Anda di halaman 1dari 16

REFERAT

LIMFOGRANULOMA VENERUM

Dokter Pembimbing:

dr. Retno Sawitri, Sp. KK

Disusun oleh:

Annisa Parasayu, S.Ked

030.09.026

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA BEKASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

PERIODE 1 DESEMBER 2014 - 4 JANUARI 2015

0
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karuniaNya sehingga dapat terselesaikannya referat dengan judul “Limfogranuloma Venerum.”
Penulisan referat ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi salah satu tugas kepaniteraan Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin.

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak sangatlah sulit untuk
menyelesaikan makalah ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada dr. Retno Sawitri, Sp.KK, selaku pembimbing yang telah membantu dan
memberikan bimbingan dalam penyusunan makalah ini, dan kepada semua pihak yang turut serta
membantu penyusunan makalah ini.

Akhir kata dengan segala kekurangan yang penulis miliki, segala saran dan kritik yang bersifat
membangun akan penulis terima untuk perbaikan selanjutnya. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang mempergunakannya selama proses kemajuan pendidikan
selanjutnya.

Bekasi, 7 Desember 2014

Penulis

1
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

LIMFOGRANULOMA VENERUM

Telah dipresentasikan

dan disetujui pada tanggal ________________

Disusun oleh

Annisa Parasayu, S.ked

Menyetujui,

Dokter pembimbing

dr. Retno Sawitri, Sp.KK

2
DAFTAR ISI

Kata pengantar……………………………………………………………………………………
Lembar pengesahan………………………………………………………………………………
Daftar isi…………………………………………………………………………………………….
BAB I
Pendahuluan…………………………………………………………………………………….......
Latar belakang………………………………………………………………………………
Tujuan penulisan……………………………………………………………………………
BAB II
Daftar Pustaka………………………………………………………………………………………
Definisi……………………………………………………………………………………...
Sinonim………………………………………………………………………………..

3
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Limfogranuloma venerum (LGV) ialah penyakit venerik yang disebabkan oleh Chlamydia
trachomatis, afek primer biasanya cepat hilang, bentuk yang tersering adalah sindroma inguinal.1

Sindrom tersebut berupa limfadenitis dan periadenitis beberapa kelenjar getah bening inguinal
medial dengan kelima tanda radang akut dan disertai gejala konstitusi, kemudian akan mengalami
perlunakan yang tak serentak.1

Penyakit ini tersebar di wilayah Amerika Utara, Eropa dan Oseania. LGV memiliki prevalensi
yang tinggi pada wilayah Afrika, Asia dan Amerika Selatan. LGV juga dikenal dengan istilah
tropical bubo atau climatic bubo, strumous bubo, poradenitis inguinalis, Durand-Nicolas-Favre
disease, atau limfogranuloma inguinal.2

4
LGV memiliki manifestasi klinis akut dan kronik, terdapat 3 tahap infeksi, serta memiliki
kesamaan dengan sifilis. Lesi atau afek primer dari LGV kecil, secara umum tidak disertai dengan
keluhan nyeri pada papul di genital yang dapat mengalami ulserasi. Tahap kedua, memiliki
karakterisasi limfadenitis akut yaitu formasi bubo (sindrom inguinal) dengan atau prostitis
hemoragik akut yang disebabkan adanya aktivitas seksual anogenital (sindrom anogenitorektal)
yang terjadi bersamaan dengan demam dan keluhan lain yang diakibatkan penyebabran sistemik
dari infeksi tersebut.2

Pasien mengalami penyembuhan terhadap LGV setelah tahap kedua tanpa gejala sisa. Namun,
beberapa pasien mengalami infeksi Chlamydia yang persisten pada jaringan anogenital dan
mengalami infeksi kronis yang dapat menyebabkan terjadinya ulkus, fistel, strikur rektum dan
elephantiasis pada genital. Pemberian antibiotik selama tahap kedua dapat mencegah terjadinya
komplikasi. penatalaksanaan lain dapat dilakukan pembedahan.1,2

Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui definisi, penyebab, patofisiologi, gejala
klinis, mekanisme fisiologis, diagnosis, diagnosis banding, komplikasi dan terapi dari
limfogranuloma venerum.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

Limfogranuloma venerum (LGV) ialah penyakit venerik yang disebabkan oleh Chlamydia
trachomatis, afek primer biasanya cepat hilang, bentuk yang tersering adalah sindroma inguinal.

Sindrom tersebut berupa limfadenitis dan periadenitis beberapa kelenjar getah bening inguinal
medial dengan kelima tanda radang akut dan disertai gejala konstitusi, kemudia akan mengalami
perlunakan yang tak serentak.

Sinonim

LGV disebut juga limfopatia venerum yang dilukiskan pertama kali oleh NICOLAs, DURAND,
dan FAVRE pada tahun 1913, karena itu juga disebut penyakit NICOLAS-FAVRE.

Epidemiologi

Penyakit ini terutama terdapat di negeri tropis dan subtropis, penderita pria pada sindrom inguinal
lebih banyak daripada wanita. Sebenarnya, hal itu disebabkan karena perbedaan patogenesis yang
akan diterangkan kemudian. Kini penyakit ini jarang ditemukan.

Etiologi

6
Penyebabnya ialah Chlamydia trachomatis. Penyakit yang segolongan ialah psitakosis, trakoma
dan inclusion conjunctivitis.

Patogenesis dan Gejala Klinis

Masa tunas penyakit ini ialah 1-4 minggu. Gejala konstitusi timbul sebelum penyakitnya mulai
dan biasanya menetap selama sindrom inguinal. Gejala tersebut berupa malaise, nyeri kepala,
atralgia, anoreksia, nausea dan demam.

Gambaran kilnisnya dapat dibagi menjadi bentuk dini, yang terdiri atas afek primer serta sindroma
inguinal dan bentuk lanjut yang terdiri atas sindroma genital, anorektal dan uretral. Waktu
terjadinya afek primer hingga sindroma inguinal 3-6 minggu, sedangkan dari bentuk dini hingga
bentuk lanjut satu tahun hingga beberapa tahun.

Afek Primer

Afek primer berbentuk tak khas dan tak nyeri, dapat berupa erosi, papul miliar, vesikel, pustul dan
ulkus. Umumnya soliter dan cepat hilang karena itu penderita biasanya tidak datang berobat pada
waktu terjadinya sindrom inguinal. Pada pria umumnya afek primer berlokasi di genital eksterna,
terutama di sulkus koronarius, dapat pula di uretra meskipun sangat jarang. Pada wanita biasanya
afek primer tidak terdapat pada genitalia eksterna, tetapi pada vagina bagian dalam dan serviks.

Sindrom Inguinal

Sindrom inguinal merupakan sindrom yang tersering dijumpai karena itu akan diuraikan secara
luas. Sindrom tersebut terjadi pada pria, jika afek primernya di genitalia eksterna, umumnya
unilateral, kira-kira 80%. Pada wanita, terjadi jika afek primernya pada genitalia eksterna dan
vagina 1/3 bawah. Itulah sebabnya sindrom tersebut lebih sering terdapat pada pria daripada
wanita, karena pada umumnya afek primer pada wanita di tempat yang lebih dalam, yakni di
vagina 2/3 atas dan serviks. Jika afek primer pada tempat tersebut, maka yang mengalami
peradangan bukan kelenjar inguinal medial tetapi kelenjar Gerota.

Pada sindrom ini yang terserang ialah kelenjar getah bening inguinal medial, karena kelenjar
tersebut merupakan kelenjar regional bagi genitalia eksterna. Kelenjar yang dikenal ialah berapa
dan dapat diketahui karena permukaannya berbenjol-benjol, kemudian akan berkonfluensi. Karena

7
LGV merupakan penyakit subakut, maka kelima tanda radang akut akan didapatkan yakni dolor,
rubor, tumor, kalor dan fungsiolesa. Selain limfadenitis terjadi pula periadenitis yang
menyebabkan perlekatan dengan jaringan sekitarnya. Kemudia terjadi perlunakan yang tidak
serentak yang mengakibatkan konsistensinya menjadi bermacam-macam yakni keras, kenyal dan
lunak (abses). Perlunakan biasanya di tengah, dapat terjadi abses dan fistel yang multipel.

Sering terlihat pula 2 atau 3 kelompok kelenjar yang berdekatan memanjang seperti sosis di bagian
proksimal dan distal ligamentum pouparti dan dipisahkan oleh lekuk (sulkus). Gejala tersebut oleh
GREENBLATT disebut stigma of groove. Pada stadium lanjut terjadi penjalaran ke kelenjar getah
bening di fosa iliaka dan dinamai bubo bertingkat (etage bubonen). Kadang-kadang dapat pula ke
kelenjar di fosa femoralis. Ada kalanya terdapat limfangitis yang tampak sebagai tal yang keras
dan bubonuli.

Sindrom Genital

Jika sindrom inguinal tidak diobati, maka terjadi fibrosis pada kelenjar inguinal medial, sehingga
aliran getah bening terbendung serta terjadi edema dan elephantiasis. Elephantiasis tersebut dapat
bersifat vegetatif, dapat terbentuk fistel-fistel dan ulkus-ulkus.

Pada pria, elephantiasis terdapat di penis dan skrotum sedangkan pada wanita di labia dan klitoris
disebut estiomen. Jika meluas terbentuk elephantiasis genitor-anorektalis dan disebut sindrom
Jersild.

Sindrom Anorektal

Sindrom tersebut dapat terjadi pada pria homoseksual, yang melakukan sanggama secara
genitoanal. Pada wanita dapat terjadi dengan dua cara. Pertama, jika sanggama dilakukan dengan
cara genito-anal. Kedua, jika afek primer terdapat pada vagina 2/3 atas atau serviks, sehingga
terjadi penjalaran ke kelenjar perirektal (kelenjar Gerota) yang terletak antara uterus dan rektum.
Pembesaran kelenjar tersebut hanya dapat diketahui dengan palpasi secara bimanual. Proses
berikutnya hampir sama dengan sindroma inguinal, yakni terjadi limfadenitis dan periadenitis lalu
mengalami perlunakan hingga terbentuk abses. Kemudian, abses memecah sehingga
menyebabkan gejala keluarnya darah dan pus apda waktu defekasi, kemudian terbentuk fistel.
Abses-abses dan fistel-fistel dapat berlokasi di perianal dan perirektal.

8
Selanjutnya, muara fistel meluas menjadi ulkus, yang kemudian menyembuh dan menjadi
sikatriks, terjadilah retraksi hingga mengakibatkan striktura rekti. Kelainan tersebut umumnya
mengenai seluruh lingkaran rektum sepanjang 4-10 cm dan berlokasi 3-8 cm atau lebih di atas
anus. Keluhannya ialah obstipasi tinja kecil-kecil disertai perdarahan waktu defekasi. Akibat lain
adalah terjadinya prokitis yang menyebabkan gejala tenesmus dan keluarnya darah dan pus dari
rektum. Kecuali kelenjar Gerota, dapat pula terjadi penjalaran ke kelenjar iliaka dan hipogastrika.

Sindrom Uretral

Sindrom tersebut terjadi jika terbentuk infiltrat di uretra posterior, yang kemudian menjadi abses
lalu memecah dan menjadi fistel. Akibatnya ialah terjadi striktur hingga orifisium uretra eksternum
berubah bentuk seperti mulut ikan dan disebut fish mouth urethra dan penis melengkung seperti
pedang Turki.

Kelainan lain

Kelainan tersebut lebih sering terdapat pada manifestasi dini daripada manifestasi lanjut dan jarang
ditemukan. Pada kulit dapat timbul eksantema berupa eritema nodusum dan eritema multiformis.
Fotosensitivitas dapat terjadi pada 10-30% kasus pada betuk dini dan 50% pada bentuk lanjut.
Kelainan pada mata dapat berupa konjungtivitis, biasanya unilateral disertai edema dan ulkus-
ulkus pada palpebra. Sering pula bersama-sama dengan pembesaran kelenjar getah bening regional
dan demam. Sindrom tersebut disebut sindrom okuloglandular PARINAUD. Selain itu, dapat pula
menimbulkan kelainan pada fundus berupa pelebaran pembuluh darah yang berliku-liku dan
disertai edema peripapilar.

Susunan saraf pusat dapat pula mengalami kelainan berupa meningoensefalitis. Kelainan lain
adalah hepatosplenomegali, peritonitis dan uretritis. Uretritis tersebut dapat disertai ulkus-ulkus
pada mukosa, dapat pula bersama-sama dengan sistitis dan epididimitis.

Pembantu Diagnosis

Pada gambaran darah tepi biasanya leukosit normal, sedangkan LED meninggi. Peninggian ini
menunjukkan keaktifan penyakit, jadi tak khas untuk LGV. Lebih berarti untuk menilai
penyembuhan, jika menyembuh LED akan menurun.

9
Sering terjadi hiperproteinemia berupa peninggian globulin, sedangkan albumin normal atau
menurun, sehingga perbandingan albumin-globulin menjadi terbalik. Immunoglobulin yang
meninggi ialah IgA dan tetap meninggi selama penyakit masih aktif, sehingga bersama-sama
dengan LED menunjukkan keaktifan penyakit.

1. Pewarnaan pus bubo dengan Giemsa untuk menemukan badan inklusi Chlamydia yang khas.

2. Tes Frei, yang berdasarkan pada reaksi lambat intradermal yang spesifik terhadap Chlamy dia
sehingga dapat memberi positif semu pada infeksi Chlamydia jenis lain.

3. Tes serologi, terdiri atas complement fixation test, radioisotop precipitation, dan mi cro
immunofluorescent typing.

4. Kultur jaringan untuk konfirmasi diagnosis, bahan pemeriksaan, dari aspirasi pus bubo yang
belum pecah

- See more at: http://wikimed.blogbeken.com/limfogranuloma-venereum#sthash.wu01ISUo.dpuf

Tes Frei

Melakukan tes Frei dengan antigen Frei. Frei memperolehnya dari pus penderita LGV yang
mengalami abses yang belum pecah, kemudian dilarutkan dalam garam faal dan dilakukan
pasteurisasi. Untuk mendapatkan antigen yang tidak terkontaminasi oleh bakteri, dapat diperoleh
dari otak tikus yang telah ditulari.

Cara melakukannya, seperti pada tes tuberkulin yakni 0,1 cc disuntikkan intrakutan pada bagian
anterior lengan bawah dan dibaca setelah 48 jam. Jika terdapat infiltrat berdiameter 0.5 cm atau
lebih berarti positif. Kekurangan yang lain ialah tes tersebut baru memberi hasil positif setelah 5-
8 minggu dan jika positif hanya berarti sedang atau pernah menderita LGV.

Pada tes Frei terbalik, antigen diambil dari penderita yang tersangka menderita LGV, kemudian
disuntikkan pada penderita LGV. Jika positif berarti penderita yang tersangka menderita LGV

Tes Ikatan Komplemen

10
Tes tersebut lebih peka dan lebih cepat dipercaya daripada tes Frei dan lebih cepat menjadi positif
yakni setelah sebelun. Tes ini juga memberi reaksi silang dengan penyakit yang segolongan. Jika
titer 1/16 berarti sedang sakit, tetapi jika titernya lebih rendaah hanya berarti pernah sakit.

Diagnosis Banding

Skrofuloderma

Antara LGV dan skrofuloderma yang mengenai daerah inguinal terdapat persamaan, yakni pada
keduanya terdapat limfadenitis pada beberapa kelenjar, periadentitis, perlunakan tidak serentak
dengan akibatnya konsistensi kelenjar bermacam-macam, serta pembentukan abses dan fistel yang
multipel. Kecuali itu LED meninggi pada keduanya, sedangkan leukosit biasanya normal.

Perbedaannya, pada LGV terdapat kelima tanda radang akut, sedangkan pada skrofuloderma tidak
terdapat kecuali tumor. Lokasinya juga berlainan, pada LGV di inguinal medial, sedangkan pada
skrofuloderma pada inguinal lateral dan femoral.

Limfadenitis piogenik

Pada penyakit ini lesi primer masih tampak, misalnya dermatitis atau skabies pada genitalia
eksterna yang mengalami infeksi oleh piokokus, sedangkan pada LGV lesi primer umumnya telah
tiada karena cepat hilang. Kelima tanda radang akut juga terdapat, tetapi perlunakannya serentak
sehingga tidak membentuk abses dan fistel yang multipel seperti pada LGV. Pada pemeriskaan
laboratorium terdapat leukositosis.

Limfadenitis karena ulkus mole

Ulkus mole kini jarang terdapat. Jika menyebabkan limfadenitis, maka lesi primer masih tampak.
Kelima tanda radang juga teradapat, tetapi perlunaknnya serentak.

Limfoma malignum

Penyakit ini jika masih dini tanpa disertai kelima tanda radang, kecuali tumor, baisanya tidak
melunak. Pada gambaran darah tepi terdapat kelianan dan gambaran histopatologinya member
kelainan yang khas.

Hernia inguinalis

11
Ada kalanya hernia inguinalis atau femoralis disangka LGV dan sebalinya. Pada hernia tanda-
tanda radang tidak ada kecuali tumor dan pada pengejanan tumor akan membesar.

Pengobatan

1. Medikamentosa
 Sulfonamida (pilihan utama) dengan dosis 3-5 g/hari selama 14 hari
 Kotrimoksazol (trimetroprim 400 mg + sulfametoksazol 80 mg) dengan dosis 3 x
2 tablet/hari selama 7 hari
 Doksisiklin (rekomendasi WHO saat ini), dosis 2 x 100 mglhari selama 14 hari.
 Tetrasiklin, dosis 4 x 500 mg sampai 14 hari (obat alternatif)
 Obat lain yang dapat dipakai: kloramfenikol, minoksiklin, dan rifampisin.
2. Pembedahan

Pada abses multipel yang berfluktuasi lebih baik aspirasi jarum daripada insisi karena
dapat memperlambat penyembuhan. Untuk stadium lanjut dapat dilakukan:

 Valvulektomi total atau labiektomi pada elefantiasis labia


 Dilatasi dengan Bougie bila terjadi striktur rekti
 Drainase pada abses perianal dan perirektal
 Operasi plastik untuk elefantiasis penis dan skrotum

- See more at: http://wikimed.blogbeken.com/limfogranuloma-venereum#sthash.wu01ISUo.dpuf

Dahulu dianggap bahwa sulfa merupakan obat pilihan untuk pengobatan LGV, tetapi akhir-akhir
ini obat tersebut makin berkurang khasiatnya. Menurut pengalaman, kotrimoksazol, yaitu
kombinasi sulfametoksazol dan trimetroprim lebih poten. Satu tablet terdiri atas 400 mg
sulfametoksazol dan 80 mg trimetroprim. Nama dagang, misalnya seprtin, bactrim. Dosis sehari
2x2 tablet, diberikant erus menerus hingga sembuh. Lama penyembuhan pada sindrom inguinal
antara 1-5 minggu bergantung pada berat ringan penyakit.

Efek samping sulfa ialah anemia hempolitik, agranulositosis dan methemoglobinemia. Meskipun
efek samping tersebut sangat jarang terjadi, sebaiknya diperiksa kadar Hb, jumlah leukosit, dan
hitung jenis, sebelum pengobatan dimulai dan selanjutnya setiap minggu. Kristaluria sekarang
langka dijumpai karena daya larut sulfa yang baru sangat baik. Penggunaan trimetroprim pada

12
wanita hamil tidak dianjurkan, meskipun ada laporan yang menulis bahwa obat tersebut tidak
bersifat teratogenik. Obat yang merupakan pilihan kedua ialah sulfa dengan dosis 3x1 gram sehari.
Berikutnya adalah tertrasiklin dengan dosis 3x500 mg sehari, yang kurang efektif ialah
kloramfenikol dan eritromisin, dosisnya sama dengan tetrasiklin.

Pada sindrom inguinal dianjurkan pula untuk beristirahat di tempat tidur. Pengobatan topikal
berupa kompres terbuka jika abses telah pecah, misalnya dengan larutan permanganas kalikus
1/5000.

Hal yang penting dikemukakan ialah tentang insisi dan aspirasi. Menurut kepustakaan tindakan
tersebut tidak boleh dilakukan karena bekas insisi sukar sembuh, sedangkan bekas aspirasi akan
meninggalkan fistel artificial yang juga sukar sembuh, bahkan ada yang mengatakan insisi akan
menyebabkan penyebaran kuman secara hematogen. Menurut pengalaman saya, pendapat tersebut
tidak benar. Jika telah beberapa hari tidak tampak perbaikan, hendaknya abses diinsisi. Dengan
cara tersebut keluhan penderita akan berkurang dan masa penyembuhan dipercepat. Bekas insisi
akan cepat sembuh seperti pada abses karena penyakit lain, asalkan obat terus diberikan.

Penogbatan pada bentuk lanjut ialah tindakan pembedahan dan kortikosteroid. Pada pengobatan
LGV jangan dilupakan agar mitra seksualnya juga diobati.

BAB III

KESIMPULAN

13
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda, A. Limfogranuloma Venerum. Djuanda, A. Hamzah M., Aisah S. Dalam: Ilmu


Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi: 6. Jakarta. Badan Penerbit FKUI. Hal 413-16

14
2. Stamm W. E., Lymphogranuloma Venerum. Holmes K. K., Sparling P. F., Stamm W. E.
In: Sexually Transmitted Disease. 4th ed. China. The McGraw-Hill Companies, Inc. P
595-603.
3.

15

Anda mungkin juga menyukai