2 TINJAUAN PUSTAKA
Keong mas hidup di kolam, sawah beririgasi dan kanal. Keong mas
membenamkan diri pada tanah lembab selama musim kering. Keong mas dapat
bertahan hidup hingga 6 bulan dengan melakukan estivasi dengan cara menutup
5
operkulum dan membenamkan diri dalam tanah. Keong mas menjadi aktif
kembali ketika tanah tempat hidupnya tergenang air. Keong mas dapat bertahan
hidup pada kondisi lingkungan yang keras, seperti pada perairan tercemar atau
perairan yang memiliki kandungan oksigen terlarut yang rendah. Hal ini
dikarenakan keong mas memiliki insang (ctenidium) dan organ menyerupai paru-
paru, sehingga memungkinkan keong mas dapat bertahan hidup di dalam dan di
luar air. Keong mas akan melakukan migrasi jika tinggi permukaan air hanya
setengah dari tinggi cangkangnya (DA-PhilRice 2001; Joshi 2005).
Keong mas memiliki karakteristik khusus yang dapat digunakan untuk
membedakan antara keong mas dengan keong-keong jenis lain yang hidup pada
habitat yang sama. Keong mas dewasa memiliki cangkang berwarna coklat dan
daging berwarna putih krem hingga emas kemerah-merahan atau oranye. Ukuran
tubuhnya sangat beragam dan bergantung pada ketersediaan makanan. Ukuran
diameter cangkang keong mas dapat mencapai 4 cm dengan berat 10-20 gram
(Ardhi 2008). Tahap keong mas memiliki sifat destruktif adalah ketika ukuran
cangkangnya sebesar 10 mm (sebesar biji jagung) hingga 40 mm (sebesar bola
ping pong) (DA-PhilRice 2001). Keong mas memiliki umbilicus terbuka.
Operkulum yang menutupi lubang aperture terbuat dari kitin dan merupakan
operkulum tipe konsentris (Pennak 1989).
Keong mas jantan dan betina memiliki beberapa perbedaan fisik yang
dapat dilihat langsung oleh mata biasa. Perbedaan tersebut terletak pada bentuk
operkulum dan lengkungan cangkang. Keong mas betina memiliki operkulum
berbentuk cekung (a1), sedangkan operkulum berbentuk cembung (a2) dimiliki
oleh keong mas jantan. Cangkang keong mas betina dewasa melengkung ke arah
dalam (b1), sedangkan cangkang keong mas jantan dewasa melengkung ke arah
luar (b2) (DA-PhilRice 2001). Pada sebuah sawah, jumlah keong mas betina
diduga memiliki jumlah dua kali lebih banyak. Hal ini mengindikasikan bahwa
keong mas jantan tidak memiliki daya tahan hidup selama daya tahan hidup keong
mas betina (Joshi 2005). Perbedaan antara keong mas jantan dan betina dapat
dilihat pada Gambar 2.
6
Keong mas merupakan hewan herbivora yang sangat rakus dan bersifat
nocturnal. Keong mas dapat menghancurkan semaian padi yang baru ditanam
selama masih terdapat air dalam sawah tersebut. Keong mas memotong pangkal
semaian padi muda dengan menggunakan gigi radula dan mengunyah pelepah
daun padi yang lunak (Joshi 2005). Istilah hewan herbivora tidaklah cocok bila
disematkan pada keong mas karena hewan ini juga memakan keong-keong jenis
lain, seperti Biomphalaria glabrata (Paulinyi dan Paulini 1972) dan Bulinus sp.
yang merupakan inang perantara parasit trematoda yang menyebabkan penyakit
gatal dan schistosomiasis (Sulistiono 2007), serta memiliki sifat kanibalisme,
sehingga keong mas lebih cocok dikategorikan sebagai hewan omnivora.
Keong mas biasanya bertelur pada malam hari dan menempelkan telur-
telurnya pada beberapa tanaman, daun-daunan dan benda-benda keras seperti
batu, pancang dan ranting yang tidak terendam air. Telur-telurnya berwarna
merah cemerlang, kemudian berubah menjadi merah muda cerah ketika akan
menetas. Telur-telur ini akan menetas setelah 7-14 hari (DA-PhilRice 2001).
Seekor keong mas betina dewasa mampu menghasilkan telur 50-500 butir dalam
satu kali bertelur atau 1000-1200 butir dalam sebulan. Telur-telur tersebut
mempunyai tingkat kemampuan menetas (hatching rate) hingga 80%
(DA-PhilRice 2003; Joshi 2005). Siklus hidup keong mas dapat dilihat pada
Gambar 3.
7
Daging keong mas yang akan digunakan untuk fortifikasi tepung ikan
(pakan), harus diolah terlebih dahulu menjadi tepung keong mas atau tepung siput
murbei. Hasil penelitian Kamil et al. (1998) menunjukkan bahwa tepung keong
mas memiliki kadar air 8,03-8,73%, kadar protein 65,50-70,67%, kadar lemak
1,27-1,43%, kadar abu 9,13-10,47%, kadar serat kasar 8,19-9,59%, dan kadar
garam 0,56-1,69%. Kadar asam amino esensial tepung keong mas yang paling
tinggi adalah leusin (44,8 mg/g protein) dan terendah adalah metionin
(10,54 mg/g protein). Jenis asam amino esensial yang paling defisien adalah
triptofan, sedangkan lisin yang biasanya menjadi asam amino pembatas, ternyata
pada tepung keong mas ini memiliki skor kimia yang cukup (41,29 mg/g protein)
dan tidak menjadi asam amino pembatas, sehingga dapat digunakan sebagai
suplemen pakan yang kurang lisin. Komposisi asam amino esensial pada tepung
keong mas dapat dilihat pada Tabel 2.
2.3 Antioksidan
Antioksidan adalah komponen yang dapat menunda atau mencegah
oksidasi lipid, asam nukleat, atau molekul-molekul lain, dengan cara menghambat
inisiasi atau propagasi reaksi oksidasi berantai (Wang 2006). Rohman dan
Riyanto (2005) mendefinisikan antioksidan sebagai senyawa yang dapat
menghambat reaksi radikal bebas dalam tubuh yang dapat menyebabkan penyakit
karsinogenesis, kardiovaskuler dan penuaan. Tubuh tidak memiliki sistem
pertahanan antioksidan yang berlebihan, sehingga apabila terjadi paparan radikal
11
berlebih, maka tubuh membutuhkan antioksidan eksogen (berasal dari luar tubuh)
(Waji dan Sugrani 2009).
2.3.1 Fungsi antioksidan
Antioksidan digunakan untuk melindungi komponen-komponen makanan
yang bersifat tidak jenuh (mempunyai ikatan rangkap), terutama lemak dan
minyak. Antioksidan dapat pula digunakan untuk melindungi komponen-
komponen lain seperti vitamin dan pigmen, yang juga banyak mengandung ikatan
rangkap dalam strukturnya (Siagian 2002). Musthafa dan Lawrence (2000)
menambahkan bahwa antioksidan juga pada akhirnya berfungsi untuk menetralisir
atau meredam dampak negatif dari radikal bebas.
Mekanisme kerja antioksidan pada umumnya dapat dimengerti setelah
mekanisme proses oksidasi lemak dalam bahan makanan atau pada sistem
biologis dipahami dengan baik. Oksidasi lemak terdiri atas 3 tahapan utama, yaitu
inisiasi, propagasi dan terminasi. Pembentukan radikal asam lemak, yaitu suatu
senyawa turunan asam lemak yang bersifat tidak stabil dan sangat reaktif akibat
dari hilangnya satu atom hidrogen, terjadi pada tahap inisiasi (1). Tahap
selanjutnya, yaitu propagasi, radikal asam lemak akan bereaksi dengan oksigen
membentuk radikal peroksi (2). Radikal peroksi lebih lanjut akan menyerang
asam lemak menghasilkan hidrogen peroksida dan radikal asam lemak baru (3)
(Siagian 2002). Reaksi inisiasi dan propagasi dapat dilihat pada Gambar 4.
Inisiasi : RH R + H (1)
Propagasi : R + O2 ROO
(2)
: ROO + RH ROOH + R (3)
mungkin selama periode induksi, yaitu suasana periode awal oksidasi lipid terjadi
dimana oksidasi masih berjalan secara lambat dengan kecepatan seragam
(Trilaksani 2003). Reaksi autooksidasi asam lemak dapat dilihat pada Gambar 6.
AH + AH A + AH2
Gambar 7. Reaksi antioksidan senyawa fenolik dengan radikal peroksi
(Sumber: Siagian 2002)
16
Inisiasi : R + AH RH + A
(radikal lipid)
AH + O2 A + HOO
AH + ROOH RO + H2O + A
Gambar 9. Antioksidan bertindak sebagai prooksidan pada konsentrasi tinggi
(Sumber: Trilaksani 2003)
Radikal bebas DPPH merupakan radikal sintetik yang stabil pada suhu
kamar dan larut dalam pelarut polar seperti metanol dan etanol (Molyneux 2004;
Suratmo 2009). Sifat stabil ini dikarenakan radikal bebas ini memiliki satu
elektron yang didelokalisir dari molekul utuhnya, sehingga molekul tersebut tidak
reaktif sebagaimana radikal bebas lain. Delokalisasi ini akan memberikan sebuah
warna ungu gelap dengan absorbansi maksimum pada 517 nm dalam larutan
etanol ataupun metanol (Molyneux 2004; Amrun dan Umiyah 2005; Vattem dan
Shetty 2006). Absorbansi maksimum DPPH pada panjang gelombang 517 nm
terbukti dari grafik spektra sinar tampak (360-720 nm) yang diuji oleh Amrun dan
Umiyah (2005), seperti yang terlihat pada Gambar 10.
DPPH menerima elektron atau radikal hidrogen, maka akan terbentuk molekul
diamagnetik yang stabil. Interaksi antioksidan dengan DPPH baik secara transfer
elektron atau radikal hidrogen, akan menetralkan karakter radikal bebas dari
DPPH. Jika semua elektron pada radikal bebas DPPH menjadi berpasangan,
maka warna larutan berubah dari ungu tua menjadi kuning terang dan absorbansi
pada panjang gelombang 517 nm akan hilang. Perubahan ini dapat diukur secara
stokiometri sesuai dengan jumlah elektron atau atom hidrogen yang ditangkap
oleh molekul DPPH akibat adanya zat antioksidan (Suratmo 2009). Struktur
kimia DPPH dalam bentuk radikal bebas (1) dan bentuk kompleks non radikal (2)
dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Struktur kimia radikal bebas (1) dan bentuk non radikal (2) DPPH
(Sumber: Molyneux 2004)
Ada tiga tahap reaksi antara DPPH dengan zat antioksidan, yang dapat
dicontohkan dengan reaksi antara DPPH dengan senyawa monofenolat
(antioksidan). Tahap pertama meliputi delokalisasi satu elektron pada gugus yang
tersubstitusi para dari senyawa tersebut, kemudian memberikan atom hidrogen
untuk mereduksi DPPH. Tahap berikutnya meliputi dimerisasi antara dua radikal
fenoksil, yang akan mentransfer radikal hidrogen dan akan bereaksi kembali
dengan radikal DPPH. Tahap terakhir adalah pembentukan kompleks antara
radikal aril dengan radikal DPPH. Pembentukan dimer maupun kompleks antara
zat antioksidan dengan DPPH tergantung pada kestabilan dan potensial reaksi
dari struktur molekulnya (Suratmo 2009).
Salah satu parameter yang biasa digunakan untuk menginterpretasikan
hasil dari pengujian DPPH adalah efficient concentration 50 value (EC50 value)
atau biasa dikenal dengan inhibition concentration 50 value (IC50 value). Nilai ini
dapat didefinisikan sebagai konsentrasi substrat yang dapat menyebabkan
21
berkurangnya 50% aktivitas DPPH. Semakin kecil nilai IC50 berarti aktivitas
antioksidannya semakin tinggi. Suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan
sangat kuat apabila nilai IC50 kurang dari 0,05 mg/ml, kuat apabila nilai IC50
antara 0,05-0,10 mg/ml, sedang apabila nilai IC50 berkisar antara 0,10-
0,15 mg/ml, dan lemah apabila nilai IC50 berkisar antara 0,15-0,20 mg/ml
(Blois 1958 dalam Molyneux 2004).
sebagai antioksidan yang memiliki aktivitas yang kuat. Mekanisme reaksi BHT
dengan radikal bebas dengan cara mendeaktifasi senyawa radikal tersebut dapat
dilihat pada Gambar 13.
BHT dapat menyebabkan kematian 50% (LD50) hewan uji tikus secara oral
pada konsentrasi 980 mg/kg, dan pada kelinci secara dermal sebesar 500 mg/Mild
(Scholar Chemistry 2008). Penambahan BHT dalam bahan makanan diduga dapat
menyebabkan kanker dan mutasi gen pada manusia, sehingga penggunaannya
mulai dilarang di Jepang dan negara-negara Eropa seperti Rumania, Swedia dan
Australia (Rita et al. 2009).
kompenen bioaktif akan terbebas dan larut dalam pelarut. Tahap kedua ini juga
menyebabkan membran menjadi lebih bersifat permeabel. Tahap akhir,
komponen bioaktif yang terdapat pada bagian terdalam bahan akan berdifusi
secara berlahan karena membran menjadi lebih bersifat permeabel (Beek 1999).
Metode ekstraksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstraksi tipe
solvent extraction atau ekstraksi yang menggunakan pelarut dengan metode
maserasi. Metode ini dipilih karena cukup mudah diterapkan dan murah, pelarut
yang digunakan tidak terlalu banyak, serta dapat memberikan hasil ekstrasi yang
baik dan selektif. Walaupun begitu metode ini juga memiliki kekurangan, yaitu
komponen bioaktif harus mampu larut dalam pelarut tanpa adanya pengadukan
atau pemanasan yang lambat (Beek 1999).
Proses ekstraksi yang dilakukan merupakan proses ekstraksi bertingkat
yang merupakan salah satu bentuk ekstraksi tipe solvent extraction.
Salamah et al. (2008) mendefinisikan ekstraksi bertingkat sebagai proses ekstraksi
yang dilakukan secara berturut-turut dimulai dengan pelarut non polar, pelarut
yang kepolarannya menengah (semipolar) dan pelarut polar. Pelarut-pelarut yang
dapat digunakan dalam proses ekstraksi bertingkat ini dapat dilihat pada Tabel 3.
Kekurangan dari proses ekstraksi bertingkat adalah rendemen ekstrak yang
diperoleh lebih kecil dibandingkan dengan proses ekstraksi tunggal. Hal ini
dibuktikan oleh penelitian Prabowo (2009).
pelindung tumbuhan dari serangan hama dan penyakit, pengatur tumbuh, atau
sebagai basa mineral untuk mempertahankan keseimbangan ion (Putra 2007).
Hasil penelitian Porto et al. (2009) menunjukkan bahwa komponen alkaloid pada
daun Psychotria brachyceras yaitu brachycerine, memiliki aktivitas antioksidan
dan berperan sebagai pelindung dari radiasi sinar UV (UV-B dan UV-C).
2.7.2 Steroid/triterpenoid
Triterpenoid merupakan komponen dengan kerangka karbon yang tersusun
oleh 6 unit isoprene dan dibuat secara biosintesis dari skualen (C 30 hidrokarbon
asiklik). Triterpenoid memiliki struktur siklik yang kompleks, sebagian besar
terdiri atas alkohol, aldehid, atau asam karboksilat. Triterpenoid tidak berwarna,
jernih, memiliki titik lebur tinggi dan merupakan komponen aktif yang sulit
dikarakterisasi. Pengujian yang telah digunakan secara luas untuk mendeteksi
triterpenoid adalah dengan pereaksi Liebermann-Burchard, yang memberikan
warna biru-hijau pada triterpenoid dan steroid. Triterpenoid dapat digolongkan
menjadi 4 grup komponen, yaitu triterpenoid sebenarnya, steroid, saponin
dan cardiac glycoside. Triterpenoid umumnya memiliki rasa yang pahit
(Harborne 1984). Hasil penelitian Setzer (2008) menunjukkan bahwa sejumlah
produk triterpenoid alami memiliki aktivitas antitumor karena memiliki
kemampuan menghambat kinerja enzim topoisomerase II, dengan cara berikatan
dengan sisi aktif enzim yang nantinya akan mengikat DNA dan membelahnya.
Hal ini menyebabkan enzim menjadi terkunci dan tidak dapat mengikat DNA.
Steroid merupakan golongan triterpena yang tersusun atas sistem cincin
cyclopetana perhydrophenanthrene. Steroid pada mulanya dipertimbangkan
hanya sebagai komponen pada substansi hewan saja (sebagai hormon seks, asam
empedu, dan lain sebagainya), akan tetapi akhir-akhir ini steroid juga ditemukan
pada substansi tumbuhan (Harborne 1984). Prekursor pembentukan steroid
adalah kolesterol atau fitosterol. Menurut Bose et al. (1997), profil steroid yang
terdapat pada hemolimfa Achatina fulica (salah satu jenis gastropoda hermaprodit
air tawar) meliputi progesterone, 17--estradiol, testosterone, 4-androstene-dione
dan cortisol. Progesterone terkandung lebih banyak pada fase jantan dan
menurun pada fase betina, dimana saat itu laju konversi kolesterol menjadi
17--estradiol dan 4-androstene-dione lebih tinggi dibandingkan dengan profil
27
steroid yang lain. Jumlah steroid yang terdapat pada hemolimfa ini diyakini
sebagai hasil mekanisme biosintesis aktif dari gastropoda tersebut. Sumber dari
steroid reproduksi ini jelas berasal dari gonad dan kelenjar reproduksi tambahan.
Hasil penelitian Silva et al. (2002) menunjukkan bahwa komponen steroid
yang diekstrak dari daun Agave attenuata memiliki aktivitas anti-inflamasi,
walaupun aktivitas ini diikuti dengan efek hemolitik yang tidak diinginkan.
Komponen steroid dapat meningkatkan aktivitas hemolitik karena steroid
memiliki afinitas lebih tinggi dari kolesterol pada membran eritrosit.
2.7.3 Flavonoid
Flavonoid merupakan golongan terbesar dari senyawa polifenol, karena itu
larutan ekstrak yang mengandung komponen flavonoid akan berubah warna jika
diberi larutan basa atau ammonia. Flavonoid mengandung sistem aromatik
konjugasi dan dapat menunjukkan pita penyerapan yang kuat pada spektrum
wilayah UV dan sinar tampak (Harborne 1984; Astawan dan Kasih 2008).
Flavonoid umumnya merupakan komponen larut air (polar). Komponen
ini dapat diekstrak dengan etanol 70% dan tertinggal pada lapisan aqueous, diikuti
dengan pemisahan ekstrak menggunakan petroleum ether. Flavonoid pada
tanaman berikatan dengan gula sebagai glikosida dan adapula yang berada dalam
aglikon. Flavonoid dapat dikelompokan menjadi 9 kelas, yaitu anthosianin,
proanthosianidin, flavonol, flavon, glikoflavon, biflavonil, chlacone dan aurone,
flavanon, serta isoflavon (Harborne 1984). Komponen flavonoid pada tanaman
yang dikonsumsi oleh hewan herbivora, dapat tersimpan dalam tubuh hewan
tersebut. Contohnya adalah quercetin yang tersimpan dalam sayap kupu-kupu
setelah melewati proses pencernaan makanan (Harborne 1999).
Flavonoid sangat efektif untuk digunakan sebagai antioksidan (Astawan
dan Kasih 2008). Hal ini terbukti dari hasil penelitian Bernardi et al. (2007) yang
menunjukkan bahwa seluruh komponen flavonoid yang diisolasi dari Hypericum
ternum memiliki aktivitas antioksidan, walaupun kapasitas peredaman radikal
bebas DPPH oleh masing-masing komponen flavonoid tersebut berbeda-beda.
Komponen flavonoid tersebut merupakan turunan dari quercetin (dari yang terkuat
ke yang paling lemah), yaitu guaijaverin, hyperoside, isoquercitrin dan quercetin-
3-metil-eter.
28
2.7.8 Peptida
Peptida merupakan ikatan kovalen antara dua atau lebih molekul asam
amino melalui suatu ikatan amida substitusi. Ikatan ini dibentuk dengan menarik
unsur H2O dari gugus karboksil suatu asam amino dan gugus -amino dari
molekul lain, dengan reaksi kondensasi yang kuat. Dua molekul asam amino
yang diikat oleh sebuah ikatan peptida disebut dipeptida, tiga molekul asam amino
yang diikat oleh dua ikatan peptida disebut tripeptida, dan begitu seterusnya.
Istilah oligopeptida digunakan untuk kelompok yang memiliki 10 residu asam
amino. Jika terdapat banyak asam amino yang bergabung dengan cara demikian,
maka akan menghasilkan struktur yang disebut polipeptida. Transisi dari
polipeptida menjadi protein tidak banyak dijelaskan, tetapi batasan pengertian
protein umumnya diasumsikan sebagai rantai peptida yang memiliki berat
molekul sekitar 10 kDa atau mengandung kurang lebih 100 residu asam amino
(Lehninger 1988; Belitz et al. 2009).
Peptida dengan panjang bermacam-macam dibentuk oleh hidrolisis
sebagian dari rantai polipeptida yang panjang dari protein, yang dapat
mengandung ratusan asam amino (Lehninger 1988). Pembentukan ikatan peptida
memerlukan banyak energi, sedangkan untuk hidrolisis praktis tidak memerlukan
energi. Reaksi keseimbangan ini lebih cenderung untuk berjalan ke arah hidrolisis
daripada sintesis (Winarno 2008).
Beberapa peptida menunjukkan aktivitas biologis yang nyata. Salah
satunya adalah peptida pendek enkefalin, hormon yang dibentuk dalam pusat
sistem syaraf. Hormon ini berperan sebagai analgesik alami dalam tubuh yang
dapat meniadakan rasa sakit ketika molekul-molekul ini berikatan dengan reseptor
spesifik pada sel tertentu dalam otak, yang biasanya berikatan dengan morfin,
heroin dan jenis candu lainnya (Lehninger 1988). Hasil penelitian
Kannan et al. (2009) menunjukkan bahwa hidrolisat peptida dari kulit padi yang
memiliki berat molekul < 5 kDa memiliki aktivitas antikanker. Fraksi peptida
tersebut memiliki nilai IC50 sekitar 750 ppm setelah diujikan pada sel kanker
kolon (HCT-116) dan sel kanker payudara (HTB-26).
33
Perbedaan antar asam amino alami, hanya terletak pada gugus rantai R
yang berikatan dengan atom -karbon. Sifat-sifat fisiko-kimia dari asam amino,
seperti kelarutan, reaksi kimia, pontensial ikatan hidrogen, sangat bergantung
pada gugus rantai R tersebut (Fennema 1996). Gugus rantai R ini dapat berupa
alifatik, aromatik, residu heterosiklik, atau gugus fungsional lainnya yang
berikatan (Belitz et al. 2009).
Asam amino dalam kondisi netral (pH isolistrik) berada dalam bentuk ion
dipolar atau disebut juga zwitter ion. Pada asam amino yang dipolar, gugus amino
mendapat tambahan sebuah proton dan gugus karboksil terdisosiasi. Derajat
ionisasi dari asam amino sangat dipengaruhi oleh pH. Gugus karboksilnya tidak
terdisosiasi, sedangkan gugus aminonya menjadi ion pada pH yang rendah
(misalnya pH 1,00). Gugus karboksil terdisosiasi pada pH tinggi (misalnya
pH 11,00), sedangkan gugus aminonya tidak (Winarno 2008).
Asam amino dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat interaksi gugus
rantai R dengan air menjadi dua kelompok besar (Fennema 1996;
Belitz et al. 2009), yaitu:
34
1) Asam amino polar (hidrofilik), yaitu asam amino yang larut dalam air dan
dibedakan menjadi asam amino polar bermuatan (Arg, Asp, Glu, His dan
Lys), serta asam amino polar tak bermuatan (Ser, Thr, Asn, Gln dan Cys).
2) Asam amino non polar (hidrofobik), yaitu asam amino yang memiliki
tingkat kelarutan terbatas dalam air. Asam amino ini memiliki gugus
rantai R alifatik (Ala, Ile, Leu, Met, Pro dan Val) atau aromatik (Phe, Trp
dan Tyr).