PEMBAHASAN Sampel Bahan Baku
PEMBAHASAN Sampel Bahan Baku
PEMBAHASAN Sampel Bahan Baku
Dari tabel diatas dapat diperoleh hasil bahwa sampel mempunyai kelarutan
yang sesuai dengan standar yang ada di Farmakope Indonesia, yaitu mudah larut
dalam etanol, dan larut dalam kloroform.
Teknik yang digunakan adalah teknik KBr pellet, dimana padatan sampel
digerus dalam mortal kecil bersama padatan dengan kristal KBr kering. Pertama-
tama yang dilakukan adalah membuat blanko KBr dengan menimbang dan
menggerus KBr sebanyak 250 mg. Penggerusan ini dilakukan untuk mengecilkan
ukuran partikel hingga kurang lebih 1-2 m. Setelah selesai digerus, dibuatlah
pellet KBr dengan alat hidrolik. Pellet dibuat dengan cara mengisi cetakan dengan
rata dan kompresikan oleh alat penekan hidrolik dengan tekanan lebih kurang 60
Kn selama 5 menit. Hubungkan pula dengan pompa vakum untuk membuang sisa
CO2 atau keberadaan udara pada KBr yang dapat mempengaruhi hasil. Pada saat
mengeluarkan pelet dari cetakan dan memasukkannya ke dalam spektrofotometer
IR harus menggunakan pinset untuk menghindari kontaminasi. Selanjutnya pelet
dianalisis menggunakan spektrometer IR untuk mendapatkan spektrum blanko.
Kemudian dilakukan analisis terhadap sampel. Ditimbang 5 mg sampel yang
sudah dikeringkan dan 250 mg KBr. Sampel perlu dikeringkan dalam oven selama
3-4 jam untuk menghilangkan air yang terkandung dalam sampel. Sampel tidak
boleh mengandung air karena akan menghasilkan spektrum yang menggganggu
hasil pembacaan analisis. Setelah sampel dan KBr selesai digerus, kemudian pelet
dicetak. Pellet dibuat dengan cara mengisi cetakan dengan rata dan kompresikan
oleh alat penekan hidrolik dengan tekanan lebih kurang 60 Kn selama 5 menit.
Hubungkan pula dengan pompa vakum untuk membuang sisa CO2 atau
keberadaan udara pada KBr yang dapat mempengaruhi hasil. Setelah itu cakram
diletakkan pada spektrofotometer menggunakan pinset agar tidak terkontaminasi.
Pellet cuplikan tipis tersebut kemudian dinetralkan di tempat sel spektrofotometer
IR dengan lubang mengarah ke dalam radiasi.
1 1 = 2 2
Sehingga untuk mendapatkan larutan 100 mL H2SO4 0,5 N, diperlukan 1,4 mL
H2SO4 pekat.
Setelah larutan NaOH 0,5 N dan H2SO4 0,5 N selesai dibuat, proses titrasi
balik dapat dimulai. Pertama, ditimbang 1,5 gram sampel lalu dilarutkan dengan
50 mL NaOH 0,5 N di dalam beaker glass. Kemudian didihkan campuran secara
perlahan selama 10 menit untuk mempercepat terjadinya reaksi antara NaOH
dengan asetosal. Setelah dipanaskan, ke dalam larutan ditambahkan indicator
fenolftalein sebanyak 1-2 tetes. Indicator digunakan untuk mendeteksi titik akhir
dari titrasi. Setelah ditambahkan fenolftalein Fenolftalein sendiri akan
memberikan warna jika berada di pH 8,4-10,4. Karena pada larutan sampel yang
telah ditambahkan NaOH terdapat kelebihan NaOH yang tidak bereaksi dengan
sampel, larutannya pun berwarna ungu. Selanjutnya kelebihan NaOH dalam
larutan sampel dititrasi dengan menggunakan H2SO4 0,5 N.
sehingga, dari kesetaraan di atas diperoleh nilai kadar asetosal sebesar 99,39 %.
Dari hasil ini dapat dinyatakan bahwa sampel asetosal tidak memenuhi
persyaratan Farmakope Indonesia, dimana syarat kadar asetosal berada pada 99,5
% 100,5 %. Hal ini dapat terjadi karena bahan asetosal yang digunakan
mungkin telah terkontaminasi zat lain selama penyimpanan.
Dalam praktikum kali ini, seharusnya juga dilakukan uji batas logam berat
yang terkandung di dalam sampel bahan baku. Uji batas logam berat adalah uji
yang dimaksudkan untuk mengetahui bahwa cemaran logam yang direaksikan
dengan ion sulfida menghasilkan warna pada kondisi penetapan dan tidak
melebihi batas logam berat yang tertera pada monografi, dinyatakan dalam %
(bobot) timbal dalam zat uji. Untuk pengujian batas logam berat menurut
Farmakope Indonesia edisi IV dilakukan dengan cara melarutkan 2 gram asetosal
ke dalam 25 ml aseton dan ditambahkan 1 ml air dan 10 ml hidrogen sulfide,
dimana kompleks warna yang terbentuk tidak lebih gelap dari pembanding yang
dibuat dari dari 25 ml aseton P, 2 ml larutan baku timbal dan 10 ml hidrogen
sulfida. Nilai batas logam yang dipersyaratkan dalam monografi asetosal di
Farmakope Indonesia adalah tidak lebih dari 10 bpj. Namun,dalam penelitian kali
ini tidak dilakukan pengujian batas logam berat karena tidak adanya alat dan
bahan yang menunjang untuk uji tersebut.
KESIMPULAN