Anda di halaman 1dari 4

Ketika gelombang demonstrasi menuntut pembubaran PKI semakin keras, pemerintah

tidak segera mengambil tindakan. Keadaan negara Indonesia sudah sangat parah, baik dari
segi ekonomi maupun politik. Harga barang naik sangat tinggi terutama Bahan Bakar
Minyak (BBM). Oleh karenanya, pada tanggal 10 Januari 1966, KAMI dan KAPPI
memelopori kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila mendatangi DPR-GR
menuntut Tritura. Isi Tritura adalah:

1. Pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya


2. Perombakan Kabinet Dwikora
3. Turunkan harga sandang-pangan
Tuntutan pertama dan kedua sebelumnya sudah pernah diserukan oleh KAP-Gestapu
(Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan 30 September). Sedangkan tuntutan ketiga baru
diserukan saat itu. Tuntutan ketiga sangat menyentuh kepentingan orang banyak.

Pada tanggal 21 Februari 1966 Presiden Soekarno mengumumkan reshuffle kabinet.


Dalam kabinet itu duduk para simpatisan PKI. Kenyataan ini menyulut kembali mahasiswa
meningkatkan aksi demonstrasinya. Tanggal 24 Februari 1966 mahasiswa memboikot
pelantikan menteri-menteri baru. Dalam insiden yang terjadi dengan Resimen
Tjakrabirawa, Pasukan Pengawal Presiden Soekarno, seorang mahasiswa Arif Rahman
Hakim meninggal. Pada tanggal 25 Februari 1966 KAMI dibubarkan, namun hal itu tidak
mengurangi gerakan-gerakan mahasiswa untuk melanjutkan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura).

Rentetan demonstrasi yang terjadi menyuarakan Tritura akhirnya diikuti keluarnya Surat
Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) oleh Presiden Soekarno yang memerintahkan
kepada Mayor Jenderal Soeharto selaku panglima Angkatan Darat untuk mengambil
tindakan yang perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.

Setelah 48 tahun detak waktu berlalu, catatan dan ingatan apa yang tersisa tentang
Tritura –Tri Tuntutan Rakyat, yang dicetuskan mahasiswa 10 Januari 1966 – bagi para
pelaku sejarah dalam momen peristiwa di tahun 1966 ? Dan adakah pula makna yang
secara signifikan mewaris ke masa ini, terutama ke dalam ruang pemahaman generasi
baru serta para pelaku dalam kehidupan bernegara ?

Di tahun 1966, cetusan spontan Tritura, berhasil mewakili sikap dan hati nurani rakyat
terhadap tekanan situasi aktual yang timbul dari kegagalan menjalankan politik dan
kekuasaan kala itu. Tiga tuntutan dalam rumusan Tritura adalah: Bubarkan PKI, Ritul
Kabinet Dwikora dan Turunkan Harga-harga. Bagi kebanyakan rakyat, tuntutan paling
aktual dan nyata mengenai keadaan hidup sehari-hari, tak lain adalah yang terkait dengan
himpitan ekonomi yang aspiratif diwakili oleh Tura Turunkan Harga. Sedangkan bagi
mereka yang mengikuti proses kehidupan politik dari waktu ke waktu, kalangan
mahasiswa dan kelompok-kelompok masyarakat yang peka merasakan tekanan terhadap
kebebasan –sebagai hak dasar demokrasi– yang berupa tindakan-tindakan ‘revolusioner’
yang tiran dan otoriter dari PKI dan kekuatan politik kiri lainnya, pembubaran PKI menjadi
Tura esensial setelah terjadinya peristiwa berdarah 30 September 1965. Sedangkan Tura
Ritul Kabinet Dwikora, dianggap gugatan terhadap kegagalan kalangan kekuasaan –
Presiden Soekarno dan para menterinya– dalam mengelola kehidupan politik dan
ekonomi Indonesia.

Dalam catatan sejarah, pada permukaan tataran formal, Tritura memang telah terjawab
dan terpenuhi. Namun, pada hakekatnya Tritura tak pernah mendapat jawaban dan
pemenuhan tuntas. PKI dibubarkan secara resmi 12 Maret 1966 dan kemudian terdapat
sejumlah penyelesaian hukum melalui peradilan-peradilan Mahmillub. Pembubaran PKI
memang telah dilakukan secara formal, akan tetapi tidak diikuti dengan penyelesaian
politik, hukum dan penanganan sosiologis yang memadai, wajar dan tuntas. Selain
penyelesaian yang normatif, terjadi pula penyelesaian melalui jalur kekerasan massal yang
menyisakan kontroversi penilaian hingga hari ini, karena adanya pengkategorian sebagai
kejahatan atas kemanusiaan dan bukan sekedar konflik sosial horizontal. Lebih dari itu,
pembubaran PKI ternyata tidak berarti berakhirnya cara berpolitik dengan ideologi dan
paham otoriter yang ditandai perilaku haus kekuasaan secara berlebihan, yang justru
kerap ditampilkan oleh mereka yang menyebut diri anti komunis. Pada tahun yang sama
Kabinet Dwikora telah dirombak, bahkan dibubarkan dan diganti dengan kabinet baru,
oleh Soekarno sendiri maupun bersama Soeharto, namun tidak pernah betul-betul
memuaskan.

Jadi, apakah tuntutan-tuntutan dalam Tritura 48 tahun lampau telah tuntas terjawab dan
terselesaikan? Secara hakiki, belum. Masalah yang dihadapi bangsa ini pada hakekatnya
tetap terpaku pada pokok masalah yang sama: Kehidupan politik dan bermasyarakat yang
otoritarian dan sarat penyelesaian dengan cara kekerasan. Pemaknaan kekuasaan, cara
memerintah dan tujuan-tujuannya secara kuat masih menggunakan sisa nilai-nilai
feodalistik dan warisan nilai kolonial yang mengutamakan kekuasaan sebagai
pengendalian dan pengutamaan personal power tanpa altruisme dan bukan penciptaan
institutional power yang lebih sesuai dengan kebutuhan demokrasi. Pemilihan-pemilihan
umum, seperti halnya di masa kekuasaan otoriter Soeharto, tetap berlangsung dalam
nuansa manipulasi dan kecurangan, sarat perilaku berdasar pola money politic, namun
selalu ditutup-tutupi dengan mengatakannya telah berlangsung baik dan bersih.

Kehidupan multi partai Indonesia dengan ‘baik’ mencerminkan segala keburukan itu.
Etalasenya adalah perilaku ‘menyimpang’ tanpa etika para wakil rakyat di DPR yang
menjadi tontonan sehari-hari yang ditayangkan media elektronik. Kehidupan ekonomi
tetap tidak berhasil diberi dimensi keadilan secara nyata dari waktu ke waktu hingga kini.
Proses ekonomi berjalan di atas penderitaan rakyat. Sementara itu, perilaku korupsi,
kolusi dan nepotisme bahkan merajalela dan dilakukan secara massal, di dalam dan di luar
pemerintahan. Sejarah berjalan terus bersama waktu. Pelaku sejarah telah dan senantiasa
berubah, namun perilaku manusia dalam sejarah Indonesia tampaknya tak pernah ikut
berubah.

Anda mungkin juga menyukai