Anda di halaman 1dari 86

Manajemen Partai Politik

Manajemen Partai Politik

Manjemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, dan pengawasan, kegiatan-


kegiatannay untuk mencapai berbagai tujuan individu, organisasi, dan masyarakat.
Membangun sebuah partai berarti membangun sebuah organisasi politik, dalam politik
tujuanya adalah kekuasaan(disaadari atau tidak).

Adapun langkah-langkah mendirikan partai menurut kami sebagai berikut

1) Perencanaan

Kegiatan perencanaan meliputi konsoloidasi dengan tokoh-tokoh. Merumuskan AD/ART dan


visi misi partai.

2) Pengorganisasian

Kegiatan ini meliputi deklarasi, pembentukan pengurus di tingkat pusat, wilayah, cabang,
ranting, dan sub ranting.

3) Realiasasi

Melakukan raker, muktamar dan konggres partai. Memaksimalkan kerja pengurus dari ranting
samapi pusat. Sosialisasi partai, merikrut kader dan simpatisan partai.

4) Evaluasi

Secara berkala pengurus partai melakukan evaluasi, tujuannya untuk mengetahui keberhasilan
target yang ditentukan.

Contoh Pelaksanaan Manajemen Partai

Nama Partai : Partai Persatuan Pemuda(P Perda)

1) Perencanaan

Latar belakang
Berdiri Partai Persatuan Pemuda(P Perda) didorong oleh keinginan para generasi untuk
memperbaiki keadaan bangsa dan negara yang mengalami keterpurukan berkepanjangan di
semua sektor kehidupan. Partai Persatuan Pemuda(P Perda) menghendaki terciptanya tatanan
sosial dan politik di Indonesia selaras dengan UUD 45 dan Pancasila sehingga tercapai negara
yang adal dan makmur.

visi: Menciptakan negara dan bangsa yang adil, damai, dan sejahtera sebagai perwujudan dari rasa
keimanan yang berlandaskan keagamaan dan rasa cinta tanah air.

Misi Pertamatanggungjawab yang berkaitan dengan agama sosila budaya.

Kedua, yang dipikul generasi muda adalah bertalian dengan suara rakyat

Ketiga, tanggungjawab ulama yang berkenaan dengan berbangsa dan bernegara Terkait
tanggungjawab ini, para generasi muda meyakini bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) adalah final.

2) Pengorganisasian

Deklarasi partai, waktunya jika dirasa sudah tepat yaitu memiliki jarinagan minimal 50% dari
jumlah Provinsi.

Membentuk dewan penggurus pusat selambat-lambatnya 30 hari setelah deklarasi. Hal ini
diikuti oleh perngurus wilayah dan cabang.

Dewan pengurus membuat kebijakan partai dan program kerja melalui RAKER dan KONGGRES,
pelaksanaanya 30 hari setelah terbentuk dewan pengurus.

3) Realiasasi

Sosialisasi partai, media yang digunakan media elektronik, media cetak dan pendekatan
personal. Pengurus aktif dalam berkomonikasi dan membuat jarigan.

Target partai

- Selambat-lambatnya 60 hari setelah deklarasi terbentuk pengurus wilayah dan cabang minimal
80 % di wilayah Indonesia .

- Perolehan suara pemilu 2014 minimal 12,5 %


- Terbentuknya kader partai yang konsisten.

4) Evaluasi

Evaluasi melalui raker, muktamar, konggres partai dan rapat dewan pengurus.

Bicara masalah Manajemen parpol sih, agak sulit kelihatannya tapi saya akan coba menuliskan
yang mungkin bisa bermamfaat buat kita semua khususnya para pengurus dan kader partai
politik di indonesia.

Bicara masalah Manajemen Partai Politik memang sangat-sangat susah tetapi sangat
diperlukan bagi sebuah parpol baru akan berkembang, kenapa saya katakan sangat penting
karena manajemen merupakan hal yang utama bagi tumbuh dan berkembangnya suatu parpol
apalagi parpol baru karena , keberhasilan suatu parpol baru, pertama kali yang menjadi
barometer adalah manajemennya..dan bukan jumlah dukungan masa, pengurus maupun
financialnya.

Baiklah saya akan ambil contoh di bidang HUMAS. Karena ini merupakan factor utama
dalam melakukan sosialisasi terhadap public. Partai politik perlu menerapkan strategi efektif
guna mengomunikasikan ide dan gagasannya pada publik. Konsep,komunikasi yang efektif
dapat dijadikan pijakan. Lebih jauh lagi, peran dan fungsi humas sebagai bagian dari ‘strategic
management’ dapat diandalkan untuk memberikan efek signifikan dalam pencapaian tujuan dari
sebuah parpol.

LIBERALISASI itulah corak dunia kita sekarang secara nasional. Inti liberalisasi adalah
persaingan (competition) dan sekaligus pentingnya wujud kerjasama (cooperation). Melalui
kompetisi tersebut semua parpol dihadapkan pada pertarungan tetapi tidak menutup
kemungkinan untuk melakukan kerjasama (koalisi). Partai politik (parpol) yang tidak mampu
berkompetisi juga yang tidak mampu membangun koalisi pasti akan collapse bahkan bisa
tersingkir.

Parpol harus mampu menyiasati perkembangan zaman itu. Menghadapi kompetisi atau
melakukan koalisi adalah langkah membangun prestasi dan melahirkan reputasi sebagai wujud
citra parpol. Untuk berprestasi, meraih reputasi, apalagi membangun citra parpol perlu
mendapat dukungan publik atau masyarakat. Sebab masyarakat itulah sesungguhnya pasar
yang selalu menguji, menilai, dan memberi penghargaan dalam proses liberalisasi. Parpol
harus membangun human relation yang menjadi bagian dari proses peradaban yang
berlangsung sangat dinamis.

Sampai saat ini hampir semua parpol tidak memiliki humas, bahkan kalau ada merupakan
fungsi komplementer dari bidang informasi dan komunikasi (infokom). Dalam hal ini, fungsi
humas hanya secara teknis memublikasikan apa yang menjadi keputusan strategis bidang lain.
Fungsi humas bukan fungsi strategis karena tidak dapat menggerakkan dan mengelola sumber-
sumber komunikasi dengan publik. Sebaliknya humas merupakan fungsi manajemen yang
hanya berperan mengomunikasikan pesan-pesan parpol kepada publiknya.

Dengan demikian parpol yang benar dan baik akan memandang penting makna humas dengan
mengintegrasikan semua fungsi humas menjadi satu fungsi (terintegrasi) dan tidak terpecah
serta tidak menjadi bagian dari bidang lain. Hanya dalam suatu sistem integrasi, humas
memungkinkan untuk mengembangkan komunikasi dalam rangka mengelola strategi dan
mempengaruhi opini publik baik internal maupun eksternal.

Dengan posisi manajemen strategis, humas akan lebih leluasa memberikan kontribusi guna
pencapaian tujuan parpol. Dengan demikian dia mampu mengembangkan program untuk
mengomunikasikan pesan parpol kepada publik, baik internal maupun eksternal.

Di samping itu, implikasinya humas mampu mewarnai terbentuknya budaya parpol,


mengelola iklim komunikasi yang kondusif, serta menumbuhkan peran aktif semua stakeholder
parpol.

Dalam kaitan ini, secara garis besar fungsi humas parpol antara lain:

partisipasi dalam manajemen, yaitu terlibat dalam proses pembuatan keputusan strategis,

1. menyegmentasikan publik dan stakeholder utama,


2. menggunakan
3. komunikasi untuk mengelola hubungan dan interaksi dengan target publik,
4. memengaruhi perilaku manajemen, dan
5. mengukur kualitas hubungan dengan stakeholder parpol. Lebih jauh humas
berkontribusi dalam terbentuknya efektivitas parpol guna memenuhi kebutuhan
stakeholder-nya. Kontribusi ini memberikan nilai lebih khususnya untuk mengelola
kegiatan secara strategis dan efektif melalui peningkatan hubungan dengan target
publiknya.

Membentuk Humas Parpol


Manajemen parpol sekarang perlu direnovasi dan dilakukan pembaruan dengan
membentuk bidang humas yang terlepas dari bidang infokom yang sudah ada. Fungsi dan
peran humas yang dibentuk selain menerapkan manajemen strategis juga sebagai mediator
antara pimpinan dengan anggota (internal) dan antara pimpinan dengan publik/masyarakat
(eksternal) sehingga tercipta komunikasi yang harmonis.
Lebih dari itu humas parpol juga memiliki fungsi sebagai komunikator, fasilitator, dan
corporate image building (pembangun citra parpol). Jadi dia menjalankan fungsi pimpinan
parpol (role of the leader) tempat seorang pimpinan parpol mempunyai peran sebagai figur,
sebagai komunikator, dan sebagai pembuat keputusan (interpersonal, informational, and
decisional).

Seorang kader praktisi humas parpol yang piawai dalam berkomunikasi dengan media tulisan,
elektronik, bahkan melalui multi media. Kader praktisi humas parpol diharapkan juga dapat
melakukan pembinaan sumber daya manusia internal partai itu, di samping diperlukan kondisi
yang kondusif yang mengarah kepada keterbukaan dan demokratisasi.
Hal ini akan dapat mendorong setiap pimpinan parpol untuk berpikir kritis dan kreatif.
Setiap pimpinan parpol akan mengembangkan pola berpikir alternatif dengan pemahaman
mendalam. Dengan ini diharapkan tumbuh pimpinan parpol yang kritis dan bersikap arif dalam
menghadapi berbagai masalah, tidak hanya asal cepat saja.

Koalisi Bidang Humas Dengan Media Massa

Bentuk nyata komunikasi parpol dapat dilakukan dengan berbagai media cetak secara
lisan atau tertulis, juga media elektronik. Komunikasi tersebut diramu sedemikian rupa sehingga
mampu memengaruhi publik pada umumnya. Ini untuk membangun reputasi parpol, penciptaan
sense of belonging dan pembinaan corporate culture.

Dalam dinamika liberalisasi, suka atau tidak suka, media massa atau pers (cetak atau
elektronik) sangat penting. Apalagi pada era globalisasi informasi sekarang. Pers ada di mana-
mana, dengan para wartawan pada titik sentralnya. Pers juga perlu dimanfaatkan parpol, yang
tentu saja dapat merugikan jika salah memanfaatkannya. Penulis Amerika Herbert NCasson
menyatakan, media massa menjadi kebutuhan pokok dalam perikehidupan masyarakat
modern, yang membimbing mereka dengan berbagai informasi dari pagi sampai petang bahkan
sampai jauh malam selama 24 jam non-stop.

Dalam zaman modern, media massa menjadi indikator penting dari kemajuan suatu
negara dan bangsa. Media massa itu padat modal dan ditangani secara profesional dengan
menggunakan teknologi canggih, terbukti telah melahirkan tiras media cetak dan tayangan jam
siaran media elektronik yang spektakuler. Inilah yang menempatkan media massa menjadi
institusi yang luar biasa kekuatannya di seluruh dunia, dan pengaruhnya sangat kuat, luas, dan
tidak ternilai.

Karena itu jika operasionalisasi media massa dilakukan oleh mereka yang tidak
profesional, maka publik dan peradaban akan sangat dirugikan. Sebaliknya jika pers
dikendalikan secara profesional, idealis, dan independen, niscaya akan memberi kontribusi
besar dan bermakna bagi publik dan peradaban.

Itu pula sebabnya humas pada institusi/organisasi pada umumnya, dan humas parpol
khususnya yang tidak mampu memanfaatkan potensi media massa pasti akan tertinggal oleh
perubahan zaman, dan sangat mungkin akan mati lantaran tidak mampu membangun akses
kerjasama dan tidak kuat bersaing.

Humas parpol yang mampu memanfaatkan potensi pers, yakinlah akan mampu bertahan,
bahkan kian maju dan kuat.

Ingat, information is power.

Humas parpol dan media massa sebenarnya dua fenomena dalam dunia informasi yang
sangat sinergi dalam membangun kehidupan bangsa dan negara. Tanpa media massa, humas
parpol akan sulit menyebarluaskan informasi penting, termasuk mengalami kesulitan untuk
melakukan pendekatan dengan publiknya.

Adalah realitas, betapa banyak parpol yang kedodoran oleh hantaman media massa yang
menyuguhkan informasi tidak akurat, tidak bertanggung jawab, dan salah. Hal itu terutama
akibat ketidakmampuan parpol tersebut memanfaatkan peluang yang tersedia pada media
massa, utamanya karena parpol tidak memiliki humas.

Tentu saja landasan pekerjaan humas parpol yang baik haruslah dari lingkup parpol yang baik
pula, sebab humas parpol sama dengan media massa sama-sama melayani hak publik untuk
tahu (right to know), yang otomatis juga mengemban kebenaran informasi.

Parpol mana pun jika tidak memiliki humas yang baik akan terlayani secara buruk pula oleh
pers, yang berimbas kepada buruknya perlindungan publik.

MANAJEMEN PARTAI POLITIK Keuangan, Sisi Gelap Partai Politik

Ketentuan keuangan partai politik diatur dengan jelas dalam Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Partai Politik. Dalam UU itu diatur sumber keuangan parpol dan besaran
sumbangan. Dana kampanye juga diatur dalam UU No 10/2008 tentang Pemilihan Umum
Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Akan tetapi, ketentuan perundang-undangan itu tidak mudah dilaksanakan, apalagi diawasi
pelaksanaannya. Oleh karena itu, ketentuan itu sebenarnya kurang efektif.
Misalnya, dalam UU No 2/2008, besaran perseorangan bukan anggota parpol ditentukan
paling banyak Rp 1 miliar per orang dalam waktu satu tahun anggaran. Sumbangan dari
perusahan atau badan usaha paling banyak Rp 4 miliar per perusahaan dalam satu tahun
anggaran. Bagaimana mengawasi ketentuan bahwa sumbangan perseorangan bukan anggota
parpol paling banyak Rp 1 miliar? Atau, bagaimana pula pengawasan terhadap sumbangan
yang berasal dari perseorangan anggota parpol sendiri?
Penyumbang atau orang bukan anggota parpol yang menyumbang ke parpol, apalagi
dalam jumlah besar, biasanya tidak mau disebut namanya. Selain itu, sumbangan dalam
jumlah besar tidak selalu dicatat di dalam rekening kas umum parpol.
Oleh karena itu, Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Teten Masduki
menilai, rekening keuangan atau kas parpol hanya sekadar menjadi ”pajangan”. Artinya,
keuangan atau kas parpol, termasuk rekening dana kampanye parpol, hanya instrumen
memenuhi persyaratan administratif UU.
Arus keluar masuk uang dalam organisasi parpol dari berbagai sumber, kata Teten, jauh
lebih besar daripada perhitungan yang bisa tercatat dalam kas atau keuangan parpol. ”Saat
kampanye, misalnya, yang ada justru kasir-kasir politik yang menerima atau mengeluarkan
uang, bukan saja bendahara parpol,” katanya.
Pengajar Politik Universitas Gadjah Mada, Kuskridho Ambardi, mengungkapkan, laporan
keuangan parpol, seperti laporan dana kampanye, dibuat sesuai ketentuan yang diminta.
Akan tetapi, kata Kuskridho, saat ditanya kepada bendahara parpol, jumlah dana
kampanye bisa mencapai tiga kali lipat daripada yang dilaporkan. Oleh karena itu, peraturan
pembatasan sumber keuangan parpol yang dinilai baik selama ini menjadi tidak realistis.
”Respons partai terhadap peraturan itu melakukan patgulipat, dan semua seperti itu, mulai
dari partai besar hingga partai kecil, dan kemudian justru digelapkan,” katanya.
Dengan kondisi itu, banyak pimpinan atau bendahara parpol sulit menjelaskan asal usul
”mesin” uang keuangan atau kas parpol secara transparan dan seberapa besar sumbangan
yang diterima atau rata-rata uang yang terkumpul pada kas parpol dalam setahun.

Jumlah tidak jelas


Pimpinan atau pengurus parpol hanya mengungkapkan sumber dana parpol sesuai
ketentuan yang diatur dalam UU No 2/2008. Para pimpinan partai atau bendahara sembilan
partai politik yang diwawancarai Kompas hampir tidak ada yang dapat menjelaskan secara rinci
kondisi keuangannya.
Wakil Bendahara DPP Partai Demokrat Marlena Ahmad, misalnya, mengatakan, penerimaan
dana terbesar berasal dari iuran anggota. Kedua, dari sumbangan, dan yang terakhir adalah
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Terkait seberapa besar dana yang diperoleh, Marlena hanya menggambarkan bahwa dana
operasional partai—pengeluaran rutin—sebesar Rp 8 miliar sampai Rp 10 miliar.
Partai yang agak rinci mengatur iurannya adalah Partai Keadilan Sejahtera. Seperti
dijelaskan Sekjen PKS Anis Matta dan Wakil Bendahara PKS Edy Kuncoro, partai ini mengatur
iuran kader PKS yang menjabat jabatan publik dan tidak mempunyai jabatan publik. ”Mereka
yang wajib menyerahkan iuran adalah anggota yang penghasilannya di atas Rp 1,5 juta,” kata
Anis. Namun, yang terbanyak persentasenya dari donasi lepas para simpatisan.
Sekjen Partai Amanat Nasional Taufik Kurniawan malah tidak dapat menyebutkan rata-
rata besar iuran, sumbangan, dan APBN yang diterima dalam setahun. ”Saya tidak dapat
menyebutkan. Tidak bisa dihitung karena kita bukan lembaga bisnis, LSM, atau yayasan. Itu
(sumbangan) keikhlasan. Itu dipikul bersama-sama. Saya tidak dapat menyebut angka. Yang
dapat dilihat, yang dilaporkan ke KPU,” kata Taufik.
Dalam sidang perkara pemberian cek perjalanan kepada anggota Komisi IX DPR periode 1999-
2004 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, mantan anggota Komisi IX DPR, Max Moein, sebagai
saksi, mengaku menerima cek di ruang komisi dari seseorang yang tidak bisa dipastikannya.
Cek itu baginya adalah dana dari partai untuk mendukung kampanye pemilihan presiden di
daerah pemilihannya, Kalimantan Barat. Uang itu habis untuk kampanye tanpa ada
pertanggungjawaban (Kompas, 20/3). Kasus itu setidaknya dapat menunjukkan, dana yang
diperoleh seorang kader partai bisa berasal dari sumber apa pun. Dana yang diperoleh atau
masuk ke seorang kader partai bisa berasal dari donatur, dari hasil usaha atau bisnis, atau
diduga berasal dari tindak pidana korupsi.
Apalagi, dalam UU No 2/2008 tidak ada pembatasan sumber dana perseorangan anggota
parpol. UU No 2/2008 hanya mengatur pembatasan sumber dana perseorangan, bukan
anggota parpol dan perusahaan atau badan usaha.
Menurut Teten, tidak adanya pembatasan sumbangan dari pihak internal parpol itu
merupakan kelemahan UU No 2/2008. Akibatnya, sumbangan-sumbangan yang masuk lewat
kader atau simpatisan parpol, termasuk yang menduduki jabatan publik, sulit terkontrol.
Selain itu, kader parpol yang memiliki dana besar dapat bersikap dominan dalam
organisasi parpol, termasuk dalam kebijakan parpol. Terkait dengan sumbangan kader partai
itu, Ketua DPP Partai Golkar Bambang Soesatyo mengakui, pimpinan partai menjadi
penyumbang terbesar ke kas partai. ”Sekitar 40 persen biaya operasional partai dari ketua
umum,” katanya.
Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie mengatakan, partai belum bisa mendapatkan
suatu keuangan dari perusahaan yang dimiliki partai itu sendiri. Oleh karena itu, yang dapat
dilakukan adalah mencari sumber-sumber dana dari simpatisan, seperti pengusaha-pengusaha
yang sejalan dengan partai.
Persoalannya, ke depan, bagaimana integritas, arah kebijakan, dan program partai tetap
dilandasi cita-cita partai. Dengan demikian, integritas, arah kebijakan, ataupun program partai
tidak luntur dan tidak dikuasai kepentingan pemilik modal atau donatur berkantong tebal.
Praktik politik uang dalam kampanye dan pemilu dapat dihindari.

Seiring meningkatnya kemudahan akses dan penyebaran


informasi, maka berbagai drama pergulatan politik ditingkat nasional
maupun lokal (baca: daerah) pun semakin transparan di mata
masyarakat. Namun, setelah lebih dan 60 tahun republik ini berdiri,
impian rakyat Indonesia akan keberadaan “partai politik idaman”
masih jauh dari kenyataan.

Justru yang sering muncul adalah, drama perselingkuhan politik


dan fenomena keretakan ditubuh parpol. Karena itu, diperlukan
agenda dari semua pihak secara lebih serius untuk penguatan
kapasitas dan manajemen kelembagaan serta pengembangan
kapasitas SDM pada semua institusi kunci, terutama pada partai
politik, lembaga pemerintahan (birokrasi), dan civil society
organizations.

37

Walaupun disisi lain harus diakui adalah bahwa partai politik (parpol)
di tingkat nasional dan lokal menempati posisi yang semakin penting
dalam kehidupan politik, pemerintahan, dan kemasyarakatan
utamanya pada periode awal era Reformasi. Saat itu institusi parpol
menjadi tumpuan harapan masyarakat. Namun, data empirik
menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap partai politik
kini cenderung mengalami penurunan (The Asia Barometer, 2004).

Penurunan kepercayaan terhadap institusi parpol ini harus


ditanggapi secara serius, bukan hanya untuk keberlanjutan parpol
yang bersangkutan, tetapi juga untuk kehidupan demokrasi yang
lebih luas. Data tersebut menegaskan bahwa partai politik sedang
berada pada kondisi kritis yang ditandai dengan rapuhnya organisasi
dan manajemen, runtuhnya kapasitas kader, dan menurunnya
tingkat kepercayaan masyarakat. Kegagalan manajemen parpol akan
mempunyai implikasi politik yang sangat luas terhadap tata
kehidupan kenegaraan dan kepolitikan pada umumnya.
ondisi semacam ini tentu saja tidak dapat terus dibiarkan.
Pendalaman demokrasi dan penguatan kepemerintahan yang efektif
membutuhkan penguatan kapasitas partai politik. Secara makro,
upaya untuk menyiapkan dan mendorong partai politik untuk
memberikan kontribusi yang signifikan bagi proses pendalaman
budaya demokrasi dan pembangunan pemerintahan yang efektif
dapat dilakukan melalui tiga ranah penting sekaligus. yaitu
penguatan institusi partai: penguatan kapasitas partai dalam
pengelolaan pemilu; dan penguatan kapasitas partai dalam
menjalankan peran di parlemen dan pemerintah.

Sementara disisi mikro, secara masif harus terus dilakukan


upaya, pertama peningkatkan pengetahuan dan kecakapan kader-
kader partai dalam manajemen SDM, Pertama manajemen organisasi
dan manajemen keuangan partai. Kedua, peningkatkan pemahaman
kader partai mengenai sistem dan proses pemilu dalam pemilihan
Presiden, DPR/DPD dan Kepala Daerah. Ketiga, peningkatan
pemahaman kader partai mengenai konstituen dan pemilih, serta
strategi menjaga dan mengembangkan konstituen dan pemilih.
Keempat, peningkatkan pengetahuan dan kecakapan kader-kader
partai terkait dengan fungsi lembaga legislatif, serta manajemen
fungsi partai di lembaga perwakilan.

39

Praktis belum ada rasionalitas dalam berpolitik, karena partai tidak


menawarkan program sebagaimana dalam kehidupan demokrasi
yang sehat. Dalam meraih dukungan massa, partai-partai politik itu
sekadar membagi bagikan kartu tanda anggota, spanduk dan
pamflet. Klaim sepihak partai seperti itu menggámbarkan realitas
partai kita yang tidak mau bekerja, tetapi ingin menuai hasil dengan
mengatasi namakan rakyat. Ini cerminan dan budaya primitif dunia
politik di Indonesia. Partai kita hingga kini masih belum melakukan
pendidikan politik. Mereka sekedar

memobilisasi massa untuk kepentingan sesaat, yaitu terpilih dan


memegang kekuasaan yang identik dengan kekayaan.

Lebih lanjut, prinsip-prinsip etik dalam berpolitik jika dipegang


teguh niscaya akan menciptakan persaingan kekuasaan yang
dilakukan dalam kerangka kerja demokrasi dan memberi jaminan
kepada partai atau tokoh politik untuk secara bergantian atau
bergiliran “menguasai” kekuasaan yang diperebutkan. Dalam
demokrasi, ada masa atau batas akhir bagi penguasa (betapa pun
kharismatiknya) untuk tidak dapat (boleh) menguasai lagi kekuasaan
itu, karena waktunya habis atau karena gagal menggunakan
kekuasaan untuk menarik simpatik dukungan publik.

Jangan sampai muncul kesan bahwa seolah tidak ada lagi


kesempatan dan peluang untuk kompetisi meraih kekuasaan secara
”fair play”. Jika kesan ’its now or never terjadi dalam diri para
pimpinan dan pengurus partai, ini merupakan indikasi kuat atas
kegagalan partai dalam regenerasi kepemimpinan, lebih-lebih dalam
rejuvenasi nilai (etika), ide dan gagasan berpartai dalam alam
demokrasi yang sebenarnya.

40

Terkait pembenahan manajemen dan pengelolaan partai, tiga catatan


yang perlu ditekankan. Yaitu pertama, soal konflik antara disiplin
partai dan kebebasan (berpendirian/bersikap) anggota partai. Partai
politik memang mempunyai wewenang menegakkan disiplin atas
anggota, bahkan pengurus dan tokohnya. Salah, jika partai tidak
mampu menegakkan disiplin atas anggota, pengurus, dan tokohnya.

Dalam alam demokrasi, partai merupakan kumpulan


terorganisasi diri mereka yang mempunyai cita-cita, gagasan dan
tujuan politik yang sama yang realisasinya diperjuangkan melalui
kompetisi memperoleh dan selanjutnya menggunakan kekuasaan
secara bertanggung jawab. Cita-cita, gagasan, dan tujuan politik ini
menjadi disiplin partai yang tanpa ditegakkan pun seharusnya
dipatuhi anggota dan mereka yang sukarela (bebas, tanpa tekanan)
menggabungkan diri dalam organisasi ini. Pada saat seseorang
menyatakan bergabung dengan partai politik, pada saat itu pula dia
harus sadar telah menyerahkan sebagian kebebasannya kepada
partai politik.

41

Gambaran dan cita-cita, gagasan, dan tujuan politik terwujud dalam


berbagai keputusan partai. Karena itu, aneka keputusan partai wajib
dipatuhi anggota, pengurus, dan tokoh partai. Kebebasan anggota
termanifestasi sebelum suatu keputusan ditentukan. dalam tradisi
demokrasi, partai membuat keputusan melalui cara-cara
partisipatoris. Pada saat keputusan ditentukan oleh partai, saat itu
pula harus disadari bahwa secara prinsipil sebagian dan kebebasan
anggota partai telah diserahkan kepada keputusan partai.

Kedua, soal konflik antara keputusan partai dan aspirasi “arus


bawah”. Partai bisa saja salah dalam mengartikan antara gambaran
cita-cita, gagasan, dan tujuan partai dengan aspirasi yang
berkembang pada arus bawah partai. ini dapat dengan mudah terjadi
dalam suasana perubahan yang amat cepat karena perkembangan
masyarakat. Partai bisa tertinggal oleh perubahan-perubahan pada
tingkat akar rumput. Tetapi, partai dapat mengembangkan
kemampuan yang adaptif dengan perubahan semacam itu jika
mekanisme partisipatorisnya dalam pengambilan keputusan bisa
efektif.

Partai yang dikelola secara demokratis dapat mempunyai


kemampuan adaptif yang amat efektif. pada tingkat cabang, daerah,
dan berakhir pada tingkat Dewan Pimpinan Pusat. Pelibatan anggota
pada tingkat akar rumput relatif jauh dan proses pengambilan
keputusan partai. Konflik antara keputusan partai dan aspirasi akar
rumput tampaknya akan lebih mudah teratasi jika: partai mampu
mengembangkan pola partisipatoris dalam proses-proses
pengambilan keputusan di berbagai tingkatan organisasi partai.

42

Ketiga, partai mau mengelola pengorganisasian diri secara

desentralistis. Pola pengambilan keputusan dan pola


pengorganisasian ini bukan saja akan mencegah kecenderungan
sentralisme dan oligarkhisme dalam diri partai-partai politik tetapi
juga menuntut kemampuan akar rumput partai untuk terlibat aktif,
konsisten, dan terus-menerus dalam setiap detail kegiatan partai.

Mengembangkan partai politik dan kehidupan partai politik


yang bertanggung jawab dalam kerangka kerja demokrasi tampaknya
tidak cukup hanya mengandalkan perangkat keras seperti organisasi,
network, dan keanggotaan yang mapan, tetapi juga terutama
perangkat lunak seperti nilai, fatsun dan etika berpartai dalam
demokrasi. Hanya dengan kelengkapan perangkat-perangkat ini,
kemajuan partai dan sistem kepartaian yang mapan akan dapat
dicapai.

Tanpa upaya pembenahan dan perbaikan manajemen partai,


spirit demokrasi yang mengalir deras lewat penuhnya kedaulatan
rakyat dalam pemilihan langsung tidak pernah matang. Spirit
demokrasi yang saat ini mengalir deras, jika tidak dibarengi
penguatan infrastruktur (parpol) hanya akan memunculkan
“kejanggalan politik” berupa pemilih tradisional, pemilih emosional,
protes pemilih, dan pemilih kutu loncat.

43

Sudah saatnya kita perlu banyak belajar kepada para tokoh politik
terdahulu seperti ; Bung Karno, Bung Hatta atau kepada para
begawan politik yang masih hidup seperti KH. Yusuf Hasyim, Amin
Rais dan Gus Dur serta banyak lagi lainnya yang selalu istikhomah
menjaga nilai-nilai etik dalam berpolitik dan menggunakan politik
sebagai wahana perjuangan dan mengabdikan diri kepada
masyarakat.

Subur Tjahjono

KOMPAS.com - Firmanzah (33), Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia


termuda, itu meminati ilmu perilaku. Dari minatnya tersebut, ditambah latar belakang
pendidikan manajemen, ia menyumbangkan pemikirannya dengan mengenalkan
sejumlah konsep manajemen pemasaran politik.

Dengan latar belakang pendidikannya itu pula ia mentransfer konsep-konsep


manajemen pemasaran yang biasa dipakai dunia bisnis ke dunia politik, yaitu marketing
politik dan manajemen partai politik.

Istilah-istilah yang sangat biasa di bidang manajemen pemasaran di perusahaan swasta,


seperti ”persaingan”, ”riset pasar”, ”segmentasi”, ”positioning”, atau ”diferensiasi”, kini
sudah mulai biasa dipakai politisi dan partai politik.

Pemasaran politik itu telah banyak digunakan secara sistematis di Indonesia sejak
pemilihan umum lebih terbuka dan persaingan sehat mulai terjadi tahun 1999. Konsep
manajemen partai politik juga menemukan relevansinya karena lima tahun ke depan isu
manajemen parpol secara modern sudah harus diterapkan partai politik di Indonesia.

Firmanzah mengaku mendapat kritik dari sejumlah kalangan ilmu politik atas sejumlah
buku yang ditulisnya karena ditulis oleh ahli manajemen dari Fakultas Ekonomi. Ia juga
mengakui bukan yang pertama menulis buku tentang pemasaran politik. Tahun 2004,
Adman Nursal, seorang praktisi pemasaran, telah menulis buku Political Marketing
yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama.

Firmanzah setidaknya telah menunjukkan bahwa politik bisa didekati dari disiplin ilmu
manajemen secara konseptual teoretis, tidak melulu ilmu politik.

Anda kok seperti melompat dari ilmu manajemen ke penulisan buku soal politik?
Saya suka ilmu perilaku. Saya suka mengamati perilaku dan saya suka mengamati
interaksi pola-pola perilaku. Pola perilaku yang suka saya amati adalah persaingan.
Kalau kita bicara perilaku, bisa dalam tataran individu, tataran keluarga, tataran
organisasi, tataran industri, tataran negara, bisa juga dalam tataran antarnegara. Perilaku
ini saya tarik dari hulu ke hilir. Di hulu, saya suka filsafat, sosiologi, politik. Di wilayah
empirik, yaitu pemasaran. Saya menarik fenomena dari perspektif perilaku dan
persaingan.

Orang akan melihat ini lompat-lompatan. Jadi, dalam perspektif perilaku, masih ada
benang merahnya. Termasuk, pemasaran politik, itu kan perilaku bagaimana politisi dan
partai politik bisa memasarkan ide dan gagasannya, memenangi persaingan, atau
mengelola partai politik.

Dalam bisnis, persaingan penting meningkatkan kualitas produk. Persaingan juga


prasyarat demokrasi?

Persis. Persoalannya sekarang adalah pada titik optimum berapa persaingan itu bisa
berkorelasi positif terhadap kinerja. Dalam titik tertentu itu seperti U-turn (belokan)
antara kinerja dan persaingan. Sampai derajat tertentu, semakin kita intensifkan
persaingan, kinerjanya semakin baik. Ada inovasi, ada kreativitas. Tetapi, ketika itu
terlampaui, persaingannya tidak terkontrol, maka yang terjadi adalah keruntuhan
industri secara keseluruhan.

Sama dengan partai politik. Pada titik seberapa sebenarnya parpol di Indonesia sudah
optimum.

Berapa?

Itu mesti kita hitung. Sekarang yang masuk ambang batas di DPR sembilan partai
politik. Mungkin sembilan itu yang optimum. Jumlah partai politik jangan sampai lebih
dari 10 di Indonesia. Kenapa? Masyarakat Indonesia di akar rumput tidak cukup
kapasitasnya untuk memilah-milah visi atau program kerja partai. Akan sulit.

Jadi, positioning partai yang tidak jelas. Bedanya Golkar dengan Demokrat apa? Tidak
ada, kecuali ketua umumnya. PDI-P kan mengaku partai wong cilik. Tetapi waktu
mereka berkuasa, kebijakan privatisasi masif. Bedanya PPP dan PKB apa?

Menurut kajian Anda, bagaimana supaya positioning partai di Indonesia jelas?

Ideologi harus jelas. Mendirikan partai tidak seperti mendirikan firma atau perseroan
terbatas. Kita kumpul, kita daftar di Departemen Hukum dan HAM, kita jadi partai
politik.

Mengapa di Indonesia ideologi seperti itu tidak ada?

Karena intelektual politik yang hilang. Mesin intelektual dalam tubuh partai tidak jalan.
Semuanya terjebak pada, yang saya khawatirkan—mudah-mudahan tidak—
pragmatisme politik.
Bayangkan kita sebagai pemilih. Pemilih itu kan akan menentukan siapa yang akan
dipilih. Yang menjadi menarik adalah bagaimana proses yang terjadi ketika pemilih
akan menentukan pilihannya.

Kalau semuanya sama, harus ada diferensiasi sehingga si pemilih dengan mudah
memilih, oke saya pilih partai A, B, atau C. Ketika diferensiasi tidak terjadi, yang
terjadi adalah posisi sama saja. Jadi, golput tidak semata-mata kesalahan pemilih, tetapi
jangan-jangan kesalahan partai politik.

Ketika dalam sistem multipartai tidak ada positioning yang jelas, pemilih berada dalam
posisi kesulitan. Celakanya memang yang membedakan cuma pemimpin saja.

Kalau kita bicara pemasaran, tidak hanya bicara PDB (positioning, diferensiasi, dan
brand), tetapi kita juga bicara inovasi produk, intelijen pemasaran, dan survei pasar.
Pemasaran itu adalah ilmu hubungan bagaimana mengaitkan pemilih dan yang akan
dipilih.

Saya cukup idealis di sini karena saya ingin menjadikan pemilih adalah tempat pertama
dari semuanya berangkat. Politisi ada karena pemilih. Sama juga produsen ada karena
ada konsumen. Kita tidak bisa mengabaikan pemilih karena pemilihlah yang
menjelaskan kenapa kita harus ada. Jadi, pemilih itu sebagai subyek, bukan obyek.
Selama ini perilaku politik kita kan masih elitis, seolah-olah lapisan akar rumput tidak
tahu politik dan harus didorong oleh elite politik.

Ada kesan pemasaran politik itu hanya untuk pemolesan atau pengelabuan terhadap
kondisi sebenarnya?

Itu yang salah. Pemasaran politik tidak sekadar iklan di televisi, tidak hanya sekadar
memasang baliho, atau pasang iklan di bioskop. Enggak. Pemasaran politik itu proses
panjang sejak kita mengumpulkan informasi, kita petakan semua persoalan bangsa ini,
kita analisis, kemudian kita carikan solusinya, kita sosialisasi dan promosi, sekaligus
membedakan dengan yang lain, kemudian juga tetap menjaga hubungan dengan
pemilih, intelijen pemasaran, sampai pada tataran yang lebih pragmatis, bahkan hingga
ke pascapelayanan. Jadi, iklan hanya bagian kecil saja.

Proses hulunya ini yang jarang disentuh. Itu mengapa saya menyoroti pentingnya
penelitian dan pengembangan di partai politik. Banyak parpol yang belum
menempatkan litbang partai sebagai divisi yang strategis.

Di situ sebetulnya muara antara ideologi partai dan persoalan di tataran lapangan diramu
dan solusinya seperti apa. Tadi saya ngobrol dengan teman-teman Fraksi Partai Golkar,
kalau cari informasi Century atau KPK dari mana? Dari koran. Apa enggak ada
informasi dari internal partai? Tidak ada. Padahal, kita kan bisa membedakan data dan
informasi. Kalau data masih mentah, informasi sudah dianalisis. Dalam proses analisis
ini kan ada ideologi partai bermain. Litbang sebagai unit strategis bisa mengumpulkan
informasi dari DPC, DPD, DPP, lalu ditabulasi datanya, kita petakan persoalan di
Indonesia, lalu bagaimana posisi partai.
Apa saja sistem organisasi bisnis yang bisa diserap parpol?

Misalnya perencanaan karier politisi. Manajemen sumber daya manusia. Kapan,


misalnya, seseorang layak menjadi ketua DPC. Kapan seseorang layak menjadi ketua
DPD. Kapan seseorang layak menjadi ketua DPP. Ini harus jelas kriterianya. Bukan
karena kita dekat dengan ketua umum, lalu kita menjadi ketua DPP. Kaderisasi di TNI
rapi. Orang tidak protes karena tidak masuk menjadi perwira tinggi karena tahu ada
sekolah staf yang harus diikuti.

Kultur politik kita agak susah menghindar dari figur…

Itu harus mulai dihilangkan kalau kita mau modern, kecuali kalau kita mau seperti
sekarang.

Apakah di Indonesia bisa?

Bisa. Kenapa enggak bisa? Harus bisa, karena kalau enggak, tidak akan pernah
langgeng sistemnya. Bagaimana mendudukkan elite individu di bawah sistem.

Sosok pahlawan yang dibutuhkan Indonesia sekarang bukan pahlawan yang


menciptakan kultus, simbol, atau kesaktian buat dirinya, tetapi pahlawan baru yang
menghadirkan dia dalam sebuah sistem.

Waduh bicara masalah Manajemen parpol sih, agak sulit kelihatannya tapi saya akan coba
menuliskan yang mungkin bisa bermamfaat buat kita semua khususnya para pengurus dan
kader partai Karya perjuangan…

bIcara masalah Manajemen Partai Politik memang sangat-sangat susah tetapi sangat
diperlukan bagi sebuah parpol baru akan berkembang, kenapa saya katakan sangat penting
karena manajemen merupakan hal yang utama bagi tumbuh dan berkembangnya suatu parpol
apalagi parpol baru karena , keberhasilan suatu parpol baru, pertama kali yang menjadi
barometer adalah manajemennya..dan bukan jumlah dukungan masa, pengurus maupun
financialnya.

Baiklah saya akan ambil contoh di bidang HUMAS. Karena ini merupakan factor utama dalam
melakukan sosialisasi terhadap public.

Partai politik perlu menerapkan strategi efektif guna mengomunikasikan ide dan gagasannya
pada publik. Konsep,komunikasi yang efektif dapat dijadikan pijakan. Lebih jauh lagi, peran dan
fungsi humas sebagai bagian dari ‘strategic management’ dapat diandalkan untuk memberikan
efek signifikan dalam pencapaian tujuan dari sebuah parpol.

LIBERALISASI itulah corak dunia kita sekarang secara nasional. Inti liberalisasi adalah
persaingan (competition) dan sekaligus pentingnya wujud kerjasama (cooperation). Melalui
kompetisi tersebut semua parpol dihadapkan pada

pertarungan tetapi tidak menutup kemungkinan untuk melakukan kerjasama (koalisi). Partai
politik (parpol) yang tidak mampu berkompetisi juga yang tidak mampu membangun koalisi
pasti akan collapse bahkan bisa tersingkir.

Parpol harus mampu menyiasati perkembangan zaman itu. Menghadapi kompetisi atau
melakukan koalisi adalah langkah membangun prestasi dan melahirkan reputasi sebagai wujud
citra parpol. Untuk berprestasi, meraih reputasi, apalagi membangun citra parpol perlu
mendapat dukungan publik atau masyarakat. Sebab masyarakat itulah sesungguhnya pasar
yang selalu menguji, menilai, dan memberi penghargaan dalam proses liberalisasi. Parpol
harus membangun human relation yang menjadi bagian dari proses peradaban yang
berlangsung sangat dinamis.

Sampai saat ini hampir semua parpol tidak memiliki humas, bahkan kalau ada merupakan
fungsi komplementer dari bidang informasi dan komunikasi (infokom). Dalam hal ini, fungsi
humas hanya secara teknis memublikasikan apa yang menjadi keputusan strategis bidang lain.
Fungsi humas bukan fungsi strategis karena tidak dapat menggerakkan dan mengelola sumber-
sumber komunikasi dengan publik. Sebaliknya humas merupakan fungsi manajemen yang
hanya berperan mengomunikasikan pesan-pesan parpol kepada publiknya.

Dengan demikian parpol yang benar dan baik akan memandang penting makna humas dengan
mengintegrasikan semua fungsi humas menjadi satu fungsi (terintegrasi) dan tidak terpecah
serta tidak menjadi bagian dari bidang lain. Hanya dalam suatu sistem integrasi, humas
memungkinkan untuk mengembangkan komunikasi dalam rangka mengelola strategi dan
mempengaruhi opini publik baik internal maupun eksternal.

Dengan posisi manajemen strategis, humas akan lebih leluasa memberikan kontribusi guna
pencapaian tujuan parpol. Dengan demikian dia mampu mengembangkan program untuk
mengomunikasikan pesan parpol kepada publik, baik internal maupun eksternal.

Di samping itu, implikasinya humas mampu mewarnai terbentuknya budaya parpol, mengelola
iklim komunikasi yang kondusif, serta menumbuhkan peran aktif semua stakeholder parpol.

Dalam kaitan ini, secara garis besar fungsi humas parpol antara lain:

partisipasi dalam manajemen, yaitu terlibat dalam proses pembuatan keputusan strategis,

1. menyegmentasikan publik dan stakeholder utama,


2. menggunakan
3. komunikasi untuk mengelola hubungan dan interaksi dengan target publik,
4. memengaruhi perilaku manajemen, dan
5. mengukur kualitas hubungan dengan stakeholder parpol. Lebih jauh humas
berkontribusi dalam terbentuknya efektivitas parpol guna memenuhi kebutuhan
stakeholder-nya. Kontribusi ini memberikan nilai lebih khususnya untuk mengelola
kegiatan secara strategis dan efektif melalui peningkatan hubungan dengan target
publiknya.

Membentuk Humas Parpol

Manajemen parpol sekarang perlu direnovasi dan dilakukan pembaruan dengan membentuk
bidang humas yang terlepas dari bidang infokom yang sudah ada. Fungsi dan peran humas
yang dibentuk selain menerapkan manajemen strategis juga sebagai mediator antara pimpinan
dengan anggota (internal) dan antara pimpinan dengan publik/masyarakat (eksternal) sehingga
tercipta komunikasi yang harmonis.

Lebih dari itu humas parpol juga memiliki fungsi sebagai komunikator, fasilitator, dan corporate
image building (pembangun citra parpol). Jadi dia menjalankan fungsi pimpinan parpol (role of
the leader) tempat seorang pimpinan parpol mempunyai peran sebagai figur, sebagai
komunikator, dan sebagai pembuat keputusan (interpersonal, informational, and decisional).

Seorang kader praktisi humas parpol yang piawai dalam berkomunikasi dengan media tulisan,
elektronik, bahkan melalui multi media. Kader praktisi humas parpol diharapkan juga dapat
melakukan pembinaan sumber daya manusia internal partai itu, di samping diperlukan kondisi
yang kondusif yang mengarah kepada keterbukaan dan demokratisasi.

Hal ini akan dapat mendorong setiap pimpinan parpol untuk berpikir kritis dan kreatif. Setiap
pimpinan parpol akan mengembangkan pola berpikir alternatif dengan pemahaman mendalam.
Dengan ini diharapkan tumbuh pimpinan parpol yang kritis dan bersikap arif dalam menghadapi
berbagai masalah, tidak hanya asal cepat saja.

Koalisi Bidang Humas Dengan Media Massa

Bentuk nyata komunikasi parpol dapat dilakukan dengan berbagai media cetak secara lisan
atau tertulis, juga media elektronik. Komunikasi tersebut diramu sedemikian rupa sehingga
mampu memengaruhi publik pada umumnya. Ini untuk membangun reputasi parpol, penciptaan
sense of belonging dan pembinaan corporate culture.

Dalam dinamika liberalisasi, suka atau tidak suka, media massa atau pers (cetak atau
elektronik) sangat penting. Apalagi pada era globalisasi informasi sekarang. Pers ada di mana-
mana, dengan para wartawan pada titik sentralnya. Pers juga perlu dimanfaatkan parpol, yang
tentu saja dapat merugikan jika salah memanfaatkannya. Penulis Amerika Herbert NCasson
menyatakan, media massa menjadi kebutuhan pokok dalam perikehidupan masyarakat
modern, yang membimbing mereka dengan berbagai informasi dari pagi sampai petang bahkan
sampai jauh malam selama 24 jam non-stop.

Dalam zaman modern, media massa menjadi indikator penting dari kemajuan suatu negara dan
bangsa. Media massa itu padat modal dan ditangani secara profesional dengan menggunakan
teknologi canggih, terbukti telah melahirkan tiras media cetak dan tayangan jam siaran media
elektronik yang spektakuler. Inilah yang menempatkan media massa menjadi institusi yang luar
biasa kekuatannya di seluruh dunia, dan pengaruhnya sangat kuat, luas, dan tidak ternilai.

Karena itu jika operasionalisasi media massa dilakukan oleh mereka yang tidak profesional,
maka publik dan peradaban akan sangat dirugikan. Sebaliknya jika pers dikendalikan secara
profesional, idealis, dan independen, niscaya akan memberi kontribusi besar dan bermakna
bagi publik dan peradaban.

Itu pula sebabnya humas pada institusi/organisasi pada umumnya, dan humas parpol
khususnya yang tidak mampu memanfaatkan potensi media massa pasti akan tertinggal oleh
perubahan zaman, dan sangat mungkin akan mati lantaran tidak mampu membangun akses
kerjasama dan tidak kuat bersaing.

Humas parpol yang mampu memanfaatkan potensi pers, yakinlah akan mampu bertahan,
bahkan kian maju dan kuat.

Ingat, information is power.

Humas parpol dan media massa sebenarnya dua fenomena dalam dunia informasi yang sangat
sinergi dalam membangun kehidupan bangsa dan negara. Tanpa media massa, humas parpol
akan sulit menyebarluaskan informasi penting, termasuk mengalami kesulitan untuk melakukan
pendekatan dengan publiknya.

Adalah realitas, betapa banyak parpol yang kedodoran oleh hantaman media massa yang
menyuguhkan informasi tidak akurat, tidak bertanggung jawab, dan salah. Hal itu terutama
akibat ketidakmampuan parpol tersebut memanfaatkan peluang yang tersedia pada media
massa, utamanya karena parpol tidak memiliki humas.
Tentu saja landasan pekerjaan humas parpol yang baik haruslah dari lingkup parpol yang baik
pula, sebab humas parpol sama dengan media massa sama-sama melayani hak publik untuk
tahu (right to know), yang otomatis juga mengemban kebenaran informasi.

Parpol mana pun jika tidak memiliki humas yang baik akan terlayani secara buruk pula oleh
pers, yang berimbas kepada buruknya perlindungan publik.

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah “ Partai Politik “ ini sebatas
pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Dan juga kami berterima kasih pada
Bapak Imam Sofyan selaku Dosen mata kuliah Pengantar Ilmu Politik dan Penggerak
Mula yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai Sejarah , Definisi , Fungsi dan Tujuan
Partai Politik sendiri. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini
terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang kami harapkan. Untuk itu,
kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan di masa yang akan
datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun
orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan
kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang
membangun demi perbaikan di masa depan.

Bangkalan , November 2013

Tim penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan dan Manfaat

BAB II PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Partai Politik

B. Asal , Ciri dan Arti

C. Definisi Partai Politik

D. Fungsi Partai Politik

 Fungsi di Negara Demokrasi


- Sebagai sarana Komunikasi Politik
- Sebagai sarana Sosialisasi Politik
- Sebagai sarana Rekrutmen Politik
- Sebagai sarana Pengatur Konflik
 Fungsi di Negara Otoriter
 Fungsi di Negara Berkembang
E. Klasifikasi Sistem Kepartaian

 Sistem Partai Tunggal


 Sistem Dwi Partai
 Sistem Multi Partai
F. Tujuan Partai Politik

G. Benarkah Pengaruh Partai Politik Turun ?


H. Partai Politik di Indonesia

 Zaman Kolonial
 Zaman Pendudukan Jepang
 Zaman Demokrasi Indonesia
- Masa Perjuangan Kemerdekaan
- Zaman Republik Indonesia Serikat
- Masa Pengakuan Kedaulatan
- Zaman Demokrasi Terpimpin
- Zaman Demokrasi Pancasila
- Evaluasi Partai Politik
- Zaman Reformasi

BAB III KESIMPULAN

A. Kritik dan Saran

B. Penutup
LATAR BELAKANG

Partai politik merupakan sarana bagi warga negara untuk turut serta atau berpartisipasi
dalam proses pengelolaan negara. Dewasa ini partai politik sudah sangat akrab di
lingkungan kita. Sebagai lembaga politik, partai bukan sesuatu yang sendirinya ada.
Kelahirannya mempunyai sejarah cukup panjang, meskipun juga belum cukup tua.
Bisa dikatakan partai politik merupakn organisasi yang baru dalam kehidupan manusia,
jauh lebih muda dibandingkan dengan organisasi negara. Dan ia baru ada di negara
modren.
Sebagai subyek penelitian ilmiah, partai politik tergolong relatif muda. Baru pada awal
abad ke-20 studi mengenai masalah ini dimula. Sarjana-sarjana yang berjasa
mempelopori antara lain adalah M. Ostrogorsky(1902), Robert Michels(1911), Maurice
Duverger(1951), dan sigmound Neumann(1956). Setelah itu, beberapa sarjana
behavioralis, seperti Joseph Lapalombara dan Mayron Weiner, secara khusus
meneropong masalah partai dalam hubungan nya dengan pembangunan politik. Dari
hasil sarjana-sarjana ini nampak adanya usaha serius kearah penyusunan suatu teori
yang kompherensip (menyeluruh) mengenai partai politik. Akan tetapi, sampai pada
waktu itu, hasil yang dicapai masih jauh dari sempurna, bahkan bisa dikatakan
tertinggal, bila dibandingka dengan penelitian penelitian bidang lain di dalam ilmu
politik.

Berjalannya suatu Negara pasti tak lepas dari sebuah system politik. Karena
pasti system politik-lah yang menjadi tolak ukur kemajuan dalam suatu negara. Negara
yang maju dapat dipastikan bahwa system politik didalamnya tertata dengan baik.
System politik sendiri dapat diartikan sebagai suatu mekanisme dari seperangkat
fungsi, dimana fungsi-fungsi tadi melekat pada suatu struktur-struktur politik, dalam
rangka pelaksanaan dan pembuatan kebijakan yang mengikat masyarakat.

Dalam suatu sistem politik terdapat berbagai unsur, dan salah satu unsur
tersebut adalah partai politik. Partai politik dalam hubungannya dengan system social
politik ini memainkan berbagai fungsi, salah satunya pada fungsi input, dimana partai
politik menjadi sarana sosialisasi politik, komunikasi politik, rekruitmen politik, agregasi
kepentingan, dan artikulasi kepentingan. Lalu apa sajakah sebenarnya fungsi partai
politik dalam hubungannya dalam proses pembuatan dan penerapan kebijakan di
Indonesia, apabila melihat keadaan sekarang dimana partai politik telah dipandang
sebelah mata oleh masyarakat yang merasa bahwa partai politik tidak lagi membawa
aspirasi masyarakat melainkan keberadaannya hanya dianggap sebagai kendaraan
politik yang dipakai oknum-oknum tertentu untuk menggapai jabatan-jabatan publik di
Indonesia.

PERUMUSAN MASALAH

Suatu hal yang cukup urgen untuk ditanyakan Apa saja fungsi partai politik dalam
suatu Negara, tipologi dan klasifikasi parpol ?

TUJUAN

1. Makalah ini diharapkan bisa mengembangkan kajian studi Ilmu Pemerintahan


khususnya berkaitan mengenai partai politik
2. Diharapkan makalah ini dapat memberikan suatu pelajaran yang berguna mengenai
realita partai politik
SEJARAH PARTAI POLITIK

Partai politik pertama kali lahir di Negara eropa barat , yang bergagasan bahwa rakyat
merupakan faktor yang perlu di perhatikan diproses politik dari situ partai politik lahir
secara spontan dan berkembang penghubung rakyat dengan pemerintah .

Di awal perkembangan decade 18-an di Negara barat seperti inggris dan


prancis di pusatkan pada kelompok politik dalam parlemen kegiatannya bersifat
elitis dan aristokratis mempertahankan kepentingan kaun bangsawan tuntutan raja .

Dengan meluasnya hak pilih , politik pun berkembang di luar parlemen dengan
terbentuknya panitia pemilihan yang tugasnya pengumpulan suara para pendukung
sebelum ada pemilihan umum. Dari situ perlu adanya dukungan dari para golongan
masyarakat , kelompok politik yang nantinya akan mengembangkan organisasi massa
.

Di akhir abad ke -19 lahirlah partai politik dan berkembang jadi penghubung antara
rakyat dengan pemerintah .

Partai dalam prakteknya mengutamakan kemenangan dalam pemilihan umum dan dua
pemilihan umum biasanya kurang aktif , partai politik dirasa kurang memiliki adanya
disiplin dan pemungutan suara iuran tidak terlalu di pentingkan .

Partai mengutamakan kekuatan keunggulan anggota oleh sebab itu banyak yang
menamakan partai massa .

Pimpinan partai yang biasanya sangat sentralitas menjaga kemurnian doktrin poltik
yang di anut dengan jalan mengadakan saringan terhadap calon anggotanya dan
memecat anggota yang menyimpang dari garis partai yang di tetapkan. Maka dari itu ,
partai semacam itu sering dinamakan partai kader , partai ideology atau partai asas. Ia
mempunyai pandangan hidup yang di gariskan dalam kebijakan pimpinan dan
berpedoman pada disiplin partai yang ketat dan mengikat
ASAL , CIRI DAN ARTI

Asal dari partai politik itu sendiri :

1 teori kelembagaan melihat ada hubungan antara parlementer awal dan tarjadilah
partai politik di bentuk oleh kalangan legislative dan eksekutif karena ada kebutuhan
parlemen untuk mengadakan kontak dengan masyarakat dan membina dukungan
masyarakat .

2 teori situasi historik yang melihat timbulnya partai politik sebagai upaya suatu system
politik untuk mengatasi kritis yang di timbulkan dengan perubahan masyarakat secara
luas krisis terjadi bila system politik mengalami masa transisi perubahan masyarakat
tradisional yang sederhana menjadi modern yang berstruktur.

3 teori pembangunan yang melihat partai politik sebagai produk modernisasi sosial
ekonomi seperti pembangunan teknologi komunikasi berupa media massa ,
transportasi , perluasan dan peningkatan pendidikan , industrialisasi , urbanisasi dan
peningkatan kemampuan individu yang mempengaruhi lingkungan .

Jadi , partai politik merupakan produk logis dari modernlisasi sosial ekonomi .

Teori 2 dan 3 memiliki kesamaan bahwa partai politik berkaitan dengan perubahan
yang di timbulkan modernisasi .

Perbedaan kedua teori terletak dalam proses pembentukannya teori kedua


mengatakan bahwa perubahan menimbulkan tiga kritis dan partai politik di bentuk
untukmengatasi kritis sedangkan teori ketiga mengatakan perubahan itu yang
melahirkan kebutuhan adanya partai politik
DEFINISI PARTAI POLITIK

Sebuah partai politik adalah organisasi politik yang menjalani ideologi tertentu atau
dibentuk dengan tujuan khusus. Definisi lainnya adalah kelompok yang terorganisir
yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama.
Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut
kedudukan politik - (biasanya) dengan cara konstitusionil - untuk melaksanakan
kebijakan-kebijakan mereka.

Partai politik adalah sarana politik yang menjembatani elit-elit politik dalam upaya
mencapai kekuasaan politik dalam suatu negara yang bercirikan mandiri dalam hal
finansial, memiliki platform atau haluan politik tersendiri, mengusung kepentingan-
kepentingan kelompok dalam urusan politik, dan turut menyumbang political
development sebagai suprastruktur politik.

Dalam rangka memahami partai politik sebagai salah satu komponen infrastruktur
politik dalam negara, berikut beberapa pengertian mengenai partai politik, yakni:
1. Carl J. Friedrich: partai Politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir
secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasan
pemerintah bagi pemimpin partainya, dan berdasarkan penguasan ini
memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat ideal
maupun materil.
2. R.H. Soltou: partai Politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit
banyaknya terorganisir, yang bertindak sebagai satu kesatuan politik, yang
dengan memanfaatkan kekuasan memilih, bertujuan menguasai pemerintah
dan melaksanakan kebijakan umum mereka.
3. Sigmund Neumann: partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis Politik
yang berusaha untuk menguasai kekuasan pemerintah serta merebut
dukungan rakyat atas dasar persaingan melawan golongan-golongan lain yang
tidak sepaham.
4. Miriam Budiardjo: partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang
anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama
dengan tujuan memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik
(biasanya), dengan cara konstitusional guna melaksanakan kebijakan-
kebijakan mereka.

Secara umum dapat di katakan partai politik adalah suatu kelompok terorganisir yang
anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan
kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik
dengan cara konstitusional untuk melaksanakan programnya.

Partai politik lokal adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga
negara Indonesia yang berdomisili di suatu daerah secara suka rela atas persamaan
kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan, anggota, masyarakat,
bangsa dan negara melalui Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)/Dewan
Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK), Gubernur dan Wakil Gubernur, serta
Bupati dan Wakil Bupati/Wali Kota dan Wakil Walikota.
FUNGSI PARTAI POLITIK

Fungsi partai di masing-masing negara. Di Negara demokrasi partai relative dapat


menjalankan fungsinya sesuai harkatnya pada saat kelahirannya yakni menjadi
wahana bagi warga Negara untuk berpartisipasi dalam pengelolaan kehidupan
bernegara dan memperjuangkan kepentingan nya dihadapan penguasa. Sebaliknya di
Negara otoriter partai tidak dapat menunjukkan harkatnya tetapi lebih banyak
menjalankan kehendak penguasa .

Fungsi utama partai poltik :

- Mencari dan mempertahankan kekuasaan guna mewujudkan program-program yang di


susun berdasarkan ideologi tertentu

Fungsi Partai Politik

Fungsi partai politik menurut Andrew Knapp mencakup antara lain:

1) Mobilisasi dan integrasi,


2) Sarana pembentukan pengaruh terhadap perilaku memilih,
3) Sarana rekruitmen pemilih, dan
4) Sarana elaborasi pilihan-pilihan kebijakan

Menurut Budiardjo (2003), ada empat fungsi partai politik, yaitu komunikasi
politik, sosialisasi politik, rekruitmen politik dan pengelolaan konflik.

 Fungsi di Negara Demokrasi

1) Sebagai Sarana Komunikasi Politik

Dalam hal ini partai politik juga berfungsi untuk menerima banyak ragam
pendapat dan aspirasi yang berkembang setelah itu pendapat akan digabungkan di
olah dan dirumuskan dalam bentuk yang lebih teratur

Partai politik merumuskan usulan-usulan kebijakan yang bertumpu pada


aspirasi dari masyarakat. Kemudian rumusan tersebut diartikulasikan kepada
pemerintah agar dapat dijadikan sebagai sebuah kebijakan. Proses ini menunjukan
bahwa komunikasi antar pemerintah dengan masyarakat dapar dijembatani oleh partai
politik. Dan bagi partai politik mengartikulasikan aspirasi rakyat merupakan suatu
kewajiban yang tidak dapat dielakkan, terutama bila partai politik tersebut ingin tetap
eksis dalam kancah politik nasional.

2) Sebagai Sarana Sosialisasi Politik

Partai politik menjadi penghubung yang mensosialisasikan nilai-nilai politik


generasi yang satu ke generasi yang lain. Pelaksanaan fungsi sosialisasi ini di lakukan
melalui berbagai cara yaitu media massa, ceramah-ceramah, penerangan, kursus
kader, penataran, dsb. Fungsi lain dari sosialisasi politik adalah suatu proses yang
melaluinya seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik
berlaku di masyarakat dimana pun ia berada upaya menciptakan citra (image) bahwa
ia memperjuangkan kepentingan umum.

3) Sebagai Sarana Rekruitment Politik

Berkaitan dengan kepemimpinan dimana partai politik berkewajiban untuk


melakukan seleksi dan rekruitmen dalam rangka mengisi posisi dan jabatan politik
tertentu. Dengan adanya rekruitmen politik maka dimungkinkan terjadinya rotasi calon
mobilitas politik. Tanpa rotasi dan mobilitas politik pada sebuah sistem politik, maka
akan muncul diktatorisme dan stagnasi politik dalam sistem tersebut.Rekruitmen politik
menjamin kontinuitas dan kelestarian partai, sekaligus merupakan salah satu cara
untuk menjaring dan melatih calon-calon pemimpin.
4) Sebagai Sarana Pengatur Konflik (Conflict Management)

Potensi konflik selalu ada di masyarakat , terlebih masyarakat heterogen dari


segi etnis , sosial-ekonomi ataupun agama. Dan perbedaan itu menyimpan potensi
konflik apabila keanekaragaman itu terjadi dinegara yang menganut paham demokrasi
persaingan dan perbedaan pendapat di anggap hal yang wajar Partai politik dapat
menjadi penghubung psikologis dan organisasional antara warga negara dengan
pemerintahnya. Selain itu, partai juga melakukan konsolidasi dan artikulasi tuntutan-
tuntutan yang beragam yang berkembang di berbagai kelompok masyarakat.

FUNGSI DI NEGARA OTORITER

Sifat dan tujuan partai politik bergantung pada situasi apakah partai komunis berkuasa
dinegara dimana ia berada atau tidak. Di Negara dimana partai komunis tidak
berkuasa , partai politik lain dianggap sebagai mewakili kepentingabn kelas tertentu
yang tidak dapat bekerja untuk kepentingan umum. Dalam situasi seperti itu , partai
komunisakan mempergunakan setiap kesempatan dan fasilitas yang tersedia untuk
mencari dukungan seluas-luasnya. Partai komunis bertujuan mencapai kedudukan
kekuasaan yang dapat dijadikan batu loncatan guna menguasai semua partai poltik
yang ada dengan menghancurkan sistem poltik yang demokratis. Maka dari itu partai
ini paling efektif dinegara yang pemerintahannya lemah dan rakyatnya kurang bersatu .

FUNGSI DI NEGARA BERKEMBANG

Di Negara berkembang keadaan poltik sangat berbeda satu sama lain demikian pula
keadaan partai poltiknya menunjukkan banyak sekali variasi. Kecuali di beberapa
Negara yang berlandaskan komunisme seperti Korea Utara partai – partai poltik
umumnya lemah organisasinya dan jarang memiliki dukungan massa yang luas dan
kukuh .
Klasifikasi Sistem Kepartaian

Ada beberapa orang yang menganggap perlu analisis dengan meneliti perilaku partai
sebagai bagain dari suatu sistem cara partai politik itu sendiri berinteraksi dan
dinamakan system kepartaian dan ada 3 kategori didalamnya yaitu :

 Sistem Partai Tunggal


Pola partai tunggal terdapat dibeberapa negara: Afrika, China, dan Kuba, sedangkan
dalam masa jayanya Uni Soviet dan beberapa negara Eropa Timur termasuk dalam
kategori ini. Suasana kepartaian dinamakan non-kompetitif karena semua partai harus
menerima pimpinan dari partai yang dominan dan tidak dibenarkan bersaing
dengannya. Terutama dinegara-negara yang baru lepas dari kolonialisme
kecenderungan kuat untuk memakai pola sistem partai-tunggal pimpinan diharapkan
dengan masalah bagaimana mengintegrasikan berbagai golongan, daerah, serta suku
bangsa yang berbeda corak sosial serta pandangan hidupnya. Fungsi partai adalah
menyakinkan atau memaksa masyarakat untuk menerima persepsipimpinan parti
mengenai kebutuhan utama dari masyarakat seluruhnya. Negara yang paling berhasil
dalam menyingkirkan partai lain ialah Uni Soiet pada masa jayanya. Partai Uni Soviet
bekerja dalam suasana yang non-kompetitif, tidak ada partai lain yang diperbolehkan
bersaing, oposisi dianggap sebagai penghianatan. Partai-tunggal serta organisasi yang
bernung dibawahnya berfungsi sebagai pembimbing dan penggerak masyarakat dan
menekankan perpandauan dari kepentigan partai kepentingan rakyat secara
menyeluruh.

 Sistem Dwi Partai


Dalam kepustkaan ilmu politik pengertian sistem dwi-partai biaasanya diartikan bahwa
ada dua partai, yang berhasil memenangkan dua tempat teratas dalam pemilihan
umum secara bergiliran, dan dengan demikian mempunyai kedudukan dominan.
Dalam sistem ini partai-partai dengan jelas dibagi dalam partai yang berkuasa (karena
menang dalam pemilihan umum) dan partai oposisi ( karena kalah dalam pemilihan
umum).dengan demikian dengan jelas dimana letak tanggung jawab mengenai
pelaksanaan kebijakan umum. Dalam sistem ini partai yang kalah berperan sebagai
pengancam utama tapi yang setia (loyal opposition) terhadap kebjakan partai yang
duduk dalam pemerintahan, dengan pengertian bahwa peran ini sewaktu-waktu dapat
bertukar tangan. Dalam persaingan memenangkan pemilihan umum kedua partai
berusaha untuk merebut dukunygan orang-orang yang ada ditengah kedua partai dan
sering dinamakan pemilihan terapung (floating vote) atau pemilih ditengah (median
vote).
Pengaruh partai ini biasanya terbatas, tetapi kedudukanya berubah menjadi sangat
krusial pada saat perbedaan dalam perolehan suara dari kedua partai besar dalam
pemilihan umum sangat kecil. Dalam situasi seperti ini partai pemenang terpaksa
membentuk koalisi dengan partai leberal demokrat atau partai kecil lainnya.
Pada umumnya dianggap bahwa sistem dwi-partai lebih konduktif untuk terpeliharanya
stabilitas karena ada perbedaan yang jelas antara partai pemerintah dan partai oposisi.
Akan tetapi perlu juga diperhatikan dalam masyarakat yag terpolarisasi sistem dwi-
partai malahan dapat mempertajam perbedaan pandangan antara kedua belah pihak,
karena tidak ada kelompok ditengah-tengah yang dapat meredakan suasana konflik.
Sistem dwi-partai umumnya diperkuat dengan dipergunakan sistem pemilihan single-
member counstituency (Sistem Distrik) dimana dalam setiap daerah pemilihan hanya
dapat dipilih satu saja.

 Sistem Multi Partai


Umumnya dianggap bahwa keaneragaman budaya politik suatu masyarakat
mendorong pilihan kearah sistem multi-partai. Perbedaan tajam antara ras, agama,
atau suku bangsa mendorong golongan-golongan masyarakat lebih cendrung
menyalurkan ikatan-ikatan terbatasnya (primoedial) dalam suatu wadah yang sempit
saja. Dianggap bahwa pola multi-partai lebih sesuai dengan pluralitas budaya dan
politik dari pada pola dwi-partai. Sistem multi-partai ditemukan antara lain di Indodesia
Malaysia, Nederland, Australia, Prancis, Swedia, dan Federasi Rusia. Prancis
mempunyai jumlah partai yang berkisar 17 dan 28, sedangkan di Federasi Rusia
sesudah jatuhnya partai komunis jumlah partai mencapai 43.
Sistem multi-partai, apalagi jika dihubungkan dengan sistem pemerintahan
parlementer, mempunyai kecendrungan untuk menitikberatkan kekuasan pada badan
legislatif, sehingga peran badan eksekutif sering lemah dan ragu-ragu. Indonesia
mempunyai sejarah panjang dengan berbagai jenis sistem multi-partai. Sistem ini telah
melalui beberapa tahap dengan bobot kompetitif yang berbeda-beda. Mulai 1989
indonesia berupaya untuk mendirikan suatu sistem multi-partai yang mengambil unsur-
unsur positif dari pengalaman masa lalu, sambil menghindari unsur negatifnya.
Tujuan Partai Politik

a. Tujuan parpol secara umum

Partai politik yang ada haruslah memilki tujuan yang bersifat umum. Dalam hal
ini bertujuan untuk kepentingan masyarakat dan bangsa secara keseluruhan. Tujuan
partai politik secara umum sebagai berikut :

 Partai politik untuk mewujudkan cita-cita nasional dari suatu bangsa yang sebagai
mana tercantum dalam pembukaan Undang-undang Dasar republik Indonesia tahun
1945. Tujuan idealnya adalah bukan unuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu,
melainkan untuk seluruh bangsa Indonesia. Tidak peduli akan adanya perbedaan baik
suku, bahasa, budaya, agama, dan lainnya.
 Menjaga dan memelihara keutuhan Negara kesatuan republik Indonesia. Partai politik
didirikan bukanlah untuk memecah persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karena itu,
segala tindakan yang sifatnya menggagu persatuan dan kesatuan bangsa dilarang.
 Partai politik juga didirikan bertujuan untuk mengembangkan kehidupan demokrasi
yang berdasarkan pancasila dan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat di dalam Negara
republik Indonesia. Dengan adanya partai politik, kehidupan demokrasi dapat
berkembang sehingga kedaulatan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dapat
tercapai serta mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

b. Tujuan parpol secara khusus

Tujuan khusus partai politik ini sifatnya lebih ke dalam partai politik itu sendiri
atau apa yang di raih oleh partai politik tersebut dalam lingkup dirinya sendiri.
Beberapa tujuan khusus atau misi yang harus dicapai oleh suatu partai politik, yaitu
sebagai berikut:

 Partai politik meningkatkan partisipasi politik baik bagi anggota dan juga masyarakat
Indonesia dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintah.
 Sebuah partai politik harus memperjuangkan cita-cita partai politik dalam kehidupan
bemasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Partai politik harus memiliki kemampuan untuk membangun etika dan budaya politik,
baik dalam kehidupan bemasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Benarkah Pengaruh Partai Politik Turun ?

Memang akhir – akhir ini terutama di barat menggambarkan kurangnya jumlah anggota
resmi dan partai politik , kemunduran ini terjadi karena partai dan parlemen dianggap
tidak lagi mewakili rakyat banyak kehidupan politik modern begitu kompleks dengan
tumbuhnya globalisasi di bidang ekonomi dll baik nasional ataupun internasional.
Akibatnya baik partai atau parlemen tidak dapat menyelesaikan masalah seperti
lingkungan , hak perempuan dll. Kritik pun lebih mengutamakan kepentingan sendiri
daripada umum .

Partai Poltik Indonesia

Di Indonesia sendiri partai politik merupakan bagian dari kehidupan selama kurang
lebih seratus tahun. Umumnya dianggap bahwa partai poltik adalah sekelompok
manusia terorganisir yang anggota – anggotanya sedikit banyak mempunyai orientasi
nilai dan cita – cita yang sama dan tujuan untuk memperoleh kekuasaan politik dan
mempertahankan untuk melaksanakan program yang di tetapkan .

Di tahun 1988 masa reformasi Indonesia kembali ke sistem multi partai

 Zaman Kolonial
Partai Politik lahir pada zaman colonial sebagai manifestasi yaitu bangkitnya
kesadaran nasional. Di suasana itu organisasi bertujuan sosial apa tidak , menganut
system politik/agama. Pola kepartaian masa itu menunjukkan keanekaragaman dan
pola ini kita hidupkan kembali pada zaman merdeka dalam bentuk sistem multi partai.
Pola kepartaian di bentuk di zaman kolonial dan dilanjutkan menjadi landasan
terbentuknya sistem multi partai di zaman merdeka.

 Zaman Pendudukan Jepang


Rezim pemerintah jepang yang sangat represif bertahan sampai tiga setengah tahun.
Sumber daya alam atau tenaga manusia dikerahkan untuk menunjang perang “Asia
Timur Raya” dalam rangka itu semua partai di bubarkan dan setiap kegiatan politik
dilarang. Hanya golongan islam diperkenankan membentuk suatu organisasi sosial
yang dinamakan masyumi.

 Zaman demokrasi Indonesia

- Masa Perjuangan Kemerdekaan ( 1945-1949 )

Menyerahnya tentara hindia belanda kepada tentara jepang , disusul dengan


kekalahan jepang membulatkan tekad untuk melepaskan diri baik dari konolisme
belanda maupun fasisme jepang dan mendirikan suatu negara modern yang
demokratis

- Zaman Republik Indonesia Serikat ( 1949-1950 )

Masa partai ini politik secara aktif mendukung usaha menggabungkan negaranya
bagian ke dalam Negara kesatuan republik Indonesia , konstelasi partai politik tidak
banyak berubah

- Masa Pengakuan Kedaulatan ( 1949-1959 )

Sesudah dejure bulan desember 1949 akhirnya diakui oelh dunia luar dan sesudah
uud sementara bulan agustus 1950 kabinet koalisi berjalan terus. Semua koalisi
melibatkan kedua partai besar yaitu Masyumi dan PNI bersertakan partai pengikutnya ,
koalisi partai besar menyebabkan kabinet terus silih berganti

- Zaman Demokrasi Terpimpin ( 1959-1965 )

Di tandai pertama dengan diperkuatkan kedudukan presiden antara lain di tetapkannya


presiden seumur hidup melalui TAP MRP No III/1963 , pengurangan peranan partai
politik kecuali PKI , peningkatan peranan militer sebagai kekuatan sosial politik

- Zaman Demokrasi Pancasila ( 1965-1998 )

Tindakan MPRS ialah mencabut kembali ketetapan No III/1963 tentang penetapan


presiden soekarno sebagai presiden seumur hidup , tindakan yang dilakukan oleh orde
baru adalah pembubaran PKI melalui TAP MPRS No.XXV/1966 dan partindo menjalin
hubungan erat dengan PKI

- Evaluasi Partai Politik ( 1945-1998 ) dan Rekomendasi

Partai Politik di Indonesia berdiri sejak masa colonial dan menjalani beberapa fase
perkembangan sesuai dengan rezim yang membentuknya di masa colonial partai
politik lahir sebagai manifestasi bangkitnya kesadaran nasional .

- Zaman Reformasi

Bermula ketika presiden Soeharto turun dari kekuasaan 21 mei 1998. Sejak itu ada
tekanan atau desakan agar di adakan pembaruan kehidupan politik ke arah yang lebih
demokratis , diharapkan usaha ini dapat memanfaatkan pengalaman kolektif selama
tiga periode .

KESIMPULAN
Secara umum kita dapat mendefinisikan bahwa parai politik adalah suatu kelompok
yang teroganisir yang anggota-anggotanya memppunyai sebuah orientasi, nilai-nilai,
dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah memperoleh sebuah kekuasaan
politik dan merebut kedudukan politik yang biasanya di raih lewat konstitusional untuk
melakukan kebijakan-kebijakan dalam mencapai tujuan mereka.
Perlu diterangkan bahwa partai politik sangat berbeda dengan gerakan (movement)
dan berbeda juga dengan kelompok penekan (pressur group) atau istilah yang lebih
banyak digunakan pada dewasa ini yang memang memperjuangkan suatu
kepentingan kelompok, atau memang ingin melakukan perubahan terhadap paradigma
masyarakat kearah yang lebih baik.

SARAN

Untuk tetap memperbaiki citra partai politik sebagai institusi demokrasi, tentu partai
politik lebih maksimal memikirkan nasib masyarakat ketimbang memperebutkan kursi
kekuasaan. Sedangkan dalam konteks konflik internal partai politik, meminimalisir
mungkin adanya sikap politik yang bisa merusak citra partai politik itu sendiri, tetap
membuka adanya ruang bagi kedua pihak yang bertikai untuk melakukan komunikasi
politik yang lebih sehat dan lebih konsisten pada aturan main organisasi.
Konflik tentu tidak bisa dihindari, tetapi partai politik juga harus memberikan ruang bagi
terbangunnya suatu sistem manajemen konflik yang lebih baik. Agar konflik personal
maupun kelompok maupun yang terjadi diluar partai tidak bisa berkembang, mampu
kendalikan sehingga tidak melahirkan suasana ketegangan yang apalagi perlaku
negatif yang bisa merusak. Manajemen konflik juga penting dalam mengelola masalah
tersebut sebelum diselesaikan secara organisasi, atau minimal bisa secara efektif
mencegah adanya perpecahan ditubuh partai. Sebagaimana yang dipikirkan oleh Ross
(1993) sebagai seorang ahli dalam manajemen konflik, bahwa manajemen konflik
berupa penyelesaian konflik dan bisa jadi menghasilkan ketenangan, hal positif,
mufakat dan lebih kreatif. Masih ada waktu bagi para pemimpin partai untuk melakukan
perubahan di dalam partainya. Kepemimpinan kharismatis haruslah diabdikan untuk
kepentingan semua kader, bukan kelompok. Kepemimpinan model itu harus dipadukan
dengan manajemen pengelolaan partai yang modern, terbuka dan demokratis,
termasuk dalam mengelolah konflik. Hanya dengan menerapkan manajemen modern,
partai bisa eksis dan mendapat simpati pendukungnya.

PENUTUPAN
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan
dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena
terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada
hubungannya dengan judul makalah ini.

Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman dusi memberikan kritik dan
saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan
penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini
berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada
umumnya.

makalah tentang partai politik


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat waktu.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak selaku dosen
pengasuh mata kuliah Pengantar Ilmu Pemerintahan sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini dengan judul ” PARTAI POLITIK”.
Penulis berharap kepada pembaca agar bisa menyampaikan kritik dan saran yang sifatnya
membangun demi kesempurnaan yang lebih baik untuk makalah ini.
Akhir kata penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang
membutuhkan makalah ini.

Pekanbaru,Mei 2010

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………. i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………… ii
BAB I. PENDAHULUAN……………………………………………………………… 1
1.1 Latar Belakang ………………………………………………………………………... 1
1.2 Perumusan Masalah ……….…………………………..……………………………….. 1
1.3 Tujuan dan Kegunaan …………………………………………………………………... 2
1.4 Tinjauan Pustaka ………………………………………………………………………… 2
BAB II. PEMBAHASAN……………………………………………………………...
2.1 Fungsi Partai Politik………….……………………………………………... 4
2.1.1 Fungsi di Negara Demokrasi ………………………………………….. 4
A. Sebagai Sarana Komunikasi Politik……………………………….. 4
B. Sebagai Sarana Sosialisasi Politik …………………………………. 6
C. Sebagai Sarana Rekrutmen Politik ………………………………….. 7
D. Sebagai Sarana Pengatur Konflik …………………………………… 8
2.1.2 Fungsi di Negara Otoriter ……………………………………………… 9
2.1.3 Fungsi di Negara-Negara Berkembang …………………………………11
2.2 Tipologi Partai Politik …………………………………………………………...13
2.2.1 Asas dan Orientasi ………………………………………………………13
2.2.2 Komposisi dan Fungsi Anggota ………………………………………....14
2.2.3 Basis Sosial dan Tujuan …………………………………………………15
2.3 Klasifikasi Sistem Kepartaian ……………………………………………….…...17
2.3.1 Sistem Partai-Tunggal ……………………………………………………17
2.3.2 Sistem Dwi-Partai ………………………………………………………18
2.3.3 Sistem Multi Partai ……………………………………………………..19
BAB III. PENUTUP …………………………………………………………………… 23
3.1 Kesimpulan ………..……………………………………………………………………. 23
3.2 Saran …....……………………………………………………………………………... 22
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………….. 24
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Partai politik merupakan sarana bagi warga negara untuk turut serta atau berpartisipasi dalam
proses pengelolaan negara. Dewasa ini partai politik sudah sangat akrab di lingkungan kita.
Sebagai lembaga politik, partai bukan sesuatu yang sendirinya ada. Kelahirannya mempunyai
sejarah cukup panjang, meskipun juga belum cukup tua. Bisa dikatakan partai politik merupakn
organisasi yang baru dalam kehidupan manusia, jauh lebih muda dibandingkan dengan
organisasi negara. Dan ia baru ada di negara modren.
Sebagai subyek penelitian ilmiah, partai politik tergolong relatif muda. Baru pada awal abad
ke-20 studi mengenai masalah ini dimula. Sarjana-sarjana yang berjasa mempelopori antara
lain adalah M. Ostrogorsky(1902), Robert Michels(1911), Maurice Duverger(1951), dan
sigmound Neumann(1956). Setelah itu, beberapa sarjana behavioralis, seperti Joseph
Lapalombara dan Mayron Weiner, secara khusus meneropong masalah partai dalam hubungan
nya dengan pembangunan politik. Dari hasil sarjana-sarjana ini nampak adanya usaha serius
kearah penyusunan suatu teori yang kompherensip (menyeluruh) mengenai partai politik.
Akan tetapi, sampai pada waktu itu, hasil yang dicapai masih jauh dari sempurna, bahkan bisa
dikatakan tertinggal, bila dibandingka dengan penelitian penelitian bidang lain di dalam ilmu
politik.

1.2 Perumusan Masalah

Suatu hal yang cukup urgen untuk ditanyakan Apa saja fungsi partai politik dalam suatu
Negara, tipologi dan klasifikasi parpol ?

1.3 Tujuan Kegunaan

1. Makalah ini diharapkan bisa mengembangkan kajian studi Ilmu Pemerintahan khususnya
berkaitan mengenai partai politik
2. Diharapkan makalah ini dapat memberikan suatu pelajaran yang berguna mengenai realita
partai politi

1.4 Tinjauan Pustaka


Menurut Carl J. Friedrich partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara
stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi
pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini,memberikan kepada anggota paartainya
kemanfaatan yang bersifat idiil serta materiil (A political, party is a groupof human being,stably
organized with the objective of securing or maintaining for its leadersthe control of a
government, with the further objective of giving to members of the party,through such control
ideal and material benefits and advantages)4.

Menurut Sigmund Neumann partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang
berusaha untuk menguasai kekuassaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat melalui
persaingan dengan satu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan
yang berbeda (A political party is the articulate organization of society’s active political
agents;those who are concerned with the control of governmental polity power,and who
compete for popular support with other group or groups holding divergent views)5.

Menurut Neumann, partai politik merupakan perantara yang besar yang menghubungkan
kekuatan-kekuatan dan ideology social dengan lembaga-lembaga pemerintahan yang resmi.

4Friedrich, Constitutional Government and Democracy, hlm 419.


5Sigmund Neumann.”Modern Political Parties,”dalam Comparative Politics:A Readers,diedit
oleh HarryEckstein dan David E. Apter (London: The Free Press Of Glencoe,1963), hlm . 352.
Ahli lain yang juga turut merintis studi tentang kepartaian dan membuat definisinya adalah
Giovanni Sartori, yang karyanya juga menjadi klasik serta acuan penting. Menurut Sartori
Partai politik adalah suatu kelompok politik yang mengikuti pemilihan umum itu, mampu
menempatkan calon—calonnya untuk menduduki jabatan-jabatan public ( A party is political
group thet present at elections,and is capable of placing through elections candidates for
public office).6
6 G Sartori,, Parties and Party Systems, hlm. 63.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Fungsi Partai Politik

Fungsi utama partai politik adalah mencari dan memperrtahankan kekuasaan guna
mewujudkan program-program yang berdasarkan ideology tertentu. Ada pandangan yang
berbeda secara mendasar mengenai partai politik di Negara yang demokratis dan di negara
yang otoriter. Perbedaan pandangan tersebut berimplikasi pada pelaksanan tugas atau fungsi
partai di masing-masing Negara. Di Negara demokrasi partai relative dapat menjalankan
fungsinya sesuai dengan harkatnya pada saat kelahirannya, yakni menjadi wahana bagi warga
Negara untuk berpartisipasi dalam mengelolah kehidupan bernegara dan memperjuangkan
kepentingannya dihadapan penguasa. Sebaliknya di Negara otoriter, partai tidak dapat
menunjukkan harkatnya, tetepi lebih bahwa menjalankan kehendak penguasa.
Berikut ini diuraikan secara lebih lengkap fungsi partai politik di Negara-negara demokratis,
otoriter, dan Negara-negara berkembang yang berada dalam transisi ke arah dekokrasi.
Penjelasan fungsi partai polituk di Negara otoriter akan di paparkan dalam contoh partai-partai
Negara-negara komunis pada masa jayanya

2.1.1 Fungsi di Negara Demokrasi

A. Sebagai Sarana Komunikasi Politik


Di masyarakat modern yang luas dan kompeks, banyak ragam pendapat dan aspirasi yang
berkembang. Pandapat atau aspirasi seseorang atau suatu kelompok yang hilang tak berbekas
seperti suara di padang pasir, apabila tidak ditampung dan di gabung dengan pendapat atau
aspirasi orang lain yang senada. Proses ini dinamakan penggabungan kepentingan (interest
aggregation). Sesudah digabungkan, pendapat dan aspirasi tadi di olah dan dirumuskan dalam
bentuk yang lebih teratur. Proses ini dinamakan perumusan kepentingan (interest
articulation).
Seandainya tidak ada yang mengagregasi dan mengartikulasi, niscaya pendapat atau aspirasi
tersebut akan simpang siur dan saling berbenturan, sedangkan dengan agregasi dan artikulasi
kepentingan kesimpang siuran dan benturan dikurangi. Agregasi dan artikulasi itulah salah satu
fungsi komunikasi partai politik.
Setelah itu partai politik merumuskannya menjadi usul kebijakann. Usul kebijakan ini
dimasukkan ke dalam progam atau platform partai (goal formulation) untuk diperjuangkan
atau di sampaikan melalui parlemen kepada pemerintah agar dijadikan kebijakan umum
(public policy). Demikianlah tuntutan dan kepentingan masyarakat disampaikan kepada
pemerintah melalui partai politik.
Di sisi lain, partai politik juga berfungsi memperbincangkan dan menyebarluaskan rencana-
rencana dan kebijakan-kebijakan pemerintah. Dengan demikian terjadi arus informasi dan
dialog dua arah, dari atas ke bawah dan dari bawah keatas. Dalam pada itu partai politik
memainkan peran sebagai penghubung antara yang memerintah dan yang diperintah. Peran
partai sebagai jembatan sangat penting, karena I satu pihak kebijakan pemerintah perlu
dijelaskan kepada semua kelompok masyarakat, dan di pihak lain pemerintah harus tanggap
terhadap tuntutan masyarakat.
Dalam menjalankan fungsi inilah partai politik sering disebut sebagai pesantara (broker) dalam
suatu bursa ide-ide (clearing house of ideas). Kadang-kadang juga dikatakan bahwa partai
politik bagi pemerintah bertindak sebagai alat pendengar, sedangkan bagi warga masyarakat
sebagai “pengeras suara”.
Menurut Sigmund Neumann dalam hubungannya dengan komunikasi politik, partai politik
merupakan perantara yang besar yang menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideology
sosial dengan lembaga pemerintah yang resmi dan yang mengaitkannya dengan aksi politik di
dalam masyarakat politik yang lebih luas. 1
Akan tetapi sering terdapat gejala bahwa pelaksanaan fungsi komunikasi ini, sengaja atau tidak
sengaja, menghasilkan informasi yang berat sebelah dan malahan meimbulkan kegelisahan
dan keresahan dalam masyarakat. Misinformasi semacam itu menghambat berkembangnya
kehidupan politik yang sehat.

1 Sigmund Neumann “Modern Political Parties,” hlm. 352.


B. Sebagai Sarana Sosialisasi Politik
Dalam ilmu politik diartikan sebagai suatu proses yang melaluinya seseorang memperoleh
sikap dan orientasi tehadap fenomena politik yang umumnya berlaku dalam masyarakat di
mana ia berada. Ia adalah bagian dai proses yang menentukan sikap politik seseorang,
misalnya mengenai nasionalisme, kelas sosial, suku bangsa, ideology, hak dan kewajiban.
Dimensi lain dari sosialisasi politik adalah sebagai proses yang melaluinya masyarakat
menyampaikan “budaya politik” yaitu norma-norma dan nilai-nilai, dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Dengan demikian sosialisasi politik merupakan factor yang penting dalam
terbentuknya budaya pilitik (political culture) suatu bangsa.

Suatu definisi yang dirumuskan oleh seorang ahli sosiologi politik M. Rush (1992) :

Sosialisasi politik adalah proses yang melaluinya orang dalam masyarakat tertentu belajar
mengenali system politiknya. Proses ini sedikit banyak menentukan persepsi dan reaksi mereka
terhadap fenomena politik (political socialization may be depined is the prosess by which
individuals in a given society become acquainted with the political system and which to a
certain degree determines their perceptions and their reactions to political phenomena). 2
Proses sosialisasi berjalan seumur hidup, terutama dalam masa kanak-kanak. Ia berkembang
melalui keluarga, sekolah, peer group, tempat kerja, pengalaman sebagai orang dewasa,
organisasi keagamaan, dan partai politik, ia juga menjadi penghubung yang mensosialisasikan
nilai-nilai politik generasi yang satu ke generasi yang lain. Di sinilah letaknya partai dalam
memainkan peran sebagai sarana sosialisasi politik.pelaksanaan fungsi sosialisasinya dilakukan
melalui berbagai cara yaitu media massa, ceramah-ceramah, penerangan, kursus karder,
penataran dan sebagainya.

2 M.Rush,Politics and Society: An Introduction to Political Sociology(Hemel Hempstead:


Harvest Wheatsheap,1992),hlm. 92.
Sisi lain dari fungsi sosialisasi politik partai adalah upaya menciptakan citra (image) bahwa ia
memperjuangkan kepentingan umum. Ini penting jika dikaitkan dengan tujuan partai untuk
menguasai pemerintahan melalui kemenangan dalam pemilihan umum. Karena itu partai
harus memperoleh dukungan seluas mungkin, dan partai berkepentingan agar para
pendukungnya mempunyai solidaritas yang kuat dengan partainya.
Ada lagi yang lebih tinggi nilainya apabila partai politik dapat menjalankan fungsi sosialisasi
yang satu ini, yakni mendidik anggota-anggitanya menjadi manusia yang sadar akan tanggung
jawabnya sebagai warga Negara dan menepatkan kepentingan sendiri di bawah kepentingan
nasional. Secara khusus perlu disebutkan di sini bahwa di Negara-negara yang baru merdeka,
partai-partai politik juga di tuntut berperan memupuk identitas nasional dan integrasi nasional.
Ini adalah tugas lain dalam kaitannya dengan sosialisasi politik.
Namun, tidak dapat disangkal adakalanya partai mengutamakan kepentingan partai atas
kepentingan nasional. Loyalitas yang diajarkan adalah loyalitas kepada partai, yang melebihi
loyalitas kepada Negara. Dengan demikian ia mendidik pengikut-pengikutnya untuk melihat
dirinya dalam konteks yang sangat sempit. Pandangan ini malahan dapat mengakibatkan
pengotakan dan tidak membantu proses integrasi, yang bagi Negara-negara berkembang
menjadi begitu penting.

C. Sebagai Sarana Rekrutmen Politik


fungsi ini berkaitan erat dengan masalah seleksi kepemimpinan, baik kepemimpinan internal
partai maupun kepemimpinan nasional yang lebih luas. Untuk kepentingan internalnya, setiap
partai butuh kader-kader yang berkualitas, karena hanya dengan kader yang demikian ia dapat
menjadi partai yang mempunyai kesempatan lebih besar untuk mengembangkan diri. Dengan
mempunyai kader-kader yang baik, partai tidak akan sulit menentukan pimpinannya sendiri
dan mempunyai peluang untuk mengajukan calon untuk masuk ke bursa kepemimpinan
nasional.
Selain untuk tingkatan seperti itu partai politik juga berkepentingan memperluas atau
memperbanyak keanggotaan. Maka ia pun berusaha menarik sebanyak-banyaknya orang
untuk menjadi anggotanya. Dengan didirikannya organisasi-organisasi massa (sebagai
onderbouw) yang melibatkan golongan-golongan buruh, petani, pemuda, mahasiswa, wanita
dan sebagainya, kesempatan untuk berpartisipasi diperluas. Rekrutmen politik menjamin
kontinuitas dan kelestarian partai, sekaligus merupakan salah satu cara untuk menjaring dan
melatih calon-calon pemimpin. Ada berbagai cara untuk melakukan rekrutmen politik yaitu
melalui kontrak pribadi, persuasi, ataupun cara-cara lain.

D. Sebagai Sarana Pengatur Konflik (Conflict Management)


Potensi konflik selalu ada di setiap masyarakat, apalagi di masyarakat yang bersifat heterogen,
apakah dari segi etnis (suku bangsa), social-ekonomi, ataupun agama. Setiap perbedaan
tersebut menyimpan potensi konflik. Apabila keanekaragaman itu terjadi di Negara yang
menganut paham demokrasi, persaingan dan perbedaan pendapat dianggap hal yang wajar
dan mendapat tempat. Akan tetapi di dalam Negara yang heterogen sifatnya, potensi
pertentangan lebih besar dan dengan mudah mengundang konflik.
Disini paran partai diperlukan untuk membantu mengatasinya, atau sekurang-kurangnya dapat
diatur sedemikian rupa sehingga akibat negatifnya dapat ditekan seminimal mungkin. Elite
partai dapat menumbuhkan pengertian di antara mereka dan bersamaan dengan itu juga
meyakinkan pendukungnya.
Pada tataran yang lain dapat dilihat pendapat dari ahli yang lain, Arend Lijphart (1968).
Menurut Lijphart: Perbedaan-perbedaan atau perpecahan ditingkat massa bawah dapat diatasi
oleh kerja sama diatara elite-elite politik. (Segmented or subcultural cleavegas at the mass
level could be overcome by elite cooperation). 3 Dalam konteks kepartaian, para pemimpin
partai adalah elite politik.

3 Arend Lijphart, Electoral Systems and Party Systems, ed. Ke-2 (Oxpord University Press,1995)
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa partai politik dapat ,menjadi penghubung psikologis dan
organisasional antara warga Negara dengan pemerintahannya. Selain itu partai juga
melakukan konsolidasi dan srtikulasi tuntutan-tuntutan yang beragam yang berkembang di
berbagai kelompok masyarakat. Partai juga merekrut orang-orang untuk diikutsertakan dalam
kontes pemilihan wakil-wakil rakyat dan menemukan orang-orang yang cakap untuk
menduduki posisi-posisi ekskutif. Pelaksanaan fungsi-fungsi ini dapat dijadikan instrument
untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan partai politik dinegara demokrasi.
Di pihak lain dapat dilihat bahwa sering kali partai melahan mempertajam pertentangan yang
ada. Dan jika hal ini terjadi dalam suatu masarakat yang redah kadar consensus nasionalnya,
peran semacan ini dapat membahayakan stabuilitas politik.

2.1.2 Fungsi di Negara Otoriter


Hal-hal yang dijelaskan dibagian terdaluhu adalah fungsi-fungsi partai menurut pandangan
yang berkembang dinegara yang menganut paham demokrasi. Kini, marilah kita lihat
bagaimana paham Negara otoriter, misanya bagaimana komunisme di Uni Soviet memandang
paham politik. Pada kenyataanya pandangan tersebut memang berbeda. Contoh lain Negara
yang otoriter adalah China dan Kuba. Tetapi disini hanya dibahas komunisme di Uni Soviet
masa lampau.
Menurut paham komunis, sifat dan tujuan partai politik bergantung pada situasi apakah parati
komunis berkuasa di Negara di mana partai komunis tidak berkuasa, partai-partai politik lain
dianggap sebagai mewakili kepentingan kelas tertentu yang tidak dapat bekerja untuk
kepentingan umum. Dalam situasi seperti itu, partai komunis akan mempergunakan setiap
kesempatan dan fasilitas yang tersedia (seperti yang banyak terdapat di Negara-negara
demokrasi) untuk untuk mencari dukungan seluas-luasnya. Partai ini menjadi paling efektif di
Negara yang pemerintahannya lemah dan yang rakyatnya kurang bersatu.4

4Gwendolen M. Carter dan John H. Herz, Government and Politics in the Twentieth Century
(New York:Friederick A. Praeger,1965),hlm. 111
Akibat karakter nya yang demikian, partai komunis sering dicurigai dan dibeberapa Negara
bahkan dilarang. Akan tetapi tindakan semacam itu juga ada bahayanya. Sebab dalam keadaan
seperti itu partai akan bergerak di bawah tanah, sehingga justru sukar diawasi. Apabila tidak
menemukan jalan untuk merebut kekasaan, partai akan mencoba mencapai tujuannya melalui
kerja sama dengan partai-partai lain dengan mendirikan Front Rakyat atau Front Nasional
(popular front tactics).
Berbeda halnya apabila partai komunis berkuasa. Disini partai komunis mempunyai kedudukan
monopolistis, dan kebebasan bersaing ditiadakan. Dapat saja ia menentukan dirinya sebagai
partai tunggal atau sekurang-kurangnya sebagai partai yang paling dominan, seperti yang
terjadi di Uni Soviet, China, dan Negara-negara komunis Eropa Timur.
Tujuan partai komunis adalah membawa masyarakat ke arah terciptanya masyarakat yang
modern dengan ideology komunis, dan partai berfungsi sebagai “pelopor revolusioner” untuk
mencapai tujuan itu. Partai Komunis Uni Soviet yang berkuasa dari tahun 1917 sampai 1991
merupakan partai seperti itu.
Partai komunis memengaruhi semua aspek kehidupan masyarakat melalui konsep jabatan
rangkap. Begitu pula halnya dengan pemimpin semua badan kenegaraan seperti bdan ekskutif
dan badan yudikatif. Sekretaris Partai Komunis lebih berkuasa dari presiden (ketua presidium).
Maka dari itu Uni Soviet sering dinamakan Negara totaliter.
Fungsi sebagai sarana sosialisasi politik lebih ditekankan pada aspek pembinaan warga Negara
kea rah kehidupan dan cara berpikir yang sesuai dengan pola yang ditentukan oleh partai.
Dinegara-negara demokrasi partai berperan untuk menyelenggarakan integrasi warga Negara
kedalam masyarakat umum.
Partai juga berfungsi sebagai sarana rekrutan politik.calon anggota harus menjalani masa
percobaan di mana ia harus memenuhi standart-standart ketat mengenai pangabdian dan
kelakuan. Yang ditetapkan oleh partai komunis. Akan tetapi karena iklim politik tidak
kompetitif maka pemilihan umum tidak merupakan sarana untuk memilih pemimpin Negara.
Razim ini dapat dikategorikan sebagai :”Sosialisme negara dimana control politik ada di tangan
partai komunis yang bersifat monopolistic dan hierakis, dan di mana ekonomi

diatur atas dasar kolektivitas dan perencanaan ekonomi terpusat dari Negara”. 5
Pada akhir decade 80-an terjadi pergolakan melawan rezim represif, yang berakhir dengan
budayanya Uni Soviet pada tahun 1991 dengan terbetuknya Commonwealth of Independent
States.
Dari uraian tadi dijelaskan kalau dikatakan bahwa fungsi partai politik di Negara komunis
berbeda dengan partai dalam Negara yang demokratis. Mengenai perbedaan ini Sigmund
Neumann menjelaskannya sebagai berikut : jika di Negara demokrasi partai mengatur
keinginan dan aspirasi golongan-golongan dalam masyarakat, maka partai komunis berfungsi
sebagai pengendali semua aspek kehidupan secara monolitik. Jika dalam masyarakat
demokratis partai berusaha menyelenggarakan integrasi warga Negara kedalam masyarakat
umum, peran paartai komunis ialah untuk memaksa individu agar menyesuaikan diri dengan
suatu cara hidup yang sejalan dengan kepentingan partai (enforcement of conformity). Kedua
fungsi ini diselenggaraakan melalui propaganda dari atas kebawah. 6

2.1.3 Fungsi di Negara-negara Berkembang


Dinegara-negara berkembang keadaan politik sangat berbeda satu sama lain. Partai-partai
politik umumnya lemah organisasinya dan jarang memiliki dukungan massa yang luas dan
kukuh.partai politik berhdapan dengan berbagai masalah seperti kemiskinan, terbatasnya
kesempatan kerja, pembagaian pendapatan yang timpang dan tingkat buta huruf yang tinggi.
Di beberapa Negara fungsi yang agak sukar dilaksanakan ialah sebagai jembatan antara “yang
memerintah” dan “yang Diperintah”. Sering golongan pertama banyak orang kaya, sedangkan
golongan yang “diperintah” banyak mecakup orang miskin.dengan demikian jurang di antara
kedua belah pihak sukar dijembatani.masalah seperti ini dapat mengalihkan perhatian, jauh
dari usaha mengatasi masalah kemiskinan dan masalah-masalah pembangunan lainnya yang
menjadi sasaran utama dalam masyarakat-masyarakat berkembang.

5Heywood, Key Concepts in Politics (New York : Palgrave,200),hlm. 49.


6 Neumann, Modern Political Parties, hlm. 353.
Satu peran yang sangat diharapkan dari partai politik adalah sebagai sarana untuk
meperkembangkan integrasi nasional dan memupuk identitas nasional. Akan Tetapi
pengalaman dibeberapa negara menunjukkan bahwa partai politik sering tidak mampu
membina integrasi, akan tetapi malah menimbulkan pengotaan dan pertentangan yang
mengeras.
Karena pengalaman tersebut diatas, banyak kritik telah dilontarkan kepada partai-partai
politik, dan bebrapa alternatif telah diikhtiarkan. Salah satu jalan keluar diusahakan dengan
jalan meniadakan partai sama sekali. Hal ini telah dilakukan oleh Jendral Ayun Khan dari
Pakistan dari tahun 1958; bahkan parlemen dibubarkan. Akan tetapi setelah beberapa waktu
partai-partai muncul kembali melalui suatu undang-undang yang diterima oleh parlemen baru,
dan Presiden Ayub Khan sendiri menggabungkan diri dengan salah satu partai politik.
Pengalaman ini menunjukkan bahwa sekalipun partai politik banyak segi negatifnya, pda
dasarnya kehadiran sert perannya dinegara-negara berkembang masih penting dan sukar
dicarikan alternatifnya.
Pengalaman lain dibeberapa negara berkembang ialah bahwa jika lembaga-lembaga politik
gagal memainkan peran yang diharapkan, akan terjadi campur tangan oleh pihak militer, hal ini
sering terjadi jika masa instabilitas berjalan agak lama dan pergolakan politik sangat insentif.
Dalam situasi seperti itu golongan militer mungkin merupakan satu-satunya kelompok yang
terorganisir dan yang, berkat disiplin dan fasilitas yang dimilikinya, berada dalam kedudukan
yang lebih menguntungkan dari pada kelompok lain. Campur tangan dari pihak militer
biasanya terjadi dengan dalih untuk menghindarkan kemunduran yang leabih gawat atau
timbulnya perang saudara. Sekali kekuasaan diambil alih oleh kaum militer, maka sukar sekali
untuk mengembalikan kekuasaan ketangan orang sipil.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa di negara-negara berkembang partai politik,
sekalipun memiliki kelemahan, masih tetap dianggap sebagai sarana penting dalam kehidupan
pelitiknya. Usaha melibatkan partai politik dan golongan-golongan politik lainnya dalam proses
pembangunan dalam segala aspek dan dimensinya, merupakan hal yang amat utama dalam
negara yang ingin membangun suatu masyarakat atas dasar pemerataan dan keadilan sosial.
Jika partai dan golongan-golongan politik lainya diberi kesempatan untuk berkembang,
mungkin ia dapat mencari bentuk partisipasi yang dapat menunjang untuk mengatasi masalah-
masalah yang ada di negara itu. Mungkin bentuk ini dalam banyak hal akan berbeda dengan
partai di negara yang sudah mapan, karena disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan dalam
negeri. Setidak-tidaknya dinegara yang keabsahan pemerintahnya sedikit banyak diuji oleh
berjuta-juta rakyat dalam pemilihan umum berkala, partai-partai politik dan organisasi
kekuatan sosial politik lainya menduduki tempat yang krusial.

2.2 Tipologi Partai Politik


Tipologi partai politik adalah pengklasifikasian berbagai partai politik berdasarkan kriteria
tertentu, seperti asas dan orientassi, komposisi dan fungsi anggota, basis social dan tujuan.
Klasifikasi ini cenderung bersifat tipe ideal karena dalam kenyataan tidak sepenuhnya
demikian. Tetapi untuk tujuan memudahkan pemahaman, tipologi ini sangant berguna.Di
bawah ini diuraikan sejumlah tipologi partai politik menurut kriteria-kriteria tersebut.

1.2.1. Asas dan Orientasi


Berdasarkan asas dan orientasinya, partai politik diklasifikasikan menjadi 3 tipe. Yaitu:
1. Partai Politik Pragmatis
2. Partai Politik Doktriner
3. Partai Politik Kepentingan.

1. Partai Politik Pragmatis


Yaitu suatu partai yang mempunyai program dan kegiatan yang tak terikat kaku pada satu
doktrin dan ideology tertentu. Artinya, perubahan waktu,situasi,dan kepemimpinan akan juga
mengubah program,kegiatan,dan penampilan partai politik pragmatis cendrung merupakan
cerminan dari program-program yang disusun oleh pemimpin utamanya dan gaya
kepemimpinan sang pemimpin. Partai ini biasanya terorganisasikan secara agak longgar. Hal ini
tidak berarti partai politik pragmatis tidak memiliki ideology sebagai identitasnya.
Dalam program dan gaya kepemimpinan terdapat beberapa pola umum yang merupakan
penjabaran ideology tersebut. Namun, ideology yang dimaksud lebih merupakan sejumlah
gagasan umum daripada sejumlah doktrin dan program konkret yang siap dilaksanakan. Partai
pragmatis biasanya muncul dalam system 2 partai berkompetetisi yang relative stabil. Partai
democrat dan partai Republik Di Amerika Serikat merupakan contoh partai pragmatis.
2. Partai Politik Doktriner
Yaitu suatu partai politikyang memiliki sejumlah program dan kegiatan konkret sebagai
penjabaran ideology. Ideology yang dimaksud adalah seperangkat nilai politik yang dirumuskan
secara konkret dan sistematis daalam bentuk program-program kegiatan yang pelaaksanaanya
diawasi secara ketat oleh aparat partai. Pergantiaan kepemimpinan mengubah gaya
kepemimpinan pada tingkat tertentu, tetapi tidak mudah mengubah prinsip dan program
dasar partai karena ideology partai sudah dirumuskan secaraa konkret dan partai ini
terorganisasikan secaraa ketat. Partai Komunis dimana saja merupakan contoh Partai
Doktriner.

3. Partai Politik Kepentingan.


Yaitu partai politik yang dibentuk dan dikelola atas dasar kepentingan tertentu, seperti
petani,buruh,etnis,agama,atau lingkungan hidup yang secaara langsung ingin berpartisipasi
dalam pemerintahan. Partai ini sering ditemui dalam system baanyak partai tetapi kadangkala
terdapat pula dalam system dua partai berkompetensi namun tak mampu mengakomodasikan
sejumlah kepentingan dalam masyarakat. Misalnya, Partai Hijau di Jerman, Partai Buruh di
Australia, dan Partai Petani Di Swiss.

2.2.2 Komposisi dan Fungsi Anggota


Menurut komposisi dan fungsi anggotanya, partai politik dapat digolongkan menjadi dua. Yaitu
:
1. Partai Massa atau Lindungan
2. Partai Kader

1. Partai Massa atau Lindungan


Partai politik yang mengandalkan kekuatan pada keunggulan jumlah anggota dengan cara
memobilisasi massa sebanyak-banyaknya, dan mengembangkan diri sebagai pelindung bagi
berbagai kelompok dalam masyarakat sehingga pemilihan umum dapat dengan mudah
dimenangkan, dan kesatuan nasional dapat dipelihara, tetapi juga masyarakat dapat
dimobilisasi untuk mendukung dan melaksanakan kebijakan tertentu. Partai ini sering kali
merupakan gabungaan berbagai aliran politik yang sepakat untuk berada dalam lindungan
paartai guna memperjuankan dan melaksanaakan program-program yang pada umunya
bersifat sangat umum.
Kelemahan partai ini tampak pada saat pembagian kursi (jabatan) dan perumusan kebijakan
karena karakter dan kepentingan setiap kelompok dan aliran akan sangat menonjol. Ketidak
mampuan partai dalam membuat keputusan yang dapat diterima semua pihak merupakan
ancaman bagi keutuhan partai. Partai ini umumnya terdapat dalam Negara-negaara
berkembang yang menghadapi permasalahan intergrasi nasional. Partai Barisan Nasional di
Malaysia, yang merupakan koalisi anatara Kelompok Melayu , Cina, dan India merupakan salah
satu contoh partai massa.
2. Partai Kader
Partai yang mengandalkan kualitas anggota, ketaatan organisasi, dan disiplin anggota sebagai
sumber kekuatan utama. Seleksi keanggotaan dalam partai kader biasanya sangat ketat, yaitu
melalui kaderisasi yang berjenjang dan intensif, serta penegakkan disiplin partai yang tanpa
pandang bulu. Struktur organisasi partai ini sangat hirarkis sehingga jalur perintah dan
tanggung jawab sangat jelas. Karena sifatnya yang demikian partai kader acapkali disebut
sebagai partai yang sangat elitis. Contoh partai kader ini terdapat pada Nazi di Jerman dan
partai komunis dimanapun.

2.2.3. Basis Sosial dan Tujuan


Almond menggolongkan partai politik berdasarkan basis social dan tujuannya. 7
Menurut basis sosialnya, partai politik dibagi menjadi 4 tipe. Yaitu:

7Gabriel Almond,,Kelompok Kepentingaan dan Partai Politik. hlm. 58-60.


1. Partai politik yang beranggotakan lapisan-lapisan social dalam masyarakat, seperti kelas
atas, menengah, dan bawah.
2. Partai politik yang anggotanya berasal dari kalangan kelompok kepentingan tertentu, seperti
petani,buruh dan pengusaha.
3. Partai politik yang anggota-anggotanya berasal dari pemeluk agama tertentu, seperti
islam,katolik,protestan dan hindu.
4. Partai politik yang anggota-anggotanya berasal dari kelompok budaya tertentu,seperti suku
bangsa ,bahasa dan daerah tertentu.

Dalam kenyataanya kebanyakan partai politik tak hanya mempunyai basis social dari kalangan
tertentu, tetapi juga dari berbagai kalangan dengan satu atau dua kelompok sebagai pihak
yang dominan. Pendukung npartai democrat di Amerika Serikat pada umumnya berasal dari
kalangan menengah dan bawah,berkulit hitam dan Katolik. Hal ini tidak berarti pendukung
partai ini tidak ada yang berasal dari kalangan atas, kulit putih dan Protestan.
Berdasarkan tujuan, partai politik dibagi menjadi tiga. Yaitu :
1. Partai Perwakilan Kelompok
Partai yang menghimpun berbagai kelompok masyarakat untuk memenangkan sebanyak
mungkin kursi dalam parlemen seperti Barisan Nasional di Malaysia.
2. Partai Pembinaan Bangsa
Partai yang betujuan menciptakan kesatuan nasional dan biasanya menindas kepentingan-
kepentingan sempit seperti Partai Aksi Rakyat di Singapura.
3. Partai Mobilisasi.
Partai yang berupaya memobilisasi masyarakat kearah tujuan-tujuan yang ditetapkan oleh
pemimpin partai, sedangkan partisipasi dan perwakilan kelompok cenderung diabaikan. Partai
ini cenderung bersifat monopolistis karena hanya ada satu partai dalam masyarakat. Partai
komunis di Negara-negara komunis merupakan contoh partai mobilisasi.
2.3 Klasifikasi Sistem Kepartaian
Diatas telah dibahas bermacam-macam jenis partai. Akan tetapi beberapa sarjana
menganggap perlu dianalis ini ditambah dengan meneliti prilaku partai-partai sebagai bagian
dari suatu sistem , yaitu bagaimana partai politik berinteraksi datu sama lain dajn berintrksi
dengan unsur-unsur lain dari sistem itu. Analisis semacam ini dinamakan “sistem kepartaian”
pertama sekali dibentangkan oleh Maurice Duverger dalam bukunya Portilikal Parties.
Duverger mengadakan kalasifikasi menurut tiga kategori, yaitu sistem partai tunggal, sistem
dwi-partai, dan sistem multi partai.

2.3.1 Sistem Partai-Tunggal


Pola partai tunggal terdapat dibeberapa negara: Afrika, China, dan Kuba, sedangkan dalam
masa jayanya Uni Soviet dan beberapa negara Eropa Timur termasuk dalam kategori ini.
Suasana kepartoaian dinamakan non-kompetitif kearena semua partai harus menerima
pimpinan dari partai yang dominan dan ridakd dibenarkan bersaing dengannya. Terutama
dinegara-negara yang baru lepas dari kolonialisme kecenderungan kuat untuk memakai pola
sistem partai-tunggal pimpinan diharapkan dengan masalah bagaimana mengintegrasikan
berbagai golongan, daerah, serta suku bangsa yang berbeda corak sosial serta pandangan
hidupnya. Fungsi partai adalah menyakinkan atau memaksa masyarakat untuk menerima
persepsipimpinan parti mengenai kebutuhan utama dari masyarakat seluruhnya. Dewasa ini
banyak negara afrika pindah kesistem multi partai.
Negara yang paling berhasi dalam menyingkirkan partai lain ialah Uni Soiet pada masa jayanya.
Partai Uni Soviet bekerja dalam suasan yang non-kompetitif, tidak ada partai lain yang
diperbolehkan bersaing, oposisi dianggap sebagai penghianatan. Partai-tunggal serta
organisasi yang bernung dibawahnya berfungsi sebagai pembimbing dan penggerak
masyarakat dan menekankan perpandauan dari kepentigan partai kepentingan rakyat secara
menyeluruh.
Di indonesia pada tahun 1945 ada usaha mendirikan partai tunggal sesuai dengan pemikiran
yang ada pada saat itu banyak dianut dinegara-negara yang baru melepaskan diri dari rezim
kolonial. Diharapkan partai itu akan menjadi ”motor perjuangan”. Akan tetapi sesudah
beberapa bulan usaha itu dihentikan sebelum terbentuk secara konkret. Penolakan ini antara
lain disebabkan karena dianggap berbau fasis.
2.3.2 Sistem Dwi-Partai
Dalam kepustkaan ilmu politik pengertian sistem dwi-partai biaasanya diartikan bahwa ada
dua partai, yang berhasil memenangkan dua tempat teratas dalam pemilihan umum secara
bergiliran, dan dengan demikian mempunyai kedudukan dominan. Dalam sistem ini partai-
partai dengan jelas dibagi dalam partai yang berkuasa (karena menanh dalam pemilihan
umum) dan partai oposisi ( karena kalah dalam pemilihan umum).dengan demikian dengan
jelas dimana letak tanggung jawab kmengenai pelaksanaan kebijakan umum. Daplam sistem
ini partai yang kalah berperan sebagai pengancam utama tapi yang setia (loyal opposition)
terhadap kebjakan partai yang duduk dalam pemerintahan, dengan pengertian bahwa peran
ini sewaktu-waktu dapat bertukar tangan. Dalam persaingan memenangkan pemilihan umum
kedua partai berusaha untuk merebut dukunygan orang-orang yang ada ditengah kedua partai
dan sering dinamakan pemilihan terapung (floating vote) atau pemilih ditengah (median vote).
Sistem dwi-partai pernah disebut a konvenient system for contented people dan memang
kenyatanya ialah bahwa sistem dwi-partai dapat berjalan baik apabila terpenuhi tiga dsyarat,
yaitu komposisi masyarakat bersifat homogen (sosial homogenity), adanya konsensus kuat
dalam masyarakat mekngenai asas dan tujuan sosial dan politik (political consensus), dan
adanya kontinuitas sejarah (historial continuity).8
Inggris biasanya digambarkan sebagai contoh yang paling ideal dalam menjalankan sistem dwi-
partai ini. Partai buruh dan partai konservatif dikatakan tidak mempunyai pandangan yang
banyak berbeda mengenai asas dan tujuan politik, dan perubahan pimpinan umumnya tidak
terlalu mengganggu kotinunitas kebijakan pemerintah. Perbedaan yang pokok antara kedua
partai hanya berkisar pada cara dan kecepatan melaksanakan berbagai program pembaharuan
yang menyangkut masalah sosial, perdagangan, dan industri. Partai buruh lebih condong agar
pemerintah melaksanakan pengendalian dan pengawasan terutama dibidang ekonomi,
sedangkan partai konservatif cendrung memilih cara-cara kebebasan berusaha.

8Peter G.J. Pulzer, Political Representation and Elections in Britain (London: George Allen and
Unwin Ltd,1967),hlm. 41.
Disamping kedua partai ini, ada beberapa partai kecil lainnya, diantaranya partai liberal
demokrat. Pengaruh partai ini biasanya terbatas, tetapi kedudukanya berubah menjadi sangat
krusial pada saat perbedaan dalam perolehan suara dari kedua partai besar dalam pemilihan
umum sangat kecil. Dalam situaasi seperti ini partai pemenang terpaksa membentuk
koalisidengan partai leberal demokrat atau partai kecil lainnya.
Pada umumnya dianggap bahwa sistem dwi-partai lebih konduktif untuk terpeliharanya
stabilitas karena ada perbedaan yang jelas antara partai pemerintah dan partai oposisi. Akan
tetapi perlu juga diperhatikan peringatan ilmu sarjana ilmu politik Robert Dahl bahwa dalam
masyarakat yag terpolarisasi sistem dwi-partai malahan dapat mempertajam perbedaan
pandangan antara kedua belah pihak, karena tidak ada kelompok ditengah-tengah yang dapat
meredakan suasana konflik.9
Sistem dwi-partai umumnya diperkuat dengan dipergunakan sistem pemilihan single-member
counstituency (Sistem Distrik) dimana dalam setiap daerah pemilihan hanya dapat dipilih satu
saja.sistem pemilihan ini cendrung menghambat pertumbuhan partai kecil, sehingga dengan
demikian memperkokoh sistem dwi-partai.10
Di Indonesia pada tahun 1968 ada dusaha untuk mengganti sistem multi-partai yang telah
berjalan lama dengan sistem dwi-partai, agar sistem ini dapat membatasi pengaruh partai-
partai yang talah lama mendominasi kehidupan politik. Beberapa asas dirasakan menghilagi
beban eksekutif untuk menyeleggarakan pemerintahan yang baik. Akan tetapi eksperimen
dwi-partai ini, sudah diperkenalkan dibeberapa wilayah, ternyata mendapat tantangan dari
partai-partai yang merasa terancam eksistensinya. Akhirnya gerakan ini dihentiakan pada
tahun 1969.

2.3.3 Sistem Multi-Partai


Umumnya dianggap bahwa keaneragaman budaya politik suatu masyarakat mendorong
pilihan kearah sistem multi-partai. Perbedaan tajam antara ras, agama, atau suku bangsa
mendorong golongan-golongan masyarakat lebih cendrung menyalurkan ikatan-ikatan
terbatasnya (primoedial) dalam suatu wadah yang sempit saja. Dianggap bahwa pola

9Robert A.Dahl, Political Oppositions in Western Democracy (New Heaven,Connecticut: Yale


University Perss 1966) hlm. 394.
10 Duverger,Political Parties, hlm. 217
multi-partai lebih sesuai dengan pluralitas budaya dan politik dari pada pola dwi-partai. Sistem
multi-partai ditemukan antara lain di IndodesiaMalaysia, Nederland, Australia, Prancis, Swedia,
dan Federasi Rusia. Prancis mempunyai jumlah partai yang berkisar 17 dan 28, sedangkan di
Federasi Rusia sesudah jatuhnya partai komunis jumlah partai mencapai 43.
Sistem multi-partai, apalagi jika dihubuingkan dengan sistem pemerintahan parlementer,
mempunyai kecendrungan untuk menitikberatkan kekuasan pada badan legislatif, sehingga
peran badan eksekutif sering lemah dan ragu-ragu. Hal ini sering didebabkan karena tidakd ada
satu partai yang cukup kuat untuk membentuk suatu pemerintahan sendiri, sehingga terpaksa
membentuk koalisi dengan partai-partai lain. Dalam keadaan semacam ini partai yang
berkoalisi harus selalu mengadakan musyrawarah dan kompromi dengan mitranya dan
menghadapi kemungkinan bahwa sewaktu-waktu dukungan dari partai yang duduk dalam
koalisi akan ditarik kembali, sehingga mayoritasnya dalam parlemen hilang.
Di lain pihak, partai-partai oposisi kurang memainkan peranan yang jelas karena sewaktu-
waktu masing-masing partai dapat diajak duduk dalam pemerintahan koalisi baru. Hal
semacam ini menyebabkan sering terjadinya siasat yang berubah-ubah menurut kegentingan
situasi yang dihadapi partai masing-masing. Lagi pula, sering kali partai-partai oposisi kurang
mampu menyusun suatu program alternatif bagi pemerintah. Dalam sistem semacam ini
masalah letak tanggung jawab menjadi kurang jelas.
Dalam situasi dimana terdapat satu partai yang dominan, stabilitas politik dapat lebih dijamin.
India dimasa lampau sering dikemukakan sebagai negara yang didomonasi satu partai (one-
perty dominance), tetapi karena suasana kompetitif, pola dominasi setiap waktu dapat
berubah. Hal ini dapat dilihat pada pasang surutnya kedudukan partai kongres. Partai ini mulai
dari zaman kemerdekaan menguasai kehidupan politik india. Jiumlah wakilnya dalam dewan
perwakilan rakyat pada saat itu melebihi jumlah total wakit partai-partai lainnya, dan karena
itu sering disebut sistem satu setengah partai (one andhalf party system). Sedangkan partai
kongres mengelami kemunduran sesudah pemiliahan umum tahun 1967, namun ia berhasil
memerintah india pada tahun 1977. pada tahun 1978 sampi 1980 partai kongres mengadakan
koalisi dengan Bharatya Janata Party.
Akan tetapi hal ini berarti bahwa pemerintah kolisi selalu lemah. Belanda, Norwegia, dan
Swedia merupakan contoh dari pemerintah yang dapat mempertahankan stabilitas dan
kontinunitas dalam kebijak publiknya.
Pola multi-partai umumnya diperkuat oleh sistem pemilihan pemerintahan berimbang
(proportional Representational) yang memberi kesempatan luas bagi petumbuhan partai-
partai dan golongan-golongan baru.11 Melalui sistem perwakilan berimbang partai-partai kecil
dapat menarik keuntungan dari ketentuan bahwa kelebihan suara yang diperolehnya suatu
daerah pemilihan dapat ditarik kedaerah pemilihan lain untuk mengenapkan jumlah suara yag
diperlukan guna memenagkan stu kursi.
Indonesia mempunyai sejarah panjang dengan berbagai jenis sistem multi-partai. Sistem ini
telah melalui beberapa tahap dengan bobot kompetitif yang berbeda-beda. Mulai 1989
indonesia berupaya untuk mendirikan suatu sistem multi-partai yang mengambil unsur-unsur
positif dari pengalaman masa lalu, sambil menghindari unsur negatifnya.

11 Ibid. hlm. 245. Lihat juga PJ. Oud, Het Constitutioneel Recht van het koninkrijk der
Nederlanden (Zwolle: Tjeenk Willink,1947), Mid I, hlm.248.

BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Secara umum kita dapat mendefinisikan bahwa parai politik adalah suatu kelompok yang
teroganisir yang anggota-anggotanya memppunyai sebuah orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita
yang sama. Tujuan kelompok ini adalah memperoleh sebuah kekuasaan politik dan merebut
kedudukan politik yang biasanya di raih lewat konstitusional untuk melakukan kebijakan-
kebijakan dalam mencapai tujuan mereka.
Perlu diterangkan bahwa partai politik sangat berbeda dengan gerakan (movement) dan
berbeda juga dengan kelompok penekan (pressur group) atau istilah yang lebih banyak
digunakan pada dewasa ini yang memang memperjuangkan suatu kepentingan kelompok, atau
memang ingin melakukan perubahan terhadap paradigma masyarakat kearah yang lebih baik.

FUNGSI-FUNGSI PARTAI POLITIK


1. partai sebagai sarana komunikasi politik
2. partai politik sebagai sarana sosialisasi politik
3. partai politik sebagai sarana rekruitmen politik
4. sebagai sarana untuk mengatur konflik (conflict manajemen)
3.2.Saran
Untuk tetap memperbaiki citra partai politik sebagai institusi demokrasi, tentu partai politik
lebih maksimal memikirkan nasib masyarakat ketimbang memperebutkan kursi kekuasaan.
Sedangkan dalam konteks konflik internal partai politik, meminimalisir mungkin adanya sikap
politik yang bisa merusak citra partai politik itu sendiri, tetap membuka adanya ruang bagi
kedua pihak yang bertikai untuk melakukan komunikasi politik yang lebih sehat dan lebih
konsisten pada aturan main organisasi.
Konflik tentu tidak bisa dihindari, tetapi partai politik juga harus memberikan ruang bagi
terbangunnya suatu sistem manajemen konflik yang lebih baik. Agar konflik personal maupun
kelompok maupun yang terjadi diluar partai tidak bisa berkembang, mampu kendalikan
sehingga tidak melahirkan suasana ketegangan yang apalagi perlaku negatif yang bisa
merusak. Manajemen konflik juga penting dalam mengelola masalah tersebut sebelum
diselesaikan secara organisasi, atau minimal bisa secara efektif mencegah adanya perpecahan
ditubuh partai. Sebagaimana yang dipikirkan oleh Ross (1993) sebagai seorang ahli dalam
manajemen konflik, bahwa manajemen konflik berupa penyelesaian konflik dan bisa jadi
menghasilkan ketenangan, hal positif, mufakat dan lebih kreatif. Masih ada waktu bagi para
pemimpin partai untuk melakukan perubahan di dalam partainya. Kepemimpinan kharismatis
haruslah diabdikan untuk kepentingan semua kader, bukan kelompok. Kepemimpinan model
itu harus dipadukan dengan manajemen pengelolaan partai yang modern, terbuka dan
demokratis, termasuk dalam mengelolah konflik. Hanya dengan menerapkan manajemen
modern, partai bisa eksis dan mendapat simpati pendukungnya.

DAFTAR PUSTAKA
Amal, Ichlasul. “Teori-Teori Mutakhir Partai Politik”.PT Tiara Wacana, Yogyakarta. 1996
Budiarjo,Mariam .“Partisipasi dan Partai Politik”.Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,1998.
.Dasar-Dasar Ilmu Politk. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008.
Surbakti, Ramlan. “Memahami Ilmu Poltik”. Grasindo, Jakarta, 1992.

MAKALAH PARTAI POLITIK

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Partai politik, selanjutnya disingkat parpol, adalah produk masyarakat Barat yang

dimulai di Inggeris pada abad ke 17. Parpol dibentuk dalam rangka pikiran Barat bahwa Negara

adalah organisasi kekuasaan untuk menjamin bahwa kehidupan antara Individu yang semua

bebas dan berkuasa tidak mengakibatkan masalah sekuriti pada Individu. Organisasi kekuasaan

yang dibagi dalam kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudikatif atau Trias

Politica, merupakan perimbangan (checks & balances) antara tiga kekuasaan itu. Untuk

menjadikan kekuasaan legislatif mampu melakukan kontrol yang efektif terhadap dua

kekuasaan lainnya, khususnya terhadap eksekutif, rakyat di Inggeris pada tahun 1678

membentuk partai politik, yaitu Tory. Parpol ini dalam abad ke 19 berkembang menjadi Partai

Konservatif yang seringkali berkuasa di negaranya hingga masa kini.

Kemudian parpol meluas di seluruh dunia, dan sejak permulaan abad ke 20 menjadi

wahana penting dalam perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan. Menjadi

pertanyaan bagaimana parpol sebagai produk Barat dapat menjadi organisasi dan wahana

efektif dalam Republik Indonesia dengan Dasar Negara Pancasila. Sesuai dengan Pancasila

negara bukan organisasi kekuasaan, melainkan organisasi kesejahteraan. Tulisan ini berusaha

mencari jawaban terhadap pertanyaan itu untuk kepentingan masa depan kehidupan bangsa

Indonesia yang adil, maju dan sejahtera.

Berkembangnya aspirasi-aspirasi politik baru dalam suatu masyarakat, yang disertai

dengan kebutuhan terhadap partisipasi politik lebih besar, dengan sendirinya menuntut

pelembagaan sejumlah saluran baru, diantaranya melalui pembentukan partai politik baru.

Tetapi pengalaman di beberapa negara dunia ketiga menunjukkan, pembentukan partai baru

tidak akan banyak bermanfaat, kalau sistem kepartaiannya sendiri tidak ikut diperbaharui.
Suatu sistem kepartaian baru disebut kokoh dan adaptabel, kalau ia mampu menyerap

dan menyatukan semua kekuatan sosial baru yang muncul sebagai akibat modernisasi. Dari

sudut pandang ini, jumlah partai hanya akan menjadi penting bila ia mempengaruhi kapasitas

sistem untuk membentuk saluran-saluran kelembagaan yang diperlukan guna menampung

partisipasi politik. Sistem kepartaian yang kokoh, sekurang-kurangnya harus memiliki dua

kapasitas. Pertama, melancarkan partisipasi politik melalui jalur partai, sehingga dapat

mengalihkan segala bentuk aktivitas politik anomik dan kekerasan. Kedua, mencakup dan

menyalurkan partisipasi sejumlah kelompok yang baru dimobilisasi, yang dimaksudkan untuk

mengurangi kadar tekanan kuat yang dihadapi oleh sistem politik. Dengan demikian, sistem

kepartaian yang kuat menyediakan organisasi-organisasi yang mengakar dan prosedur yang

melembaga guna mengasimilasikan kelompok-kelompok baru ke dalam sistem politik.

Partai sebagai sarana komunikasi politik. Partai menyalurkan aneka ragam pendapat

dan aspirasi masyarakat. Partai melakukan penggabungan kepentingan masyarakat (interest

aggregation) dan merumuskan kepentingan tersebut dalam bentuk yang teratur (interest

articulation). Rumusan ini dibuat sebagai koreksi terhadap kebijakan penguasa atau usulan

kebijakan yang disampaikan kepada penguasa untuk dijadikan kebijakan umum yang

diterapkan pada masyarakat. Gunanya penulis membahas judul ini ialah untuk untuk

mengetahui bagaimana sejarah perkembangan partai politik di indonesia, agar dapat

mengetahui lebih jelasnya, penulis akan membahasnya pada bab-bab berikutnya.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah definisi dari partai politik, sejarah serta asal-usulnya ?

2. Apa saja basis dari partai politik itu sendiri serta bagaimana dengan tipe-tipenya ?
3. Apakah fungsi dari partai politik itu ?

C. Tujuan Penulisan

Makalah ini diharapkan bisa mengembangkan kajian studi Ilmu Pemerintahan

khususnya berkaitan mengenai partai politik.

Diharapkan makalah ini dapat memberikan suatu pelajaran yang berguna mengenai

realita partai politik.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Partai Politik

Partai politik merupakan organisasi politik yang dapat berperan sebagai penyalur

aspirasi masyarakat, dimana partai politik menjadi penghubung antara penguasa dan kuasaan.

Adanya partai politik membuat rakyat dapat terlibat secara langsung dalam proses

penyelenggaraan negara dengan menempatkan wakilnya melalui partai politik. Secara umum

partai politik dikatakan sebagai suatu kelompok yang memiliki tujuan dan cita-cita yang sama,

yang berusaha memperoleh kekuasaan melalui pemilihan umum.

Pengertian partai politik dalam UU No. 31 Tahun 2002 pasal 1 (1) adalah:

“Organisasi yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela

atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota,

masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan umum”.


Ramlan Surbakti mendefinisikan partai politik sebagai : “Kelompok anggota yang

terorganisasikan secara rapi dan stabil yang dipersatukan dan dimotivasi dengan ideologi

tertentu, dan yang berusaha mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan

melalui pemilihan umum guna melaksanakan alternatif kebijakan umum yang mereka susun”.

(Surbakti, 1992:116)

Inu Kencana dkk, mengemukakan definisi partai politik sebagai : “Sekelompok orang-orang

memiliki ideologi yang sama, berniat merebut dan mempertahankan kekuasaan dengan tujuan

untuk memperjuangkan kebenaran, dalam suatu level negara”. (Kencana dkk, 2002:58)

Sigmun Neuman seperti yang dikutip oleh Miriam Budiardjo dalam bukunya

“Partisipasi Politik dan partai Politik” mengemukakan definisi partai politik sebagai berikut :

“Partai politik adalah organisasi artikulatif yang terdiri dari pelaku-pelaku politik yang aktif

dalam masyarakat, yaitu mereka yang memusatkan perhatiannya pada menguasai kekuasaan

pemerintahan dan yang bersaing untuk memperoleh dukungan rakyat, dengan beberapa

kelompok lain yang mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Dengan demikian partai

politik merupakan perantara besar yang menghubungkan kekuasaan-kekuasaan dan ideologi

sosial dengan lembaga-lembaga pemerintahan yang resmi dan yang mengkaitkannya dengan

aksi politik di dalam masyarakat politik yang lebih luas”. (Neuman dalam Miriam Budiardjo,

1998:16-17)

J. A. Corry dan Henry J. Abraham mengungkapkan pendapatnya tentang partai politik

seperti yang dikutip oleh Haryanto dalam bukunya “Partai Politik Suatu Tinjauan Umum”, yaitu

: “Political party is a voluntary association aiming to get control of the government by filling

elective offices in the government with its members (Partai politik merupakan suatu

perkumpulan yang bermaksud untuk mengontrol jalannya roda pemerintahan dengan cara
menempatkan para anggotanya pada jabatan-jabatan pemerintahan)”. (Corry dan dalam

Haryanto, 1984:9)

Dari berbagai definisi di atas, dapat dilihat bahwa tujuan utama partai politik adalah

menguasai pemerintahan sehingga mereka dapat lebih leluasa melaksanakan keinginan-

keinginan mereka serta mendapatkan keuntungan. Partai politik berbeda dengan gerakan

(movement). Suatu gerakan biasanya menggunakan politik untuk mengadakan suatu

perubahan terhadap suatu tatanan yang ada dalam masyarakat, bahkan ada yang sampai ingin

menciptakan tatanan masyarakat yang benar-benar baru. Partai politik memiliki tujuan yang

lebih luas dari sekedar perubahan, partai politik juga ikut mengadu nasibnya dalam pemilihan

umum.

Partai politik juga berbeda dengan kelompok penekan (pressure group) atau yang lebih dikenal

dengan kelompok kepentingan (inters group).Kelompok kepentingan hanya bertujuan untuk

memperjuangkan kepentingan tertentu dengan mempengaruhi pembuat keputusan.

Kelompok kepentingan biasanya berada di luar partai politik, yaitu berasal dari kelompok-

kelompok yang ada dalam masyarakat.

B. Sejarah dan Asal Usul Partai Politik

a) Sejarah partai politik

Sejarah Partai Politik di Dunia

Partai politik pertama-tama lahir di negara-negara Eropa Barat bersamaan dengan

gagasan bahwa rakyat merupakan fakta yang menentukan dalam proses politik. Dalam hal ini

partai politik berperan sebagai penghubung antara rakyat di satu pihak dan pemerintah di lain
pihak. Maka dalam perkembangannya kemudian partai politik dianggap sebagai menifestasi

dari suatu sistem politik yang demokratis, yang mewakili aspirasi rakyat.

Pada permulaannya peranan partai politik di negara-negara Barat bersifat elitis dan

aristokratis, dalam arti terutama mempertahankan kepentingan golongan bangsawan

terhadap tuntutan raja, namun dalam perkembangannya kemudian peranan tersebut meluas

dan berkembang ke segenap lapisan masyarakat. Hal ini antara lain disebabkan oleh perlunya

dukungan yang menyebar dan merata dari semua golongan masyarakat. Dengan demikian

terjadi pergeseran dari peranan yang bersifat elitis ke peranan yang meluas dan populis.

Perkembangan selanjutnya adalah dari Barat, partai politik mempengaruhi dan

berkembang di negara-negara baru, yaitu di Asia dan Afrika. Partai politik di negara-negara

jajahan sering berperan sebagai pemersatu aspirasi rakyat dan penggerak ke arah persatuan

nasional yang bertujuan mencapai kemerdekaan. Hal ini terjadi di Indonesia (waktu itu masih

Hindia Belanda) serta India. Dan dalam perkembanganya akhir-akhir ini partai politik umumnya

diterima sebagai suatu lembaga penting terutama di negara-negara yang berdasarkan

demokrasi konstitusional, yaitu sebagai kelengkapan sistem demokrasi suatu negara.

Sejarah partai politik di Indonesia

Parpol yang pertama ada di Indonesia adalah De Indische Partij yang pada 25

Desember 1912 dibentuk Douwes Dekker, Tjipto Mangunkoesoemo dan Ki Hadjar Dewantara

ketika Indonesia masih dalam penjajahan Belanda. Tujuan parpol itu adalah mencapai

kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Sekalipun paham Indonesia baru ditegaskan pada 28

Oktober 1928 dalam Sumpah Pemuda, namun para pendiri parpol ini sudah dilandasi oleh

pikiran bahwa seluruh rakyat Hindia Belanda merupakan kesatuan.


Pada tahun 1911 Haji Samanhudi membentuk Sarikat Dagang Islam (SDI) sebagai

organisasi untuk mengejar perbaikan nasib rakyat Indonesia dalam daerah jajahan Hindia

Belanda. Pada tahun 1912 Haji Oemar Said Tjokroaminoto memberikan kepada SDI nama baru,

yaitu Sarikat Islam (SI), karena hendak meluaskan perjuangannya tidak terbatas pada bidang

ekonomi saja. Dengan begitu SI juga melakukan perjuangan politik. Meskipun tidak secara

resmi dinamakan partai politik, tetapi melihat sifat perjuangannya SI adalah satu parpol. Maka

boleh dikatakan bahwa sejarah parpol di Indonesia bermula pada tahun 1912.

Setelah itu telah berkembang berbagai parpol di Indonesia, baik yang berorientasi

nasionalisme, agama maupun sosialisme. Di masa penjajahan Belanda jelas sekali bahwa

mayoritas parpol bertujuan mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia, kecuali beberapa parpol

yang dibentuk orang-orang Belanda atau orang-orang yang dekat dengan kepentingan

penjajahan Belanda. Yang menonjol adalah Partai Nasional Indonesia (PNI) yang mulanya

bernama Perserikatan Nasional Indonesia, dibentuk pada 4 Juli 1927 oleh Dr. Tjipto

Mangunkusumo, Mr. Sartono, Mr. Iskak Tjokrohadisuryo dan Mr. Sunaryo . Kemudian pada

tahun 1928 berganti nama menjadi Partai Nasional Indonesia dan dipimpin Ir Sukarno atau

Bung Karno yang pada 17 Agustus 1945 bersama Drs Mohamad Hatta memproklamasikan

kemerdekaan bangsa Indonesia atas nama rakyat Indonesia.

Pada 1 Juni 1945 Bung Karno menyampaikan pandangannya depan Panitya Persiapan

Kemerdekaan tentang Pandangan Hidup Bangsa (Weltanschauung). Uraian yang beliau beri

nama Pancasila kemudian diterima sidang dan kemudian dengan beberapa perubahan

redaksional ditetapkan sebagai Dasar Negara Republik Indonesia. Sejak permulaan berdirinya

Republik Indonesia ada partai politik. Semula hendak dibentuk parpol tunggal, tapi kemudian

dimungkinkan berdirinya banyak parpol. Itu berarti bahwa parpol oleh para Pendiri Negara

tidak dinilai bertentangan dengan pandangan hidup Pancasila, sekalipun asal mulanya di
masyarakat Barat yang dasarnya individualisme dan liberalisme. Namun karena berada dalam

masyarakat dengan dasar Pancasila, parpol itu menyesuaikan eksistensi dan perilakunya

dengan nilai dasar Pancasila, yaitu Perbedaan dalam Kesatuan dan Kesatuan dalam Perbedaan.

Tabel

Sejarah Perkembangan Partai Politik Indonesia 1908-1998

Periode
Periode Demokrasi Jumlah Partai
Pemerintahan

1908-1942 Zaman Kolonial Multipartai

Zaman Pendudukan
1942-1945 Tidak ada
Jepang

Sistem Presidensiil
22 Agustus 1945- Satu partai (PNI)

1. 22 Agustus 1945
14 November 1945 Multipartai
2. 3 November 1945

Demokrasi Parlementer
Mulai sistem parlementer
14 November 1945-1950
14 November 1945
Pemilu dengan lebih dari 20
1950-1959
1955 partai

Demokrasi Terpimpin Dikeluarkan penpres 7/1959

(mencabut maklumat
1959-1965 1959
Pemerintah 3 November

2. 1960 1945 dan melakukan


penyederhanaan partai).

Hanya 10 partai yang diakui

(PKI, PNI, NU, Partai Katolik,

Partindo, Parkindo, Partai

Murba, PSII Arudji, IPKI,

Partai Islam Perti),

sedangkan Masjumi dan PSI

dibubarkan pada tahun

1960..

dibentuk Front Nasional

yang mewakili semua

kekuatan politik termasuk

PKI, Front Nasional ini

memberikan kesempatan

kepada golongan fungsional

dan ABRI yang sebelumnya

kurang berpartisipasi. PKI

dapat masuk ke Front

Nasional karena didasarkan

prinsip NASAKOM

PKI dan Partindo dibubarkan


Demokrasi Pancasila
1965-1998
Konsensus Nasional a.1. 100
1966
anggota DPR diangkat
7 Juli 1967 Eksperimen Dwipartai dan

Dwigroup dilakukan
1967-1969
dibeberapa Kabupaten di

1973 Jawa Barat, namun

dihentikan pada awal 1969.


1977, 1982, 1987, 1992

dan 1997 Penggabungan Partai

menjadi tiga orsospol (9


1982
partai + 1 Golongan Karya)

1984
Pemilu hanya diikuti oleh 3

1996 orsospol (sistem multipartai

terbatas)

Pancasila satu-satunya asas

NU Khittah

PDI pecah

Reformasi dengan
1998 21 Mei 1998
multipartai

Partai Politik di Indonesia masa kini

Setelah terjadi Reformasi di Indonesia pada tahun 1998 kehidupan bangsa sangat

berbelok ke sifat-sifat yang mengarah ke pandangan hidup Barat, yaitu individualisme dan

liberalisme. Politik luar negeri AS yang sejak berakhirnya Perang Dingin sangat kuat

mengusahakan agar bangsa-bangsa di dunia mengikuti pandangan hidupnya, besar dampaknya


di Indonesia. Hal itu juga dimungkinkan oleh dukungan sementara pihak di Indonesia yang

mempunyai pandangan dan kepentingan yang sama dengan AS. Usaha itu antara lain berhasil

melakukan amandemen 4 kali terhadap UUD 1945 sehingga isinya sudah amat mengarah

kepada kehidupan berdasarkan individualisme dan liberalisme.

Sebagai akibat dari perubahan itu makin menguat pandangan tentang kebebasan

individu yang mutlak seperti yang ada di Barat, serta makin lemahnya sikap Perbedaan dalam

Kesatuan, Kesatuan dalam Perbedaan. Perubahan itu juga berdampak pada parpol di

Indonesia. Parpol berperilaku sebagai individu yang bebas dan kuasa penuh tanpa konsiderasi

terhadap Kesatuan, yaitu kepentingan masyarakat dan bangsa. Parpol secara terus terang

mengejar pencapaian kekuasaan untuk mewujudkan kepentingan yang tidak peduli kepada

kepentingan umum. Anggota parpol yang duduk dalam Pemerintah dan Legislatif bukan

berfungsi sebagai wakil Rakyat, melainkan sebagai wakil parpol. Sikap dan perilaku parpol yang

sudah amat menyeleweng dari kaidah yang berlaku dalam Pancasila diperparah lagi oleh sikap

dan perilaku banyak anggotanya. Anggota parpol menunjukkan sikap dan perilaku sesuai dasar

kebebasan penuh-mutlak seperti dalam pandangan Barat dan tidak menghiraukan harmoni

dan keselarasan sebagaimana ditetapkan Pancasila. Kaum politik yang juga makin kuat

dipengaruhi cara berpikir Barat mengejar kepentingannya dengan membentuk parpol tanpa

menghiraukan apakah parpol itu memperjuangkan platform tertentu. Akibatnya adalah

tumbuhnya jumlah parpol yang tidak terkendali tanpa ada identitas politik tertentu bagi

masing-masing parpol. Yang membedakannya adalah hanya nama orang yang memimpin

parpol itu. Keadaan demikian menimbulkan kehidupan politik yang jauh dari mendukung

terwujudnya kesejahteraan bangsa.

Untuk membangun kondisi parpol yang sesuai dengan kepentingan masyarakat dan

bangsa diperlukan syarat utama kembalinya Pancasila sebagaiDasar Negara RI secara nyata.
Untuk itu haruslah pertama-tama UUD 1945 dikembalikan kepada keadaanya yang asli

sebelum ada amandemen. Kalau toh dinilai perlu ada perbaikan pada isi UUD1945, hal itu

dilakukan setelah kembali ke keadaan semula dengan mengadakan perbaikan yang sesuai

dengan nilai-nilai Pancasila. Pebaikan tidak dalam bentuk amandemen, melainkan sebagai

addendum. Kalau ada orang mengatakan bahwa Pancasila adalah satu ideologi terbuka, itu

tidak berarti bahwa Pancasila dapat diubah dengan nilai-nilai yang bertentangan dan berbeda

dengan Pancasila. Sebab Pancasila adalah Isi Jiwa bangsa Indonesia, maka mengubah Pancasila

berarti menghasilkan Jati Diri lain yang bukan bangsa Indonesia.

Berdasarkan UUD 1945 yang asli dibuat UU Partai Politik yang sesuai dan tidak

bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila. Hal ini merupakan landasan bagi tempat dan

peran Partai Politik dalam sistem Pancasila yang tidak mungkin sama dengan tempat dan peran

parpol dalam sistem Barat. Hal ini pasti mendapat perlawanan dari mereka yang sudah

memperoleh keuntungan dari penyelewengan yang terjadi di Indonesia. Mereka

membanggakan Indonesia sekarang sebagai Negara Demokrasi Ketiga Terbesar di dunia,

setelah India dan AS. Buat mereka demokrasi hanyalah demokrasi Barat, demokrasi liberal.

Kalau tidak itu maka itu bukan demokrasi. Atas dasar itu mereka mengatakan bahwa

merupakan kesalahan besar mengubah keadaan sekarang, sebab mereka tidak peduli bahwa

itu menimbulkan kondisi yang merugikan secara mendasar kepentingan masyarakat dan

bangsa. Mereka menjustifikasi berbagai keadaan yang buruk sekarang sebagai hal yang lumrah

dalam pertumbuhan demokrasi di Indonesia. Sesuai dengan perkembangan internasional,

mereka akan mendapat dukungan terbuka atau terselubung dari negara-negara yang

berorientasi Barat dan mempunyai kepentingan di Indonesia. Sebab itu seluruh Rakyat

Indonesia yang dirugikan oleh perkembangan sekarang yang menyeleweng dari Dasar Negara
RI harus menyatukan barisan dan memperjuangkan dengan tekad dan komitmen kuat agar

UUD 1945 yang asli berlaku kembali di NKRI.

b) Asal usul partai politik

Ramlan Surbakti dalam bukunya “Memahami Ilmu Politik” mengemukakan tiga teori

tentang asal-usul partai politik, yaitu :

1. Teori Kelembagaan

Teori ini mengatakan bahwa partai politik ada karena di bentuk oleh kalangan legislatif

(dan atau eksekutif) karena kedua anggota lembaga tersebut ingin mengadakan kontak dengan

masyarakat sehubung dengan pengangkatannya, agar tercipta hubungan dan memperoleh

dukungan dari masyarakat maka terbentuklah partai politik. Ketika partai politik bentukan

pemerintah dianggap tidak bisa menampung lagi aspirasi masyarakat, maka pemimpin kecil

masyarakat berusaha membentuk partai-partai lain.

2. Teori Situasi Historis

Teori ini menjelaskan tentang krisis situasi historis yang terjadi manakala suatu sistem

politik mengalami masa transisi karena perubahan masyarakat dari struktur masyarakat

tradisional kearah struktur masyarakat modern. Pada situasi ini terjadi berbagai perubahan

yang menimbulkan tiga macam krisis, yakni legitimasi, integrasi dan partisipasi. Partai politik

lahir sebagai upaya dari sistem politik mengatasi krisis yang terjadi. Partai politik diharapkan

dapat berakar kuat dalam masyarakat untuk dapat mengendalikan pemerintahan sehingga

terbentuk pola hubungan yang berlegitimasi antara pemerintah dan masyarakat. Terbukanya

partai bagi setiap anggota masyarakat dari berbagai golongan mengharapkan partai politik
dapat menjadi alat integrasi bangsa. Dengan adanya partai politik juga masyarakat dapat ikut

berpartisipasi dalam pemilihan umum.

3. Teori Pembangunan

Menurut teori ini partai politik lahir sebagai akibat dari adanya proses modernisasi

sosial-ekonomi, seperti pembangunan teknologi komunikasi berupa media massa dan

transportasi, perluasan dan peningkatan pendidikan, industrialisasi, urbanisasi, perluasan

kekuasaan negara seperti birokratisasi, pembentukan berbagai kelompok kepentingan dan

organisasi profesi, dan peningkatan kemampuan individu yang mempengaruhi lingkungan,

melahirkan suatu kebutuhan akan suatu organisasi politik yang mampu memadukan dan

memperjuangkan berbagai aspirasi tersebut. Maka lahirlah partai politik, dengan harapan agar

organisasi politik tersebut mampu memadukan dan memperjuangkan berbagai aspirasi yang

ada.

Berdasarkan teori asal-usul terbentuknya partai politik di atas, penulis dapat

mengkategorikan bahwa Partai Demokrat terbentuk berdasarkan teori situasi historis. Partai

Demokrat lahir karena adanya keinginan untuk memperbaiki bangsa yang sedang dilanda krisis

multidimensi karena partai-partai politik yang berkuasa sebelumnya dianggap gagal.

C. Basis Partai Politik

Suatu partai mendasarkan kekuatannya pada dukungan satu atau beberapa kelompok

yang mempunyai orientasi dan tujuan-tujuan politik yang sama, dengan kata lain partai berdiri

di atas suatu dukungan basis sosial. Di sini basis sosial diartikan sebagai satu atau beberapa

orang yang menjadi pendukung utama dari suatu partai politik. Hal tersebut mengaitkan

tingkat atau kualitas kesetiaan partisipasi dan pemberian suara oleh pemilih kepada partainya
dalam pemilu. Menurut Angus Campbell, ada tiga variable utama yang mampu mempengaruhi

perilaku individu dalam memilih suatu partai, ketiga variable tersebut adalah sebagai berikut :

a. Identifikasi terhadap partai. Secara psikologis, individu memilih suatu partai karena

adanya rasa kesetiaan dan cintanya pada partai tersebut.

b. Isu yang sedang berkembang. Berdasar pada pertimbangan terhadap isu yang sedang

berkembang, individu memilih partai yang mereka anggap layak dan sanggup untuk

memimpin pemerintahan. Kelayakan dan kesanggupan suatu partai ditentukan oleh isu

yang sedang berkembang saat ini.

c. Orientasi terhadap calon. Individu memilih suatu partai karena kualitas personal kandidat

tanpa memandang pada partai yang mendukungnya atau pada isu yang sedang

berkembang. Perilaku ini terbagi menjadi dua, pertama: kualitas instrumental di mana

pemilih melihat kemampuan kandidat dalam menangani suatu masalah tertentu. Kedua:

kualitas simbolis di mana pemilih mempunyai pandangan bagaimanakah seharusnya

figur pemimpin yang baik..

Dalam politik, basis merujuk kepada sekelompok pemilih yang hampir selalu

mendukung calon partai tunggal untuk kantor terpilih. Basis pemilih sangat tidak mungkin

untuk memilih calon dari pihak lawan, terlepas dari pandangan spesifik masing-masing

kandidat memegang.

Di Amerika Serikat, ini biasanya karena tingkat tinggi kandidat harus memegang sikap

yang sama pada isu-isu kunci sebagai dasar partai unruk mendapatkan nominasi partai dan

dengan demikian akses suara dijamin. Dalam kasus pemilu legislatif, pemilihan basa biasanya

lebih memilih untuk mendukung kandidat partai mereka melawan lawan dinyatakan menarik
untuk memperkuat peluang partainya memperoleh mayoritas sederhana biasanya gateway

untuk daya menyeluruh-dalam legislatif.

D. Tipe Partai Politik

Menurut Haryanto, parpol dari segi komposisi dan fungsi keanggotaannya secara

umum dapat dibagi mejadi dua kategori, yaitu:

1. Partai Massa, dengan ciri utamanya adalah jumlah anggota atau pendukung yang banyak.

Meskipun demikian, parta jenis ini memiliki program walaupun program tersebut agak

kabur dan terlampau umum. Partai jenis ini cenderung menjadi lemah apabila golongan

atau kelompok yang tergabung dalam partai tersebut mempunyai keinginan untuk

melaksanakan kepentingan kelompoknya. Selanjutnya, jika kepentingan kelompok

tersebut tidak terakomodasi, kelompok ini akan mendirikan partai sendiri .

2. Partai Kader, kebalikan dari partai massa, partai kader mengandalkan kader-kadernya

untuk loyal. Pendukung partai ini tidak sebanyak partai massa karena memang tidak

mementingkan jumlah, partai kader lebih mementingkan disiplin anggotanya dan

ketaatan dalam berorganisasi. Doktrin dan ideologi partai harus tetap terjamin

kemurniannya. Bagi anggota yang menyeleweng, akan dipecat keanggotaannya.

Sedangkan tipologi berdasarkan tingkat komitmen partai terhadap ideologi dan

kepentingan, menurut Ichlasul Amal terdapat lima jenis partai politik, yakni:

1. Partai Proto, adalah tipe awal partai politik sebelum mencapai tingkat perkembangan

seperti dewasa ini. Ciri yang paling menonjol partai ini adalah pembedaan antara

kelompok anggota atau “ins” dengan non-anggota “outs”. Selebihnya partai ini belum
menunjukkan ciri sebagai partai politik dalam pengertian modern. Karena itu

sesungguhnya partai ini adalah faksi yang dibentuk berdasarkan pengelompokkan

ideologi masyarakat;

2. Partai Kader, merupakan perkembangan lebih lanjut dari partai proto. Keanggotaan partai

ini terutama berasal dari golongan kelas menengah ke atas. Akibatnya, ideologi yang

dianut partai ini adalah konservatisme ekstrim atau maksimal reformis moderat;

3. Partai Massa, muncul saat terjadi perluasan hak pilih rakyat sehingga dianggap sebagai

respon politis dan organisasional bagi perluasan hak-hak pilih serta pendorong bagi

perluasan lebih lanjut hak-hak pilih tersebut. Partai massa berorientasi pada

pendukungnya yang luas, misalnya buruh, petani, dan kelompok agama, dan memiliki

ideologi cukup jelas untuk memobilisasi massa serta mengembangkan organisasi yang

cukup rapi untuk mencapai tujuan-tujuan ideologisnya;

4. Partai Diktatorial, sebenarnya merupakan sub tipe dari parti massa, tetapi meliki ideologi

yang lebih kaku dan radikal. Pemimpin tertinggi partai melakukan kontrol yang sangat

ketat terhadap pengurus bawahan maupun anggota partai. Rekrutmen anggota partai

dilakukan secara lebih selektif daripada partai massa;

5. Partai Catch-all, merupakan gabungan dari partai kader dan partai massa. Istilah Catch-all

pertama kali di kemukakan oleh Otto Kirchheimer untuk memberikan tipologi pada

kecenderungan perubahan karakteristik. Catch-all dapat diartikan sebagai “menampung

kelompok-kelompok sosial sebanyak mungkin untuk dijadikan anggotanya”. Tujuan

utama partai ini adalah memenangkan pemilihan dengan cara menawarkan program-

program dan keuntungan bagi anggotanya sebagai pengganti ideologi yang kaku.
(Ichlasul Amal. Teori-teori Mutakhir Partai Politik Edisi Revisi. Penerbit Tiara Wacana,

Yogyakarta, 1996)

Menurut Peter Schroder, tipologi berdasarkan struktur organisasinya terbagi menjadi

tiga macam yaitu;

1. Partai Para Pemuka Masyarakat, berupa gabungan yang tidak terlalu ketat, yang pada

umumnya tidak dipimpin secara sentral ataupun profesional, dan yang pada kesempatan

tertentu sebelum pemilihan anggota parlemen mendukung kandidat-kandidat tertentu

untuk memperoleh suatu mandat;

2. Partai Massa, sebagai jawaban terhadap tuntutan sosial dalam masyarakat industrial,

maka dibentuklah partai-partai yang besar dengan banyak anggota dengan tujuan utama

mengumpulkan kekuatan yang cukup besar untuk dapat membuat terobosan dan

mempengaruhi pemerintah dan masyarakat, serta “mempertanyakan kekuasaan”;

3. Partai Kader, partai ini muncul sebagai partai jenis baru dengan berdasar pada Lenin.

Mereka dapat dikenali berdasarkan organisasinya yang ketat, juga karena mereka

termasuk kader/kelompok orang terlatih yang personilnya terbatas. Mereka berpegangan

pada satu ideologi tertentu, dan terus menerus melakukan pembaharuan melalui sebuah

pembersihan yang berkseninambungan.

E. Fungsi Partai Politik

Fungsi utama partai politik adalah mencari dan memperrtahankan kekuasaan guna

mewujudkan program-program yang berdasarkan ideology tertentu. Ada pandangan yang

berbeda secara mendasar mengenai partai politik di Negara yang demokratis dan di negara
yang otoriter. Perbedaan pandangan tersebut berimplikasi pada pelaksanan tugas atau fungsi

partai di masing-masing Negara. Di Negara demokrasi partai relative dapat menjalankan

fungsinya sesuai dengan harkatnya pada saat kelahirannya, yakni menjadi wahana bagi warga

Negara untuk berpartisipasi dalam mengelolah kehidupan bernegara dan memperjuangkan

kepentingannya dihadapan penguasa. Sebaliknya di Negara otoriter, partai tidak dapat

menunjukkan harkatnya, tetepi lebih bahwa menjalankan kehendak penguasa.

Berikut ini diuraikan secara lebih lengkap fungsi partai politik di Negara-negara

demokratis, otoriter, dan Negara-negara berkembang yang berada dalam transisi ke arah

dekokrasi. Penjelasan fungsi partai polituk di Negara otoriter akan di paparkan dalam contoh

partai-partai Negara-negara komunis pada masa jayanya.

a. Sebagai sarana komunikasi politik

Di masyarakat modern yang luas dan kompeks, banyak ragam pendapat dan aspirasi

yang berkembang. Pandapat atau aspirasi seseorang atau suatu kelompok yang hilang tak

berbekas seperti suara di padang pasir, apabila tidak ditampung dan di gabung dengan

pendapat atau aspirasi orang lain yang senada. Proses ini dinamakan penggabungan

kepentingan (interest aggregation). Sesudah digabungkan, pendapat dan aspirasi tadi di olah

dan dirumuskan dalam bentuk yang lebih teratur. Proses ini dinamakan perumusan

kepentingan (interest articulation). Seandainya tidak ada yang mengagregasi dan

mengartikulasi, niscaya pendapat atau aspirasi tersebut akan simpang siur dan saling

berbenturan, sedangkan dengan agregasi dan artikulasi kepentingan kesimpang siuran dan

benturan dikurangi. Agregasi dan artikulasi itulah salah satu fungsi komunikasi partai politik.

Setelah itu partai politik merumuskannya menjadi usul kebijakann. Usul kebijakan ini

dimasukkan ke dalam progam atau platform partai (goal formulation) untuk diperjuangkan
atau di sampaikan melalui parlemen kepada pemerintah agar dijadikan kebijakan umum

(public policy). Demikianlah tuntutan dan kepentingan masyarakat disampaikan kepada

pemerintah melalui partai politik. Di sisi lain, partai politik juga berfungsi memperbincangkan

dan menyebarluaskan rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan pemerintah. Dengan demikian

terjadi arus informasi dan dialog dua arah, dari atas ke bawah dan dari bawah keatas. Dalam

pada itu partai politik memainkan peran sebagai penghubung antara yang memerintah dan

yang diperintah. Peran partai sebagai jembatan sangat penting, karena I satu pihak kebijakan

pemerintah perlu dijelaskan kepada semua kelompok masyarakat, dan di pihak lain

pemerintah harus tanggap terhadap tuntutan masyarakat.

Dalam menjalankan fungsi inilah partai politik sering disebut sebagai pesantara

(broker) dalam suatu bursa ide-ide (clearing house of ideas). Kadang-kadang juga dikatakan

bahwa partai politik bagi pemerintah bertindak sebagai alat pendengar, sedangkan bagi warga

masyarakat sebagai “pengeras suara”. Menurut Sigmund Neumann dalam hubungannya

dengan komunikasi politik, partai politik merupakan perantara yang besar yang

menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideology sosial dengan lembaga pemerintah yang

resmi dan yang mengaitkannya dengan aksi politik di dalam masyarakat politik yang lebih luas.

Akan tetapi sering terdapat gejala bahwa pelaksanaan fungsi komunikasi ini, sengaja

atau tidak sengaja, menghasilkan informasi yang berat sebelah dan malahan meimbulkan

kegelisahan dan keresahan dalam masyarakat. Misinformasi semacam itu menghambat

berkembangnya kehidupan politik yang sehat.

b. Sebagai sarana sosialisasi politik

Dalam ilmu politik diartikan sebagai suatu proses yang melaluinya seseorang

memperoleh sikap dan orientasi tehadap fenomena politik yang umumnya berlaku dalam
masyarakat di mana ia berada. Ia adalah bagian dai proses yang menentukan sikap politik

seseorang, misalnya mengenai nasionalisme, kelas sosial, suku bangsa, ideology, hak dan

kewajiban.

Dimensi lain dari sosialisasi politik adalah sebagai proses yang melaluinya masyarakat

menyampaikan “budaya politik” yaitu norma-norma dan nilai-nilai, dari satu generasi ke

generasi berikutnya. Dengan demikian sosialisasi politik merupakan factor yang penting dalam

terbentuknya budaya pilitik (political culture) suatu bangsa.

Suatu definisi yang dirumuskan oleh seorang ahli sosiologi politik M. Rush (1992) :

Sosialisasi politik adalah proses yang melaluinya orang dalam masyarakat tertentu belajar

mengenali system politiknya. Proses ini sedikit banyak menentukan persepsi dan reaksi mereka

terhadap fenomena politik (political socialization may be depined is the prosess by which

individuals in a given society become acquainted with the political system and which to a

certain degree determines their perceptions and their reactions to political phenomena).

Proses sosialisasi berjalan seumur hidup, terutama dalam masa kanak-kanak. Ia

berkembang melalui keluarga, sekolah, peer group, tempat kerja, pengalaman sebagai orang

dewasa, organisasi keagamaan, dan partai politik, ia juga menjadi penghubung yang

mensosialisasikan nilai-nilai politik generasi yang satu ke generasi yang lain. Di sinilah letaknya

partai dalam memainkan peran sebagai sarana sosialisasi politik.pelaksanaan fungsi

sosialisasinya dilakukan melalui berbagai cara yaitu media massa, ceramah-ceramah,

penerangan, kursus karder, penataran dan sebagainya.

Sisi lain dari fungsi sosialisasi politik partai adalah upaya menciptakan citra (image)

bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum. Ini penting jika dikaitkan dengan tujuan partai

untuk menguasai pemerintahan melalui kemenangan dalam pemilihan umum. Karena itu
partai harus memperoleh dukungan seluas mungkin, dan partai berkepentingan agar para

pendukungnya mempunyai solidaritas yang kuat dengan partainya. Ada lagi yang lebih tinggi

nilainya apabila partai politik dapat menjalankan fungsi sosialisasi yang satu ini, yakni mendidik

anggota-anggitanya menjadi manusia yang sadar akan tanggung jawabnya sebagai warga

Negara dan menepatkan kepentingan sendiri di bawah kepentingan nasional. Secara khusus

perlu disebutkan di sini bahwa di Negara-negara yang baru merdeka, partai-partai politik juga

di tuntut berperan memupuk identitas nasional dan integrasi nasional. Ini adalah tugas lain

dalam kaitannya dengan sosialisasi politik. Namun, tidak dapat disangkal adakalanya partai

mengutamakan kepentingan partai atas kepentingan nasional. Loyalitas yang diajarkan adalah

loyalitas kepada partai, yang melebihi loyalitas kepada Negara. Dengan demikian ia mendidik

pengikut-pengikutnya untuk melihat dirinya dalam konteks yang sangat sempit. Pandangan ini

malahan dapat mengakibatkan pengotakan dan tidak membantu proses integrasi, yang bagi

Negara-negara berkembang menjadi begitu penting.

c. Sebagai sarana rekuitmen politik

fungsi ini berkaitan erat dengan masalah seleksi kepemimpinan, baik kepemimpinan

internal partai maupun kepemimpinan nasional yang lebih luas. Untuk kepentingan

internalnya, setiap partai butuh kader-kader yang berkualitas, karena hanya dengan kader

yang demikian ia dapat menjadi partai yang mempunyai kesempatan lebih besar untuk

mengembangkan diri. Dengan mempunyai kader-kader yang baik, partai tidak akan sulit

menentukan pimpinannya sendiri dan mempunyai peluang untuk mengajukan calon untuk

masuk ke bursa kepemimpinan nasional. Selain untuk tingkatan seperti itu partai politik juga

berkepentingan memperluas atau memperbanyak keanggotaan. Maka ia pun berusaha

menarik sebanyak-banyaknya orang untuk menjadi anggotanya. Dengan didirikannya

organisasi-organisasi massa (sebagai onderbouw) yang melibatkan golongan-golongan buruh,


petani, pemuda, mahasiswa, wanita dan sebagainya, kesempatan untuk berpartisipasi

diperluas. Rekrutmen politik menjamin kontinuitas dan kelestarian partai, sekaligus

merupakan salah satu cara untuk menjaring dan melatih calon-calon pemimpin. Ada berbagai

cara untuk melakukan rekrutmen politik yaitu melalui kontrak pribadi, persuasi, ataupun cara-

cara lain.

d. Sebagai sarana pengatur konflik

Potensi konflik selalu ada di setiap masyarakat, apalagi di masyarakat yang bersifat

heterogen, apakah dari segi etnis (suku bangsa), social-ekonomi, ataupun agama. Setiap

perbedaan tersebut menyimpan potensi konflik. Apabila keanekaragaman itu terjadi di Negara

yang menganut paham demokrasi, persaingan dan perbedaan pendapat dianggap hal yang

wajar dan mendapat tempat. Akan tetapi di dalam Negara yang heterogen sifatnya, potensi

pertentangan lebih besar dan dengan mudah mengundang konflik.

Disini paran partai diperlukan untuk membantu mengatasinya, atau sekurang-

kurangnya dapat diatur sedemikian rupa sehingga akibat negatifnya dapat ditekan seminimal

mungkin. Elite partai dapat menumbuhkan pengertian di antara mereka dan bersamaan

dengan itu juga meyakinkan pendukungnya.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Secara umum kita dapat mendefinisikan bahwa parai politik adalah suatu kelompok

yang teroganisir yang anggota-anggotanya memppunyai sebuah orientasi, nilai-nilai, dan cita-

cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah memperoleh sebuah kekuasaan politik dan

merebut kedudukan politik yang biasanya di raih lewat konstitusional untuk melakukan

kebijakan-kebijakan dalam mencapai tujuan mereka.

Perlu diterangkan bahwa partai politik sangat berbeda dengan gerakan (movement)

dan berbeda juga dengan kelompok penekan (pressur group) atau istilah yang lebih banyak

digunakan pada dewasa ini yang memang memperjuangkan suatu kepentingan kelompok,

atau memang ingin melakukan perubahan terhadap paradigma masyarakat kearah yang lebih

baik.

B. Saran

Untuk tetap memperbaiki citra partai politik sebagai institusi demokrasi, tentu partai

politik lebih maksimal memikirkan nasib masyarakat ketimbang memperebutkan kursi

kekuasaan. Sedangkan dalam konteks konflik internal partai politik, meminimalisir mungkin

adanya sikap politik yang bisa merusak citra partai politik itu sendiri, tetap membuka adanya

ruang bagi kedua pihak yang bertikai untuk melakukan komunikasi politik yang lebih sehat

dan lebih konsisten pada aturan main organisasi.Konflik tentu tidak bisa dihindari, tetapi

partai politik juga harus memberikan ruang bagi terbangunnya suatu sistem manajemen

konflik yang lebih baik. Agar konflik personal maupun kelompok maupun yang terjadi diluar

partai tidak bisa berkembang, mampu kendalikan sehingga tidak melahirkan suasana

ketegangan yang apalagi perlaku negatif yang bisa merusak. Manajemen konflik juga penting

dalam mengelola masalah tersebut sebelum diselesaikan secara organisasi, atau minimal bisa

secara efektif mencegah adanya perpecahan ditubuh partai. Sebagaimana yang dipikirkan
oleh Ross (1993) sebagai seorang ahli dalam manajemen konflik, bahwa manajemen konflik

berupa penyelesaian konflik dan bisa jadi menghasilkan ketenangan, hal positif, mufakat dan

lebih kreatif. Masih ada waktu bagi para pemimpin partai untuk melakukan perubahan di

dalam partainya. Kepemimpinan kharismatis haruslah diabdikan untuk kepentingan semua

kader, bukan kelompok. Kepemimpinan model itu harus dipadukan dengan manajemen

pengelolaan partai yang modern, terbuka dan demokratis, termasuk dalam mengelolah

konflik. Hanya dengan menerapkan manajemen modern, partai bisa eksis dan mendapat

simpati pendukungnya.

DAFTAR PUSTAKA

Amal, Ichlasul. “Teori-Teori Mutakhir Partai Politik”, PT Tiara Wacana, Yogyakarta, 1996

Budiarjo,Mariam .“Partisipasi dan Partai Politik”.Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,1998.

__________. “Dasar-Dasar Ilmu Politk”. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008.

Surbakti, Ramlan. “Memahami Ilmu Poltik”. Grasindo, Jakarta, 1992.

http://masadmasrur.blog.co.uk/2007/08/17/peran_partai_politik~2824340/

http://kadri-blog.blogspot.com/2011/01/pengertian-partai-politik.html

http://id.wikipedia.org/wiki/Politik

http://www.gudangmateri.com/2011/01/definisi-partai-politik-dan-sistem.html

http://www.gudangmateri.com/2011/02/fungsi-dan-peranan-partai-politik.html
http://afrizal.student.umm.ac.id/2010/11/23/sejarah-partai-politik-di-indonesia/

http://www.anneahira.com/tujuan-partai-politik.html

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini Partai Politik di Indonesia semakin marak di kalangan masyarakat.
Hal ini membuktikan bahwa sistim politik di Indonesia telah berkembang dengan pesat.
Dalam sejarah Indonesia, perkembangan sistim politik mengalamai pasang surut.
Suatu sistim politik tersebut merupakan wadah insan politik dan melakukan
partisipasi, politik telah berjalan lama sejak berdirinya RI, bahkan organisasi ini telah
ada sebelum merdeka, sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa politik
merupakan organisasi yang tidak sehat, oleh karena itu diharapkan melalui karya tulis
ini kita dapat mengetahui secara jelas tentang sistim politik di Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Untuk mengetahui tujuan pembahasan tentang sistim politik di Indonesia,
maka sebagai perumusan dalam penyusunan adalah :
1. Apa yang dimaksud dengan sistim politik ?
2. Apakah tujuan dari sistim politik ?
3. Apakah unsur-unsur sistim politik ?
1.3 Tujuan Pembahasan
Suatu kegiatan akan lebih bermanfaat jika dalam pembahasan ini mempunyai
tujuan antara lain :
1. Untuk mengetahui apakah yang dinamakan dengan sistim politik.
2. Untuk memperluas pengetahuan tentang sistim politik, baik tujuan, pelaksanaan dan
unsur dalam politik.
3. Pandangan positif terhadap sistim politik sehingga kelak dapat berpartisipasi di
dalamnya.
1.4 Penegasan Istilah Judul
Dalam menyusun makalah ini, saya memberi judul “Sistim Politik di
Indonesia” dan sebelumnya penyusun akan menguraikan satu persatu istilah judul
tersebut sebagai berikut :
- Sistim adalah suatu kesatuan yang mengandung unsur-unsur saling terikat dan
terorganisir dengan utuh.
- Politik adalah kata yang berstatus dengan wilayahnya untuk kelestarian dan
perkembangannya.
1.5 Sistematika pembahasan
Sistematika ini terdiri atas :
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Permasalahan
1.4 Penegasan Istilah Judul
1.5 Sistematika Pembahasan
BAB II SISTEM POLITIK DI INDONESIA
2.1 Definisi Sistim Politik
2.2 Struktur
a. Suprastruktur
b. Infrastruktur
2.3 Sistim Politik di Dunia
2.4 Dinamika Politik Indonesia
2.5 Perilaku Politik Yang Sesuai Dengan Aturan
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran-saran
BAB II
SISTIM POLITIK INDONESIA
2.1 Definisi Sistim Politik
Secara umum kegiatan politik menyangkut tujuan masyarakat. Dapat dikatakan
bahwa sistim politik merupakan kegiatan dalam berwarganegara untuk melaksanakan
tujuan tersebut. “David Easton” berpendapat bahwa sistim politik sebagai interaksi yang
diabstraksikan dari seluruh tingkah laku sosial sehingga nilah tersebut diabaikan secara
otoritas kepada masyarakat. Konsep pokok politik adalah :
1. Negara (State)
2. Kekuasaan (Power)
3. Pengambilan Keputusan
4. Kebijakan
5. Pembagian
Politik juga dapat diartikan sebagai interaksi antara pemerintah dan masyarakat
dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan.
2.2 Struktur
Menurut “Imanuel Kart” struktur politik merupakan keadaan dan hubungan
dari suatu organisasi yang membentuk tujuan yang samsa secara keseluruhan.
a. Suprastruktur
Adalah budaya politik yang ditunjukkan dengan dinamika politik di
Pemerintah, contoh : Lembaga Negara. Suprastruktur diatur dalam UUD 1945.
Suprastruktur politik pemerntahan antara lain :
 MPR
 Anggota Dewan
 Presiden
 BPK
 MA
 DPR dan Presiden (Menjalangkan Legislative Power)
Fungsi Suprastruktur Out put
 Pengambilan keputusan oleh lembaga legislatif dan eksekutif
 Pelaksanaan keputusan oleh lembaga eksekutif dan aparat birokrasi
 Pengawasan pelaksanaan oleh badan Yudikatif
b. Infrastruktur
Adalah budaya politik tingkat bawah suatu komponen yang berkapasitas
berhak mempengaruhi dan mengelompokkan warga. Komponen infrastruktur
dikelompokkan sebagai berikut :
a. Partai Politik (Political Party)
b. Kelompok Kepentingan (Interest Group)
c. Kelompok Penekan (Presure Group)
d. Political Communication Media
e. Tokoh Politik
2.3 Sistim Politik Indonesia
Menurut “Almond n Powell” dapat dikategorikan menjadi 3 yaitu :
1. Sistim primitf yang intermittent
2. Sistem tradisional dan modern
Menurut “Alfian” sistim tradisional dikelompokkan menjadi 4 yaitu :
a. Menjunjung otoritas
b. Anarki
c. Demokrasi
d. Demokrasi dalam transisi
Beberapa sistim politik pada negara berkembang antara lain :
a. Otokrasi tradisional yaitu :
 Kebaikan bersama
 Identitas bersama
 Hubungan kekuasaan
b. Totaliter
Yaitu menggunakan cara paksa dalam berpolitik. Totaliter dapat dibedakan
menjadi 2 yaitu politik komunis dan fasis.
Menurut Carl J. Freidriech dan Zbiegniew B adalah ciri diktator moder
memiliki :
- Ideologi resmi
- Pengawasan pemerintah
- Monopoli media di kontrol oleh penguasa dan partai
- Pengendalian terpusat melalui birokrasi
- Kotrol yang ketat terhadap militer
3. Sistem Demokrasi
Adalah sistim yang memelihara keseimbangan antara konflik dan konsensus.
Hanya mentalis konflik yang tidak menghancurkan mekanisme.
4. Sistim din Negara Berkembang
Politik ini menerapkan trial dan erras yang mencari sistim yang sesuai dalam
sistim ini perlu adanya hubungan yang bersifat kasual dan organis.
2.4 Dinamika Politik Indonesia
Dalam tinjauan teoritis banyak terdapat pengertian politik. Menurut
“Hoogowerf” adalah usaha manusia tidak hanya menyesuaikan diri secara pasif
terhadap perubahan-perubahan dalam lingkungannya, melainkan dengan cara aktif
memberi kontrol serta mengarahkan kebijakan kepada rakyat.
Politik merupakan suatu proses untuk menentukan dan melaksanakan tujuan
hidup bersama.
Dinamika politik Indonesia adalah perjuangan insan politk yang subtansinya
secara embrional. Dinamika politik Indonesia sejak merdeka hingga sekarangan ditinjau
dari perkembangan bisa dibedakan menjadi beberapa fase yakni :
1. Fase perang kemerdekaan (1945 – 1949)
2. Fase RIS (1949)
3. Fase UUDS (1950 – 1959)
4. Fase demokrasi politik (1959 – 1965)
5. Fase orde baru (1966 – 1998)
6. Fase reformasi
Bila suatu negara menginginkan pemerintahan demokratis harus
mengupayakan SDM terlebih dahulu agar mampu menjadi pengontrol negara.
2.5 Perilaku Politik Yang Sesuai Aturan
Perilaku politik adalah perilaku seseorang dalam kaitan dengan kekuasaan.
Pada dasarnya ada 5 alasan yaitu :
1. Ingin mendapat materi
2. Untuk mengejar prestise
3. Ikut-ikutan teman
4. Tuntutan universal
5. Sesuai dengan aturan yang berlaku
Perilaku politik pada dasarnya bersifat individual, hal ini dapat dilihat dari sifat
geraknya sebagai berikut :
a. Perilaku Politik Radikal
Radikal adalah aliran politik yang menginginkan perubahan dalam masyarakat
secara drastis untuk mendapat tujuan yang diinginkan. Ciri radikal adalah lebih
mementingkan emosi dari pada rasional agar tujuan yang diinginkan terwujud.
b. Perilaku Politik Liberal
Perilaku ini lebih mengutamakan kebebasan dalam memperjuangkan
kepentingannya, tapi tertumpu pada aturan yang berlaku dan selalu menghormati HAM.
c. Moderat
Moderat adalah perilaku sebisa mungkin mengakomodasi semua kepentingan
dan selalu menghindari sikap ekstrim / kelompok tengah dan kelompok ini
mempertahankan prinsip dengan cara akomodatif dan persuatif.
d. Perilaku Politik Status Qou
Merupakan perilaku untuk mempertahankan agar kekuasaan yang dimiliki
tidak lepas.
e. Perilaku Politik Reaksioner
Yaitu perilaku politik yang selalu meletakkan diri pada posisi kontes dengan
aksi massa walaupun tidak dilakukan dengan kekerasan.
f. Perilaku Politik Konservatif
Adalah sikap politik yang menginginkan tradisi lama yang stabil dan selalu
menghindari perubahan secara radikal.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari makalah di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Pemikiran yang jernih tentang sistim politik dan menanggapi aspirasi yang disuarakan
rakyat.
2. Dapat mengerti dan mengetahui tentang perilaku politik yang sesuai dengan aturan
yang berlaku.
3. Kita dapat mengetahui beberapa sistim politik.
3.2 Saran-saran
Mungkin dari kesimpulan di atas dapat dipetik salah satu yang paling penting
adalah perlunya manusia Indonesia agar mempunyai pengetahuan yang luas dalam
bidang tertentu seperti bidang kewarganegaraan yang harus berfikir profesional. Karena
dalam bidang inilah yang harus diperhatikan lebih.
Untuk itu penulis mekalah ini jauh dari kesempurnaan dan demi kemajuan
karya tulis ini saya mengharap kritik dan saran. Apabila ada kesalahan dalam penulisan
bahasa, penyusunan atau makalah ini saya mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Akhir kata dari kami mengharap semoga makalah ini berguna bagi para
pembaca pada umumnya. Amien . . . . . . . . .
DAFTAR PUSTAKA
Sudarso, H. 2003. Dinamika Politik Indonesia. Yogyakarta : Mata Bangsa Edisi 1 Juli 2003.
Syachrir. 1999. Struktur Sistim Politik. Jakarta : Airlangga.

Anda mungkin juga menyukai