Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

HIPERTENSI TERKAIT MONOSODIUM GLUTAMATE (MSG)

Disusun Oleh :
- Robi Heryanto 1710221065
- Irma Rizki Hidayati 1710221069
- Kartika Yulianti 1710221071
- Windy Wiryo S 1710221073
- Safrilia Gandhi M 1710221079
- Andri Yanuardi 1710221088
- Eva Herencia P 1710221091
- Muhammad Afif J 1710221092
- Abigale Christopher 1710221100
- Zenia Ladia 1710221101

MINI HOSPITAL
FAKULTAS KEDOKTERAN – UPN ”VETERAN” JAKARTA
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
limpahan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan referat
ini dengan judul “Hipertensi Terkait Monosodium Glutamat (MSG)”. Penulisan
referat ini merupakan salah satu syarat mengikuti Mini Hospital Pendidikan Profesi
Dokter di Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta.
Dalam menyelesaikan tugas ini penulis ingin menyampaikan rasa terima
kasih kepada teman–teman yang membantu dalam pembuatan referat ini. Penulis
menyadari dalam penyusunan referat ini masih banyak kekurangan sehingga
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca.
Semoga referat ini dapat memberikan pengetahuan kepada pembaca dan
bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan dalam ilmu kedokteran.

Jakarta, Desember 2017


Penulis

2
DAFTAR ISI

Table of Contents
DAFTAR ISI .......................................................................................................... 3
BAB I ...................................................................................................................... 3
1.1 Latar Belakang ................................................................................................ 4
BAB II .................................................................................................................... 5
2.1 Monosodium Glutamat (MSG) ...................................................................... 6
2.2 Hipertensi ......................................................................................................... 7
KESIMPULAN .................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 22

BAB I
PENDAHULUAN

3
1.1 Latar Belakang
Hipertensi merupakan suatu penyakit kronis yang sering disebut silent killer
karena pada umumnya pasien tidak mengetahui bahwa mereka menderita penyakit
hipertensi sebelum memeriksakan tekanan darahnya dan selain itu penderita
hipertensi umumnya tidak mengalami suatu tanda atau gejala sebelum terjadi
komplikasi (KemKes RI hlm. 4, 2015). Hipertensi adalah suatu keadaan ketika
tekanan darah di pembuluh darah meningkat secara kronis (Riskesdas hlm. 88,
2013). Beberapa pedoman menyatakan bahwa seseorang dikatakan hipertensi bila
memiliki tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90
mmHg ( PERKI hlm. 1, 2015).
Hipertensi merupakan faktor risiko utama yang dapat menyebabkan
terjadinya infark miokard, stroke, gagal jantung, dan gagal ginjal (Center for
Disease Control and Prevention, 2012). Selain itu hipertensi adalah salah satu
penyebab utama mortalitas dan morbiditas di Indonesia, sehingga tatalaksana
penyakit ini merupakan intervensi yang sangat umum dilakukan diberbagai tingkat
fasilitas kesehatan (PERKI hlm. 1, 2015).
Di seluruh dunia, hipertensi diperkirakan menyebabkan 7,5 juta kematian,
sekitar 12,8% dari total semua kematian (WHO, 2017). Menurut Riset Kesehatan
Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 26,5%
dengan prevalensi tertinggi pada daerah Bangka Belitung yaitu 30,9% lalu diikuti
oleh Kalimantan Selatan 30,8%, Kalimantan Timur 29,6%, dan Jawa Barat 29,4%.
WHO melaporkan bahwa sekitar 51% dari kematian akibat stroke dan 45% dari
penyakit jantung koroner disebabkan oleh hipertensi (WHO, 2017).
Faktor risiko utama yang menyebabkan terjadinya hipertensi adalah riwayat
keluarga, gaya hidup, pola makan yang buruk, merokok, jenis kelamin, stres, ras,
usia, dan tidur (Bansil dkk, 2011). Pola makanan yang kurang baik merupakan salah
satu faktor risiko yang berperan penting dalam kejadian hipertensi, salah satunya
adalah konsumsi sumber natrium yang berlebihan (Smith dalam Fauziah dkk,
2013). Menurut Perhimpunan Hipertensi Indonesia (INASH) pada tahun 2011
mencatat, konsumsi garam rata-rata orang Indonesia tiga kali lebih besar dari
anjuran badan kesehatan dunia (WHO) yang maksimal 6 gram atau satu sendok teh
sehari.

4
Sumber utama natrium di Indonesia adalah garam dapur, ikan asin,
pengawet makanan (natrium benzoate), dan sumber lain yang lebih potensial adalah
monosodium glutamate (MSG/Vetcin). Komposisi senyawa MSG adalah 78%
glutamat, 12% natrium dan 10% air (Winarno, 2004). Menurut Suara Karya tahun
2009 menyatakan bahwa budaya penggunaan MSG di Indonesia sudah sampai pada
taraf yang sangat mengkhawatirkan. Hampir semua ibu rumah tangga, penjual
makanan, dan jasa katering selalu menggunakannya. Penggunaan MSG secara
berlebihan dapat memicu berbagai masalah kesehatan salah satunya adalah
hipertensi, kanker, diabetes, kelumpuhan serta penurunan kecerdasan
(Prawirohardjo dkk, 2000).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

5
2.1 Monosodium Glutamat (MSG)
Monosodium glutamat (MSG) adalah garam natrium dari asam glutamat.
Asam glutamat adalah zat yang secara alamiah ada didalam tubuh, makanan, atau
penyedap masakan (US Food and Drug Administration, 2012).
MSG ditemukan pertama kali oleh dr. Kikunae Ikeda seorang ahli kimia
Jepang pada tahun 1909. Ia mengisolasi asam glutamat dari rumput laut ‘kombu’
yang biasa digunakan dalam masakan Jepang. Rasa lezat dan gurih dari MSG
kemudian disebutkan dengan sebutan ‘umami’ yang berasal dari bahasa Jepang
’umai’, yang berarti enak dan lezat. Rangsangan selera dari makanan yang diberi
MSG berasal dari stimulasi membran sel reseptor kecap atau lidah yang disebabkan
oleh kombinasi antara komponen L-glutamat pada MSG dan komponen 5-
ribonukleotida pada makanan (Rangkuti dkk, 2012).
Glutamat memiliki peran penting dalam metabolisme perantara dan hadir
dalam jumlah besar pada organ tubuh. Beberapa peran penting glutamat (Putranto,
2011) :
a. Substrat Untuk Sintesis Protein
Glutamat menjadi salah satu komponen struktur suatu protein yaitu α-
heliks.
b. Pasangan Transaminasi Untuk α-ketoglutarat
L-glutamat disintesis dari ammonia dan α-ketoglutarat. Glutamat
menjadi donor bagi gugus amino dalam biosintesis asam amino melalui
reaksi transaminasi.
c. Substrat Untuk Produksi Glutation
Glutation terdiri dari asam glutamat, sistein dan glisin. Glutation
berfungsi sebagai reduktor dari peroksida beracun oleh aksi glutation
peroksidase.
d. Sumber energi penting bagi mukosa
e. Sebagai sebuah neurotransmitter penting
Glutamat adalah rangsang utama dalam otak, mediasi transmisi sinaptik
cepat dan aktif dalam sepertiga dari pusat system saraf sinapsis.

6
Produsen makanan industri memasarkan dan menggunakan MSG sebagai
penguat cita rasa karena zat ini mampu menyeimbangkan, menyatukan, dan
menyempurnakan persepsi total rasa lainnya. Wujudnya adalah serbuk kristal
berwarna putih dan tidak berbau yang dalam larutan terdisosiasi menjadi glutamat
dan natrium. Monosodium glutamat sangat hidrofilik karena gugus hidroksil dalam
strukturnya (Novianti, 2013).

Sumber: Novianti, 2013


Gambar 1. Struktur MSG

MSG berbentuk kristal putih yang stabil, tetapi dapat mengalami degradasi
oleh oksidator kuat. MSG pada makanan yang dikonsumsi sering mengganggu
kesehatan karena MSG akan terurai menjadi sodium dan glutamat. (Widyalita dkk,
2014).
Disamping perannya bagi metabolisme tubuh, penggunaan MSG dapat
menimbulkan masalah kesehatan terutama bila dikonsumsi dalam jumlah
berlebihan. Garam dari MSG mampu memenuhi kebutuhan garam sebanyak 20-
30%, sehingga konsumsi MSG yang berlebihan menyebabkan kenaikan kadar
garam dalam darah. Sekitar 2% dari seluruh pengguna MSG mengalami masalah
kesehatan, sehingga WHO menetapkan ADI (Acceptable Daily Intake) untuk
manusia sebesar 120 mg/kg (Widyalita dkk, 2014). Berdasarkan JNC VII Express
(2013), rekomendasi diet asupan garam adalah tidak lebih dari 100 mmol perhari
(2,4 gram sodium atau 6 gram sodium klorida).

2.2 Hipertensi
2.2.1 Definisi

7
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah
sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg pada
dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan cukup
istirahat/tenang. Peningkatan tekanan darah yang berlangsung dalam jangka waktu
lama (persisten) dapat menimbulkan kerusakan pada ginjal (gagal ginjal), jantung
(penyakit jantung koroner) dan otak (menyebabkan stroke) bila tidak dideteksi
secara dini dan mendapat pengobatan yang memadai. Banyak pasien hipertensi
dengan tekanan darah tidak terkontrol dan jumlahnya terus meningkat. Oleh karena
itu, partisipasi semua pihak, baik dokter dari berbagai bidang peminatan hipertensi,
pemerintah, swasta maupun masyarakat diperlukan agar hipertensi dapat
dikendalikan (Infodatin, n.d).

2.2.2 Epidemiologi
Di Amerika, diperkirakan 30% penduduknya (± 50 juta jiwa) menderita
tekanan darah tinggi. Kebanyakan pasien mempunyai tekanan darah prehipertensi
sebelum mereka didiagnosis dengan hipertensi, dan kebanyakan diagnosis
hipertensi terjadi pada umur diantara dekade ketiga dan dekade kelima. Sampai
dengan umur 55 tahun, laki-laki lebih banyak menderita hipertensi dibanding
perempuan. Dari umur 55 s/d 74 tahun, sedikit lebih banyak perempuan dibanding
laki-laki yang menderita hipertensi. Pada populasi lansia (umur ≥ 60 tahun),
prevalensi untuk hipertensi sebesar 65,4 % (Depkes, 2006). Sampai saat ini,
hipertensi masih merupakan tantangan besar di Indonesia. Hipertensi merupakan
kondisi yang sering ditemukan pada pelayanan kesehatan primer. Terjadi
peningkatan prevalensi hipertensi berdasarkan wawancara (apakah pernah
didiagnosis nakes dan minum obat hipertensi) dari 7,6 persen tahun 2007 menjadi
9,5 persen tahun 2013 (Riskesdas, 2013).

2.2.3 Etiologi
Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang beragam.
Pada kebanyakan pasien etiologi patofisiologinya tidak diketahui (essensial atau
hipertensi primer). Hipertensi primer ini tidak dapat disembuhkan tetapi dapat di
kontrol. Kelompok lain dari populasi dengan persentase rendah mempunyai

8
penyebab yang khusus, dikenal sebagai hipertensi sekunder. Banyak penyebab
hipertensi sekunder; endogen maupun eksogen. Bila penyebab hipertensi sekunder
dapat diidentifikasi, hipertensi pada pasien-pasien ini dapat disembuhkan secara
potensial (Depkes, 2006).

2.2.4 Jenis Hipertensi


a. Berdasarkan Penyebab Hipertensi
1) Hipertensi Primer (Essensial)
Lebih dari 90% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi essensial
(hipertensi primer). Beberapa mekanisme yang mungkin berkontribusi
untuk terjadinya hipertensi ini telah diidentifikasi, namun belum satupun
teori yang tegas menyatakan patogenesis hipertensi primer tersebut.
Hipertensi sering turun temurun dalam suatu keluarga, hal ini setidaknya
menunjukkan bahwa faktor genetik memegang peranan penting pada
patogenesis hipertensi primer. Banyak karakteristik genetik dari gen-gen
ini yang mempengaruhi keseimbangan natrium, tetapi juga di
dokumentasikan adanya mutasi-mutasi genetik yang merubah ekskresi
kallikrein urine, pelepasan nitric oxide, ekskresi aldosteron, steroid
adrenal, dan angiotensinogen (Depkes, 2006).
2) Hipertensi Sekunder
Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari penyakit
komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan
darah. Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal
kronis atau penyakit renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling
sering. Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat
menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi dengan menaikkan
tekanan darah. Apabila penyebab sekunder dapat diidentifikasi, maka
dengan menghentikan obat yang bersangkutan atau
mengobati/mengoreksi kondisi komorbid yang menyertainya sudah
merupakan tahap pertama dalam penanganan hipertensi sekunder
(Depkes, 2006).
b. Berdasarkan Bentuk Hipertensi

9
Hipertensi diastolik {diastolic hypertension}, Hipertensi campuran (sistol
dan diastol yang meninggi), Hipertensi sistolik (isolated systolic
hypertension) (Infodatin, n.d).
c. Jenis Hipertensi yang Lain
1) Hipertensi Pulmonal
Suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah pada
pembuluh darah arteri paru-paru yang menyebabkan sesak nafas,
pusing dan pingsan pada saat melakukan aktivitas. Berdasarkan
penyebabnya hipertensi pulmonal dapat menjadi penyakit berat yang
ditandai dengan penurunan toleransi dalam melakukan aktivitas dan
gagal jantung kanan. Hipertensi pulmonal primer sering didapatkan
pada usia muda dan usia pertengahan, lebih sering didapatkan pada
perempuan dengan perbandingan 2:1, angka kejadian pertahun sekitar
2-3 kasus per 1 juta penduduk, dengan mean survival / sampai
timbulnya gejala penyakit sekitar 2-3 tahun. Kriteria diagnosis untuk
hipertensi pulmonal merujuk pada National Institute of Health; bila
tekanan sistolik arteri pulmonalis lebih dari 35 mmHg atau
"mean"tekanan arteri pulmonalis lebih dari 25 mmHg pada saat
istirahat atau lebih 30 mmHg pada aktifitas dan tidak didapatkan
adanya kelainan katup pada jantung kiri, penyakit myokardium,
penyakit jantung kongenital dan tidak adanya kelainan paru
(Infodatin, n.d).
2) Hipertensi Pada Kehamilan
Pada dasarnya terdapat 4 jenis hipertensi yang umumnya terdapat
pada saat kehamilan, yaitu (Infodatin, n.d):
a. Preeklampsia-eklampsia atau disebut juga sebagai hipertensi yang
diakibatkan kehamilan/keracunan kehamilan ( selain tekanan darah
yang meninggi, juga didapatkan kelainan pada air kencingnya ).
Preeklamsi adalah penyakit yang timbul dengan tanda-tanda
hipertensi, edema, dan proteinuria yang timbul karena kehamilan.
b. Hipertensi kronik yaitu hipertensi yang sudah ada sejak sebelum
ibu mengandung janin.

10
c. Preeklampsia pada hipertensi kronik, yang merupakan gabungan
preeklampsia dengan hipertensi kronik.
d. Hipertensi gestasional atau hipertensi yang sesaat. Penyebab
hipertensi dalam kehamilan sebenarnya belum jelas. Ada yang
mengatakan bahwa hal tersebut diakibatkan oleh kelainan pembuluh
darah, ada yang mengatakan karena faktor diet, tetapi ada juga yang
mengatakan disebabkan faktor keturunan, dan lain sebagainya.

Tabel 1. Penyebab Hipertensi yang Dapat Teridentifikasi


Penyakit Obat
Penyakit ginjal kronis Kortikosteroid, ACTH
Hiperaldosteronisme primer Estrogen (biasanya pil KB dg kadar
Penyakit renovaskular estrogen tinggi)
Sindroma cushing NSAID, cox-2 inhibitor
Pheochromocytoma Fenilpropanolamine dan analog
Koarktasi aorta Cyclosporin dan tacrolimus
Penyakit tiroid atau paratiroid Eritropoetin
Sibutramin
Antidepresan (terutama venlafaxine)
Sumber : Depkes, 2006

2.2.5 Klasifikasi
Berdasarkan JNC VII, klasifikasi hipertensi sebagai berikut (JNC VII
Express, 2003) :

11
Tabel 2. Klasifikasi Hipertensi
Kategori Tekanan Darah Sistol Tekanan Darah Diastol
(mmHg) (mmHg)
Normal <120 <80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi derajat 1 140-149 90-99

Hipertensi derajat 2 ≥160 ≥100

Sumber : JNC VII Express, 2003


Berdasarkan A Statement by the American Society of Hypertension and the
International Society of Hypertension 2013, hipertensi diklasifikasikan sebagai
berikut (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2015) :

Tabel 3. Klasifikasi Hipertensi


Klasifikasi Sistolik Diastolik
Optimal <120 dan <80
Normal 120-129 dan/atau 80-84
Normal Tinggi 130-139 dan/atau 84-89
Hipertensi derajat 140-159 dan/atau 90-99
1
Hipertensi derajat 190-179 dan/atau 100-109
2
Hipertensi derajat ≥180 dan/atau ≥110
3
Hipertensi sistolik ≥140 dan <90
terisolasi
Sumber : A Statement by the American Society of Hypertension and the
International Society of Hypertension 2013
Krisis hipertensi merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai oleh
tekanan darah yang sangat tinggi yang kemungkinan dapat menimbulkan atau telah
terjadinya kelainan organ target. Biasanya ditandai oleh tekanan darah >180/120
mmHg; dikategotikan sebagai hipertensi emergensi atau hipertensi urgensi. Pada

12
hipertensi emergensi tekanan darah meningkat ekstrim disertai dengan kerusakan
organ target akut yang bersifat progresif, sehingga tekanan darah harus diturunkan
segera (dalam hitungan menit – jam) untuk mencegah kerusakan organ target lebih
lanjut. Contoh gangguan organ target akut: encephalopathy, pendarahan
intrakranial, gagal ventrikel kiri akut disertai edema paru, dissecting aortic
aneurysm, angina pectoris tidak stabil, dan eklampsia atau hipertensi berat selama
kehamilan (Depkes, 2006).

2.2.6 Patogenesis
Empat sistem kontrol yang berperan dalam mempertahankan tekanan darah
antara lain sistem baro reseptor arteri, pengaturan volume cairan tubuh, sistem
renin angiotensin dan autoregulasi vaskuler.
Baroreseptor arteri terutama ditemukan di sinus carotid, tapi juga dalam
aorta dan dinding ventrikel kiri. Baroreseptor ini memonitor derajat tekanan arteri.
Sistem baroreseptor meniadakan peningkatan tekanan arteri melelui mekanisme
perlambatan jantung oleh respon vagal (stimulasi parasimpatis) dan vasodilatasi
dengan penurunan tonus otot simpatis. Oleh karena itu, refleks kontrol sirkulasi
meningkatkan arteri sistemik. bila tekanan baroreseptor turun dan menurunkan
tekanan arteri sistemik. Alasan pasti mengapa kontrol ini gagal pada hipertensi
belum diketahui. Hal ini ditujukan untuk menaikkan re-setting sensitivitas
baroreseptor sehingga tekanan meningkat secara tidak adekuat, sekalipun
penurunan tekanan tidak ada.
Perubahan volume cairan memengaruhi tekanan arteri sistemik. Bila tubuh
mengalami kelebihan garam dan air, tekanan darah meningkat melalui mekanisme
fisiologi kompleks yang mengubah aliran balik vena ke jantung dan mengakibatkan
peningkatan curah jantung. Bila ginjal berfungsi secara adekuat, peningkatan
tekanan arteri mengakibatkan diuresis dan penurunan tekanan darah. kondisi
patologis yang mengubah ambang tekanan pada ginjal dalam mengekskresikan
garam dan air akan meningkatkan tekanan arteri sistemik.
Renin dan angiotensin memegang peranan dalam pengaturan tekanan darah.
Ginjal memproduksi renin yaitu suatu enzim yang bertindak sebagai substrat
protein plasma untuk memisahkan angiotensinI, yang kemudian diubah oleh

13
converting enzym dalam paru menjadi bentuk angiotensin II kemudian menjadi
angiotensin III. Angiotensin II dan III mempunyai aksi vasokonstriktor yang kuat
pada pembuluh darahdan merupakan makanisme kontrol terhadap pelepasan
aldosteron. Aldosteron sangat bermakna dalam hipertensi terutama pada
aldosteronisme primer. Melalui peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis,
angiotensin II dan III juga mempunyai efek inhibiting atau penghambatan ekskresi
garam (Natrium) dengan akibat peningkatan tekanan darah.
Sekresi renin tidak tepat diduga sebagai penyebab meningkatnya tahanan
perifer vaskular pada hipertensi esensial. Pada tekanan darah tinggi, kadar renin
harus tinggi diturunkan karena peningkatan tekanan arteriolar renal mungkin
menghambat sekresi renin. Namun demikian,sebagian orang dengan hipertensi
esensial mempunyai kadar renin normal.
Peningkatan tekanan darah terus-menerus pada klien hipertensiesensial akan
mengakibatkan kerusakan pembuluh darah pada organ-organvital. Hipertensi
esensial mengakibatkan hyperplasia medial (penebalan)arteriole-arteriole. Karena
pembuluh darah menebal, maka perfusi jaringan menurun dan mengakibatkan
kerusakan organ tubuh. Hal ini menyebabkan infark miokard, stroke, gagal jantung,
dan gagal ginjal.Auteregulasi vaskular merupakan mekanisme lain lain yang
terlibat dalam hipertensi.
Auteregulasi vascular adalah suatu proses yang mempertahankan perfusi
jaringan dalam tubuh relatif konstan. Jika aliran berubah, proses-proses
autoregulasi akan menurunkan tahanan vascular dan mengakibatkan pengurangan
aliran, sebaliknya akan meningkatkan tahanan vaskular sebagai akibat dari
peningkatan aliran. Auteregulasi vaskular nampak menjadi mekanisme penting
dalam menimbulkan hipertensi berkaitan dengan overload garam dan air.

2.2.7 Diagnosis
a. Evaluasi Hipertensi
Ada 3 tujuan evaluasi pasien dengan hipertensi (Depkes, 2006):

14
1) Menilai gaya hidup dan identifikasi faktor-faktor resiko kardiovaskular
atau penyakit penyerta yang mungkin dapat mempengaruhi prognosis
sehingga dapat memberi petunjuk dalam pengobatan
2) Mencari penyebab tekanan darah tinggi
3) Menetukan ada tidaknya kerusakan organ target dan penyakit
kardiovaskular
Data diperoleh melalui anamnesis mengenai keluhan pasien, riwayat
penyakit dahulu dan penyakit keluarga, pemeriksaan fisik, tes
laboratorium rutin, dan prosedur diagnostik lainnya. Pemeriksaan fisik
termasuk pengukuran tekanan darah yang benar, pemeriksaan funduskopi,
perhitungan BMI (body mass index) yaitu berat badan (kg) dibagi dengan
tinggi badan (meter kuadrat), auskultasi arteri karotis, abdominal, dan
bruit arteri femoralis; palpasi pada kelenjar tiroid; pemeriksaan lengkap
jantung dan paru-paru; pemeriksaan abdomen untuk melihat pembesaran
ginjal, massa intra abdominal, dan pulsasi aorta yang abnormal; palpasi
ektremitas bawah untuk melihat adanya edema dan denyut nadi, serta
penilaian neurologis.
b. Diagnosis
Hipertensi seringkali disebut sebagai “silent killer” karena pasien dengan
hipertensi esensial biasanya tidak ada gejala (asimptomatik). Penemuan
fisik yang utama adalah meningkatnya tekanan darah. Pengukuran rata-
rata dua kali atau lebih dalam waktu dua kali kontrol ditentukan untuk
mendiagnosis hipertensi. Tekanan darah ini digunakan untuk
mendiagnosis dan mengklasifikasikan sesuai dengan tingkatnya (Depkes,
2006).

2.2.8 Gejala Klinis


Secara umum pasien dapat terlihat sehat atau beberapa diantaranya sudah
mempunyai faktor resiko tambahan, tetapi kebanyakan asimptomatik (Depkes,
2006).

15
2.2.9 Faktor Risiko
Hipertensi dipengaruhi oleh beberapa hal salah satuny adalah gaya hidup seperti
pola makan, kebiasaan merokok dan kebiasaan mengkonsumsi makanan kaya akan
lemak dan garam.
Menurut Depkes tahun 2006 faktor Risiko hipertensi terdiri atas:
a. Faktor Risiko Mayor
1) Hipertensi
2) Merokok
3) Obesitas (BMI ≥30)
4) Immobilita
5) Dislipidemia
6) Diabetes mellitus
7) Mikroalbuminuria atau perkiraan GFR 55 tahun untuk laki-laki,
>65 tahun untuk perempuan)
8) Riwayat keluarga untuk penyakit kardiovaskular prematur (laki
laki < 55 tahun atau perempuan < 65 tahun)
b. Faktor Risiko Minor
1) Jantung : Left ventricular hypertrophy Angina atau sudah pernah
infark miokard Sudah pernah revaskularisasi koroner Gagal jantung
2) Otak : Stroke atau TIA
3) Penyakit ginjal kronis
4) Penyakit arteri perifer
5) Retinopathy

2.2.10 Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksaan laboratorium rutin yang direkomendasikan sebelum memulai
terapi antihipertensi adalah urinalysis, kadar gula darah dan hematokrit; kalium,
kreatinin, dan kalsium serum; profil lemak (setelah puasa 9 – 12 jam) termasuk
HDL, LDL, dan trigliserida, serta elektrokardiogram. Pemeriksaan opsional
termasuk pengukuran ekskresi albumin urin atau rasio albumin / kreatinin.
Pemeriksaan yang lebih ekstensif untuk mengidentifikasi penyebab hipertensi tidak

16
diindikasikan kecuali apabila pengontrolan tekanan darah tidak tercapai (Depkes,
2006).

2.2.11 Kerusakan Organ Target


Menurut Depkes (2006), diketahui adanya kerusakan target didapat melalui
anamnesis mengenai riwayat penyakit atau penemuan diagnostik sebelumnya guna
membedakan penyebab yang mungkin, apakah sudah ada kerusakan organ target
sebelumnya atau disebabkan hipertensi. Anamnesis dan pemeriksaan fisik harus
meliputi hal-hal seperti:
a. Otak: stroke, TIA, dementia
b. Mata: retinopati
c. Jantung: hipertropi ventrikel kiri, angina atau pernah infark miokard,
pernah revaskularisasi koroner
d. Ginjal: penyakit ginjal kronis
e. Penyakit arteri perifer

2.2.12 Tatalaksana
Menurut konsensus yang dikeluarkan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia pada tahun 2015, tata laksana hipertensi terdiri dari tata
laksana non farmakologis dan farmakologis.
a. Non Farmakologis
Menjalani pola hidup sehat telah banyak terbukti dapat menurunkan tekanan
darah, dan secara umum sangat menguntungkan dalam menurunkan risiko
permasalahan kardiovaskular. Pada pasien yang menderita hipertensi derajat
1, tanpa faktor risiko kardiovaskular lain, maka strategi pola hidup sehat
merupakan tatalaksana tahap awal, yang harus dijalani setidaknya selama 4 –
6 bulan. Bila setelah jangka waktu tersebut, tidak didapatkan penurunan
tekanan darah yang diharapkan atau didapatkan faktor risiko kardiovaskular
yang lain, maka sangat dianjurkan untuk memulai terapi farmakologi.
Beberapa pola hidup sehat yang dianjurkan oleh beberapa guidelines adalah:
 Penurunan berat badan. Mengganti makanan tidak sehat dengan
memperbanyak asupan sayuran dan buah-buahan dapat memberikan

17
manfaat yang lebih selain penurunan tekanan darah, seperti menghindari
diabetes dan dislipidemia.
 Mengurangi asupan garam. Di negara kita, makanan tinggi garam dan lemak
merupakan makanan tradisional pada kebanyakan daerah. Tidak jarang pula
pasien tidak menyadari kandungan garam pada makanan cepat saji,
makanan kaleng, daging olahan dan sebagainya. Tidak jarang, diet rendah
garam ini juga bermanfaat untuk mengurangi dosis obat antihipertensi pada
pasien hipertensi derajat ≥ 2. Dianjurkan untuk asupan garam tidak melebihi
2 gr/ hari
 Olah raga. Olah raga yang dilakukan secara teratur sebanyak 30 – 60 menit/
hari, minimal 3 hari/ minggu, dapat menolong penurunan tekanan darah.
Terhadap pasien yang tidak memiliki waktu untuk berolahraga secara
khusus, sebaiknya harus tetap dianjurkan untuk berjalan kaki, mengendarai
sepeda atau menaiki tangga dalam aktifitas rutin mereka di tempat kerjanya.
 Mengurangi konsumsi alcohol. Walaupun konsumsi alcohol belum menjadi
pola hidup yang umum di negara kita, namun konsumsi alcohol semakin
hari semakin meningkat seiring dengan perkembangan pergaulan dan gaya
hidup, terutama di kota besar. Konsumsi alcohol lebih dari 2 gelas per hari
pada pria atau 1 gelas per hari pada wanita, dapat meningkatkan tekanan
darah. Dengan demikian membatasi atau menghentikan konsumsi alcohol
sangat membantu dalam penurunan tekanan darah.
 Berhenti merokok. Walaupun hal ini sampai saat ini belum terbukti berefek
langsung dapat menurunkan tekanan darah, tetapi merokok merupakan
salah satu faktor risiko utama penyakit kardiovaskular, dan pasien
sebaiknya dianjurkan untuk berhenti merokok.

b. Terapi farmakologi
Secara umum, terapi farmakologi pada hipertensi dimulai bila pada pasien
hipertensi derajat 1 yang tidak mengalami penurunan tekanan darah setelah >
6 bulan menjalani pola hidup sehat dan pada pasien dengan hipertensi derajat
≥ 2. Beberapa prinsip dasar terapi farmakologi yang perlu diperhatikan untuk
menjaga kepatuhan dan meminimalisasi efek samping, yaitu :

18
 Bila memungkinkan, berikan obat dosis tunggal
 Berikan obat generic (non-paten) bila sesuai dan dapat mengurangi biaya
 Berikan obat pada pasien usia lanjut ( diatas usia 80 tahun ) seperti pada
usia 55 – 80 tahun, dengan memperhatikan faktor komorbid
 Jangan mengkombinasikan angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE-
i) dengan angiotensin II receptor blockers (ARBs)
 Berikan edukasi yang menyeluruh kepada pasien mengenai terapi
farmakologi
 Lakukan pemantauan efek samping obat secara teratur.

Berikut algoritme tatalaksana hipertensi yang direkomendasikan berbagai


guidelines dan memiliki persamaan prinsip, dan dibawah ini adalah algoritme
tatalaksana hipertensi secara umum, yang disadur dari A Statement by the
American Society of Hypertension and the International Society of Hypertension
2013.

19
Sumber : A Statement by the American Society of Hypertension and the
International Society of Hypertension 2013

20
KESIMPULAN

Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah


sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg pada
dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan cukup
istirahat/tenang. Hipertensi merupakan faktor risiko utama yang dapat
menyebabkan terjadinya infark miokard, stroke, gagal jantung, dan gagal ginjal. Di
seluruh dunia, hipertensi diperkirakan menyebabkan 7,5 juta kematian, sekitar
12,8% dari total semua kematian. Pola makanan yang kurang baik merupakan salah
satu faktor risiko yang berperan penting dalam kejadian hipertensi, salah satunya
adalah konsumsi sumber natrium yang berlebihan. Sumber utama natrium di
Indonesia adalah garam dapur, ikan asin, pengawet makanan (natrium benzoate),
dan sumber lain yang lebih potensial adalah monosodium glutamate (MSG/Vetcin).
Komposisi senyawa MSG adalah 78% glutamat, 12% natrium dan 10% air.
Penggunaan MSG secara berlebihan dapat memicu berbagai masalah kesehatan
salah satunya adalah hipertensi, kanker, diabetes, kelumpuhan serta penurunan
kecerdasan.
Monosodium glutamat (MSG) adalah garam natrium dari asam glutamate.
Garam dari MSG mampu memenuhi kebutuhan garam sebanyak 20-30%, sehingga
konsumsi MSG yang berlebihan menyebabkan kenaikan kadar garam dalam darah
sekitar 2%. Konsumsi MSG secara berlebihan dapat menyebabkan tingginya kadar
garam di dalam darah hal ini menyebabkan stimulasi sekresi aldosterone dari
korteks adrenal yang penting dalam pengaturan volume darah cairan ekstraseluler.
Aldosteron akan mengurangi eksresi NaCl dengan meningkatkan reabsorbsi dari
tubulus ginjal, naiknya kadar NaCl ini akan diturunkan kembali dengan
meningkatkan volume cairan ekstraseluler sehingga terjadi peningkatan volume
dan tekanan darah. Natrium dan clorida merupakan ion utama cairan ekstraseluler.
Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium dalam cairan
ekstraseluler meningkat. Hal ini menyebabkan meningkatnya volume cairan
ekstraseluler dan meningkatnya tekanan darah.

21
DAFTAR PUSTAKA

Bansil, P, Kuklina, EV, Merritt, RK, Yoon, PW 2011, “Associations Between Sleep
Disorders, Sleep Duration, Quality of Sleep, and Hypertension: Results From
the National Health and Nutrition Examination Survey”, 2005 to 2008. The
Journal of Clinical Hypertension. diakses pada 10 Desember 2017.
http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.17517176.2011.00500.x/abstra
ct

Centers for Disease Control and Prevention (CDC) 2012, “Vital signs: awareness
and treatment of uncontrolled hypertension among adults-United States”,
MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 2012;61:703–9.

Depkes 2006, Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Hipertensi, Direktorat Bina


Farmasi Komunitas Dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan
DepartemenKesehatan.

Fauziah, NY Bintanah, S & Handarsari, E 2013, “Pola Konsumsi Bahan Makanan


Sumber Natrium pada Pasien Hipertensi Rawat Jalan di Rumah Sakit
Tugurejo Semarang” , Jurnal Gizi Universitas Muhammadiyah, Vol. 2, No.1,
Semarang.
http://jurnal.unimus.ac.id/index.php/jgizi/article/view/750/804

Infodatin n.d, Hipertensi, Pusat Data Dan Informasi Kemeterian Kesehatan RI.
http://www.pusdatin.kemkes.go.id/pdf.php?id=15080300001

JNC VII Express 2003, The Seventh Report of the Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure,
US Department of Health and Human Service.
https://www.nhlbi.nih.gov/files/docs/guidelines/express.pdf

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (KemKes RI) 2015, “Hipertensi, The


Silent Killer”, diakses pada 10 Desember 2017.
http://www.pusdatin.kemkes.go.id/pdf.php?id=15080300001

Novianti, HY 2013, ‘Pengaruh Variasi Konsentrasi Zat Aditif Monosodium


Glutamate (Msg) Terhadap Karakter Membran Cellulose Acetate (Ca)’,
Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Jember.
http://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/4197/Heni%20Yuni
ta%20-%20081810301015.pdf?sequence=1

22
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) 2015, Pedoman
Tatalaksana Hipertensi Pada Penyakit Kardiovaskular edisi I, PERKI.

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia 2015, Pedoman


Tatalaksana Hipertensi Pada Penyakit Kardiovaskular.
http://www.inaheart.org/upload/file/Pedoman_TataLaksna_hipertensi_pada
_penyakit_Kardiovaskular_2015.pdf

Perhimpunan Hipertensi Indonesia (INASH) 2011, “Indonesia Society of


Hypertension”, diakses 10 Desember 2017.
http://www.inash.or.id/news_detail.php?id=66

Prawirohardjono, W, Dwiprahasto, I, Indwiani, A, Hadiwandowo, S, Kristin, E,


Muhammad, M, Michael, FK 2000, “The Administration to Indonesians of
Monosodium L-glutamat in Indonesian Foods: An Assessment of Adverse
Reactions in a Randomized”, Journal Of Nutrition. 130(4): 1074-1076.

Putranto, KA 2011, ‘Pengaruh Pemberian Monosodium Glutamat (MSG) Terhadap


Gambaran Histologis Testis Mencit’, Fakultas Kedokteran Universitas
Sebelas Maretm Surakarta.

Rangkuti, RH, Suwarso, E, Anjelisa, P 2012, ‘Pengaruh Pemberian Monosodium


Glutamat (MSG) Pada Pembentukan Mikronukleus Sel Darah Merah
Mencit’, Journal of Pharmaceutics and Pharmacology, Vol. 1, no. 1, hlm. 29-
36, 2012.

Riskesdas 2013, Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementerian


Kesehatan RI Tahun 2013.
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%
202013.pdf

US Food and Drug Administration 2012, Questions and Answers on Monosodium


glutamate (MSG), US Department of Health and Human Service.
https://www.fda.gov/Food/IngredientsPackagingLabeling/FoodAdditivesIng
redients/ucm328728.htm

Widyalita, E, Sirajjudin, S, Zakaria 2014, Analisis Kandungan Monosadium


Glutamat (Msg) Pada Pangan Jajanan Anak Di Sd Komp. Lariangbangi
Makassar, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin

23
Makassar.
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/10532/EKA%20
WIDYALITA%20K21110273.pdf?sequence=1

Winarno, FG, 2004, “Keamanan Pangan Jilid 2”, M Brio Press, Jakarta

World Health Organization 2017, “Global Health Observatory data”, diakses pada
10 Desember 2017.
http://www.who.int/gho/ncd/risk_factors/blood_pressure_prevalence_text/e
n/

24

Anda mungkin juga menyukai