Anda di halaman 1dari 29

Working Paper In Economics & Finance

Oleh :
MOHAMMAD HANIF
I. PENDAHULUAN

Indonesia selama kurun waktu 50 tahun pasca kemerdekaan, telah mengalami dua periode kepemimpinan
dengan fokus pembangunan ekonomi yang berbeda. Pada era Soekarno, pembangunan lebih diarahkan
pada upaya peningkatan “persatuan dan kesatuan bangsa”, sehingga praktis perekonomian tidak tertata
rapi dan menyebabkan perekonomian Indonesia saat itu semakin hancur. Ini disebabkan adanya politik
Isolasi Nasional dan menumpuknya defisit APBN dari tahun ke tahun. Puncaknya, tahun 1965-1966 terjadi
krisis ekonomi nasional dan Presiden Soekarno harus turun dari tampuk pimpinan Indonesia.

Pada era pemerintahan Soeharto, pembangunan berfokus pada perekonomian yang ditandai adanya grand
planning pembangunan yaitu Repelita yang dimulai tahun 1969. Pada itu, pembangunan perekonomian
berfokus pada upaya meningkatkan investasi luar negeri dan perdagangan. Perekonomian Indonesia saat
itu mengesankan. Secara umum, Indikator perekonomian saat itu menunjukkan perkembangan yang
sangat baik dan tidak ada kekhawatiran. Data BPS menunjukkan bahwa periode 1980-1990, perekonomian
Indonesia mengalami kenaikan pesat. Kenaikan ini sebagian besar ditopang dari kontribusi eksploitasi
sumber daya alam. GDP Indonesia 1970-1995 tumbuh rata-rata 6.8% dengan laju inflasi yang dapat
ditekan dibawah 10% (single digit). GDP per kapita di tahun 1995 mencapai $1.023 atau meningkat 15 kali
lipat. Ini merupakan sustainabilitas pertumbuhan yang sangat tinggi dan bersama negara Asean lainnya,
tumbuh sangat mengagumkan dan fantastik yang belum pernah dicapai dikawasan manapun di dunia
sebelumnya. Bahkan beberapa pengamat mengatakan bahwa kondisi ini akan terus bertahan dalam jangka
waktu yang cukup panjang.

Menurut IMF (1999), keberhasilan pencapai kinerja ekonomi Indonesia yang fantastis tanpa disadari
menimbulkan sindrom crisis of success, yang pada dasarnya menimbulkan kerentanan. Ini membuai
pengambil kebijakan sehingga cenderung mengabaikan prinsip-prinsip governance, pengambilan kebijakan
yang kurang hati-hati dan maraknya moral hazard baik oleh pelaku ekonomi maupun pengambil kebijakan.
Kondisi ini menjadi faktor yang memperparah dampak krisis ekonomi tahun 1997. Bahkan Indonesia saat
itu merupakan negara paling parah terkena dampaknya. Krisis ekonomi waktu itu menyebabkan
pertumbuhan ekonomi Indonesia merosot tajam menjadi -13.3% dari pertumbuhan sebesar 4.9% tahun
sebelumnya. Bahkan Krisis ekonomi waktu itu juga berimbas pada krisis sosial dan politik. Krisis politik
ditandai dengan munculnya gerakan reformasi dan mundurnya Soeharto dari tampuk pimpinan Indonesia.
Pada awalnya, memang tidak terbersit sedikitpun bahwa pertumbuhan ekonomi yang fantastis untuk
sebuah negara berkembang akan lenyap dalam sekejab akibat hebatnya krisis ekonomi yang bermula dari
Thailand dan dalam hitungan hari menjalar keseluruh kawasan termasuk Indonesia. Perekonomian
Indonesia saat itu berada di titik nadir perekonomian yang tak ubahnya seperti kertas yang dihempas oleh
badai krisis. Akibat krisis ini, telah memangkas secara signifikan pendapatan per kapita masyarakat
Indonesia kembali pada klasifikasi negara „miskin‟.

Pasca krisis ekonomi 1997, Indonesia dibawah era kepemimpinan reformasi menjalankan program
stabilisasi makroekonomi melalui beberapa kebijakan moneter dan fiskal. Yaitu meredam tekanan laju
inflasi dan gejolak nilai tukar. Pemerintah saat itu berupaya agar keadaan moneter menjadi stabil dengan
suku bunga normal dan nilai tukar yang realistis, sehingga dapat membangkitkan dunia usaha. Selain itu,
pemerintah juga melakukan konsolidasi dibidang fiskal melalui peningkatan disiplin anggaran dengan
melakukan penghematan atas berbagai pengeluaran pemerintah. Dalam seluruh langkah tersebut, upaya
restrukturisasi dan penyehatan perbankan menjadi prioritas yang sangat penting. Pertimbangannya waktu
itu, stabilitas moneter menjadi prasyarat bagi pemulihan ekonomi dan itu memerlukan stabilitas sistem
keuangan melalui pembenahan sektor perbankan.

Sejak tahun 2000, perekonomian Indonesia lambat laun menunjukkan perbaikan. Dibandingkan dengan
negara Asean lainnya, Indonesia mencetak pertumbuhan yang paling rendah. Selain itu, tingkat
pendapatan perkapita juga mulai tinggi bahkan lebih tinggi dibandingkan sebelum krisis. Indikator lainnya
seperti ekspor juga menunjukkan peningkatan kinerja yang mengesankan dan Cadangan Devisa pun
meningkat cukup besar. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pasca krisis masih didominasi oleh sektor
manufaktur meskipun trennya memperlihatkan kecenderungan menurun. Sektor yang berkembang pesat
setelah krisis adalah komunikasi dan transportasi yang tumbuh pada iklim pasar persaingan sempurna.
Sedangkan sektor Sumber Daya Alam (SDA) dan infrastruktur merupakan sektor yang masih mempunyai
potensi tinggi untuk dikembangkan.

Bulan Agustus 2007, harga-harga saham di BEJ mengalami koreksi akibat tekanan di bursa Wall Street dan
regional, menyusul meluasnya dampak krisis sub-prime mortgage di dunia. Bahkan di tahun 2008, kondisi
ini makin memburuk menyusul ambruknya perusahaan-perusahaan besar seperti Fannie Mae dan Freddie
Mac yaitu perusahaan perkreditan rumah yang telah memberikan garansi utang yang meliputi separuh lebih
dari utang perkreditan rumah di AS. Selain itu, yang menggemparkan dunia finansial adalah Bank Investasi
terbesar di pusat keuangan Wall Street yaitu Lehman Brothers. Namun demikian, karena BEJ hanya
mencakup 0.5% dari kapitalisasi ekonomi Indonesia maka ambruknya IHSG sebagai Indikator pasar modal
di Indonesia tidak menjadikan pintu masuk krisis. Pengaruh krisis justru masuk ke Indonesia melalui
mekanisme nilai tukar. Adanya penarikan dana besar-besaran dalam valas (khususnya USD) oleh lembaga
keuangan kreditor dan Investor di Amerika Serikat menyebabkan kenaikan yang cukup besar terhadap
permintaan valas (khususnya USD). Rupiah pun mengalami depresiasi yang sangat tajan terhadap USD.
Bahkan, nilai tukar Rupiah sempat mencapai Rp. 12.900/USD pada bulan November 2008. Melemahnya
nilai tukar Rupiah terhadap USD sangat memberatkan aktivitas impor Indonesia. Disisi ekspor, meskipun
dollar menguat terhadap Rupiah, bukan berarti mutlak menggembirakan karena meskipun harga murah
tetapi daya beli negara tujuan ekspor (Amerika Serikat) melemah. Adanya ancaman nilai tukar Rupiah yang
terus melemah ini, Pemerintah bersama dengan Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter
berusaha menyelamatkan perekonomian dengan mencegah kenaikan inflasi yang terus terjadi. Dalam
usaha menekan inflasi, BI memprioritaskan sektor moneter yang mereka nilai lebih memiliki tingkat urgensi
dibanding dengan sektor riil. Dalam hal ini, BI memfokuskan diri untuk menyelamatkan nilai tukar Rupiah
yang anjlok akibat tekanan capital outflow dengan menaikkan tingkat suku bunga.

Belum lama berselang efek krisis sub-prime mortgage, Indonesia kembali menghadapi ancaman akibat
krisis keuangan – ekonomi pemerintah yang berasal dari negara Eropa. Bermula diawal tahun 2010, krisis
ini dikenal dengan European Sovereign Debt Crisis. Negara seperti Irlandia, Yunani, dan Portugal
mengalami hutang pemerintah yang amat merisaukan. Kalau mereka gagal bayar, dampaknya dapat
meluas ke keuangan dan perekonomian global. Bagi Indonesia, krisis ini akan mempengaruhi posisi
ekonomi dan fiskal Indonesia melalui beberapa mekanisme transmisi, termasuk arus perdagangan dan
harga komoditas dan aliran keuangan dari bank dan investor portfolio. Perkembangan pasar keuangan dan
ekonomi global ini akan menjadi resiko yang berpengaruh negatif terhadap perekonomian Indonesia
kedepan. Berdasarkan perkembangan ekonomi dan keuangan terbaru di Indonesia (Bank Dunia, Desember
2011), bahwa kinerja perekonomian Indonesia menunjukkan sedikit pengaruh dari ketidakpastian prospek
ekonomi global ini. Resiko penurunan yang signifikan pada perekonomian global, yang pada akhirnya
mengeringkan likuiditas dollar dunia, dapat membawa implikasi yang serius terhadap sektor keuangan
Indonesia, dan memiliki potensi untuk mempengaruhi ekonomi riil, melalui pendanaan perdagangan dan
investasi, dan terhadap pembiayaan pemerintah.

Untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif tentang potret perekonomian Indonesia sebelum dan
sesudah krisis ekonomi tahun 1997, serta prospek ke depan ditengah-tengah krisis ekonomi global (sub-
prime mortgage Crisis dan European Sovereign Debt Crisis), penulis mencoba menyajikan dalam working
paper ini, yang dimulai dengan Bab I : Pendahuluan; Bab II : Pembahasan; dan Bab III : Kesimpulan.

II. PEMBAHASAN
II.1 Perekonomian Indonesia Sebelum Krisis Ekonomi

Perekonomian Indonesia antara tahun 1950-1965 sebenarnya telah diisi dengan beberapa program dan
rencana ekonomi pemerintah. Diantaranya :

1. Program Banteng tahun 1950, yang bertujuan membantu pengusaha pribumi


2. Program Sumitro (Sumitro Plan) tahun 1951
3. Rencana lima tahun pertama, tahun 1955-1960, dan
4. Rencana Delapan Tahun

Namun demikian, kesemua program dan rencana tersebut tidak memberikan hasil yang berarti. Ini
disebabkan karena pemerintah saat itu lebih berfokus pada upaya peningkatan “persatuan dan kesatuan
bangsa”, sehingga praktis perekonomian tidak tertata rapi dan menyebabkan perekonomian Indonesia saat
itu semakin hancur. Dana negara yang seharusnya dialokasikan pada pembangunan ekonomi, justru
dialokasikan untuk kepentingan politik dan perang. Misalkan, hutang luar negeri yang dialokasikan untuk
kepentingan proyek Mercusuar, dll. Saat itu, negara mengalami defisit anggaran yang semakin lama
semakin besar, dan untuk menutupi itu justru dengan mencetak uang baru sehingga mendorong terjadinya
inflasi yang cukup tinggi. Keadaan ini diperparah dengan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi yaitu
2.8%. Laju pertumbuhan penduduk lebih tinggi dibandingkan laju pertumbuhan ekonomi saat itu yang
hanya mencapai 2.2%.

Puncaknya, tahun 1965 perekonomian Indonesia berada pada titik nadir. Dimana waktu itu, persediaan
bahan kebutuhan pokok tidak dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri dan pemerintah tidak memiliki
kemampuan untuk melakukan impor. Harga-harga kebutuhan pokok dalam negeri waktu itu membubung
tinggi, ini tercermin dari laju inflasi yang cukup besar dan mencapai puncaknya sebesar 650% pada tahun
1966. Disisi lain, sosio-politik juga bergejolak dan puncaknya terjadi pemberontakan G30-S/PKI yang pada
akhirnya melengserkan Soekarno dari tampuk pimpinan Indonesia. Pasca tahun 1966, terjadi transformasi
pemerintahan dari era orde lama menuju orde baru.
Sejak terjadi transaformasi pemerintahan, orde baru melakukan penataan kembali pembangunan
perekonomian dengan melakukan program stabilisasi dan rehabilitas ekonomi. Program ini dilaksanakan
dengan skala prioritas : (1) pengendalian inflasi, (2) pencukupan kebutuhan pangan, (3) rehabilitasi
prasarana ekonomi, (4) peningkatan ekspor, dan (5) pencukupan kebutuhan sandang.

Pengendalian inflasi merupakan langkah awal pemerintah dalam bidang perekonomian, dan ini terbukti
berhasil. Pemerintah dapat menurunkan inflasi setiap tahunnya, dimana dari 650% pada tahun 1966, turun
menjadi 120% pada tahun 1967, dan 85% pada tahun 1968. Tahun 1969, inflasi dapat ditekan pada angka
9.9% dan sejak itu pemerintah mulai menerapkan serangkaian pembangunan yang sistematis melalui
Pembangunan lima tahunan (REPELITA) dan berjangka dua puluh lima tahunan (PJPT) berdasarkan arahan
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Untuk mencapai sasaran pembangunan yang optimal, maka
pembangunan dibagi kedalam berbagai bidang dan sektor yang terangkum dalam kerangka Trilogi
Pembangunan, yang meliput (1) Stabilitas (ekonomi) nasional, (2) Pertumbuhan Ekonomi, dan (3)
Pemerataan hasil-hasil Pembangunan (Kartasasmita, 1996).

Pada awal Repelita I, kondisi bangsa Indonesia waktu itu masih memprihatinkan. Indonesia saat itu
termasuk sebagai salah satu negara termiskin di dunia dengan PDB Perkapita hanya sekitar $70.
Sedangkan laju pertumbuhan penduduk cukup tinggi yaitu 2-3% dengan jumlah penduduk miskin
mencapai 70 Juta orang atau 69% dari seluruh penduduk Indonesia saat itu.

Pada Repelita VI, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 7.5% pada tahun 1994 dan meningkat
menjadi 8.1% di tahun 1995. Pertumbuhan ini melampaui target yang ditetapkan dalam Repelita VI yang
hanya mencapai 7.1% per tahun. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini diperoleh terutama atas dukungan
pertumbuhan sektor industri pengolahan. Sektor ini tumbuh 12.5% pada tahun 1994 dan 11.1% di tahun
1995. Pertumbuhan sektor ini diatas target yang ditetap pada Repelita VI yaitu 10.2% per tahun. Kontribusi
sektor ini terhadap perekonomian Indonesia mencapai 24.3% dan meningkat jika dibandingkan dengan
awal Repelita I yang hanya mencapai dibawah 10% dari total PDB Indonesia. Hal ini khususnya didorong
oleh pertumbuhan ekspor produk-produk olahan seperti garment (pakaian jadi), produk kain dan alas kaki,
barang-barang elektronik dan kayu lapis. Sebaliknya sektor pertanian, yang pada awal Repelita I mencapai
hampir 50% dari total PDB Indonesia turun menjadi hanya 17.2% pada Repelita VI.

Dari sisi struktur tenaga kerja, juga telah mengalami perubahan dan menuju ke arah yang makin seimbang.
Pada tahun 1971, pekerja yang bekerja di sektor pertanian, industri pengolahan, dan sektor lainnya adalah
masing-masing 66,3 persen, 6,8 persen, dan 26,9 persen. Sedangkan pada tahun 1995, pekerja yang
bekerja di sektor pertanian, industri, dan sektor lainnya telah berubah menjadi masing-masing 47,3 persen,
10,7 persen, dan 42,0 persen. Perubahan struktur ini, tidak terlepas dari berkembangnya peranan sektor
masyarakat dalam pembangunan, antara lain sebagai hasil berbagai kebijaksanaan deregulasi dan
debirokratisasi yang telah dilaksanakan sejak tahun 1980-an. UU pajak pendapatan saat itu disederhanakan
sementara pajak atas nilai tambah (v.a.t.), pajak properti dan regulasi lainnya diperbaharui. Penggalangan
pajak juga semakin intensif dengan tujuan meningkatkan pendapatan pemerintah di luar miny ak bumi dan
gas alam. Pemasukan dari pajak meningkat empat kali lipat selama satu dekade terakhir (Nugroho, 1996).

Menurut Utomo (1997), transformasi struktural perekonomian Indonesia akan terus berlangsung dan
diharapkan di tahun 2020, struktur perekonomian Indonesia terkonsentrasi pada sektor jasa-jasa. Berikut
transformasi perekonomian Indonesia dan permasalahannya (Gambar 1) :
Gambar 1 : Transformasi Perekonomian Indonesia - 2020

Sumber : Utomo, T.W.W. (1997)

Sedangkan laju pertumbuhan penduduk pada Repelita VI dapat ditekan hingga mencapai 1.6% per tahun.
Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan laju pertumbuhan penduduk yang rendah, PDB per
kapita Indonesia meningkat cukup signifikan yaitu mencapai $920 di tahun 1994 dan $1.023 di tahun 1995.
Dibandingkan dengan awal Repelita I, PDB per kapita Indonesia telah meningkat 15 kali atau tiga kali PDB
perkapita negara India. Padahal pada awal Repelita I, Indonesia lebih miskin dibandingkan negara India
(WorldBank, 1997). Sedangkan jumlah penduduk miskin juga berkurang dari 70 Juta orang atau di awal
Repelita I menjadi 25.9 Juta orang atau hanya 13.7% dari jumlah penduduk Indonesia pada Repelita VI.
Program penanggulangan penduduk miskin terus digalakkan oleh pemerintah melalui program Inpres Desa
Tertinggal (IDT), Takestra, dan Kukesra.

Adapun laju inflasi dapat ditekan “single digit”, dan pada Repelita VI mencapai 9.2% di tahun 1994 dan
8.4% di tahun 1995. Angka ini masih jauh diatas target yang ditetapkan sebesar 5%. Namun demikian,
diharapkan kedepannya terus dapat ditekan untuk mencapai target tersebut.

Selanjutnya, berdasarkan GBHN 1993 pemerintah menetapkan target pembangunan yang bertumpu pada
tiga kata kunci PJPT II (1994-2019) yaitu kemajuan, kemandirian, dan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Titik beratnya adalah pada pembangunan bidang ekonomi yang merupakan penggerak pembangunan.
Berdasarkan target Repelita VII, pertumbuhan ekonomi Indonesia ditargetkan diatas 7% per tahun.
Sedangkan laju pertumbuhan penduduk ditekan pada angka rata-rata 1.4% per tahun. Dengan kedua
sasaran ini, PDB per kapita Indonesia pada akhir Repelita VII diharapkan mencapai sekitar $1.400. Pada
saat itu, ekonomi Indonesia sudah dapat digolongkan kedalam negara industri baru. Sektor Industri akan
menjadi penggerak perekonomian, dan semakin diandalkan dalam menyerap tenaga kerja, secara bertahap
mengganti peran sektor pertanian. Bahkan jika krisis ekonomi 2007 seandainya tidak terjadi, maka PDB per
kapita Indonesia menjelang tahun 2005 mencapai $2.300 dan Indonesia ketika itu sudah layak disebut a
middle-income industrialized country.
Berikut adalah pertumbuhan perekonomian Indonesia selama era orde baru dan tingkat inflasi yang
berhasil ditekan (BPS, 1995) :
Gambar 2 : Pertumbuhan Ekonomi Indonesia dan Tingkat Inflasi Era Orde Baru

Sumber : BPS

Namun, belum lama keberlangsungan Repelita VI, pada tahun 1997 Indonesia mengalami krisis Ekonomi
sebagai imbas dari krisis keuangan di Thailand. Krisis ini diawali dengan jatuhnya nilai mata uang Bath
Thailand pada bulan Juli 1997 dan berakibat langsung terhadap nilai Rupiah yang terdepresiasi secara
eksponensial, dari Rp2.400 per dollar menjadi Rp16.500 per dollar pada bulan Juni 1998. Pertumbuhan
ekonomi Indonesia mengalami kontraksi sebesar 13.3% dan inflasi meningkat hingga sampai 77%. Pada
saat itu, Indonesia boleh dikatakan telah “kehilangan pijakan” dalam kancah perdagangan internasional;
masyarakat kehilangan kepercayaan pada sektor perbankan; ekspor Indonesia terhambat oleh kurangnya
biaya untuk impor bahan baku; dan banyak pelanggan asing membatalkan pesanannya karena kurang
percaya bahwa perusahaan Indonesia akan mampu memenuhi permintaannya. Praktis Perekonomian
Indonesia saat itu berada di titik nadir yang tak ubahnya seperti kertas yang dihempas oleh badai krisis.
Jika Indonesia sebelum terkena krisis termasuk negara dengan kemajuan ekonomi yang luar biasa
sehingga sering disebut Miracle dengan digolongkan sebagai negara “High Performing Asian Econmoics”
dan dijadikan contoh bagi negara-negara berkembang lainnya karena dianggap berhasil, maka ketika
terjadi krisis telah melenyapkan attribut itu dalam sekejap dan menempatkan kembali Indonesia dalam
klasifikasi negara „miskin‟. PDB per kapita Indonesia pada tahun 1997 yang sempat mencapai $1.200 anjlok
tinggal $300 pada Januari 1998, atau kurang lebih sama dengan 20 tahun sebelumnya (Arifin, 1998).

II.2 Perekonomian Indonesia Saat dan Pasca Krisis Ekonomi

Krisis ekonomi Indonesia dipicu oleh jatuhnya nilai Bath Thailand. Pada tanggal 14 Mei dan 15 Mei 1997,
mata uang Bath terpukul oleh serangan spekulasi besar. Walaupun Perdana Menteri Thailand menyatakan
bahwa tidak akan mendevaluasi Bath, tetapi thailand akhirnya mengambangkan mata uang lokalnya pada
tanggal 2 Juli 1997. Ini membuat Bath jatuh tajam dan hilang setengah dari harganya. Pasar saham
Thailand waktu itu jatuh 75% dan Finance One, perusahaan keuangan Thailand terbesar akhirnya
bangkrut.
Gambar 3 : Nilai Tukar Bath Thailand terhadap Dollar

Sumber : Wikipedia.com

Krisis ini kemudian segera menyebar ke Indonesia, Malaysia, Filipina dan negara-negara lainnya di Asia
timur seperti Jepang, RRC, Korea dan Hongkong. Meskipun RRC dan Hongkong (China) mengalami
tekanan, mereka tak membiarkan mata uang mereka mengambang atau mengalami devaluasi. Krisis ini
berlangsung cepat dan praktis, sebagian besar mata uang asia terpuruk menjelang Januari 1998. Kondisi
ini berpengaruh ke mata uang, pasar saham, dan harga aset lainnya di beberapa negara Asia. Bahkan
dibanyak negara Asia, juga melibatkan krisis perbankan yang serius, runtuhnya pasar kredit, dan resesi
yang mendalam.

Sebagai konsekuensi dari krisis ini, Bank Indonesia pada tanggal 14 Agustus 1997 terpaksa membebaskan
nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, khususnya dollar AS, dan membiarkannya berfluktuasi secara
bebas (free floating) menggantikan sistim managed floating yang dianut pemerintah sejak devaluasi
Oktober 1978. Dengan demikian Bank Indonesia tidak lagi melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk
menopang nilai tukar rupiah, sehingga nilai tukar ditentukan oleh kekuatan pasar semata. Nilai tukar rupiah
kemudian merosot dengan cepat dan tajam dari rata-rata Rp2.450 per dollar AS bulan Juni 1997 dan
menjadi Rp16.500 per dollar pada bulan Juni 1998, namun kemudian berhasil menguat kembali menjadi
sekitar Rp 8.000 di awal Mei 1999.

Krisis Ekonomi 1997 telah memaksa Rupiah terdepresiasi sangat tajam dan menimbulkan kontraksi
ekonomi yang sangat dalam (Tabel 1). Penurunan nilai tukar rupiah yang tajam dan disertai dengan
terputusnya akses ke sumber dana luar negeri menyebabkan turunnya kegiatan produksi secara drastis dan
berkurangnya kesempatan kerja sebagai akibat tingginya ketergantungan produsen domestik pada barang
dan jasa impor. Pada saat yang sama, kenaikan laju inflasi juga sangat tinggi. Tekanan inflasi ini terutama
bersumber dari gangguan pada sisi penawaran sebagai akibat terganggunya kegiatan produksi dan
distribusi barang-barang kebutuhan pokok, khususnya kelompok makanan. Selain itu, tingginya inflasi juga
disebabkan oleh dampak lanjutan depresiasi rupiah yang mengakibatkan kenaikan harga barang-barang
impor (pass-through effect). Sedangkan dari sisi permintaan, tekanan inflasi disebabkan adanya ekspansi
moneter.
Akibat tekanan inflasi yang tinggi dan Tabel 1 : Indikator Makroekonomi Indonesia Tahun 1998
adanya penurunan penghasilan masyarakat
telah mengakibatkan merosotnya daya beli
sehingga kesejahteraan masyarakat
menurun drastis dan kantong-kantong
kemiskinan domestik semakin meluas. PDB
per kapita Indonesia yang mana pada tahun
1997 yang sempat mencapai $1.200 anjlok
hanya tinggal $300 pada Januari 1998, atau
kurang lebih sama dengan 20 tahun
sebelumnya. Krisis juga menyebabkan
jumlah penduduk miskin meningkat dari
22.5 Juta jiwa atau 11.4% pada tahun 1996
menjadi 47 Juta jiwa atau sekitar 23.5%
pada tahun 1997.

Selain itu, kerusuhan sosial yang terjadi di


tahun 1998 juga telah menyebabkan
berbagai kerusakan, baik di sektor produksi
maupun jaringan distribusi, yang berdampak
kepada memburuknya iklim usaha di
Indonesia. Jaringan distribusi yang tidak
sepenuhnya berfungsi, disertai dengan panic
buying telah menyebabkan munculnya
ekspektasi masyarakat akan kenaikan harga-
harga secara berkelanjutan. Begitu pula,
pergantian beberapa posisi penting dalam
kepemimpinan nasional dan proses
konsolidasi pemerintahan baru (era Sumber : Bank Indonesia
reformasi) turut memperlambat proses pemulihan stabilitas baik ekonomi, sosial, maupun politik. Sebagai
akibat kondisi tersebut, laju inflasi terus meningkat tajam, nilai tukar rupiah melemah, dan suku bunga
meningkat tajam.

Namun memasuki kuartal ke IV-1998, indikator perekonomian Indonesia menunjukkan perkembangan yang
membaik. Stabilitas moneter berangsur-angsur pulih kembali sebagaimana tercermin pada semakin
terkendalinya tekanan inflasi sejak Oktober 1998 dan semakin stabilnya nilai tukar rupiah. Pada saat yang
sama, sistem perbankan mampu menarik simpanan lebih banyak meskipun suku bunga terus bergerak
turun. Seiring dengan turunnya suku bunga, aktivitas pasar modal dan harga saham-saham kembali
meningkat (Gambar 4 dan 5).
Gambar 4 : Tingkat Inflasi dan Nilai Tukar 1998-1999

Sumber : Bank Indonesia

Gambar 5 : Perkembangan IHSG dan Laju Inflasi 1998/1999

Sumber : Bank Indonesia

Pada dasarnya, setidaknya ada empat faktor yang dapat menjelaskan mengapa Indonesia mengalami krisis
ekonomi sangat parah, yaitu (Kartasasmita, 2002) :

1. Stok hutang luar negeri swasta yang sangat besar dan umumnya berjangka pendek, telah
menciptakan kondisi bagi “ketidakstabilan”. Pemerintah era orde baru selalu ektra hati-hati dalam
mengelola hutang negara. Akan tetapi hutang oleh sektor swasta, pemerintah sama sekali tidak
memiliki mekanisme pengawasan. Menurut WorldBank (1998), 95% dari penambahan hutang luar
negeri Indonesia selama tahun 1992-Juli 1997 berasal dari pinjaman Swasta. Awal Mei 1998,
besarnya utang luar negeri swasta dari 1.800 perusahaan diperkirakan berkisar antara $63-64
Milyar dan sebagian besar dari pinjaman ini tidak di hedge. Namun sayang, banyaknya modal yang
masuk tersebut tidak cukup dimanfaatkan untuk sektor-sektor yang produktif, seperti pertanian
dan industri, tetapi justru masuk kepembiayaan konsumsi, pasar modal, dan sektor perumahan.
Akibatnya, pada sektor-sektor tersebut memang terjadi ledakan (booming), tetapi itu hanya
sebagian dipengaruhi oleh besarnya arus modal yang masuk. Sektor-sektor ini lebih mengandalkan
pasar dalam negeri dan tidak menghasilkan barang ekspor. Sehingga sedikit sekali pemasukan
devisa yang bisa diandalkan untuk membayar kembali hutang luar negeri tersebut. Bahkan
pembayaran akan semakin sulit ketika nilai tukar rupiah merosot tajam karena jumlah utang dalam
rupiah akan membengkak dan belum lagi ditambah beban bunga yang juga harus dibayarkan.
Batas waktu pinjaman dari hutang sektor swasta rata-rata pendek yaitu 18 bulan, sehingga ketika
terjadi krisis 1997 ada banyak hutang yang harus dilunasi karena jatuh tempo. Kondisi ini turut
memperburuk krisis ekonomi Indonesia saat itu.

2. Banyaknya kelemahan dalam sistem perbankan Indonesia. Dengan kelemahan ini, masalah hutang
swasta luar negeri langsung beralih menjadi masalah perbankan dalam negeri. Ini terjadi karena
ketika liberalisasi perbankan diberlakukan sejak pertengahan tahun 1980-an, mekanisme
pengendalian dan pengawasan dari pemerintah tidak efektif dan tidak mampu mengkuti cepatnya
pertumbuhan sektor perbankan. Pada waktu itu, banyak sekali bank yang sesungguhnya tidak
bermodal cukup tetapi tetap dibiarkan beroperasi. Ketika nilai tukar terdepresiasi, sistem perbankan
tidak mampu menempatkan diri sebagai “peredam kerusakan”, tetapi justru menjadi korban
langsung akibat neracanya yang tidak sehat. Pada waktu krisis, terjadi penurunan jumlah bank
yang beroperasi dari 222 bank menjadi 170 bank atau turun sebesar 23.4%. Profitabilitas
perbankan saat itu turun drastis, yang disebabkan adanya kerugian operasional sebagai akibat
menggelembungnya aktiva produktif bermasalah dan adanya negative spread. Sebagian besar
kredit yang bermasalah ini berasal dari kredit-kredit yang melanggar BMPK (Batas Minimum
Pemberian Kredit). Terdapat 56 bank yang melanggar BMPK bulan Desember 1997, dan meningkat
menjadi 138 bank yang melanggar BMPK bulan Desember 1998. Selanjutnya, kredit macet ini
kemudian dialihakan ke AMU/BPPN. Selain itu, gejolak sosial dan politik mengakibatkan
kepercayaan masyarakat pada sistem perbankan menjadi rendah. Kondisi ini telah memicu
penarikan dana masyarakat dari sistem perbankan secara besar-besaran (bank run). Tekanan bank
run yang begitu kuat berdampak pada kesulitan likuiditas dibeberapa bank, bahkan berpotensi
mengancam kehancuran sistem perbankan nasional. Untuk menghindari kegagalan sistemik, Bank
Indonesia sebagai lender of the last resort memberikan bantuan likuiditas (BLBI). Penyelesaian
BLBI ini antara lain dilaksanakan melalui pemberian kuasa oleh Menteri Keuangan kepada
Kejaksaan Agung untuk melakukan penagihan BLBI kepada pemilik dan pengurus bank,
pencegahan bagi pemilik dan pengurus bank yang berada di bawah pengawasan BPPN untuk
bepergian ke luar negeri, dan penjualan aset-aset bank melalui BPPN.

3. Dengan makin tidak jelasnya arah perubahan politik, maka isu tentang pemerintahan otomatis
berkembang menjadi persoalan ekonomi. Hal ini tentunya akan menghambat atau menghalangi
gerak pemerintah, untuk mengambil tindakan tegas di tengah krisis.

4. Perkembangan situasi politik telah makin menghangat akibat krisis ekonomi, dan pada gilirannya
memberbesar dampak krisis ekonomi itu sendiri. Kegagalan dalam mengembalikan stabilitas sosial-
politik telah mempersulit kinerja ekonomi dalam mencapai momentum pemulihan secara mantap
dan berkesinambungan.

Meskipun persoalan hutang swasta dan perbankan menjadi penyebab utama dari krisis ekonomi, namun,
kedua faktor yang disebut terakhir di atas adalah penyebab lambatnya pemulihan krisis di Indonesia.

Bulan Mei 1998, terjadi transformasi pemerintahan dari orde baru menuju orde reformasi. Ini ditandai
dengan mundurnya Soeharto dari tampuk pimpinan Indonesia. Selanjutnya pemerintah yang baru bergerak
cepat dengan serangkaian kebijakan pemulihan yang didukung oleh masyarakat internasional. Agenda
pemulihan ini ditempuh melalui lima program, yaitu (1) mengembalikan stabilitas makro ekonomi, (2)
melanjutkan reformasi struktural, (3) merestrukturisasi sistem perbankan, (4) menyelesaikan masalah
hutang swasta, dan (5) mengurangi dampak krisis pada penduduk miskin melalui pelaksanaan JPS (jaring
pengaman sosial/social safety net). Semua itu harus dilakukan secepat mungkin.
Tabel 2 : Indikator Makroekonomi Indonesia Tahun 1998-2000
Dengan langkah-langkah tersebut pemerintah
telah berhasil meredam tingkat kerusakan
ekonomi akibat krisis, bahkan mampu
mengembalikan Indonesia pada jalur
pemulihan yang benar. Hal ini terbukti
dengan mulai pulih dan stabilnya nilai tukar
rupiah menjadi Rp7.850 per dolar di tahun
1999 atau turun dibandingkan tahun 1998
yang mencapai Rp10.088. Inflasi juga
terkendali, dari 77.6% pada tahun 1998 turun
menjadi 2.01% di tahun 1999. Suku bunga
yang mencapai puncaknya sebesar 75% di
bulan Agustus 1998, turun menjadi 12.5% di
tahun 1999. Sedangkan konsumsi dalam
negeri yang sebelumnya turun, tumbuh
menjadi 4.3% di tahun 1999 (Tabel 2).
Pendek kata, turbulensi ekonomi dalam waktu
singkat telah berhasil dikendalikan.

Menjelang pertengahan 1999 krisis ekonomi


Indonesia telah melampaui titik nadir dan
telah mulai tumbuh lagi. Sepanjang tahun itu
ekonomi berhasil tumbuh sedikit dengan
peningkatan PDB sebesar 0,8% dan Sumber : Bank Indonesia
meningkat menjadi 4.8% pada tahun 2000. Berbeda dengan tahun 1999 yang hanya didorong oleh
pengeluaran konsumsi, sumber-sumber pertumbuhan ekonomi pada tahun 2000 menjadi lebih seimbang.
Dengan didukung oleh nilai tukar yang kompetitif, ekspor (non-migas) menjadi pendorong utama
pertumbuhan ekonomi. Selain itu, Seluruh sektor pada tahun 2010 sudah pulih kembali. Sektor industri
pengolahan, transportasi dan telekomunikasi tumbuh paling besar di tahun 2010. Untuk pengeluaran
konsumsi, tahun 2010 terus meningkat sejalan dengan perbaikan tingkat pendapatan dari berbagai sektor
yang bertumbuh positif. Sumbangan ekspor, investasi, dan konsumsi terhadap pertumbuhan PDB pada
tahun 2000 masing-masing mencapai 3,9%, 3.61%, dan 3,1%. Kuatnya kinerja ekspor, tingginya investasi
dan konsumsi serta dapat ditekannya nilai tukar dan inflasi mengindikasikan semakin mantapnya proses
pemulihan ekonomi yang terjadi.

Selama satu dekade pasca krisis, pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan prospek yang baik.
Menurut Bank Indonesia, perekonomian Indonesia telah mencatat beberapa pencapaian pokok yang
menggembirakan. Untuk pertama kalinya sejak krisis, pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di atas
angka 6% dengan stabilitas yang tetap terjaga baik. Neraca Pembayaran Indonesia mencatat surplus,
cadangan devisa meningkat, nilai tukar menguat, pertumbuhan kredit melampaui target, dan laju inflasi
sesuai dengan sasaran yang ditetapkan.

Berdasarkan Tabel 3, akselerasi pertumbuhan ekonomi tahun 2007, terutama berasal dari konsumsi rumah
tangga dan investasi yang mencatat pertumbuhan tinggi. Pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi
disertai dengan membaiknya indikator kesejahteraan masyarakat. Hal ini terindikasi dari tingkat
pendapatan per kapita tahun 2007 yang mencapai $1.947 per kapita, meningkat sekitar 17% dibandingkan
dengan tahun 2006. Selain itu, pertumbuhan ekonomi juga telah mampu menyerap tambahan angkatan
kerja sebesar 4,5 juta orang sehingga rasio pengangguran terbuka terhadap angkatan kerja menurun dari
10,3% pada tahun 2006 menjadi 9,1% di tahun 2007. Sedangkan Persentase penduduk yang hidup di
bawah garis kemiskinan menurun dari 17,7% pada tahun 2006 menjadi 16,6% pada tahun 2007 atau
berkurang sebanyak 1,9 juta orang. Selain meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan stabilnya inflasi,
membaiknya indikator kemiskinan juga terkait dengan berbagai program sosial yang diluncurkan untuk
membantu masyarakat miskin, termasuk bantuan yang terkait dengan bencana alam.

Jumlah penduduk miskin berdasarkan laporan BPS (Maret 2007) tercatat sebesar 37,2 juta orang, menurun
dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, yaitu sebesar 39,3 juta orang. Penurunan
penduduk miskin terutama terjadi di daerah pedesaan sebesar 1,20 juta orang, sedangkan di perkotaan
berkurang 0,93 juta orang. Dilihat porsinya, penduduk miskin di Indonesia masih dominan berada di desa
yakni sebesar 63,5%.

Akhirnya dari sisi nilai tukar, Bank Indonesia tetap konsisten menerapkan kebijakan nilai tukar fleksibel
sehingga pergerakan nilai tukar sejalan dengan kondisi fundamental ekonomi. Pergerakan nilai tukar yang
sejalan dengan fundamental ekonomi tersebut diharapkan dapat tetap menjaga daya saing ekspor,
sedangkan terjaganya volatilitas nilai tukar diharapkan dapat menjaga kepastian usaha dan meminimalkan
dampaknya terhadap inflasi. Guna menjaga volatilitas nilai tukar rupiah, Bank Indonesia juga melakukan
intervensi di pasar valuta asing dalam skala terbatas. Nilai tukar yang stabil telah mendukung inflasi IHK
selama tahun 2007 tetap berada dalam kisaran sasaran yang ditetapkan. Inflasi IHK pada tahun 2007
tercatat sebesar 6,59% atau berada dalam kisaran yang ditetapkan Pemerintah, yakni 6,0% ±1%.
Tabel 3 : Indikator Makroekonomi Indonesia Tahun 2003-2007 (satu dekade pasca krisis ekonomi)
II.3 Perekonomian Indonesia ditengah goncangan Krisis Ekonomi Global

Perekonomian Indonesia pasca krisis secara bertahap tapi pasti telah mengalami peralihan dari suatu
kondisi perekonomian yang berada dalam cengkeraman krisis multidimensional menuju sebuah konsolidasi
pembangunan ekonomi yang ditopang oleh penguatan fondasi kunci perekonomian nasional. Hasil dari
proses konsolidasi tersebut telah mulai tampak sebagaimana yang ditunjukkan oleh berbagai pencapaian
indikator perekonomian pada tahun 2007 diatas. Namun, ditengah bangkitnya perekonomian ini ada
berbagai gejolak ekternal yang berpotensi memberikan tekanan berat pada kinerja dan stabilitas
makroekonomi dalam negeri Indonesia, yaitu krisis sub-prime mortgage (2007-2008) dan European
Sovereign Debt Crisis (2010).

II.3.1 Krisis Ekonomi Global – Subprime mortgage

Krisis sub-prime mortgage, dimulai ketika Bank BNP Paribas, salah satu bank terbesar Perancis, pada
tanggal 9 Agustus 2007 menyatakan ketidaksanggupannya untuk mencairkan sekuritas yang terkait dengan
kredit perumahan AS (sub-prime mortgage). Sub-prime mortgage merupakan istilah untuk kredit
perumahan (mortgage) yang diberikan kepada debitur dengan sejarah kredit yang buruk atau belum
memiliki sejarah kredit sama sekali, sehingga digolongkan sebagai kredit yang berisiko tinggi. Penyaluran
sub-prime mortgage di AS mengalami peningkatan pesat mulai di bawah USD200 miliar pada tahun 2002
hingga menjadi sekitar USD500 miliar pada 2005. Krisis ini mendatangkan kerugian sangat besar karena
adanya praktik pengemasan sub-prime mortgage ke dalam berbagai bentuk sekuritas lain, yang kemudian
diperdagangkan di pasar finansial global seperti yang terlihat pada diagram dibawah ini (Gambar 6) :

Gambar 6 : Praktik Pengemasan Sub-Prime mortgage kedalam berbagai bentuk sekuritas


Berdasarkan gambar 6, sekuritas dilakukan pertama kali pada sejumlah sub-prime mortgage yang disebut
mortgage-backed securities (MBS). Pada dasarnya praktek ini cukup lazim dalam sistem keuangan modern
dan di tahun 2006, jumlah perumahan di AS yang disekuritasi menjadi MBS mencapai hampir 60% total
outstanding kredit perumahan. Proses sekuritisasi ini melibatkan pihak ketiga baik institusi pemerintah
(antara lain Fannie Mae dan Freddie Mac) maupun swasta. Selanjutnya sekuritas ini dijual ke Investor dan
untuk menanggulangi risiko gagal bayar (default), maka pihak ketiga ini sekaligus bertindak sebagai
penjamin. Kemudian, melalui rekayasa keuangan (financial engineering) yang kompleks, MBS kemudian
diresekuritisasi lagi menjadi jenis sekuritas yang dikenal sebagai Collateralised Debt Obligations (CDOs).
Jumlah MBS yang disekuritisasi menjadi CDO telah mengalami peningkatan pesat setiap tahunnya.

Gambar 7 : Praktik Pengemasan Sub-Prime mortgage kedalam berbagai bentuk sekuritas

Selain dalam bentuk CDO, MBS juga diresekuritisasi dalam beberapa bentuk sekuritas yang lain,
diantaranya sekuritas SIV (structured Investment Vehicles).

Memasuki pertengahan 2004, terjadi arah perubahan kebijakan moneter AS, dan trend peningkatan suku
bunga mulai terjadi dan berlangsung hingga tahun 2006. Kondisi ini pada akhirnya memberikan pukulan
berat bagi industri perumahan AS yang ditandai dengan banyaknya debitur gagal bayar atau macet.
Gelombang gagal bayar yang terjadi bersamaan dengan jatuhnya harga rumah di AS, akhirnya menyeret
semua investor maupun lembaga yang terlibat dalam penjaminan ke dalam persoalan likuiditas yang
sangat besar. Puncaknya adalah saat BNP Paribas mengumumkan pembekuan atas sekuritas yang terkait
dengan kredit perumahan berisiko tinggi (sub-prime mortgage) pada bulan Agustus 2007. Pembekuan ini
secara tiba-tiba memicu krisis kepercayaan di pasar keuangan global. Sulitnya mendeteksi bank atau
institusi mana yang memiliki aset yang terkait dengan sub-prime mortgage dari AS, menyebabkan
munculnya perilaku menghindar dari risiko (risk aversion) yang berlebihan dari pelaku pasar. Kondisi ini
segera menciptakan kekeringan likuiditas yang sangat parah di pasar keuangan global dan menimbulkan
gejolak di pasar finansial dan akhirnya merambat ke seluruh dunia. Di penghujung triwulan III-2008,
intensitas krisis semakin membesar seiring dengan bangkrutnya bank investasi terbesar AS Lehman
Brothers, yang diikuti oleh kesulitan keuangan yang semakin parah di sejumlah lembaga keuangan berskala
besar di AS, Eropa, dan Jepang seperti UBS Bank, Citibank, Merryl Lynch, dll.
Dampak krisis finansial di AS dan Eropa kemudian menyebar ke seluruh dunia. Adapun transmisi dampak
krisis global ini ke perekonomian Indonesia pada dasarnya melewati dua jalur, yaitu jalur finansial (financial
channel) dan jalur perdagangan (trade channel) atau jalur makroekonomi.
1. Dampak Melalui Jalur Finansial

Dampak melalui jalur ini ada dua, yaitu dampak langsung dan tidak langsung. Dampak langsung yaitu
berupa tekanan langsung pada stabilitas keuangan domestik. Salah satu indikator tekanan ini adalah
indeks stabilitas keuangan (Financial Stability Index atau FSI), yang sempat mencapai batas indikatif di
bulan November 2008. Tingginya angka FSI terutama disebabkan anjloknya IHSG dan harga SUN di
pasar saham. Bahkan, telah memaksa otoritas BEI untuk menghentikan perdagangan (blackout) pada
Oktober 2008. Penurunan IHSG ini bersamaan dengan jatuhnya nilai kapitalisasi pasar dan penurunan
volume perdagangan saham.

Sedangkan arus keluar kepemilikan asing di saham, surat utang negara (SUN), maupun SBI terus
menurun dan di Akhir Desember 2008, posisi asing di SUN turun menjadi 16.20% dibandingkan posisi
Spetember 2008. Sementara posisi asing di SBI menurun tajam sebesar 87.72% dibandingkan posisi
Agustus 2008.

Penurunan kepemilikan investor asing di pasar saham, karena ada kesulitan likuiditas di pasar global
sehingga memaksa mereka untuk menarik dananya (deleveraging) dari Indonesia. Selain itu,
penurunan ini juga diduga kuat didorong oleh perilaku risk aversion dari investor yang kemudian
memicu terjadinya flight to quality dari aset yang dipandang berisiko ke aset yang lebih aman.

Bersamaan dengan itu, nilai tukar Rupiah ikut terkoreksi tajam hingga mencapai level Rp10.900 per
dollar pada akhir Desember 2008. Penurunan ini juga dipicu oleh aksi flight to quality dari investor
asing seperti diuraikan di atas, risiko terhadap Rupiah tercermin dari peningkatan yield spread antara
imbal hasil obligasi pemerintah dan US T-Notes secara tajam pada bulan Oktober sampai dengan
November 2008.

Gambar 8 : Volume Perdagangan, IHSG, dan Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar

Dengan melihat perkembangan s.d akhir Desember 2008, terlihat bahwa dampak krisis ke Indonesia
melalui jalur finansial secara langsung lebih banyak ditransmisikan melalui faktor risk aversion yang
memicu flight to quality, selain aksi deleveraging dari investor asing terkait dengan kesulitan likuiditas
global.

Sedangkan dampak tidak langsung yaitu melalui munculnya hambatan terhadap ketersediaan
pembiayaan ekonomi, baik yang bersumber dari perbankan, lembaga keuangan lain maupun pihak-
pihak lainnya.

2. Dampak Melalui Jalur Perdagangan

Dampak melalui jalur ini telah mengakibatkan menurunnya kinerja neraca perdagangan yang dipicu
oleh menurunnya kinerja ekspor akibat kontraksi perekonomian global, yang diiringi dengan
merosotnya harga berbagai komoditas ekspor. Rentannya ekspor Indonesia terhadap shock di kondisi
eksternal ini sesungguhnya tidak terlepas dari karakteristik komoditas ekspor Indonesia yang meliputi
(1) ketergantungan terhadap komoditas primer, (2) komoditas ekspor yang kurang terdiversifikasi, dan
(3) tingginya kandungan impor pada komoditas ekspor.

Faktor yang juga menekan kinerja ekspor Indonesia disebabkan negara tujuan utama ekspor
cenderung terkonsentrasi pada sejumlah negara, di mana lebih dari separuh pangsa ekspor tertuju ke
empat sampai lima negara saja (mitra dagang utama indonesia), yaitu Jepang, AS, Singapura, Korea,
dan China.

Akibat tertekannya kinerja ekspor, dunia usaha pun mulai terkena imbas dan gelombang pemutusan
hubungan kerja mulai terjadi, khususnya di industri-industri berorientasi ekspor seperti industri kayu,
tekstil, dan pengalengan ikan.

Berdasarkan transmisi dampak krisis diatas, penurunan saham dan ambruknya IHSG sebagai indikator
pasar modal tidak lantas menjadikan kondisi ini sebagai pintu masuknya krisis. Ini karena BEJ hanya
mencakup 0.5% dari kapitalisasi ekonomi Indonesia. Sebaliknya, krisis justru masuk ke Indonesia melalui
mekanisme nilai tukar. Nilai tukar yang menurun tajam menjadi perhatian utama Bank Indonesia dan
Pemerintah selama tahun 2008-2009. Penurunan ini dipicu oleh aksi flight to quality dari investor asing
karena ada kesulitan likuiditas di pasar global sehingga memaksa mereka untuk menarik dananya
(deleveraging) dari Indonesia (capital outflow). Nilai tukar ini menekan sistem stabilitas keuangan domestik
dan menurunkan kinerja neraca pembayaran Indonesia.

Untuk itu melalui kebijakan moneter, Bank Indonesia menempuh kebijakan stabilisasi nilai tukar sehingga
dapat memitigasi dampak krisis likuiditas global terhadap likuiditas valas di dalam negeri. Kebijakan itu
dilakukan secara terukur dengan tetap menjaga kecukupan posisi cadangan devisa. Kebijakan itu ditempuh,
khususnya di triwulan I 2009, akibat besarnya aliran modal keluar di pasar keuangan domestik.

Selain kebijakan atas nilai tukar, Bank Indonesia kembali melakukan kebijakan penurunan BI Rate dengan
mempertimbangkan tekanan pada sistem keuangan yang masih tinggi dan adanya tren perlambatan
pertumbuhan perekonomian akibat krisis global. Dengan diturunkannya BI Rate akan memberikan ruang
gerak bagi upaya mendorong pertumbuhan perekonomian. Berikut beberapa indikator pertumbuhan
perekonomian saat dan sesudah terjadinya krisis sub-prime mortgage.
Tabel 4 : Indikator Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (saat dan sesudah krisis sub-prime mortgage)

Pertumbuhan ekonomi domestik Indonesia pada tahun 2009 mencapai 4.6% atau turun dibandingkan
tahun 2008. Sedangkan di tahun 2010 (pasca sub-prime mortgage) justru tumbuh lebih tinggi
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. peningkatan ini didukung oleh kinerja ekspor dan investasi yang
meningkat kembali di tahun 2010, setelah mengalami penurunan selama tahun 2008-2009. Sedangkan
tingkat inflasi dan nilai tukar berhasil ditekan oleh Bank Indonesia. Walaupun inflasi tahun 2010 sedikit
lebih tinggi dibandingkan tahun 2009, namun inflasi di tahun 2010 jauh lebih rendah dibandingkan tahun
2008. Tingginya inflasi tahun 2010 bersumber dari tekanan kenaikan inflasi pada inflasi inti akibat kenaikan
harga barang impor yang terus meningkat seiring dengan penguatan nilai tukar yang semakin mereda.

Gambar 9 : Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar dan Tingkat Inflasi 2008-2009
Tabel 5 : Indikator Pertumbuhan Ekonomi Dunia
(saat dan sesudah krisis sub-prime mortgage)
Berdasarkan beberapa indikator diatas,
bahwa perekonomian Indonesia akan
semakin bergerak positif seiring
dengan meningkatnya pertumbuhan
ekonomi dunia pasca krisis sub-prime
mortgage. Berdasarkan tabel 5,
pertumbuhan ekonomi dunia bergerak
positif di tahun 2010 setelah
mengalami kontraksi sejak tahun 2008-
2009. Pertumbuhan ekonomi yang
positif ini tidak hanya terjadi di negara-
negara maju tetapi juga di negara-
negara berkembang. Pertumbuhan Sumber : Bank Indonesia
ekonomi dunia yang positif tentunya ikut mendorong perekonomian Indonesia di tahun 2010. Ini dapat
terlihat pada meningkatnya perekonomian Indonesia di tahun 2010 yang didukung oleh kinerja ekspor dan
tingginya tingkat investasi di Indonesia.

Seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia, jumlah penduduk miskin di Indonesia terus
menurun jumlahnya. Pada tahun 2010, jumlah penduduk miskin berjumlah 31.02 Juta jiwa atau turun 17%
dibandingkan tahun 2007. Jumlah penduduk miskin ini sebagian besar terkonsentrasi di wilayah pedesaan.
Tahun 2010, jumlah penduduk miskin yang tinggal di pedesaan mencapai 19.93 Juta jiwa atau 65% dari
total penduduk miskin Indonesia.

II.3.2 Krisis Ekonomi Global – European Sovereign Debt Crisis

European Sovereign Debt Crisis, terjadi di awal tahun 2010. Merupakan krisis yang disebabkan oleh hutang
pemerintah di negara-negara Eropa. Krisis ini bermula di beberapa negara periferal Eropa, yaitu Yunani,
Irlandia, dan Portugal. Krisis ini dipicu oleh tingginya ekspansi fiskal dalam rangka mendorong pemulihan
ekonomi pasca krisis keuangan global tahun 2008 (sub-prime mortgage) yang tidak dibarengi oleh tingkat
pertumbuhan ekonomi yang memadai. Hal ini kemudian diperburuk dengan belum berhasilnya reformasi
struktural untuk meningkatkan daya saing dan produktivitas ekonomi di negara-negara tersebut. Sebagai
akibatnya, defisit fiskal meningkat tajam dan menyebabkan utang pemerintah di negara-negara tersebut
terus meningkat hingga tahun 2010 (Tabel 6).
Tabel 6 : Defisit Fiskal dan Utang Pemerintah di Negara Eropa

Pada pertengahan tahun 2011, intensitas krisis utang pemerintah di negara-negara Kawasan Eropa
semakin meningkat. Krisis memburuk setelah peringkat utang pemerintah Yunani dan Portugal kembali
diturunkan. Sementara itu, beban utang pemerintah di negara-negara inti Eropa, seperti Italia dan Spanyol
meningkat, sehingga menimbulkan kekhawatiran atas kesinambungan fiskal dan prospek pemulihan
ekonominya. Pada Oktober 2011, Standard & Poor‟s (S&P) dan Moody‟s menurunkan peringkat utang Italia
seiring dengan meningkatnya beban utang pemerintah negara tersebut.

Proses penyelesaian yang berlarut-larut dan aktivitas perekonomian yang masih lemah menyebabkan krisis
Eropa semakin dalam dan kemudian menyebar ke beberapa negara inti Eropa. Meluasnya krisis semakin
cepat dengan tingginya keterkaitan perekonomian dan perbankan di kawasan Eropa. Upaya pemulihan
ekonomi melalui ekspansi fiskal, termasuk dana talangan perbankan, belum mampu mendorong pemulihan
aktivitas perekonomian negara-negara di kawasan Eropa. Berbagai perkembangan yang memburuk di
kawasan negara-negara Eropa menjadikan proses pemulihan ekonomi global penuh ketidakpastian dan
pada gilirannya akan menimbulkan sentimen negatif dan menggoncang pasar keuangan global. Debat terus
berlangsung berkenaan dengan kebijakan dan institusi apa yang seharusnya mengambil peran dalam
menangani krisis ini. Pada awal bulan Desember 2011 kebijakan tanggapan yang diusulkan telah bergeser
lebih dekat kepada kemungkinan kebijakan “penggabungan fiskal (fiscal union)” bagi zona Eropa, termasuk
di antaranya kebijakan defisit fiskal, yang akan membuat penyesuaian fiskal yang sangat diperlukan
menjadi kredibel.

Memburuknya sentiment negatif di pasar keuangan global semakin mendorong investor global untuk
melakukan pelepasan investasi pada surat utang pemerintah Eropa (deleveraging), terutama negara-
negara yang mengalami krisis. Pada saat bersamaan, tingginya ketidakpastian dan persepsi risiko juga
mendorong investor global melakukan pengalihan investasi ke instrumen keuangan yang dianggap lebih
aman dan likuid (flight to quality), seperti surat utang pemerintah. Melalui proses ini, krisis di Eropa telah
mengakibatkan keketatan likuditas dan jatuhnya harga aset-aset keuangan global.

Ketidakpastian proses pemulihan ekonomi di Eropa berdampak pada melemahnya permintaan domestik,
sehingga pertumbuhan ekonomi di kawasan Eropa melambat, bahkan beberapa negara Eropa justru
mengalami kontraksi di tahun 2010-2011. Melemahnya permintaan domestik akan menyebabkan
melambatnya pertumbuhan volume perdagangan dunia sehingga berdampak pada penurunan kinerja
ekspor. Dari sisi perkembangan harga, melemahnya kinerja ekonomi global juga diiringi oleh penurunan
harga komoditas dunia, kecuali harga emas dan minyak dunia yang masih tinggi karena perilaku flight to
safety investor global dan memanasnya krisis geopolitik di Timur Tengah. Sedangkan inflasi, pada awalnya
sempat meningkat terutama pada triwulan I-2011, sejalan dengan masih kuatnya permintaan global.
Meningkatnya inflasi juga disumbangkan oleh melonjaknya harga minyak akibat krisis geopolitik di Timur
Tengah dan Afrika Utara. Namun melemahnya perekonomian global pada paruh kedua 2011 dan harga
komoditas internasional yang kembali turun, pada gilirannya mengurangi tekanan inflasi di penghujung
tahun 2011.

Gambar 10 : Neraca Perdagangan dan Tingkat Inflasi Negara Eropa

Perekonomian global pada tahun 2011 hanya tumbuh 3,8%, jauh menurun dibandingkan dengan
pertumbuhan tahun sebelumnya yang mencapai 5,1% (Tabel 7).
Tabel 7 : Indikator Perekonomian Dunia 2008 - 2011

Sumber : Bank Indonesia


Kinerja ekonomi di Kawasan Euro juga masih menunjukkan perkembangan positif. Pada triwulan I-2011,
kinerja sektor eksternal Jerman dan Perancis berhasil mencatat surplus perdagangan yang cukup signifikan.
Surplus perdagangan di kedua negara tersebut menjadi motor penggerak pemulihan ekonomi Kawasan
Euro di tengah krisis utang negara-negara periferalnya dan upaya konsolidasi fiskal (austerity program)
yang menekan laju pertumbuhan ekonomi. Namun, proses pemulihan ekonomi ini masih dibayangi oleh
ancaman tekanan inflasi seiring dengan membaiknya permintaan global dan kenaikan harga komoditas
energi dan pangan internasional.

Adapun resiko krisis atas perekonomian Indonesia akan memberikan pengaruh negatif. Pasar keuangan
global dan aliran portofolio ke Indonesia masih tetap fluktuatif, dengan outlook ekonomi global yang sangat
tidak pasti. Dampak langsung dari penurunan pertumbuhan di Uni Eropa terhadap ekonomi Indonesia
tampaknya akan bersifat terbatas. Akan tetapi ada kemunkinan risiko penurunan lebih buruk, walau dengan
kemungkinan yang lebih kecil (WorldBank, 2011). Bila terjadi skenario lebih buruk yang mengeringkan
likuiditas dollar dunia – berhentinya pasar keuangan utama internasional atau bahkan penurunan yang
buruk dan berkelanjutan pada ekonomi negara-negara berkembang – maka goncangan yang menghantam
Indonesia melalui saluran perdagangan, komoditas, dan keuangan akan menjadi lebih kuat, yang nantinya
akan membawa implikasi yang serius terhadap sektor keuangan Indonesia, dan memiliki potensi untuk
mempengaruhi ekonomi riil, melalui pendanaan perdagangan dan investasi, dan terhadap biaya
pembiayaan pemerintah. Tetapi jika ternyata ketidakpastian pada zona Euro dapat selesai lebih cepat dari
perkiraan, maka aliran masuk modal yang kuat dapat kembali mengalir ke pasar-pasar berkembang
(emerging markets).

Untuk menjaga stabilitas makro ekonomi dan sistem keuangan Indonesia ditengah krisis ekonomi global ini,
Bank Indonesia menerapkan strategi kebijakan untuk mengendalikan inflasi, melalui bauran kebijakan suku
bunga, nilai tukar Rupiah, dan dilengkapi dengan kebijakan makroprudensial dalam rangka pengelolaan
aliran modal asing dan ekses likuiditas. Kebijakan makroprudential didasarkan pada pertimbangan eratnya
kaitan stabilitas moneter dan stabilitas sistem keuangan dalam perumusan kebijakan moneter dan
perbankan dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi dan keuangan global yang sewaktu-waktu dapat
mengancam stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan Indonesia. Adapun fokus kebijakan
makroprudensial pada tiga hal. Pertama, mengendalikan likuiditas perekonomian terutama likuiditas
perbankan. Kedua, mengelola aliran modal asing. Ketiga, meningkatkan fungsi intermediasi perbankan.

Di tengah pertumbuhan ekonomi global yang melambat, perekonomian Indonesia diperkirakan masih akan
cukup kuat. Perekonomian Indonesia pada tahun 2012 diperkirakan tumbuh pada kisaran 6,3%-6,7%
(Tabel 8). Sumber pertumbuhan ini didukung oleh tetap kuatnya permintaan domestik, dengan konsumsi
dan investasi yang diprakirakan akan meningkat. Peningkatan konsumsi terjadi baik di sisi rumah tangga
maupun sisi Pemerintah, sementara peningkatan investasi yang telah terjadi sejak 2010 akan terus
berlanjut pada 2012 seiring dengan kuatnya permintaan domestik dan semakin kondusifnya iklim investasi.
Ekspor barang dan jasa diprakirakan masih akan tumbuh cukup tinggi, khususnya ekspor migas dan
komoditas berbasis sumber daya alam, meskipun lebih lambat dari tahun 2011 seiring dengan koreksi
harga internasional. Sebagai respons terhadap permintaan domestik yang meningkat dan ekspor yang
masih kuat, impor juga diperkirakan masih akan tumbuh cukup tinggi.
Tabel 8 : Indikator Perekonomian Indonesia 2011-2012

Gambar 11 : Pertumbuhan Ekonomi Mitra Dagang Indonesia


Ekspor diprakirakan akan tumbuh
melambat sejalan dengan perlambatan
ekonomi global, namun diperkirakan
masih tumbuh cukup tinggi yaitu pada
kisaran 10,6% - 11,1%. Optimisme
terhadap kinerja ekspor yang masih
tinggi didukung oleh diversifikasi pasar
tujuan ekspor ke negara-negara Asia
seperti China dan India yang melakukan
reorientasi pertumbuhan ekonominya ke
permintaan domestik. Karakteristik
komoditas ekspor Indonesia ke negara-
negara tersebut, seperti energi dan hasil
pertanian, terutama digunakan untuk
konsumsi domestik sehingga tidak terlalu
sensitif terhadap perlambatan ekonomi
global. Selain itu, negara-negara tujuan
ekspor Indonesia pada tahun 2012
diprakirakan hanya mengalami perlambatan pertumbuhan yang relatif moderat, bahkan beberapa mitra
dagang diprakirakan tumbuh lebih tinggi di tahun 2012 (Gambar 11).
II.4 Indonesia dalam ASEAN dan menghadapi AEC 2015

Kerjasama Asean dimulai dengan disahkannya Deklarasi Bangkok tahun 1967, yang bertujuan untuk
mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial, dan budaya. Sejak awal pembentukan, ASEAN
secara intensif menyepakati berbagai kesepakatan dalam bidang ekonomi. Diawali dengan kesepakatan
Preferential Tariff Arrangement (PTA) pada tahun 1977. Kesepakatan Common Effective Preferential Tariff
– ASEAN Free Trade Area (CEPT –AFTA) pada tahun 1992 dengan target implimentasi semula tahun 2008,
kemudian dipercepat menjadi tahun 2002.

Pada tahun 1995, ASEAN mulai memasukkan bidang jasa dalam kesepakatan kerjasamanya yang ditandai
dengan ditandatanganinya ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) dan kerjasama Investasi
ASEAN Investment Area (AIA) di tahun 1998.

Setelah krisis ekonomi yang melanda khususnya kawasan Asia Tenggara, para kepala negara Asean pada
KTT ASEAN ke-9 di Bali, Indonesia tahun 2003, telah menyepakati pembentukan komunitas ASEAN ( ASEAN
Community) yang salah satunya dibidang ekonomi atau dikenal ASEAN Economic Community pada tahun
2015 (AEC 2015). Melalui komunitas ini, ASEAN menyepakati pewujudannya diarahkan pada integrasi
ekonomi kawasan yang mana implimentasinya mengacu pada ASEAN Economic Community Blueprint.

Pembentukan ASEAN Economic Community (AEC) tahun 2015 diharapkan akan meningkatkan daya saing
kawasan dalam perekonomian global melalui pencapaian empat kerangka strategis yang meliputi pasar
tunggal dan basis produksi internasional, kawasan ekonomi yang berdaya saing tinggi, pertumbuhan
ekonomi yang merata dan terintegrasi dengan perekonomian global. Upaya pencapaian pasar tunggal dan
basis produksi internasional dilakukan dengan memperdalam integrasi kawasan melalui proses liberalisasi
hasil dan faktor-faktor produksi sehingga mencapai skala ekonomi yang optimal. Proses liberalisasi tersebut
akan menuntut penguatan perekonomian nasional negara-negara ASEAN agar memiliki daya saing yang
tangguh dan terjadi penurunan tingkat kesenjangan pembangunan ekonomi di antara negara-negara
tersebut, sehingga secara keseluruhan posisi tawar ASEAN akan menjadi semakin kuat dalam menghadapi
persaingan global. Daya saing ASEAN yang tinggi juga akan meningkatkan posisi tawar ASEAN dalam
berbagai perundingan free trade area dengan mitra dagang ASEAN, seperti China, Korea Selatan, Jepang,
Australia, Selandia Baru, dan India.

Pada tahun 2004, ASEAN mulai kerjasama dengan negara diluar ASEAN dalam bidang ekonomi, seperti
China (ASEAN-China FTA), Korea (ASEAN-Korea FTA), dll.

Untuk mewujudkan AEC pada tahun 2015, seluruh negara ASEAN harus melakukan liberalisasi
perdangangan baang, jasa, tenaga kerja terampil secara bebas, dan arus modal yang lebih bebas, sebagai
mana digariskan AEC Blueprint. Adapun peluang dan tantangan Indonesia dalam menghadapi AEC 2015
adalah :

A. Peluang

- Integrasi Ekonomi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dan kawasan ASEAN
- Pasar Potensial Dunia, AEC akan menempatkan ASEAN sebagai kawasan pasar terbesar ke-3 di
dunia yang didukung oleh jumlah penduduk ke-3 terbesar
- Negara Pengekspor, Negara kawasan ASEAN dikenal sebagai negara pengekspor baik produk primer
maupun elektronik. Berdasarkan tren, konsentrasi perdagangan ASEAN dengan luar cenderung
turun dan beralih ke intra-ASEAN. Share perdagangan ASEAN dengan luar mencapai 80.8% pada
tahun 1993, namun pada tahun 2008 turun menjadi 73.2%.
- Negara tujuan Investor, adanya fakta bahwa ASEAN merupakan pasar dan memiliki basis produksi
menjadi faktor yang mendorong meningkatnya investasi dalam neger dan asing ke kawasan.
- Daya saing, dengan ditiadakannya hambatan tarif dan non-tarif di kawasan ASEAN dengan
sendirinya akan mendorong pihak produsen dan pelaku usaha untuk berproduksi dan
mendistribusikan barang-barang yang berkualitas dan efisien sehingga mampu bersaing dengan
negara lain.
- Sektor Jasa terbuka, meliputi pariwisata, penerbangan, dan logistik.
- Aliran Modal, ASEAN dikenal sebagai kawasan tujuan penanaman modal asing.

B. Hambatan

- Laju Peningkatan Ekspor dan Impor, tantangan yang dihadapi Indonesia dalam memasuki integrasi
ekonomi ASEAN tidak hanya bersifat internal dalam negeri tetapi juga pada persaingan diantara
sesama anggota ASEAN dan luar ASEAN seperti China dan India. Berdasarkan kinerja ekspor,
Indonesia berada diurutan keempat setelah Singapura, Malaysia, dan Thailand, dan importir
tertinggu ke-3 setelah Singapura dan Malaysia. Ini akan menjadi tantangan bagi Indonesia karena
akan mengakibatkan neraca perdaganga defisit terhadap negara ASEAN.
- Laju Inflasi yang masih tergolong tinggi dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya.
- Dampak Negatif arus modal yang lebih bebas
- Adanya kesamaan Produk, hal yang perlu dicermati adalah kesamaan keunggulan komparatif
kawasan ASEAN, khusus sektor pertanian, perikanan, karet, dll. Adanya kesamaan produk unggulan
ini merupakan penyebab pangsa perdagangan intra-ASEAN hanya berkisar 20-25% dari total
perdagangan ASEAN.
- Daya saing sektor prioritas integrasi
- Daya saing SDM
- Tingkat perkembangan Ekonomi yang masih beragam diantara anggota ASEAN

III. KESIMPULAN

Perekonomian Indonesia mengalami pasang surut tidak terlepas dari kebijakan pemerintah dan kondisi
makroekonomi yang mempengaruhi fundamental perekonomian negara. Awalnya, pada masa orde lama
(1950-1965), perekonomian Indonesia berjalan tersendat. Pemerintah waktu itu lebih berfokus pada upaya
peningkatan “persatuan dan kesatuan bangsa”, sehingga praktis perekonomian tidak tertata rapi dan
menyebabkan perekonomian Indonesia saat itu semakin hancur. Puncaknya pada tahun 1965-1966,
perekonomian Indonesia berada di titik nadir dengan tingkat inflasi mencapai 650%.

Setelah terjadi transformasi pemerintahan dari era orde lama ke orde baru, perekonomian indonesia mulai
ditata kembali. Pembangunan ekonomi terangkum dalam kerangka trilogi pembangunan dengan melakukan
serangkaian pembangunan yang sistematis melalui Rencana Pembangunan Lima Tahunan (REPELITA) dan
berjangka dua puluh lima tahunan (PJPT) berdasarkan arahan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Pembangunan ekonomi Indonesia selama orde baru cukup berhasil dengan kemajuan ekonomi yang luar
biasa sehingga sering disebut Miracle dengan digolongkan sebagai negara “High Performing Asian
Economics” dan dijadikan contoh bagi negara-negara berkembang lainnya karena dianggap berhasil.
Namun ketika krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun 1997, perekonomian Indonesia kembali pada
titik nadir dan telah dalam sekejap telah menempatkan kembali Indonesia dalam klasifikasi negara „miskin‟.
Saat itu, PDB per kapita Indonesia yang sempat mencapai $1.200 pada tahun 1997 anjlok tinggal $300
pada Januari 1998, atau kurang lebih sama dengan 20 tahun sebelumnya. Kondisi ini sungguh
memprihatinkan dan menjadi krisis multidimensi. Saat itu, terjadi transformasi kepemimpinan dari era orde
baru ke era reformasi. Pada era reformasi ini, pemerintah terus bergerak cepat untuk memulihkan
perekonomian melalui serangkaian kebijakan yang juga didukung oleh masyarakat internasional.

Lambat laun, langkah pemerintah telah berhasil meredam krisis dan ekonomi Indonesia secara bertahap
mulai tumbuh positif dengan menuju kestabilan fundamental ekonomi. Satu dekade pasca krisis ekonomi,
ekonomi Indonesia menunjukkan prospek yang baik dengan tingkat pertumbuhan mencapai diatas 6%,
PDB per kapita mencapai $1.947, dan jumlah penduduk miskin yang terus menurun.

Namun, ditengah bangkitnya perekonomian ini ada berbagai gejolak ekternal yang berpotensi memberikan
tekanan berat pada kinerja dan stabilitas makroekonomi dalam negeri Indonesia, yaitu krisis sub-prime
mortgage (2007-2008) dan European Sovereign Debt Crisis (2010). Untuk meredam imbas krisis ini, Bank
Indonesia dan Pemerintah melalui serangkaian kebijakan moneter dan keuangan berhasil membawa
Indonesia untuk tetap bertumbuh walaupun pada awalnya tumbuh cukup rendah akibat adanya kontraksi
perekonomian dunia. Berbagai upaya perbaikan fundamental ekonomi dan sistem pengawasan telah
meningkatkan kesiagaan Bank Indonesia dan Pemerintah untuk memastikan ketahanan terhadap berbagai
resiko yang mengganggu stabilitas perekonomian Indonesia ke depan.

Untuk mendorong tingkat perekonomian dalam negeri dan memperluas pangsa pasar, Indonesia tergabung
dalam Integrasi Ekonomi Kawasan ASEAN yaitu kawasan yang ditandai oleh arus lalu lintas barang, jasa,
dan investasi yang bebas, arus lalu lintas modal yang bebas, dan aliran tenaga profesional yang bebas.
Berbagai peluang dan tantangan akan dihadapi Indonesia menjelang diimplementasikannya ASEAN
Economic Community (AEC) tahun 2015, yang diharapkan dapat meningkatkan daya saing negara-negara
kawasan ASEAN dalam perekonomian global dan meningkatkan posisi tawar-menawar dalam berbagai
perundingan free trade area dengan mitra dagang ASEAN, seperti China, Korea Selatan, Jepang, Australia,
Selandia Baru, dan India.

Perekonomian Indonesia dalam jangka menengah diprakirakan akan tumbuh lebih tinggi dan
berkesinambungan dengan stabilitas makroekonomi yang terjaga. Optimisme tersebut didukung oleh
pertumbuhan investasi dan konsumsi domestik yang tetap tinggi serta berlanjutnya pemulihan kondisi
ekonomi global. Investasi yang tumbuh relatif tinggi pada tahun 2011 diprakirakan akan semakin
meningkat ke depan, termasuk investasi pada berbagai proyek infrastruktur, sehingga akan meningkatkan
kapasitas dan produktivitas perekonomian nasional. Perekonomian Indonesia dalam jangka menengah
diprakirakan mampu tumbuh sekitar 6,6%-7,4% pada tahun 2016, sementara inflasi akan mengalami
penurunan secara gradual menuju 4,0% ± 1% pada tahun 2016 (Tabel 9).
Tabel 9 : Proyeksi Perekonomian Indonesia 2012-2016

Sumber : Bank Indonesia

DAFTAR PUSTAKA
1. Abdullah, B. (2003), “Peran Kebijakan Moneter dan Perbankan dalam Mengatasi Krisis Ekonomi di
Indonesia, “ Bahan Kuliah Kursus Reguler Angkatan XXXVI Lemhanas.
2. Arifin, Z. (1998), “Asia Miracle, Indonesia yang Babak Belur, “ WACANA Edisi khusus 1997-1998.
3. Bank Indonesia (1999). Laporan Tahunan 1998/1999.
4. ____________ (2000). Laporan Tahunan 2000.
5. ____________ (2003). Kajian Stabilitas Keuangan (KSK).
6. ____________ (2007). Laporan Tahunan 2007.
7. ____________ (2009). Laporan Tahunan 2009.
8. ____________ (2009). Outlook Ekonomi Indonesia 2009-2014.
9. ____________ (2010). Laporan Tahunan 2010.
10. ____________ (2011). Laporan Tahunan 2011.
11. Biro Pusat Statistik (1995). Statistik 50 Tahun Indonesia Merdeka.
12. Departemen Perdagangan Republik Indonesia. Menuju Asean Economic Community 2015.
13. Firmansyah, A. dan Binhadi, S. H. (2007), “Krisis Sub-prime mortgage : Sudut Pandang IMF, “ Artikel
Perkembangan Ekonomi Keuangan dan Kerjasaman International.
14. Hadi, D. K. (2008). Dampak Krisis Keuangan Global bagi Indonesia. Chief Economist Assistant - PT
Recapital Advisors.
15. Kartasasmita, G. (1996). Hasil-hasil Pembangunan Nasional dan Perspektifnya Pada Repelita VII.
Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas.
16. Kartasasmita, G. (2002), “Krisis Ekonomi dan Masa Depan Ekonomi Indonesia, “ Pengantar Kuliah
Perdana Program Magister Manajemen Universitas Padjajaran Bandung.
17. Nugroho, Y. (1996), “Sekilas Profil Ekonomi Indonesia – setelah 28 tahun pembangunan, “ WACANA
No.3/Juli-Agustus 1996.
18. Putra, M.S.Y., Asas, I., Amar, S., dan Asnawi, M (2010). Masalah Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan
di Indonesia. Program Magister Ekonomika Pembangunan – Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
19. Sirait, N. N. (2006), “Indonesia Dalam Menghadapi Persaingan Internasional, “ Bahan Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam bidang Ilmu Hukum International pada Fakultas
Hukum. Universitas Sumatera Utara.
20. Tarigan, R. (2007), “Analisis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia sejak Era Reformasi (1998), “ Bahan
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam bidang Operation Research pada Fakultas
Ekonomi. Universitas Sumatera Utara.
21. Tarmidi, L. T. (1998), “Krisis Moneter Tahun 1997/1998 dan Peran IMF, “ Bahan Pidato pengukuhan
Guru Besar Madya pada Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia.
22. Todara, M. P. dan Smith, S. C. (2006). Pembangunan Ekonomi Jilid I-II. Edisi 9. Penerbit Erlangga.
23. Utomo, T.W.W. (1997). Transformasi Struktural Perekonomian Indonesia pada tahun 2020 :
Permasalahan dan Tantangan.
24. Wikipedia Indonesia. Indonesia : Era Orde Baru.
25. WorldBank Development Report (2007). Pembangunan dan Generasi Mendatang. WorldBank,
Salemba Empat, Jakarta.
26. WorldBank (2011). Perkembangan Triwulanan Perekonomian Indonesia : Meningkatkan kesiagaan,
memastikan ketahanan.

Anda mungkin juga menyukai