Anda di halaman 1dari 11

Abses Periodontal

Copas from babybuntal, Author Dini Erha

Klasifikasi Abses
Abses periodontal adalah suatu inflamasi purulen terlokalisir pada jaringan periodontal. Yang
diklasifikasikan menjadi tiga golongan diagnostik, yaitu: abses gingiva, abses periodontal, dan abses
perikoronal. Abses gingiva melibatkan jaringan interdental dan marginal gingiva. Abses periodontal
adalah suatu infeksi yang terletak di sekitar poket periodontal serta dapat mengakibatkan kerusakan
ligamentum periodontal dan tulang alveolar. Abses perikoronal disebabkan oleh mahkota gigi yang
erupsi sebagian.
Abses periodontal

Gambar 48-1. A, Invasi furkasi yang dalam merupakan lokasi abses periodontal yang umum.B, Anatomi
furkasi seringkali mencegah pembersihan kalkulus dan plak mikrobial secara definitif.
Umumnya, abses periodontal ditemukan pada penderita periodontitis yang tidak dirawat dan disebabkan oleh
poket periodontal yang dalam. Abses periodontal seringkali timbul sebagai eksaserbasi akut poket yang ada
[Gambar 48-1]. Abses periodontal dihubungkan dengan sejumlah kondisi klinis, terutama akibat pembersihan
plak yang tidak sempurna. Kondisi tersebut diidentifikasi pada pasien setelah menjalani bedah periodontal,
pemeliharaan pencegahan [Gambar 48-2], terapi antibiotik sistemik, dan akibat penyakit rekuren. Kondisi-
kondisi abses periodontal yang tidak berhubungan dengan penyakit periodontal inflamasi antara lain perforasi
atau fraktur gigi [Gambar 48-3], dan impaksi benda asing. Diabetes mellitus yang tidak terkontrol dengan baik
dinyatakan sebagai salah satu faktor predisposisi pembentukan abses periodontal [Gambar 48-4]. Pembentukan
abses periodontal dilaporkan menjadi salah satu penyebab utama kehilangan gigi. Namun, jika dilakukan
perawatan yang baik dan dilanjutkan dengan pemeliharaan periodontal preventif yang konsisten, gigi-geligi
yang mengalami kerusakan tulang signifikan dapat dipertahankan sampai bertahun-tahun [Gambar 48-10].
Gambar 48-2.

Abses periodontal pasca-profilaksis setelah penyembuhan poket periodontal secara parsial di atas sisa-sisa
kalkulus.

Gambar 48-3.

A, Ditemukan fistula pada attached gingiva gigi kaninus kanan rahang atas.B, Pengangkatan flap menunjukkan
bahwa penyebabnya adalah fraktur akar.

Gambar 48-4.

Abses periodontal lokal pada gigi kaninus kanan rahang atas seorang pria dewasa penderita diabetes mellitus
tipe 2 yang tak-terkontrol. Pada sebagian pasien, pembentukan abses periodontal adalah tanda pertama penyakit
tersebut.

Abses Gingiva
Abses gingiva adalah lesi inflamasi akut terlokalisir yang disebabkan oleh berbagai macam sumber,
seperti infeksi mikroba plak, trauma, dan impaksi benda asing. Gambaran klinisnya berupa
pembengkakan fluktuan/menonjol, terkadang menimbulkan rasa sakit, berwarna merah, dan halus
[Gambar 48-5].
Gambar 48-5.

Abses gingiva akibat-plak pada gigi kaninus kanan rahang bawah.


Abses Perikoronal
Abses perikoronal disebabkan oleh inflamasi operkulum jaringan lunak, yang menutupi gigi yang
erupsi sebagian. Kondisi ini seringkali ditemukan di sekitar gigi molar tiga rahang bawah. Sama
seperti abses gingiva, lesi inflamasi dapat disebabkan oleh retensi plak mikrobial, impaksi makanan,
ataupun trauma.
Abses Akut Vs Kronis
Abses digolongkan menjadi akut dan kronis. Abses akut umumnya berupa eksaserbasi lesi
periodontal inflamasi kronis. Faktor-faktor yang mempengaruhinya antara lain tingginya jumlah dan
kemampuan virulensi bakteri yang ada, dikombinasikan dengan penurunan resistensi jaringan dan
kurangnya drainase spontan. Drainase dapat dihambat oleh morfologi poket yang dalam dan rumit,
debris atau epitelium poket yang susunannya padat sehingga menyumbat orifisium poket. Abses akut
ditandai oleh pembengkakan jaringan gingiva yang berbentuk bulat/oval, menimbulkan rasa nyeri,
berwarna merah, edematus, dan halus. Eksudat dapat dikeluarkan menggunakan tekanan ringan;
gigi-geligi sensitif saat diperkusi dan terasa terdapat penonjolan di dalam soket [Gambar 48-6]. Kadang
terjadi demam dan limfadenopati regional.

Gambar 48-6.

Pasien yang datang abses akut mengeluhkan nyeri tumpul dan sensasi gigi terangkat dari dalam soket. Tanda
distensi jaringan dan eksudasi terlihat jelas.
Abses kronis terbentuk setelah penyebaran infeksi dapat dikendalikan oleh drainase spontan, respon
host, ataupun terapi. Jika homeostasis antara host dan infeksi tercapai, pasien hanya memiliki sedikit
gejala ataupun tidak ada gejala sama sekali. Namun, nyeri tumpul disebabkan oleh tanda-tanda klinis
berupa poket periodontal, inflamasi, dan saluran fistula.
Kotak 48-1 membandingkan tanda dan gejala abses akut dan kronis.

Abses Periodontal Vs Pulpa


Untuk mengetahui penyebab abses dan menentukan rencana perawatan yang tepat, dibutuhkan
diagnosis banding antara abses periodontal dan pulpa [Kotak 48-2] [Gambar 48-6 sampai 48-8].

Gambar 48-7.

A, Fistula pada attached gingiva gigi molar satu kanan rahang atas. B, Setelah anestesi lokal, probe periodontal
dimasukkan ke dalam fistula dan disudutkan ke apeks akar. C, Pengangkatan flap bedah menunjukkan terapi
endodontik yang gagal dan fraktur gigi sebagai penyebab fistula.

Gambar 48-8. A, Abses periodontal pada gigi molar satu kiri rahang atas. B, Probe periodontal digunakan
untuk meretraksi dinding poket dengan hati-hati.

METODE PERAWATAN KHUSUS


Perawatan abses periodontal terdiri dari dua fase, yaitu: menyembuhkan lesi akut, yang dilanjutkan
dengan penatalaksanaan kondisi kronis yang diakibatkan [Kotak 48-3].
Abses Akut
Perawatan abses akut ditujukan untuk meredakan gejala, mengendalikan penyebaran infeksi, dan
membuat drainase. Sebelum perawatan, riwayat medis pasien, riwayat dental, dan kondisi sistemik
pasien diperiksa dan dievaluasi untuk membantu penegakkan diagnosis dan menentukan kebutuhkan
antibiotik sistemik [Kotak 48-4 dan 48-5].

Drainase melalui Poket Periodontal. Daerah perifer di sekitar abses dianastesi menggunakan
anestetik topikal dan lokal agar pasien merasa nyaman. Dinding poket diretraksi perlahan
menggunakan probe periodontal atau kuret untuk membuat drainase melalui jalan masuk poket
[Gambar 48-8]. Tekanan jari ringan dan irigasi dapat digunakan untuk mengeluarkan eksudat dan
membersihkan poket [Gambar 48-9]. Jika lesi berukuran kecil dan akses sulit diperoleh, dapat
dilakukan debridemen dalam bentuk skeling dan root planing. Jika lesi berukuran besar dan drainase
tidak dapat dibuat, debridemen akar melalui skeling dan root planingatau pembedahan sebaiknya
ditunda sampai tanda-tanda klinis utama mereda. Pada pasien semacam ini, dianjurkan untuk
memberikan antibiotik sistemik dosis tinggi untuk jangka pendek [Kotak 48-5]. Terapi antibiotik saja
tanpa diikuti drainase dan skeling subgingiva dikontraindikasikan.

Gambar 48-9. Tekanan jari ringan cukup untuk mengeluarkan purulen.


Drainase melalui Insisi Eksternal. Abses dikeringkan dan diisolasi menggunakan gauze
sponges. Diaplikasikan anestetik topikal, yang dilanjutkan dengan anestetik lokal yang diinjeksikan
pada tepi lesi. Insisi vertikal yang menembus bagian tengah puncak abses dibuat menggunakan
pisau bedah #15. Jaringan pada aspek lateral insisi dipisahkan menggunakan kuret atau periosteal
elevator. Materi fluktuan dikeluarkan dan tepi-tepi luka didekatkan menggunakan tekanan jari ringan
dan gauze pad lembab.
Pada abses yang terlihat mengalami pembengkakan dan inflamasi parah, instrumentasi mekanis
agresif sebaiknya ditunda dan melakukan terapi antibiotik sehingga kerusakan jaringan periodontal
sehat di sekitarnya dapat dihindari.
Jika perdarahan dan supurasi telah berhenti, pasien dapat dipulangkan. Bagi pasien yang tidak
membutuhkan terapi antibiotik sistemik, perlu diberikan instruksi pasca-perawatan, yaitu pembilasan
rutin menggunakan air garam hangat [1 sdt/8 ons. gelas] dan aplikasi periodik klorheksidin glukonat
melalui berkumur ataupun secara lokal menggunakan aplikator berujung-kapas. Pengurangan
tekanan/pemerasan dan meningkatkan intake cairan dianjurkan bagi pasien yang memiliki penyakit
sistemik. Analgesik dapat diresepkan untuk membuat pasien nyaman. Pada hari berikutnya,
umumnya tanda dan gejala telah mereda. Jika tidak, pasien diminta untuk melanjutkan instruksi yang
dianjurkan sebelumnya selama 24 jam berikutnya. Biasanya, langkah ini menghasilkan kesembuhan
yang memuaskan, dan lesi dapat dirawat sebagai abses kronis.
Abses Kronis
Sama seperti poket periodontal, abses kronis umumnya dirawat menggunakan skeling dan root
planing atau pembedahan. Pembedahan dianjurkan jika ditemukan defek vertikal dan dalam atau
defek furkasi yang berada di luar kemampuan terapeutik instrumentasi non-bedah [Gambar 48-10].
Pasien diberi anjuran tentang sekuela post-operatif yang biasa terjadi akibat prosedur periodontal
non-bedah dan bedah. Sama seperti abses akut, diindikasikan untuk memberikan terapi antibiotik.

Gambar 48-10. A, Abses periodontal kronis pada gigi kaninus kanan rahang atas. B, Setelah adminsitrasi
anestesi lokal, probe periodontal dimasukkan untuk menentukan keparahan lesi. C, Menggunakan insisi vertikal
mesial dan distal, dilakukan pembukaan flapfull-thickness, yang menunjukkan dehisensi tulang parah, restorasi
subgingiva, dan kalkulus akar. D, Permukaan akar telah dihaluskan dan bebas kalkulus serta restorasi
dihaluskan. E, Flap full-thickness dikembalikan ke posisi awalnya dan dijahit menggunakan absorbable
suture. F, Setelah 3 bulan, jaringan gingiva berwarna merah muda, padat, dan beradaptasi baik dengan gigi,
dengan kedalaman probing periodontal minimal.
Abses Gingiva
Perawatan abses gingiva ditujukan untuk membalik fase akut dan, jika memungkinkan, segera
membuang penyebabnya. Untuk memberikan kenyamanan selama prosedur, diadministrasikan
anestesi topikal atau lokal melalui infiltrasi. Jika memungkinkan, skeling dan root planing dilakukan
untuk membuat drainase dan membersihkan deposit mikroba. Dalam situasi yang lebih akut, daerah
yang menonjol diinsisi menggunakan pisau bedah #15, dan eksudat dikeluarkan menggunakan
tekanan jari ringan. Benda-benda asing [seperti, dental floss, bahan cetak] dilepaskan. Daerah
tersebut diirigasi menggunakan air hangat dan ditutup dengan gauze lembab serta diberi tekanan
ringan.
Jika perdarahan telah berhenti, pasien dipulangkan dan diminta untuk berkumur dengan air garam
hangat setiap 2 jam selama 1 hari. Setelah 24 jam, daerah tersebut diperiksa ulang, dan jika telah
cukup sembuh, dilakukan skeling yang sebelumnya ditunda. Jika residu lesi berukuran besar atau
sulit diakses, perlu dilakukan pembedahan untuk memperoleh akses.
Abses Perikoronal
Sama seperti abses-abses pada periodonsium lainnya, perawatan abses perikoronal ditujukan untuk
penatalaksanaan fase akut, yang dilanjutkan dengan resolusi kondisi kronis. Abses perikoronal akut
dianestesi dengan baik untuk memperoleh kenyamanan, dan drainase dibuat dengan membuka
operkulum jaringan lunak secara hati-hati menggunakan probe periodontal atau kuret. Jika debris di
bawahnya mudah diakses, maka dapat dibersihkan, yang dilanjutkan dengan irigasi perlahan
menggunakan salin steril. Jika terjadi pembengkakan regional, tanda-tanda sistemik, atau
limfadenopati, antibiotik perlu diresepkan.
Pasien diperbolehkan pulang dan diminta untuk berkumur dengan air garam hangat setiap 2 jam dan
daerah tersebut diperiksa kembali setelah 24 jam. Jika rasa tidak nyaman adalah salah satu keluhan
awal, pasien perlu diberikan analgesik. Jika fase akut telah terkontrol, gigi yang erupsi sebagian
dapat dirawat secara definitif melalui eksisi bedah jaringan yang menutupi atau mencabut gigi yang
bermasalah.

2.1 Trauma From Occlusion (TFO)


2.1.1 Definisi
Trauma From Occlusion ( TFO ) adalah kerusakan jaringan periodonsium
akibat tekanan oklusi yang melebihi kapasitas adaptasi jaringan
periodonsium. Trauma oklusi juga dapat didefinisikan sebagai kerusakan pada
bagian dari system mastikasi yang dihasilkan oleh kontak oklusal.1

2.1.2 Etiologi
Beberapa faktor penyebab yang dapat meningkatkan tekanan pada jaringan
periodonsium yaitu:
Ketidakseimbangan oklusi
o Hambatan oklusal pada waktu oklusi sentris ( kontak ke premature dan
gerak artikulasi (blocking) )
o Gigi hilang tidak diganti
o Perbandingan mahkota akar tidak seimbang
o Kontak edge to edge
o Alat prostetik dan restorasi yang buruk
Kebiasaan buruk
o Bruxism
o Cleancing
o Menggunakan tusuk gigi
Etiologi lainnya :
1. Perubahan pada tekanan oklusal
Besarnya tekanan oklusi meningkat sehingga pelebaran ruang periodontal,
peningkatan jumlah dan lebar serat ligament periodontal, dan peningkat
densitas tulang alveolar.
Perubahan arah tekanan oklusi dapat mengakibatkan reorientasi tekanan
dalam periodonsium sehingga serat ligament periodontal utama diatur
sedemikian rupa untuk mengkomodasi tekanan oklusi sepanjang sumbu
utama gigi.
Durasi tekanan oklusi tekanan konstan pada tulang lebih berefek negatif
dibandingkan tekanan intermiten.
Frekuensi tekanan oklusi semakin banyak frekuensi tekanan intermiten,
semakin besar injuri terhadap jaringan periodonsium.

2. Berkurangnya kemampuan jaringan periodonsium uantuk menerima


tekanan oklusi.

Stress oklusal yang melebihi batas adaptasi jaringan dapat menimbulkan


trauma oklusi, karena :
Aktifitas abnormal / parafungsi
o Menggeletuk, mengerot dan menggigit benda asing
Perawatan gigi
o Geligi tiruan sebagian lepasan kurang baik dan orthodontic
Ketidakharmonisan oklusal
o Kontak gigi yang mengganggu kelancaran gerak menutup disepanjang setiap
arah ke posisi intercuspal.1

2.1.3 Klasifikasi
Berdasarkan efek :
1. Trauma Akut (Acute TFO)
Dihasilkan dari occlusal impact yang tiba-tiba, seperti saat menggigit benda
keras. Restorasi atau alat-alat prostetik juga dapat mengubah arah gaya
oklusal sehingga dapat menimbulkan trauma akut.
Trauma akut menyebabkan nyeri pada gigi, sensitivitas terhadap perkusi, dan
peningkatan mobilitas gigi. Bila tekanan oklusalnya dikurangi, luka akan
sembuh dan gejala di atas akan berkurang. Bila tidak, luka periodontal akan
bertambah parah dan menjadi nekrosis, yang diikuti oleh pembentukan abses
periodontal, atau menjadi kronis dan tanpa gejala. Trauma akut juga dapat
menyebabkan pecahnya sementum.
2. Trauma Kronis (Chronic TFO)
Biasanya disebabkan oleh perubahan pada oklusi karena ausnya gigi, drifting,
dan ekstrusi, ditambah dengan parafungsi. Gaya oklusal tidak terlalu besar,
tetapi terus-menerus menekan dan mengiritasi jaringan periodontal.
Berdasarkan etiologi :
1. TFO Primer
Adalah gaya oklusal berlebihan pada jaringan periodontal yang sehat (tidak
ada migrasi apikal dari epitel jungsional atau kehilangan jaringan ikat
gingiva). Salah satu contohnya adalah TFO karena penempatan restorasi atau
insersi fixed bridge atau partial denture. Perubahan yang tampak adalah
penebalan ligament periodontal, mobilitas gigi, bahkan nyeri. Perubahan ini
reversible bila trauma dihilangkan.
2. TFO Sekunder
Adalah gaya oklusal abnormal pada jaringan periodontal tidak sehat yang
telah lemah karena adanya periodontitis. TFO sekunder terjadi pada gigi yang
jaringan periodontalnya telah mengalami migrasi apikal epitel jungsional dan
kehilangan perlekatan. Gigi dengan jaringan periodontal yang tidak sehat dan
terinflamasi, ditambah gaya oklusal yang berlebihan akan mengalami
kehilangan tulang dan pembentukan poket yang cepat.1,2

2.1.4 Mekanisme
Stage I: Injury
Besar lokasi dan pola kerusakan jaringan tergantung pada besar, frekuensi
dan arah gaya yang menyebabkan kerusakan tersebut. Tekanan berlebih yang
ringan akan menstimulasi resopsi pada tulang alveolar disertai terjadinya
pelebaran ruang ligamen periodontal. Tegangan berlebih yang ringan juga
menyebabkan pemanjangan serat-serat ligamen periodontal serta aposisi
tulang alveolar. Pada area dimana terdapat peningkatan tekanan, jumlah
pembuluh darah akan berkurang dan ukurannya mengecil. Sedangkan pada
area yang keteganganya meningkat, pembuluh darahnya akan membesar.
Tekanan yang besar akan menyebabkan terjadinya perubahan pada jaringan
periodonsium, dimulai dengan tekanan dari serat-serat yang menimbulkan
area hyalinisasi. Kerusakan fibroblast dan kematian sel-sel jaringan ikat
kemudian terjadi yang mengarah kepada area nekrosis pada ligamen
periodontal. Perubahan pembuluh darah terjadi: selama 30 menit, hambatan
dan stase (penghentian) pembuluh darah terjadi: selama dua sampai tiga jam,
pembuluh darah terlihat bersama eritrosit yang mulai terbagi menjadi
kepingan-kepingan dan dalam waktu antara satu hingga tujuh hari, terjadi
disintegrasi dinding pembuluh darah dan melepaskan isinya kejaringan
sekitarnya.pada keadaan ini terjadi peningkatan resopsi tulang alveolar
permukaan gigi.
Stage II: Repair
Perbaikan selalu terjadi secara konstan dalam jaringan periodonsium yang
normal dan trauma oklusi menstimulasi peningkatan aktivitas perbaikan.
Jaringan yang rusak dihilangakan, sel-sel dan serat-serat jaringan ikat, tulang
dan sementum dibentuk dalam usaha untuk mengantikan jaringan
periodonsium yang rusak.
Stage III: Adaptasi
Ketika proses perbaikan tidak dapat menandingi kerusakan yang diakibatkan
oklusi, jaringan periodonsium merubah bentuk dalam usaha untuk
menyesuaikan struktur jaringan dimana tekanan tidak lagi melukai jaringan.
Hasil dari proses ini adalah penebalan pada ligamen periodontal yang
mempunyai bentuk funnel pada puncak dan angular pada tulang tanpa
formasi poket dan terjadi kelonggaran pada gigi yang bersangkutan.1

2.1.5 Gambaran Klinis


Gambaran klinis dari TFO:
1. Sakit atau rasa ketidaknyamanan.
2. Sensitif pada tekanan.
3. Sakit pada wajah atau sendi temporomandibula.
4. Resesi pada gingival.
5. Celah pada gingival yang hiperplastis dan menyeluruh atau disebut juga Mc
Calls Festoon.
6. Poket periodontal/ kehilangan perlekatan epitel gingival.
7. Kegoyangan gigi.
8. Migrasi dan atau posisi gigi yang abnormal.1

2.1.6 Gambaran Radiografis


Interpretasi Radiografik Kelainan Periodontal
Yang harus dibaca pada radiograf jaringan periodontal
1. Keadaan tulang yang ada
Kuantitas (tinggi/lebar) dan kualitas (pola/densitas)
Gambaran keseluruhan
Luas kerusakan (local/menyeluruh)
Pola kerusakan (horizontal &/vertical)
Densitas (rarefraksi/condensed)
Pola trabekulasi (normal/berubah)

2. Alveolar crest (merupaka bagian penting)


Kortikal lamina dura
Tinggi ; 0,5-1,5mm d bawah CEJ 2 gigi bertetangga
Bentuk; tergantung posisi gigi
Outline; halus, rata, kesinambungan, kepadatan, lebar

3. Ruang periodontal
Ada/tidak, lebarnya

4. Keterlibatan furkasi (akar ganda)


5. Perbandingan mahkota-akar keterlibatan furkasi (akar ganda)1,3

2.1.7 Dampak dari TFO


Terjadi injuri pada jaringan-jaringan pendukung periodontal.
Tidak cukupnya stimulasi menyebabkan menebalnya ligamen periodontal,
atrofi serabutan, osteoporosis tulang alveolar dan reduksi tulang yang tinggi.
Hipofungsi dapat dihasilkan dari hubungan open-bite dan tidak adanya
fungsi antagonis

2.1.8 Cara Pemeriksaan TFO


Pemeriksaan oklusi untuk melihat ada atau tidaknya Trauma From Occlusion
bisa dilakukan dengan:
1. Maximum Intercuspation or Intercuspal position
Pasien diperintahkan untuk menutup mulut dengan posisi intercuspal
maksimum tanpa mencari gigitan yang nyaman (posisi menelan ludah). Cara
yang paling efisien untuk melihat kontak oklusal adalah dengan meletakkan
matriks Mylar antara gigi dan menyuruh pasien untuk menutup mulut dan
kemudian matriks dipindahkan. Dari matriks terlihat seberapa banyak gigi
yang berkontak. Ada atau tidaknya kontak dapat terlihat untuk gigi molar,
premolar, kaninus,dan insisivus.

2. Excursive movement
Kualitas kontak gigi selama pergerakan mandibula dapat dilihat dengan
menyuruh pasien menggerakkan rahang bawah ke depan, kanan dan kiri.

3. Initial contact in centric relation closure arc


Jika ada gigi yang berkontak sebelum ada gigi yang lain berkontak sempurna
(kurang dari 50%) maka terjadi bloking.

4. Tooth mobility
Kegoyangan gigi dapat diperkirakan dengan tekanan gigi. Setelah gigi
berkontak, maka pasien dapat menghentakkan gigi dan dokter dapat melihat
kegoyangan gigi pasien.

5. Attrition
Yaitu penggunaan gigi karena sering berkontak. Atrisi yang berlebihan terlihat
sebagai kebiasaan parafungsi yang dapat meningkatkan trauma oklusi dan
menyebabkan jaringan periodonsium dimana otot penguyahan mayor
mengganggu dan mengguncang gigi dalam alveolus.

6. Penggunaan kertas artikulasi


Berguna untuk mengindentifikasi kontak oklusal yang dapat merusak
mandibula, kegoyangan gigi atau menyebabkan trauma pada gigi dan
periodonsiumnya. Dalam kasus spesifik, metode ini digunakan untuk melihat
hubungan oklusi, lokalisasi sisi pengunyahan gigi, oklusal adjustment dan
melihat peningkatan perubahan oklusi.5

2.1.9 Perbedaan TFO dan TO


Trauma karena oklusi adalah gaya oklusal yang berlebihan terhadap
penyesuaian kapasitas jaringan yang menghasilkan injuri pada jaringan.
Trauma oklusi adalah oklusi yang dapat menyebabkan trauma, contohnya
premature kontak.
Ketika tekanan oklusal melebihi kapasitas adaptif jaringan periodonsium,
maka akan terjadi kerusakan jaringan periodonsium. Kerusakan ini
disebabkan karena trauma oklusi. Trauma from occlusion adalah kerusakan
jaringan periodonsium akibat tekanan oklusi yang melebihi kapasitas adaptasi
jaringan, sedangkan oklusi yang menyebabkan kerusakan disebut traumatic
oklusi.
Trauma karena oklusi mengarah pada kerusakan jaringan bukan pada tekanan
okusalnya. Daya oklusi yang berlebihan dapat mengganggu fungsi otot
pengunyahan dan menyebabkan nyeri yang berupa sentakan, cedera Temporo
Mandibular Joint (TMJ) atau menghasilkan penggunaan gigi yang
berlebihan.1
2.1.10 Diagnosis dan Prognosis
Diagnosis: Gigi 31 mengalami Trauma From Occlusion (TFO) karena adanya
blocking.
Prognosis: baik, karena masih ada dukungan tulang, OH baik, gigi goyang 2,
kooperatif pasien dan tidak disertai penyakit sistemik.1

2.1.11 Rencana Perawatan6


I. Terapi Inisial
DHE + fisioterapi oral
RA/RB=scaling dan root planning
Oklusal adjustment
Evaluasi untuk melihat keberhasilan perawatan.
IV. Terapi Pemeliharaan setelah perawatan berhasil.
II. Terapi Bedah tidk dilakukan (-).
III. Rekonstruksi tidak dilakukan (-).

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Trauma From Occlusion (TFO) merupakan akibat dari adanya trauma oklusi
misalya adanya premature kontak. Trauma karena oklusi mengarah pada
kerusakan jaringan periodonsium bukan kepada tekanan oklusalnya.
TFO yang tidak dirawat akan berbahaya karena dapat mengganggu oklusi dan
bisa menyebabkan cedera pada jaringan periodonsium.

DAFTAR PUSTAKA
1. Carranza, Fermin A. Periodontal Respons to External Forces: in Carranzas
Clinical Periodontology 10th Ed. St. Louis: WB. Saunders. 2006, page. 467-
474.
2. Nield-Gehrig, JS., Willmann, DE. Foundations of Periodontics for the
Dental Hygienist. Lippincott Williams & Wilkins: Maryland. 2003. 214-215.
3. Whites, Eric. Essential of Dental radiography and Radiology 3rd. USA:
Elsevier. 2003, page. 247-250.
4. Lindhe, Jan. Clinical Periodontology and Implant Dentistry 4th.
Copenhagen: Blackwell-Munskgaard. 2003, page. 356-360.
5. Mc Devit, Michael J and Bibb, Carol A. Occlusal Evaluation and Theraphy:
in Carranzas Clinical Periodontology Carranza 10th Ed. St. Louis: WB.
Saunders. 2006, page. 848-849.
6. Carranza, Fermin A and Takei, Henry H. The Treatment Plan: in Carranzas
Clinical Periodontology 10th Ed. St. Louis: WB. Sauders. 2006, page. 628.

Anda mungkin juga menyukai