Anda di halaman 1dari 31

4

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Keong Mas (Pomacea canaliculata Lamarck)


Keong mas atau golden apple snail (GAS) merupakan salah satu jenis
moluska air tawar yang berasal dari dataran hujan di sepanjang Sungai Paraguay
dan Parana yang memotong Paraguay, Brazil, Bolivia dan Argentina. Di Asia,
keong mas pertama kali dikenal di Taiwan pada tahun 1979 dan saat ini
telah tersebar luas di seluruh penjuru benua Asia. Seiring dengan proses
penyebarannya, keong mas kini telah menjadi salah satu hama padi yang paling
berbahaya di negara-negara penghasil beras di Asia, seperti Filipina, Vietnam,
Thailand dan Indonesia (Joshi 2005).
Klasifikasi keong mas (Pomacea canaliculata) menurut Lamarck (1822)
adalah sebagai berikut (Pennak 1989; Cazzaniga 2002):
Filum : Molusca
Kelas : Gastropoda
Subkelas : Prosobranchiata
Ordo : Mesogastropoda
Famili : Ampullariidae
Genus : Pomacea
Spesies : Pomacea canaliculata
Bentuk morfologi keong mas dapat di lihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Keong mas (Pomacea canaliculata Lamarck)

Keong mas hidup di kolam, sawah beririgasi dan kanal. Keong mas
membenamkan diri pada tanah lembab selama musim kering. Keong mas dapat
bertahan hidup hingga 6 bulan dengan melakukan estivasi dengan cara menutup
5

operkulum dan membenamkan diri dalam tanah. Keong mas menjadi aktif
kembali ketika tanah tempat hidupnya tergenang air. Keong mas dapat bertahan
hidup pada kondisi lingkungan yang keras, seperti pada perairan tercemar atau
perairan yang memiliki kandungan oksigen terlarut yang rendah. Hal ini
dikarenakan keong mas memiliki insang (ctenidium) dan organ menyerupai paru-
paru, sehingga memungkinkan keong mas dapat bertahan hidup di dalam dan di
luar air. Keong mas akan melakukan migrasi jika tinggi permukaan air hanya
setengah dari tinggi cangkangnya (DA-PhilRice 2001; Joshi 2005).
Keong mas memiliki karakteristik khusus yang dapat digunakan untuk
membedakan antara keong mas dengan keong-keong jenis lain yang hidup pada
habitat yang sama. Keong mas dewasa memiliki cangkang berwarna coklat dan
daging berwarna putih krem hingga emas kemerah-merahan atau oranye. Ukuran
tubuhnya sangat beragam dan bergantung pada ketersediaan makanan. Ukuran
diameter cangkang keong mas dapat mencapai 4 cm dengan berat 10-20 gram
(Ardhi 2008). Tahap keong mas memiliki sifat destruktif adalah ketika ukuran
cangkangnya sebesar 10 mm (sebesar biji jagung) hingga 40 mm (sebesar bola
ping pong) (DA-PhilRice 2001). Keong mas memiliki umbilicus terbuka.
Operkulum yang menutupi lubang aperture terbuat dari kitin dan merupakan
operkulum tipe konsentris (Pennak 1989).
Keong mas jantan dan betina memiliki beberapa perbedaan fisik yang
dapat dilihat langsung oleh mata biasa. Perbedaan tersebut terletak pada bentuk
operkulum dan lengkungan cangkang. Keong mas betina memiliki operkulum
berbentuk cekung (a1), sedangkan operkulum berbentuk cembung (a2) dimiliki
oleh keong mas jantan. Cangkang keong mas betina dewasa melengkung ke arah
dalam (b1), sedangkan cangkang keong mas jantan dewasa melengkung ke arah
luar (b2) (DA-PhilRice 2001). Pada sebuah sawah, jumlah keong mas betina
diduga memiliki jumlah dua kali lebih banyak. Hal ini mengindikasikan bahwa
keong mas jantan tidak memiliki daya tahan hidup selama daya tahan hidup keong
mas betina (Joshi 2005). Perbedaan antara keong mas jantan dan betina dapat
dilihat pada Gambar 2.
6

Gambar 2. Perbedaan keong mas jantan dan betina


(Sumber: DA-PhilRice 2001)

Keong mas merupakan hewan herbivora yang sangat rakus dan bersifat
nocturnal. Keong mas dapat menghancurkan semaian padi yang baru ditanam
selama masih terdapat air dalam sawah tersebut. Keong mas memotong pangkal
semaian padi muda dengan menggunakan gigi radula dan mengunyah pelepah
daun padi yang lunak (Joshi 2005). Istilah hewan herbivora tidaklah cocok bila
disematkan pada keong mas karena hewan ini juga memakan keong-keong jenis
lain, seperti Biomphalaria glabrata (Paulinyi dan Paulini 1972) dan Bulinus sp.
yang merupakan inang perantara parasit trematoda yang menyebabkan penyakit
gatal dan schistosomiasis (Sulistiono 2007), serta memiliki sifat kanibalisme,
sehingga keong mas lebih cocok dikategorikan sebagai hewan omnivora.
Keong mas biasanya bertelur pada malam hari dan menempelkan telur-
telurnya pada beberapa tanaman, daun-daunan dan benda-benda keras seperti
batu, pancang dan ranting yang tidak terendam air. Telur-telurnya berwarna
merah cemerlang, kemudian berubah menjadi merah muda cerah ketika akan
menetas. Telur-telur ini akan menetas setelah 7-14 hari (DA-PhilRice 2001).
Seekor keong mas betina dewasa mampu menghasilkan telur 50-500 butir dalam
satu kali bertelur atau 1000-1200 butir dalam sebulan. Telur-telur tersebut
mempunyai tingkat kemampuan menetas (hatching rate) hingga 80%
(DA-PhilRice 2003; Joshi 2005). Siklus hidup keong mas dapat dilihat pada
Gambar 3.
7

Gambar 3. Siklus hidup keong mas


(Sumber: DA-PhilRice 2001)

Kemampuan telur-telur keong mas untuk menetas sangat dipengaruhi oleh


kelembaban udara, tingkat oksigen di udara, keberadaan predator terestrial dan
kanibalisme keong mas dewasa. Jika telur-telur tersebut terendam air, maka
keberhasilan telur-telur tersebut untuk menetas akan berkurang. Telur-telur
tersebut dapat bertahan jika lama waktu telur-telur tersebut tercelup air cukup
pendek. Akan tetapi, jika waktu tercelupnya cukup lama dan terjadi berulang kali,
maka tingkat toleransi telur-telur tersebut akan menurun. Air diduga dapat
mengurangi ketersediaan oksigen di sekitar telur sehingga berpengaruh pada
pertumbuhan embrio (Horn et al. 2008).
Kanibalisme terjadi ketika telur-telur tersebut dimakan oleh keong-keong
dewasa. Kanibalisme ini tidak terbatas pada tindakan memakan telur-telur saja,
tetapi keong-keong dewasa tersebut juga memakan juvenil-juvenil keong mas
yang baru menetas. Kanibalisme ini terjadi karena keong-keong dewasa
membutuhkan nutrisi lebih saat terjadi defisiensi nutrisi di habitatnya. Defisiensi
nutrisi yang terjadi diduga terkait dengan defisiensi protein ataupun kalsium.
Kalsium sangat dibutuhkan oleh keong-keong untuk pembentukan dan
perkembangan ukuran cangkang (Horn et al. 2008).
Keong mas di sawah memberikan risiko bahaya pada kesehatan petani,
karena keong mas merupakan inang parasit cacing nematoda Angiostrongylus
cantonensis (Parastrongylus cantonensis) atau rat lung worm yang dapat
menyebabkan eosinophilic meningoencephalitis atau meningitis pada
manusia. Selain itu, keong mas juga merupakan inang cacing Catadiscus
8

pomaceae (Joshi 2005). Catadiscus pomaceae merupakan trematoda yang hidup


pada saluran pencernaan Pomacea canaliculata. Genus Catadiscus ini biasanya
ditemui pada hewan amfibi dan reptil, serta parasit pada moluska. Jika dilihat dari
siklus hidup cacing ini, keong mas menjadi terinfeksi oleh encysted metacercariac
yang terdapat pada tanaman atau substrat lain, ketika keong tersebut sedang
makan (Hamann 1992). Keong mas harus dimasak sampai matang terlebih dahulu
sebelum dikonsumsi untuk mematikan cacing-cacing parasit tersebut (Joshi 2005).

2.2 Pengendalian dan Pemanfaatan Keong Mas


Pemanfaatan keong mas, baik dibidang penyediaan pangan maupun pakan,
merupakan salah satu bentuk usaha pengendalian keong mas yang merupakan
hama berbahaya bagi sektor pertanian, khususnya pertanian padi. Penggunaan
moluskosida dalam mengendalikan keong mas, justru malah membunuh
organisme non-target, seperti ikan ataupun organisme bermanfaat lainnya
yang hidup pada habitat yang sama dengan keong mas (Joshi 2005).
Nurjanah et al. (1996) menambahkan bahwa keong mas memiliki resistensi tinggi
terhadap pestisida ataupun moluskosida dalam dosis tinggi sekali pun. Fakta
tersebut menunjukkan bahwa usaha pengendalian populasi keong mas yang tidak
melibatkan senyawa kimia, seperti pestisida dan moluskosida mutlak diperlukan.
Beberapa bentuk pengendalian keong mas tanpa menggunakan bahan
kimia, diantaranya pemanfaatan predator atau musuh alami dari keong mas, yaitu
semut merah yang memakan telur-telur keong mas, tikus yang memakan daging
keong, ikan mas hias atau koi, serta itik-itik karnivora yang memakan daging serta
keong-keong muda (DA-PhilRice 2001; Ako dan Tamaru 2006). Hasil penelitian
Aditya dan Raut (2005) menunjukkan bahwa lintah jenis Glossiphonia weberi
juga merupakan predator potensial keong mas di India. Lintah-lintah ini mampu
membunuh maksimum 3 ekor keong per hari.
Pemanfaatan tanaman beracun juga diterapkan untuk mengendalikan
populasi keong mas, seperti gugo (Entada phaseikaudes K Meer), sambong
(Blumea balsamifera), gabihan (Monochoria vaginalis), tembakau (Nicotina
tabacum L), calamansi (Citrus microcarpa Bunge), makabuhay (Tinospora
rumphii Boerl) dan buah paprika merah. Bagian tanaman ini, seperti daun dan
buah, diletakkan pada kanal yang dibuat untuk menjebak keong mas agar
9

terperangkap dalam kanal tersebut dan memakan tanaman beracun itu


(DA-PhilRice 2001).
Pengumpulan keong-keong di areal persawahan juga termasuk salah satu
usaha pengendalian hama keong mas ini. Keong-keong yang terkumpul biasanya
diolah menjadi bahan pangan ataupun pakan bagi ternak. Pengolahannya sebagai
bahan pangan telah banyak dilakukan, seperti fortifikasi daging keong mas dalam
pembuatan kerupuk keong mas (Nurjanah et al. 1996), fortifikasi daging keong
mas dalam pembuatan cracker chicharon (DA-PhilRice 2001; Joshi 2005);
pembuatan kecap, sate keong, pepes keong, sambel keong, dendeng dan menu
keong lainnya (Sulistiono 2007). Keong mas juga digunakan sebagai obat
penyakit kulit, penyakit kuning, penyakit liver dan ayan (Nurjanah et al. 1996;
Sulistiono 2007). Daging keong mas sebanyak 100 gram mengandung energi
sebesar 83 kalori, fosfor 61 mg, sodium 40 mg, potasium 17 mg, riboflavin 12
mg, niacin 1,8 mg, vitamin C, zinc, tembaga, mangan dan iodium
(DA-PhilRice 2001). Komposisi kimia keong mas dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi kimia keong mas


Daging Lumat
Komposisi Kimia Daging Segar2) Daging Segar3)
Segar1)
Kadar air (%) 84,70 82,37 77,60
Kadar protein (%) 9,33 8,69 12,20
Kadar lemak (%) 0,91 0,78 0,40
Kadar abu (%) 1,43 1,47 3,20
Kadar serat kasar (%) 3,10 6,68 -
Karbohidrat (%) 0,10 - 6,60
Sumber: 1) Nurjanah et al. (1996)
2) Kamil et al. (1998)
3) DA-PhilRice (2001)

Pemanfaatan keong mas sebagai pakan ternak juga telah banyak


dikembangkan. Dalam bentuk segar, keong mas digunakan sebagai pakan sumber
protein untuk ternak itik, ayam broiler, burung puyuh, budidaya ikan patin, ikan
gabus, ikan sidat, udang, kepiting dan lobster air tawar. Pemberian pakan berbasis
protein keong mas pada ternak burung puyuh (Coturnix coturnix) dan budidaya
ikan gabus (Chana striata) serta ikan sidat (Anguilla sp.), memberikan
pertumbuhan yang baik pada hewan-hewan budidaya tersebut (Sulistiono 2007).
10

Daging keong mas yang akan digunakan untuk fortifikasi tepung ikan
(pakan), harus diolah terlebih dahulu menjadi tepung keong mas atau tepung siput
murbei. Hasil penelitian Kamil et al. (1998) menunjukkan bahwa tepung keong
mas memiliki kadar air 8,03-8,73%, kadar protein 65,50-70,67%, kadar lemak
1,27-1,43%, kadar abu 9,13-10,47%, kadar serat kasar 8,19-9,59%, dan kadar
garam 0,56-1,69%. Kadar asam amino esensial tepung keong mas yang paling
tinggi adalah leusin (44,8 mg/g protein) dan terendah adalah metionin
(10,54 mg/g protein). Jenis asam amino esensial yang paling defisien adalah
triptofan, sedangkan lisin yang biasanya menjadi asam amino pembatas, ternyata
pada tepung keong mas ini memiliki skor kimia yang cukup (41,29 mg/g protein)
dan tidak menjadi asam amino pembatas, sehingga dapat digunakan sebagai
suplemen pakan yang kurang lisin. Komposisi asam amino esensial pada tepung
keong mas dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi asam amino tepung keong mas


Kandungan
Jenis Asam Amino
% mg/g protein
Arginin 4,3962 43,962
Histidin 1,3822 13,822
Isoleusin 2,3479 23,479
Leusin 4,4812 44,812
Lisin 4,1290 41,290
Metionin 1,0540 10,540
Fenilalanin 2,0372 20,372
Tirosin 1,9742 19,742
Treonin 2,4245 24,245
Valin 2,6055 26,055
Sumber: Kamil et al. (1998)

2.3 Antioksidan
Antioksidan adalah komponen yang dapat menunda atau mencegah
oksidasi lipid, asam nukleat, atau molekul-molekul lain, dengan cara menghambat
inisiasi atau propagasi reaksi oksidasi berantai (Wang 2006). Rohman dan
Riyanto (2005) mendefinisikan antioksidan sebagai senyawa yang dapat
menghambat reaksi radikal bebas dalam tubuh yang dapat menyebabkan penyakit
karsinogenesis, kardiovaskuler dan penuaan. Tubuh tidak memiliki sistem
pertahanan antioksidan yang berlebihan, sehingga apabila terjadi paparan radikal
11

berlebih, maka tubuh membutuhkan antioksidan eksogen (berasal dari luar tubuh)
(Waji dan Sugrani 2009).
2.3.1 Fungsi antioksidan
Antioksidan digunakan untuk melindungi komponen-komponen makanan
yang bersifat tidak jenuh (mempunyai ikatan rangkap), terutama lemak dan
minyak. Antioksidan dapat pula digunakan untuk melindungi komponen-
komponen lain seperti vitamin dan pigmen, yang juga banyak mengandung ikatan
rangkap dalam strukturnya (Siagian 2002). Musthafa dan Lawrence (2000)
menambahkan bahwa antioksidan juga pada akhirnya berfungsi untuk menetralisir
atau meredam dampak negatif dari radikal bebas.
Mekanisme kerja antioksidan pada umumnya dapat dimengerti setelah
mekanisme proses oksidasi lemak dalam bahan makanan atau pada sistem
biologis dipahami dengan baik. Oksidasi lemak terdiri atas 3 tahapan utama, yaitu
inisiasi, propagasi dan terminasi. Pembentukan radikal asam lemak, yaitu suatu
senyawa turunan asam lemak yang bersifat tidak stabil dan sangat reaktif akibat
dari hilangnya satu atom hidrogen, terjadi pada tahap inisiasi (1). Tahap
selanjutnya, yaitu propagasi, radikal asam lemak akan bereaksi dengan oksigen
membentuk radikal peroksi (2). Radikal peroksi lebih lanjut akan menyerang
asam lemak menghasilkan hidrogen peroksida dan radikal asam lemak baru (3)
(Siagian 2002). Reaksi inisiasi dan propagasi dapat dilihat pada Gambar 4.

Inisiasi : RH R + H (1)
Propagasi : R + O2 ROO
(2)
: ROO + RH ROOH + R (3)

Gambar 4. Reaksi inisiasi dan propagasi


(Sumber: Siagian 2002)

Hidrogen peroksida yang terbentuk bersifat tidak stabil dan akan


terdegradasi lebih lanjut menghasilkan senyawa-senyawa karbonil rantai pendek
seperti aldehida dan keton yang bertanggung jawab atas flavor makanan berlemak.
Tanpa adanya antioksidan, reaksi oksidasi lemak akan mengalami terminasi
melalui reaksi antar radikal bebas membentuk kompleks yang non radikal (4)
(Siagian 2002). Reaksi terminasi dapat dilihat pada Gambar 5.
12

Terminasi : ROO + ROO non radikal (4)


: R + ROO non radikal

:R + R non radikal
Gambar 5. Reaksi terminasi
(Sumber: Siagian 2002)

Antioksidan dibagi menjadi 4 tipe berdasarkan fungsinya (Siagian 2002;


Hariyatmi 2004), yaitu:
1. Tipe pemutus rantai reaksi pembentuk radikal bebas, dengan cara
menyumbangkan atom H, contohnya vitamin E.
2. Tipe pereduksi yang mampu mentransfer atom H atau oksigen dan bersifat
pemulung, contohnya vitamin C.
3. Tipe pengikat logam yang mampu mengikat zat prooksidan (Fe 2+ dan Cu2+),
contohnya flavonoid, asam sitrat dan EDTA.
4. Antioksidan seluler yang mampu mendekomposisi hidrogen peroksida
menjadi bentuk stabil, contohnya pada manusia dikenal SOD, katalase,
glutation peroksidase.
Antioksidan umumnya ditambahkan pada lemak, minyak, atau makanan
yang banyak mengandung lemak. Penambahan ini bertujuan untuk mencegah
terjadinya ketengikan pada makanan. Penyebab ketengikan pada lemak atau
minyak tersebut adalah senyawa-senyawa yang merupakan produk akhir dari
reaksi autooksidasi. Reaksi autooksidasi merupakan suatu reaksi berantai dimana
inisiator dan propagatornya adalah radikal bebas (Rita et al. 2009). Pembentukan
radikal bebas ini dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang dapat mempercepat
reaksi, seperti cahaya, panas, peroksida lemak atau hidrogen peroksida, logam-
logam berat (Cu, Fe, Co, dan Mn), logam porifirin (hematin, hemoglobin,
mioglobin, dan klorofil), serta enzim-enzim lipoksidase (Winarno 2008).
Penghilangan atau deaktivasi radikal bebas asam lemak maupun radikal bebas
peroksi akan menghentikan atau memutuskan reaksi oksidasi yang terjadi pada
tahap awal. Hal ini diharapkan akan memperlambat pembentukan senyawa-
senyawa yang dapat menimbulkan ketengikan (Rita et al. 2009). Antioksidan
sebaiknya ditambahkan ke lipid seawal mungkin untuk menghasilkan efek
maksimum. Antioksidan hanya akan benar-benar efektif bila ditambahkan seawal
13

mungkin selama periode induksi, yaitu suasana periode awal oksidasi lipid terjadi
dimana oksidasi masih berjalan secara lambat dengan kecepatan seragam
(Trilaksani 2003). Reaksi autooksidasi asam lemak dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Skema umum autooksidasi asam lemak tidak jenuh


(Sumber: Fennema 1996)

Peranan antioksidan pada kesehatan manusia sangatlah banyak. Hasil


penelitian Musthafa dan Lawrence (2000) menunjukkan bahwa antioksidan
berperan dalam menghambat proses aterosklerosis, yang merupakan komplikasi
dari penyakit diabetes mellitus dan sangat berperan untuk menyebabkan terjadinya
penyakit jantung koroner. Musthafa et al. (2000) menyatakan bahwa penyebab
yang mendasari berbagai macam keadaan patologis termasuk penyakit
aterosklerosis pada umumnya dan penyakit jantung koroner pada khususnya
adalah radikal bebas. Radikal bebas merupakan senyawa oksigen reaktif yang
sitotoksik, dapat berdampak negatif terhadap membran sel, dinukleotida (DNA)
dan protein seperti halnya enzim yang ada dalam tubuh. Hasil penelitian
Musthafa et al. (2000) ini memberikan informasi bahwa radikal bebas dapat
digunakan sebagai predictor aterosklerosis pada umumya dan aterosklerosis pada
14

penyakit diabetes ataupun penyakit jantung koroner pada khususnya. Antioksidan


juga berperan dalam menekan proliferasi (perbanyakan) sel kanker, karena
antioksidan berfungsi menutup jalur pembentukan sel ganas (blocking agent)
(Trilaksani 2003). Selain itu, antioksidan juga berperan sebagai agen antiaging
yang melindungi kulit dari proses pengrusakan oleh paparan sinar matahari dan
radikal bebas, yang dapat menimbulkan keriput dan penuaan pada kulit
(Suryowinoto 2005).
2.3.2 Jenis-jenis antioksidan
Antioksidan terdapat secara alami dalam tubuh, tetapi tubuh tidak
memiliki sistem pertahanan antioksidan yang berlebihan, sehingga apabila terjadi
paparan radikal berlebih, maka tubuh membutuhkan antioksidan eksogen
(Waji dan Sugrani 2009). Secara umum, antioksidan dibedakan menjadi dua
kategori dasar, yaitu antioksidan alami dan antioksidan sintetik. Saat ini,
ketertarikan masyarakat pada antoksidan alami meningkat tajam baik untuk
digunakan dalam bahan pangan ataupun sebagai material obat menggantikan
antioksidan sintetik. Hal ini dikarenakan antioksidan sintetik justru berpotensi
menyebabkan penyakit kanker (Wang 2006).
Antioksidan alami antara lain tokoferol, lesitin, fosfatida, sesamol,
gosipol, karoten dan asam askorbat yang banyak dihasilkan oleh tumbuhan.
Antioksidan alam yang paling banyak ditemukan dalam minyak nabati adalah
tokoferol yang mempunyai keaktifan vitamin E dan terdapat dalam bentuk , , ,
-tokoferol. Tokoferol ini mempunyai banyak ikatan rangkap yang mudah
dioksidasi sehingga akan melindungi bahan dari oksidasi. Kandungan tokoferol
yang terdapat dalam minyak yang dimurnikan akan menurun. Dalam beberapa
lemak tertentu, tokoferol mengendap, tetapi lemak tersebut tetap tidak mudah
tengik karena terdapat suatu senyawa yang dapat mengaktifkan tokoferol yang
mengendap tersebut (Winarno 2008).
Antioksidan alami tidak hanya terbatas pada antioksidan yang dihasilkan
oleh tumbuhan saja, tetapi juga antioksidan yang terdapat dalam tubuh manusia
dan hewan, seperti glutathione (GSH) dan jaringan thiol lainnya, heme protein,
koenzim Q, bilirubin dan urates, serta beberapa antioksidan enzim seperti
superoxide dismutase (SOD), katalase (CAT), glutathione peroxidase
15

(GSH-POD) dan glutathione-S-transferase (GST) (Vattem dan Shetty 2006).


Pada buah-buahan, juga terdapat antioksidan enzim, diantaranya SOD, CAT,
GSH-POD, guaiacol peroxidase (G-POD), ascorbate peroxidase (AsA-POD),
monodehydroascorbate reductase (MDAR), dehydroascorbate reductase
(DHAR) dan glutathione reductase (GR). Antioksidan enzim ini mempunyai
kapasitas untuk menetralisir dan menurunkan kelebihan radikal bebas yang
terbentuk karena kondisi stres. Antioksidan enzim berperan sebagai katalis yang
dapat bekerja pada satu atau lebih dari tiga fase pembentukan radikal bebas, yaitu
inisiasi, propagasi dan terminasi (Wang 2006).
Antioksidan sintetik yang banyak digunakan adalah senyawa-senyawa
fenol yang biasanya agak beracun. Penambahan antioksidan ini harus memenuhi
beberapa syarat, yaitu tidak berbahaya bagi kesehatan, tidak menimbulkan warna
yang tidak diinginkan, efektif dalam konsentrasi rendah (0,01-0,02%), larut dalam
lemak, dapat tahan pada kondisi pengolahan pangan pada umumnya, mudah
didapat dan ekonomis. Bahan makanan yang memakai antioksidan,
penggunaannya harus dicantumkan (Siagian 2002; Winarno 2008). Empat macam
antioksidan yang sering digunakan adalah butylated hydroxyanisole (BHA),
butylated hydroxytoluene (BHT), propylgallate (PG), dan nordihidroquairetic
acid (NDGA) (Winarno 2008).
Kombinasi beberapa antioksidan sintetik dapat menimbulkan sinergisme.
BHA yang dikombinasikan dengan PG akan lebih efektif daripada yang
digunakan secara terpisah, tetapi kombinasi BHT dengan PG menimbulkan
sinergisme negatif. Cara kerja antioksidan sintetik ini agak berbeda dengan
antioksidan alami. Antioksidan sintetik berfungsi sebagai donor hidrogen yang
diperlukan oleh radikal bebas, terutama radikal peroksi (ROO ) untuk membentuk
hidrogen peroksida (ROOH) (Siagian 2002; Winarno 2008). Reaksi pendonoran
hidrogen oleh senyawa fenolik pada radikal peroksi disajikan pada Gambar 7.

ROO + AH2 ROOH + AH

AH + AH A + AH2
Gambar 7. Reaksi antioksidan senyawa fenolik dengan radikal peroksi
(Sumber: Siagian 2002)
16

2.3.3 Mekanisme kerja antioksidan


Antioksidan memiliki dua fungsi berdasarkan cara kerjanya. Fungsi
pertama merupakan fungsi utama dari antioksidan yaitu sebagai pemberi atom
hidrogen. Antioksidan (AH) yang mempunyai fungsi utama tersebut sering
disebut sebagai antioksidan primer. Senyawa ini dapat memberikan atom
hidrogen secara cepat ke radikal lipida (R, ROO) atau mengubahnya ke bentuk
lebih stabil, sementara turunan radikal antioksidan (A) tersebut memiliki keadaan
lebih stabil dibanding radikal lipida. Fungsi kedua merupakan fungsi sekunder
antioksidan, yaitu memperlambat laju autooksidasi dengan berbagai mekanisme di
luar mekanisme pemutusan rantai autooksidasi dengan pengubahan radikal lipida
ke bentuk lebih stabil (Trilaksani 2003).
Penambahan antioksidan (AH) primer dengan konsentrasi rendah pada
lipid dapat menghambat atau mencegah autooksidasi lemak dan minyak.
Penambahan tersebut dapat menghalangi reaksi oksidasi pada tahap inisiasi
maupun propagasi. Radikal-radikal antioksidan (A) yang terbentuk pada reaksi
tersebut relatif stabil dan tidak mempunyai cukup energi untuk dapat bereaksi
dengan molekul lipid lain membentuk radikal lipid baru. Radikal-radikal
antioksidan dapat saling bereaksi membentuk produk non radikal antioksidan
(Trilaksani 2003). Reaksi penghambatan radikal bebas oleh antioksidan pada
tahap inisiasi dan propagasi dapat dilihat pada Gambar 8.

Inisiasi : R + AH RH + A
(radikal lipid)

Propagasi : ROO + AH ROOH + A

Gambar 8. Reaksi penghambatan oleh antioksidan primer terhadap radikal lipid


(Sumber: Trilaksani 2003)

Konsentrasi antioksidan yang ditambahkan dapat berpengaruh pada laju


oksidasi. Pada konsentrasi tinggi, aktivitas antioksidan grup fenolik sering lenyap
bahkan antioksidan tersebut justru menjadi prooksidan. Pengaruh jumlah
konsentrasi pada laju oksidasi dipengaruhi oleh struktur antioksidan, kondisi dan
sampel yang akan diuji (Trilaksani 2003). Reaksi antioksidan konsentrasi tinggi
yang justru bertindak sebagai prooksidan dapat dilihat pada Gambar 9.
17

AH + O2 A + HOO

AH + ROOH RO + H2O + A
Gambar 9. Antioksidan bertindak sebagai prooksidan pada konsentrasi tinggi
(Sumber: Trilaksani 2003)

Mekanisme antioksidan dalam menghambat oksidasi atau menghentikan


reaksi berantai pada radikal bebas dari lemak yang teroksidasi, dapat disebabkan
oleh 4 macam mekanisme reaksi (Rita et al. 2009), yaitu:
1. pelepasan hidrogen dari antioksidan.
2. pelepasan elektron dari antioksidan.
3. adisi asam lemak ke cincin aromatik pada antioksidan.
4. pembentukan senyawa kompleks antara lemak dan cincin aromatik dari
antioksidan.
Studi lebih lanjut mengamati bahwa ketika atom hidrogen labil pada suatu
antioksidan tertentu diganti dengan deuterium, antioksidan tersebut menjadi tidak
efektif. Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme penghambatan dengan
pemberian hidrogen lebih baik dibanding pemberian elektron. Beberapa peneliti
percaya bahwa pemberian hidrogen atau elektron merupakan mekanisme utama,
sementara pembentukan kompleks antara antioksidan dengan rantai lipid adalah
reaksi sekunder (Trilaksani 2003).
Antioksidan digolongkan menjadi 3 kelompok, yaitu antioksidan primer,
sekunder dan tersier. Antioksidan primer disebut juga antioksidan endogenous
atau enzimatis. Suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan primer apabila
dapat memberikan atom hidrogen secara tepat kepada senyawa radikal, kemudian
radikal antioksidan yang terbentuk segera berubah menjadi senyawa yang lebih
stabil. Antioksidan primer ini bekerja untuk mencegah pembentukan senyawa
radikal bebas, sebelum radikal bebas ini sempat bereaksi. Contoh antioksidan ini
adalah superoxide dismutase (SOD), katalase (CAT) dan glutathione peroxidase
(GSH-POD) (Suryowinoto 2005).
Antioksidan sekunder (antioksidan eksogenous) berfungsi menangkap
senyawa radikal bebas serta mencegah terjadinya reaksi berantai. Contoh
antioksidan sekunder adalah vitamin C dan esternya, vitamin E, beta
karoten, asam urat, asam sitrat, bilirubin, serta albumin (Trilaksani 2003;
18

Suryowinoto 2005). Antioksidan sekunder ini sering ditambahkan pada lemak


dan minyak sebagai kombinasi dengan antioksidan primer. Kombinasi tersebut
dapat memberi efek sinergis sehingga menambah keefektifan kerja antioksidan
primer. Antioksidan sekunder ini bekerja dengan satu atau lebih mekanisme
berikut (Trilaksani 2003):
a. memberikan suasana asam pada medium (sistem makanan),
b. meregenerasi antioksidan utama,
c. mengkelat atau mendeaktifkan kontaminan logam prooksidan,
d. menangkap oksigen, dan
e. mengikat singlet oksigen dan mengubahnya ke bentuk triplet oksigen.
Kelompok antioksidan tersier berperan dalam memperbaiki kerusakan
sel-sel dan jaringan yang disebabkan oleh radikal bebas. Contoh kelompok
antioksidan ini adalah sistem enzim DNA-repair dan metionin sulfoksidan
reduktase yang berfungsi memperbaiki DNA pada inti sel. Adanya enzim-enzim
yang dapat memperbaiki DNA ini, diharapkan dapat berguna untuk mencegah
penyakit kanker (Suryowinoto 2005).

2.4 Uji Aktivitas Antioksidan dengan Metode DPPH


Metode uji DPPH merupakan salah satu metode yang paling banyak
digunakan untuk memperkirakan efisiensi kinerja dari substansi yang berperan
sebagai antioksidan (Molyneux 2004). Metode pengujian ini berdasarkan pada
kemampuan substansi antioksidan tersebut dalam menetralisir radikal
bebas. Radikal bebas yang digunakan adalah 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl
(DPPH) yang memiliki rumus molekul C18H12N5O6 dan Mr=394,33
(Molyneux 2004; Vattem dan Shetty 2006). Metode uji aktivitas antioksidan
dengan menggunakan radikal bebas DPPH banyak dipilih karena metode ini
sederhana, mudah, cepat, peka dan hanya memerlukan sedikit sampel
(Hanani et al. 2005). Kapasitas antioksidan pada uji ini bergantung pada struktur
kimia dari antioksidan. Pengurangan radikal DPPH bergantung pada jumlah grup
hidroksil yang ada pada antioksidan, sehingga metode ini memberikan sebuah
indikasi dari ketergantungan struktural kemampuan antioksidan dari antioksidan
biologis (Vattem dan Shetty 2006).
19

Radikal bebas DPPH merupakan radikal sintetik yang stabil pada suhu
kamar dan larut dalam pelarut polar seperti metanol dan etanol (Molyneux 2004;
Suratmo 2009). Sifat stabil ini dikarenakan radikal bebas ini memiliki satu
elektron yang didelokalisir dari molekul utuhnya, sehingga molekul tersebut tidak
reaktif sebagaimana radikal bebas lain. Delokalisasi ini akan memberikan sebuah
warna ungu gelap dengan absorbansi maksimum pada 517 nm dalam larutan
etanol ataupun metanol (Molyneux 2004; Amrun dan Umiyah 2005; Vattem dan
Shetty 2006). Absorbansi maksimum DPPH pada panjang gelombang 517 nm
terbukti dari grafik spektra sinar tampak (360-720 nm) yang diuji oleh Amrun dan
Umiyah (2005), seperti yang terlihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Absobansi maksimum DPPH pada = 517 nm


(Sumber: Amrun dan Umiyah 2005)

Absorbsi maksimum dari radikal DPPH dalam larutan etanol ataupun


metanol pada 517 nm dipertimbangkan sebagai sebuah kekurangan utama dari
pengujian ini, karena dapat mengendapkan sebagian besar protein dan
menurunkan aktivitas dari sebagian besar fenolik hidroksida monovalen.
Ketergantungan pada jumlah grup hidroksil juga berakibat pada perbedaan
kecepatan kinetik dari reaksi antara antioksidan dan radikal DPPH, serta
menyebabkan fluktuasi pada waktu reaksi secara signifikan, sehingga disarankan
untuk setiap sampel yang berbeda diperlukan standarisasi waktu reaksi dan model
kinetik yang berbeda (Vattem dan Shetty 2006).
Ketika sebuah antioksidan mampu mendonorkan hidrogen yang beraksi
dengan radikal DPPH, reaksi ini akan memberikan peningkatan kompleks non
radikal dan menurunkan radikal DPPH yang ditandai dengan terbentuknya warna
kuning. Penurunan pada absorbsi dapat diukur secara spektrofotometrikal dan
dibandingkan dengan sebuah kontrol etanol atau metanol untuk mengkalkulasikan
aktivitas scavenging radikal bebas DPPH (Vattem dan Shetty 2006). Ketika
20

DPPH menerima elektron atau radikal hidrogen, maka akan terbentuk molekul
diamagnetik yang stabil. Interaksi antioksidan dengan DPPH baik secara transfer
elektron atau radikal hidrogen, akan menetralkan karakter radikal bebas dari
DPPH. Jika semua elektron pada radikal bebas DPPH menjadi berpasangan,
maka warna larutan berubah dari ungu tua menjadi kuning terang dan absorbansi
pada panjang gelombang 517 nm akan hilang. Perubahan ini dapat diukur secara
stokiometri sesuai dengan jumlah elektron atau atom hidrogen yang ditangkap
oleh molekul DPPH akibat adanya zat antioksidan (Suratmo 2009). Struktur
kimia DPPH dalam bentuk radikal bebas (1) dan bentuk kompleks non radikal (2)
dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Struktur kimia radikal bebas (1) dan bentuk non radikal (2) DPPH
(Sumber: Molyneux 2004)

Ada tiga tahap reaksi antara DPPH dengan zat antioksidan, yang dapat
dicontohkan dengan reaksi antara DPPH dengan senyawa monofenolat
(antioksidan). Tahap pertama meliputi delokalisasi satu elektron pada gugus yang
tersubstitusi para dari senyawa tersebut, kemudian memberikan atom hidrogen
untuk mereduksi DPPH. Tahap berikutnya meliputi dimerisasi antara dua radikal
fenoksil, yang akan mentransfer radikal hidrogen dan akan bereaksi kembali
dengan radikal DPPH. Tahap terakhir adalah pembentukan kompleks antara
radikal aril dengan radikal DPPH. Pembentukan dimer maupun kompleks antara
zat antioksidan dengan DPPH tergantung pada kestabilan dan potensial reaksi
dari struktur molekulnya (Suratmo 2009).
Salah satu parameter yang biasa digunakan untuk menginterpretasikan
hasil dari pengujian DPPH adalah efficient concentration 50 value (EC50 value)
atau biasa dikenal dengan inhibition concentration 50 value (IC50 value). Nilai ini
dapat didefinisikan sebagai konsentrasi substrat yang dapat menyebabkan
21

berkurangnya 50% aktivitas DPPH. Semakin kecil nilai IC50 berarti aktivitas
antioksidannya semakin tinggi. Suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan
sangat kuat apabila nilai IC50 kurang dari 0,05 mg/ml, kuat apabila nilai IC50
antara 0,05-0,10 mg/ml, sedang apabila nilai IC50 berkisar antara 0,10-
0,15 mg/ml, dan lemah apabila nilai IC50 berkisar antara 0,15-0,20 mg/ml
(Blois 1958 dalam Molyneux 2004).

2.5 Antioksidan BHT (Butylated Hydroxytoluene)


Butylated hydroxytoluene (BHT) merupakan salah satu contoh antioksidan
jenis sintetik, yang berperan sebagai senyawa yang mudah bereaksi dengan
oksigen (Rita et al. 2009). BHT (2,6-di-tert-butyl-4-methylphenol) memiliki
rumus molekul C15H24O dan Mr=220,36. BHT dapat meleleh pada suhu 69,44 oC
dan mendidih pada suhu 265 oC. Bentuknya berupa butiran putih dan stabil pada
kondisi penggunaan dan penyimpanan yang normal, tidak panas dan tidak lembab
(Scholar Chemistry 2008). Struktur kimia dari BHT dapat dilihat pada
Gambar 12.

Gambar 12. Struktur kimia butylated hydroxytoluene (BHT)


(Sumber: Herawati dan Akhlus 2006)

BHT banyak ditambahkan pada produk pangan sebagai antioksidan yang


berfungsi untuk mencegah ketengikan. Bahan pangan yang biasa diberi tambahan
BHT adalah lemak, minyak, atau bahan makanan yang mengandung asam lemak
tak jenuh tinggi. Salah satu contohnya minyak kelapa sawit. Menurut Herawati
dan Akhlus (2006), penambahan 200 ppm BHT mampu menahan kadar peroxida
pada RBD minyak kelapa sawit dibawah 2 meq/kg selama 210 menit, sedangkan
tanpa menggunakan BHT diperoleh 2 meq/kg hanya dalam waktu 30 menit. Hasil
penelitian Hanani et al. (2005) menunjukkan bahwa BHT memiliki IC50 pada
konsentrasi 3,81 ppm, sehingga antioksidan sintetik BHT dapat dikategorikan
22

sebagai antioksidan yang memiliki aktivitas yang kuat. Mekanisme reaksi BHT
dengan radikal bebas dengan cara mendeaktifasi senyawa radikal tersebut dapat
dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Mekanisme reaksi BHT dengan radikal bebas


(Sumber: Herawati dan Akhlus 2006)

BHT dapat menyebabkan kematian 50% (LD50) hewan uji tikus secara oral
pada konsentrasi 980 mg/kg, dan pada kelinci secara dermal sebesar 500 mg/Mild
(Scholar Chemistry 2008). Penambahan BHT dalam bahan makanan diduga dapat
menyebabkan kanker dan mutasi gen pada manusia, sehingga penggunaannya
mulai dilarang di Jepang dan negara-negara Eropa seperti Rumania, Swedia dan
Australia (Rita et al. 2009).

2.6 Ekstraksi Komponen Bioaktif


Ekstraksi merupakan proses penarikan komponen zat aktif suatu bahan
dengan menggunakan pelarut tertentu. Tujuan dari proses ini adalah untuk
mendapatkan bagian-bagian tertentu dari bahan yang mengandung komponen-
komponen aktif (Harborne 1984). Proses ekstraksi berdasarkan media
pengekstraknya dapat dibedakan menjadi empat tipe, yaitu solvent extraction,
supercritical fluids extraction, steam destilation dan headspace techniques
(Beek 1999). Metode ekstraksi yang umum dilakukan adalah solvent extraction.
Proses dasar ekstraksi komponen bioaktif dari suatu bahan, umumnya
terdiri dari 3 tahap. Tahap awal, pelarut yang diasumsikan memiliki solubilitas
yang cukup akan merusak membran permukaan bahan dan melarutkan komponen
bioaktif yang bebas (tidak berikatan dengan komponen lain). Tahap kedua,
pelarut akan masuk ke dalam material sampel dan memutus matrix effect
(komponen bioaktif yang berikatan dengan komponen-komponen lain), sehingga
23

kompenen bioaktif akan terbebas dan larut dalam pelarut. Tahap kedua ini juga
menyebabkan membran menjadi lebih bersifat permeabel. Tahap akhir,
komponen bioaktif yang terdapat pada bagian terdalam bahan akan berdifusi
secara berlahan karena membran menjadi lebih bersifat permeabel (Beek 1999).
Metode ekstraksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstraksi tipe
solvent extraction atau ekstraksi yang menggunakan pelarut dengan metode
maserasi. Metode ini dipilih karena cukup mudah diterapkan dan murah, pelarut
yang digunakan tidak terlalu banyak, serta dapat memberikan hasil ekstrasi yang
baik dan selektif. Walaupun begitu metode ini juga memiliki kekurangan, yaitu
komponen bioaktif harus mampu larut dalam pelarut tanpa adanya pengadukan
atau pemanasan yang lambat (Beek 1999).
Proses ekstraksi yang dilakukan merupakan proses ekstraksi bertingkat
yang merupakan salah satu bentuk ekstraksi tipe solvent extraction.
Salamah et al. (2008) mendefinisikan ekstraksi bertingkat sebagai proses ekstraksi
yang dilakukan secara berturut-turut dimulai dengan pelarut non polar, pelarut
yang kepolarannya menengah (semipolar) dan pelarut polar. Pelarut-pelarut yang
dapat digunakan dalam proses ekstraksi bertingkat ini dapat dilihat pada Tabel 3.
Kekurangan dari proses ekstraksi bertingkat adalah rendemen ekstrak yang
diperoleh lebih kecil dibandingkan dengan proses ekstraksi tunggal. Hal ini
dibuktikan oleh penelitian Prabowo (2009).

Tabel 3. Jenis-jenis pelarut yang umum digunakan dalam ekstraksi


Jenis Pelarut Titik Beku (oC) Titik Didih (oC)
Air 0 100
Etanol -98 65
Etanol -117 78
Propanol -127 97
Aseton -95 56
Etil asetat -84 77
Heksana -98 69
Benzena 6 80
Kloroform -63 61
, Sumber: Lehninger (1988)

2.7 Komponen Bioaktif


Komponen bioaktif merupakan kelompok senyawa fungsional yang
terkandung dalam bahan pangan dan dapat memberikan pengaruh biologis.
24

Sebagian besar komponen bioaktif adalah kelompok alkohol aromatik seperti


polifenol dan komponen asam (phenolic acid). Komponen bioaktif tidak terbatas
pada hasil metabolisme sekunder saja, tetapi juga termasuk metabolit primer yang
memberikan aktivitas biologis fungsional, seperti protein dan peptida
(Kannan et al. 2009). Penapisan komponen bioaktif ini dapat dilakukan dengan
metode uji fitokimia yang meliputi komponen karbohidrat, gula pereduksi,
peptida, asam amino (metabolit primer), alkaloid, steroid, flavonoid, saponin dan
fenol hidrokuinon (metabolit sekunder) (Harborne 1984; Harborne 1999).
Fitokimia atau fitonutrien, merupakan cabang ilmu yang mempelajari
senyawa organik yang dibentuk dan ditimbun oleh tumbuhan, yaitu mencakup
struktur kimia, biosintesis, perubahan serta metabolisme, penyebaran secara alami
dan fungsi biologis. Senyawa fitokimia tidak hanya terdapat pada tumbuhan
(phytoo) saja, tetapi juga terdapat pada jaringan tubuh hewan (zoo). Fitokimia
biasanya lebih merujuk pada senyawa yang ditemukan pada tumbuhan ataupun
hewan yang tidak dibutuhkan untuk fungsi normal tubuh, tetapi memiliki efek
yang menguntungkan bagi kesehatan atau memiliki peran aktif dalam pencegahan
penyakit (metabolit sekunder). Senyawa ini berbeda dengan apa yang diistilahkan
sebagai nutrisi dalam pengertian tradisional karena ketiadaan senyawa ini tidak
akan menyebabkan penyakit defisiensi, asalkan tetap mengkonsumsi pangan
yang mengandung zat gizi seperti karbohidrat, protein dan lemak
(Astawan dan Kasih 2008).
2.7.1 Alkaloid
Komponen alkaloid merupakan golongan senyawa organik yang paling
banyak ditemukan di alam. Alkaloid umumnya dapat didefinisikan sebagai
substasi dasar yang memiliki satu atau lebih atom nitrogen yang bersifat basa dan
tergabung dalam suatu sistem siklis, yaitu cincin heterosiklik. Alkaloid biasanya
tidak berwarna dan sebagian besar berbentuk kristal dengan titik lebur
tertentu, tetapi ada pula yang berbentuk amorf atau cairan pada suhu ruang.
Secara organoleptik, alkaloid akan terasa pahit di lidah (Harborne 1984;
Kutchan 1995; Putra 2007).
Menurut Hegnauer, senyawa alkaloid diklasifikasikan menjadi
3 kelompok, yaitu alkaloid sesungguhnya, protoalkaloid dan pseudoalkaloid.
25

Alkaloid sesungguhnya adalah racun, senyawa tersebut menunjukkan aktivitas


fisiologis yang luas, hampir tanpa terkecuali bersifat basa, lazim mengandung
nitrogen dalam cincin heterosiklis, diturunkan dari asam amino dan biasanya
terdapat dalam tanaman sebagai garam asam organik. Protoalakaloid merupakan
amin yang relatif sederhana dimana nitrogen-nitrogen asam amino tidak terdapat
dalam cincin heterosiklik. Pseudoalkaloid tidak diturunkan dari prekursor asam
amino dan biasanya bersifat basa (Lenny 2006).
Alkaloid dikategorikan sebagai hasil metabolisme sekunder, dimana
kelompok molekul ini merupakan substansi organik yang tidak bersifat vital bagi
organisme yang menghasilkannya (Kutchan 1995). Dari segi biogenetik, alkaloid
diketahui berasal dari sejumlah kecil asam amino yaitu ornitin dan lisin yang
menurunkan alkaloid alisiklik; fenilalanin dan tirosin yang menurunkan alkaloid
jenis isokuinolin; dan triftopan yang menurunkan alkaloid indol (Lenny 2006).
Reaksi utama yang mendasari biosintesis senyawa alkaloid adalah reaksi
Mannich, dimana menurut reaksi ini suatu aldehid berkondensasi dengan suatu
amina menghasilkan suatu ikatan karbon-nitrogen dalam bentuk imina atau garam
iminium, diikuti oleh serangan suatu atom karbon nukleofilik yang dapat berupa
suatu enol atau fenol. Biosintesis alkaloid juga melibatkan reaksi rangkap
oksidatif fenol dan metilasi. Jalur poliketid dan jalur mevalonat juga ditemukan
dalam biosintesis alkaloid (Lenny 2006; Putra 2007).
Alkaloid kerap kali bersifat racun pada manusia, tetapi ada pula yang
memiliki aktivitas fisiologis pada kesehatan manusia sehingga digunakan secara
luas dalam pengobatan (Harborne 1984). Beberapa contoh senyawa alkaloid yang
telah umum dikenal dalam bidang farmakologi, diantaranya adalah nikotin
(stimulan pada syaraf otonom), morfin (analgesik), kodein (analgesik dan obat
batuk), atropin (obat tetes mata), skopolamin (sedatif menjelang operasi), kokain
(analgesik), piperin (antifeedant), quinin (obat malaria), vinkristin (obat kanker),
ergotamin (analgesik untuk migrain), reserpin (pengobatan simptomatis disfungsi
ereksi), mitraginin (analgesik dan antitusif), serta vinblastin (antineoplastik dan
obat kanker) (Putra 2007).
Fungsi alkaloid sendiri dalam tumbuhan sejauh ini belum diketahui secara
pasti, beberapa ahli pernah mengungkapkan bahwa alkaloid diperkirakan sebagai
26

pelindung tumbuhan dari serangan hama dan penyakit, pengatur tumbuh, atau
sebagai basa mineral untuk mempertahankan keseimbangan ion (Putra 2007).
Hasil penelitian Porto et al. (2009) menunjukkan bahwa komponen alkaloid pada
daun Psychotria brachyceras yaitu brachycerine, memiliki aktivitas antioksidan
dan berperan sebagai pelindung dari radiasi sinar UV (UV-B dan UV-C).
2.7.2 Steroid/triterpenoid
Triterpenoid merupakan komponen dengan kerangka karbon yang tersusun
oleh 6 unit isoprene dan dibuat secara biosintesis dari skualen (C 30 hidrokarbon
asiklik). Triterpenoid memiliki struktur siklik yang kompleks, sebagian besar
terdiri atas alkohol, aldehid, atau asam karboksilat. Triterpenoid tidak berwarna,
jernih, memiliki titik lebur tinggi dan merupakan komponen aktif yang sulit
dikarakterisasi. Pengujian yang telah digunakan secara luas untuk mendeteksi
triterpenoid adalah dengan pereaksi Liebermann-Burchard, yang memberikan
warna biru-hijau pada triterpenoid dan steroid. Triterpenoid dapat digolongkan
menjadi 4 grup komponen, yaitu triterpenoid sebenarnya, steroid, saponin
dan cardiac glycoside. Triterpenoid umumnya memiliki rasa yang pahit
(Harborne 1984). Hasil penelitian Setzer (2008) menunjukkan bahwa sejumlah
produk triterpenoid alami memiliki aktivitas antitumor karena memiliki
kemampuan menghambat kinerja enzim topoisomerase II, dengan cara berikatan
dengan sisi aktif enzim yang nantinya akan mengikat DNA dan membelahnya.
Hal ini menyebabkan enzim menjadi terkunci dan tidak dapat mengikat DNA.
Steroid merupakan golongan triterpena yang tersusun atas sistem cincin
cyclopetana perhydrophenanthrene. Steroid pada mulanya dipertimbangkan
hanya sebagai komponen pada substansi hewan saja (sebagai hormon seks, asam
empedu, dan lain sebagainya), akan tetapi akhir-akhir ini steroid juga ditemukan
pada substansi tumbuhan (Harborne 1984). Prekursor pembentukan steroid
adalah kolesterol atau fitosterol. Menurut Bose et al. (1997), profil steroid yang
terdapat pada hemolimfa Achatina fulica (salah satu jenis gastropoda hermaprodit
air tawar) meliputi progesterone, 17--estradiol, testosterone, 4-androstene-dione
dan cortisol. Progesterone terkandung lebih banyak pada fase jantan dan
menurun pada fase betina, dimana saat itu laju konversi kolesterol menjadi
17--estradiol dan 4-androstene-dione lebih tinggi dibandingkan dengan profil
27

steroid yang lain. Jumlah steroid yang terdapat pada hemolimfa ini diyakini
sebagai hasil mekanisme biosintesis aktif dari gastropoda tersebut. Sumber dari
steroid reproduksi ini jelas berasal dari gonad dan kelenjar reproduksi tambahan.
Hasil penelitian Silva et al. (2002) menunjukkan bahwa komponen steroid
yang diekstrak dari daun Agave attenuata memiliki aktivitas anti-inflamasi,
walaupun aktivitas ini diikuti dengan efek hemolitik yang tidak diinginkan.
Komponen steroid dapat meningkatkan aktivitas hemolitik karena steroid
memiliki afinitas lebih tinggi dari kolesterol pada membran eritrosit.
2.7.3 Flavonoid
Flavonoid merupakan golongan terbesar dari senyawa polifenol, karena itu
larutan ekstrak yang mengandung komponen flavonoid akan berubah warna jika
diberi larutan basa atau ammonia. Flavonoid mengandung sistem aromatik
konjugasi dan dapat menunjukkan pita penyerapan yang kuat pada spektrum
wilayah UV dan sinar tampak (Harborne 1984; Astawan dan Kasih 2008).
Flavonoid umumnya merupakan komponen larut air (polar). Komponen
ini dapat diekstrak dengan etanol 70% dan tertinggal pada lapisan aqueous, diikuti
dengan pemisahan ekstrak menggunakan petroleum ether. Flavonoid pada
tanaman berikatan dengan gula sebagai glikosida dan adapula yang berada dalam
aglikon. Flavonoid dapat dikelompokan menjadi 9 kelas, yaitu anthosianin,
proanthosianidin, flavonol, flavon, glikoflavon, biflavonil, chlacone dan aurone,
flavanon, serta isoflavon (Harborne 1984). Komponen flavonoid pada tanaman
yang dikonsumsi oleh hewan herbivora, dapat tersimpan dalam tubuh hewan
tersebut. Contohnya adalah quercetin yang tersimpan dalam sayap kupu-kupu
setelah melewati proses pencernaan makanan (Harborne 1999).
Flavonoid sangat efektif untuk digunakan sebagai antioksidan (Astawan
dan Kasih 2008). Hal ini terbukti dari hasil penelitian Bernardi et al. (2007) yang
menunjukkan bahwa seluruh komponen flavonoid yang diisolasi dari Hypericum
ternum memiliki aktivitas antioksidan, walaupun kapasitas peredaman radikal
bebas DPPH oleh masing-masing komponen flavonoid tersebut berbeda-beda.
Komponen flavonoid tersebut merupakan turunan dari quercetin (dari yang terkuat
ke yang paling lemah), yaitu guaijaverin, hyperoside, isoquercitrin dan quercetin-
3-metil-eter.
28

Senyawa flavonoid dapat mencegah penyakit kardivaskuler dengan cara


menurunkan laju oksidasi lemak. Beberapa penelitian menunjukan bahwa
flavonoid dapat menurunkan hiperlipidemia pada manusia. Pada kasus penyakit
jantung, penghambatan oksidasi LDL oleh flavonoid dapat mencegah
pembentukan sel-sel busa dan kerusakan lipid (Astawan dan Kasih 2008). Selain
itu, flavonoid juga memiliki fungsi sebagai antibakteri, anti-inflamasi, antitumor,
antialergi, dan mencegah osteoporosis. Hal ini terbukti dari beberapa penelitian
yang telah dilakukan. Hasil penelitian Sukadana (2009) menunjukkan bahwa
komponen flavonoid yang diisolasi dari buah belimbing manis memiliki aktivitas
antibakteri pada bakteri Gram positif (S. aureus) pada konsentrasi 500 ppm dan
bakteri Gram negatif (E. coli) pada konsentrasi 100 ppm. Hasil penelitian
Al-Meshal et al. (1985) menunjukkan bahwa fraksi flavonoid yang diisolasi dari
tumbuhan Catha edulis Forsk memiliki aktivitas anti-inflamasi pada dosis
200 mg/kg. Aktivitas anti-inflamasi ini juga dimiliki oleh komponen flavonoid
tergeranilasi dari ekstrak daun sukun yang diisolasi oleh Syah et al. (2006), yaitu
2-geranil-2,4,3,4-tetrahidroksidihidrokalkon, dimana komponen ini telah
diketahui memiliki efek biologis yang potensial sebagai inhibitor 5-lipooksigenase
yang berperan dalam proses alergi, inhibitor katepsin K yang merupakan enzim
sistein protease yang terlibat dalam proses terjadinya osteoporosis, serta sebagai
obat antitumor yang telah dipatenkan.
2.7.4 Saponin
Saponin merupakan glikosida yang apabila dihidrolisis secara sempurna
akan menghasilkan gula dan satu fraksi non-gula yang disebut sapogenin atau
genin. Gula-gula yang terdapat dalam saponin jumlah dan jenisnya bervariasi,
diantaranya glukosa, galaktosa, arabinosa, ramnosa, serta asam galakturonat dan
glukoronat. Sapogenin sendiri dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu
sapogenin triterpenik dan steroidik (Muchtadi 1989).
Saponin merupakan agen aktif permukaan dengan sifat yang menyerupai
sabun. Saponin larut dalam air, sedikit larut atau tidak sama sekali dalam etanol
dan metanol pekat yang dingin. Kehadirannya dapat dideteksi dengan mudah
karena komponen ini mampu membentuk busa dan dapat menyebabkan hemolisis
sel darah. Hemolisis darah merah oleh saponin ini merupakan hasil interaksi
29

antara saponin dengan senyawa-senyawa yang terdapat pada permukaan membran


sel, seperti kolesterol, protein dan fosfolipid. Saponin terkadang bersifat racun
pada ternak (saponin pada alfalfa) dan memiliki rasa yang manis (glycyrrhizin
pada akar kayu manis) (Harborne 1984; Muchtadi 1989).
Komponen saponin berperan dalam mereduksi kolesterol dan melawan
kanker kolon. Saponin juga memiliki aktivitas antimikroba, merangsang sistem
imun, dan mengatur tekanan darah (Astawan dan Kasih 2008). Hasil penelitian
Cui et al. (2004) menunjukkan bahwa ekstrak air dari tumbuhan herbal Dioscorea
nipponica Mak. yang biasa digunakan sebagai obat penyakit cardiovascular
(penyakit jantung, hyperlipaemia, dan tonsilitis) ternyata mengandung komponen
furostanol saponin yang tergolong dalam steroidal saponin, yaitu
26-O--D-glucopyranosyl-furost-5(6),20(22)-dien-3,26-diol. Selain untuk
kesehatan, saponin juga dapat digunakan sebagai agen bioaktif pengendali
nyamuk. Hasil penelitian Wiesman dan Chapagain (2003) menunjukkan bahwa
ekstrak saponin yang diisolasi dari Quillaja saponaria dan Balanites aegyptiaca
mampu digunakan sebagai agen pengendali nyamuk Aedes aegypti dan Culex
pipiens, tetapi aman bagi mamalia.
2.7.5 Fenol hidrokuinon
Komponen fenolat merupakan struktur aromatik yang berikatan dengan
satu atau lebih gugus hidroksil, beberapa mungkin digantikan dengan gugus metil
atau glikosil. Komponen fenolat bersifat larut air selama komponen tersebut
berikatan dengan gula membentuk glikosida, dan biasanya terdapat dalam vakuola
sel. Flavonoid merupakan kelompok yang terbesar di antara komponen fenolat
alami yang strukturnya telah diketahui, tetapi fenol monosiklik sederhana,
fenilpropanoid dan fenolat quinon terdapat dalam jumlah sedikit (Harborne 1984;
Harborne 1999).
Pigmen quinon alami berada pada kisaran warna kuning muda hingga
hitam. Quinon mengandung kromatofor dasar yang sama dengan kromatofor
benzoquinon, yang terdiri dari dua grup karbonil yang berkonjugasi dengan dua
ikatan rangkap karbon-karbon. Untuk tujuan identifikasi, quinon dapat dibagi
menjadi empat kelompok, yaitu benzoquinon, naftaquinon, antraquinon, dan
isoprenoid quinon. Tiga kelompok pertama umumnya terhidrolisis dan memiliki
30

sifat fenol, sedangkan isoprenoid quinon terdapat pada respirasi seluler


(ubiquinon) dan fostosintesis (plastoquinon) (Harborne 1984).
Hasil penelitian Escudero et al. (2008) menunjukkan bahwa komponen
polifenol yang diisolasi dari daun Piper aduncum L. memiliki aktivitas
antioksidan dan menurunkan kandungan hidrogen peroksida secara in-vivo.
Komponen polifenol tersebut meliputi asam gallat, asam klorogenat, katekin, dan
quercetin yang dilaporkan memiliki nilai IC50 1-8 ppm.
2.7.6 Karbohidrat
Karbohidrat merupakan komponen organik kompleks yang dibentuk
melalui proses fotosintesis pada tanaman, dan merupakan sumber energi utama
dalam respirasi. Karbohidrat berperan dalam penyimpanan energi (pati),
transportasi energi (sukrosa), serta pembangun dinding sel (selulosa). Karbohidrat
berperan dalam interaksi hewan dan tumbuhan, perlindungan dari luka dan
infeksi, serta detoksifikasi dari substansi asing (Harborne 1984). Karbohidrat
mempunyai struktur, ukuran dan bentuk molekul yang berbeda-beda. Karbohidrat
umumnya aman untuk dikonsumsi (tidak beracun). Rumus kimia karbohidrat
umumnya Cx(H2O)y (Fennema 1996).
Karbohidrat yang terdapat pada hewan umumnya berbentuk glikogen, dan
dapat dipecah menjadi D-glukosa. Karbohidrat dalam tubuh hewan dapat
dibentuk dari beberapa asam amino dan sebagian dari gliserol lemak, tetapi
sebagian besar karbohidrat diperoleh dari bahan makanan yang dimakan sehari-
hari, terutama bahan makanan yang berasal dari tumbuhan (Winarno 2008).
Karbohidrat yang memiliki berat molekul rendah, umumnya mempunyai
banyak kegunaan. Komponen tersebut aktif secara optis, merupakan komponen
alifatik polihidroksi, yang biasanya sangat larut air. Komponen ini sukar untuk
mengkristal bahkan dalam keadaan murni sekalipun, dan biasanya diisolasi
dengan mereaksikannya dengan komponen lain (Harborne 1984). Pada tubuh
manusia, karbohidrat berguna untuk mencegah ketosis, pemecahan protein tubuh
yang berlebihan, kehilangan mineral dan berguna untuk membantu metabolisme
lemak dan protein (Winarno 2008).
Karbohidrat umumnya dapat dikelompokan menjadi tiga kelompok
berdasarkan ukuran molekulernya, yaitu monosakarida, oligosakarida, dan
31

polisakarida. Monosakarida merupakan suatu molekul yang dapat terdiri dari


5-6 atom C (fruktosa, glukosa), oligosakarida merupakan polimer dari
2-10 monosakarida (sukrosa), dan polisakarida merupakan polimer yang terdiri
lebih dari 10 monomer monosakarida yang membentuk rantai lurus ataupun
bercabang (Harborne 1984; Winarno 2008).
2.7.7 Gula pereduksi
Gula pereduksi merupakan kelompok gula atau karbohidrat yang mampu
mereduksi senyawa pengoksidasi. Monosakarida akan segera mereduksi
senyawa-senyawa pengoksida seperti ferisianida, hidrogen peroksida, atau ion
kupri (Cu2+). Gula dioksidasi pada gugus karbonil dan senyawa pengoksidasi
menjadi tereduksi pada reaksi ini. Sifat gula pereduksi ini dapat berguna dalam
analisis gula, dengan mengukur jumlah dari senyawa pengoksidasi yang tereduksi
oleh suatu larutan gula tertentu, dapat dilakukan pendugaan konsentrasi gula.
Prinsip tersebut berguna dalam menganalisis kandungan gula dalam darah dan air
seni untuk diagnosa diabetes mellitus (Lehninger 1988).
Sifat pereduksi dari suatu molekul gula ditentukan oleh ada atau tidaknya
gugus hidroksil (OH) bebas yang reaktif. Gugus hidroksil yang reaktif pada
glukosa (aldosa) biasanya terletak pada karbon nomor satu (anomerik), sedangkan
pada fruktosa (ketosa) terletak pada karbon nomor dua. Sukrosa tidak mempunyai
gugus OH bebas yang reaktif karena keduanya sudah saling terikat, sedangkan
laktosa mempunyai gugus OH bebas pada atom C nomor satu pada gugus
glukosanya (Winarno 2008).
Salah satu metode untuk mengukur jumlah gula pereduksi ini dapat
digunakan larutan Fehling. Larutan Fehling merupakan larutan alkali
tembaga (II) yang mengoksidasi aldosa menjadi aldonat, dalam prosesnya akan
tereduksi menjadi tembaga (I) yang mengendap sebagai Cu 2O yang berwarna
merah bata. Reagen lain yang dapat digunakan dalam mengukur jumlah gula
pereduksi adalah reagen Nelson-Somogyi dan Benedict. Aldosa termasuk gula
pereduksi, begitu juga dengan ketosa. Ketosa dalam suasana alkali larutan
Fehling, akan terisomerasi menjadi aldosa, sehingga dalam reagen Benedict
yang tidak alkali hanya komponen aldosa yang dapat terdeteksi, tetapi ketosa
tidak (Fennema 1996).
32

2.7.8 Peptida
Peptida merupakan ikatan kovalen antara dua atau lebih molekul asam
amino melalui suatu ikatan amida substitusi. Ikatan ini dibentuk dengan menarik
unsur H2O dari gugus karboksil suatu asam amino dan gugus -amino dari
molekul lain, dengan reaksi kondensasi yang kuat. Dua molekul asam amino
yang diikat oleh sebuah ikatan peptida disebut dipeptida, tiga molekul asam amino
yang diikat oleh dua ikatan peptida disebut tripeptida, dan begitu seterusnya.
Istilah oligopeptida digunakan untuk kelompok yang memiliki 10 residu asam
amino. Jika terdapat banyak asam amino yang bergabung dengan cara demikian,
maka akan menghasilkan struktur yang disebut polipeptida. Transisi dari
polipeptida menjadi protein tidak banyak dijelaskan, tetapi batasan pengertian
protein umumnya diasumsikan sebagai rantai peptida yang memiliki berat
molekul sekitar 10 kDa atau mengandung kurang lebih 100 residu asam amino
(Lehninger 1988; Belitz et al. 2009).
Peptida dengan panjang bermacam-macam dibentuk oleh hidrolisis
sebagian dari rantai polipeptida yang panjang dari protein, yang dapat
mengandung ratusan asam amino (Lehninger 1988). Pembentukan ikatan peptida
memerlukan banyak energi, sedangkan untuk hidrolisis praktis tidak memerlukan
energi. Reaksi keseimbangan ini lebih cenderung untuk berjalan ke arah hidrolisis
daripada sintesis (Winarno 2008).
Beberapa peptida menunjukkan aktivitas biologis yang nyata. Salah
satunya adalah peptida pendek enkefalin, hormon yang dibentuk dalam pusat
sistem syaraf. Hormon ini berperan sebagai analgesik alami dalam tubuh yang
dapat meniadakan rasa sakit ketika molekul-molekul ini berikatan dengan reseptor
spesifik pada sel tertentu dalam otak, yang biasanya berikatan dengan morfin,
heroin dan jenis candu lainnya (Lehninger 1988). Hasil penelitian
Kannan et al. (2009) menunjukkan bahwa hidrolisat peptida dari kulit padi yang
memiliki berat molekul < 5 kDa memiliki aktivitas antikanker. Fraksi peptida
tersebut memiliki nilai IC50 sekitar 750 ppm setelah diujikan pada sel kanker
kolon (HCT-116) dan sel kanker payudara (HTB-26).
33

2.7.9 Asam amino


Asam amino merupakan unit struktural dasar dari protein. Asam amino
dapat diperoleh dengan menghidrolisis protein dalam asam, alkali, ataupun enzim.
Sebuah asam amino tersusun atas sebuah atom -karbon yang berikatan secara
kovalen dengan sebuah atom hidrogen, sebuah gugus amino, dan sebuah gugus
rantai R. Semua asam amino berkonfigurasi dan mempunyai konfigurasi L,
kecuali glisin yang tidak mempunyai atom C asimetrik. Hanya asam amino L
yang merupakan komponen protein (Fennema 1996; Winarno 2008). Struktur
kimia asam amino secara umum dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 124. Struktur kimia asam amino


(Sumber: Fennema 1996)

Perbedaan antar asam amino alami, hanya terletak pada gugus rantai R
yang berikatan dengan atom -karbon. Sifat-sifat fisiko-kimia dari asam amino,
seperti kelarutan, reaksi kimia, pontensial ikatan hidrogen, sangat bergantung
pada gugus rantai R tersebut (Fennema 1996). Gugus rantai R ini dapat berupa
alifatik, aromatik, residu heterosiklik, atau gugus fungsional lainnya yang
berikatan (Belitz et al. 2009).
Asam amino dalam kondisi netral (pH isolistrik) berada dalam bentuk ion
dipolar atau disebut juga zwitter ion. Pada asam amino yang dipolar, gugus amino
mendapat tambahan sebuah proton dan gugus karboksil terdisosiasi. Derajat
ionisasi dari asam amino sangat dipengaruhi oleh pH. Gugus karboksilnya tidak
terdisosiasi, sedangkan gugus aminonya menjadi ion pada pH yang rendah
(misalnya pH 1,00). Gugus karboksil terdisosiasi pada pH tinggi (misalnya
pH 11,00), sedangkan gugus aminonya tidak (Winarno 2008).
Asam amino dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat interaksi gugus
rantai R dengan air menjadi dua kelompok besar (Fennema 1996;
Belitz et al. 2009), yaitu:
34

1) Asam amino polar (hidrofilik), yaitu asam amino yang larut dalam air dan
dibedakan menjadi asam amino polar bermuatan (Arg, Asp, Glu, His dan
Lys), serta asam amino polar tak bermuatan (Ser, Thr, Asn, Gln dan Cys).
2) Asam amino non polar (hidrofobik), yaitu asam amino yang memiliki
tingkat kelarutan terbatas dalam air. Asam amino ini memiliki gugus
rantai R alifatik (Ala, Ile, Leu, Met, Pro dan Val) atau aromatik (Phe, Trp
dan Tyr).

Anda mungkin juga menyukai