Anda di halaman 1dari 19

BAB II

RINGKASAN ISI BUKU


1.1. Identitas Buku
1. Judul Buku : Pendidika Agama Kristen (Buku Utama)
1 Edisi : Pertama (I)
2 Penulis : Pdt. Dr. Sampitmo Habeahan, M.Th, M.Pd. dkk
3 Penerbit : CV. Permata Mitra Sari
4 Tahun terbit : 2017
5 Kota Terbit : Medan
6 ISBN : 978-602-1516-14-0

1.2. Ringkasan Isi Buku


Bab 8
I. Kebudayaan Dipandang Dari Sudut Alkitab
Kebudayaan menurut Alkitab dapat dilihat dari beberapa aspeknya, yaitu: (1) Allah
memberikan manusia tugas kebudayaan karena pada dasarnya manusia memiliki gambar
seorang pencipta (Kej.1:26-27) dan manusia diberi TUGAS agar menaklukkan dan memerintah
bumi (Kej.1:28). Jadi, manusia menerima suatu mandat dari Allah dan mandat itu adalah
MANDAT kebudayaan. Lebih jelas lagi disebutkan bahwa: Tuhan Allah mengambil manusia
itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.
(Kej.2:15); (2) Sesuai Mazmur 150 kita dapat melihat bahwa TUJUAN kebudayaan yang utama
adalah untuk memuliakan dan mengasihi Allah, dan agar kebudayaan itu digunakan untuk
melayani dan mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri.

Mandat budaya Sebagai panggilan suara kenabian yang mewartakan kebenaran alkitab
didalam memandang seluruh problematika kehidupan disegala bidangbaik pendidikan
ekonomi,sosial,hukum,kemasyarakat dll. Bila Alkitab berbicara begitu positif mengenai
kebudayaan, mengapa kebudayaan menjadi suatu yang dipersoalkan? Apa yang
menyebabkannya? Penyimpangan kebudayaan terjadi misalnya dalam peristiwa Menara Babel
dimana tujuan kebudayaan menyimpang diarahkan untuk penyembahan berhala dan kebanggaan
diri/kelompok (Kej.11). Tema dosa yang merusak tujuan kebudayaan adalah ingin menjadi
seperti Allah (Kej.3:5) dan mencari nama (Kej.11:4). Jadi dosa telah menyimpangkan
kebudayaan sehingga berpotensi bukan saja untuk tidak memuliakan penciptanya, sebaliknya
malah digunakan untuk alat meninggikan diri dan menantang Allah.

Memang tidak mudah untuk melihat kuasa dosa itu kelihatan di dalam kebudayaan,
kadang-kadang terlihat dari hasil kebudayaan seperti patung lalu disembah, musik digunakan
untuk memuliakan manusia & dosa dan menyembah dewa-dewi, dan filsafatpun dapat digunakan
tidak sesuai dengan firman Allah (Kol.2:8). Kadang-kadang kuasa dosa terlihat dari cara
menggunakan hasil kebudayaan itu. Rekayasa genetika dengan kloningnya menghadapi bahaya
kearah ini, demikian juga penyalah gunaan senjata nuklir. Film & Sinema dengan jelas
menunjukkan betapa hasil kebudayaan telah dikuasai dosa pornografi, sadisme dan okultisme
tanpa bisa dibendung. Sesuatu yang mendukacitakan Allah pencipta manusia dan kemanusiaan.
Yesus berfirman: Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang kepada adat-istiadat manusia.
(Mrk.6:8)

II. Sikap Kristen Terhadap Kebudayaan


Sikap umat Kristen menghadapi kebudayaan dapat digolongkan ke dalam lima macam,
yaitu:
(1) Antagonistis, yaitu sikap menentang dan menolak, atau sikap negatif terhadap semua hasil dan
penggunaan kebudayaan, sikap ini melihat pertentangan iman dan kebudayaan yang tidak
terdamaikan antara iman Kristen dan kebudayaan dalam segala aspeknya;
(2) Akomodasi, adalah sikap yang sebaliknya dari antagonistis yaitu menyesuaikan diri dengan
kebudayaan yang ada. Agama kristen dikorbankan demi kepentingan kebudayaan yang ada.
Akomodasi demikian sering kita lihat dalam hubungan dengan agama-agama animis dan adat
istiadat sehingga terjadi sinkretisme yang berbahaya. Sikap demikian terlihat misalnya dalam
usaha untuk menganggap bahwa semua agama itu sama saja atau yang belakangan ini lebih
dikenal sebagai semua agama menuju yang SATU (inklusivisme);
(3) Dominasi, biasa dilakukan dalam gereja RK dimana sesuai teologia Thomas Aquinas yang
menganggap bahwa sekalipin manusia dalam dosa telah merosot citra ilahinya karena kejatuhan
dalam dosa, pada dasarnya manusia tidak jatuh total, melainkan masih memiliki kehendak bebas
yang mandiri. Itulah sebabnya dalam menghadapi kebudayaan kafir sekalipun, umat bisa
melakukan akomodasi secara penuh dan menjadikan kebudayaan kafir itu menjadi bagian iman,
namun kebudayaan itu disempurnakan dan disucikan oleh sakramen yang menjadi alat anugerah
ilahi;
(4) Dualisme, sikap ini mendua yang memisahkan agama dan budaya secara dikotomis. Pada satu
pihak terdapatlah dalam kehidupan manusia beriman kepercayaan kepada pekerjaan Allah dalam
Tuhan Yesus Kristus, namun manusia yang sama tetap berdiri di dalam kebudayaan kafir dan
hidup di dalamnya. Peran penebusan Tuhan Yesus yang mengubah hati manusia yang berdosa
dan mengubahnya menjadi kehidupan dalam iman tidak ada artinya dalam menghadapi
kebudayaan. Manusia beriman hidup dalam kedua suasana atau lapangan baik agama maupun
kebudayaan secara bersama-sama;
(5) Pengudusan, adalah yang tidak menolak secara total (antagonistis) namun juga tidak menerima
secara total (akomodasi), tetapi dengan sikap keyakinan yang teguh bahwa kejatuhan manusia
dalam dosa tidak menghilangkan kasih Allah atas manusia melainkan menawarkan
pengampunan dan kesembuhan bagi manusia untuk memulai suatu kehidupan yang lebih baik
dengan mengalami transformasi kehidupan etika dan moral. Manusia melakukan dan menerima
hasil kebudayaan selama hasil-hasil itu memuliakan Allah, tidak menyembah berhala, dan
mengasihi sesama dan kemanusiaan. Sebaliknya, bila kebudayaan itu memenuhi salah satu atau
malah ketiga sikap budaya yang salah itu, umat beriman harus menggunakan firman Tuhan untuk
mengkuduskan kebudayaan itu sehingga terjadi transformasi budaya ke arah memuliakan
Allah, tidak menyembah berhala, dan mengasihi manusia dan kemanusiaan.
Kelihatannya Alkitab lebih condong untuk mengajarkan umat Kristen agar melakukan sikap
Pengudusan sebagai kesaksian iman Kristiani dalam kehidupan berbudaya. Rasul Paulus
memberikan peringatan agar: Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan
filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak
menurut Kristus. (Kol.2:8).
III. Sikap Gereja Terhadap Kebudayaan

H.Richard Niebuhr dari Yale University di Amerika Serikat telah membuat bagan tentang
sikap gereja terhadap kebudayaan dalam bukunya Christ and Culture atau Kristus dan
Kebudayaan. Ia telah menjelajahi sikap-sikap gereja terhadap kebudayaan sepanjang zaman
dalam 5 sikap:

1. Gereja anti kebudayaan

2. Gereja dari kebudayaan

3. Gereja diatas kebudayaan

4. Gereja dan kebudayaan dalam hubungan paradoks

5. Gereja pengubah kebudayaan

Dapatlah kita simpulkan bahwa sikap gereja terhadap kebudayaan adalah :


1. Gereja menentang kebudayaan khususnya terhadap unsure-unsur yang secara total
bertentangan dengan injil, umpanya terhadap culture agama, suku, dan tata kehidupan yang tidak
membangun seperti poligami, perjudian, perhambaan.

2. Menerima unsur-unsur kebudayaan yang bersesuaian dengan injil dan bermanfaat bagi
kehidupan.
3. Menerima unsure-unsur kebudayaan tertentu dan mentransformasikannya dengan injil.
Umpanya tata perkawinan, seni tari, dll. Sehingga dapat menjadi sarana injil.

Bagi mereka yang takut akan Allah, rasanya semua tindakan kita dalam menerima adat-
istiadat perlu berorientasi pada Allah dan kehendak-Nya, ini menghasilkan empat pertimbangan
berikut, yaitu sikap menghadapi adat-istiadat yang:
(1) Memuji dan memuliakan Allah
(2) Tidak menyembah berhala
(3) Mencerminkan kekudusan Allah
(4) Mengasihi manusia dan kemanusiaan. Keempatnya berurutan dari atas ke bawah dimana
memuji dan memuliakan Allah adalah tugas utama umat Kristen (Mazmur 150) dan ketiga
lainnya diukur dari apakah itu meneguhkan kepujian dan kemuliaan Allah atau tidak.
Lalu adakah tingkat-tingkat pertumbuhan yang menentukan umat kristen bersikap?
Kedewasaan umat kristen dalam bersikap perlu mengarah pada kecenderungan kelima yaitu
transformatif, yaitu ia hidup dengan mentransformasikan setiap adat-istiadat agar sesuai dengan
kepujian, kemuliaan dan kehendak Allah. Ia semula hidup berkajang dalam dosa dan melakukan
adat-istiadat dimana kuasa dosa banyak berpengaruh. Pengenalannya akan Tuhan Yesus Kristus
membawanya kepada pertobatan (metanoea) dimana ia mulai merasakan perubahan arah dalam
hidupnya dari dosa menuju kebenaran, dan seperti apa yang dikatakan oleh rasul Paulus: Jadi
siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya
yang baru sudah datang (2Kor.5:17).

Dari perubahan yang transformatif inilah ia terus menerus melakukan trasformasi dari dosa
menuju kebenaran sehingga kehidupannya makin hari makin baik. Rasul Paulus mengatakan
bahwa: Bukan seolah-olah aku telah memperoleh hal ini atau telah menjadi sempurna, melainkan
aku mengejarnya (Flp.3:12). Namun, harus disadari bahwa transformasi itu bukanlah hasil usaha
manusia dengan kekuatannya sendiri tetapi sebagai hasil interaksi iman kita yang mendatangkan
rahmat Allah: Dan semuanya itu dari Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah mendamaikan
kita dengan diri-Nya dan yang telah mempercayakan pelayanan perdamaian itu kepada kami
(2Kor.5:18).

IV. Budaya yang harus dikembangkan jaman Modern ini

Banyak orang ingin sukses tapi tidak santun. Ada orang pintar karena tidak santun maka
sulit diterima keberadaannya. Ada pemimpin karena pribadinya tidak santun maka
kepemimpinannya juga sulit diterima kehadirannya. Dalam hal hubungannya dengan iman
Kristen aktifitas berkirir yang kritis itu dan dalam upaya untuk berkarya, maka judul di atas erat
kaitannya dalam kerangka untuk mengerti dan melakukan kehendak Tuhan. Dalam kerangka
itulahlah tiap orang Kristen harus kritis dan berkarya. Oleh sebab itu judul tsb menarik untuk
dibaca bagi mereka yang hidupnya ingin sukses. Sebab berbicara tentang kata kritis dan
karya, adalah dua kata yang saling melengkapi. Misalnya, Firman Tuhan berkata, Sebab itu,
janganlah kamu bodoh, tetapi usahakanlah supaya kamu mengerti kehendak Tuhan (Efesus
5:17). Tetapi juga kita dituntut untuk berkarya. Firman Tuhan berkata: Apa pun juga yang
kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk
manusia (Kol.3:23).
Ke dua nats di atas ini, tujuannya agar agar hari-hari hidup setiap umat dapat bermakna
dan bernilai. Tegasnya, menjadi orang yang paling sukses. Kesuksesan yang akan kita capai
tidak bergantung pada bukan berapa banyak uang yang kita kumpulkan, atau berapa besar karya-
karya yang akan kita capai. Kesuksesan juga bukan terletak pada berapa banyak pekerjaan yang
kita lakukan, atau berapa tingginya posisi yang kita miliki. Kesuksesan kita diukur dari seberapa
jauh kita mengerti dan melakukan kehendak Tuhan. Kritis berpikir dan santun berkarya
tujuannya agar kita mengerti dan melakukan kehendak Tuhan.
Kita perlu terus belajar, terus menambah pengetahuan dan belajar dari kegagalan atau
keberhasilan, pada waktu sulit atau tenang, bahkan diharuskan untuk belajar atas perubahan yang
ada, bukan lihai atau licik, tapi cerdik. Jadi, dalam mengkritisi zaman ini agar orang-orang
percaya jangan hanyut terbawa arus atau tergilas atau ketinggalan, tercecer, dalam
perkembangan zaman. Para pemimpin gereja harus membantu umatnya menyadari bahaya
zaman ini dengan melengkapi mereka melalui upaya perlengkapan iman yang terus bertumbuh
dewasa, agar mampu mengahadapi serigala zaman ini.
Dengan demikian hidup beragama itu ialah berpikir dan berkarya berdasarkan Kitab Suci
atau Alkitab. Di dalam Firman tsb dijelaskan, manusia tidak diciptakan Tuhan Allah
seperti robotyang kemampuan berpikirnya sebatas yang terprogram. Tetapi diciptakan dengan
penuh kesadaran akan dirinya, alam dan Tuhannya. Maksudnya, beragama yang benar, atau
beriman kepada Tuhan Pencipta langit dan bumi dengan segala isinya, tujuannya agar dalam
memelihara ciptaanNya tiap orang Kristen terpanggil untuk setia dan mengasihinya dengan
caraNya sendiri. Di sanalah sifat santun itu menjadi penting. Yaitu, mengkiritisi panggilanNya
agar membawa pengenalan akan Tuhan secara benar (Kel 3:13 4:1ff). Semuan itu diarahkan
agar iman kepercayaan kita semakin bertumbuh dan bekerkembang sesuai dengan talenta yang
dimilikinya. Demikianlah proses mengerti dan melakukan kehendak Allah.

Manusia tidak berjalan dalam kehendak yang kaku, tetapi selalu ada di dalam pembaruan,
baik itu kebudayaan, ilmu pengetahuan, teknologi dan sebagainya.
Lebih dari itu, berpikir kritis, santun berkarya bagaikan kompas hidup yang tepat bagi manusia
melihat pemandangan yang luas (ke depan) dan beragam objek yang memukau perhatian dan
sekaligus mengundang banyak pertanyaan tentang objek-objek yang terpapar di depan kita.
Tuhan menghendaki agar kita membangun pekerjaan dan pelayanan yang sungguh-sungguh
berkenan kepada-Nya. Itu berarti kita tidak bekerja atau melayani secara sembarangan, atau
mengambil muka kepada pimpinan (Ef.6:6), tetapi dengan rela menjalankan pelayanannya
seperti orang-orang yang melayani Tuhan, bukan manusia.
Atas dasar itulah, sifat mengkritisi harus ditopang sikap santun agar karya-karya yang
kita lakukan menjadi berkat bagi diri kita sendiri, tentu juga bagi orang lain. Dalam hal ini, kita
dapat belajar dari hamba Tuhan abad 1 itu, Yaitu Rasul Paulus. Karena dia juga berpikir kritis
terhadap tradisi umat Israel yang sangat dikenalnya dan diihayatinya itu, tetapi dia terbuka pada
tuntutan baru dari iman yang berpusat pada Yesus Kristus yang mati dan bangkit itu, sehingga
dia melihat dan percaya bahwa kita tidak dapat diselamatkan oleh Taurat (Yahudi), melainkan
hanya oleh Yesus Kristus sebagai penggenapan Hukum Taurat itu. Berdasarkan pernyataannya
itulah, kepada orang-orang percaya sepanjang zaman dia menyerukan melalui tulisannya kepada
jemaat Tessalonika itu : ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik ( 1 Tes 5 : 21 ).

Berpikir kritis adalah senana dengan tuntutan Alkitab itu sendiri, seperti kita lihat dalam
sikap Rasul Paulus di atas. Mengkritisi dengan demikian agar kita bertindak hati-hati atau
waspada (santun). Sebagai gereja yang memang berpusat pada Alkitab ingat prinsip dasar
Martin Luther Sola Scriptura abad XVI itu Dengan kata lain, Alkitab adalah buku kesaksian
iman, bukan buku tentang fakta-fakta historis (historia), fakta-fakta biologis, antropologis atau
fakta-fakta ilmu-ilmu lainnya.

Berpikir Kritis dan santun berkarya sangat tepat dihubungkan dengan merespons Firman
Tuhan. Itu yang dimaksudkan dengan tetap selalu memegang yang baik. Yaitu, adanya
kesadaran dan tindakan menjadi sesuatu yang urgen dalam tata sosial dan orde kehidupan kita
agar lebih beradab dan bermartabat, sekaligus menjadi daya hidup dan autentisitas iman agar
hidup semakin bermakna. Tuhan menghendaki agar kita makin mengenal dan mengasihi Dia,
serta semakin dewasa seperti Kristus (Efesus 4:13 dan 5:21). Hal itu juga yang ditegaskan Allah
melalui Nabi Yeremia: Barangsiapa mau bermegah, baiklah bermegah karena yang berikut,
bahwa Ia memahami dan mengenal Aku (9:24). Seruan itu telah menjadi kerinduan dan ambisi
rasul Paulus: Yang kukehendaki adalah mengenal Dia (Fil.3:10).

Akhirnya, berpikir kritis, dan santun berkarya, kita akan menguji segala sesuatu dengan
tujuan supaya kita memegang yang baik, melakukannya dalam tindakantindakan konkrit dalam
pelayanan di gereja. Sebab gereja dan umat Kristen yang menyatakan Ktistus mestilah seirama
dengan tindakan Kristus di dunia ini. Oleh karena itu, betapa pun sibuknya, jangan melalaikan
hubungan pribadi dengan Tuhan. Pelihara dan tingkatkan kualitas saat teduh. Tuhan
menghendaki agar kita membangun keluarga yang berpusatkan Kristus (Efesus 5:21-6:4). Amin.
3.1. Identitas Buku Pembanding

1. Judul Buku : Pengantar ilmu Agama (Buku Pembanding)


2. Edisi : ke lima (5)
3. Penulis : Koentjaraningrat
4. Penerbit : PT Renaka Cipta
5. Tahun terbit : 1990
6. Kota Terbit : Jakarta
7. ISBN : 978-602-6470-02-7

Bab 4
Hubungan Agama Kristen & Budaya
Pertemuan Injil dan kebudayan

Injil diberitakan ditengah-tengah dunia yang penuh kebudayaan yang bentuknya dapat
diumpamakan seperti kuelapis. Lapisan-lapisan kebudayaan itu misalnya di Indonesia terdiri
dari lapisan yang diwarnai oleh agama pribumi, Hinduisme, Buddhisme, Islam, Kristen dan
terakhir modernisme. Intensitas pengaruh itu berbeda satu dengan lain bergantung pada
etnografis, geografis dan sejarah masing-masing wilayah. Tetapi bagaimanapun Injil yang
diberitakan itu tetap berhadapan dengan kebudayaan bangsa-bangsa dan suku-suku.

Dalam pertemuan injil dan kebudayaan tersebut, secara khusus adalah dengan unsur-
unsur kebudayaan yang pasti terdapat dalam semua kebudayaan yang dinamai unsur
kebudayaan universal, terdiri dari : Sisten relegi dan upacara keagamaan, Sistem dan
organisasi masyarakat, Sistem pengetahuan, Sistem bahasa, Sistem Kesenian, Sistem Mata
pencaharian, dan Sistem teknologi

Lapisan-lapisan kebudayaan itu tidak statis, masing-masing salingberpenetarasi, maka


unsur kebudayaan yang universal itu selalu berada dalam perobahan.

Demikianlah Injil selalu berhadapan dengan unsur-unsur kebudayaan tersebut dengan


membawa nilai Injil secara khusus dengan sistem religi,sistem pengetahuan, kesenian dan
mata pencaharian. Sewaktu Yesus memberitakan Injil, Ia ditentang oleh Yudaisme dalam
soal-soal doktrin dan kesucian, perkawinan,sistem ekonomi yang berlandaskan usaha kerja,
sedang Injil menekankan anugerah Allah sebagai jaminan kehidupan (Mattius 5 : 25-34);
tentangkasih dan keadilan yang menentang hukum balas-membalas (Mattius 5 : 38-48).
Hal yang sama terjadi setelah Injil dibawa keluar Israel ke masyarakat Hellenisme dan
Romawi. Injil menentang absolutisme kekaisaran romawi dimana kaisar dianggap dan dipuja
sebagai Tuhan dan agama rakyat yang politheistis dan hubungan seksual termasuk dalam
sistem religi yang membuat tata susila yang permissif, sini tari yang membangkitkan birahi
dan bentuk-bentuk olah raga yang tidak manusiawi. Oleh sebab itu gereja tidak dapat tidak
harus menentukan sikap terhadap kebudayaan yang dihadapinya.

Sikap Gereja terhadap kebudayaan

H. Richard Niebuhr dari Yale University di Amerika serikat telah membuat bagan
tentang sikap Gereja terhadap kebudayaan dalam bukunya Christ and Culture atau Kristus
dan kebudayaan. Ia telah menjelajahi sikap-sikap Gereja terhadap kebudayaan sepanjang
zaman dalam 5 sikap, yaitu :

1. Gereja anti kebudayan

2. Gereja dari kebudayaan

3. Gereja diatas kebudayaan

4. Gereja dan kebudayaan dalam hubungan paradoks

5. Gereja pengubah kebudayaan

Ini adalah gambaran gambaran umum, sedang dapat kita benarkan pendapat yang
mengatakan bahwa tidak ada gereja yang secara murni mengambil salah satu sikap tersebut.
Namun ada baiknya kita membicarakan posisi-posisi itu satu persatu :
1. Posisi 1.

Gereja memandang dunia di bawah kekuasaan si jahat sebagai kerajaan kegelapan.


Warga Gereja disebut oleh Injil adalah anak-anak terang, karena itun tidak hidup dalam
kegelapan. Dunia kegelapan ini dikuasai oleh nafsu kedagangan, nafsu mata, kesombongan.
Semua itu akan berlalu sebab mereka akan dikalahkan oleh iman kepada Kristus (Niebuhr,
56).

Sikap menentang kebudayaan ini telah dilancarkan oleh Tertullianus tokoh Gereja abad
ke 2. Ia mengatakan bahwa konflik-konflik orang percaya bukan dengan alam tetapi dengan
kebudayaan. Dosa asal itu menurut Tertullianus disebarkan oleh kebudayaan melalui
pendidikan anak. Olehn karena itu kata tertullianus tugas Gereja adalah menerangi semua
orang yang sudah berada di bawah ilusi kebudayan, supaya mereka dibawa kepada
pengetahuan akan kebenaran. Yang paling buruk dari kebudayaan adalah agama sosial, kafir
atau politheisme, hawa nafsu dan kemaksiatan (Niebuhr, 60). Tetapi pada pihak lain,
tertullianus menganjurkan agar Gereja memupuk kebersamaan, tidak meninggalkan
pertemuan umum, tempat pemandian, kede, penginapan, pasar mingguan tempat perdgangan
sebab Gereja dengan semua itu numpang bersama dalam dunia. Selanjutnya kata
Tertullianus, kami berlayar bersama berjuang denganmu, mengolah tanah denganmu bahkan
dalam bidang seni untuk umum. Pada pihak lain Tertullianus mengajak orang menjauhi
keterlibatan dalam soal-soal kenegaraan, antara lain menolak dinas militer sebab melanggar
perintah Injil yang melarang menggunakan pedang dan tidak ikut dalam sumpah setia kepada
kaisar dan keturut sertaan dalam upacara kafir. Ia menolak bentuk kekristenan yang berfusi
dengan Stoa dan Plato. Menurut pendapatnya, tidak ada hubungan Kristus dengan filsafat.
Walau Tertullianus tidak menolak seluruh kebudayaan, tapi Niebuhr menyebutnya termasuk
dalam posisi Gereja lawan kebudayaan.
2. Posisi 2, Gereja dari kebudayaan

Kelompok yang menganut paham ini merasa tidak ada ketegangan besar antara gereja
dan dunia, antara Injil dan hukum-hukum sosial, antara karya rahmat Illahi dengan karya
manusia. Mereka menafsirkan kebudayaan melalui Kristus danberpendapat bahwa pekerjaan
dan pribadi Kristus adalah sangan sesuai dengan kebudayaan. Dipihak lain, kelompok ini
berpendapat jika Kristus ditafsirkan melalui kebudayaan, maka hal-hal yang terbaik dalam
kebudayaan adalah cocok dengan ajaran dan kehidupan Kristus. Namun penyesuaian ini
bukan sembarangan, sebab telah dilakukan juga penjungkiran bagian-bagian kebudayaan
yang tidak sesuai dengan Injil dan bagian-bagian Injil yang tidak sesuai dengan adat istiadat
sosial (Niebuhr : 94).

Tetapi kaum Gnostik Kristen menafsirkan Kristus sepenuhnya sesuai dengan konsep
kebudayaan, tidak ada pertentangan antara keduanya. Dengan demikian ada perdamaian Injil
dengan kebudayaan dan karena itu kekristenan telah menjadi sistem agama dan filsafat dan
Gereja hanya sebagai perhimpunan religius bukan sebagai gereja atau masyarakat baru.
Tokoh-tokoh penyesuaian ini dalam sejarah Gereja adalah Clemens (200) dan Origines (185-
254)- (Fuklaan-Berkhof, 1981 : 41). Pada abad pertengahan posisi Gereja dari kebudayaan
dilanjutkan oleh Petrus Abelardus (1079-1142) yang mengakui karya Filsuf Socrates dan
Plato sebagai guru mendidik walaupun lebih rendah tingkatnya tyetapi bersesuaian dengan
ajaran Yesus (Niebuhr, 100).

Tokoh yang lain adalah Ritschl yang menggagasi untuk merekonsiliasi kekristenan
dengan kebudayaan. Kelompok ini secara keseluruhan disebut Protestantisme kebudayaan
melalui gagasan tentang kerajaan Allah yang telah disamakan dengan suatu kerajaan umat
manusia yang terhimpun dalam suatu keluarga, di bawah ikatan kebajikan, perdamaian,
keperluan bersama. Perhimpunan ini terbentuk melalui aksi moral secara timbal balik dari
anggota-anggotanya yaitu suatu aksi melalui pertimbangan alamiah (Niebuhz, 109). Dalam
gagasan ini, kesetiaan orang kepada Kristus menentukan orang untuk berpartisipasi secara
aktif dalam karya kebudayaan (Niebuhr, 110).
3. Posisi 3. Gereja diatas kebudayaan.

Pandangan ini berawal dari pandangan tingkatan hirarkis dari alam (natural) dan
spiritual (rohani). Menurut Thomas Aquinas (1225-1274), kebudayaan menciptakan aturan
suatu kehidupan sosial yang ditemukan oleh akan budi manusia yang dapat dikenal oleh
semua yang berakal sehat sebab bersifat hukum alam. Tapi disamping hukum alam ada
hukum Ilahi yang dinyatakan Allah melalui para Nabi yang melampaui hukum alam.
Sebagian hukum Ilahi adalah harmonis dengan hukum alam dan sebagaian lagi
melampauinya dan itulah menjadi hukum dari hidup supernatural manusia (ordo
supernaturalis). Hukum Ilahi terdapat dalam perintah: jualah semua apa yang kamu miliki,
berikan kepada orang miskin sedang hukum alam terdapat dalam perintah kamu tidak boleh
mencuri, yaitu hukum yang sama dapat ditemui oleh akal manusia dan didalam wahyu. Dari
contoh itu Thomas Aquinas menyimpilkan bahwa hukum alam yang ditemui yang terdapat
dalam kodrat hidup manusia berada dubawah ordo supernaturalis.

Manusia dalam hidupnya sudah kehilangan ordo supernaturalis dan untuk dapat
memulihkannya kembali hanyalah melalui sakraman.

Gereja berada dalam ordo supernatulis. Oleh karena itu kebudayaan berada di bawah hirarkis
gwereja. Dengan itu pada abad pertengahan gereja menguasai seluruh kebudayaan dalam
tatanan Corpus Christianum.
4. Posisi 4. Hubungan Gereja dan kebudayaan dalam paradoks.
Dalam pandangan ini, iman dan kebudayaan dipisahkan. Orang beriman (Kristen) berada
dalam dua suasana yaitu berada dalam kebudayaan dan sekaligus berada dalam anugerah
Allah dalam Kristus. Oleh sebab itu orang beriman dihimpit oleh dua suasana yaitu hidup
dalam iman dan hidp dalam kebudayaan.

Dalam sejarah Gereja, Marcian seorang tokoh gereja abad ke 2 yang berpendirian
bahwa dalam kebudayaan manusia di bawah Allah yang rendah derajadnya yang dinamainya
domiurgos sedang dalam pembaharuan ciptaan, manusia hidup di bawah Allah Rahmani.
Dengan itu ia telah mempelopori hidup secara dualisme. Ajaran ini ditolak gereja pada masa
itu dan dikategorikan sebagai ajaran sesat.

Pandangan dualisme kelihatan juga secara samar dalam ajaran Marthin Luther yang
mencetuskan reformasi pada tahun 1517 Menurut dia orang beriman hidup dalam dua
kerajaan, yaitu kerajaan Allah yang rohani dan kerajaan duniawi. Kerajaan Allah adalah
suatu kerajaan anugerah dan kemuliaan, tetapi kerajaan duniawi adalah suatu kerajaan
kemurkaan dan kekerasan. Kedua kerajaan itu tidak dapat dicampur adukkan. Masing-
masing lingkungan menurutaturannya. Jadi manusia hidup dalam dua tatanan yaitu tatanan
kebudayaan berdasarkan hukum alam dan tatanan rohani yaitu tatanan surgawi. Ada kesan
bahwa Marthin Luther tidak menghubungkan tatanan duniawi dengan yang surgawi sehingga
kehidupan dalam kebudayaan dan surgawi tidak berhubungnan. Dengan itu ada
kemungkinan orang tidak lagi membawa imannya dalam kehidupan dalam kebudayaan
(Niebuhr, 194).

Pada abad ini pandangan itu dipertahankan oleh seorang Teolog bernama William
Roger. Manusia menurut Roger, harus berbakti kepada Allah maupun raja, kendati ada
ketegangan antara keduanya. Orang beriman seyogianya hanya berbakti kepada Allah tetapi
tidak dapat tidak harus berbakti kepada kebudayaan. Kita tidak dapat tidak hidup seperti
ampibi, yaitu hidup dalam rahmat Allah dan sekaligus dalam kebudayaan. Kedua lingkungan
ini terpisah dan tidak saling berhubungan. Hal ini mungkin bahwa seorang dapat hidup
berdasarkan imannya pada lingkungan rohani atau hidup menurut imannya pada lingkungan
rahmat dan pada pihak lain ia hidup menurut aturan duniawi dalam lingkungan dunia
(Niebuhr:207).
5. Posisi 5. Gereja pengubah kebudayaa

Banya orang Kristen sepanjang abad tidak menyetujui keempat pendirian tersebut baik
dalam teori maupun dalam politik. Mereka juga tidak bersedia menyerah kepadakebudayaan
karena mereka memahami kebudayaan mempunyai kelemahan-kelemahan. Mereka juga
menolak takluk kepada kebudayaan yang dipaksakan gereja sebab kebudayaan yang
dipaksakan gereja selalu berbentuk sintesa antara kerajaan Allah dan kerajaan dunia dan ada
kecenderungan memandang kebudayaan yang masih berdosa ini dianggap suci sebab berada
di bawah gereja. Tapi adalah tidak benar, jika dikatakan bahwa kerajaan Allah telah
diwujudkan dalam kebudayaan yang diciptakan gereja (Verkugl, 1982 : 49).

Sikap gereja yang tepat menurut H. R. Niebuhr adalah sikap gereja pengubah kebudayaan.

Seorang teolog bernama Augustinus (354-430) telah mempelopori sikap gereja


pengubah kebudayaan. Posisi ini berangkat dari pendirian bahwa tidak ada suatu kodrat yang
tidak mengandung kebaikan, karena itu kodrat setan sendiripun tidaklah jahat, sejauh itu
adalah kodrat, tapi ia menjadi jahat karena dirusak (Niebuhr, 239).

Tetapi Allah kata Augustinus, memerintah dan mengatasi manusia dalam pribadi dan
sosial mereka yang rusak. Pandangan ini berasal dari pemahaman bahwa oleh sifat kreatifitas
Allah maka Allah tetap menggunakan dengan baik kehendak manusia yang jahat sekalipun,
sehingga m,anusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya melalui kebudayaannya. Sikap
Allah ini mendapat wujudnya dalam Yesus Kristus yang telah datang kepada manusia yang
telah rusak untuk menyembuhkan dan memperbaharui apa yang telah ditulari melalui hidup
dan kematiannya, ia mengatakan kebesaran kasih Allah dan tentang begitu dalamnya dosa
manusia (241). Denganjalan Injilnya ia memulihkan apa yang telah rusak dan memberi arah
baru terhadap kehidupan yang telah rusak (242). Atas pemikiran teologis tersebut, Agustinus
meletakkan gagasan Injil pengubah kebudayaan atau Injil adalah Conversionis terhadap
kebudayaan. Pemikiran Augustinis ini dilanjutkan oleh Johanes Calvin pada awal abad ke
16. Titik tolak pikirannya berawal pada pandangannya bahwa hukum-hukum kerajaan Allah
telah ditulis dalam kodrat manusia dan dapat terbaca dalam kebudayaannya. Dengan itu
hidup dan kebudayaan manusia dapat ditransformasikan sebab kodrat dan kebudayaan
manusia dapat dicerahkan, sebab mengandung kemungkinan itu pada dirinya sebagai
pemberian Ilahi. Oleh sebab itu Injil harus diaktualisasikan dalam kebudayaan supaya
kebudayaan lebih dapat mensejahterakan manusia (245-246).
Gereja dan kebudayaan di Indonesia

Seperti telah disinggung sebelumnya, unsur-unsur kebudayaan yang dihadapi Injil di


Indonesia sarat dengan pengaruh agama-agama, mulai dari agama pribumi, Hindu, Buddha
dan Islam dalam intensitasyang berbeda-beda. Pengaruh itu dalam bentuk lapisan-lapisan,
namun saling berpenetrasi antara satu dengan yang lain. Secara umum dapat dikatakan
pengaruh Hindu dan Islam berpengaruh dalam kebudayaan Jawa, sedang di Indonesia
bagian timur terdapat pengaruh agama pribumi dan Islam. Di Sumatwera Utara khususnya
diantara orang Batak terdapat pengaruh agama Hindu dan agama pribumi.

Sewaktu Injil diberitakan kepada suku-suku bangsa di Indonesia maka Injil


berhadapan dengan unsur-unsur kebudayaan setempat. Persoalan kita bagaimana sikap
gereja terhadap kebudayaan setempat.

Gereja-gereja berlatar belakang reformasi yang membawa Injil ke Indonesia


menekankan sekali kemurnian Injil dan disiplin kehidupan umat sesuai nilai-nilai yang
termuiat dalam Injil. Oleh sebab itu geraja selalu mengawasi agar unsur-unsur yang
bertentangan dengan Injil tidak memasuki kehidupan umat Kristen. Oleh karena itu
gereja menolak kultus roh nenek moyang dan semua ritus-ritus untuk menguatkan roh
atau jiwa seseorang. Tujuan utama penolakan ini, agar tidak terjadi penyembahan kepada
ilah-ilah selain dari Allah Jahweh (Keluaran 20 : 2-5).

Tetapi gereja menyadari bahwa simbol-simbol yang digunakan masyarakat adalh


bermuatan agama sedang bagi masyarakat pribumi suatu simbol selalu identik dengan
yang disimbolkan. Oleh sebab itu gereja tidak saja menolak kultus kepada yang bukan
Allah tetapi juga mendesakralisasikan suatu simbol sehingga dapat menjadi sarana untuk
mencapai kesejahteraan manusia.

Upaya ini nampak jelas dalam penerimaan gereja terhadap tatanan masyarakat Batak
yang dinamai dilikan na tolu, yaitu tiga tungku (Batak toba, Angkola, Simalungun dan
Dairi) atau sangkep si telu (Batak Karo). Tatanan ini bersumber dari kepercayaan orang
Batak kepada tiga Dewata, yang pertama berkediaman di dunia atas, yang kedua di dunia
tengah dan ketiga di dunia bawah. Berdasarkan pandangnan kosmologis tersebut, maka
masyarakat Batak dibagi atas unsur hula-hula atau kalimbubu (Karo) yaitu kelompok si
pemberi dara, dongan atau senina (Karo) yaitu kelompok satu klan dan boru atau anak
beru (Karo) yaitu kelompok si pengambil dara.
Ketiga dewata itu diharapkan selalu harmonis agar kehidupan manusia di dunia
tengah tidak diganggu oleh dunia bawah dan atas. Harapan ini terungkap dalam doa
orang Karo bunyinya: turunlah dewata diatas, naiklah dewata di bawah dan duduklah
dewata ditengah. Sebagaimana harus ada keharmonisan antara dunia atas, tengah dan
bawah, demikian juga ketiga unsur kerabat tersebut harus selalu bertindak dalam
keserasian. (Ph. L. Tobing, the structure of Batak Belief in the High God: 1963:28-29)
Bahwa orang batak memahami seluruh kosmos sebagai keselueruhan dunia bawah,
tengah dan atas. Dalam totalitas ini, masing-masing dunia yang tiga itu mempunyai
fungsi, melalui mana keserasian dan keberadaan manusia itu mungkin. Penghapusan
salah satu dari totalitas itu berarti pemusnahan jagad raya dan juga keberadaan masing-
masing. Demikian juga keberadaan kosmos yang menjadi bagian dari pada ruang adalah
kesatuan totaliter. Tanpa memandang luas kecil operasinya, ia adalah kesatuan dari
kuasa-kuasa yang bertentangan (terjemahan : penulis).

Gereja mengadopsi tatanan dalihan na tolu tau sangkep si telu tersebut dengan
mencopot unsur mythologisnya dan menanamkan nilai-nilai etis agama Kristen
kedalamnya agar peran masing-masing unsur lebih rasional dan fungsional.

Hal yang sama dilakukan gerja-gereja dalam kebudayaan setempat di Indonesia


antara lain gereja di Ambon mengadopsi tatanan pela gandong yaitu suatu ikatan sosial
masyarakat berdasarkan ikrar nenek moyang pada waktu yang tidak diketahui lagi, tetapi
tetap diteruskan kepada generasi-generasi seterusnya tanpa membedakan agama yang
merekla anut.

Kepatuhan orang terhadap tatanan dalihan na tolu maupun pela gandong tersebut
bukan semata-mata oleh ikatan hukum, tapi mengandung nilai-nilai moral dan oleh sebab
itu kepatuhan tersebut bersifat devasi atau ibadah dan orang yang melanggarnya
dikategorikan sebagai pelanggar moral.
BAB III

PEMBAHASAN

1. Keunggulan
Dari kedua buku yang telah di review penulis menemukan keungulan setiap
buku dan memiliki ke unggulan tersebut:

Buku Utama : Keunggulan yang terdapat pada buku utama ialah pembahasan yang
sangat luas dan mencakup ke aspek-aspek lainnya, kemudian tata bahasa
dan penulisan yang rapi, membuat pembaca lebih tertarik untuk
memhaminya lebih dalam dan cocok untuk digunakan sebagai buku
acuan pembelajaran.

Buku Pembanding : Keunggulan yang terdapat pada buku pembanding sama seperti
keunggulan yang terdapat pada buku utama, ialah tata bahasa nya yang
bagus dan rapi dan penulisan yang bagus

2. Kelemahan

Penulis juga menemukan kelemahan dari kedua buku tersebut dan akan
menerapkannya seperti:
Buku utama : Kelemahan pada buku utama ialah pada halaman 152 paragraf ke 3
terdapat kata sebahagian yang menurut penulis itu terlalu baku, kecuali
dengan penambahan kata depan (se)
Buku Pembanding : Penulis juga menemukan ada beberapa penulisan kata yang salah
dalam buku tersebut, seperti di halaman 48, 52 dengan paragraf yang
berbeda-beda seperti kata sala yang seharusnya salah dan kata
perumpaman yang seharusnya perumpamaan
BAB IV
PENUTUP
1. Kesimpulan

Dari ringkasan buku dan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Melalui
pertemuan Injil dengan sub kultur-sub kultur di Indonesia timbullah kebudayaan sub
kultur Kristen di Indonesia. Hal ini mengatakan tidak ada kebudayaan Kristen yang
universal di Indonesia. Dengan itu agama Kristen telah menjadi salah satu sumber
kekuatan untuk melahirkan kebudayaan. Oleh sebab kelokalan itu maka kebudayaan
sub kultur Kristen itu tidak seluruhnya menyapa semua manusia disegala zaman dan
tempat. Hal itu berarti Injil yang universal itu dijadikan menjadi Injil yang lokal, yang
menjawab persoalan dan kebutuhan lokal. Proses ini dapat menjadi ancaman sebab
Injil yang universal dikaburkan dalam kelokalannya.

2. Saran
Menurut penulis buku yang pantas untuk dibuat sebagai buku acuan
pembelajaran ialah buku utama karena buku tersebut sangat membahas secara luas
dan terperinci sehingga penggunapun bisa mengerti dengan maksud dari buku
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Sampitmo H.dkk, 2017. Pendidikan Agama Kristen, Medan, CV. Pertama Mitra Sari.

Koentjaraningrat, 1990, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta, PT. Renaka Cipta.

Anda mungkin juga menyukai