Anda di halaman 1dari 6

Repositori FMIPA Jurnal Ilmiah Biosaintropis Vol. 1 No.1 Januari.

Unisma 2013 ISSN 2338-2805 (print) Pratiwi:1-5

Uji Hormon NAA dan BAP dalam Medium MS untuk Pertumbuhan Eksplan
Alfalfa (Medicago sativa L) dari Berbagai Sumber Eksplan
UNISMAUNISMA

Endang Pratiwi1, Tintrim Rahayu2


2
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Islam Malang
1
Email: cinta_kakbah@yahoo.co.id

ABSTRAK
FMIPA FMIPA

Alfalfa (Medicago sativa L) merupakan tanaman yang mengandung klorofil tinggi.


Perbanyakan tanaman ini masih mengalami hambatan diantaranya benih harus impor dari luar negeri.
Perbanyakan tanaman tersebut dapat melalui kultur jaringan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh penggunaan hormon NAA dan BAP terhadap pertumbuhan kalus dan tunas
alfalfa (Medicago sativa L) serta untuk menentukan konsentrasi hormon NAA dan BAP terhadap
pertumbuhan kalus dan tunas alfalfa (Medicago sativa L). Rancangan dalam penelitian ini
menggunakan metode eksperimen dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 16
perlakuan dengan 3 kali ulangan. Data yang diperoleh di analisis secara deskriptif dan ANOVA,
dengan uji BNT 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan hormon NAA dan BAP
Repositori

memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan kalus maupun tunas alfalfa (Medicago sativa L)
baik dari eksplan epikotil dan hipokotil. Hormon yang optimal untuk menghasilkan kalus yaitu BAP 1,5
ppm NAA 3 ppm, sedangkan untuk menghasilkan tunas yaitu BAP 1 ppm NAA 0 ppm.

Kata kunci : konsentrasi NAA dan BAP, kalus, tunas, hipokotil, epikotil
Repositori
Repositori FMIPA Unisma Jurnal Ilmiah Biosaintropis Vol. 1 No.1 Januari.
2013 ISSN 2338-2805 (print) Pratiwi:1-5

PENDAHULUAN salah satu metode perbanyakan secara vegetatif


yang dapat menghasilkan bibit dalam jumlah
UNISMA

Alfalfa (Medicago sativa L) merupakan banyak dalam waktu relatif cepat, memiliki sifat
Leguminosae yang berkhasiat menyembuhkan yang sama dengan induknya, dan menghasilkan
penyakit kanker, diabetes, lupus, dan hepatitis. tanaman yang unggul yaitu tahan terhadap
Alfalfa dikenal sebagai penghasil klorofil yang penyakit, perakaran kuat, bentuk morfologinya
digunakan sebagai bahan suplemen makanan. baik dan dapat berbuah lebat (Wijayanti dan
Klorofil adalah molekul organik pada tumbuhan Hendaryono, 1994)[4]. Mikropropagasi atau
dengan struktur seperti haemoglobin pada perbanyakan secara in vitro dapat dilakukan
UNISMA

manusia, yang dapat meningkatkan ketahanan dengan perbanyakan tunas dari eksplan berupa
tubuh. Alfalfa juga mengandung karotenoid, asam mata tunas atau meristem, namun dapat pula
amino, flavonoid, fito-estrogen, dan saponin. terjadi secara tidak langsung melalui
Manfaat alfalfa lainnya adalah sebagai pakan pembentukan kalus dari jaringan vegetatif,
FMIPAFMIPA

ternak dan penghasil minyak (Peretty dan Horne, misalnya hipokotil. Selanjutnya kalus terbentuk
2007)[1]. dapat dirangsang untuk berdiferensiasi menjadi
Di Indonesia, tanaman ini belum planlet (Hartman et al., 19905; Suryowinoto,
dibudidayakan. Alfalfa diimpor dalam bentuk 19966) .
kecambah dan produk suplemen dari Amerika, Menurut Evans et al. (2003)7, induksi
Cina, atau negara-negara Arab. Hanya beberapa kalus dipengaruhi oleh rasio auksin dan sitokinin
herbalis Indonesia yang sudah mengoleksi yang seimbang, sehingga diperlukan kombinasi
tanaman ini sebagai tanaman hias atau sebagai yang tepat agar dapat menginduksi pembentukan
bahan baku obat. Beberapa herbalis menyatakan kalus yang optimal. Hartman et al., 19905;
Repositori

bahwa tanaman ini cukup menjanjikan sebagai Suryowinoto, 1996 [6] bahwa perbanyakan dari
tanaman obat, sehingga perlu dimasukkan ke eksplan berupa hipokotil akan menghasilkan kalus
dalam khasanah pengobatan di Tanah Air dan perbanyakan dari eksplan berupa epikotil
(Rahmayanti dan Sitanggang, 2006) [2]. akan menghasilkan tunas.
Secara umum perbanyakan tanaman Berdasarkan hal tersebut di atas, pada
berdasarkan perkembangan siklus hidupnya dapat penelitian ini dilakukan pemberian kombinasi
digolongkan menjadi dua, yaitu : perbanyakan ZPT, yaitu antara NAA dan BAP untuk
Repositori

seksual dan perbanyakan aseksual. Pada mengetahui kombinasi konsentrasi yang tepat
perbanyakan melalui siklus seksual tanaman baru dalam menginduksi kalus dan tunas yang optimal
muncul sebagai penggabungan dua gamet dari eksplan hipokotil dan epikotil alfalfa.
induknya dan berkembang melalui biji. Pada
perbanyakan kasus anakan baru akan BAHAN DAN CARA KERJA
menunjukkan variasi genetik yang besar, akibat
kombinasi-kombinasi baru selama meiosis. Penyediaan eksplan
Berbeda sekali dengan perbanyakan secara Eksplan yang digunakan adalah hipokotil dan
aseksual, perbanyakan vegetatif masih mampu epikotil alfalfa (Medicago sativa L.), yang diambil
mempertahankan karakter unik dari individu dari kecambah alfalfa aseptik umur 8 hari.
tanaman (tanaman induk, tanaman stok, atau
ortet) melalui pertumbuhan dan perbanyakan sel- Induksi Kalus dan tunas
sel dimana gen-gennya dikopi melalui
pembelahan mitosis. Namun dapat pula terjadi Hipokotil dan epikotil dipotong sepanjang
sebagian dari tanaman baru (atau rawet) yang 1 cm, kemudian di tanam dalam botol-botol kultur
diproduksi dengan metode ini menunjukkan suatu sesuai dengan 16 macam perlakuan media MS,
individu yang berbeda dengan galur sel setiap satu botol berisi satu potong eksplan.
somatiknya akibat terjadi mutasi. Hal seperti ini Variabel yang diamati adalah morfologi kalus,
umumnya terjadi pada penggunaan kalus yang tekstur kalus, warna kalus, respon callogenesis,
telah berumur (long time callus) (Santoso dan respon organogenesis, penambahan volume kalus
Nursandi, 2001) [3]. dan tinggi tunas.
Perbanyakan tanaman secara seksual
melalui kultur in vitro (Santoso dan Nursandi,
2001)[3]. Perbanyakan secara in vitro merupakan
Repositori FMIPA Jurnal Ilmiah Biosaintropis Vol. 1 No.1 Januari.
Unisma 2013 ISSN 2338-2805 (print) Pratiwi:1-5

HASIL DAN PEMBAHASAN rata-rata 7 daun. BAP 0 ppm dan NAA 3 ppm,
menghasilkan pertumbuhan tunas dengan tinggi
Morfologi Kalus dan Morfologi Tunas, Respon tunas rata-rata 23,5 mm serta menghasilkan daun
Callogenesis dan Respon Organogenesis Hasil rata-rata 3,5 daun. Perbedaan ini disebabkan
Kultur dengan Penggunaan Hormon NAA dan karena faktor eksogen, dimana BAP dalam
BAP pada Berbagai Konsentrasi. konsentrasi kecil mampu menghasilkan tunas
sedangkan NAA dalam konsentrasi besar baru
Pertumbuhan kalus, menunjukkan bahwa mampu menghasilkan daun dan tunas (Katuuk,
pertumbuhan dapat terjadi pada semua macam 1989)[10] seperti yang terlihat dalam gambar 1.
Repositori FMIPA UNISMA

perlakuan yang menggunakan sumber eksplan Eksplan hipokotil dan epikotil yang
dari hipokotil tetapi tidak menunjukkan digunakan pada penelitian ini mempunyai umur
pertumbuhan kalus pada eksplan yang bersumber yang masih muda (8 hari) dan kondisi yang sehat,
dari epikotil. Hal ini mungkin dikarenakan karena eksplan diisolasi dari biji alfalfa yang
beberapa faktor yang menghambat pertumbuhan dikecambahkan secara aseptis. Eksplan yang
kalus di antaranya : penggunaan sumber eksplan muda, sel-selnya bersifat meristematis sehingga
juga mempengaruhi hasil kultur. Eksplan berupa masih aktif membelah. Kesehatan eksplan juga
hipokotil akan menghasilkan kalus dan eksplan
berupa epikotil akan menghasilkan tunas
(Hartman et al., 19905; Suryowinoto, 19966) dan
mungkin juga dikarenakan penambahan hormon
eksogen tidak berpengaruh terhadap jumlah dan
kerja hormon endogen untuk mendorong
pertumbuhan dan perkembangan eksplan
[8] a b
(Gunawan, 1988) .
Faktor-faktor di atas juga terjadi pada
pertumbuhan tunas, dimana pertumbuhan tunas
hanya terjadi pada eksplan yang bersumber dari
epikotil dengan penambahan BAP 1 ppm NAA 0
ppm, BAP 1.5 ppm dan NAA 0 ppm, BAP 0 ppm
dan NAA 3 ppm. Hal ini dikarena eksplan epikotil
membutuhkan waktu yang lama untuk
menghasilkan tunas dan disebabkan adanya
pengaruh apical dominan yaitu dominan pucuk
yang diakibatkan konsentrasi auksin yang tinggi c d
pada meristem pucuk (Salissbury dan Roos,
1992)[9], dimana tunas epikotil menghambat
pembentukan tunas axilar sehingga perlu
penambahan NAA dan BAP tinggi. Pertumbuhan Gambar 1. Pertumbuhan Tunas Alfalfa dari
tunas pada perlakuan media BAP 1 ppm NAA 0 sumber eksplan epikotil (a), dalam perlakuan
ppm, BAP 1.5 ppm dan NAA 0 ppm, media BAP 1 ppm, NAA 0 ppm(b), BAP 1,5 ppm,
menunjukkan fungsi sitokinin yaitu memacu NAA 0 ppm(c), dan BAP 0 ppm, NAA 3 ppm(d)
pertumbuhan tunas, begitu juga dengan perlakuan
media BAP 0 ppm dan NAA 3 ppm menunjukkan
fungsi auksin juga bisa memacu pertumbuhan berpengaruh pada kondisi fisiologis sel dan
tunas tetapi dengan konsentrasi tinggi (Katuuk, proses-proses yang ada di dalamnya. Eksplan
1989) [10]. yang sehat, proses-proses fisiologisnya akan jauh
Pengaruh penggunaan hormon NAA dan lebih baik. Chawla (2003)[11] menyatakan bahwa
BAP terhadap pertumbuhan tunas di semua eksplan yang berasal dari jaringan muda dan sehat
perlakuan berbeda. BAP 1 ppm dan NAA 0 ppm, umumnya lebih responsif dalam kultur in vitro,
menghasilkan pertumbuhan tunas dengan tinggi sehingga proses regenerasi sel dapat berlangsung
tunas ratarata 32 mm serta menghasilkan daun cepat.
rata-rata 1,5 daun. BAP 1,5 ppm dan NAA 0 ppm, Hasil pengamatan morfologi kalus di atas
menghasilkan pertumbuhan tunas dengan tinggi terdapat warna dan tekstur yang berbedabeda.
tunas rata-rata 22,5 mm serta menghasilkan daun Tekstur kalus ini menunjukkan variasi akibat
Repositori FMIPA Unisma Jurnal Ilmiah Biosaintropis Vol. 1 No.1 Januari.
2013 ISSN 2338-2805 (print) Pratiwi:1-5

perlakuan hormon yang berbeda. Kalus warna suatu media, perlu dipindahkan secara teratur
kuning, hampir terbentuk di semua media dalam waktu tertentu. Masa kultur yang panjang
perlakuan NAA dan BAP yang konsentrasinya di dalam media yang tetap akan menyebabkan
bawah 1 ppm. Tekstur kalus remah, juga hampir terjadinya kehabisan unsur hara dan air. Selain itu
terbentuk di semua media perlakuan NAA tanpa selsel dalam kalus juga mengeluarkan
penambahan BAP. Warna kuning pada kalus persenyawaanpersenyawaan hasil metabolisme
diduga merupakan pigmen antosantin (Evans et yang menghambat pertumbuhan kalus itu sendiri.
al., 2003)[7]. Pigmen antosantin ini adalah Contoh hasil senyawa metabolik sekunder yaitu
senyawa fenol dari kelompok flavonoid. Senyawa fenol. Jika fenol yang terbentuk mengalami
Repositori FMIPA UNISMA

fenol yang terbentuk pada kalus dalam penelitian oksidasi maka akan menyebabkan warna coklat
ini merupakan bentuk respon eksplan terhadap pada kalus (Pierik, 1987)[12]. Seperti gambar 2.
luka. Luka pada kedua ujung hipokotil karena Senyawa fenol yang muncul pada kalus
pengirisan akan memacu eksplan untuk akan bersifat toksik bagi sel apabila dalam
melakukan usaha untuk pertahanan diri. Usaha konsentrasi yang berlebihan, yang akan
tersebut dilakukan dengan meningkatkan aktifitas menghambat pertumbuhannya. Produksi senyawa
metabolik sehingga dihasilkan senyawa metabolik fenol yang terbatas pada eksplan ataupun kalus
sekunder yaitu fenol. Jika fenol yang terbentuk masih dapat ditoleransi. Namun apabila senyawa
mengalami oksidasi maka akan menyebabkan fenol sudah menyebabkan pencoklatan pada
warna coklat pada kalus (Pierik, 1987)[12]. Tekstur media tanam, hal ini dapat menghambat
kalus yang remah sejalan dengan perkembangan pertumbuhan eksplan yang mengakibatkan
kalus yang menunjukkan terjadinya poliferasi kematian kultur (Robbiani, 2010) [14].
massa sel dalam kalus (Khrisnamoorthy, 1981)[13].
Pertumbuhan Kalus
Penggunaan hormon NAA dan BAP pada
berbagai konsentrasi memberikan pengaruh nyata
terhadap pertumbuhan kalus alfalfa. Kalus pada
semua media perlakuan menunjukkan perbedaan
volume.
a b
Tabel 1. Volume Kalus Dari Eksplan Hipokotil (mm)
pada Berbagai Media Perlakuan
No. Konsentrasi (ppm) Rataan
1 B0 N0 2,01 e
2 B1 N0 1,82 c
c d 3 B2 N0 1,03 b
4 B3 N0 0,88 a
Gambar 2. Pertumbuhan Kalus dan contoh hasil 5 B0 N1 2,07 g
morfologi kalus (tektur dan warna) dari sumber 6 B1 N1 2,03 f
eksplan hipokotil(a), warna kalus kuning dengan
7 B2 N1 2,52 n
tekstur remah(b), cokelat dengan tektur
kompak(c), dan kuning dengan tekstur remah(d). 8 B3 N1 2,44 m
9 B0 N2 2,52 n
10 B1 N2 2,39 k
Sedangkan kalus warna cokelat dengan
11 B2 N2 2,11 h
tekstur kompak hanya terbentuk pada media
perlakuan BAP 1 ppm NAA 0 ppm dan BAP 1.5 12 B3 N2 2,21 i
ppm NAA 0 ppm. Warna coklat pada kalus, 13 B0 N3 2,32 j
menandakan bahwa kalus telah mengalami fase 14 B1 N3 2,4 l
penuaan. Fase ini terjadi setelah fase Linier : fase 15 B2 N3 1,99 d
dimana sel mulai lambat berkembang sebab mulai
kehabisan makanan (Katuuk, 1989)[10]. Menurut 16 B3 N3 3,11 o
Gunawan (1988)[8] kalus yang ditumbuhkan pada
Repositori FMIPA Jurnal Ilmiah Biosaintropis Vol. 1 No.1 Januari.
Unisma 2013 ISSN 2338-2805 (print) Pratiwi:1-5

Sedangkan volume kalus dari eksplan Tabel 3. Tinggi Tunas Epikotil (mm)
epikotil dengan KT Galat 0, sehingga tidak bisa di No Konsentrasi (ppm) Rataan
lanjutkan ke uji BNT 5%.
1 B0 N0 0,71 a
2 B1 N0 1,09 b
3 B2 N0 1,45 e
Tabel 2. Volume Kalus Dari Eksplan Epikotil
(mm) pada Berbagai Media Perlakuan 4 B3 N0 1,44 d
No Konsentrasi (ppm) Rataan 5 B0 N1 0,71 a
Repositori FMIPA UNISMA

1 B0 N0 0,71 a 6 B1 N1 0,71 a
2 B1 N0 0,71 a 7 B2 N1 0,71 a
3 B2 N0 0,71 a 8 B3 N1 0,71 a
4 B3 N0 0,71 a 9 B0 N2 0,71 a
5 B0 N1 0,71 a 10 B1 N2 0,71 a
6 B1 N1 0,71 a 11 B2 N2 0,71 a
7 B2 N1 0,71 a 12 B3 N2 0,71 a
8 B3 N1 0,71 a 13 B0 N3 1,15 c
9 B0 N2 0,71 a 14 B1 N3 0,71 a
10 B1 N2 0,71 a 15 B2 N3 0,71 a
11 B2 N2 0,71 a 16 B3 N3 0,71 a
12 B3 N2 0,71 a
13 B0 N3 0,71 a Tabel 4. Tinggi Tunas Hipokotil (mm)
14 B1 N3 0,71 a No Konsentrasi (ppm) Rataan
15 B2 N3 0,71 a 1 B0 N0 0,71 a
16 B3 N3 0,71 a 2 B1 N0 0,71 a
3 B2 N0 0,71 a
4 B3 N0 0,71 a
5 B0 N1 0,71 a
Pertumbuhan Tunas
6 B1 N1 0,71 a
Penggunaan hormon NAA dan BAP pada 7 B2 N1 0,71 a
berbagai konsentrasi memberikan pengaruh nyata 8 B3 N1 0,71 a
terhadap pertumbuhan tunas yang dilihat dari hasil 9 B0 N2 0,71 a
pengukuran tinggi tunas.
10 B1 N2 0,71 a
Sedangkan tinggi tunas dari eksplan hipokotil
dengan KT Galat 0, sehingga tidak bisa di 11 B2 N2 0,71 a
lanjutkan ke uji BNT 5%. Adapun pertumbuhan 12 B3 N2 0,71 a
tunas hipokotil alfalfa dapat dilihat pada tabel 13 B0 N3 0,71 a
dibawah ini. 14 B1 N3 0,71 a
Berdasarkan beberapa gambar histogram
diatas menunjukkan bahwa hormon endogen saja 15 B2 N3 0,71 a
tidak cukup untuk pertumbuhan sehingga 16 B3 N3 0,71 a
diperlukan hormon eksogen, terutama pada kultur
jaringan. Oleh karena itu, pemberian zat pengatur
tumbuh harus sesuai jenis dan konsentrasinya KESIMPULAN
karena akan mempengaruhi pertumbuhan eksplan
(Santi dan Kusumo, 1996) [15]. 1. Penggunaan hormon NAA dan BAP
berpengaruh nyata terhadap morfogenesis
eksplan tanaman alfalfa yaitu menghasilkan
kalus disemua perlakuan dengan sumber
eksplan dari hipokotil dan menghasilkan tunas
Repositori FMIPA Unisma Jurnal Ilmiah Biosaintropis Vol. 1 No.1 Januari.
2013 ISSN 2338-2805 (print) Pratiwi:1-5

di perlakuan BAP 1 ppm NAA 0 ppm , BAP [12] Pierik, R.L.M. 1987. In Vitro Culture Of
1.5 ppm NAA 0 ppm, dan BAP 0 ppm NAA 3 Higher Plant. Martinus Nijhoff Publ. Boston.
ppm dengan sumber eksplan dari epikotil 344p.
2. Penggunaan hormon NAA dan BAP yang [13]Krishnamoorthy HN. 1981. Plant Growth
optimal untuk menghasilkan kalus yaitu BAP Subtances Including Application in Agriculture.
1.5 ppm NAA 3 ppm, sedangkan untuk Tata Mc. Graw. Hill, Publishing Co. Ltd. New
menghasilkan tunas yaitu BAP 1 ppm NAA 0 York. 50p.
ppm [14] Robbiani, D. 2010. Pengaruh NAA dan
Kinetin Pada Kultur In Vitro Ekspln Daun
Repositori FMIPA UNISMA

DAFTAR PUSTAKA Tembakau. Institut Teknologi Sepuluh Nopember


(ITS). Surabaya.
[1] Peretty, P and S. Horne. 2007. Alfalfa [15] Santi, A dan Kusumo. 1996. Komposisi
Medicago sativa. Natures Field 23 (6): 1. Media Tumbuh yang Cocok untuk Perbanyakan In
http://www.treelite.com/NF/2007/07/PetHealth.pd Vitro Bromelia. Jurnal Hortikultura 5(5): 94-98.
f. (3 Juli 2012)
[2] Rahmayanti, E dan M. Sitanggang. 2006.
Taklukkan Penyakit dengan Klorofil Alfalfa. PT
Agromedium Pustaka. Jakarta.
[3] Santoso, U dan Nursandi, F. 2001. Kultur
Jaringan Tanaman. Universitas Muhammadiyah
Malang (UMM). Malang.
[4] Wijayanti dan Hendaryono,D.P. 1994. Teknik
Kultur Jaringan. Kanisius. Yogyakarta.
[5] Hartman, H T., D E. Kester, and F T. Davies.
1997. Plant Propagation Principle and Practicer
Fifth edition. Prentice-Hall international. New
Jersey
[6] Suryowinoto, M. 1996. Pemuliaan Tanaman
Secara In vitro. Kanisius, Yogyakarta.
[7] Evans, D.E., J.O.D. Coleman, and A. Keams.
2003. Plant Cell Culture. BIOS Scientific
Publisher. New York.
[8] Gunawan,L.W 1988. Teknik Kultur Jaringan
Tumbuhan. Laboratorium Kultur Jaringan
Tumbuhan PAU Bioteknologi. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
[9] Mastuti,R dan Widoretno,W. 2010. Petunjuk
Praktikum Kultur Jaringan Tumbuhan.
Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan Jurusan
Biologi Fakultas MIPA Universitas Brawijaya
Malang. Malang.
[10] Katuuk, 1989. Teknik Kultur Jaringan
Dalam Mikropropagasi Tanaman. P2LPTK.
Jakarta
[11] Chawla H.S. 2003. Plani Biotechnology. A
Practical Approach Science Publisher, Inc. USA

Anda mungkin juga menyukai