Anda di halaman 1dari 18

A.

Definisi
CML yang merupakan gangguan mieloproliferatif klonal ini ditandai
dengan peningkatan neutrofil dan prekusornya pada darah perifer dengan
peningkatan selularitas sumsum tulang akibat kelebihan prekusor granulosit
(Atul & Victor, 2005).
Leukemia mieloid kronik (LMK) atau Chronic Myeloid Leukemia
(CML) merupakan leukemia kronik, dengan gejala yang timbul perlahan-lahan
dan sel leukemianya berasal dari transformasi sel induk mieloid. CML termasuk
kelainan klonal (clonal disorder) dari sel induk pluripoten dan tergolong sebagai
salah satu kelainan mieloproliferatif. Nama lain untuk leukemia myeloid kronik,
yaitu Chronic Myelogenous Leukemia dan Chronic Myelocytic Leukemia (I
Made, 2006).
Leukemia adalah penyakit neoplastik yang ditandai dengan
diferensiasi dan proliferasi sel induk hematopoietik yang mengalami
transformasi dan ganas, menyebabkan supresi dan penggantian elemen
sumsum normal. Leukemia dibagi menjadi 2 tipe umum: leukemia limfositik dan
leukemia mieloid (Guyton and Hall, 2007).

B. Epidemiologi
I Made (2006) dan Victor et al., (2005) mengungkapkan bahwa CML
merupakan 15-20% dari leukemia dan merupakan leukemia kronik yang paling
sering di jumpai di Indonesia, sedangkan di negara Barat Leukemia kronik lebih
banyak dijumpai dalam bentuk CLL (Chronic Lymphocytic Leukemia). Insiden
CML di negara Barat sekitar 1-1,4/100.000/tahun. Penyakit ini terjadi pada
kedua jenis kelamin (rasio pria : wanita sebesar 1,4:1). Umumnya CML
mengenai usia pertengahan dengan puncak pada umur 40-50 tahun. Pada
anak-anak dapat di jumpai bentuk juvenile CML.
C. Etiologi
Etiologi CML masih belum diketahui. Menurut Jorge et al., (2010)
Beberapa asosiasi menghubungkannya dengan faktor genetik dan faktor
lingkungan, tetapi di kebanyakan kasus, tidak ada faktor yang dapat di
identifikasikan.
Agung (2010) mengungkapkan bahwa ada dua faktor yang menyebabkan
CML, yaitu faktor instrinsik (host) dan faktor ekstrinsik (lingkungan).
1. Faktor Instrinsik
a. Keturunan dan Kelainan Kromosom
Leukemia tidak diwariskan, tetapi sejumlah individu memiliki
faktor predisposisi untuk mendapatkannya. Risiko terjadinya leukemia
meningkat pada saudara kembar identik penderita leukemia akut,
demikian pula pada suadara lainnya, walaupun jarang. Pendapat ini
oleh Price atau Wilson (1982) yang menyatakan jarang ditemukan
leukemia Familial, tetapi insidensi leukemia terjadi lebih tinggi pada
saudara kandung anak-anak yang terserang dengan insiden yang
meningkat sampai 30 % pada kembar identik (monozigot), (Agung
,2010).
Kejadian leukemia meningkat pada penderita dengan
kelainan fragilitas kromosom (anemia fancori) atau pada penderita
dengan jumlah kromosom yang abnormal seperti pada sindrom Duwa,
sindrom klinefelter dan sindrom turner.

b. Defisiensi Imun dan Defisiensi Sumsum Tulang

Sistem imunitas tubuh kita memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi


sel yang berubah menjadi sel ganas. Gangguan pada sistem tersebut
dapat menyebabkan beberapa sel ganas lolos dan selanjutnya
berproliferasi hingga menimbulkan penyakit. Hipoplasia dari sumsum
tulang mungkin sebagai penyebab leukemia (Agung ,2010).
2. Faktor Ekstrinsik
a. Faktor Radiasi
Adanya efek leukemogenik dan ionisasi radiasi, dibuktikan
dengan tingginya insidensi leukemia pada ahli radiologi (sebelum
ditemukan alat pelindung), penderita dengan pembesaran kelenjar
tymus, Ankylosing spondilitis dan penyakit Hodgkin yang mendapat
terapi radiasi. Diperkirakan 10 % penderita leukemia memiliki latar
belakang radiasi Sebelum proteksi terhadap sinar rutin dilakukan, ahli
radiologi mempunyai risiko menderita leukemia 10 kali lebih besar.
Penduduk Hiroshima dan Nagasaki yang hidup sesudah ledakan bom
atom tahun 1945 mempunyai insidensi LMA dan LMK sampai 20 kali
lebih banyak. Demikian pula pada penderita ankylosing spondilitis yang
diobati dengan sindar radioaktif lebih dari 2000 rads mempunyai
insidensi LMA 14 kali lebih banyak (Agung ,2010).

b. Bahan Kimia dan Obat-obatan


Bahan-bahan kimia terutama Hydrokarbon sangat
berhubungan dengan leukemia akut pada binatang dan manusia.
Remapasan Benzen dalam jumlah besar dan berlangsung lama dapat
menimbulkan leukemia. Penelitian Akroy et al (1976) telah
membuktikan bahwa pekerja pabrik sepatu di Turki yang kontak lama
dengan benzen dosis tinggi banyak yang menderita LMA .
Kloramfenikol dan fenilbutazon diketahui menyebabkan anemia
aplastik berat, tidak jarang diketahui dikahiri dengan leukemia,
demikian juga dengan Arsen dan obat-obat imunosupresif (Agung
,2010).

c. Infeksi Virus

Virus menyebabkan leukemia pada beberapa dirating


percobaan di laboratorium. Peranan virus dalam timbulnya leukemia
pada manusia masih dipertanyakan. Diduga yang ada hubungannya
dengan leukemia adalah Human T-cell leukemia virus (HTLV-1), yaitu
suatu virus RNA yang mempunyai enzim RNA transkriptase yang
bersifat karsinogenik (Agung ,2010).

Beberapa virus tertentu sudah dibuktikan menyebabkan


leukemia pada binatang. Timbulnya leukemia dipengaruhi antara lain
oleh umur, jenis kelamin, strain virus, faktor imunologik serta ada
tidaknya zat kimia dan sinar radioaktif. Sampai sekarang tidak atau
belum dapat dibuktikan bahwa penyebab leukemia pada manusia
adalah virus. Walaupun demikian ada beberapa hasil penelitian yang
menyokong teori virus sebagai penyebab leukemia, antara lain enzyme
reverse transcriptase ditemukan dalam darah penderita leukemia.
Seperti diketahui enzim ini ditemukan di dalan virus onkogenik seperti
retrovirus tipe-C, yaitu jenis virus RNA yang menyebabkan leukemia
pada binatang (Agung ,2010).

D. Patogenesis
Pada CML dijumpai Philadelphia chromosom (Ph1 chr) suatu
reciprocal translocation 9,22 (t9;22). Kromosom Philadelphia merupakan
kromosom 22 abnormal yang
disebabkan oleh translokasi
sebagian materi genetik pada bagian
lengan panjang (q) kromosom 22 ke
kromosom 9, dan translokasi
resiprokal bagian kromosom 9,
termasuk onkogen ABL, ke region
klaster breakpoint (breakpoint
cluster region, BCR) yang
merupakan titik pemisahan tempat putusnya kromosom yang secara spesifik
terdapat pada kromosom 22. Sebagai akibatnya sebagian besar onkogen ABL
pada lengan panjang kromosom 9 mengalami juxtaposisi (bergabung) dengan
onkogen BCR pada lengan panjang kromosom 22. Titik putus pada ABL
adalah antara ekson 1 dan 2. Titik putus BCR adalah salah satu di antara dua
titik di region kelompok titik putus utama (M-BCR) pada CML atau pada
beberapa kasus ALL Ph+. Gen fusi (gen yang bersatu) ini akan
mentranskripsikan chimeric RNA sehingga terbentuk chimeric protein (protein
210 kd). Timbulnya protein baru ini akan memengaruhi transduksi sinyal
terutama melalui tyrosine kinase ke inti sel sehingga terjadi kelebihan
dorongan proliferasi pada sel-sel mieloid dan menurunnya apoptosis. Hal ini
menyebabkan proliferasi pada seri mieloid (I Made, 2006; Atul & Victor, 2005;
Victor et al., 2005).
Jaringan pembentuk darah ditandai oleh pergantian sel yang sangat
cepat. Normalnya, produksi sel darah tertentu dari prekusor sel stem diatur
sesuai kebutuhan tubuh. Apabila mekanisme yang mengatur produksi sel
tersebut terganggu, sel akan membelah diri sampai ke tingkat sel yang
membahayakan (proliferasi neoplastik). Proliferasi neoplastik dapat terjadi
karena kerusakan sumsum tulang akibat radiasi, virus onkogenik, maupun
herediter.
Sel polimorfonuklear dan monosit normalnya dibentuk hanya dalam
sumsum tulang. Sedangkan limfosit dan sel plasma dihasilkan dalam berbagai
organ limfogen (kelenjar limfe, limpa, timus, tonsil). Beberapa sel darah putih
yang dibentuk dalam sumsum tulang, khususnya granulosit, disimpan dalam
sumsum tulang sampai mereka dibutuhkan dalam sirkulasi. Bila terjadi
kerusakan sumsum tulang, misalnya akibat radiasi atau bahan kimia, maka
akan terjadi proliferasi sel-sel darah putih yang berlebihan dan imatur. Pada
kasus AML, dimulai dengan pembentukan kanker pada sel mielogen muda
(bentuk dini neutrofil, monosit, atau lainnya) dalam sumsum tulang dan
kemudian menyebar ke seluruh tubuh sehingga sel-sel darah putih dibentuk
pada banyak organ ekstra medula.
Sedangkan secara imunologik, patogenesis leukemia dapat
diterangkan sebagai berikut. Bila virus dianggap sebagai penyebabnya (virus
onkogenik yang mempunyai struktur antigen tertentu), maka virus tersebut
dengan mudah akan masuk ke dalam tubuh manusia dan merusak mekanisme
proliferasi. Seandainya struktur antigennya sesuai dengan struktur antigen
manusia tersebut, maka virus mudah masuk. Bila struktur antigen individu
tidak sama dengan struktur antigen virus, maka virus tersebut akan ditolaknya.
Struktur antigen ini terbentuk dari struktur antigen dari berbagai alat tubuh,
terutama kulit dan selaput lendir yang terletak di permukaan tubuh atau HL-A
(Human Leucocyte Locus A). Sistem HL-A diturunkan menurut hukum genetik,
sehingga etiologi leukemia sangat erat kaitannya dengan faktor herediter.
Akibat proliferasi mieloid yang neoplastik, maka produksi elemen
darah yang lain tertekan karena terjadi kompetisi nutrisi untuk proses
metabolisme (terjadi granulositopenia, trombositopenia). Sel-sel leukemia juga
menginvasi tulang di sekelilingnya yang menyebabkan nyeri tulang dan
cenderung mudah patah tulang. Proliferasi sel leukemia dalam organ
mengakibatkan gejala tambahan : nyeri akibat pembesaran limpa atau hati,
masalah kelenjar limfa; sakit kepala atau muntah akibat leukemia meningeal.

E. Klasifikasi
Perjalanan penyakit CML, menurut I Made (2006); Agung (2010)
dibagi menjadi beberapa fase, yaitu:
1. Fase Kronik : pada fase ini pasien mempunyai jumlah sel blast dan sel
premielosit kurang dari 5% di dalam darah dan sumsum tulang. Fase ini
ditandai dengan over produksi granulosit yang didominasi oleh netrofil
segmen. Pasien mengalami gejala ringan dan mempunyai respon baik
terhadap terapi konvensional.
2. Fase Akselerasi atau transformasi akut : fase ini sangat progresif,
mempunyai lebih dari 5% sel blast namun kurang dari 30%. Pada fase ini
leukosit bisa mencapai 300.000/mmk dengan didominasi oleh eosinofil dan
basofil. Sel yang leukemik mempunyai kelainan kromosom lebih dari satu
(selain Philadelphia kromosom).
3. Fase Blast (Krisis Blast) : pada fase ini pasien mempunyai lebih dari 30%
sel blast pada darah serta sumsum tulangnya. Sel blast telah menyebar ke
jaringan lain dan organ diluar sumsum tulang. Pada fase ini penyakit ini
berubah menjadi Leukemia Myeloblastik Akut atau Leukemia Lympositik
Akut. Kematian mencapai 20%.
F. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis CML, menurut I Made (2006) dan Victor et al.,
(2005) tergantung pada fase yang kita jumpai pada penyakit tersebut, yaitu :
1. Fase kronik terdiri atas:
a. Gejala hiperkatabolik: berat badan menurun, lemah, anoreksia,
berkeringat pada malam hari.
b. Splenomegali hampir selalu ada, sering massif.
c. Hepatomegali lebih jarang dan lebih ringan.
d. Gejala gout atau gangguan ginjal yang disebabkan oleh hiperurikemia
akibat pemecahan purin yang berlebihan dapat menimbulkan masalah.
e. Gangguan penglihatan dan priapismus.
f. Anemia pada fase awal sering tetapi hanya ringan dengan gambaran
pucat, dispneu dan takikardi.
g. Kadang-kadang asimtomatik, ditemukan secara kebetulan pada saat
check up atau pemeriksaan untuk penyakit lain.
2. Fase transformasi akut terdiri atas:
Perubahan terjadi perlahan-lahan dengan prodormal selama 6
bulan, di sebut sebagai fase akselerasi. Timbul keluhan baru, antara lain :
demam, lelah, nyeri tulang (sternum) yang semakin progresif. Respons
terhadap kemoterapi menurun, lekositosis meningkat dan trombosit
menurun (trombosit menjadi abnormal sehingga timbul perdarahan di
berbagai tempat, antara lain epistaksis, menorhagia).
3. Fase Blast (Krisis Blast):
Pada sekitar 1/3 penderita, perubahan terjadi secara mendadak,
tanpa didahului masa prodormal keadaan ini disebut krisis blastik (blast
crisis). Tanpa pengobatan adekuat penderita sering meninggal dalam 1-2
bulan.
G. Pemeriksaan Penunjang
I Made (2006) memaparkan beberapa pemeriksaan penunjang untuk CML,
yaitu:
1. Laboratorium
a. Darah rutin:
1) Anemia mula-mula ringan menjadi progresif pada fase lanjut (fase
transformasi akut), bersifat normokromik normositer.
2) Hemoglobin: dapat kurang dari 10 g/100 m.
b. Gambaran darah tepi:
1) Leukositosis berat 20.000-50.000/mm3 pada permulaan
kemudian biasanya lebih dari 100.000/mm3.
2) Menunjukkan spectrum lengkap seri granulosit mulai dari
mieloblast sampai netrofil, komponen paling menonjol adalah
segmen netrofil (hipersegmen) dan mielosit. Metamielosit,
promielosit, dan mieloblast juga dijumpai. Sel blast < 5%. Sel
darah merah bernukleus.
3) Jumlah basofil dalam darah meningkat.
4) Trombosit bisa meningkat, normal atau menurun. Pada fase awal
lebih sering meningkat.
5) Fosfatase alkali netrofil (neutrophil alkaline phosphatase) selalu
rendah.
c. Gambaran sumsum tulang
1) Hiperseluler dengan system granulosit dominan. Gambarannya
mirip dengan apusan darah tepi. Menunjukkan spektrum lengkap
seri myeloid, dengan komponen paling banyak ialah netrofil dan
mielosit. Sel blast kurang dari 30 %. Megakariosit pada fase
kronik normal atau meningkat.
2) Sitogenik : di jumpai adanya Philadelphia (Ph1) kromosom pada
95 % kasus.
3) Vitamin B12 serum dan B12 binding capacity meningkat.
4) Kadar asam urat serum meningkat.
5) Pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction) dapat mendeteksi
adanya chimeric protein bcr-abl pada 99% kasus (I Made, 2006).
Gambar 2.1 Gambar 2.2

Gambaran apusan darah tepi dengan Gambaran apusan darah tepi dengan
perbesaran 400x menunjukkan perbesaran 1000x menunjukkan promielosit,
hyperlekositosis. eosinofil,3 basofil, netrofil batang dan
segmen.
Terdapat juga eosinophilia, basofilia,
thrombocytosis.

Gambar 2.3 Gambar 2.4

Gambaran apusan darah tepi dengan Gambaran apusan darah tepi, dengan
perbesaran 400x menunjukkan berbagai perbesaran 1000x menunjukkan tahapan
tahap granulopoiesis termasuk promielosit, granulocytic termasuk eosinofil dan basofil.
mielosit, metamielosit, dan netrofil batang
serta segmen.

Gambar 2.5

Gambaran Sumsum tulang yang hiperseluler.


Dengan perbesaran 400x menunjukkan bahwa
adanya peningkatan eosinofil dan
megakariosit.
2. Pemeriksaan Penunjang Lain
Menurut Agung (2010), ada beberapa pemeriksaan penunjang lain untuk
penyakit CML, antara lain :
a. Biopsi sumsum tulang : SDM abnormal biasanya lebih dari 50 % atau
lebih dari SDP pada sumsum tulang. Sering 60% - 90% dari blast,
dengan prekusor eritroid, sel matur, dan megakariositis menurun.
b. Foto dada dan biopsi nodus limfe : dapat mengindikasikan derajat
keterlibatan.
c. David et al., (2009) menambahkan pemeriksaan lain, yaitu tes untuk
mendeteksi adanya kromosom Philadelphia.

H. Diagnosis Banding
Pemeriksaan darah tepi dan sumsung tulang merupakan situasi klinis yang
dapat menegakkan diagnosis adanya CML, pada beberapa pasien CML
kadang tidak ditemukan kromosom Ph. Sehingga di butuhkan suatu standar
untuk menegakkan suatu diagnosis.
1. Diagnosis CML dalam fase akselerasi menurut WHO :
a. Blast 10-19% dari WBC pada darah tepi dan atau dari sel sumsum
tulang berinti.
b. Basofil darah tepi >20%.
c. Thrombositopenia persisten (<100x109/L) yang tidak dihubungkan
dengan terapi, atau thrombositosis (>1000x109/L) yang tidak responsif
terhadap terapi.
d. Peningkatan ukuran lien atau WBC yang tidak responsif pada terapi.
e. Bukti sitogenik evolusi klonal (I Made, 2006).

2. Diagnosis CML pada fase krisis blastik menurut WHO :


a. Blast >20% dari darah putih pada darah perifer atau sel sumsum tulang
berinti.
b. Proliferasi blast ekstrameduler.
c. Fokus besar atau cluster sel blast dalam biopsi sumsum tulang (I
Made,2006).
Diagnosis banding pada fase kronis adalah trombositosis
esensial, pada trombositosis ditemukan adanya fosfatase normal atau
meningkat sedangkan CML selalu rendah dan tidak ditemukannya Ph
kromosom seperti halnya yang selalu ditemukan Ph kromosom pada
penderita CML. Untuk fase krisis blast yaitu leukemia mieloid akut dan
sindrom mielodislasia (Victor et al., 2006).

Tidak ditemukannya Ph kromosom pada penderita CML yaitu


pada kasus penderita yang menderita CML tipe juvenillis yang asering
dijumpai pada pasien berumur kurang dari 4 tahun. Cirinya tidak adanya
Ph kromosom, peningkatan Hb janin, trombositopenia, monositosis yang
menonjol, dan CML juvenillis jarang mengalami transformasi blastik dan
meninggal akibat infeksi atau kegagalan organ akibat sebukan monosit dan
makrofag (Victor et al., 2006).

I. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
Penatalaksanaan CML tergantung pada fase penyakit, yaitu :
a. Fase Kronik
1) Busulphan (Myleran), dosis : 0,1-0,2 mg/kgBB/hari. Leukosit
diperiksa tiap minggu. Dosis diturunkan setengahnya jika leukosit
turun setengahnya. Obat di hentikan jika leukosit 20.000/mm3.
Terapi dimulai jika leukosit naik menjadi 50.000/mm3. Efek smaping
dapat berupa aplasia sumsum tulang berkepanjangan, fibrosis paru,
bahaya timbulnya leukemia akut (I Made, 2006).
2) Hydroxiurea, bersifat efektif dalam mengendalikan penyakit dna
mempertahankan hitung leukosit yang normal pada fase kronik,
tetapi biasanya perlu diberikan seumur hidup (Victor et al., 2005).
Dosis mulai dititrasi dari 500 mg sampai 2000 mg. Kemudian
diberikan dosis pemeliharaan untuk mencapai leukosit 10.000-
15.000/mm3. Efek samping lebih sedikit (I Made, 2006).
3) Interferon juga dapat mengontrol jumlah sel darah putih dan dapat
menunda onset transformasi akut, memperpanjang harapan hidup
menjadi 1-2 tahun (Atul & Victor, 2005). IFN- biasanya digunakan
bila jumlah leukosit telah terkendali oleh hidroksiurea. IFN-
merupakan terapi pilihan bagi kebanyakan penderita leukemia
Mielositik (CML) yang terlalu tua untuk transplantasi sumsum tulang
(BMT) atau yang tidak memiliki sumsum tulang donor yang cocok.
Interferon alfa diberikan pada rata-rata 3-5 juta IU / d subkutan
(Emmanuel, 2010). Tujuannya adalah untuk mempertahankan
jumlah leukosit tetap rendah (sekitar 4x109/l). Hampir semua pasien
menderita gejala penyakit mirip flu pada beberapa hari pertama
pengobatan. Komplikasi yang lebih serius berupa anoreksia,
depresi, dan sitopenia. Sebagian kecil pasien (sekitar 15%) mungkin
mencapai remisi jangka panjang dengan hilangnya kromosom Ph
pada analisis sitogenik walaupun gen fusi BCR-ABL masih dapat
dideteksi melalui PCR. (Victor et al., 2005).
4) STI571, atau mesylate imatinib (Gleevec), merupakan obat yang
sedang diteliti dalam percobaan klinis dan tampaknya memberikan
hasil yang menjanjikan. Zat STI 57I adalah suatu inhibitor spesifik
terhadap protein ABL yaitu tiroksin kinase sehingga dapat menekan
proliferasi seri myeloid. Gleevec mengontrol jumlah darah dan
menyebabkan sumsum tulang menjadi Ph negative pada sebagian
besar kasus. Obat ini mungkin menjadi lini pertama pada CML, baik
digunakan sendiri atau bersama dengan interferon atau obat lain
(Atul & Victor, 2005; Emmanuel, 2010; Victor et al., 2005; I Made,
2006)
5) Transplantasi sumsum tulang alogenik (stem cell transplantation,
SCT) sebelum usia 50 dari saudara kandung yang HLA-nya cocok
memungkinkan kesembuhan 70% pada fase kronik dan 30% atau
kurang pada fase akselerasi (Atul & Victor, 2005).
b. Fase Akselerasi dan Fase Blast
Terapi untuk fase akselerasi atau transformasi akut sama
seperti leukemia akut, AML atau ALL, dengan penambahan STI 57I
(Gleevec) dapat diberikan. Apabila sudah memasuki kedua fase ini,
sebagian besar pengobatan yang dilakukan tidak dapat
menyembuhkan hanya dapat memperlambat perkembangan
penyakit. (Atul & Victor, 2005; I Made, 2006).

2. Non-Medikamentosa
a. Radiasi
Terapi radiasi dengan menggunakan X-Rays dosis tinggi sinar-sinar
tenaga tinggi secara external radiation therapy untuk menghilangkan
gejala-gejala atau sebagian dari terapi yang diperlukan sebelum
transplantasi sumsum tulang (Atul & Victor, 2005).

J. Prognosis
Sekitar 20-30% penderita meninggal dalam waktu 2 tahun setelah
penyakitnya terdiagnosis dan setelah itu sekitar 25% meninggal setiap
tahunnya. Banyak penderita yang bertahan hidup selama 4 tahun atau lebih
setelah penyakitnya terdiagnosis, tetapi pada akhirnya meninggal pada fase
akselerasi atau krisis blast. Angka harapan hidup rata-rata setelah krisis
blast hanya 2 bulan, tetapi kemoterapi kadang bisa memperpanjang harapan
hidup sampai 8-12 bulan (Agung, 2010).
K. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian pada leukemia meliputi :
a. Riwayat penyakit
b. Kaji adanya tanda-tanda anemia :
1) Pucat
2) Kelemahan
3) Sesak
4) Nafas cepat
c. Kaji adanya tanda-tanda leucopenia
1) Demam
2) Infeksi
d. Kaji adanya tanda-tanda trombositopenia :
1) Ptechiae
2) Purpura
3) Perdarahan membran mukosa
e. Kaji adanya tanda-tanda invasi ekstra medulola :
1) Limfadenopati
2) Hepatomegali
3) Splenomegali
f. Kaji adanya :
1) Hematuria
2) Hipertensi
3) Gagal ginjal
4) Inflamasi disekitar rectal
5) Nyeri (Suriadi,R dan Rita Yuliani,2001 : 178)
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul pada kasus AML, antara lain:
a. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan :
1) Tidak adekuatnya pertahanan sekunder
2) Gangguan kematangan sel darah putih
3) Peningkatan jumlah limfosit imatur
4) Imunosupresi
5) Penekanan sumsum tulang (efek kemoterapi)

b. Kekurangan volume cairan tubuh /risiko tinggi, berhubungan dengan :


1) Kehilangan berlebihan, misalnya: muntah, perdarahan
2) Penurunan pemasukan cairan : mual, anoreksia

c. Nyeri (akut) berhubungan dengan :


1) Agen fiscal ; pembesaran organ / nodus limfe, sumsum tulang yang
diinvasi dengan sel leukemia.
2) Agen kimia ; pengobatan antileukemia.

3. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan Intervensi
1 Resiko infeksi Infeksi tidak 1. Tempatkan anak pada ruang khusus.
berhubungan terjadi Batasi pengunjung sesuai indikasi
dengan : 2. Berikan protocol untuk mencuci tangan
Tidak adekuatnya yang baik untuk semua staf petugas
pertahanan 3. Awasi suhu. Perhatikan hubungan
sekunder antara peningkatan suhu dan
Gangguan pengobatan chemoterapi.
kematangan sel 4. Dorong sering mengubah posisi, napas
darah putih dalam, batuk.
Peningkatan 5. Inspeksi membran mukosa mulut.
jumlah limfosit Bersihkan mulut secara periodic.
imatur Gunakan sikat gigi halus untuk
Imunosupresi perawatan mulut.
Penekanan 6. Awasi pemeriksaan laboratorium :
sumsum tulang WBC, darah lengkap
(efek kemoterapi) 7. Berikan obat sesuai indikasi, misalnya
Antibiotik
8. Hindari antipiretik yang mengandung
aspirin
2 Defisit volume Volume 1. Awasi masukan dan pengeluaran.
cairan tubuh cairan tubuh Hitung pengeluaran tak kasat mata
berhubungan adekuat, dan keseimbangan cairan.
dengan : ditandai Perhatikan penurunan urine pada
Kehilangan dengan TTV pemasukan adekuat. Ukur berat
berlebihan, seperti: dbn, stabil, jenis urine dan pH Urine.
muntah, nadi teraba, 2. Timbang BB tiap hari.
perdarahan haluaran 3. Awasi TD dan frekuensi jantung
Penurunan urine, BJ dan 4. Evaluasi turgor kulit, pengiisian
pemasukan cairan PH urine, kapiler dan kondisi umum membran
: mual, anoreksia. dbn. mukosa.
5. Implementasikan tindakan untuk
mencegah cedera jaringan /
perdarahan, ex : sikat gigi atau gusi
dengan sikat yang halus.
6. Berikan diet halus.
7. Berikan cairan IV sesuai indikasi
8. Berikan sel darah Merah, trombosit
atau factor pembekuan

3 Nyeri akut rasa nyeri 1. Awasi tanda-tanda vital, perhatikan


berhubungan hilang/berkur petunjuk nonverbal,rewel, cengeng,
dengan : ang gelisah
Agen fiscal: 2. Berikan lingkungan yang tenang dan
pembesaran organ kurangi rangsangan stress
/ nodus limfe, 3. Tempatkan pada posisi nyaman dan
sumsum tulang sokong sendi, ekstremitas denganan
yang diinvasi bantal
dengan sel 4. Ubah posisi secara periodic dan
leukemia. berikan latihan rentang gerak lembut.
Agen kimia ; 5. Berikan tindakan ketidaknyamanan;
pengobatan mis : pijatan, kompres
antileukemia. 6. Berikan obat sesuai indikasi.
DAFTAR PUSTAKA

Betz, CL & Sowden, LA. 2002.Buku Saku Keperawatan Pediatri. Edisi 3. Jakarta :
EGC.

Brunner& Suddarth. 2002.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Vol 2.


Jakarta : EGC.

ES Jaffe et al.2001.World Health Organization Classification of Tumours. Lyon,


ARC Press,

Fauci, Anthony S.; Kasper, Dennis L. ; Longo, Dan L.; Braunwald, Eugene;Hauser,
Stephen L.; Jameson, J. Larry; Loscalzo, Joseph;. 2008. Harrison's
Principles of Internal Medicine 17th edition. USA: McGraw-hill,

Guyton.1995. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Edisi III. Jakarta : EGC.

JM Bennett et al: Ann Intern Med 103:620, 1985.

Joyce Engel. 1999. Pengkajian Pediatrik. Edisi 2. Jakarta : EGC.

Kurnianda, Johan. 2007. Leukimia Mieloblastik Akut dalam buku ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan FK UI

Price, S A dan Wilson, L M. 2006.Patofisiologi , Konsep klinis proses-proses


penyakit . Jakarta : EGC, .

Whaleys and Wong. 2001.Clinical Manual of Pediatric Nursing. Edisi 4. USA


: Mosby.

Anda mungkin juga menyukai