Anda di halaman 1dari 19

RESPONSI KASUS

FRAKTUR CRURIS
DI RSUD NGANJUK

Oleh :
Kiki Megasari
10700157

Pembimbing :
Dr. Bambang Sentanu, Sp, OT

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
2015
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. Sriati
Alamat : Ds. Ngetos
Jenis kelamin : perempuan
Umur : 40th
Pekerjaaan : pembantu rumah tangga
Agama : Islam
Suku :Jawa
Tanggal MRS : 22 april 2015
Tanggal pemeriksaan : 28 april 2015

II. ANAMNESA
Keluhan utama : kedua tungkai tak bisa digerakkan
RPS : pasien datang dengan post kecelakaan setelah kejatuhan longsor. Awalnya
pasien pulang kerja jam 22.00 melewati rumah tetangga yang letak
rumahnya berada diatas ketinggian. Kemudian terjadi longsor dan
menimpa pasien yang sedang melintas dibawahnya. Saat kejadian pasien
sedang bersama anaknya. Sang anak tidak apa-apa, sedangkan pasien
cedera pada kedua tungkai disertai luka pada wajah.

RPD : hipertensi dan DM disangkal oleh pasien.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Primary Survey
A = paten
B = gerak dada simetris, RR = 24x/menit
C = akral hangat, TD = 130/90, N= 108x
D = GCS 456, pupil isokor

Secondary Survey
Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis

Vital Sign
Tekanan darah : 130/90 mmHg
Nadi : 108 x/menit
Respirasi : 24 x/menit
Suhu axilar : 36oC
Kepala Leher
Kepala : luka abrasi pada regio facialis
Mata : Konjunctiva Anemis (-)/(-)
Sklera Ikterik (-)/(-)
Telinga : dalam batas normal
Hidung : dalam batas normal, nafas cuping hidung (-)
Mulut : dalam batas normal, sianosis (-)

Leher : tidak teraba massa maupun perbesaran kelenjar.


JVP tampak normal.

Thoraks
Inspeksi : Bentuk simetris
Gerak nafas seirama
Palpasi : Fremitus raba normal.
Perkusi : Sonor / Sonor
Auskultasi : Cor : SI SII tunggal, reguller, mur-mur (-), gallop (-)
Pulmo : Vesikuler / Vesikuler
rhonki -/-, wheezing -/-

Abdomen
Ispeksi : Bentuk flat
Tidak tampak gambaran usus maupun pergerakan usus
Auskulasi : Bising usus normal
Palpasi : Soefl,nyeri tekan (-),hepar tidak teraba,lien tidak teraba,
Asites (-).
Perkusi : Suara ketuk timpani, nyeri ketuk pinggang belakang (-) /(-)

Extremitas
Akral hangat (-), oedema (+/+)

Pemeriksaan regio cruris sinistra


L = vull app p=5cm, l = 1cm, deformitas (+)
F = nyeri gerak (+) nyeri tekan (+)
M = ROM terbatas

Pemeriksaan region ankle dextra


L= deformitas (+), vull app tampak tulang tibia
F= nyeri (+), krepitasi
M= ROM terbatas
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
- FOTO RONTGEN CRURIS (D) et (S) AP/LAT femur D AP/LAT
- HEMATOLOGI
DARAH RUTIN (nilai rujukan)
Leukosit 19,02 H 3,60 11,00
Jumlah Eritrosit 4,24 3,80-5,20
Hemoglobin 12,5 11,7 15,5
Hematokrit 37,5 35,0 47,0
MCV 88,4 80,0 100,0
MCH 29,5 26,0 34,0
MCHC 33,3 32,0 36,0
Trombosit 334 150 - 400
RDW-SD 40,6 37 - 54
RDW-CV 13,0 11,0 15,0
PDW 10,4
MPV 9,4
P-LCR 20,4
PCT 0,32

KOAGULASI
PT 14,3 detik 10,8 14,4
APTT 28,4 detik 23,9 36,2

- SGOT 38,2 <=31,0


SGPT 24,7 <= 34,0
GLUKOSA ACAK 154 70 - 120
UREUM 30,9 15,0 40,0
CREATININ 0,84 0,60 1,10
URIC ACID 3,1 2,6 6,0
V. RESUME

Pasien datang ke IGD RSUD Nganjuk pada 22 April 2015 post kejatuhan longsor
datang di IGD RSUD Nganjuk pukul 23.40. Awalnya pasien pulang kerja jam 22.00
melewati rumah tetangga yang letak rumahnya berada diatas ketinggian. Kemudian
terjadi longsor dan menimpa pasien yang sedang melintas dibawahnya. Saat kejadian
pasien sedang bersama anaknya. Sang anak tidak apa-apa, sedangkan pasien cedera pada
kedua tungkai disertai luka pada wajah.
Pada pemeriksaan penunjang hematologi didapatkan leukosit tinggi dan foto
rontgen thorax semua dalam batas normal, sedangkan pada pada foto rontgen regio cruris
dextra et sinistra tampak close fraktur 1/3 distal.

VI. DIAGNOSA
open fraktur cruris 1/3 distal dextra et sinistra grade III

VII.PENATALAKSANAAN DI IGD
Planning Diagnosa
- Foto rontgen regio cruris
- Cek darah lengkap

Plannning Terapi
WT, HT
Inf. RL 20 tpm
Inj. Ceftriaxone 1g
Inj. Ketorolac 30mg
Inj. Tetagam 250 IU
Pasang DC
MRS

I. RIWAYAT PERKEMBANGAN PASIEN


1. Tanggal 24 April 2015
S = Kaki kiri dan kanan nyeri, tangan kanan kemeng.pusing (-), mual (-), muntah
(-)
O = KU lemah, GCS 4-5-6, Kesadaran Composmentis,
T: 120/80 mmHg , N: 86 X/menit , S : 36 C, RR 26 X/ menit
Kepala leher : A(-), I(-), C(-), D(-)
Thorax : cor S1S2 tunggal, Reguler.
Pulmo : Vesikuler +/+, Rhonki (-), wheezing (-)
Abdomen : flat, supel, BU + normal, nyeri tekan (-), timpani
Ekstremitas : akral hangat

Status Lokalis : Regio cruris dextra et sinistra


L : Terpasang spalk
Dextra: tampak darah dan oedem
Sinistra : tampak oedem
F : Nyeri tekan (+)
M : ROM sulit dievaluasi
Vull app frontalis dextra
Vull abrasi submandibula
A = open fraktur ankle dextra et sinistra grade III
P = rawat luka
Infus RL / D5 2:2
Injeksi ceftriaxone 2x1 g
Infus metronidazole 3x500
Inj. Ketorolac 2x30mg
MMB
Thorax foto
EKG
2. 25 April 2015
S = Kaki kiri dan kanan nyeri, tangan kanan kemeng.pusing (-),
O = KU lemah, GCS 4-5-6, Kesadaran Composmentis,
T: 110/70 mmHg , N: 84 X/menit , S : 37 C, RR 22 X/ menit
Kepala leher : A(-), I(-), C(-), D(-)
Thorax : cor S1S2 tunggal, Reguler.
Pulmo : Vesikuler +/+, Rhonki (-), wheezing (-)
Abdomen : flat, supel, BU + normal, nyeri tekan (-), timpani
Ekstremitas : akral hangat
Status Lokalis : Regio cruris dextra et sinistra
L : Terpasang spalk
Dextra: tampak darah dan oedem
Sinistra : tampak oedem
F : Nyeri tekan (+)
M : ROM sulit dievaluasi
Vull app frontalis dextra
Vull abrasi submandibula
A = open fraktur ankle dextra et open fraktur cruris sinistra grade III
3. 27 April 2015
Post op anestesi
a. Pertahankan cairan tetap bebas
b. 0ksigen nasal 3tpm
c. Sudah baik
P = rawat luka
Infus RL / D5 2:1
Injeksi ceftriaxone 2x1 g
Inj. Ketorolac 2x30mg
Control foto
Debridement
4. 28 April 2015
S = Kaki kiri dan kanan masih terasa nyeri dan panas, pusing (-), mual (-), muntah
(-)
O = KU cukup, GCS 4-5-6, Kesadaran Composmentis,
T: 130/80 mmHg , N: 100 X/menit , S : 36 C, RR 26 X/ menit
Kepala leher : A(+), I(-), C(-), D(-)
Thorax : cor S1S2 tunggal, Reguler.
Pulmo : Vesikuler +/+, Rhonki (-), wheezing (-)
Abdomen : flat, supel, BU + normal, nyeri tekan (-), timpani
Ekstremitas : akral hangat, oedem pada kedua tungkai

Status Lokalis : Regio cruris dextra et sinistra


L : Terpasang spalk
Dextra: tampak darah dan oedem
Sinistra : tampak oedem
F : Nyeri tekan (+)
M : ROM sulit dievaluasi
A = open fraktur ankle dextra et open fraktur cruris sinistra grade III
Post debridement+pinning+screwing hari ke 1
P = rawat luka
Infus RL / D5 2:1
Injeksi ceftriaxone 2x1 g
Inj. Ketorolac 2x30mg
Transfuse PRC 1 kolf
Cek Hb post transfusi
MMB
5. 29 April 2015
S = pasien mengeluh kedua kaki kiri dan kanan terasa nyeri dan panas
O = KU lemah, GCS 4-5-6, Kesadaran Composmentis,
T: 120/80 mmHg , N: 94 X/menit , S : 36 C, RR 22 X/ menit
Kepala leher : A(-), I(-), C(-), D(-)
Thorax : cor S1S2 tunggal, Reguler.
Pulmo : Vesikuler +/+, Rhonki (-), wheezing (-)
Abdomen : flat, supel, BU + normal, nyeri tekan (-), timpani
Ekstremitas : akral hangat, oedem pada kedua tungkai

Status Lokalis : Regio cruris dextra et sinistra


L : Terpasang spalk
Dextra: tampak darah dan oedem
Sinistra : tampak oedem
F : Nyeri tekan (+)
M : ROM sulit dievaluasi
A = open fraktur ankle dextra et open fraktur cruris sinistra grade III
Post debridement+pinning+screwing hari ke II
P = rawat luka
Infus RL / D5 2:1
Injeksi ceftriaxone 2x1 g
Inj. Ketorolac 2x30mg
Cek Hb
MMB
6. 30 April 2015
S = Kaki kiri dan kanan masih terasa nyeri dan panas, pusing (+), mual (-),
muntah (-)
O = KU lemah, GCS 4-5-6, Kesadaran Composmentis,
T: 130/80 mmHg , N: 98 X/menit , S : 36 C, RR 24 X/ menit
Kepala leher : A(+), I(-), C(-), D(-)
Thorax : cor S1S2 tunggal, Reguler.
Pulmo : Vesikuler +/+, Rhonki (-), wheezing (-)
Abdomen : flat, supel, BU + normal, nyeri tekan (-), timpani
Ekstremitas : akral hangat, oedem pada kedua tungkai

Status Lokalis : Regio cruris dextra et sinistra


L : Terpasang spalk
Dextra: tampak darah dan oedem
Sinistra : tampak oedem
F : Nyeri tekan (+)
M : ROM sulit dievaluasi
A = open fraktur ankle dextra et open fraktur cruris sinistra grade III
Post debridement+pinning+screwing hari ke III
P = rawat luka
KRS
Terapi oral : ciprofloxacin 2x1
Asam mefenamat 3x500
Calos 1x1
Kontrol poli orthopedi

FRAKTUR CRURIS
A. Pengertian
Ada beberapa pengertian fraktur menurut para ahli adalah :
1. Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik (Price dan
Wilson, 2006).
2. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan di tentukan sesuai jenis dan luasnya,
fraktur terjadi jika tulang di kenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya
(Smeltzer dan Bare, 2002).
3. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, kebanyakan fraktur akibat dari trauma,
beberapa fraktur sekunder terhadap proses penyakit seperti osteoporosis, yang menyebabkan
fraktur yang patologis (Mansjoer, 2002).
4. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang di tandai oleh rasa nyeri,
pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan , dan krepitasi (Doenges, 2002).
5. Fraktur cruris merupakan suatu istilah untuk patah tulang tibia dan fibulayang biasanya
terjadi pada bagian proksimal (kondilus), diafisis, atau persendian pergelangan kaki (
Muttaqin, 2008).

Berdasarkan pengertian para ahli dapat disimpulkan bahwa fraktur cruris adalah terputusnya
kontinuitas tulang dan di tentukan sesuai jenis dan luasnya, yang di sebabkan karena trauma atau
tenaga fisik yang terjadi pada tulang tibia dan fibula.

B. Klasifikasi fraktur

Menurut Mansjoer (2002) ada tidaknya hubungan antara patahan tulang dengan dunia luar di bagi
menjadi 2 antara lain:

a. Fraktur tertutup (closed)


Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar, disebut
dengan fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada
klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
1) Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak sekitarnya.
2) Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
3) Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan
pembengkakan.
4) Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan ancaman sindroma
kompartement.

b. Fraktur terbuka (open/compound fraktur) Dikatakan terbuka bila tulang yang patah menembus otot
dan kulit yang memungkinkan / potensial untuk terjadi infeksi dimana kuman dari luar dapat masuk
ke dalam luka sampai ke tulang yang patah. Derajat patah tulang terbuka :
1) Derajat I
Laserasi < 2 cm, fraktur sederhana, dislokasi fragmen minimal.
2) Derajat II
Laserasi > 2 cm, kontusio otot dan sekitarnya, dislokasi fragmen jelas.
3) Derajat III Luka lebar, rusak hebat, atau hilang jaringan sekitar.

2. Menurut Mansjoer (2002) derajat kerusakan tulang dibagi menjadi 2 yaitu:

a. Patah tulang lengkap (Complete fraktur) Dikatakan lengkap bila patahan tulang terpisah satu
dengan yang lainya, atau garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang dari tulang dan
fragmen tulang biasanya berubak tempat.
b. b. Patah tulang tidak lengkap ( Incomplete fraktur ) Bila antara oatahan tulang masih ada
hubungan sebagian. Salah satu sisi patah yang lainya biasanya hanya bengkok yang sering
disebut green stick. Menurut Price dan Wilson ( 2005) kekuatan dan sudut dari tenaga
fisik,keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang
terjadi itu lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah,
sedangkan pada fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang.

3. Menurut Mansjoer (2002) bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma ada 5
yaitu:
a. Fraktur Transversal : fraktur yang arahnya malintang pada tulang dan merupakan akibat
trauma angulasi atau langsung.
b. Fraktur Oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang
dan merupakan akibat dari trauma angulasi juga.
c. Fraktur Spiral : fraktur yang arah garis patahnya sepiral yang di sebabkan oleh trauma
rotasi.
d. Fraktur Kompresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong
tulang kea rah permukaan lain.
e. Fraktur Afulsi : fraktur yang di akibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada
insersinya pada tulang.

4. Menurut Smeltzer dan Bare (2001) jumlah garis patahan ada 3 antara lain:
a. Fraktur Komunitif : fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
b. Fraktur Segmental : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.
c. Fraktur Multiple : fraktur diman garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang
sama.

C. Etiologi
Etiologi dari fraktur menurut Price dan Wilson (2006) ada 3 yaitu:
1. Cidera atau benturan
2. Fraktur patologik Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi
lemah oleh karena tumor, kanker dan osteoporosis.
3. Fraktur beban Fraktur baban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang- orang yang baru
saja menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru di terima dalam angkatan bersenjata
atau orang- orang yang baru mulai latihan lari.

D. Patofisiologis
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila tidak terdapat
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan fraktur terbuka bila terdapat
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar oleh karena perlukaan di kulit (Smelter dan Bare,
2002). Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah ke dalam jaringan
lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan
biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel- sel darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan
peningkatan aliran darah ketempat tersebut aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru
umatur yang disebut callus.
Bekuan fibrin direabsorbsidan sel- sel tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk
tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut syaraf yang berkaitan dengan
pembengkakan yang tidak di tangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstrimitas dan
mengakibatkan kerusakan syaraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan akan mengakibatkan
peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dan berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya
serabut syaraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini di namakan sindrom compartment (Brunner dan
Suddarth, 2002 ).
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan ketidak seimbangan, fraktur
terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan
jaringan lunak seperti tendon, otot, ligament dan pembuluh darah ( Smeltzer dan Bare, 2001). Pasien
yang harus imobilisasi setelah patah tulang akan menderita komplikasi antara lain : nyeri, iritasi kulit
karena penekanan, hilangnya kekuatan otot. Kurang perawatan diri dapat terjadi bila sebagian tubuh
di imobilisasi, mengakibatkan berkurangnyan kemampuan prawatan diri (Carpenito, 2007). Reduksi
terbuka dan fiksasi interna (ORIF) fragmen- fragmen tulang di pertahankan dengan pen, sekrup, plat,
paku. Namun pembedahan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Pembedahan itu sendiri
merupakan trauma pada jaringan lunak dan struktur yang seluruhnya tidak mengalami cedera
mungkin akan terpotong atau mengalami kerusakan selama tindakan operasi (Price dan Wilson,
2006).

E. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan
ekstrimitas, krepitus, pembengkakan local, dan perubahan warna.
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di imobilisasi,
spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang di rancang untuk
meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak tidak
alamiah bukan seperti normalnya, pergeseran fraktur menyebabkan deformitas, ekstrimitas
yang bias di ketahui dengan membandingkan dengan ekstrimitas yang normal. Ekstrimitas
tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas
tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot
yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
4. Saat ekstrimitas di periksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang dinamakan
krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang lainya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai akibat dari trauma
dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasanya baru terjadi setelah beberapa jam
atau hari setelah cedera (Smelzter dan Bare, 2002).

F. Penatalaksanaan
Menurut Mansjoer (2000) dan Muttaqin (2008) konsep dasar yang harus dipertimbangkan pada
waktu menangani fraktur yaitu : rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi.
1. Rekognisi (Pengenalan )
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan diagnosa dan tindakan
selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai akan terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan
bentuk yang nyata dapat menentukan diskontinuitas integritas rangka.
2. Reduksi (manipulasi/ reposisi)
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen fragmen tulang yang patah
sedapat mungkin kembali lagi seperti letak asalnya. Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang
sehingga kembali seperti semula secara optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan reduksi
tertutup, traksi, atau reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah
jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada
kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami
penyembuhan (Mansjoer, 2002).
3. Retensi (Immobilisasi)
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara
optimal. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau di pertahankan dalam
posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi
eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin,
dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat di gunakan untuk fiksasi intrerna yang
brperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur. Fiksasi eksterna adalah alat yang
diletakkan diluar kulit untuk menstabilisasikan fragmen tulang dengan memasukkan dua atau tiga pin
metal perkutaneus menembus tulang pada bagian proksimal dan distal dari tempat fraktur dan pin
tersebut dihubungkan satu sama lain dengan menggunakan eksternal bars. Teknik ini terutama atau
kebanyakan digunakan untuk fraktur pada tulang tibia, tetapi juga dapat dilakukan pada tulang femur,
humerus dan pelvis (Mansjoer, 2000).

Prinsip dasar dari teknik ini adalah dengan menggunakan pin yang diletakkan pada bagian
proksimal dan distal terhadap daerah atau zona trauma, kemudian pin-pin tersebut dihubungkan satu
sama lain dengan rangka luar atau eksternal frame atau rigid bars yang berfungsi untuk
menstabilisasikan fraktur. Alat ini dapat digunakan sebagai temporary treatment untuk trauma
muskuloskeletal atau sebagai definitive treatment berdasarkan lokasi dan tipe trauma yang terjadi
pada tulang dan jaringan lunak (Muttaqin, 2008).
4. Rehabilitasi
Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk menghindari atropi atau
kontraktur. Bila keadaan mmeungkinkan, harus segera dimulai melakukan latihan-latihan untuk
mempertahankan kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi (Mansjoer, 2000).

G. Komplikasi
Komplikasi fraktur menurut Smeltzer dan Bare (2001) dan Price (2005) antara lain:
1. Komplikasi awal fraktur antara lain: syok, sindrom emboli lemak, sindrom kompartement,
kerusakan arteri, infeksi, avaskuler nekrosis.
a. Syok Syok hipovolemik atau traumatic, akibat perdarahan (banyak kehilangan darah
eksternal maupun yang tidak kelihatan yang bias menyebabkan penurunan oksigenasi) dan
kehilangan cairan ekstra sel ke jaringan yang rusak, dapat terjadi pada fraktur ekstrimitas,
thoraks, pelvis dan vertebra.

b. Sindrom emboli lemak Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk kedalam
pembuluh darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena
katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi stress pasien akan memobilisasi asam lemak dan
memudahkan terjasinya globula lemak pada aliran darah.

c. Sindroma Kompartement Merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot
kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini bisa disebabkan karena
penurunan ukuran kompartement otot karena fasia yang membungkus otot terlalu ketat,
penggunaan gibs atau balutan yang menjerat ataupun peningkatan isi kompatement otot
karena edema atau perdarahan sehubungan dengan berbagai masalah (misalnya : iskemi,dan
cidera remuk).

d. Kerusakan Arteri Pecahnya arteri karena trauma bias ditandai denagan tidak ada nadi,
CRT menurun, syanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas
yang disbabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit,
tindakan reduksi, dan pembedahan.

e. Infeksi Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi
pada kasus fraktur terbuka, tapi bias juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan
seperti pin dan plat. f. Avaskuler nekrosis Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran
darah ke tulang rusak atau terganggu yang bias menyebabkan nekrosis tulang dan di awali
dengan adanya Volkmans Ischemia (Smeltzer dan Bare, 2001).
2. Komplikasi dalam waktu lama atau lanjut fraktur antara lain: mal union, delayed union, dan non
union.
a. Malunion Malunion dalam suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh dalam posisi
yang tidak seharusnya. Malunion merupaka penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya
tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan pembedahan dan
reimobilisasi yang baik.

b. Delayed Union Delayed union adalah proses penyembuhan yang terus berjalan dengan kecepatan
yang lebih lambat dari keadaan normal. Delayed union merupakankegagalan fraktur berkonsolidasi
sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan
suplai darah ke tulang.

c. Nonunion Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi sambungan


yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion di tandai dengan adanya pergerakan yang
berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseuardoarthrosis. Ini juga disebabkan
karena aliran darah yang kurang (Price dan Wilson, 2006).

Pemeriksaan Penunjang
Menurut Doenges ( 2000) ada beberapa pemeriksaan penunjang pada pasien fraktur antara lain:
1. Pemeriksaan roentgen : untuk menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur
2. Scan tulang, tomogram, CT- scan/ MRI : memperlihatkan fraktur dan mengidentifikasi kerusakan
jaringan lunak
3. Pemeriksaan darah lengkap : Ht mungkkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun
(perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple). Peningkatan sel darah
putih adalah respon stress normal setelah trauma.
4. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
5. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfuse multiple, atau cedera
hati.

Anda mungkin juga menyukai