P P P P P P P P P P P P
WAKTU
Kelompok 2
0' 5' 10' 15' 20' 25' 30' 35' 40' 45' 50' 55' 60'
NaCl 0,9% - - - - - - - - - - - - -
Piperazine 0,2% N N N N N N N N N N N N N
Pirantel pamoat 0,2% - - - - - - - - - - - - -
WAKTU
Kelompok 3
0' 5' 10' 15' 20' 25' 30' 35' 40' 45' 50' 55' 60'
NaCl 0,9% - - - - - - - - - - - - -
Piperazine 0,5% N N N N P P P P P P P P P
Pirantel pamoat 0,5% N N P P P P P P P P P P P
WAKTU
Kelompok 4
0' 5' 10' 15' 20' 25' 30' 35' 40' 45' 50' 55' 60'
NaCl 0,9% N N N N N N N N N N N N N
Piperazine 1% - - - - - - - - - - - - -
Pirantel pamoat 1% N N N N N N N N N N P P P
WAKTU
Kelompok 5
0' 5' 10' 15' 20' 25' 30' 35' 40' 45' 50' 55' 60'
NaCl 0,9% - - - - - - - - - - - - -
Piperazine 0,5% N N N N N N N N N N N N N
Pirantel pamoat 0,5% N P P P P P P P P P P P P
WAKTU
Kelompok 6
0' 5' 10' 15' 20' 25' 30' 35' 40' 45' 50' 55' 60'
NaCl 0,9% - - - - - - - - - - - - -
Piperazine 1% N N N N N N P P P P P P P
Pirantel pamoat 1% N N N N P P P P P P P P P
Keterangan:

P = Paralisis

M = Mati

N = Normal

- = Tidak dilakukan pengujian


V. PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini, praktikan melakukan uji anthelmintik terhadap cacing parasit
atau cacing yang menyebabkan patogen. Cacing yang praktikan gunakan adalah cacing
gelang pada babi (Ascaris suum) sebagai pengganti Ascaris lumbricoides. Hal ini karena
Ascaris lumbricoides sukar didapat dikarenakan cacing tersebut jarang keluar secara
spontan dari dalam tubuh penderita. Selain itu, para peneliti juga belum menemukan
metode yang sesuai untuk dapat membiakkan telur Ascaris lumbricoides secara in vitro.
Mengingat prevalensi askariasis yang cukup besar dan akibat yang ditimbulkan cukup
berbahaya, maka para peneiliti menggunakan sampel pengganti yang mempunyai
kesamaan morfologi dan cara infeksi dengan Ascaris lumbricoides yaitu cacing Ascaris
suum. Ascaris suum merupakan kerabat terdekat Ascaris lumbricoides, bahkan cacing ini
sering disebut dengan Ascaris lumbricoides suum. (Laskey, 2007)

Secara morfologi, tidak banyak perbedaan antara Ascaris suum dan Ascaris
lumbricoides. Perbedaan di antara keduanya tidak dapat diamati dengan mikroskop
cahaya biasa. Sedangkan penelitian dengan menggunakan mikroskop elektron
menunjukkan adanya perbedaan pada geligi dan bentuk bibir di antara keduanya. Adanya
beberapa perbedaan pola ikatan molekul protein yang sama antara Ascaris lumbricoides
dan Ascaris suum mencerminkan hubungan genetik yang cukup dekat, serta menunjukkan
adanaya kemungkinan terjadinya hibridisasi antara Ascaris lumbricoides dan Ascaris
suum (Alba et al., 2009).

Sebagai anthelmintik, praktikan menggunakan pirantel pamoat 0,2%, piperazine


0,2%, dan NaCl 0,9%. Larutan NaCl 0,9% sebagai kontrol negatif karena sifatnya
isotonis sehingga tidak merusak membran sel tubuh cacing dan bertujuan untuk
mengetahui kelangsungan hidup cacing di dalam lingkungan yang dibuat sesuai
dengan kondisi inangnya. Namun praktikan hanya melakukan uji anthelmintik
menggunakan piperazin saja dikarenakan ketersediaan Ascaris suum yang tidak
mencukupi.

Uji aktivtas anthelmintik yang praktikan gunakan ialah secara in vitro, suatu proses
yang dilakukan untuk menunjukkan gejala yang diteliti di luar tubuh makhluk hidup
dalam kondisi laboratorium. Pengerjaan dilakukan dengan metode rendaman, dimana
cacing yang bersangkutan direndam dalam larutan obat, pirantel pamoat 0,2% dan
piperazin 0,2%. Parameter dari uji antelmintik secara in vitro adalah waktu paralisis dan
waktu kematian cacing. Waktu paralisis dinyatakan apabila cacing tidak bergerak kecuali
apabila cacing diguncang dengan kuat menggunakan batang pengaduk. Waktu kematian
dinyatakan apabila cacing tetap tidak bergerak meskipun dicelupkan ke dalam air bersuhu
50C. Hal ini dapat meningkatkan metabolisme cacing kembali sehingga cacing dapat
bergerak dan dapat diamati keadaannya.
Dari data percobaan yang diperoleh, cacing Ascaris suum yang direndam dalam
larutan obat piperazin tidak menunjukkan aktivitas apa-apa saat diusik dengan batang
pengaduk. Seharusnya cacing mengalami paralisis flasid (lemas). Karena piperazin
bekerja pada implus neuromuskuler yang mengakibatkan blokade respon otot cacing
terhadap asetilkolin sehingga meniadakan kontraksi otot yang menimbulkan kelumpuhan
dalam kondisi lemas dan terkulai. Pada pengamatan praktikan, kondisi cacing tetap sama
seperti semula saat pengambilannya. Hal ini terjadi karena beberapa faktor, yaitu terlalu
lamanya cacing dibiarkan pada suhu ruangan (25oC), berbeda dengan suhu habitatnya
yang berada pada usus halus babi yang memiliki suhu 37oC (Soulsby,1982). Sehingga
saat diamati, cacing tidak menunjukkan pergerakan apapun selama pengamatan.

VI. KESIMPULAN

Dari praktikum yang dilakukan, dapat ditarik kesimpulan:

1. Uji anthelmintik bertujuan untuk mengetahui respon cacing yang diberikan


anthelmintik.
2. Piperazin menyebabkan paralisis tipe flasid terhadap cacing Ascaris suum, dan
pirantel pamoat menyebabkan paralisis tipe spastik.
3. Piperazin dan pirantel pamoat merupakan anthelmintik yang bekerja pada otot cacing.

VII. DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Piperazine-citrate. Tanpa Kota: Tanpa Penerbit.


Anonim. 2010. Flaccid Paralysis Vs Spastic Paralysis. Tanpa Kota: Tanpa Penerbit.
Astuti, Lilis Sri. 2007. Klasifikasi Hewan. Jakarta: PT. Kawan Pustaka.
Laskey, A. 2007. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Mycek. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar. Jakarta: Widya Medika
Soulsby, E.J.L. 1982. Helminths, Antroprods and Protozoa of Domesticated Animanls.
Inglish Languge Book Service Tindal. 7th Ed.
Tjay, Tan Hoan, Rahardja, Kirana. 2002. Obat Obat Penting. Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo.

Anda mungkin juga menyukai