Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) + DIABETES


MELITUS TIPE II + HIPERTENSI GRADE II

Disusun oleh:
Hamsyariyah, S.Ked
FAB 117 003

Pembimbing:
dr. Sutopo M.Widodo, Sp.KFR
dr. Tagor Sibarani

KEPANITERAAN KLINIK REHABILITASI MEDIK DAN


EMERGENCY MEDICINE
RSUD dr. DORIS SYLVANUS/FK-UNPAR
PALANGKA RAYA
2017

1
BAB I
PENDAHULUAN

Diabetes melitus merupakan salah satu dari lima kondisi kronis paling utama yang
mempengaruhi lansia, tidak dapat disembuhkan. Menurut ADA, 2010 Diabetes melitus
(DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia
yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Penyakit
diabetes melitus masih menjadi persoalan bersama. Bahkan di Indonesia, penyakit ini
masih berada pada posisi ke empat sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar
yang menderita diabetes melitus setelah Amerika Serikat, Cina, dan India. Berdasarkan
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi kenaikan jumlah penderita DM di
Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030.1
Diabetes melitus tipe II merupakan penyakit pogresif dengan komplikasi akut
maupun kronik yang prevalensinya meningkat dari tahun ke tahun. Nefropati diabetik
merupakan komplikasi kronik mikrovaskular diabetes melitus (DM) baik tipe 1 atau 2
yang menyebabkan timbulnya penyakit ginjal kronik atau Chronic Kidney Disease
(CKD) yang dapat mengakibatkan penurunan fungsi ginjal secara progresif, dan pada
umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal merupakan suatu keadaan klinis
yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversible, pada suatu derajat yang
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal.2

2
BAB II
LAPORAN KASUS

PRIMARY SURVEY (Ny. D)


Vital Sign :
Tekanan darah : 160/100 mmHg
Nadi : 98x/menit
Suhu : 36,90C
Pernapasan : 28x/menit
Airway : bebas, tidak ada sumbatan jalan nafas
Breathing : spontan, 28x/menit, torako-abdominal, pergerakan thoraks simetris
Circulation: tekanan darah 160/100 mmHg, nadi 98x/menit, CRT <2”
Disability : GCS E4V5M6, pupil isokor +/+, diameter 3 mm/3mm, reflex cahaya +/+
Evaluasi masalah : berdasarkan primary survey sistem triase, kasus ini merupakan
kasus yang termasuk dalam emergency sign label kuning karena didapatkan gangguan
sirkulasi, yaitu tekanan darah 160/100 mmHg, dan gangguan breathing, yaitu
pernapasan 28x/menit.
Tatalaksana awal : tata laksana awal pada pasien ini adalah ditempatkan di ruangan
non bedah dan diberikan oksigen.

I. IDENTITAS
Nama : Ny. D
Usia : 48 tahun
Pekerjaan : PNS
Agama : Kristen
Alamat : Palangkaraya
Tanggal MRS : 30-11-2017, pukul 10.30 WIB

II. ANAMNESIS
Keluhan utama : Sesak nafas
Riwayat penyakit sekarang :

3
Pasien datang ke IGD dengan keluhan sesak nafas yang dirasakan sejak 2 minggu,
yang semakin memberat sejak 2 hari SMRS. Sesak dirasakan hilang timbul.
Pasien mengaku sesak ditimbul saat berbaring, namun berkurang saat istirahat
dalam keadaan setengah duduk. Pasien juga mengeluhkan badan terasa lemas dan
merasa lebih cepat lelah sejak 1 minggu SMRS, lemas tidak berkurang dengan
istirahat maupun pemberian makanan. Batuk kering (+) namun kadang-kadang,
pusing berdenyut (+), nyeri ulu hati (+), muntah (+) 1-2 kali yang didahului mual
saat 1 hari SMRS yang membuat nafsu makan menurun, muntah isi air dan
makanan yang sebelumnya dimakan sebanyak ±½ gelas aqua. Muntah timbul
setelah pasien makan, dan berkurang apabila tidak sedang makan. BAB dan BAK
tidak ada keluhan.
Pasien mengetahui bahwa ia memiliki riwayat penyakit DM sejak ±10 tahun yang
lalu. Pasien merasa bahwa sejak ±10 tahun itu pasien sering merasa lapar dan
mudah haus, serta sering kencing terutama di malam hari.

Riwayat penyakit dahulu :


 Riwayat DM (+) sejak ±10 tahun yang lalu, sebelumnya pasien sering kontrol
dan rutin berobat, namun dalam beberapa tahun terakhir tidak pernah kontrol
lagi dan hanya membeli obat sendiri (obat Metformin 2x1), namun tidak rutin
diminum.
 Riwayat Hipertensi (+) sejak 5 tahun yang lalu, mengkonsumi obat
amlopidin10 mg diminum 1x1, namun tidak rutin minum obat. Pasien minum
obat saat merasa kepalanya pusing. Karena pasien mengangap rasa pusing
tersebut sebagai tanda bahwa tekanan darahnya naik.
 Riwayat Gastritis (+) sejak 2 tahun, hanya mengkonsumsi obat promag
apabila dirasa mual dan nyeri ulu hati.
 Riwayat penyakit jantung (-)
 Riwayat penyakit asma (-)
Riwayat penyakit keluarga : Riwayat keluarga dengan DM dan hipertensi (+)

4
III. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum : tampak sesak, GCS: eye (4), verbal (5), motorik (6).
2. Tanda-tanda vital : tekanan darah : 160/100 mmHg, denyut nadi: 98 x/menit,
suhu 36,9oC, RR: 28 kali/menit.
3. SPO2 : 95%
4. Kulit : turgor <2”, pucat (-), sianosis (-)
5. Mata : konjungtiva anemis (+)/(+), sclera ikterik (-), pernapasan cuping
hidung (-), pupil isokor, diameter pupil 3mm/3mm, RCL (+/+), RCTL (+/+).
6. Leher : perbesaran KGB (-), peningkatan JVP (-)
7. Toraks :Simetris, retraksi (-), fremitus menurun dibasal kedua paru, vesikuler
menurun dibasal kedua paru, ronkhi (-/-), wheezing (-/-), ictus cordis tidak
terlihat dan teraba pada SIC V 2 cm lateral garis midclavicula sinistra, S1-S2
tunggal, reguler,murmur (-),gallop (-).
8. Abdomen : datar, supel, bising usus (+) normal, timpani, hepar dan lien tidak
teraba membesar, shifting dulness (+).
9. Ekstremitas : akral hangat, CRT <2”, pitting edema (+/+)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan Darah Lengkap
Hb 8,5 g/Dl
Eritrosit 3,30 x 106 u/L
Leukosit 9,46 x 103 u/L
Trombosit 225x103/ul
GDS 137 mg/dl
Ureum 72 mg/dL
Creatinin 5,50 mg/dL
HbsAg - (negatif)
CT/BT 400/200

5
EKG

V. DIAGNOSIS
Chronic Kidney Disease (CKD) + DM tipe II + Hipertensi grade II

VI. PENATALAKSANAAN
 O2 nasal kanul 2-3 lpm
 Infus NaCl 0,9% 16 tpm
 Injeksi furosemid 20 mg/8 jam
 Injeksi ranitide 2 x 50 mg
 Novorapid 4-4-4 iu sc
 Obat oral : Asam folat 3 x 1 tab
Valsartan 1 x 80 mg
Ketocid 3 x 1 tab

6
VII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanationam : ad bonam

7
BAB III
PEMBAHASAN

Pasien datang ke IGD dengan keluhan sesak nafas yang dirasakan sejak 2 minggu,
yang semakin memberat sejak 2 hari SMRS. Sesak dirasakan hilang timbul. Pasien
mengaku sesak ditimbul saat berbaring, namun berkurang saat istirahat dalam keadaan
setengah duduk. Pasien juga mengeluhkan badan terasa lemas dan merasa lebih cepat
lelah sejak 1 minggu SMRS, lemas tidak berkurang dengan istirahat maupun pemberian
makanan. Batuk kering (+) namun kadang-kadang, pusing berdenyut (+), nyeri ulu hati
(+), muntah (+) 1-2 kali yang didahului mual saat 1 hari SMRS yang membuat nafsu
makan menurun, muntah isi air dan makanan yang sebelumnya dimakan sebanyak ±½
gelas aqua. Muntah timbul setelah pasien makan, dan berkurang apabila tidak sedang
makan. BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Pada kasus ini pasien mengeluhkan adanya mual dan muntah yang disebut dengan
gastropati uremikum. Hal ini timbul akibat meningkatnya kadar ureum dalam darah >2,5
kali dari nilai normal. Berdasarkan hasil pemeriksaan kimia klinik didapatkan kadar
ureum sebesar 72 mg/dL, dimana nilai normalnya adalah 21-53 mg/dL. Selain itu juga
sindrom uremicum menyebabkan gejala seperti lemas, dan anoreksia yang menyebabkan
penurunan berat badan.
Pasien mengetahui bahwa ia memiliki riwayat penyakit DM sejak ±10 tahun yang
lalu. Pasien merasa bahwa sejak ±10 tahun itu pasien sering merasa lapar dan mudah
haus, serta sering kencing terutama di malam hari. Pasien mengaku adanya penurunan
berat badan. Selain itu juga pasien memiliki riwayat hipertensi dan gastritis. Serta
memiliki keluarga dengan riwayat DM dan hipertensi.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital : tekanan darah : 160/100 mmHg,
denyut nadi: 98 x/menit, suhu 36,9oC, RR: 28 kali/menit. Sehingga pada pasien ini
ditemukan adanya hipertensi grade I, yaitu tekanan darah 160/100; takipnea, yaitu
pernapasannya 28x/menit. Selain itu juga pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya
konjungtiva anemis, vesicular dan fremitus vocal menurun pada kedua basal paru, pitting
edema pada ekstremitas. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb : 8,5 g/dL;
ureum : 72 g/dL; dan creatinin : 5,50 g/dL.

8
Pada pasien didapatkan konjungtiva anemis pada pemeriksaan fisik. Salah satu
fungsi ginjal adalah mensekresikan eritropoietin, yaitu suatu hormon yang merangsang
pembentukan eritrosit. Pada pasien CKD terjadi penurunan eritrosit akibat dari defisiensi
pembentukan eritropoietin ginjal. Tingginya kadar ureum dalam darah dapat
menyebabkan inaktivasi eritropietin atau menekan respon sumsum tulang terhadap
eritropoietin sehingga yang terjadi adalah berkurangnya pembentukan eritrosit.
Selain itu juga pada pasien ditemukan adanya pitting edema, serta adanya asites.
Edema terjadi pada kondisi dimana terdapat peningkatan tekanan hidrostatik kapiler,
peningkatan permeabilitas kapiler, peningkatan tekanan osmotik interstitial, ataupun
penurunan tekanan osmotik plasma. Ginjal memiliki peran penting dalam
mempertahankan homeostasis cairan melalui kontrol ekskresi natrium dan air. Penurunan
aliran darah ke ginjal akan dikompensasi dengan menahan natrium dan air melalui
mekanisme peningkatan reabsorpsi garam dan air didalam tubulus proksimal dan distal.
Cairan yang teretensi didalam tubuh ini akan menyebabkan edema terutama pada tungkai
karena pengaruh gravitasi.

Pada pasien ini mendapakan tatalaksana awal yaitu dengan diberikan oksigen
nasal canul 2-3 lpm. Kemudian diberikan injeksi furosemid 20 mg. Furosemid
merupakan diuretik kuat yang berfungsi untuk reabsorbsi sodium dan klorida di
ascending loop henle dan tubulus distal ginjal. Meningkatkan ekskresi sodium, air,
klorida, kalsium dan magnesium. Diuretik kuat diindikasikan untuk edema, hiperkalsemia
akut, hiperkalemia, GGA, dan hipertensi. Ranitidie merupakan obat H2 reseptor bloker
yang bekerja untuk mengurangi asam lambung. Novorapid yang diberikan dengan dosis
4-4-4 iu sc merupakan rapid long acting insulin (onsetnya sekitar 15-30 menit, lama kerja
3-5 jam) yang mengandung insulin aspart, yang dapat menurunkan kadar gula darah
setelah injeksi. Injeksi insulin jenis ini sangat aman dan identik dengan insulin manusia.,
lebih cepat direabsorbsi. Obat oral yang diberikan adalah asam folat dengan dosis 3 x 1
tablet. Asam folat merupakan vitamin B9 yang salah satunya berfungsi untuk
pembentukan hemoglobin. Valsartan dengan dosis 1 x 80 mg merupakan prototipe ARB
(Angiotensin Receptor Blocker) dan keberadaannya cukup mewakili seluruh ARB. Obat
ini bekerja pada reseptor AT1 secara selektif berfungsi untuk hipertensi. Ketocid dengan

9
dosis 3 x 1 tablet merupakan suplemen tambahan untuk membantu memenuhi kebutuhan
asam amino, terutama pada pasien dengan gangguan ginjal kronik.

DEFINISI
Chronic Kidney Disease (CKD) atau gagal ginjal kronik merupakan suatu proses
patofisiologis yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan
pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal merupakan suatu keadaan
klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel, pada suatu derajat
tertentu yang memerlukan terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal.
Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ,
akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit gagal ginjal.1
Kriteria penyakit ginjal kronik yaitu:1
a. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan
struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus
(LGF), dengan manifestasi :
 Kelainan patologis
 Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk dalam kelainan komposisi darah
atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging test)
b. Laju filtrasi glomerulus (LFG) < 60 ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan, dengan atau
tanpa kerusakan ginjal
Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan dan LGF sama
atau < 60 ml/menit/1,73m2, tidak termasuk penyakit ginjal kronik.1
Nefropati diabetik merupakan salah satu komplikasi mikroangiopati diabetik atau
permulaan mikroangiopati diabetik pada ginjal, sebagai penyulit diabetes mellitus tipe I
atau tipe II yang ditandai dengan adanya albuminuria (mikroalbuminuria/
makroalbuminuria).2

KLASIFIKASI

Klasifikasi berdasarkan derajat penyakit ginjal kronik ditentukan dengan


menggunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut:1

10
LFG (ml/menit/1,73m2) = (140 - Umur) x Berat Badan x 0,85 (pada perempuan)
72 x Kreatinin plasma (mg/dL)

Klasifikasi derajat penyakit ginjal kronik berdasarkan Kidney Disease Outcome


Quality Initiavite (KDOQI) tahun 2002 dari hasil LFG sebagai berikut:1
Tabel 2.1 Klasifikasi Derajat Penyakit Ginjal Kronik
LFG
Derajat Penjelasan
(ml/menit/1,73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau meningkat >90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun ringan 60 – 89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun sedang 30 – 59
4 LFG menurun berat 15 – 29
5 Gagal ginjal < 15 atau dialysis
Keterangan:
 Derajat 1. Ginjal tetap berfungsi secara normal, meskipun tidak lagi dalam kondisi
100% sehingga banayk penderita yang tidak mengetahui kondisi ginjalnya dalam
stadium 1.
 Derajat 2. Sama seperti pada stadium awal, seseorang yang berada pada stadium 2
juga tidak merasa gejala tetap dapat berfungsi dengan baik, walaupun dengan LFG
yang mulai menurun.
 Derajat 3. Seseorang yang menderita CKD stadium 3 mengalami penurunan LFG
moderat yaitu 30-59. Dengan penurunan pada tingkat ini, akumulasi sisa-sisa
metabolisme akan menumpuk dalam darah yang disebut uremia. Pada stadium ini
muncul komplikasi seperti tekanan darah tinggi, anemia atau keluhan pada tulang.
 Derajat 4. Pada stadium ini fungsi ginjal hanya sekitar 15-30% saja dan apabila
seseorang berada pada stadium ini sangat mungkin dalam waktu dekat diharuskan
menjalani terapi pengganti ginjal/dialisis, atau melakukan transplantasi ginjal.
Kondisi dimana terjadi penumpukan racun dalam darah atau uremia biasanya muncul
pada stadium ini. Setelah itu besar kemungkinan muncul komplikasi seperti tekanan
darah tinggi, anemia, penyakit tulang, masalah pada jantung dan penyakit
kardiovaskular lainnya.

11
 Derajat 5. Pada stadium ini ginjal kehilangan hampir seluruh kemampuannya untuk
bekerja secara optimal. Untuk itu diperlukan suatu terapi pengganti ginjal (dialisis)
atau transplantasi ginjal agar penderita dapat bertahan hidup.

Adapun klasifikasi derajat penyakit ginjal akibat diabetes melitus dilihat pada
tabel dibawah ini:1
Tabel 2.2 Klasifikasi Derajat Penyakit Ginjal Diabetik (Nefropati Diabetik)
Derajat Penjelasan
1 Hiperfiltrasi  Merupakan tahap yang masih reversibel dan
berlangsung 0-5 tahun sejak awal diagnosis DM
 Terjadi peningkatan LFG sampai 40% diatas
normal, disertai pembesaran ukuran ginjal
2 The silent stage  Terjadi setelah 5-10 tahun terdiagnosis DM
 Perubahan struktur ginjal berlanjut dan LFG
masih tetap meningkat
3 Mikroalbuminuria  Merupakan tahap awal nefropati yang terjadi
setelah 10-15 tahun terdiagnosis DM
 Terjadi mikroalbuminuria yang nyata, penebalan
membran basalis, LFG masih tinggi, dan terjadi
peningkatan tekanan darah
4 Makroalbuminuria  Merupakan tahapan saat nefropati diabetik
bermanifestasi secara klinis, yang terjadi setelah
15-20 tahun terdiagnosis DM
 Terjadi proteinuria yang nyata, tekanan darah
meningkat, dan LFG menurun dari normal
5 Uremia  Merupakan tahap gagal ginjal
 Menunjukkan tanda-tanda sindrom uremik dan
memerlukan tindakan khusus yaitu terapi
pengganti ginjal (dialisis), maupun cangkok ginjal

EPIDEMIOLOGI

Pada negara berkembang, DM cenderung diderita oleh penduduk usia 45-64


tahun, sedangkan pada negara maju penderita DM cenderung diderita oleh penduduk usia
di atas 65 tahun. Umumnya, penderita DM tipe II biasanya berumur >40 tahun. Pada
tahun 2008, Indonesia berada pada urutan ke empat negara dengan jumlah penderita
12
penderita DM yaitu sebanyak 8,4 juta jiwa.3 Pada tahun 2003, WHO menyatakan 194
jiwa atau 5,1% dari 3,8 miliar penduduk dunia usia 20-79 tahun menderita DM pada
tahun 2007 dan akan mengalami peningkatan menjadi 7,3%. Peningkatan angka
kesakitan DM dari waktu ke waktu lebih banyak disebabkan oleh multifaktorial, seperti
faktor herediter, gaya hidup, dan faktor lingkungan. WHO menyatakan penderita DM tipe
II sebanyak 171 juta pada tahun 2000 akan meningkat menjadi 366 juta pada tahun
2030.4,5
Sekitar 40% dari pasien DM terdapat keterlibatan ginjal sehingga dapat dipahami
bahwa nefropati diabetik juga akan mengalami peningkatan di era awal abad 21 ini.
Nefropati diabetik merupakan komplikasi kronik mikrovaskular diabetes melitus (DM)
baik tipe 1 atau 2 yang menyebabkan timbulnya penyakit ginjal kronik atau Chronic
Kidney Disease (CKD) yang dapat mengakibatkan penurunan fungsi ginjal secara
progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal merupakan
suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel,
pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau
transplantasi ginjal. Pada dekade ini juga, banyak negara maju tercatat pasien nefropati
diabetik tercatat sebagai komponen terbanyak dari pasien baru yang menjalani terapi
pengganti ginjal. Keadaan yang sama juga sudah mulai terjadi di Indonesia.2

ETIOLOGI

Gagal ginjal kronik merupakan suatu keadaan klinis kerusakan ginjal yang
progresif dan irreversibel yang berasal dari berbagai penyebab. Berdasarkan etiologinya,
gagal ginjal kronik dibedakan menjadi 3 dilihat pada tabel dibawah ini:1
Tabel 2.3 Etiologi Penyakit Gagal Ginjal Kronik
Penyakit Tipe mayor
Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non-diabetes - Penyakit glomerular (penyakit autoimun, infeksi
sitemik, obat, neoplasma)
- Penyakit vaskular (penyakit pembuluh darah besar,
hipertensi, mikroangiopati)

13
- Penyakit tubulointestianal (pielonefritis kronik,
batu, obstruksi, keracunan obat)
- Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Penyakit pada transplantasi - Rejeksi kronik
- Keracunan obat (siklosporin/takrolimus)
- Penyakit recurrent (glomerular)
- Transplant glomerulopathy

PATOFISIOLOGI

Ginjal merupakan organ vital yang mempunyai peran penting dalam sistem organ
tubuh. Kerusakan pada ginjal akan mempengaruhi kerja organ lain. Ginjal mempunyai 2
peran penting, yaitu sebagai fungsi ekskresi dan endokrin. Sebagai fungsi ekskresi, ginjal
berperan untuk mengekskresi sisa metabolisme protein, seperti ureum, kalium, fosfat,
sulfat organik, dan asam urat dalam bentuk urin sehingga ginjal juga berfungsi sebagai
pembentuk urin, sebagai pengatur keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa. Selain
sebagai sistem eksresi, ginjal juga sebagai endokrin, seperti mengekskresi hormon renin
yang berperan dalam mengatur tekanan darah, pengatur hormon eritropoietin yang
berperan sebagai hormon pengaktif sumsum tulang untuk menghasilkan eritrosit,
mengeluarkan hormon dihidroksikolekalsiferon (vitamin D aktif) yang dibutuhkan dalam
absorbsi ion kalsium, serta memproduksi hormon prostaglandin yang mempengaruhi
pengaturan garam, air, dan tekanan vaskular.6
Urin berasal dari darah yang dibawa arteri renalis untuk masuk ke dalam ginjal.
Darah terdiri dari sel darah dan plasma darah yang disaring dalam 3 tahap, yaitu:6
a. Proses filtrasi. Merupakan proses yang terjadi di glomerulus. Proses ini
terjadi karena proses aferen lebih besar daripada permukaan eferen
sehingga darah akan masuk ke dalam glomerulus. Cairan darah seperti
glukosa, air, natrium, bikarbonat, dll akan akan disaring dan disimpan di
kapsula bowman, kecuali protein. Kemudian cairan darah tersebut akan
diteruskan ke tubulus ginjal.

14
b. Proses reabsorbsi. Pada proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian
besar glukosa, natrium, klorida, fosfat, dan ion bikarbonat yang terjadi di
tubulus proksimal. Sedangkan pada tubulus distal terjadi penyerapan
kembali natrium dan ion bikarbonat bila diperlukan, dan sisanya akan
dialirkan menuju papila renalis.
c. Proses ekskresi. Hasil dari reabsorbsi urin diteruskan pada kaliks renal,
dan selanjutnya diteruskan ke ureter dan masuk ke vesica urinaria.

Penyakit ginjal kronik atau Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan suatu
sindrom klinis yang disebabkan oleh penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun,
berlangsung progresif yang akhirnya akan mencapai gagal ginjal terminal. Penyebab
yang mendasarinya bermacam-macam, seperti penyakit glomerulus baik primer maupun
sekunder, penyakit vasular seperti hipertensi, infeksi, nefritis interstisial, dan obstruksi
saluran kemih. Patofisiologi CKD melibatkan 2 mekanisme kerusakan, yaitu:7,8
a. Mekanisme pencetus spesifik yang mendasari kerusakan selanjutnya seperti
kompleks imun dan mediator inflamasi pada glomerulnefritis, atau pajanan zat
toksik pada penyakit tubulus ginjal
b. Mekanisme kerusakan progresif yang ditandai dengan adanya hiperfiltrasi dan
hipertrofi nefron yang tersisa
Ginjal memiliki 1 juta nefron dan masing-masing memiliki kontribusi terhadap
total LFG. Pada saat terjadi renal injury karena etiologi seperi diatas, pada awalnya ginjal
masih memilik kemampuan untuk mempertahankan LFG. Namun pada akhirnya nefron
sehat yang masih tersisa akan mengalami kegagalan dalam mengatur autoregulasi
tekanan glomerular, dan akan menyebabkan hipertensi sistemik dalam glomerulus.
Peningkatan tekanan glomerular ini akan menyebabkan hipertrofi pada nefron sehat
sebagai mekanisme kompensasi. Peningkatan tekanan glomerulus ini akan menyebabkan
proteinuria. Reabsorbsi protein pada sel tubuloepitelial akan menyebabkan pelepasan
faktor kemotaktik, meingkatkan stress oksidatif, dll yang pada akhirnya akan
menyebabkan inflamasi dan fibrosis tubulointerstitial melalui pengambilan dan aktivasi
makrofag. Inflamasi kronik pada glomerulus dan tubulus akan meningkatkan sintesis

15
matriks ekstraseluler. Glomerulosklerosis, fibrosis tubulointerstitial, dan atrofi tubuler
akan menyebabkan massa ginjal yang sehat menjadi berkurang.9,10
Kerusakan struktur ginjal tersebut akan menyebabkan kerusakan pada fungsi
ekskresi dan metabolik ginjal. Kerusakan fungsi ekskretorik ginjal berupa penurunan
ekskresi nitrogen, penurunan reabsorbsi Na pada tubulus, penurunan ekskresi kalium,
penurunan ekskresi fosfat, dll. Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein
(yang normalnya diekskresikan ke dalam urin) akan tertimbun dalam darah. Sedangkan
kerusakan fungsi metabolik berupa kegagalan mengubah bentuk inaktif Ca, penurunan
produksi eritropoietin, menurunkan fungsi insulin, meningkatkan produksi lipid,
gangguan sistem imun, dll. Penurunan jumlah glomerulus yang normal akan
menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG).10
Penyakit Ginjal Kronik (CKD) berasosiasi dengan penyakit sistemik seperti
diabetes melitus dan hipertensi. Diabetes melitus merupakan suatu keadaan dimana
terjadi hiperglikemia (kadar glukosa melebihi batas normal dalam darah) yang dapat
menyebabkan hiperperfusi dan hiperfiltrasi, sehingga terjadi dilatasi arteri aferen ke
glomerulus akibat akumulasi glukosa. Keadaan ini akan menyebabkan peningkatan
tekanan glomerulus. Seiring berjalan dengan tingkat keparahan penyakit, maka
glomerulus akan rusak. Hal tersebut akan menyebabkan penurunan laju filtrasi (LFG).
Hipertensi juga dapat menyebabkan CKD dengan merusak langsung nefron. Pada kondisi
hipertensi terjadi penurunan perfusi ke jaringan sehingga menyebabkan iskemik.
Kehilangan nefron ini akan mengakibatkan sel juxtaglomerular akan mengeluarkan renin
untuk mengaktifkan angiotensin II. Akibatnya terjadi hipertensi kapiler glomerulus dan
peningkatan filtrasi serta permeabilitas di glomerulus, sehingga dapat menyebabkan
proteinuria. Kondisi proteinuria ini akan meningkatkan reabsorbsi protein di tubular yang
menyebabkan inflamasi dan fibrosis tubulointerstitial. Semua ini akan menyebabkan
jaringan parut di ginjal dan jika kondisi ini tidak dirawat maka dapat mengakibatkan
penurunan LFG.10

16
Mekanisme terjadinya CKD dapat dilihat pada bagan dibawah ini:10

17
MANIFESTASI KLINIS

Pasien dengan CKD menunjukkan manifestasi yang berbeda-beda tergantung


pada stadium yang dialami.11
a. Stadium 1
Seseorang dengan CKD stadium 1 biasanya belum merasakan gejala yang
menandakan kerusakan ginjal karena ginjal masih dapat berfungsi dengan normal.
b. Stadium 2
Seseorang dengan CKD stadium 2 biasanya juga belum merasakan gejala yang
menandakan kerusakan ginjal walaupun sudah terdapat penurunan LFG ringan,
yaitu sebesar 60-89.
c. Stadium 3
Pada stadium ini gejala-gejala terkadang mulai dirasakan seperti:
 Fatigue : rasa lemas/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia
 Kelebihan cairan : seiring dengan menurunnya fungsi ginjal membuat ginjal
tidak dapat lagi mengatur komposisi cairan yang berada dalam tubuh. Hal ini
akan membuat penderita mengalami pembengkakan sekitar kaki bagian
bawah, seputar wajah atau tangan. Penderita juga mengalami sesak nafas
akibat terlalu banyak cairan yang berada dalam tubuh.
 Perubahan pada urin : urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan
adanya protein di urin. Selain itu, warna urin juga mengalami perubahan
menjadi warna coklat, oranye tua, atau merah apabila bercampur dengan
darah. Kuantitas urin bisa bertambah atau berkurang dan terkadang penderita
sering terbangun untuk buang air kecil ditengah malam.
 Rasa sakit pada ginjal : rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal berada dapat
dialami oleh sebagian penderita yang mengalami masalah ginjal seperti
polikistik dan infeksi.
 Sulit tidur : sebagian penderita akan mengalami kesulitan tidur disebabkan
karena munculnya rasa gatal, atau kram.

18
d. Stadium 4
Gejala yang mungkin dirasakan pada stadium 4 hampir sama dengan stadium 3,
yaitu:
 Fatigue : rasa lemas/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia
 Kelebihan cairan : seiring dengan menurunnya fungsi ginjal membuat ginjal
tidak dapat lagi mengatur komposisi cairan yang berada dalam tubuh. Hal ini
akan membuat penderita mengalami pembengkakan sekitar kaki bagian
bawah, seputar wajah atau tangan. Penderita juga mengalami sesak nafas
akibat terlalu banyak cairan yang berada dalam tubuh.
 Perubahan pada urin : urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan
adanya protein di urin. Selain itu, warna urin juga mengalami perubahan
menjadi warna coklat, oranye tua, atau merah apabila bercampur dengan
darah. Kuantitas urin bisa bertambah atau berkurang dan terkadang penderita
sering terbangun untuk buang air kecil ditengah malam.
 Rasa sakit pada ginjal : rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal berada dapat
dialami oleh sebagian penderita yang mengalami masalah ginjal seperti
polikistik dan infeksi.
 Sulit tidur : sebagian penderita akan mengalami kesulitan tidur disebabkan
karena munculnya rasa gatal, atau kram.
 Nausea : muntah atau rasa ingin muntah.
 Perubahan cita rasa makan : dapat terjadi bahwa makanan yang dikonsumsi
tidak terasa seperti biasanya.
 Bau mulut uremik : ureum yang menumpuk dalam darah dapat dideteksi
melalui bau pernafasan yang tidak enak.
 Sulit berkonsentrasi.
e. Stadium 5
Gejala yang timbul pada stadium 5 antara lain :
 Kehilangan nafsu makan
 Nausea
 Sakit kepala
 Merasa lelah

19
 Tidak mampu berkonsentrasi
 Gatal-gatal
 Urin tidak keluar atau hanya sedikit sekali
 Bengkak, terutama sekitar wajah, mata atau pergelangan kaki
 Kram otot
 Perubahan warna kulit

PEMERIKSAAN PENUNJANG

A. Pemeriksaan laboratorium1
 Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
 Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan
kreatinin serum dan penurunan LFG (dihitung berdasarkan rumus
Kockcroft-Gault)
 Kelainan biokimiawi darah, seperti penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper
atau hipokloremia, hiperfosfatemia, asidosis metabolik.
 Kelainan urinalisis, seperti proteinuria, hematuria, leukosituria.
B. Pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG)1
Untuk melihat kemungkinan hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda
perikarditis, aritmia, gangguan elektrolit (hiperkalemia, hipokalsemia).
Kemungkinan abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan
asam/basa.
C. Foto Polos Abdomen1
Sebaiknya tanpa puasa, karena dehidrasi akan memperburuk fungsi ginjal.
Menilai bentuk dan besar ginjal, serta apakah ada batu atau obstruksi lain.
D. Foto Thorax1
Terlihat tanda-tanda bendungan paru akibat kelebihan cairan (overload
volume), efusi pleura, kardiomegali dan efusi perkardial.

20
PENATALAKSANAAN

A. Non Farmakologis12
 Pengaturan asupan protein :
o Pasien non dialisis : 0,6-0,75 gr/kgBB ideal/hari
o Pasien non hemodialisis : 1-1,2 gr/kgBB ideal/hari
o Pasien peritoneal dialisis : 1,3 gr/kgBB/hari
Pemberian protein dibatasi karena urea, asam urat dan asam organik
merupakan hasil pemecahan protein yang akan menumpuk secara cepat
dalam darah jika terdapat gangguan pada ginjal. Protein yang dikonsumsi
harus bernilai biologis (produk susu, telur, daging) dimana makanan
tersebut dapat mensuplai asam amino untuk perbaikan dan pertumbuhan
sel.
 Pengaturan asupan kalori : 35 kal/kgBB ideal/hari
 Pengaturan asupan lemak : 30-40% dari kalori total dan mengandung
jumlah yang sama antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh
 Pengaturan asupan karbohidrat : 50-60% dari kalori total
 Garam (NaCl) : 2-3 gram/hari
 Kalium : 40-70 mEq/kgBB/hari
 Fosfor : 5-10 mg/kgBB/hari. Pasien HD : 17 mg/hari
 Kalsium : 1.400-1.600 mg/hari
 Besi : 10-18 mg/hari
 Magnesium : 200-300 mg/hari
 Asam folat pasien HD : 5 mg. Pemberian vitamin penting karena pasien
HD mungkin kehilangan vitamin larut air melalui darah sewaktu HD.
 Air : jumlah urin 24 jam + 500 ml (insensible water loss)
B. Farmakologis12
 Kontrol tekanan darah
 Pada pasien DM, kontrol gula darah -> hindari pemakaian metformin dan
obat-obat sulfonilurea dengan masa kerja panjang . Target HbA1C untuk
DM tipe 1: 0,2 diatas nilai normal tertinggi, DM tipe 2 adalah 6%

21
 Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dL
 Kontrol hiperfosfatemia : kalsium karbonat atau kalsium asetat
 Kontrol osteodiftrofi renal : kalsitriol
 Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO3 20-22 mEq/L
 Koreksi hiperkalemi
 Kontrol dislipidemia dengan target LDL <100 mg/dL
 Terapi ginjal pengganti

KOMPLIKASI

Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi diantara seperti pada


tabel dibawah ini:1
Tabel 2.4 Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik
Derajat Penjelasan LFG Komplikasi
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal >90
-
atau meningkat
2 Kerusakan ginjal dengan LFG 60 – 89 Tekanan darah mulai
menurun ringan meningkat
3 Kerusakan ginjal dengan LFG 30 – 59 - Hiperfosfatemia
menurun sedang - Hipokalsemia
- Anemia
- Hiperparatiroid
- Hipertensi
- Hiperhomosistinemia
4 LFG menurun berat 15 – 29 - Malnutrisi
- Asidosis metabolik
- Cenderung
hiperkalemia
- Dislipidemia
5 Gagal ginjal < 15 - Gagal jantung

22
- Uremia

23
BAB III
KESIMPULAN

Telah dilaporkan sebuah kasus pada seorang perempuan, usia 48 tahun datang
dengan keluhan sesak nafas yang dirasakan sejak 2 minggu, dan semakin memberat sejak
2 hari SMRS. Sesak dirasakan hilang timbul, ditimbul saat berbaring, namun berkurang
jika setengah duduk. Pasien juga mengeluhkan badan terasa lemas dan cepat lelah sejak 1
minggu SMRS, lemas tidak berkurang dengan istirahat maupun pemberian makanan.
Batuk kering (+) namun kadang-kadang, pusing berdenyut (+), nyeri ulu hati (+), muntah
(+) 1-2 kali yang didahului mual saat 1 hari SMRS yang membuat nafsu makan menurun.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital : tekanan darah : 160/100 mmHg,
denyut nadi: 98 x/menit, suhu 36,9oC, RR: 28 kali/menit. Selain itu juga pada
pemeriksaan fisik ditemukan adanya konjungtiva anemis, vesicular dan fremitus vocal
menurun pada kedua basal paru, pitting edema pada ekstremitas. Pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan Hb : 8,5 g/dL; ureum : 72 g/dL; dan creatinin : 5,50 g/dL.
Pada pasien ini mendapakan tatalaksana awal yaitu dengan diberikan oksigen
nasal canul 2-3 lpm. Kemudian diberikan injeksi furosemid 20 mg, ranitidie 50 mg.
Novorapid yang diberikan dengan dosis 4-4-4 iu sc. Sedangkan obat oral yang diberikan
adalah asam folat 3 x 1 tablet, Valsartan 1 x 80 mg, dan ketocid 3 x 1 tablet.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Ndraha, Suzanna. 2014. Diabetes Melitus Tipe 2 dan Tatalaksana Terkini.


Leading Article. Jakarta: Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Krida Wacana.

2. Sudoyo, Aru W., dkk. 2013. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi V.
Jakarta : Interna Publishing.

3. Widodo, Danu Panggih. 2010. Strategi Koping Penderita Diabetes Melitus dalam
Menghadapi Penyakit Diabetes Melitus Tipe II di Puskesmas Wanasari.
Semarang: Universitas Muhammadiyah Semarang.

4. Dewi, S. Sinto. 2012. Efek Ekstrak Etanol Morinda citrifolia L. Terhadap Kadar
Gula Darah, Jumlah Neutrofil, Fibronektin Glomerulus Tikus Diabetes Melitus.
Semarang: Universitas Diponegoro.

5. Manik, HR. 2012. Pengaruh Faktor Risiko yang Bisa Dimodifikasi Terhadap
Diabetes Melitus Tipe 2 di Rumah Sakit Umum Hadrianus Sinaga Pangururun
Kabupaten Samosir. Medan: Universitas Sumatera Utara.

6. Waspadji, S. 2006. Diabetes Melitus Mekanisme Dasar dan Pengelolaannya yang


Rasional. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

7. Rusmina, Dina. 2010. Hubungan Kepatuhan dalam Menjalankan Diet Dengan


Gula Darah Terkontrol di Poliklinik Penyakit Dalam RSAL dr. Mintohardjo
Jakarta Pusat. Jakarta : Universitas Pembangunan Nasional Veteran.

8. Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi


6 Volume 2. Jakarta : EGC.

9. Brenner BM, Lazarus JM. 2000. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Edisi 13
Volume 3. Jakarta : EGC

10. Suwitra K. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta :
Penerbit FKUI.

11. Mansjoer, A., dkk. 2002. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II Edisi 3. Jakarta :
Media Asculapius FKUI.

12. Rani, A. Azis, dkk. 2006. Panduan Pelayanan Medik PAPDI. Jakarta : FKUI.

25

Anda mungkin juga menyukai