Anda di halaman 1dari 25

Bagaimana Islam Menghadapi

Modernisasi

Disusun Oleh : 1. Ardianto Wisnu Nugroho [1602617049]

2. Alawy Muhammad [

3. Hilal Fadillah [

4. M.Yusuf [

Karya tulis ini dibuat untuk memenuhi tugas Pendidikan Agama Islam

Fakultas Ilmu Olahraga

Universitas Negeri Jakarta

2017
[i]
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang
limbah dan manfaatnya untuk masyarakat.

Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka
kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah
ilmiah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang limbah dan manfaatnya untuk
masyarakan ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Jakarta, 04 Oktober 2015

Penyusun

Kelompok 7

[ii]
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI...
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah.
C. Tujuan Penulisan...

BAB II PEMBAHASAN
A. Memahami makna modernisasi...
B. Tantangan Modernisasi Terhadap Kehidupan
Islam..................................................................................
C. Perubahanperubahan besar dalam pola kehidupan
islam..........................................................................................
D. Bentuk-bentuk perkembangan yang dihadapi umat
islam.......................................................................................
E. Fungsi Agama Terhadap Perkembangan Dan Perubahan
Budaya............................................................................................
F. Upaya Umat Islam Dalam Menyikapi Semua
Perkembangan...

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan....

DAFTAR PUSTAKA

[iii]
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Agama ditantang untuk 4oci hidup secara eksistensial. Agama pun diharapkan memiliki
signifikansi moral dan kemanusiaan bagi keberlangsungan hidup umat manusia. Secara
4ocial4ic, tugas semacam itu masih dibenturkan dengan adanya kehadiran modernitas yang
terus- menerus berubah dan menari-nari di atas pusaran dunia sehingga menimbulkan
gesekan bagi agama.

Dalam penampakan dunia yang sangat kompleks ini, peran agama tidak bisa dipandang
sebelah mata. Kehidupan yang sangat dinamis ini merupakan realitas yang tidak 4oci
dihindarkan dan perlu direspon dalam konstruksi pemahaman agama yang dinamis pula.
Tarik-menarik antara tradisi (agama) dan modernitas menjadi wacana yang masih hangat
untuk selalu diperdebatkan. Ada kesan bahwa agama itu bertolak belakang dengan
modernitas.

Agama Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, terdapat berbagai petunjuk tentang
bagaimana seharusnya manusia itu menyikapi hidup dan kehidupan ini secara lebih bermakna
dan dalam arti yang seluas-luasnya. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan
progresif, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual, senantiasa
mengembangkan kepedulian 4ocial, menghargai waktu, bersikap terbuka, berorientasi pada
kualitas, egaliter, kemitraan, mencintai kebersihan dan mengutamakan persaudaraan.

Agama Islam lahir pada abad ke- 6 Masehi di semenanjung Arabia. Pada awal kehadirannya,
Islam mengalami hambatan kultural karena lahir di tengah masyarakat pengembara
(nomaden) dan tidak berperadaban. Namun dalam perkembangan selanjutnya penyebaran
agama Islam sangat menarik minat para ahli sejarah. Dalam jangka waktu yang sangat
singkat, sekitar 23 tahun, Islam telah dianut oleh penduduk yang mendiami wilayah dunia.
Pada akhir abad ke-20 agama besar ini menjadi agama yang dipeluk oleh lebih dari 1 milyar
manusia yang tersebar di seluruh dunia, terutama di Asia dan Afrika.

[1]
Islam yang diakui pemeluknya sebagai agama terakhir dan penutup dirangkaikan petunjuk
Tuhan untuk membimbing kehidupan manusia, mengklaim dirinya sebagai agama yang
paling sempurna. Peradaban Islam dipahami sebagai akumulasi terpadu antara normanitas

Islam dan historitas manusia di muka bumi yang selalu berubah-ubah. Maka setiap zaman
akan selalu terjadi reinterpretasi dan reaktualisasi atas ajaran Islam yang disesuaikan dengan
tingkat pemikiran manusia zaman ini. Nasib agama Islam di zaman 5ocial ini sangat
ditentukan sejauh mana kemampuan umat Islam merespon secara tepat tuntutan dan
perubahan sejarah yang terjadi di era modern ini.

Secara teologis, Islam merupakan 5ocial nilai dan ajaran yang bersifat ilahiah (transenden).
Pada posisi ini Islam adalah pandangan dunia (weltanschaung) yang memberikan kacamata
pada manusia dalam memahami realitas. Secara sosiologis, Islam merupakan fenomena
peradaban, realitas 5ocial kemanusiaan. Dalam hal ini nilai-nilai Islam bertemu dan berdialog
secara intens dengan kenyataan hidup duniawi yang selalu berubah dalam partikularitas
konteksnya.

Dialog antara universalitas nilai dan partikularitas konteks menjadi penting dan harus selalu
dilakukan agar misi Islam sebagai rahmat semesta alam dapat diwujudkan. Ketidakmampuan
berdialog dapat menjebak agama pada posisi keusangan (kehilangan relevansi) atau pada
posisi lain kehilangan otentitasnya sebagai pedoman hidup.

[2]
B. Rumusan Masalah

1. Apa makna dari Modernisasi ?


2. Bagaimana mengatasi tantangan modernisasi ?
3. Apa saja bentuk perubahan yang dialami umat islam dalam modernisasi ?
4. Bagaimana Umat Islam menyikapi perkembangan modernisasi

C. Tujuan Penulisan

Maksud dari tujuan penulisan ini adalah untuk menjelaskan bagaimana manusia
menghadapi tantangan modernisasi
dan apa saja bentuk bentuk perubahan yang dialami umat islam dalam modernisasi
selain itu kita juga dijelaskan untuk menyikapi perkembangan modernisasi sehingga
kita lebih memahami apa yang harus kita lakukan dalam perkembangan modernisasi
ini

[3]
BAB II
PEMBAHASAN

A . Memahami Makna Modernisasi


Membicarakan gerakan modernisasi Islam, maka kita harus mengetahui sejarah
modernisasi di Dunia Barat terlebih dahulu. Karena dari gerakan modernisasi di Baratlah
yang mempengaruhi modernisasi di Islam.

Modernisme, modernisasi dan modernitas merupakan padanan kata dari


pembaharuan. Modernisasi lahir di Dunia Barat, yang muncul sejak renaisans terkait dengan
masalah agama. Menurut masyarakat Barat kata modernisasi itu mengandung pengetian
pikiran, ide, aliran, gerakan dan usahan untuk mengubah paham-paham, ada istiadat, dan
sebagainnya agar semua itu dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman yang
ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Modernisasi ditandai dengan rasionalitas dan kreatifitas manusia dalam mencari jalan
mengatasi kesulitan hidupnyadi dunia ini. Maka dari itu, modernism khsususnya di Barat,
adalah suatu antroposentrisme yang hampir tak terkekang.

Bila kita menilik pada sejarah di Barat, modernisasi terjadi sejak abad ke 15, dimana
sebelumny, Barat berada pada zaman kegelapan (Dark Age). Awal mula sejarah modernisasi
terjadi pada era Renaissannce, yang secara harfiah berarti kelahiran kembali. Pada era ini
muncul aliran-aliran pemikiran seperti rasionalisme, empirisme dan sebagainya yang
kemudian merubah dunia alam pemikiran di Barat. Kemajuan dalam bidang pemikiran ini
diikuti dengan kemajuan di berbagai bidang lainnya. Dalam bidang industri, era renaissance
melahirkan revolusi industri yang merubah dan mempengaruhi pergerakan insdustri di
seluruh Eropa. Dampak dari berbagai kemajuan dalam berbagai bidang juga menimbulkan
negara-negara yang maju dan berusaha menguasai negara-negara lainnya. Maka era
kolonialisasi pun dimulai. Negara-negara seperti Inggris, Perancis, Spanyol, dan Portugal
berlomba-lomba dalam memajukan militernya dan menancapkan pengaruhnya di negara-
negara lainnya.

Namun pada intinya, gerakan modernisasi di Barat, semula berawal dari munculnya
era Renaissance, yang mana dengan era ini menimbulkan berbagai kemajuan di berbagai
bidang, pemikiran, industri, militer, sains, pengetahuan dan berbagai bidang lainnya

[4]
B . Tantangan Modernisasi Terhadap Kehidupan Islam
Pengertian modernitas berasal dari perkataan "modern"; dan makna umum dari
perkataan modern adalah segala sesuatu yang bersangkutan dengan kehidupan masa kini.
Lawan dari modern adalah kuno, yaitu segala sesuatu yang bersangkutan dengan masa
lampau. Jadi modernitas adalah pandangan yang dianut untuk menghadapi masa kini. Selain
bersifat pandangan, modernitas juga merupakan sikap hidup. Yaitu sikap hidup yang dianut
dalam menghadapi kehidupan masa kini. Kalau kita berbicara tentang masa kini, maka yang
dimaksudkan adalah waktu sekarang dan masa depan.

Kata-kata modern, modernism, dan moderenisasi berasal dari kata latin


modernusyang artinya baru saja; just now, atau terkini. Akan tetapi, dalam
pemaknaan yang luas modernisasi selalu saja dikaitkan dengan perubahan dalam semua
aspek kawasan pemikiran dan aktifitas.

Sedangkan pengertian Islam berasal dari kata aslama-yuslimu-islaaman, yang berarti


patuh, tunduk, menyerah. Sedangkan Islam menurut istilah adalah tunduk dan patuh kepada
apa yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.

Pada dasarnya setiap masyarakat menginginkan perubahan dari keadaan tertentu ke


arah yang lebih baik dengan harapan akan tercapai kehidupan yang lebih maju dan makmur.
Keinginan akan adanya perubahan itu adalah awal dari suatu proses modernisasi. Berikut ini
adalah beberapa pengertian modernisasi dan beberapa pakar, Wilbert E Moore, modernisasi
adalah suatu transformasi total kehidupan bersama yang tradisional atau pra modern dalam
arti teknologi serta organisasi social ke arah pola-pola ekonomis dan politis yang menjadi ciri
negara barat yang stabil. JW School, modernisasi adalah suatu transformasi, suatu perubahan
masyarakat dalam segala aspek-aspeknya.

Sebagaimana diungkapakan oleh Nasution yang dikutip dari Azyumardi Azra bahwa
Azyu lebih suka memakai istilah modern dari pada pembaruan. Azra beralasan penggunaan
istilah pembaruan. Islam tidak selalu sesuai dengan kenyataan sejarah. Pembaruan dalam
dunia Islam modern tidak selalu mengarah pada reaffirmasi Islam dalam kehidupan muslim.
Sebaliknya, yang sering terjadi adalah westernisasi dan sekularisasi seperti pada kasus Turki.

[5]
Apa yang disampaikan Azra adalah kenyataan modernisme dalam makna
subyektifnya, sedangkan Nasution mencoba melihat modern dengan makna obyektif.
Memang harus diakui, ekspansi gagasan modern oleh bangsa Barat tidak hanya membawa
sains dan teknologi, tetapi juga tata nilai dan pola hidup mereka yang sering kali berbeda
dengan tradisi yang dianut masyarakat obyek ekspansi.

Baik dalam makna obyektif atau subyektifnya, modernitas yang


diimpor dari bangsa Barat membuat perubahan dalam masyarakat muslim, di segala bidang.
Pada titik ini umat Islam dipaksa memikirkan kembali tradisi yang dipegangnya berkaitan
dengan perubahan yang sedang terjadi. Respons ini kemudian melahirkan gerakan-gerakan
pembaruan. Seperti Muhammad Abduh di Mesir, Hasan al-Banna di Mesir, Mawdudi di India
dan Colonel Qadhafi di Libia.

Tetapi, pembaruan Islam bukan sekedar reaksi muslim atas perubahan tersebut.
Degradasi kehidupan keagamaan masyarakat muslim juga menjadi faktor penting terjadinya
gerakan pembaruan. Banyak tokoh-tokoh umat yang menyerukan revitalisasi kehidupan
keagamaan dan membersihkan praktek- praktek keagamaan dari tradisi-tradisi yang dianggap
tidak Islami.

Berdasar pada dua pendapat diatas, secara sederhana modernisasi dapat diartikan
sebagai perubahann masyarakat dari masyaraat tradisional ke masyarakat modern dalam
seluruh aspeknya. Bentuk perubahan dalam pengertian modernisasi adalah perubahan yang
terarah yang didasarkan pada suatu perencanaan yang biasa diistahkan dengan sosial
planning.

Nurcholis (1998, hal. 17) pernah mengomentari Islam dan tantangan modernitas.
Dalam pandangannya Alquran menunjukkan bahwa risalah Islam, karena universalitasnya
dapat diadaptasikan dengan lingkungan kultural manapun termasuk lingkungan masyarakat
perkotaan modern, kemampuan Islam mengadaptasikan dirinya dengan tuntutan kebudayaan
modern diakui oleh sejumlah ilmuwan sosial. Salah satunya adalah Ernest Gellne yang
menegaskan bahwa Islam dapat dimodernisasi, dan upaya modernisasi itu dapat dilakukan
serentak dengan upaya pemurniannya. Modernisasi diupayakan berlangsung tanpa merusak
keaslian dan otensitasnya sebagai agama wahyu.

[6]
Modernitas untuk bangsa Indonesia menurut Suryohadiprojo adalah pandangan oleh
sikap hidup yang dikembangkan untuk menghadapi kehidupan masa kini. Karena bangsa
Indonesia telah menerima Pancasila sebagai ideologi dan falsafah kehidupannya, dan juga
sebagai satu-satunya azas dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, maka
modernitas untuk bangsa kita tidak lepas dari Pancasila.

Hakikatnya Pancasila merupakan satu pandangan yang modern. Memang nilai-nilai


yang terkandung dalam Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil
dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan, Keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia, semua
mempunyai akar dalam kehidupan bangsa Indonesia sejak dahulu kala.

Namun belum pernah dalam sejarah Indonesia ada kehidupan bangsa kita berbentuk
negara yang dilandasi dan dikembangkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Baru
dalam Negara Republik Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945
mempunyai dasar landasan Pancasila secara utuh. Itu berarti bahwa bangsa kita mempunyai
keyakinan akan dapat menghadapi kehidupan masa kini dan masa yang akan datang dengan
sebaik-baiknya apabila menggunakan Pancasila sebagai landasannya. Itu berarti bahwa
Pancasila merupakan pandangan atau Weltanschauung yang modern.

Tetapi seperti telah dikatakan, tidak ada bangsa di dunia yang dapat menghindari
pengaruh dan dampak peradaban Barat yang begitu dinamis dan agresif. Apabila kita yang
merupakan bekas jajahan salah satu bangsa Barat, tentu telah memperoleh dampak dan
pengaruh dari budaya Barat tersebut, baik yang positif maupun yang negatif. Oleh karena kita
hendak mengembangkan Pancasila sebagai dasar negara kita, maka kita harus pandai dan arif
dalam menghadapi pengaruh dan dampak peradaban itu.

Selain itu Republik Indonesia tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang penuh
dengan peradaban Barat atau pun pengaruhnya. Untuk dapat tumbuh dengan selamat dan
subur, maka Pancasila harus mempunyai kemampuan untuk hidup dalam lingkungan
demikian tanpa kehilangan dirinya di satu pihak, tetapi juga kuat menghadapi pihak lain.

Pancasila sebagai pandangan modern tentu juga merupakan pandangan yang terbuka.
Tetapi justru karena keterbukaannya itu akan dapat mengembangkan vitalitas dan energi yang
berhubungan dengan dunia luar, khususnya dunia Barat.

[7]
Tentu keterbukaan itu tidak berarti bahwa jiwanya sendiri dikesampingkan atau
dikorbankan.

Sebab justru keterbukaan yang bermaksud untuk memupuk vitalitas dan energi lebih besar
mempunyai tujuan untuk mengamankan jiwa sendiri. Dalam hubungan dengan peradaban
Barat itu dapat diambil

unsur-unsur mana yang dapat memperkuat kehidupan bangsa, dan sebaliknya


diperhatikan unsur-unsur mana yang dalam peradaban Barat harus ditinggalkan karena
merugikan kita sendiri.

Penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa Modernisasi yang dimaksud adalah


proses perombakan cara berfikir dan tata kerja lama yang tidak rasional, dan menggantinya
dengan pola berfikir dan tata kerja baru yang rasional. Kegunaanya ialah untuk memperoleh
daya guna dan efisiensi yang maksimal. Hal itu dilakukan dengan menggunakan penemuan
mutakhir manusia di bidang ilmu pengetahuan.

[8]
C . Perubahanperubahan besar dalam pola kehidupan islam
Perubahan masyarakat yang berlangsung dalam abad pertama Islam tiada tara
bandingannya dalam sejarah dunia Kesuksesan Nabi Besar Muhammad SAW. Dalam
merombak masyarakat jahiliyah Arab, membentuk dan membinanya menjadi suatu
masyarakat Islam, masyarakat persaudaraan, masyarakat demokratis, masyarakat dinamis dan
progresif, masyarakat terpelajar, masyarakat berdisiplin, masyarakat industri, masyarakat
sederhana, masyarakat sejahtera adalah tuntunan yang sangat sempurna dan wahyu ilahi.

Nabi Muhammad adalah Nabi yang paling sukses diantara para pemimpin agama,
mendapat pengakuan dunia. Ajaran Islam yang dibawanya berhasil dan kuasa membasmi
kejahatan yang sudah berurat berakar, penyembahan berhala, minuman keras, pembunuhan
dan saling bermusuhan sampai tidak berbekas sama sekali, dan Muhammad berhasil
membina di atasnya suatu bangsa yang berhasil menyalakan ilmu pengetahuan yang
terkemuka, bahkan menjadi sumber kebangunan Eropa.

Proses perubahan masyarakat yang digerakkan oleh Muhammad adalah proses


evolusi. Proses itu berlangsung dengan mekanisme interaksi dan komunikasi sosial, dengan
imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati. Strategi perubahan kebudayaan yang
dicanangkannya adalah strategi yang sesuai dengan fitrah, naluri, bakat, azas atau tabiat-
tabiat universal kemanusiaan. Stratagi dan dikumandangkannya strategi mencapai salam,
mewujudkan perdamaian, mewujudkan suatu kehidupan masyarakat yang sejahtera,
persaudaraan, dan ciri-ciri masyarakat Islam yang dibicarakan di atas tadi.

Walaupun demikian Muhammad harus mempersiapkan bala tentara untuk


mempertahankan diri dan untuk mengembangkan dakwahnya, adalah karena tantangan yang
diterima dari kaum Quraisy dan penantang-penantang jahiliyah lainnya untuk menghapuskan
eksistensi Muhammad dan pengikutnya. Justru karena tantangan itu, kaum muslimin
kemudian bertumbuh dengan cepat dan mengembangkan masyarakat dan kebudayaan dengan
sempurna. Dalam situasi yang demikian, kita perlu merenungkan mengapa Muhammad
SAW, junjungan kita, panutan kita, mampu membuat perubahan suatu masyarakat bodoh,
terkebelakang, kejam, menjadi suatu masyarakat sejahtera, terpelajar, dinamis dan progresif
dalam waktu yang begitu singkat.

[9]
Strategi kebudayaan yang dibandingkan Muhammad itu perlu kita kaji kembali
Metode perjuangannya perlu kita analisa. Semua itu harus mampu memberikan anda suatu
pisau analisa untuk kemudian menyusun suatu strategi kebudayaan untuk masa kini, untuk
membangun kembali umat Islam dari keadaannya yang sekarang ini. Suatu hipotesa patut
diketengahkan. Muhammad pada dasarnya membawa suatu sistem teologi yang sangat
berlainan dengan sistem teologi jahiliyah Arab.

Muara yang diharapkan dari proses dialektika nilai-nilai Islam


dengan modernitas adalah keberlakuan Islam di era modern. Ini terjadi jika
upaya tersebut berhasil dengan baik. Sebaliknya, ketidakberhasilan proses
tersebut dapat membuat agama kehilangan relevansinya di zaman modern.
Peristiwa penolakan terhadap geraja di awal zaman modern di Eropa dapat
terulang kembali dalam konteks yang berbeda dengan dunia Islam.

Islam memiliki potensi kuat untuk menjawab tantangan tersebut. Ernest Gellner,
seperti yang dikutip Majid, menyatakan bahwa di antara tiga agama monoteis; Yahudi,
Kristen dan Islam, hanya Islamlah yang paling dekat dengan modernitas. Ini karena ajaran
Islam tentang universalisme, skripturalisme (ajaran bahwa kitab suci dapat dibaca dan
dipahami oleh siapa saja, tidak ada kelas tertentu yang memonopoli pemahaman kitab suci
dalam hierarki keagamaan), ajaran tentang partisipasi masyarakat secara luas (Islam
mendukung participatory democracy), egalitarianisme spiritual (tidak ada sistem kerahiban-
kependetaan), dan mengajarkan sistematisasi rasional kehidupan social

Yusuf Qardhawi menilai kemampuan Islam berdialog secara harmoni dengan


perubahan terdapat dalam jati diri Islam itu sendiri. Potensi tersebut terlihat dari karakteristik
Islam sebagai agama Rabbaniyah (bersumber dari Tuhan dan terjaga otentitasnya), Insaniyah
(sesuai dengan fitrah dan demi kepentingan manusia), Wasthiyyah (moderat-mengambil jalan
tengah), Waqiiyah (kontekstual), jelas dan harmoni antara perubahan dan ketetapan.

[10]
D . Bentuk-bentuk perkembangan yang dihadapi umat islam
Meski Islam potensial menghadapi perubahan, tetapi aktualitas potensi tersebut
membutuhkan peran pemeluknya. Ketidakmampuan pemeluk Islam dapat berimbas pada
tidak berkembangnya potensi yang ada. Ungkapan yang sering dipakai para pembaru Islam
untuk menggambarkan hal ini adalah Islam mahjub bi al-muslimin.

Dalam mengaktualisasikan potensi tersebut, pemeluk Islam difasilitasi dengan intitusi


tajdid (pembaruan, modernisasi). Ada dua model tajdid yang dilakukan kaum muslim yakni
seruan kembali kepada fundamen agama (al-Quran dan hadits), dan menggalakkan aktivitas
ijtihad. Dua model ini merupakan respons terhadap kondisi internal umat Islam dan tantangan
perubahan zaman akibat modernitas.

Model pertama disebut purifikasi, upaya pemurnian akidah dan ajaran Islam dari
percampuran tradisi-tradisi yang tidak sesuai dengan Islam. Sedang model kedua disebut
dengan pembaruan Islam atau modernisme Islam.(Jainuri, 2002, hal. 38)

Tajdid memiliki peranan yang signifikan. Ketiadaan rasul pasca Muhammad SAW.
bukan berarti tiadanya pihak-pihak yang akan menjaga otentitas dan melestarikan risalah
Islam. Jika sebelum Muhammad SAW. peranan menjaga dan melestarikan risalah kerasulan
selalu dilaksanakan oleh nabi atau rasul baru, pasca Muhammad SAW. peran tersebut diambil
alih oleh umat Islam sendiri. Rasul Muhammad SAW. pernah menyatakan bahwa ulama`
merupakan pewarisnya dan di lain kesempatan ia menyatakan akan hadirnya mujaddid di
setiap seratus tahun.

Dalam proses tersebut, setiap ajaran Islam mengalami pembaruan yang berbeda-beda,
bahkan ada yang tidak boleh disentuh sama sekali. Aqidah dan ibadah merupakan domain
yang sangat tabu tersentuh proses perubahan. Yang bisa dilakukan dalam kedua wilayah
tersebut adalah pembersihan dari aspek-
aspek luar yang tidak berasal dari doktrin Islam. Di sini berlaku
kaidah semua dilarang kecuali yang diperintah.

[11]
Berbeda dengan itu, aspek muamalah (interaksi sosial) merupakan wilayah gerak
tajdid dengan sedikit tabu di dalamnya. Pada aspek ini nilai- nilai Islam mewujudkan dirinya
berupa paradigma (cara pandang) kehidupan. Ajaran Islam menyediakan pedoman-pedoman

dasar yang harus diterjemahkan pemeluknya sesuai dengan konteks ruang waktu
yang melingkupinya. Pada wilayah ini yang berlaku adalah kaidah semua dibolehkan
kecuali yang dilarang.

Menurut Kuntowijoyo (2007, hal. 170) penerjemahan nilai-nilai tersebut bisa


dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Yang pertama berangkat dari nilai ajaran
langsung ke wilayah praktis. Ilmu Fiqh merupakan salah satu perwujudan yang pertama.

Sementara yang kedua berangkat dari nilai ke wilayah praktis dengan melalui proses
filsafat sosial dan teori sosial terlebih dahulu (nilai-filsafat sosial-teori sosial). Sebagai contoh
adalah ayat yang menjelaskan Allah tidak akan merubah suatu kaum jika mereka tidak
merubah dirinya sendiri. Nilai perubahan ini harus diterjemahkan menjadi filsafat perubahan
sosial, kemudian menjadi teori perubahan dan baru melangkah di wilayah perubahan social.

Keberadaan tajdid menjadi bukti penting penghargaan Islam terhadaap kemampuan


manusia. Batas-batas yang ada dalam proses tajdid bukan merupakan pengekangan terhadap
kemampuan manusia, tetapi sebagai media mempertahankan otentisitas risalah kenabian.
Ketika agama hanya menghadirkan aspek-aspek yang tetap, abadi, tidak bisa berubah maka
yang terjadi adalah ketidakmampuan agama mempertahankan diri menghadapi zaman.
Akibatnya, agama akan kehilangan relevansinya. Ini seperti yang terjadi pada gereja di abad
pertengahan.

Sebaliknya, jika aspek-aspek yang tetap, abadi dan tidak berubah tersebut tidak ada
dalam agama, maka agama akan kehilangan otentitasnya sebagai pedoman hidup manusia. Di
sinilah, kekhasan Islam seperti yang disebut oleh Qardhawi di atas bahwa Islam berdiri di
tengah-tengah. Islam mengandung ketetapan-ketetapan di satu sisi, dan keluwesan-keluwesan
di sisi lainnya. Dengan sikap terebut, Islam bisa tetap eksis di tengah perubahan zaman tanpa
kehilangan otentitasnya sebagai agama ilahiah.

[12]
Gagasan pembaharuan Islam dapat dilacak di era pra-modern pada pemikiran Ibn
Taymiyah (abad 7-8 H/13-14 M). Taymiyah banyak mengkritik praktek-praktek Islam
populer yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dan menyerukan kembali kepada syariat.
Gerakan lain dilakukan oleh Muhammad Abdul Wahab di Arabia pada abad ke 18 M yang
menolak dengan keras tradisi yang tidak Islami.

Jika pembaharuan pra-modern dilakukan sebagai otokritik praktek keagamaan populer


masyarakat muslim, pembaruan era modern merupakan respons umat Islam terhadap
tantangan yang ditawarkan oleh modernitas Barat. Di era ini tercatat beberapa tokoh yang
cukup populer seperti al-Afghani, Abduh, Rasyid Ridha, Sayyid Sabiq, Muhammad Iqbal,
dll.

Proses pembaharuan era modern mengalami dinamika yang cukup kompleks.


Keinginan harmonisasi Islam dengan modernitas melahirkan banyak pemikir dengan
karakteristik yang berbeda-beda. Sebagian pemikir tampak wajah puritanismenya, dan
sebagian yang lain condong pada modernitas, bahkan, terjebak pada pengagungan nilai-nilai
modern (seperti sekularisme).

[13]
E . Fungsi Agama Terhadap Perkembangan Dan Perubahan Budaya
Dalam konteks sosial, hubungan fungsional antara agama dan masyarakat sejauh
menekankan aspek-aspek yang rasional dan humanis, atau sosial karitatif dalam masyarakat,
dapat disebut sebagai suatu historical force yang turut menentukan perubahan dan
perkembangan masyarakat. Dalam hubungan ini, dapat dikatakan bahwa agama mampu
menjadi katalisator pencegah terjadinya disintegrasi dalam masyarakat.

Lebih dari itu, dengan kekuatan yang dimilikinya, agama dapat diharapkan
membangun spiritualitas yang memberi kekuatan dan pengarahan dalam memecahkan segala
problem sosial, mengatasi rasa frustrasi sosial, penindasan dan kemiskinan.

Sosiolog Peter L Berger yang dikutip dari Sutarto (2006, hal 67) mengemukakan hal
yang sama, bahwa agama merupakan sistem simbolik yang memberikan makna dalam
kehidupan manusia yang bisa memberikan penjelasan secara meyakinkan, serta paling
komprehensif tentang realitas, tragedi sosial dan penderitaan atau rasa ketidakadilan.

Memahami agama sebagai gejala kebudayaan tentu bersifat kontekstual, yakni


memahami fenomena keagamaan sebagai bagian dari kehidupan sosial kultural. Dalam hal ini
agama dikembalikan kepada konteks manusia yang menghayati dan meyakininya, baik
manusia sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Dalam setiap agama, tentu
diajarkan nilai-nilai yang melahirkan norma atau aturan tingkah laku para pemeluknya,
walaupun pada dasarnya sumber agama itu adalah nilai-nilai transenden.

Keyakinan religius demikian, yang oleh Berger dikatakan dapat membentuk


masyarakat kognitif, memberi kemungkinan bagi agama untuk berfungsi menjadi pedoman
dan petunjuk bagi pola tingkah laku dan corak sosial. Di sinilah agama dapat dijadikan
sebagai instrumen integratif bagi masyarakat. Karena agama tidak berupa sistem kepercayaan
belaka, melainkan juga mewujud sebagai perilaku individu dalam sistem sosial.

Intelektual seperti Soedjatmoko (1984) juga mengakui agama menjadi penggerak dan
pemersatu masyarakat secara efektif. Karena, agama lebih dari ideologi sekuler mana pun,
merupakan sistem integrasi yang menyeluruh.

[14]
Agama mengandung otoritas dan kemampuan pengaruh untuk mengatur kembali
nilai-nilai dan sasaran-sasaran yang ingin dicapai masyarakat. Dengan demikian, fungsi sosial
agama adalah memberi kontribusi untuk mewujudkan dan mengekalkan suatu orde sosial
(tatanan kemasyarakatan). Secara sosiologis memang tampak ada korelasi positif antara
agama dan integrasi masyarakat; agama merupakan elemen perekat dalam realitas masyarakat
yang pluralistik.

[15]
F . Upaya Umat Islam Dalam Menyikapi Semua Perkembangan

Serbuan kaum salib ke negeri-negeri Islam tidak hanya menggunakan pedang, besi dan
api, tetapi juga melalui peradaban mereka yang dicekokkan ke semua negeri yang dapat
dikuasainya. Bukan hanya peradaban material yang menyerbu negara-negara Islam, bahkan
mental dan nilai-nilai moralpun tidak ketinggalan, seperti sistem pendidikan dan pengajaran,
dan pemikiran-pemikiran orang Eropa mengenai ilmu jiwa, ilmu sosial, modal dan lain-lain.
Perang Salib menghasilkan puing-puing kehancuran bagi kaum muslimin akibat kemauan
penjajah yang dikendalikan oleh keserakahan untuk menguasai dan memperkuat wilayahnya
mereka memikul salib di pundak mereka, tetapi setan berada di hati mereka.

Dahulu kaum muslimin menghayati peradaban ditambah dengan peradaban Persia, Turki
dan lain-lain disamping pemikiran filsafat yang diserap dari Yunani dan Romawi. Dengan
datangnya peradaban Barat, maka peradaban lama yang telah mereka hayati selama berabad-
abad mengalami keguncangan hebat dalam pikiran mereka.

Inti peradaban Barat bercorak Nasrani, karena itu orang-orang Qibth di Mesir lebih
mudah meniru dan menyerapnya. Namun mereka lebih banyak menyerap segi material
daripada segi moralnya, sehingga setiap rumah dari keluarga kaum muslimin telah
menggunakan penerangan listrik, menggunakan sajadah buatan Eropa, mendengarkan siara
radio Eropa dan lain sebagainya.

Pada saat Barat mendominasi dunia di bidang politik dan peradaban, persentuhan dengan
Barat menyadarkan tokoh-tokoh Islam akan ketinggalan mereka. Karena itu mereka berusaha
bangkit dengan mencontoh Barat dalam masalah-masalah politik dan peradaban untuk
menciptakan balance of power. Yang pertama merasakan hal itu diantaranya Turki Usmani,
karena kerajaan ini yang pertama dan utama menghadapi kekuatan Eropa. Kesadaran itu
memaksa penguasa dan pejuang-pejuang Turki untuk banyak belajar dari Eropa.

[16]
Penjajahan Barat juga memicu gerakan pembaharuan dalam Islam, yang didorong oleh 2
faktor yaitu pemurnian ajaran Islam dari unsur-unsur asing yang dipandang sebagai penyebab
kemunduran Islam dan menimba gagasan-gagasan pembaharuan dan ilmu pengetahuan dari
Barat, sedangkan yang kedua, tercermin dari pengiriman para pelajar muslim oleh penguasa
Turki Usmani dan Mesir ke negara-negara Eropa untuk menimba ilmu pengetahuan dan
dilanjutkan dengan gerakan penerjemahan karya-karya Barat ke dalam bahasa Islam. Pelajar-
pelajar muslim asal India juga banyak menuntut ilmu ke Inggris.

Pengaruh Barat terutama terlihat pada lapisan atas dan menengah, terutama pada
intelegensia orang yang memperoleh pendidikan Barat, yang dijumpai pada tiap negeri
Timur. Dalam reaksinya terhadap pengaruh Barat mereka mempunyai pandangan yang
berbeda-beda.

Pandangan pertama berpegang pada sendi-sendi filsafat hidup nenek moyangnya,


berusaha melakukan asimilasi dengan ide-ide Barat dan memikirkan sintesa yang lebih tinggi
dari semangat Barat. Kedua, memutuskan hubungan dengan warisan lama, menerjunkan
dirinya dalam pembaratan. Yang ketiga bersembunyi di belakang kekecewaan dan kengerian
Barat

Memang benar bahwa peradaban Barat memainkan peranan besar dalam memajukan
dunia Islam. Tanpa peradaban Barat dunia Islam tentu masih seperti keadaan semula, tetapi
itu tidak berarti bahwa peradaban Barat tidak mengandung cacat dan kekurangan. Peradaban
Barat telah menjauhkan dunia Islam dari peradaban Islam yang lama. Akhirnya peradaban
Islam bukan lagi suatu produk dari kaum muslimin mandiri sebagaimana peradaban Barat
adalah produk dari orang-orang Barat sendiri.

Secara historis Islam sebenarnya tidak memiliki masalah dengan modernitas. Dalam soal
ilmu pengetahuan, banyak sekali Hadist Nabi yang secara langsung menganjurkan umat
Islam untuk menuntut ilmu. Al-Quran juga selalu menyerukan manusia untuk berpikir,
menalar dan sebagainya. Dalam hal filsafat, misalnya, meski tafsiran para filsuf atas beberapa
noktah ajaran agama tidak bisa diterima kalangan ulama ortodoks, namun para filsuf Muslim
itu berfilsafat tentu karena dorongan keagamaan, untuk membela dan melindungi keimanan
agama.

[17]
Dengan demikian, kaum Muslim klasik telah dengan bebas menggunakan bahan-bahan
yang datang dari dunia Hellenis tanpa mengalami Hellenisasi, kaum Muslim saat sekarang
juga sebenarnya dapat menggunakan bahan-bahan modern yang datang dari Barat tanpa
mengalami pembaratan (Westernisasi).

Keadaan yang penuh dengan sikap bebas dan terbuka itu jelas memerlukan kepercayaan
diri yang tinggi, sehingga ada dukungan psikologis untuk bertindak proaktif dan reaktif.
Kepercayaan diri yang diperlukan akan segera terwujud, mengingat realitas kekinian
menunjukkan semakin banyaknya kaum Muslim yang memasuki kehidupan modern tanpa
kehilangan loyalitas pada agama mereka. Oleh karena itu, kemodernan adalah suatu
keniscayaan bagi umat Islam, meski sekarang ini kadang terjadi benturan antara Islam dan
modernitas yang sering menghasilkan sikap-sikap reaksioner dalam bentuk anti-modernitas
dan sikap-sikap penegasan diri (self-assertion) secara berlebihan.

Luka lama dunia Muslim akibat penjajahan itu akan hilang, lenyap ditelan sang waktu.
Keyakinan itu didasarkan pada anggapan bahwa kemodernan adalah kelanjutan wajar dan
logis dalam perkembangan kehidupan manusia sehingga kemodernan sendiri adalah sesuatu
yang tak bisa dihindari

[18]
BAB III
PENUTUP
A . KESIMPULAN
Modernitas yang melanda dunia Islam, dengan segala efek positif- negatifnya, menjadi
tantangan yang harus dihadapi umat Islam di tengah kondisi keterpurukannya. Umat Islam
dituntut bekerja ekstra keras mengembangkan seagala potensinya untuk menyelesaikan
permasalahannya. Tajdid sebagai upaya menjaga dan melsetarikan ajaran Islam menjadi
pilihan yang harus dimanfaatkan secara maksimal oleh umat Islam. Upaya tajdid harus terus
dilakukan, tidak boleh berhenti meski memerlukan cost yang besar.
Sejalan dengan perkembangan budaya dan pola berpikir masyarakat yang materialistis
dan sekularis, maka nilai yang bersumberkan agama belum diupayakan secara optimal.
Agama dipandang sebagai salah satu aspek kehidupan yang hanya berkaitan dengan aspek
pribadi dan dalam bentuk ritual, karena itu nilai agama hanya menjadi salah satu bagian dari
sistem nilai budaya; tidak mendasari nilai budaya secara keseluruhan. Fungsi sosial agama
adalah memberi kontribusi untuk mewujudkan dan mengekalkan suatu orde sosial (tatanan
kemasyarakatan). Secara sosiologis memang tampak ada korelasi positif antara agama dan
integrasi masyarakat; agama merupakan elemen perekat dalam realitas masyarakat yang
pluralistik.

Sebenarnya modernisasi bukanlah sesuatu hal yang substansial untuk ditentang kalau
masih mengacu pada ajaran Islam. Sebab Islam adalah agama universal yang tidak akan
membelenggu manusia untuk bersikap maju, akan tetapi harus berpedoman kepada Islam.
Dalam Islam yang tidak dibenarkan adalah Westernisasi, yaitu total way of life di mana
faktor yang paling menonjol adalah sekularisme, sebab sekulraisme selalu berkaitan dengan
ateisme dan sekularisme itulah sumber segala imoralitas.

Secara historis Islam sebenarnya tidak memiliki masalah dengan modernitas. Dalam
soal ilmu pengetahuan, banyak sekali Hadist Nabi yang secara langsung menganjurkan umat
Islam untuk menuntut ilmu. Al-Quran juga selalu menyerukan manusia untuk berpikir,
menalar dan sebagainya. Dalam hal filsafat, misalnya, meski tafsiran para filsuf atas beberapa
noktah ajaran agama tidak bisa diterima kalangan ulama ortodoks

[19]
Namun para filsuf Muslim itu berfilsafat tentu karena dorongan keagamaan, untuk
membela dan melindungi keimanan agama. Dengan demikian, kaum Muslim klasik telah
dengan bebas menggunakan bahan-bahan yang datang dari dunia Hellenis tanpa mengalami
Hellenisasi, kaum Muslim saat sekarang juga sebenarnya dapat menggunakan bahan-bahan
modern yang datang dari Barat tanpa mengalami pembaratan (Westernisasi).

Inti dari modernisasi yang kemudian menjadi esensial dan sejalan dengan ajaran agama
Islam adalah rasionalisasi yakni usaha untuk menundukkan segala tingkah laku kepada
kalkulasi dan pertimbangan akal. Rasionalisasi pada selanjutnya akan mendorong ummat
Islam untuk bisa bersikap kritis dan meninggalkan taqlid yang dikecam dalam Islam. Dengan
demikian, pada dasarnya modernisasi bukanlah sebuah esensi yang bertentangan dengan
ajaran dasar agama Islam.

[20]
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jamri, Mansoor, Islamisme, Pluralisme dan Civil Society, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007.

Hassan Hanafi, Oksidentalisme, Sikap Kita Terhadap Barat, Jakarta: Paramadina, 2000.

Al-Jamri, Mansoor, Islamisme, Pluralisme dan Civil Society, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007.
Hassan Hanafi, Oksidentalisme, Sikap Kita Terhadap Barat, Jakarta: Paramadina, 2000.
http://Dunia.Pelajar-Islam.Or.Id/Dunia.Pii/Arsip/Islam-Dan-Tantangan-Modernitas.Html. hal 1
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/Modernitas1
http://id.shvoong.com/social-sciences/1997478-pengertiamodernisasi/#ixzz289h7cVMc
Jainuri, Ahmad, Ideologi Kaum Reformis: Melacak Pandangan Keagamaan Muhammadiyah
Periode Awal, Surabaya: LPAM, 2002.
Madjid, Nurcholish, Agama dan Modernisasi: Pelajaran dari Jepang dan Turki, sebuah kata
pengantar dalam Donald Smith, 1985, Agama Di Tengah Sekularisasi Politik (terjemahan
Azyumardi Azra dan Hari Zamhari), Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985.
, Islam Kemodernan dan keIndonesiaan, (Bandung: Penerbit Mizan , 1998)
Montgomery Watt, William, Fundamentalisme Islam dan Modernitas, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1997.
Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1992.
Supriyadi Eko, Sosialisme Islam, Penerbit Pustaka Pelajar, 2003
Sutarto Ayu, Menguak pergumulan antara Seni, Politik, Islam, dan Indonesia, Kelompok Peduli
Budaya dan Wisata Daerah Jawa Timur (Kompyawisda), 2006.
Syafaq, Hammis, dkk, Pengantar Studi Islam, Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011.
Jainuri, Ahmad, Ideologi Kaum Reformis: Melacak Pandangan Keagamaan Muhammadiyah
Periode Awal, Surabaya: LPAM, 2002.

Madjid, Nurcholish, Agama dan Modernisasi: Pelajaran dari Jepang dan Turki, sebuah kata
pengantar dalam Donald Smith, 1985, Agama Di Tengah Sekularisasi Politik (terjemahan
Azyumardi Azra dan Hari Zamhari), Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985.

, Islam Kemodernan dan keIndonesiaan, (Bandung: Penerbit Mizan , 1998)

Montgomery Watt, William, Fundamentalisme Islam dan Modernitas, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1997.

Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1992.
Supriyadi Eko, Sosialisme Islam, Penerbit Pustaka Pelajar, 2003

Sutarto Ayu, Menguak pergumulan antara Seni, Politik, Islam, dan Indonesia, Kelompok Peduli
Budaya dan Wisata Daerah Jawa Timur (Kompyawisda), 2006.

Syafaq, Hammis, dkk, Pengantar Studi Islam, Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011.

Anda mungkin juga menyukai