Makalah Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir
Makalah Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir
PENDAHULUAN
Masyarakat pertama kali mengenal tenaga nuklir dalam bentuk bom atom yang
dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki dalam Perang Dunia II tahun 1945. Sedemikian
dahsyatnya akibat yang ditimbulkan oleh bom tersebut sehingga pengaruhnya masih dapatdirasakan sampai
sekarang. Di samping sebagai senjata pamungkas yang dahsyat, sejak lamaorang telah
memikirkan bagaimana cara memanfaatkan tenaga nuklir untuk kesejahteraanumat manusia.
Sampai saat ini tenaga nuklir, khususnya zat radioaktif telah dipergunakansecara luas dalam
berbagai bidang antara lain bidang industri, kesehatan, pertanian,peternakan, sterilisasi produk
farmasi dan alat kedokteran, pengawetan bahan makanan,bidang hidrologi, yang merupakan
aplikasi teknik nuklir untuk non energi. Salah satupemanfaatan teknik nuklir dalam bidang
energi saat ini sudah berkembang dan dimanfaatkansecara besar-besaran dalam bentuk
Pembangkit Listrik Tenaga nuklir (PLTN), dimana tenaganuklir digunakan untuk
membangkitkan tenaga listrik yang relatif murah, aman dan tidak mencemari lingkungan.
PEMBAHASAN
Definisi PLTN
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) adalah stasiun pembangkit listrik thermal
dimana panas yang dihasilkan diperoleh dari satu atau lebih reaktor nuklir pembangkit
listrik.PLTN termasuk dalam pembangkit daya base load, yang dapat bekerja dengan baik
ketikadaya keluarannya konstan (meskipun boiling water reactor dapat turun hingga setengah
dayanya ketika malam hari). Daya yang dibangkitkan per unit pembangkit berkisar dari
40MWe hingga 1000 MWe. Unit baru yang sedang dibangun pada tahun 2005 mempunyai
daya 600-1200 MWe. Hingga tahun 2005 terdapat 443 PLTN berlisensi di dunia, dengan
441diantaranya beroperasi di 31 negara yang berbeda. Keseluruhan reaktor tersebut
menyuplai17% daya listrik dunia.
Reaksi fisi
Reaksi nuklir ini terjadi di dalam reaktor nuklir. Reaktor dirancang untuk memproduksi energi
listrik melalui PLTN, dan hanya memanfaatkan energi panas yang timbul dari reaksi fisi.
Sedangkan kelebihan neutron dalam teras reaktor akan dibuang atau diserap menggunakan
batang kendali. Karena memanfaatkan panas hasil fisi, reaktor tersebut dirancang berdaya
termal tinggi dari orde ratusan hingga ribuan MW. Terdapat dua jenis reaktor fisi nuklir, antara
lain :
1. thermal reactor powerplant;
2. fast-breeder-reactor powerplan.
Pada reaktor termal untuk pembangkit komersial terdapat empat jenis reaktor, antara lain :
1. Pressurized-water-reactor (PWR);
2. Boiling Water Reactor (BWR);
3. Gas Cooled Reactor (GCR);
4. Pressurized Heavy Water Reactor (PHWR).
Berikut ini adalah beberapa contoh skema proses reaktor termal untuk PWR dan BWR :
Pressurized-water-reactor (PWR)
Boiling Water Reactor (BWR)
Secara singkat, proses pemanfaatan panas hasil fisi untuk menghasilkan energi listrik di dalam
PLTN adalah sebagai berikut :
- Bahan bakar nuklir melakukan reaksi fisi sehingga melepaskan energi dalam bentuk panas
yang sangat besar
- Panas dari hasil reaksi nuklir tersebut dimanfaatkan untuk menguapkan air pendingin, dapat
berupa pendingin primer maupun sekunder, bergantung pada tipe reakor nuklir yang
digunakan.
- Uap air yang dihasilkan ini dipakai untuk memutar turbin sehingga menghasilkan energi
kinetik
- Energi kinetik dari turbin ini selanjutnya dipakai untuk memutar generator sehingga
menghasilkan arus listrik.
PLTN di Indonesia
Sampai saat ini Indonesia belum berhasil membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir
(PLTN), sehingga belum ada sebuah pun PLTN yang dapat dioperasikan untuk mengurangi
beban kebutuhan energi listrik yang saat ini semakin meningkat di Indonesia. Padahal energi
nuklir saat ini di dunia sudah cukup berkembang dengan menguasai pangsa sekitar 16% listrik
dunia. Hal ini menunjukkan bahwa energi nuklir adalah sumber energi potensial, berteknologi
tinggi, berkeselamatan handal, ekonomis, dan berwawasan lingkungan, serta merupakan
sumber energi alternatif yang layak untuk dipertimbangkan dalam Perencanaan Energi Jangka
Panjang bagi Indonesia guna mendukung pembangunan yang berkelanjutan.
Berdasarkan statistik PLTN dunia tahun 2002 terdapat 439 PLTN yang beroperasi di seluruh
dunia dengan kapasitas total sekitar 360.064 GWe, 35 PLTN dengan kapasitas 28.087 MWe
sedang dalam tahap pembangunan. PLTN yang direncanakan untuk dibangun ada 25 dengan
kapasitas 29.385 MWe. Kebanyakan PLTN baru dan yang akan dibangun berada di beberapa
negara Asia dan Eropa Timur. Memang di negara maju tidak ada PLTN yang baru, tetapi ini
tidak berarti proporsi listrik dari PLTN akan berkurang. Di Amerika beberapa PLTN telah
mendapatkan lisensi perpanjangan untuk dapat beroperasi hingga 60 tahun, atau 20 tahun lebih
lama daripada lisensi awalnya.
Di Indonesia, ide pertama untuk pembangunan dan pengoperasian PLTN sudah dimulai pada
tahun 1956 dalam bentuk pernyataan dalam seminar-seminar yang diselenggarakan di beberapa
universitas di Bandung dan Yogyakarta. Meskipun demikian ide yang sudah mengkristal baru
muncul pada tahun 1972 bersamaan dengan dibentuknya Komisi Persiapan Pembangunan
PLTN (KP2PLTN) oleh Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) dan Departemen Pekerjaan
Umum dan Tenaga Listrik (Departemen PUTL). Kemudian berlanjut dengan
diselenggarakannya sebuah seminar di Karangkates, Jawa Timur pada tahun 1975 oleh
BATAN dan Departemen PUTL, dimana salah satu hasilnya suatu keputusan bahwa PLTN
akan dikembangkan di Indonesia. Pada saat itu juga sudah diusulkan 14 tempat yang
memungkinkan di Pulau Jawa untuk digunakan sebagai lokasi PLTN, dan kemudian hanya 5
tempat yang dinyatakan sebagai lokasi yang potensial untuk pembangunan PLTN.
Pada tahun 1985 pekerjaan dimulai dengan melakukan reevaluasi dan pembaharuan studi yang
sudah dilakukan dengan bantuan International Atomic Energy Agency (IAEA), Pemerintah
Amerika Serikat melalui perusahaan Bechtel International, Perusahaan Perancis melalui
perusahaan SOFRATOME, dan Pemerintah Itali melalui perusahaan CESEN. Dokumen yang
dihasilkan dan kemampuan analitis yang dikembangkan dengan program bantuan kerjasama
tersebut sampai saat ini masih menjadi dasar pemikiran bagi perencanaan dan pengembangan
energi nuklir di Indonesia khususnya di Semenanjung Muria.
Pada tahun 1989, Pemerintah Indonesia melalui Badan Koordinasi Energi Nasional
(BAKOREN) memutuskan untuk melakukan studi kelayakan yang komprehensif termasuk
investigasi secara mendalam tentang calon tapak PLTN di Semenanjung Muria Jawa-Tengah.
Pelaksanaan studi itu sendiri dilaksanakan di bawah koordinasi BATAN, dengan arahan dari
Panitia Teknis Energi (PTE), Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, dan dilakukan
bersama-sama oleh beberapa instansi lain di Indonesia.
Pada bulan Agustus tahun 1991, sebuah perjanjian kerja tentang studi kelayakan telah
ditandatangani oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia dengan Perusahaan Konsultan
NEWJEC Inc. Perjanjian kerja ini berjangka waktu 4,5 tahun dan meliputi pelaksanaan
pekerjaan tentang pemilihan dan evaluasi tapak PLTN, serta suatu studi kelayakan yang
komprehensif tentang kemungkinan pembangunan berbagai jenis PLTN dengan daya total
yang dapat mencapai 7000 MWe. Sebagian besar kontrak kerja ini digunakan untuk
melakukan pekerjaan teknis tentang penelitian pemilihan dan evaluasi tapak PLTN di lokasi
tapak di Semenanjung Muria.
Pada 2 tahapan pekerjaan yang pertama (Step 1-2) sudah dilakukan dengan baik pada tahun
1992 dan 1993. Pada fase ini 3 buah calon tapak yang spesifik sudah berhasil dilakukan dengan
studi perbandingan dan ditentukan rangkingnya. Sebagai kesimpulan didapatkan bahwa calon
tapak terbaik adalah tapak PLTN Ujung Lemahabang. Kemudian tahapan kegiatan investigasi
akhir (Step-3) dilakukan dengan mengevaluasi calon tapak terbaik tersebut untuk melakukan
konfirmasi apakah calon tapak tersebut betul dapat diterima dan memenuhi standar
internasional. Studi tapak PLTN ini akhirnya dapat diselesaikan pada tahun 1995. Secara
keseluruhan, studi tapak PLTN di Semanjung Muria dapat diselesaikan pada bulai Mei tahun
1996. Selain konfirmasi kelayakan calon tapak di Semanjung Muria, hasil lain yang penting
adalah bahwa PLTN jenis air ringan dengan kapasitas antara 600 s/d 900 MWe dapat dibangun
di Semenanjung Muria dan kemudian dioperasikan sekitar tahun 2004 sebagai solusi optimal
untuk mendukung sistem kelistrikan Jawa-Bali.
Pada tahun-tahun selanjutnya masih dilakukan lagi beberapa studi tambahan yang mendukung
studi kelayakan yang sudah dlakukan, antara lain studi penyiapan Bid Invitation
Specification (BIS), studi pengembangan dan evaluasi tapak PLTN, studi perencanaan energi
dan kelistrikan nasional dan studi pendanaan pembangunan PLTN. Selain itu juga dilakukan
beberapa kegiatan yang mendukung aktivitas desain dan pengoperasian PLTN dengan
mengembangkan penelitian di beberapa fasilitas penelitian BATAN, antara lain penelitian
teknologi dan keselamatan PLTN, proteksi radiasi, bahan bakar nuklir dan limbah radioaktif
serta menyelenggarakan kerjasama internasional dalam bentuk partisipasi desain PLTN.
Akibat krisis multidimensi yang terjadi pada tahun 1998, maka dipandang layak dan perlu
untuk melakukan evaluasi kembali tentang kebutuhan (demand) dan penyediaan (supply)
energi khususnya kelistrikan di Indonesia. Untuk itu suatu studi perancanaan energi dan
kelistrikan nasional jangka panjang Comprehensive Assessment of Different Energy
Resources for Electricity Generation in Indonesia (CADES) yang dilakukan dan diselesaikan
pada tahun 2002 oleh sebuah Tim Nasional di bawah koordinasi BATAN dan BPPT (Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi) dengan dukungan IAEA.
Hasil studi ini menunjukkan bahwa kebutuhan energi di Indonesia diproyeksikan meningkat di
masa yang akan datang. Kebutuhan energi final (akhir) akan meningkat dengan pertumbuhan
3,4% per tahun dan mencapai jumlah sekitar 8146 Peta Joules (PJ) pada tahun 2025. Jumlah
ini adalah sekitar 2 kali lipat dibandingkan dengan kebutuhan energi final di awal studi tahun
2000. Pertumbuhan jenis energi yang paling besar adalah pertumbuhan kapasitas
pembangkitan energi listrik yang mencapai lebih dari 3 kali lipat dari kondisi semula, yaitu dari
29 GWe di tahun 2000 menjadi sekitar 100 GWe di tahun 2025. Jumlah kapasitas
pembangkitan ini, sekitar 75% akan dibutuhkan di jaringan listrik Jawa-Madura-Bali (Jamali).
Dari berbagai jenis energi yang tersedia untuk pembangkitan listrik dan dilihat dari sisi
ketersediaan dan keekonomiannya, maka energi gas akan mendominasi penyediaan energi
guna pembangkitan energi listrik, sekitar 40% untuk wilayah Jamali. Energi batubara akan
muncul sebagai pensuplai kedua setelah gas, yaitu sekitar 30% untuk wilayah Jamali. Sisanya
sekitar 30% untuk akan disuplai oleh jenis energi yang lain, yaitu hidro, mikrohidro,
geothermal dan energi baru dan terbarukan lainnya. Diharapkan energi nuklir dapat
menyumbang sekitar 5-6% pada tahun 2025.
Jenis-jenis PLTN
PLTN dikelompokkan berdasarkan jenis reaktor yang digunakan. Tetapi ada juga
PLTNyang menerapkan unit-unit independen, dan hal ini bisa menggunakan jenis reaktor
yangberbeda. Sebagai tambahan, beberapa jenis reaktor berikut ini, di masa depan
diharapkanmempunyai sistem keamanan pasif.
Reaktor Fisi
Reaktor daya fisi membangkitkan panas melalui reaksi fisi nuklir dari isotop
fissiluranium dan plutonium.
Reaktor thermal
Moderator Grafit:
o Magnox
o Advanced gas-cooled reactor (AGR)
o High temperature gas cooled reactor (HTGR)
o RBMK
o Pebble bed reactor (PBMR)
o SGHWR
o CANDU
Reaktor cepat
Meski reaktor nuklir generasi awal berjenis reaktor cepat, tetapi perkembangan
reaktor nuklir jenis ini kalah dibandingkan dengan reaktor thermal.
Keuntungan reaktor cepat diantaranya adalah siklus bahan bakar nuklir yangdimilikinya
dapat menggunakan semua uranium yang terdapat dalam urainum alam, dan jugadapat
mentransmutasikan radioisotop yang tergantung di dalam limbahnya menjadi material luruh
cepat. Dengan alasan ini, sebenarnya reaktor cepat secara inheren lebih menjaminkelangsungan
ketersedian energi ketimbang reaktor thermal. Lihat juga reaktor fast breeder.Karena sebagian
besar reaktor cepat digunakan untuk menghasilkan plutonium, maka reaktor jenis ini terkait
erat dengan proliferasi nuklir.
Reaktor Fusi
Fusi nuklir menawarkan listrik. Hal ini masihmenjadi bidang penelitian aktif dengan skala
besar seperti dapat dilihat di JET, ITER, dan Zmachine
e. Keselamatan Nuklir
Penghalang Ganda
Lepas dari sistempendingin, masih ada penghalang keempat berupa bejana tekan dibuat dari baja dengan
tebal 20 cm. Penghalang kelima adalah perisai beton dengan tebal 1,5-2 m. Bila zat radioaktif itumasih
ada yang lolos dari perisai beton, masih ada penghalang keenam, yaitu sistempengungkung
yang terdiri dari pelat baja setebal 7 cm dan beton setebal 1,5-2 m yang kedapudara. Jadi
selama operasi atau jika terjadi kecelakaan, zat radioaktif benar-benar tersimpandalam reaktor
dan tidak dilepaskan ke lingkungan. Kalaupun masih ada zat radioaktif yangterlepas jumlahnya
sudah sangat diperkecil sehingga dampaknya terhadap lingkungan tidak berarti.
Pertahanan Berlapis
Faktor Keamanan
Salah satu sumber ketidakpastian masyarakat tentang PLTN disebabkan oleh adanya
kemungkinan kegagalan sistim yang mengakibatkan bencana pada PLTN, seperti yang terjadi
di TMI dan Chernobyl. Karakterisitik bencana pada PLTN dapat didefinisikan sebagai
insiden dengan "low probability, high consequences'. Suatu bencana disebut katastrofi jika
mengakibatkan sedikitnya 3.000 korban jiwa atau 45.000 orang cedera; maka probabilitas
terjadinya katastrofi adalah sangat kecil, yaitu 1 tiap 107 tahun. Disamping katastrofi,
insiden-insiden dalam skala lebih kecil yang terjadi di PLTN diperkirakan mengakibatkan
kurang lebih 2 korban jiwa tiap 20 juta MWh per tahun listrik dari kanker, tumor, penyakit
genetik dan lain-lainnya. Karena pada PLTU angka korban insiden ini sedemikian kecilnya
sehingga dapat diabaikan, faktor ini dapat dijadikan satu pertimbangan dalam memilih jenis
Pembangkit Tenaga Listrik untuk sumber listrik kita di masa depan. Menjajagi segi
keamanan (safety) dari kedua pilihan ini terhadap kemungkinan kecelakaan, terlihat bahwa
sebagian besar risiko ditemui pada saat penambangan bahan bakar tersebut. Di AS, sejauh ini
teknologi PLTU telah menelan 1.300 korban jiwa dan 40.000 orang cedera sementara untuk
PLTN 5.000 orang cedera dan kurang dari 100 korban jiwa
Limbah nuklir sampai saat ini tetap menjadi sumber utama kecemasan masyarakat banyak
tentang PLTN. Sebuah PLTN dengan kapasitas 1.000 MWe membutuhkan sekitar 1 metrik
ton bahan bakar dan menghalkan limbah sebanyak kira-kira 70 liter per hari. Sampai tahun
1980, AS telah menghasilkan 36 juta ton limbah dengan radiasi rendah dan 8.300 ton limbah
dengan radiasi tinggi. Jumlah ini sebenarnya menghasilkan dampak radiologis yang setingkat
dengan ratusan juta ton sampah yang dihasilkan oleh PLTU. Hanya karena konsentrasi
radiasi yang tinggi, limbah PLTN membutuhkan suatu penanganan yang khusus. Selama ini,
sisa bahan bakar dengan radiasi tinggi disimpan sementara di kolam-kolam penampungan
sehingga efek radiasi yang ditimbulkannya dapat diabaikan, tetapi dengan semakin
meningkatnya pemakain PLTN dalam produksi listrik, kebutuhan akan suatu metode
penyimpanan permanen yang tepercaya terasa semakin mendesak. Meskipun sejauh ini
belum ada satu cara yang dapat diterima secara meluas, beberapa metode yang diusulkan
meliputi penyimpanan di tambang garam, lapisan granit, dibawah lapisan air tanah atau di
dasar laut. Satu syarat mutlak yang telah dipenuhi oleh lokasi-lokasi ini terjaminnya
kestabilan geologis untuk masa-masa yang akan datang.
Untuk PLTN, satu tambahan pertimbangan adalah adanya ancaman terorisme, meskipun
sampai sekarang belum ada realisasinya. Meskipun menurut para ahli penggelapan Plutonium
untuk pembuatan bom nuklir sederhana lebih merupakan fiksi daripada kenyataan,
hendaknya hal ini diperhitungkan juga dalam pemilihan jenis Pembangkit Tenaga Listrik dan
lokasinya di masa mendatang. Tetapi dengan sikap waspada dan hati-hati yang selama ini
dianut dalam lingkup penggunaan bahan nuklir dan fakta bahwa untuk Indonesia risiko ini
adalah lebih kecil daripada di negara-negara lain yang lebih maju dan liberal, agaknya untuk
saat ini hal tersebut hanya akan merupakan pertimbangan minor saja. q
Sosial/faktor Ekonomi
Secara umum, PLTN dapat digolongkan sebagai investasi dengan modal tinggi dan biaya
tahunan yang rendah ( untuk bahan bakar, operasi dan pemeliharaan) atau disebut "high
capital low annuities investment" sementara PLTU sebaliknya adalah sebuah investasi
dengan " low capital high annuities ". Ini sedikit banyak dapat dihubungkan dengan
perbedaan waktu konstruksi : 5-6 tahun untuk PLTU dan 7-10 tahun untuk PLTN. Oleh
karenanya, biaya pembangunan PLTN lebih sensitif terhadap perubahan desain dan teknologi
reaktor, perubahan standar keamanan, harga bahan baku reaktor dan suku bunga pinjaman
dari kapital yang dipakai. Menurut statistik, pembangunan PLTN cenderung untuk
"overbudget", dari hanya beberapa persen sampai sekitar dua kali lipat perkiraan biaya
semula. Di lain pihak, PLTU lebih sensitif terhadap harga bahan bakar yang berubah-ubah
sesuai dengan pasar yang ada meskipun biaya pembangunan tidak akan banyak beranjak dari
yang semula diperkirakan. Untuk Indonesia, dimana penyediaan batubara untuk PLTU akan
berasal dari perusahaan negara, faktor perubahan harga ini tidak akan sedrastis yang terjadi di
pasar bebas.
Dari beberapa sumber yang dipakai untuk makalah ini diperoleh angka yang berbeda-beda
untuk biaya rata-rata untuk kedua jenis pembangkit listrik ini, sehingga hanya dapat
disimpulkan bahwa pada umumnya, terutama untuk negara-negara maju di Amerika Utara,
Eropa Barat dan Asia, PLTN tergolong lebih murah dari PLTU untuk kapasitas listrik yang
sama. Untuk negara-negara sedang berkembang yang masih harus mengimpor sebagian besar
dari teknologi pembuatan reaktor tersebut, mungkin didapat angka yang berbeda untuk biaya
pembuatan sebuah reaktor nuklir, tetapi sulit didapat data yang akurat untuk itu. Maka
penulis hanya akan memberikan gambaran tentang angka-angka yang beriaku di negara-
negara maju yang telah kami sebut di atas.
Maksud dari istilah biaya disini adalah rata-rata pertahun dari seturuh investasi yang
dikeluarkan selama masa laik operasinya. Hanya saja untuk masa-masa mendatang harga
sebuah PLTN akan mengalami tingkat kenaikan yang lebih tinggi daripada PLTU, terutama
karena terdapatnya biaya de-commissioning (penutupan sebuah lokasi PLTN) yang tinggi.
Oleh karena itu pada permulaan abad ke 21 nanti keduanya tidak akan berbeda jauh.
Walaupun demikian harga PLTN tetap di bawah PLTU. Satu referensi mengungkapkan
bahwa rendahnya harga PLTN tersebut dimungkinkan oleh adanya subsidi dari pemerintah
setempat untuk memacu penggunaan teknologi baru ini. Tanpa subsidi tersebut, biaya sebuah
PLTN mencapai 30-100% lebih mahal daripada PLTU. Tetapi teknologi maju yang didapat
bisa dijadikan justifikasi untuk memilih teknologi tersebut meskipun dengan biaya yang lebih
mahal.
Tidak menghasilkan emisi gas rumah kaca (selama operasi normal) - gas rumah
kacahanya dikeluarkan ketika Generator Diesel Darurat dinyalakan dan hanya
sedikitmenghasilkan gas).
Tidak mencemari udara - tidak menghasilkan gas-gas berbahaya sepert karbon monoksida,
sulfur dioksida, aerosol, mercury, nitrogen oksida, partikulate atau asap fotokimia.
Pada saat ini, kebutuhan energi di Indonesia semakin meningkat namun cadangan sumber
energi utama yang tak terbarukan seperti minyak bumi, gas, dan batu bara semakin lama
semakin menipis. Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk mengembangkan sumber daya
energi alternatif seperti contohnya : bio massa, bio-etanol, biogas, serta sumber daya alam lain
yang masih bisa dimanfaatkan untuk menggantikan fossil fuel seperti : panas bumi, air, angin,
dan panas matahari.
Namun, masih ada satu energi alternatif lagi yang masih dalam pengembangan di Indonesia,
yaitu energi nuklir. Pemanfaatan energi nuklir dapat meminimalkan ketergantungan negara
dari energi fosil. Selain itu, pemanfaatan energi nuklir juga dapat mengurangi masalah
pemanasan global yang sedang menjadi perhatian dunia saat ini. Pada bidang kelistrikan,
energi nuklir dapat dipakai pada sistem pembangkitan listrik tenaga nuklir (PLTN).
Dalam sudut pandang kebutuhan energi listrik di masa sekarang dan akan datang, sebagian
besar masyarakat sepakat bahwa Indonesia harus meningkatkan produksi energinya yang
sering gagal diantisipasi. Selain sebagai sumber penerangan, listrik mempunyai peranan lain,
yaitu sebagai pendorong kemajuan perekonomian suatu negara. Oleh karena itu, ada suatu
hubungan antara konsumsi listrik dengan keadaan perekonomian suatu masyarakat. Dari
beberapa sumber energi yang ada perlu ditentukan juga beberapa alternatif pilihan yang sudah
sering ditawarkan oleh pemerintah dan banyak dibahas, dikaji, dikomentari oleh para pakar
energi, pakar listrik, maupun masyarakat umum, dan PLTN merupakan salah satu alternatif
untuk mengantisipasi kebutuhan listrik Indonesia yang terus meningkat tersebut.
Sedangkan kawasan kawasan Timur Tengah, sebagai kawasan negara sumber penghasil
minyak saat ini kecenderungan untuk memanfaatkan PLTN sebagai opsi pemasok penaga
listriknya. Seperti Uni Arab Emirat langsung merencanakan pembangunan PLTN empat unit
dari sepuluh yang diusulkan. Sedangkan di Eropa khususnya negara Prancis, seluruh kebutuhan
listrik negaranya di suplai dari PLTN.
Bab III.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas maka dapat diambil kesimpulan mengenai Pembangkit Listrik Tenaga
Nuklir :
DAFTAR PUSTAKA
Hardianto, Toto. Kuliah Pembangkitan : Opsi Nuklir Dalam Kebijakan Energi Nasional. ITB
: 2009.
Hardianto, Toto. Kuliah Pembangkitan : Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir. Kelompok
Keahlian Konversi Energi, ITB : 2009
www.batan.go.id
NN. Pemanfaatan PLTN sebagai Pembangkit Listrik Indonesia.
(Sumber: Andang Nugroho dan Hindro Mujianto - Permias)
Ir. Nanan Tribuana, Subdirektorat Pengawasan Lingkungan Ketenagalistrikan Ditjen LPE