Anda di halaman 1dari 22

PRESENTASI KASUS

SEORANG LAKI-LAKI 62 TAHUN DENGAN DEMAM TIFOID

OLEH :
dr. Fani Adhikara

PEMBIMBING :
dr. Edwin
dr. Harry Kuncoro

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT PALANG BIRU GOMBONG

2017

1
BAB I
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama pasien : Tn. M
Umur : 62 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Jatimulyo 2/4 Kuwarasan
Pekerjaan : Pedagang
Status perkawinan : Kawin
Agama : Islam
Suku : Jawa
Tanggal rawat di RS : 9 Maret 2017
Tanggal pemeriksaan : 10 Maret 2017

II. ANAMNESIS
Riwayat penyakit pasien diperoleh secara autoanamnesis
A. Keluhan Utama : demam
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RS Palang Biru Gombong dengan keluhan
demam. Keluhan ini sudah dirasakan sejak 5 hari SMRS. Demam
dirasakan terus-menerus, terutama saat sore atau malam hari dan terasa
membaik pada pagi hari. Tidak terdapat periode bebas demam. Pasien
juga mengeluh mulutnya terasa pahit, nafsu makan menurun, mual dan
tidak BAB selama 1 hari. Pasien menyangkal terdapat gangguan BAK,
kulit berwarna kekuningan, perdarahan gusi, mimisan, muntah, maupun
keluar bintik-bintik merah di kulit.

C. Riwayat Penyakit Dahulu


1. Riwayat Hipertensi : disangkal
2. Riwayat Diabetes Melitus : disangkal

2
3. Riwayat Penyakit Ginjal : disangkal
4. Riwayat Penyakit Liver : disangkal
5. Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
6. Riwayat Atopi : disangkal
7. Riwayat maag : disangkal
8. Riwayat Operasi : disangkal
9. Riwayat Trauma : disangkal
D. Riwayat penyakit keluarga
1. Riwayat sakit seperti pasien : disangkal
2. Riwayat alergi : disangkal
3. Riwayat DM : disangkal
4. Riwayat hipertensi : diakui
5. Riwayat penyakit jantung : disangkal
6. Riwayat penyakit paru : disangkal

E. Riwayat pribadi
1. Merokok : diakui
2. Konsumsi jamu : disangkal
3. Konsumsi minuman berenergi : disangkal
4. Konsumsi alkohol : disangkal
5. Makan tidak teratur : diakui
6. Konsumsi makanan pedas : disangkal
7. Minum kopi : disangkal

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. Keadaan umum : sedang
B. Kesadaran : compos mentis, GCS E4V5M6
C. Vital Sign
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 76 x/menit
RR : 20 x/menit

3
Suhu : 37,70C
D. Kulit
Ikterik (-), purpura (-), acne (-), turgor cukup, hiperpigmentasi (-),
bekas garukan (-), kulit kering (-), kulit hiperemis (-)
E. Kepala
Bentuk mesocephal, rambut warna hitam, mudah rontok (-), luka (-)
F. Mata
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), perdarahan subkonjungtiva
(-/-), pupil isokor dengan diameter 4 mm/4 mm, reflek cahaya (+/+)
normal, oedem palpebra (-/-), strabismus (-/-).
G. Hidung
Nafas cuping hidung (-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-)
H. Telinga
Deformitas (-/-),darah (-/-), sekret (-/-)
I. Mulut
Sianosis (-), gusi berdarah (-), kering (-), stomatitis (-), mukosa pucat (-
), lidah tifoid (+), papil lidah atropi (-), luka pada tengah bibir (-), luka
pada sudut bibir (-).
J. Leher
Simetris, deviasi trakea (-), JVP 5+2, pembesaran kelenjar limfe (-)
K. Thorax:
a. Paru
 Inspeksi : kelainan bentuk (-), gerakan pernafasan simetris
kanan kiri, retraksi intercostae (-), ketinggalan gerak (-).
 Palpasi :
- Ketinggalan gerak
Depan Belakang
- - - -
- - - -
- - - -

4
- Fremitus
Depan Belakang
N N N N
N N N N
N N N N

 Perkusi :
Depan Belakang
S S S S
S S S S
S S S S
S : sonor

 Auskultasi :
- Suara dasar vesikuler
Depan Belakang
+ + + +
+ + + +
+ + + +
- Suara tambahan : wheezing (-/-), ronkhi (-/-)

b. Jantung
 Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
 Palpasi : ictus kordis tidak kuat angkat
 Perkusi : batas jantung.
- Batas kiri jantung :
▪ Atas : SIC II linea parasternalis sinistra.
▪ Bawah: SIC V linea midclavicula sinistra.
- Batas kanan jantung
▪ Atas : SIC II linea parasternalis dextra
▪ Bawah : SIC IV linea parasternalis dextra
 Auskultasi : Bunyi jantung I>II, reguler, murmur (-),
gallop (-)
L. Abdomen:
a. Inspeksi: datar, caput medusa (-), venektasi (-), distended (-).
b. Auskultasi : peristaltik (+) normal 8 x/menit, metallic sound (-).

5
c. Perkusi : timpani, pekak alih (-), undulasi (-), hepatomegali (-),
splenomegali (-)
d. Palpasi : hepar dan lien tidak teraba membesar, defans muskular (-),
nyeri tekan epigastrium (+), nyeri tekan suprapubik (-)
M. Pinggang: nyeri ketok kostovertebrae (-/-)
N. Ekstremitas
a. Clubbing finger tidak ditemukan, palmar eritema (-)
b. Edema dan pitting edema ekstrimitas (-), akral hangat (+)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium 09/03/2017
Pemeriksaan Nilai Satuan Nilai Normal
Leukosit 8,8 103 ul 4.0-10.0
Hemoglobin 15,0 gr/dl 11.0-16.0
Eritrosit 4.80 106ul 3.50-5.50
Hematokrit 42,3 % 37-54
Indeks eritrosit
MCV 88,3 fl 80-100
MCH 31,2 pg 27-34
MCHC 35,4 g/dl 32-36
Trombosit 156 103 ul 100-300
Widal Typhi H 1/200 Negatif Negatif
Widal Typhi O 1/50 Negatif Negatif

V. DIAGNOSIS
Demam Tifoid
VI. PENATALAKSANAAN
 Infus Ringer Laktat 30 tpm
 Injeksi Cefotaxim 2x1 gram
 Injeksi Ondansentron 2x1 ampul
 Po Paracetamol 3x1 tablet

6
VII. PROGNOSIS
Dubia ad bonam

Follow Up

Tanggal 10 Maret 2017 11 Maret 2017


S Demam (+) , keringat dingin, pusing, Pusing, belum bisa BAB 2 hari
nyeri ulu hati
O KU : compos mentis KU : compos mentis
TD : 110/80 mmHg TD : 110/80 mmHg
N : 76 x/m N : 80 x/m
RR : 20 x/m RR : 20 x/m
T : 37,7 C T : 37 C

St. Lokalis Abdomen : St. Lokalis Abdomen :


Inspeksi : datar Inspeksi : datar
Auskultasi : BU (+) normal Auskultasi : BU (+) normal
Perkusi : Timpani Perkusi : Timpani
Palpasi : NT (+) epigastrium Palpasi : NT (+) epigastrium
A Demam Tipoid Demam Tipoid
P  Infus Ringer Laktat 30 tpm  Infus Ringer Laktat 30 tpm
 Injeksi Cefotaxim 2x1 gram  Injeksi Cefotaxim 2x1 gram
 Injeksi Ondansentron 2x1 ampul  Injeksi Ondansentron 2x1 ampul
 Po Paracetamol 3x1 tablet  Po Paracetamol 3x1 tablet

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik yang bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella typhi (Soedarmo et al, 2010). Selain itu menurut
Kemenkes RI no. 364 tahun 2006 tentang pengendalian demam tifoid, demam
tifoid adalah penyakit yang disebabkan oleh kumam berbentuk basil yaitu
Salmonella typhi yang ditularkan melalui makanan atau minuman yang
tercemar feses manusia.

2. Etiologi
Salmonella merupakan bakteri batang gram-negatif. Karena habitat
aslinya yang berada di dalam usus manusia maupun binatang, bakteri ini
dikelompokkan ke dalam Enterobacteriaceae. Walaupun begitu banyak
serotip dari Salmonella, namun telah disepakati bahwa hanya terdapat dua
spesies, yakni Salmonella bongori dan Salmonella enterica dengan enam
subspesies (Winn, 2005).
Penyebab demam tifoid adalah Salmonella typhi dari spesies
Salmonella enterica. Taksonomi Salmonella typhi adalah sebagai berikut:
Phylum Eubacteria
Class Prateobacteria
Ordo Eubacteriales
Family Enterobacteriaceae
Genus Salmonella
Species Salmonella enterica
Subspesies enteric (I)
Serotipe typhi
Salmonella typhi adalah bakteri gram negatif, mempunyai flagela,
tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob. Salmonella typhi

8
mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar
antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri
dari polisakarida. Selain itu, Salmonella typhi mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapisan luar dari dinding sel yang
dinamakan endotoksin (Soedarmo et al, 2010).

3. Patogenesis
Salmonella yang terbawa melalui makanan ataupun benda lainnya
akan memasuki saluran cerna. Dosis infektif rata-rata untuk menimbulkan
infeksi klinis ataupun subklinis pada manusia adalah sebesar 105 – 108
salmonella (mungkin cukup dengan 103 organisme Salmonella typhi). Di
lambung, bakteri ini akan dimusnahkan oleh asam lambung, namun yang
lolos akan masuk ke usus halus. Bakteri ini akan melakukan penetrasi pada
mukosa baik usus halus maupun usus besar dan tinggal secara intraseluler
dimana mereka akan berproliferasi. Ketika bakteri ini mencapai epitel dan
IgA tidak bisa menanganinya, maka akan terjadi degenerasi brush border
(Brooks, 2005).
Sel-sel M, sel epitel khusus yang melapisi Peyer’s patch, merupakan
tempat internalisasi Salmonella typhi. Bakteri mencapai folikel limfe usus
halus, mengikuti aliran ke kelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang
melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan RES di organ hati dan limpa.
Salmonella typhi mengalami multiplikasi di dalam sel fagosit mononuklear di
dalam folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika, hati dan limfe. Setelah peride
tertentu (inkubasi), yang lamanya ditentukan oleh jumlah dan virulensi
kuman serta respons imun pejamu maka Salmonella typhi akan keluar dari
habitatnya dan melalui duktus torasikus masuk ke dalam sirkulasi sistemik.
Dengan cara ini organisme dapat mencapai organ manapun, akan tetapi
tempat predileksinya adalah hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu,
dan Peyer’s patch dari ileum terminal. Ekskresi organisme di empedu dapat
menginvasi ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui tinja (Soedarmo et
al, 2010).

9
Peranan endotoksin dalam patogenesis demam tifoid telah dipelajari
secara mendalam. Pernah dicoba pemberian suntikan endotoksin 0.5 mcg
pada sukarelawan-sukarelawan, dalam waktu enam puluh menit mereka
menjadi sakit kepala, dingin, rasa tak enak pada perut. Bakteriolisis yang
dilakukan oleh sistem retikuloendotelial merupakan upaya pertahanan tubuh
di dalam pembasmian kuman. Akibat bakteriolisis maka dibebaskan suatu zat
endotoksin, yaitu suatu lipopolisakarida (LPS), yang akan merangsang
pelepasan pirogen endogen dari leukosit, sel-sel limpa, dan sel-sel kupffer
hati, makrofag, sel polimorfonuklear dan monosit. Endotoksin dapat
menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi
seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, pernapasan, dan gangguan
organik lainnya (Santoso, 2009).

Gambar 1. Patogenesis Demam Tifoid

10
4. Manifestasi Klinis
a. Masa inkubasi
Masa inkubasi dapat berlangsung 7-21 hari, walaupun pada umumnya
adalah 10-12 hari. Pada awal penyakit keluhan dan gejala penyakit
tidaklah khas, seperti gejala influenza, berupa : anoreksia, rasa malas,
sakit kepala bagian depan, nyeri otot, lidah kotor, dan nyeri perut.
(Parry et al, 2002)
b. Minggu pertama (awal terinfeksi)
Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada
awalnya sama dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam
tinggi yang berpanjangan yaitu setinggi 39ºC hingga 40ºC, sakit kepala,
pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah, batuk, dengan nadi antara
80-100 kali permenit, denyut lemah, pernapasan semakin cepat dengan
gambaran bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tidak enak,
sedangkan diare dan sembelit dapat terjadi bergantian. Pada akhir
minggu pertama,diare lebih sering terjadi. Khas lidah pada penderita
adalah kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar atau tremor.
Epistaksis dapat dialami oleh penderita sedangkan tenggorokan terasa
kering dan beradang. Jika penderita ke dokter pada periode tersebut,
akan menemukan demam dengan gejalagejala di atas yang bisa saja
terjadi pada penyakit-penyakit lain juga. Ruam kulit (rash) umumnya
terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada abdomen disalah satu sisi
dan tidak merata, bercak-bercak ros (roseola) berlangsung 3-5 hari,
kemudian hilang dengan sempurna (Brusch, 2011). Roseola terjadi
terutama pada penderita golongan kulit putih yaitu berupa makula
merah tua ukuran 1-5 mm, berkelompok, timbul paling sering pada
kulit perut, lengan atas atau dada bagian bawah, kelihatan memucat bila
ditekan (Soedarmo et al, 2010).
c. Minggu kedua
Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat
setiap hari, yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat

11
pada sore atau malam hari. Karena itu, pada minggu kedua suhu tubuh
penderita terus menerus dalam keadaan tinggi/demam (Kemenkes,
2006). Terjadi perlambatan relatif nadi penderita. Gejala toksemia
semakin berat yang ditandai dengan keadaan penderita yang mengalami
delirium. Gangguan pendengaran umumnya terjadi. Lidah tampak
kering,merah mengkilat. Nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah
menurun, sedangkan diare menjadi lebih sering yang kadang-kadang
berwarna gelap akibat terjadi perdarahan. Pembesaran hati dan limpa.
Perut kembung dan sering berbunyi. Gangguan kesadaran. Mengantuk
terus menerus, mulai kacau jika berkomunikasi dan lain-lain
(Supriyono, 2011).
d. Minggu ketiga
Pada minggu ketiga, demam semakin memberat dan terjadi anoreksia
dengan pengurangan berat badan yang signifikan. Konjungtiva
terinfeksi, dan pasien mengalami takipnu dengan suara crakcles di basis
paru. Jarang terjadi distensi abdominal. Beberapa individu mungkin
akan jatuh pada fase toksik yang ditandai dengan apatis, bingung, dan
bahkan psikosis. Nekrosis pada Peyer’s patch mungkin dapat
menyebabkan perforasi saluran cerna dan peritonitis (Brusch, 2011).
Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab umum dari
terjadinya kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga (Asdie,
2005).
e. Minggu keempat
Pada minggu ke empat demam turun perlahan secara lisis, kecuali jika
fokus infeksi terjasi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak maka
demam akan menetap (Soedarmo et al, 2010). Pada mereka yang
mendapatkan infeksi ringan dengan demikian juga hanya menghasilkan
kekebalan yang lemah,kekambuhan dapat terjadi dan berlangsung
dalam waktu yang pendek. Kekambuhan dapat lebih ringan dari
serangan primer tetapi dapat menimbulkan gejala lebih berat daripada

12
infeksi primer tersebut.Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak
diobati akan mengakibatkan timbulnya relaps (Supriyono, 2011).

5. Penegakan Diagnosis
Demam tifoid masih merupakan penyakit sistemik yang serius dan
penegakan diagnosis berdasarkan gejala klinis saja tidak mudah. Untuk itu
peranan laboratorium sangatlah penting membantu penegakan diagnosis
(Rijal et al, 2011). Sarana laboratorium untuk membantu menegakkan demam
tifoid secara garis besar digolongkan dalam tiga kelompok yaitu: (1) isolasi
kuman penyebab demam tifoid, S.typhi , melalui biakan kuman dari spesimen
seperti darah, sumsum tulang, urin, tinja, dan cairan duodenum, (2) uji
serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen S.typhi dan menentukan
adanya antigen spesifik dari S.typhi, serta (3) pemeriksaan pelacak DNA
kuman S.typhi (Retnosari dan Tumbelaka, 2000).
a. Biakan S.typhi
Retnosari dan Tumbelaka (2000) menyatakan bahwa diagnosis pasti
demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan kuman S.typhi dalam
darah, urin, tinja, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots.
Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka kuman lebih mudah
ditemukan di dalam darah dan sumsum tulang di awal penyakit, sedangkan
pada stadium berikutnya di dalam urin dan tinja. Biakan darah terhadap
Salmonela tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan penyakit.
Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 70-90% dari penderita
pada minggu pertama sakit, dan positif 50% pada akhir minggu ketiga.
Kuman dalam tinja ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%)
hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urin positif
setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang sering tetap positif selama
perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan.
b. Uji serologi
Teknik serologi digunakan untuk mengidentifikasi biakan yang tidak
diketahui dengan serum dan juga dapat digunakan utnuk menentukan titer

13
antibodi pada pasien yang tidak diketahui penyakitnya, walaupun
penentuan titer antibodi ini tidak terlalu bermanfaat utnuk diagnosis
infeksi salmonella.
1) Uji aglutinasi
Pada pemeriksaan ini, serum yang diketahui dan biakan yang tidak
diketahui dicampur diatas slide. Bila terjadi penggumpalan, dapat
dilihat dalam beberapa menit. Pemeriksaan ini terutama berguna untuk
identifikasi biakan preliminer dengan cepat. Terdapat alat-alat untuk
meng-aglutinasi dan menentukan serogrup salmonella melalui antigen
O-nya: A, B, C1, C2, D, dan E, yang dijual bebas di pasaran
2) Uji aglutinasi pengenceran tabung (tes Widal).
Aglutinin serum meningkat tajam selama minggu kedua dan ketiga
pada infeksi salmonella. Sedikitnya dua spesiemen serum, yang
diambil dengan selang waktu 7-10 hari, dibutuhkan untuk
membuktikan adanya kenaikan titer antibodi. Pengenceran serial (dua
kali lipat) dari serum yang tidak diketahui diuji terhadap antigen
salmonella. Interpretasi hasilnya adalah sebagai berikut: (1) Titer O
yang tinggi atau meningkat (≥ 1:160) menandakan adanya infeksi aktif.
(2) Titer H yang tinggi (≥ 1:160) menunjukkan adanya riwayat
imusisasi atau infeksi di masa lampau. (3) Titer antibodi yang tinggi
terhadap antigen Vi timbul pada beberapa carrier. Hasil pemeriksaan
serologi pada infeksi salmonella harus diinterpretasikan secara hati-
hati (Brooks, 2007).
3) Pemeriksaan pelacak DNA kuman S.typhi
Metode lain untuk identifikasi kuman Salmonella typhi yang akurat
adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) kuman Salmonella typhi
dalam darah dengan tehnik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi
DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR). Dasar spesifisitas
reaksi hibridisasi adalah kemampuan asam nukleat utas/rantai tunggal
untuk mendeteksi dan membentuk ikatan hidrogen (hibridisasi) dengan
asam nukleat utas tunggal yang mengandung urutan asam nukleat

14
padanannya. Reaksi hibridisasi merupakan reaksi kinetik yang efisien
dan dapat mendeteksi sejumlah sangat kecil asam nukleat kuman
dalam waktu yang sangat pendek. Pada sistem hibridisasi ini, sebuah
molekul asam nukleat yang sudah diketahui spesifisitasnya (DNA
probe) digunakan untuk mendeteksi ada atau tidaknya urutan asam
nukleat yang sepadan dari target DNA (kuman). Meskipun DNA probe
memiliki spesifisitas tinggi, pemeriksaan ini tidak cukup sensitif untuk
mendeteksi jumlah kuman dalam darah yang sangat rendah, misalnya
10-15 Salmonella typhi /ml darah dari pasien demam tifoid. Dengan
kemajuan teknologi di bidang molekular, target DNA telah dapat
diperbanyak terlebih dahulu sebelum dilakukan hibridisasi.
Penggandaan target DNA dilakukan dengan tehnik PCR menggunakan
enzyme DNA polimerase. Cara ini dapat melacak DNA Salmonella
typhi sampai sekecil satu pikogram namun usaha untuk melacak DNA
dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan
(Retnosari dan Tumbelaka, 2000).

Menurut Kemenkes 2015, definisi kasus demam tifoid dibedakan


sebagai berikut:
a. Suspek demam tifoid (Suspect case)
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala demam,
gangguan saluran cerna dan petanda gangguan kesadaran. Diagnosis
suspek tifoid hanya dibuat pada fasilitas pelayanan kesehatan tingkat
pertama.
b. Demam tifoid klinis (Probable case)
Suspek demam tifoid didukung dengan gambaran laboratorium
yang menunjukkan tifoid.

6. Diagnosis Banding
Demam berdarah dengue, Malaria, Leptospirosis, infeksi saluran
kemih, Hepatitis A, sepsis, Tuberkulosis milier, endokarditis infektif,

15
demam rematik akut, abses dalam, demam yang berhubungan
dengan infeksi HIV (Kemenkes, 2015).

7. Penatalaksanaan
a. Terapi suportif dapat dilakukan dengan:
1) Istirahat tirah baring dan mengatur tahapan mobilisasi
2) Menjaga kecukupan asupan cairan, yang dapat diberikan
secara oral maupun parenteral.
3) Diet bergizi seimbang, konsistensi lunak, cukup kalori dan
protein, rendah serat
4) Konsumsi obat-obatan secara rutin dan tuntas
5) Kontrol dan monitor tanda vital (tekanan darah, nadi, suhu,
kesadaran), kemudian dicatat dengan baik di rekam medik
pasien (Kemenkes, 2015).
b. Terapi simptomatik untuk menurunkan demam (antipiretik) dan
mengurangi keluhan gastrointestinal.
c. Terapi definitif dengan pemberian antibiotik. Antibiotik lini
pertama untuk demam tifoid adalah Kloramfenikol, Ampisilin atau
Amoksisilin (aman untuk penderita yang sedang hamil), atau
Trimetroprim-sulfametoxazole (Kotrimoksazol).
d. Bila pemberian salah satu antibiotik lini pertama dinilai tidak
efektif, dapat diganti dengan antibiotik lain atau dipilih antibiotik
lini kedua yaitu Seftriakson, Sefiksim, Kuinolon (tidak dianjurkan
untuk anak <18 tahun karena dinilai mengganggu pertumbuhan
tulang) (Kemenkes, 2015).

Tabel 1. Obat dan Dosis Antimikroba untuk Tifoid (Kemenkes, 2015)


Antibiotika Dosis Keterangan
Kloramfenikol Dewasa: 4 x 500 mg ( 2 - Merupakan obat yang paling
gr)/ hari selama 14 hari. lama digunakan dan dikenal
Anak : 50-100 paling efektif terhadap

16
mg/kgBB/hari maksimal 2 demam tifoid.
gr, diberikan selama 10-14 - Murah, dapat diberikan
hari peroral, dan sensitivitas masih
tinggi.
- Pemberian PO/IV
- Tidak diberikan bila leukosit
< 2000 /mm3

Seftriakson. Dewasa: 2-4gr/hari selama - Cepat menurunkan suhu,


3 -5 hari. lama pemberian tunggal dan
Anak : 80 mg/kgBB/hari dapat dosis tunggal serta
dosis tunggal selama 5 cukup aman untuk anak.
hari - Pemberian IV
Ampisilin dan Dewasa: 3-4gr/hari selama - Aman untuk penderita
amoksisilin 14 hari. Anak : 100 hamil.
mg/kgBB/hari dosis - Sering dikombinasi dengan
tunggal selama 10 hari. kloramfenikol untuk pasien
kritis.
- Tidak mahal.
- Pemberian PO/IV
TMP-SMX Dewasa: 2 x (160-800)
(kotrimoksazol) selama 2 minggu.
Anak : TMP 6-10
mg/kgBB/hari atau SMX
30-50 mg/kgBB/hari
selama 10 hari.
Quinolon a. Siprofloksasin: 2 x 500 - Pefloksasin dan fleroksasin
mg selama satu minggu b. lebih cepat dalam
Ofloksasin: 2 x (200-400) menurunkan suhu.
mg selama satu minggu c. - efektif dalam mencegah

17
Pefloksasin: 1 x 400 mg relaps dan karier.
selama satu minggu d. - Pemberian peroral
Fleroksasin: 1 x 400 mg - Anak: tidak dianjurkan
selama satu minggu karena efek samping pada
pertumbuhan tulang.
Cefixime Anak : 15-20 - Aman untuk anak.
mg/kgBB/hari selama 10 - Pemberian peroral.
hari dibagi menjadi 2 - Efektif.
dosis.
Tiamfenikol Dewasa: 4x500 mg Anak : - Dapat untuk anak dan
50 mg/kgBB/hari selama dewasa.
5-7 hari bebas panas - Dilaporkan sensitif pada
beberapa daerah.

8. Komplikasi
Biasanya terjadi pada minggu kedua dan ketiga demam. Komplikasi
antara lain perdarahan, perforasi usus, sepsis, ensefalopati, dan
infeksi organ lain yaitu sebagai berikut (Kemenkes, 2015) :
a. Tifoid toksik (Tifoid ensefalopati)
Penderita dengan sindrom demam tifoid dengan panas tinggi yang
disertai dengan kekacauan mental hebat, kesadaran menurun,
mulai dari delirium sampai koma.
b. Syok septik
Penderita dengan demam tifoid, panas tinggi serta gejala-gejala
toksemia yang berat. Selain itu, terdapat gejala gangguan
hemodinamik seperti tekanan darah turun, nadi halus dan cepat,
keringat dingin dan akral dingin.
c. Perdarahan dan perforasi intestinal (peritonitis)
Komplikasi perdarahan ditandai dengan hematoschezia. Dapat juga
diketahui dengan pemeriksaan feses (occult blood test). Komplikasi

18
ini ditandai dengan gejala akut abdomen dan peritonitis. Pada foto
polos abdomen 3 posisi dan pemeriksaan klinis bedah didapatkan
gas bebas dalam rongga perut.
d. Hepatitis tifosa
Kelainan berupa ikterus, hepatomegali, dan kelainan tes fungsi
hati.
e. Pankreatitis tifosa
Terdapat tanda pankreatitis akut dengan peningkatan enzim lipase
dan amilase. Tanda ini dapat dibantu dengan USG atau CT Scan.
f. Pneumonia
Didapatkan tanda pneumonia yang diagnosisnya dibantu dengan
foto polos toraks

19
BAB III
PEMBAHASAN

Pasien pada kasus ini mengeluh demam selama 5 hari. Pada kasus demam
tifoid, demam memiliki karakteristik turun naik terutama sore dan malam hari
dengan pola intermiten dan kenaikan suhu step-ladder. Demam tinggi dapat
terjadi terus menerus (demam kontinu) hingga minggu kedua. Pasien juga
mengeluh nafsu makan menurun, mual, dan lidahnya terasa pahit. Selain itu,
gangguan gastrointestinal yang dapat terjadi pada kasus tifoid antara lain berupa
konstipasi dan meteorismus atau diare, mual, muntah, nyeri abdomen dan BAB
cair.
Pemeriksaan fisik yang mengarah ke tifoid antara lain yaitu : demam, suhu
> 37,5oC, bradikardia relatif, yaitu penurunan frekuensi nadi sebanyak 8 denyut
per menit setiap kenaikan suhu 1oC, ikterus, typhoid tongue, tremor lidah,
halitosis, pemeriksaan abdomen : nyeri (terutama regio epigastrik),
hepatosplenomegali serta delirium pada kasus yang berat. Pada pasien ini
ditemukan lidah tifoid dan nyeri tekan epigastrium.
Pemeriksaan penunjang yang dikerjakan pada pasien ini yaitu
laboratorium darah rutin dan Widal. Pemeriksaan widal sebenarnya tidak dapat
dipakai untuk menegakkan diagnosis tifoid. Hasil pemeriksaan Widal positif palsu
sering terjadi oleh karena reaksi silang dengan non-typhoidal Salmonella,
enterobacteriaceae, daerah endemis infeksi dengue dan malaria, riwayat
imunisasi tifoid dan preparat antigen komersial yang bervariasi dan standaridisasi
kurang baik. Oleh karena itu, pemeriksaan Widal tidak direkomendasi
jika hanya dari 1 kali pemeriksaan serum akut karena terjadinya positif palsu
tinggi yang dapat mengakibatkan over-diagnosis dan over-treatment.
Baku emas diagnosis demam tifoid adalah kultur Salmonella typhii yang
dapat dilakukan pada spesimen:
a. Darah : Pada minggu pertama sampai akhir minggu ke-2 sakit, saat demam
tinggi
b. Feses : Pada minggu kedua sakit

20
c. Urin : Pada minggu kedua atau ketiga sakit
d. Cairan empedu : Pada stadium lanjut penyakit, untuk mendeteksi carrier
typhoid.

Penatalaksanaan pada kasus ini sudah sesuai. Cefotaxim merupakan


antibiotik golongan cephalosporin generasi ketiga. Sefalosporin mirip dengan
penisilin secara kimiawi, cara kerja, dan toksisitas. Hanya saja sefalosporin lebih
stabil terhadap banyak beta-laktamase bakteri sehingga memiliki spektrum yang
lebih lebar. Obat generasi ketiga memiliki spektrum yang lebih diperluas kepada
bakteri gram negatif dan dapat menembus sawar darah otak. Pasien juga di
edukasikan agar memakan makanan yang bersih dan sehat agar dapat mengurangi
resiko terjadinya infeksi bakteri Salmonella Typhi.

21
DAFTAR PUSTAKA

Asdie, A. 2005. Harrison: Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam volume 3. Edisi


13. Jakarta: EGC.
Brooks, GF., SJ. Butel, SA. Morse. 2007. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: EGC
Brusch, J.L. 2011. Typhoid Fever Clinical Presentation. Diakses dari:
http://emedicine.medscape.com/article/231135-clinical pada tanggal 12
Januari 2017.
Kemenkes. 2015. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor Hk.02.02/Menkes/514/2015 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi
Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama.
Parry, C.M., Hien, T.T., Dougan, G., et al. Typhoid fever. Dalam: The New
England Journal of Medicine. 2002: 1770-1782.
Rijal, S., R. Hatta, M. Sabir, Hermiaty. 2011. Tes Serologi Dipstik dalam
Penegakan Diagnosis Dini Demam Tifoid. Jurnal Avicena: Universitas
Muslim Indonesia
Retnosari dan Tumbelaka. 2000. Pendekatan Diagnostik Serologik dan Pelacak
Antigen Salmonella typhi. Sari Pediatri vol. 2: 90-95.
Santoso, H. 2009. Kajian Rasionalitas Penggunaan Antibiotik pada Kasus Demam
Tifoid yang Dirawat pada Bangsal Penyakit Dalam di RSUP Dr.Kariadi
Semarang tahun 2008. Karya Tulis Ilmiah. FK Undip.
Soedarmo, 2010. Buku Infeksi Dan Pediatri Tropis. Edisi 2. Jakarta:Ikatan Dokter
Indonesia.
Supriyono. 2011. Demam Tifoid (Typhoid Fever). Diakses dari:
http://gizi.depkes.go.id/wp-content/uploads/2012/08/DEMAM-TIFOID-
2011.pdf pada tanggal 12 Januari 2017.
Winn Jr, Washington C., et al 2006, Koneman’s Color Atlas and Textbook of
Diagnostic Microbiology, 6th ed, USA, Lippincott Williams & Wilkins,

22

Anda mungkin juga menyukai