Anda di halaman 1dari 188

1

BUNGA
RAMPAI
Kumpulan tulisan
Selama Bertugas Sebagai Detaser di
Universitas Trunojoyo 2005
2

Hak cipta pada Tim Penulis


-----------------------------------------------------------------
Judul : Bunga Rampai
Kumpulan tulisan Para Detaser, pada Program
Detasering di Universitas Trunojoyo 2005
Tim penulis : Suhardjono, Eman Suparman,
Francien Tomasowa, Susijahadi,
Ika Rochdjatun Sastrahidayat,
Desain sampul : Menunggu Pemenang
Penerbit : Lembaga Penerbitan
Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya
Tahun : 2005
ISBN : 979-508-567-0
---------------------------------------------------------
3

Pengantar
Di tahun 2005, direktorat jenderal pendidikan tinggi kembali
menyelenggarakan program detasering. Suatu kegiatan penugasan dosen senior
pada beberapa perguruan tinggi negeri yang relatif baru, di Indonesia dengan
tujuan meningkatkan kualitas dosen dan sivitas akademika lainnya pada
kemampuan pengelolaan dan pelaksanaan tri dharma perguruan tinggi.
Universitas Trunojoyo Bangkalan, merupakan salah satu dari perguruan
tinggi negeri yang untuk kedua kalinya memperoleh program tersebut. Lima
dosen senior yakni : (1) Prof. Dr. Ir. Ika Rochdjatun Sastrahidayat, (2) Prof.
Dr. Ir. Suhardjono, MPd., Dipl.HE, (3) Ir. Susijahadi, MS., (4) Dra. Francien
Herlen Tomasowa, Ph.D., dan (5) Dr. Eman Suparman, SH., MH., bertugas
di Unijoyo selama lima bulan mulai Agustus sampai dengan Desember 2005,
sesuai dengan bidang keahlian dan pengalaman masing-masing.
Banyak kegiatan telah dilakukan oleh para detaser. Di antaranya
melaksanakan berbagai seminar, lokakarya dan diskusi, serta penulisan karya
ilmiah para dosen. Sebagai pendukung kegiatan tersebut beberapa makalah
dibuat.
Timbul gagasan untuk menghimpun tulisan-tulisan tersebut. Paling
tidak sebagai upaya mendokumentasikan dan mempublikasikan kegiatan.
Karena itulah dibuat Bunga Rampai ini. Berbagai informasi terpaparkan.
Mulai dari upaya peningkatan mutu pembelajaran, penelitian, peningkatan
kompetensi berbahasa Inggris, pengabdian kepada masyarakat, masalah hukum,
dan juga pertanian. Mengacu pada keanekaragaman isi tulisan itulah, buku ini
disebut Bunga Rampai.
Kepada Rektor Unijoyo berikut para dosen, karyawan, dan mahasiswa,
khususnya Prof. Dr. Ir. Ariffin, MS, Pembantu Rektor Bidang Akademis
Unijoyo yang telah memberikan kerjasama yang sangat baik selama program
detesering, disampaikan penghargaan dan terima kasih.
Tim detaser Unijoyo 2005
Hormat tim penulis
4

Daftar isi
Pengantar
Daftar isi
Belajar lebih benar dan lebih menyenangkan ..................................... 5
Teori belajar dan penerapannya dalam mengajar .............................. 11
Membuat karya tulis ilmiah untuk jurnal ......................................... 25
Meningkatkan keterampilan mengajar pada kurikulum berbasis
kompetensi ................................................................................... 31
Manfaat sop dan bagaimana menyusunnya ...................................... 42
Menjadi ahli hukum yang jujur, pintar, mahir, serta committed terhadap
profesi ......................................................................................... 50
Tanggung jawab hukum & etika profesi tenaga kesehatan ................ 57
Arbitrase untuk keadilan ................................................................ 64
Harmonisasi hukum untuk globalisasi ............................................. 71
Beberapa tips presentasi lisan dalam bahasa inggris pada forum
internasional ................................................................................. 88
Kapita selekta pembelajaran bahasa inggris anak usia sekolah dasar 102
Penjaminan mutu sebagai langkah awal untuk pengembangan program
studi........................................................................................... 109
Perspektif agribisnis dan agroindustri dalam rangka meningkatkan
ekonomi masyarakat ................................................................... 113
Penanganan limbah industri hasil pertanian ................................... 127
Langkah penyusunan evaluasi diri untuk akreditasi program studi ... 133
Judul laporan .............................................................................. 144
Kebenaran ilmiah dan cara mendapatkannya ................................. 146
Proses penulisan artikel/makalah di jurnal ilmiah atau proseding..... 153
Eksplorasi dan perumusan masalah penelitian ............................... 158
Metode monitoring dan evaluasi pengembangan jurusan ................ 177
5

Belajar lebih Benar dan lebih


Menyenangkan1
Menyambut Mahasiswa Baru tahun 2005
Universitas Trunojoyo
Suhardjono

Salah satu kegiatan utama mahasiswa adalah belajar.


Hampir setiap hari mahasiswa dituntut untuk belajar.
Belajar yang benar membutuhkan keterampilan keterampilan dalam
mendengar, membaca, menulis, mencari, mengolah serta menggunakan
informasi.
Belajar menuntut adanya kemauan dalam diri mahasiswa.
Gabungan antara keterampilan belajar dan kemauan, membawa
belajar menjadi lebih benar dan lebih menyenangkan.

Tantangan masa datang


Bahwa di masa datang akan terjadi banyak perobahan, kita semua
maklum. Berbagai referensi mengungkapkan prakiraan perobahan tersebut.
Penggerak perobahan terbesar adalah laju perkembangan ilmu dan teknologi di
satu pihak dan keterbatasan sumber-sumber kehidupan di lain pihak, serta
adanya upaya dan kemampuan manusia dalam mensiasati perobahan.
Menurut Ramelan (1990) salah satu inovasi iptek yang sangat
mengagumkan adalah pengembangan dan penggunaan mikroelektronik yang
berupa pengembangan peralatan yang lebih kecil, lebih murah, lebih hemat
enersi, lebih handal, dan lebih berkecepatan tinggi. Dampak pemanfaatan
teknologi itu antara lain adalah : a) gaya hidup teknologi canggih dengan tempo
yang lebih tinggi semakin meluas akibat dari meluasnya otomatisasi dan
meningkatnya pemanfaaatan komputer pribadi; b) otomatisasi dan pengendalian
jarak jauh akan meningkat menjadikan globalisasi wawasan dan berbagai
kegiatan akan meluas dan membawa terjadinya perubahan kebutuhan jumlah
dan mutu tenaga kerjadan c) globalisasi dan saling ketergantungan baik
nasional maupun internasional akan meningkat (Parapak, 1990).
Untuk mampu bersaing di era globalisasi, tentu dibutuhkan manusia-
manusia dengan kriteria kualitas tertentu. Tilaar (1990) menyatakan masyarakat

1
Disajikan pada kuliah umum bagi Mahasiswa Baru Universitas Trunojoyo, 30 Agustus
2005
6

global menuntut dan menghargai pada kualitas, inisiatif dan kreatifitas, kerja
keras serta produktivitas. Mengacu kepada tantangan dunia usaha dan industri
di masa datang, Harsono (1998) berpendapat perlunya tenaga yang: a) memiliki
jiwa enterprenuer; b)mampu berbahasa Inggris dan atau bahasa internasional
yang lain; c) memiliki etos kerja yang tinggi dengan ditunjang disiplin diri;
d) tanggap terhadap setiap perkembangan teknologi, arus globalisasi dan
informasi; serta e) berwawasan luas sehingga mampu berkiprah dalam
komunitas global.
Lulusan Universitas Trunojoyo di masa datang, di samping
harus berkemampuan dalam bidang keilmuannya mereka harus pula
mampu menjadi “ KAKAP BESAR ” yaitu Kreatif, Analisis, Kritis,
dan berkemampuan meng-Ambil Keputusan. Di samping harus pula
mampu BElajar sepanjang hayat, ber-Sikap positif, Aktip-disiplin, dan
Rasional, karena:
a. kreatif-analisis-kritis yang merupakan syarat dasar untuk dapat
mengoptimalkan fasilitas yang tersedia dalam berbagai teknologi
informatika dan komputer
b. mampu mengambil keputusan, dengan baik, benar dan bermutu,
karena itulah yang menentukan keberhasilan seorang di dalam
kehidupannya.
c. mampu dan mau membelajarkan diri sendiri sepanjang hayat;
agar supaya tangguh dalam menghadapi dan menyesuaikan diri
terhadap perobahan
d. bersikap positif, bermotivasi tinggi, berkemampuan dalam
mendapatkan, mengolah, menggunakan dan menyalurkan
informasi karena berbagai informasi iptek berobah dalam waktu
yang cepat, untuk itu kemampuan berbahasa (bahasa Inggris,
khususnya) dan berkomunikasi merupakan kemampuan dasar
yang seharusnya dimiliki;
e. disiplin, presisi, dan bekerja keras sebagai prasyarat untuk dapat
menyesuaikan diri dalam memakai teknologi dan peralatan iptek-
informasi masa datang;
f. berpikir rasional karena iptek (khususnya komputer) bertumpu
pada unsur-unsur logika;
Kemudian, apa yang dapat dilakukan mahasiswa agar dapat
menjadi lulusan dengan kualitas yang seperti itu?
7

Tingkatkan Kemauan Belajar


Megahnya ruang kuliah, hebatnya kualitas dosen akan tidak berarti bila
tidak ada kemauan belajar dalam diri mahasiswa. Belajar hanya terjadi bila
mahasiswa mau belajar (artinya dalam diri mahasiswa ada kehendak, ada
motivasi, ada kemauan untuk belajar). Kehendak belajar akan muncul, apabila
mahasiswa mengetahui apa manfaat yang akan diperoleh dari hal yang
dipelajari. Untuk itu, setiap kali akan belajar, ketahui terlebih dahulu apa
untungnya mempelajari hal itu. Tanyakan manfaat matakuliah kepada dosen
anda. Atau buat, ciptakan sendiri dalam pikiran Anda hal-hal yang
menyenangkan yang akan Anda dapat dari belajar sesuatu. Misalnya, belajar
bahasa Inggris, pikirkan manfaat yang akan dapat Anda peroleh (dapat lebih
banyak manfaatkan informasi internet, sebagai modal ke luar-negeri, punya
teman di Amerika, tidak lagi minder, dan lain-lain).

• Mengetahui manfaat yang akan didapat, motivasi belajar akan


meningkat.
Motivasi yang telah muncul, harus diperkuat dengan pikiran yang
bersemangat. Untuk itu buatlah aktivitas fisik yang juga bersemangat.
Bagaimana mungkin, pikiran akan bersemangat, bila Anda duduk loyo,
bertopang dagu, bermata sayu. Semangatkan fisik Anda. “pasang” mimik muka
Anda menjadi mimik muka orang paling cerdas, duduklah dengan percaya diri,
berdirilah dengan tegap.

• Semangatkan pikiran Anda melalui gerakan, sikap tubuh, dan


mimik wajah yang penuh enersi.
Bersamaan dengan itu ciptakan lingkungan belajar yang
membangkitkan gairah. Bila Anda menyukai, dengarkan musik lembut sambil
belajar, pasang foto pacar (atau foto orang tua, atau foto Anda sendiri waktu
berhasil mendaki gunung Semeru,) di meja belajar, buatlah hati Anda bangga
dan gembira. Pokoknya, tatalah ruang belajar Anda semau Anda. Yang
penting Anda makin krasan, gairah dan asyik untuk belajar.

• Anda dituntut kreatif, mulailah dari tatanan kamar Anda.


Anda juga dituntut menjadi seorang yang bersikap positif. Terapkan
mulai sekarang. Jangan melihat sesuatu dari segi jeleknya saja, jangan selalu
mengeluh (cengeng !), jangan menarik perhatian dengan membuat orang
kasihan pada diri Anda. JANGAN.
Mulai berpikir dan bertindak positif. Kegagalan (yang boleh terjadi)
adalah sukses yang tertunda. Setiap musibah pasti ada hikmahnya. Setiap
pribadi pasti mempunyai sisi yang baik dan bermanfaaat.
8

• Terapkanlah pikiran rasional: bahwa yang paling berperan,


paling bertanggung jawab, paling mampu untuk merubah
kualitas diri, adalah diri sendiri.
Jangan lupa untuk selalu memohon perkenan, bantuan, ijin dalam
mencari pengetahuan dan kebijaksanaan dari Yang Maha Berpengetahuan dan
Yang Maha Bijaksana.

• Jangan lupa berdoa


Ringkasnya, belajar harus dimulai dari kemauan untuk belajar yang
timbul dalam diri. Untuk memunculkan kemauan perlu diketahui apa manfaat
yang akan didapat dari hal yang dipelajari. Kemudian tambahkan semangat dan
kegembiraan pikiran melalui sikap, perilaku fisik yang penuh enersi dan
lingkungan yang menyenangkan. Mulailah bersikap positif, jangan takut gagal,
berpikirlah rasional. Dan jangan lupa selalu memohon bantuan-Nya, melalui
doa dan tindakan.

Tingkatkan Keterampilan Belajar


Bertinju tidak cukup bila hanya berbekal semangat (apalagi bonek)
tetapi sangat dibutuhkan keterampilan. Demikian juga halnya dengan belajar.
Semangat, motivasi dan stamina merupakan modal dasar yang harus dilengkapi
dengan berbagai keterampilan (untuk) belajar. Apa keterampilan belajar yang
seharusnya dikuasai mahasiswa?
Kegiatan utama dalam belajar adalah mendengar dan membaca
informasi. Untuk itu harus dipunyai keterampilan agar mampu menjadi
pendengar dan pembaca yang cerdas dan efektif. Untuk itu diperlukan:
keterampilan dalam membuat catatan.
Saat ini, sebagian dari Anda tampak seperti membuat catatan-catatan.
Bila dilihat dari hasil catatan yang Anda buat, bermacam-macam pula model.
Ada yang mencacat rapi hal-hal penting, ada yang berupaya mencacat sebanyak
mungkin informasi, ada pula yang catatannya seperti coretan dan penuh
gambar, dan lain-lain. Model cacatan yang mana yang paling baik untuk Anda?
Andalah yang dapat menjawabnya.
Namun menurut DePorter dan Hernacki (1992) ada teknik mencatat
yang efektif (bahkan dikatakan sebagai teknik mencacat tingkat tinggi), yaitu
menggunaan peta pikiran (atau pada beberapa referensi disebut sebagai peta
kognitif, concept mapping). Melalui peta pikiran dapat dibuat suatu catatan
yang menyeluruh dalam satu halaman. Menggunakan berbagai simbol visual
dan tanda-tanda lain, cacatan model peta pikiran mampu meningkatkan
pemahaman dan ingatan.
9

Peta pikiran dapat digunakan untuk mencacat apa yang kita dengar,
atau mencacat hal-hal yang kita baca. Dan sangat dianjurkan untuk menyusun
ide tulisan / karangan. Di samping menggunakan model peta pikiran, ada
banyak cara lain untuk melakukan cacatan, seperti misalnya model Catat:TS
(lihat Quatum Learning 1992: 162-166), model tulang-ikan, model tabel, model
bagan alir dan lain-lan.
Keterampilan belajar lain yang sangat diperlukan adalah: keterampilan
menjadi pendengar yang cerdas. Tidak sukar untuk menjadi pendengar yang
baik, asal duduk tenang, tersenyum, dan sedikit membuat cacatan, kiranya telah
dapat disebut pendengar yang baik. Tetapi sekedar menjadi pendengar yang
baik tidaklah cukup.
Anda harus menjadi pendengar yang cerdas. Ciri pendengar yang
cerdas adalah (a) sikap fisiknya mengekspresikan semangat dan perhatian
terhadap pembicara, (b) selama mendengar mengupayakan mengkaitkan secara
bermakna informasi yang diterima dengan pengetahuan yang telah dipunyainya,
(c) sambil mendengarkan membuat pertanyaan-pertanyaan terhadap informasi
yang didengarnya, dan (d) berupaya untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan
tanya-jawab, diskusi atau demontrasi bila dilakukan.
Keterampilan berikutnya adalah : keterampilan membaca cepat dan
akurat. Banyak buku tentang teknik membaca, dan bagaimana meningkatkan
kemampuan membaca. Upayakan membaca salah satu di antara buku-buku
tersebut.
Hal yang dapat dilakukan untuk menjadi pembaca yang efektif adalah:
(a) jangan membaca kata-demi kata, bacalah kalimatnya, bacalah gagasan-
gagasannya, (b) baca lebih dulu, secara selintas isi keseluruhan buku atau bab
yang akan dibaca, untuk mendapat gambaran umum tentang isi bacaan,
gunakan daftar isi, atau ringkasan bila tersedia, (c) gunakan jari atau benda lain
sebagai penunjuk, (d) buat cacatan-catatan selama atau pada akhir membaca –
gunakan misalnya model peta pikiran- dan kemudian rangkumlah isi bacaan
dan gunakan ‘pengingat’ tertentu.
Keterampilan berkomunikasi, mencari dan menghimpun
informasi, merupakan keterampilan penting lain untuk belajar. Keterampilan
ini merupakan gabungan dari (a) kemampuan memakai sumber-sumber
informasi –perpustakaan, internet, CD-Rom, (b) kemampuan berbahasa, baik
bahasa Indonesia maupun bahasa asing, (c) kemampuan berkomunikasi baik
lisan (berbincang santai, bertanya, menjawab pertanyaan, menyampaikan
pidato, dll) maupun tertulis (membina sahabat pena, mengirim e-mail, dll)., (d)
kerapihan dan ketertiban dalam mendokumentasi, dan menyimpan informasi,
(perlunya sistem arsip, pegkodean, dll)
Keterampilan mengingat sangatlah penting dalam belajar. Dalam
perkuliahan banyak hal yang wajib kita ingat. Karena daya ingat kita tidak
10

sama, maka berbagai cara digunakan agar kita tidak melupakan sesuatu. Di
antaranya yang paling kita kenal adalah penggunaan Singkatan-Akronim
(misalnya: syarat skripsi harus APIK – yang merupakan singkatan dari Asli,
Perlu, Ilmiah, dan Konsisten, ingat bagaimana cara Anda untuk menghafal
warna pelangi?). Banyak cara lain untuk meningkatkan daya ingat, seperti
misalnya : analogi, sistem cantol, metode lokasi, gunakan asosiasi, jembatan
keledai, dll.
Keterampilan bertanya, agar berhasil, perlu berani bertanya. Karena
dalam perkuliahan pasti terdapat banyak hal yang dapat dipertanyakan dan
terlebih lagi tidak ada pertanyaan yang jelek. Kemampuan untuk bertanya,
memang harus dilatih. Untuk itu (a) biasakan membuat 1-2 buah pertanyaan,
baik dalam hati, ditulis, ataupun langsung disampaikan dalam setiap kegiatan
mengikuti kuliah, membaca buku, mendengarkan seminar, dll, (b) himpunlah
pertanyaan dan jawaban yang pernah Anda dapat dari topik permasalahan yang
dikaji, (c) cobalah menjawab pertanyaan yang diajukan oleh mahasiswa lain
(meskipun di dalam hati)
Tentu saja masih banyak keterampilan belajar lain. Namun apa yang
diuraikan di atas adalah keterampilan penting yang harus dipelejari dan
digunakan sejak saat ini. Jangan segan untuk berlatih. Hasilnya memang tidak
segera, tetapi pasti.

Rangkuman
Tujuan dari presentasi ini adalah agar mahasiswa baru dapat
memperoleh pengetahuan yang mampu mendorong sukses belajar mereka.
Agar mereka menjadi KAKAP BESAR dan bukan TERI (tersia-sia dan rendah
diri). Kunci suksesnya, sangat sederhana. Gabungkan selalu kemauan dan
keterampilan belajar dalam kegiatan belajar Anda.

Daftar Bacaan :
DePorter, Bobby dan Mike Hernaki (1992) Quatum Learning : Membiasakan Belajar
Nyaman dan Menyenangkan. Terjemahan Alwiyah Abdulrachman Bandung :
Kaifa.
Harsono (1998). Pokok-pokok pikiran tentang penegmbangan kurikulum dalam upaya
meningkatkan daya saing lulusan dalam komunitas global. Makalah disajikan
pada Seminar Nasional Profil Pendidikan Sains, Teknologi, dan Humaniora di
Indonesia pada Era Insdustrialisasi dan Globalisasai, 19 Nopember 1994.
Ramelan, Rahadi. 1990. Kecenderungan Teknologi dan Tantangan Bagi Indonesia, dalam
Bob Widyahartono, dkk (ed). 1990. Indonesia Dalam Era Globalisasi. Jakarta :
Bank Summa.
11

Teori Belajar dan Penerapannya


dalam Mengajar 1

Suhardjono

Pengantar
Sebagai tenaga pengajar di perguruan tinggi, dosen diharapkan untuk
selalu mampu dan mau secara terus menerus meningkatkan mutu dirinya
sebagai dosen yang profesional. Dosen profesional di antaranya dituntut untuk
dapat
o merancang perkuliahannya dengan lebih rasional
o mengajar dengan lebih menyenangkan dan dimengerti
o menilai hasil belajar mahasiswa dengan lebih adil
Untuk dapat merancang pembelajaran dengan rasional, tentunya dosen
membutuhkan pemahaman tentang teori pengetahuan rasional yang berkaitan
dengan belajar dan mengajar.
Karena yang belajar adalah mahasiswa yang termasuk dalam kelompok
pembelajaran usia dewasa, tentunya teori tentang bagaimana orang dewasa
belajar, dan bagaimana membelajarkan orang dewasa merupakan pengetahuan
yang seharusnya dipunyai oleh seorang dosen.
Uraian berikut memaparkan secara singkat, beberapa teori belajar
dengan penjelasan tentang karakteristiknya, serta langkah penerapannya dalam
praktik mengajar.
Untuk memperluas bagaimana cara melakukan perkuliahan, disajikan
pula berbagai model mengajar.

1
Disajikan pada pelatihan PEKERTI Universitas Unijoyo Nopember 2005
12

Tabel berikut menyajikan secara singkat hubungan antara teori belajar


dan penerapannya dalam praktik pembelajaran.

Teori Belajar Karakteristik teori Langkah penerapan dalam pembelajaran

Teori Belajar Belajar adalah perubahan Menentukan tujuan-tujuan instruksional


Behaviorisme tingkah laku.
Menganalisis lingkungan kelas yang ada saat
(tingkah laku) ini termasuk mengidentifikasikan “entry
Seseorang dianggap telah
belajar sesuatu bila ia mampu behavior” mahasiswa (pengetahuan awal
menunjukkan perubahan mahasiswa)
tingkah laku. Menentukan materi pelajaran (pokok
Pada teori ini, yang terpenting bahasan, topik dan sebagainya)
adalah masukan/input yang
Memecah materi pelajaran menjadi bagian
berupa stimulus dan
kecil-kecil (sub pokok bahasan, sub topik,
keluaran/output yang berupa dan sebagainya)
respons.
Menyajikan materi pelajaran
Sedangkan apa yang terjadi
diantara stimulus dan respons Memberikan stimulus yang mungkin berupa :
itu dianggap tak penting pertanyaan (lisan atau tertulis)
diperhatikan sebab tidak bisa
diamati. tes
Yang bisa diamati hanyalah latihan
stimulus dan respons tugas-tugas.
Mengamati dan mengkaji respon yang
diberikan.
Memberikan penguatan/reinforcement
(mungkin penguatan positif ataupun
penguatan negatif)
Memberikan stimulus baru
Mengamati dan mengkaji respon yang
diberikan (mengevaluasi hasil belajar)
Memberikan penguatan
dan seterusnya.
13

Teori belajar Belajar adalah


kognitivisme perubahan persepsi dan
pemahaman.
Perubahan persepsi dan
pemahaman tidak selalu
berbentuk perubahan
tingkah laku yang bisa
diamati.
Setiap orang telah
mempunyai pengalaman
dan pengetahuan di
dalam dirinya

Hanya dengan
(a) Teori mengaktifkan Menentukan tujuan-tujuan instruksional
perkembangan mahasiswa, maka proses
Piaget Memilih materi pelajaran
asimilasi/akomodasi
pengetahuan dan Menentukan topik-topik yang mungkin dipelajari
pengalaman dapat terjadi secara aktif oleh mahasiswa (dengan bimbingan
dengan baik. minimum dari dosen)
Menentukan dan merancang kegiatan belajar
yang cocok untuk topik-topik yang akan dipelajari
mahasiswa. (Kegiatan belajar ini biasanya
berbentuk eksperimentasi, problem solving,
roleplay, dan sebaianya).
Mempersiapakan berbagai pertanyaan yang
dapat memacu kreatifitas mahasiswa untuk
berdiskusi atau bertanya).
Mengevaluasi proses dan hasil belajar.

(b) Teori Teori ini sangat Menentukan tujuan-tujuan instruksional


Kognitif Bruner membebaskan Memilih materi pelajaran
mahasiswa untuk belajar
sendiri. Menentukan topik-topik yang bisa dipelajari oleh
mahasiswa
Karena itu teori Bruner
sangat cenderung Mencari contoh-contoph, tugas. Ilustrasi, dsbnya
discovery yang dapat digunakan mahasiswa untuk belajar
Mengatur topik-topik pelajaran sedemikian rupa
sehingga urutan topik itu bergerak dari yang
paling konkrit ke yang abstrak, dari yang
sederhana ke yang kompleks.
Mengevaluasi proses dan hasil belajar.
14

(c) Teori Dalam aplikasinya Menentukan tujuan-tujuan instruksional


Bermakna menuntut mahasiswa
Mengukur kesiapan mahasiswa (minat,
Ausubel belajar secara deduktif kemampuan, stuktur kognitif), baik melalui tes
(dari umum ke khusus) awal, interview, review, pertanyaan dan lain-lian.
dan lebih mementingkan
aspek struktur kognitif Memilih materi pelajaran dan mengaturnya dalam
mahasiswa. bentuk penyajian konsep-konsep kunci
Mengidentifikasinkan prinsip-prinsip yang harus
dikuasai mahasiswa dari materi tersebut
Menyajikan suatu pandangan secara menyeluruh
tentang apa yang harus dipelajari
Membuat dan menggunakan “advanced
organizer” paling tidak dengan cara membuat
rangkuman terhadap materi yang baru saja
diberikan, dilengkapi dengan uraian singkat yang
menunjukkan relevansi (kerterkaitan) materi yang
sudah diberikan dengan materi baru yang akan
diberikan
Mengajar mahasiswa medmahami konsep-
konsep dan prionsip-prinsip yang sudah
ditentukan, dengan memberi fokus pada
hubungan yang terjalin antara konsep-konsep
yang ada
Mengevaluasi proses dan hasil belajar.
Teori Belajar Belajar adalah untuk Menentukan tujuan-tujuan pembelajaran
Humanistik memanusiakan manusia Menentukan materi pelajaran
.
Mengidentifikasikan topik-topik yang
Proses belajar dianggap memungkinkan mahasiswa mempelajarai secara
berhasil jika si belajar aktif (“mengalamai”)
telah memahami
lingkungannya ddirinya Mendesain wahana (lingkungan, media, fasilitas,
sendiri. dsb) yang akan digunakan mahasiswa untuk
belajar
Si belajar dalam proses
belajarnya harus Membimbing mahasiswa memahami hakikat
berusaha agar lambat makna dari pengalaman belajar mereka
laun ia mampu mencapai Membimbing mahasiswa membuat
aktualisasi diri dengan konseptualisasi pengalaman tersebut
sebaik-baiknya.
Membimbing mahasiswa sampai mereka mampu
mengaplikasikan konsep-konsep baru ke situasi
yang baru
Mengevaluasi proses dan hasil belajar
mahasiswa
15

Teori Belajar Menurut teori ini yang Menentukan tujuan-tujuan pembelajaran


Sibernetik terpenting adalah “sistem Menentukan materi pelajaran
informasi” dari apa yang
akan dipelajari Mengkaji sistem informasi yang terkandung
mahasiswa. dalam materi tersebut
Menentukan pendekatan belajar yang sesuai
dengan sistem informasi, apakah algoritmik
Sedangkan bagaimana (menuntut mahasiswa untuk berpikur secara
proses belajar yang akan sistematis, tahap demi tahap, linier, lurus menuju
berlangsung , akan suatu target tertentu) ataukah heuristik
sangat ditentukan oleh (menuntut mahasiswa berpikir secara divergen,
sistem informasi ini. menyebar ke beberapa target sekaligus)
Menyusun materi pelajaran dalam urutan yang
Teori ini berasumsi, sesuai dengan sistem informasinya
bahwa tidak ada satu Menyajikan materi dan membimbing mahasiswa
pun jenis cara belajar
belajar dengan pola yang sesuai dengan urutan
yang ideal untuk segala materi pelajaran.
situasi. Sebab cara
belajar sangat ditentukan Mengevaluasi proses dan hasil belajar
oleh sistem informasi mahasiswa

Fungsi pembelajaran bagi orang dewasa


Secara umum pembelajaran berfungsi untuk membentuk kondisi
belajar, agar terjadi kegiatan belajar dalam diri mahasiswa, terhadap isi
pelajaran tertentu.
Gal' perin membagi fungsi pembelajaran menjadi dua, yakni fungsi
khusus dan fungsi umum.
Fungsi khusus yang mengacu pada upaya untuk memenuhi terjadinya
proses belajar, yakni dengan melakukan empat kegiatan yaitu,
Pemberian orientasi mengenai isi pelajaran dan cara penalaran yang
berupa penjelasan tentang : (a) isi dan struktur mata kuliahnya , (b)
hubungannya dengan bahan ajaran yang lain, (c) manfaat mata pelajaran, dan
(d) pemberian contoh-contoh.
Kegiatan latihan dan penerapan yang dapat berupa penjelasan teori
dengan diskusi dan tanya jawab, atau memberikan tugas (mencari, menulis,
menghitung, mengerjakan soal-soal, mengalisis dan memecahkan masalah),
atau dengan praktikum (meneliti, mengkaji, dan menerapkan). Yang paling
utama dalam latihan adalah adanya kegiatan yang dilakukan secara terstruktur
dan terarah.
16

Kegiatan pemberian umpan balik dapat berupa penyampaian


informasi tentang hal-hal yang telah dikerjakan dalam latihan, sampai di mana
yang sudah sesuai atau belum sesuai, serta informasi tentang hal-hal yang perlu
diperbaiki mahasiswa. Pemberian umpan balik ini dapat dilakukan dengan cara
melihat apa yang telah dikerjakan mahasiswa, mencari sumber kesalahan yang
terjadi, membantu mahasiswa menyelesaikan latihan. Perlu diingat bahwa tugas
dosen dalam pelaksanaan latihan adalah mendampingi dan membimbing proses
belajar.
Kegiatan ke empat, adalah mengupayakan terjadinya tindak lanjut
sebagai langkah kongkrit dalam proses belajar. Langkah lanjut dilakukan
berdasar pada hasil latihan dan umpan balik, langkah lanjut ini dapat berupa
tambahan penjelasan (atau orientasi) atau tambahah latihan.
Fungsi umum pembelajaran dimaksudkan kegiatan yang harus selalu
dilakukan oleh dosen. Tanpa kegiatan itu fungsi khusus pembelajaran kurang
atau tidak dapat terpenuhi. Pembelajaran hendaknya berfungsi sebagai :
• pemberi motivasi kepada mahasiswa, karena tanpa motivasi tidak ada
minat untuk belajar,
• penghubung antara isi pelajaran dengan pengetahuan awal mahasiswa.
• pemberi informasi tentang sasaran belajar yang akan dicapai, sehingga
mahasiswa mengetahui dengan jelas apa sasaran belajarnya dan jelas apa
yang harus dikerjakannya.
Mahasiswa sebagai orang dewasa lebih menyukai kondisi belajar yang
bebas, tidak menyukai hafalan dan lebih mengutamakan pemecahan masalah
dan hal-hal praktis.

Strategi pembelajaran
Strategi pembelajaran adalah penetapan komponen-komponen
pembelajaran utama agar penyajian isi pelajaran agar dapat mencapai sasaran
belajar dan dapat dipahami mahasiswa secara efektif dan efisien.
Empat komponen utama pembelajaran tersebut adalah
1. Urutan penyajian
2. Metode penyajian (atau metode mengajar)
3. Media pembelajaran, dan
4. Waktu pembelajaran.
17

Hubungan ke empat faktor pembelajaran tersebut tersaji melalui tabel


berikut:
Urutan kegiatan instruksional Metode Media Waktu
Pendahuluan :
Diskripsi Singkat,
Relevansi,
Sasaran belajar,
Penyajian :
Uraian,
Contoh,
Latihan,
Penutup :
Tes formatif,
Umpan Balik dan
Tindak Lanjut
Komponen Utama Strategi Instruksional (Atwi, 1996 : 159)

1. Urutan Kegiatan Instruksional


Faktor utama penentu keberhasilan pembelajaran adalah urutan
penyajian pembelajaran. Gagne dan Briggs(1979) menyebut adanya sembilan
urutan kegiatan pembelajaran, yakni:
1. Memberikan motivasi atau menarik perhatian siswa,
2. Menjelaskan sasaran belajar,
3. Mengingatkan kompetensi prasayarat,
4. Memberikan orientasi terhadap isi pelajaran
5. Memberi petunjuk belajar (cara mempelajari isi pelajaran),
6. Memberikan latihan,
7. Memberikan umpan balik
8. Memberikan penilaian, dan
9. Menyimpulkan.
Tentu tidak semua kegiatan pembelajaran memerlukan kesembilan
urutan kegiatan tersebut, hal itu tergantung pada sasaran belajar dan
18

karakteristik mahasiswa. Kesembilan urutan penyajian di atas dapat


dikelompokan dalam tiga bagian:
1. Bagian Pendahuluan umumnya berisi penjelasan singkat tentang isi
pelajaran, relevasi isi pelajaran dan keterkaitannya dengan isi pelajaran
yang lain, serta uraian sasaran belajar yang ingin dicapai.
2. Bagian Penyajian menguraian isi pelajaran yang dapat berupa konsep,
prinsip atau prosedur berikut sajian contoh- contoh, memberikan latihan
yang diikuti dengan bimbingan dan pemberian umpan balik berupa
koreksi atas kesalahan yang dilaku-kan mahasiswa.
3. Bagian Penutup yang berupa serangkaian pengukuran kemajuan belajar
setelah menyelesaikan tahap pelajaran tertentu. Di samping untuk
mengukur kemajuan mahasiswa pengukuran (tes, kuis) ini juga
merupakan bagian dari kegiatan siswa untuk secara aktif membuat
respon. Hasil penilaian tes dikembalikan pada mahasiswa sebagai umpan
balik.

2. Metode (cara) mengajar


Komponen penting kedua dari strategi pembelajaran adalah metode
atau cara mengajar.. Terdapat banyak metode (cara, bentuk) mengajar yang
dapat dipakai untuk mencapai sasaran belajar, mulai dari ceramah, sampai
melalui kegiatan seminar. Tidak setiap metode mengajar sesuai untuk sasaran
belajar tertentu. Untuk itu dosen harus mampu memilih metode pembelajaran
yang sesuai guna mencapai sasaran belajarnya.
Berdasar pengamatan selama ini, penggunaan cara ceramah (atau lebih
terkenal dengan sebutan cara kuliah) merupakan metode mengajar yang paling
umum dipakai oleh para dosen. Berbagai alasan mendasari digunakannya cara
mengajar ini, misalnya jumlah mahasiswa yang terlalu banyak, asumsi bahwa
mahasiswa telah dewasa, dan (terutama) anggapan bahwa cara ceramah
merupakan kegiatan mengajar yang paling mudah dilakukan.
Apa benar cara ceramah merupakan kegiatan mengajar yang paling
mudah dilakukan dosen? Apa benar cara ceramah merupakan kegiatan
mengajar yang paling baik? Cara ceramah, sebagaimana cara mengajar yang
lain, mempunyai keungggulan dan kerugian. Hasil penelitian terbatas dari
McLeish (1966) menyatakan bahwa hanya sekitar 40% isi sajian yang masih
diingat sesaat selesainya ceramah dan seminggu kemudian tingggal sekitar
20%. Selain itu cara ceramah cenderung membuat mahasiswa pasif, minat,
semangat dan motivasi mahasiswa dalam mengikuti kuliah sangat tergantung
pada kemampuan pribadi dosen dalam membawakan ceramahnya.
19

Di samping metode ceramah masih banyak metode lain yang dapat


dipergunakan. Pemilihan metode untuk setiap komponen tersebut didasarkan
atas TIK yang telah dirumuskan sebelumnya. Tabel di bawah ini menunjukkan
hubungan antara macam cara mengajar dengan macam kemampuan (sasaran
belajar) yang sesuai dengan metode mengajar tersebut.
Hubungan antara Metode Mengajar dan Kemampuan
No Metode Kemampuan dalam TIK
1 Ceramah menjelaskan konsep, prinsip, prosedur
2. Demontrasi melakukan suatu keterampilan berdasarkan standar
prosedur tertentu
3 Penampilan, melakukan suatu keterampilan
4 Diskusi, menanalisis/memecahkan masalah
Studi Mandiri menjelaskan/menerapkan/menganalisis/mensintetsis/
mengevaluasi/melakukan sesuatu, baik yang bersifat
kognitif maupun psikomotor
5 Kegiatan Instruksional menjelaskan konsep, prinsip atau prosedur terprogram
6 Latihan dengan teman melakukan suatu keterampilan
7 Simulasi, menjelaskan,menerapkan, dan menganalisis suatu
konsep dan prinsip
8 Sumbang saran menjelaskan/menerapkan/menganalisis konsep
prinsip dan prosedur tertentu
9 Studi kasus menganalisis/memecahkan masalah
10 Computer Assisted menjelaskan, menerapkan/ menganalisis /
Learning mensintesis/mengevalusi sesuatu
11 Insiden, menganalisis/mememecahkan masalah
12 Praktikum, melakukan suatu keterampilan
13 Proyek melakukan sesuatu/menyusun laporan suatu kegiatan
14 Bermain Peran menerapkan suatu konsep/prinsip/ prosedur
15 Seminar, menganalisis/memecahkan masalah
16 Simposium, menganalisis masalah
17 Tutorial, menjelaskan/menerapkan/menganalisis suatu
konsep/prinsip/prosedur
18 Deduktif, menjelaskan/menerapkan/mengnalisis suatu
konsep/prinsip/prosedur
19 Induktif, mensintesis suatu konsep,, prinsip atau
perilaku
20

Model mengajar
Berbagai model mengajar yang telah dikembangkan dan diuji
keberlakukannya oleh pakar kependidikan, diungkapkan secara sistematik oleh
Bruce Joyce dan Marsha Weil (1986) dalam bukunya yang berjudul model of
teaching.
Model mengajar (sering disebut juga sebagai model pembelajaran)
adalah kerangka konseptual tentang prosedur yang sistematis dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu.
Model tersebut berfungsi sebagai pedoman bagi dosen dalam merencanakan
dan melaksanakan aktivitas belajar-mengajarnya, agar kegiatan mengajarnya
merupakan kegiatan bertujuan yang tertata secara rasional dan sistematis.
Terdapat empat kelompok model utama mengajar, yaitu
1. Model Pengolahan Informasi
2. Model Personal,
3. Model Sosial
4. Model Sistem Perilaku.
Dari masing-masing model utama tersebut, terurai menjadi 7 model
mengajar yang termasuk pada model pengolahan informasi, 4 model dalam
kelompok model personal, 5 model mengajar dalam kelompok model sosial dan
4 model mengajar yang merupakan kelompok model sistem perilaku.
Penjelasan hubungan antara masing-masing kelompok model mengajar
utama dengan model-model mengajar disajikan pada tabel berikut.
21

No Kelompok Orientasi pokok Karakteristik Macam model


Model mengajar yang
Utama termasuk pada
kelompok model
utama
1 Model Proses kognitif Menitikberatkan pada Pencapaian konsep
Pengolahan Pemahaman dunia cara memperkuat (concept attainment)
Informasi dorongan internal
Pemecahan Berpikir induktif
(Information manusia untuk (inductive thinking)
Processing masalah memahami dunia melalui
model) Berfikir induktif menggali dan Latihan Penelitian
mengorganisasikan data, (inquiry training)
merasakan adanya Pemandu Awal
masalah dan (advanced organizer)
mengupayakan jalan
pemecahannya, serta Memorisasi
mengungkapkannya. (memorization)
Pengembangan
Intelek (developing
intellect)
Penelitian Ilmiah
(scientific inquiry)
2 Model Kesadaran individu Beranjak dari pandangan Pengajaran tanpa
Personal Keunikan kedirian atau “selfhood” arahan (non directive
(Persona l dari individu. teaching)
Kemandirian
model) Mengusahakan untuk Sinektiks (synectics
Pembinaan dapat memahami diri model)
kepribadian sendiri dengan baik,
Latihan kesadaran
memikul tanggung jawab (awareness training)
untuk pendidikan, dan
lebih kreatif untuk Pertemuan kelas
mencapai kualitas hidup (classroom meeting)
yang lebih baik.
22

3 Model Semangat Dengan kerjasama Investigasi kelompok


Sosial kelompok manusia dapat (group investigation)
(Social Kebersamaan membangkitkan dan
Bermain peran (role
model) menghimpun tenaga
Interaksi sosial playing)
(energy) secara bersama
Individu sebagai yang kemudian disebut Penelitian
aktor sosial “synergy”. yurispridensial
(jurispridential inquiry)
Kelompok model sosial
dirancang untuk Latihan laboratoris
memanfaatkan (laboratory training)
fenomena kerjasama. Penelitian ilmu sosial
(social science
inquiry)
4 Model “Social Learning” Memusatkan perhatian Belajar tuntas
Sistem Koreksi diri pada perilaku yang (mastery learning)
Perilaku terobservasi dan metode
Terapi perilaku Pembelajaran
(Behavioral dan tugas yang diberikan langsung (direct
System Respon terhadap dalam rangka instruction)
model) tugas mengomunikasikan
keberhasilan. Belajar kontrol diri
(learning self control)
Simulasi (simulation)
Selanjutnya untuk setiap model mengajar, dijelaskan hubungannya
dengan kelompok model utamanya, pedoman langkah kegiatan yang disarankan
untuk dilakukan pada model mengajar tersebut dan hasil yang diharapkan.
Sebagai contoh, berikut disajikan 4 (empat) buah model mengajar
yang masing-masing mewakili setiap kelompok model utama.
Guna mempelajari lebih lanjut tentang hal ini sangat disarankan untuk
membaca tulisan Saripuddin, Udin (1997) yang berjudul Model-model
Pembelajaran dalam Teori Belajar dan Model-model Pembelajaran Buku 1 B
Bahan Ajar Program Pengembangan Keterampilan Dasar Teknik Instruksional
(PEKERTI) Untuk Dosen Muda. Jakarta : PAU-P3AI.)
23

No Nama Kelompok Karakteristik Langkah kegiatan Hasil pembelajaran


model model model
mengajar utama
1 Latihan Pengolah- Membantu untuk Menghadap-kan Strategi untuk
Penelitian an melakukan masalah. penelitian kreatif (L)
(inquiry Informasi penelitian Mencari dan Keterampilan proses
training) mandiri dengan mengkaji data keilmuan (I)
berdisiplin. Eksperimenta-si Semangat kreatif (I)
dan menguji Kemandirian (I)
hipotesis Toleransi (I)
Penarikan
kesimpulan dan
rekomendasi
2 Sinektiks Personal Mengembang- Deskripsi kondisi Kapasitas Kreatif
(synectics kan kreativitas saat ini Umum (L)
model) dan pemecahan Proses analogi Kapasitas Kreatif
masalah secara langsung Bidang Studi (L)
kreatif Proses analogi Pencapaian belajar
personal bidang studi (I)
Analisis konflik Produktivitas
Analogi langsung kelompok (I)
lanjut
Kajian tugas
3 Investiga- Sosial Mengembang- Situasi bermasalah Proses dan
si kan Eksplorasi keteraturan
kelompok keterampilan Perumusan Tugas kelompok yang
(group untuk ikut serta Belajar efektif (L)
investigati dalam proses Kegiatan Belajar Penelitian yang
on) sosial Analisis Kemajuan berdisiplin (L)
Mengormati
perbedaan (I)
Kehangatan dan
keterikatan antar
manusia (I)
Komitmen terhadap
penelitian sosial (I)
24

4 Simulasi Sistem Mengembang- Orientasi Konsep dan


(simula- Perilaku kan keterampilan Latihan Peran keterampilan (L)
tion) dalam
Proses simulasi Berpikir kritis dan
pengambilan membuat keputusan
keputusan Pemantapan (I)
Menghadapi
konsekuensi (I)
Kesadaran tentang
efektivitas (I)
Empati (I)
Keterangan :
(L) hasil pembelajaran yang merupakan dampak langsung pembelajaran
(I) hasil pembelajaran yang merupakan dampak ikutan

Daftar Pustaka
Atwi Suparman. (1996). Desain Instruksional. Jakarta: Depdikbud Universitas Terbuka.
Irawan, Prasetya (1994) Teori Belajar dalam Teori Belajar , Motivasi dan Keterampilan
Mengajar Buku 1 A Bahan Ajar Program Pengembangan Keterampilan Dasar
Teknik Instruksional (PEKERTI) Untuk Dosen Muda. Jakarta : PAU-P3AI.
Kratwohl, D.R., Bloom and Marsia, Taxonomy of Educational Objectives. New York:
Longman, 1964.
Merrill, M.D dan Reigeluth C.M. (1978). "A knowledge base for improving our method
of instruction" Educational Psychologist Volume 13, 1978, 57-70
Reigeluth C.M. (1983). Instructional Design Theories and Model. New Jersey : Lawrence
Erlbaum Ass.,Publ
Suciati (1997) Taksonomi Tujuan Instruksional dalam Mengajar di Perguruan Tinggi,
Bagian Satu Program Applied Approach. Jakarta : PAU-P3AI.
Suhardjono, dan kawan-kawan (1993) Peningkatan Rancangan Pengajaran : 106
pertanyaan dan jawaban. Proyek Pembinaan Kurikulum Universitas
Brawijaya, Malang.
Soekartawi, Suhardjono, T.Hartono dan A.Ansharullah (1996), Meningkatkan
Rancangan Instruksional untuk Memperbaiki Kualitas Belajar Mengajar,
Jakarta : Rajawali Pres
Suhardjono (1990). Teori tampilan Komponen pada Perancangan Pengajaran
(Component Display Theory). Makalah pada seminar kependidikan di Malang,
13 Juli 1999.
25

Membuat Karya Tulis Ilmiah untuk


Jurnal1
Suhardjono

Karya Tulis Ilmiah


Dosen dituntut untuk mampu berkomunikasi. Baik lisan maupun
tertulis. Kemampuan berkomunikasi secara tertulis, di antaranya sangat
dibutuhkan untuk dapat melaporkan hasil-hasil kegiatan ilmiah yang
dilakukan. Kegiatan ilmiah yang dilakukan dosen banyak macamnya. Seperti
misalnya penelitian, melakukan pengembangan/ perancangan, atau kegiatan
evaluasi.
Laporan kegiatan ilmiah, yang umumnya dalam bentuk tertulis, umum
disebut sebagai Karya Tulis Ilmiah (selanjutnya disingkat KTI). Bentuk KTI
banyak ragamnya. Ada yang berbentuk laporan penelitian yang lengkap, atau
berupa tulisan ilmiah populer, atau disajikan dalam bentuk buku, atau artikel
yang secara khusus ditujukan untuk dimuat dalam Jurnal Ilmiah.
Jurnal Ilmiah adalah terbitan yang secara khusus mempublikasikan
hasil-hasil kegiatan ilmiah (yang umumnya berupa hasil penelitian). Jurnal
Ilmiah --meskipun kurang lasim ada juga yang menyebutnya sebagai majalah
ilmiah atau kumpulan tulisan ilmiah—umumnya diterbitkan secara berkala
(ada yang tiga bulanan, ada pula yang enam bulanan, dll), oleh perguruan
tinggi, atau oleh asosiasi profesi / keilmuan.
Wujud fisik KTI berbeda-beda, tergantung kepada media pemuat KTI
dan tujuan KTI. Majalah, koran, warta, panitia seminar, dan juga jurnal ilmiah
mempunyai pedoman dan tatacara penulisan yang spesifik bagi KTI yang
diterbitkan olehnya.
Meskipun tatacara menulis KTI di Jurnal berbeda-beda, namun KTI
selalu mempunyai kesamaan, yaitu:
• hal yang dipermasalahkan berada pada kawasan pengetahuan keilmuan
• kebenaran isinya mengacu kepada kebenaran ilmiah
• kerangka sajiannya mencerminan penerapan metode ilmiah
• tampilan fisiknya sesuai dengan tata cara penulisan karya ilmiah

1
Bahan diskusi pada Workshop Penelitian Dosen Universitas Trunojoyo, Oktober 2005
26

Kebenaran ilmu (science) selalu berada pada kebenaran teori,


kebenaran fakta, dan kebenaran analisis dari teori dan fakta yang
diungkapkannya. Di samping itu KTI mempersyaratkan bentuk fisik yang
tertentu. Bila KTI itu menggunakan Bahasa Indonesia maka ia harus memakai
kaidah-kaidah Bahasa Indonesia yang baku, yang baik dan benar dalam
mengungkapan suatu karya ilmiah.
KTI juga menuntut persyaratan APIK yaitu Asli, Perlu, Ilmiah dan
Konsisten. Asli artinya KTI benar-benar merupakan hasil karya si penulis, dan
bukan hasil memplagiat, atau menjiplak, dll. Perlu yang artinya apa yang
dipermasalahkan atau yang dikaji adalah hal-hal yang memang ada perlunya,
jadi tidak mengada-ada, atau mempermasalahkan hal yang sudah jelas
jawabannya, atau hal itu-itu saja. Ilmiah, KTI tentu saja harus mempunyai
kebenaran pada tataran ilmiah, menggunakan logika dan argumentasi ilmiah
dalam mengungkapkannya. Serta konsisten, artinya apa yang ditulis harus
sesuai dengan keahlian si penulis.
Pada makalah ini, KTI yang dimaksudkan adalah KTI yang ditulis
untuk dapat dimuat di Jurnal Ilmiah.

Syarat Penulisan di Jurnal Ilmiah


Masing-masing jurnal mempunyai tatacara penulisannya sendiri-
sendiri. Ada perbedaan di antara satu jurnal dengan jurnal yang lain. Misalnya,
tentang ukuran dan macam huruf, jumlah halaman maksimum yang
diperbolehkan, kerangka dan tatacara penulisan, bahkan juga cara
pengirimannya naskah (ada yang harus mengirimkan dalam bentuk disket
berikut printoutnya) dll.
Berikut disajikan beberapa contoh sistematika penulisan:
Jurnal Teknik (FT Unibraw, ISSN 0854-2139), Bagian
awal : judul, nama penulis, abstrak (dalam dua bahasa). Bagian
utama: pendahuluan, tulisan pokok (tujuan, metoda, tinjuan pustaka,
pembahasan, dsb), kesimpulan (dan saran). Bagian akhir: ucapan
terima kasih, keterangan symbol-catatan kaki (bila ada) dan daftar
pustaka.
Jurnal Teknologi Pendidikan (PPS IKIP Malang, ISSN
0854-7599). Setiap karangan harus disertai (a) abstrak, (b) kata-kata
kunci, (c) identitas pengarang, (d) pendahuluan yang berisi latar
belakang dan tujuan atau ruang lingkup tulisan dan (e) daftar
pustaka. Hasil penelitian disajikan dengan sistematika sebagai
berikut (a) judul, (b)nama pengarang, (c) anstrak, (d) kata-kata kunci,
(e) pendahuluan berisi pembahasan kepustakaan dan tujuan
27

penelitian, (f) metode, (g) pembahasan, (i) kesimpulan dan saran, dan
(h) daftar pustaka.
Jurnal Sains dan Teknologi FT UKI (FT UKI, ISSN 0853-
9723). Sistematika penulisan : (a) abstrak, (b) pendahuluan (berisi
latar belakang, permasalahan, tujuan, ruang lingkup, metodologi), (c)
isi (tinjauan pustaka, data, pembahasan) dan (d) penutup (kesimpulan,
saran dan daftar pustaka).
Jurnal Bisnis dan Teknologi , Bistek (Politeknik Negeri
Malang, ISSN 0854-4395). Naskah hasil penelitian: (a) judul, (b)
nama penulis, (c) lembaga/instansi, (d) abstrak (masalah dan tujuan,
metode dan hasil) bhs Indonesia dan Inggris, (e) kata kunci dlm bhs
Indonesia dan Inggris, (f) pendahuluan (latar belakang, perumusan
masalah, dan tujuan penelitian), (g) tinjuan pustaka, (h) metode
penelitian (alat, bahan, cara dan metoda analisis), (i) hasil dan
pembahasan, (j) simpulan dan saran, (k) daftar pustaka. Naskah yang
termasuk kategori artikel konseptual : (a) judul, (b) nama penulis, (c)
lembaga/instansi, (d) abstrak (masalah dan tujuan, metode dan hasil)
bhs Indonesia dan Inggris, (e) kata kunci dlm bhs Indonesia dan
Inggris, (f) pendahuluan (latar belakang, perumusan masalah, dan
tujuan), (g) tinjuan pustaka, (h)pembahasan, (j) simpulan dan saran,
(k) daftar pustaka.
KTI yang dapat dimuat di Jurnal Ilmiah dapat dipilah menjadi dua
kelompok. Pertama KTI yang berupa laporan hasil penelitian, dan kedua
berupa KTI non-hasil penelitian (seperti misalnya paparan gagasan keilmuan,
ulasan atau tinjauan ilmiah)
Contoh sistematika penulisan untuk KTI non hasil penelitian adalah
sebagai berikut: (a) abstrak, (b) pendahuluan (latar belakang masalah, tujuan
penulisan), (c) pembahasan ( analisis permasalahan, tujuan yang ingin dicapai),
(d) penutup (kesimpulan dan saran, (e) daftar pustaka (diambil dari Arena
Hukum, Majalah FH Unibraw, ISSN 20126-0235).
Contoh lain : (a) judul, (b) nama penulis, (c) lembaga/instansi, (d)
abstrak (masalah dan tujuan, metode dan hasil) bhs Indonesia dan Inggris, (e)
kata kunci dlm bhs Indonesia dan Inggris, (f) pendahuluan (latar belakang,
perumusan masalah, dan tujuan), (g) tinjuan pustaka, (h)pembahasan, (j)
simpulan dan saran, (k) daftar pustaka. (diambil dari Jurnal Bisnis dan
Teknologi , Bistek (Politeknik Negeri Malang, ISSN 0854-4395)
Agar lebih memfokus, pada makalah ini akan membatasi pada KTI
yang berupa laporan hasil penelitian yang ditulis untuk dimasukkan ke
dalam jurnal.
28

Selintas Mengenati Kerja Penelitian


Berbagai cara dapat dilakukan guna memenuhi hasrat ingin tahu
manusia. Cara tersebut antara lain: akal sehat, prasangka, intuisi, penemuan
kebetulan dan coba-coba, serta pendapat otoritas maupun pikiran kritis. Untuk
memenuhi rasa ingin tahunya, manusia sering pula menggunakan pendekatan
ilmiah yang dilakukan melalui metode keilmuan, yang secara formal dilakukan
dalam bentuk penelitian (riset)
Beberapa pakar mendefinisikan penelitian sebagai suatu penelaahan
melalui logika proses berpikir eksplisit dan informasinya dikumpulkan secara
sistematis dan obyektif. Proses berpikir dikatakan eksplisit, artinya setiap
langkahnya dilakukan secara terbuka sehingga dapat dikaji kembali, baik oleh
yang bersangkutan maupun oleh orang lain. Sedangkan informasi dikatakan
sistematis bila jenis, maupun jumlahnya lengkap sesuai dengan aspek masalah
yang dikaji. Informasi yang obyektif bila jumlah ahli di bidang yang
bersangkutan dapat mencapai kesepakatan di dalam penilaiannya terhadap
informasi tersebut. Dari definisi tersebut, logika berpikir yang dipakai pada
kerja penelitian juga merupakan penerapan dari metode keilmuan.
Suriasumantri (1894) menyatakan peranan metode keilmuan dalam
pemecahan masalah ilmiah terdiri dari langkah-langkah kegiatan sebagai
berikut:
• Perumusan masalah yang merupakan pertanyaan mengenai obyek
empirik yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan
faktor-faktor yang terkait di dalamnya.
• Penyusunan kerangka berpikir dalam mengajukan hipotesis dalam
merumuskan dalil (proposition) yang merupakan argumentasi yang
menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai
faktor yang saling mengkait dan membentuk konstelasi
permasalahan.
• Perumusan hipotesis yang merupakan dugaan atau jawaban
sementara terhadap permasalahan. Hipotesis ini disusun secara
deduktif dengan mengambil premis-premis dari pengetahuan ilmiah
yang sudah diketahui sebelumnya. Dalam perannya sebagai suatu
dugaan jawaban dari masalah yang diajukan, hipotesis akan
berfungsi sebagai petunjuk jalan yang memungkinkan didapatkannya
jawaban.
• Pengujian hipotesis merupakan kegiatan pengumpulan fakta yang
berkesesuaian dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan
apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau
tidak.
29

• Penarikan kesimpulan berupa kegiatan penilaian apakah sebuah


hipotesis yang diajukan diterima atau ditolak.

Isi dan sistematika KTI laporan hasil penelitian yang diajukan untuk
dimuat di jurnal, sedikitnya terdiri dari :
Judul penelitian
Bab I Permasalahan / Pendahuluan
Latar belakang masalah / Perumusan masalah
Tujuan dan Manfaat
Bab II Landasan Teori
Bab III Metode Penelitian
Bab IV Hasil dan Analisis Hasil
Bab V Kesimpulan dan Saran
Perhatikan contoh sistematika penulisan yang diberlakukan oleh
beberapa jurnal berikut ini : Jurnal Teknologi Pendidikan ( PPS IKIP
Malang, ISSN 0854-7599). (1) pendahuluan (pembahasan kepustakaan dan
tujuan penelitian) (2) metode, (3) pembahasan, (3) kesimpulan dan saran.
Jurnal Sains dan Teknologi FT UKI (FT UKI, ISSN 0853-9723). (1)
pendahuluan (berisi latar belakang, permasalahan, tujuan, ruang lingkup,
metodologi), (2) isi (tinjauan pustaka, data, pembahasan) dan (3) penutup
(kesimpulan, saran dan daftar pustaka). Jurnal Bisnis dan Teknologi , Bistek
(Politeknik Negeri Malang, ISSN 0854-4395). (1) pendahuluan (latar belakang,
perumusan masalah, dan tujuan penelitian), (2) tinjuan pustaka, (3) metode
penelitian (alat, bahan, cara dan metoda analisis), (4) hasil dan pembahasan, (5)
simpulan
Judul penelitian menyatakan secara jelas namun sesingkat mungkin
permasalahan yang akan diteliti, upayakan variabel penelitian tercantum pada
judul tersebut. Upayakan pula agar dengan membaca judul itu, pembaca akan
tertarik untuk membaca lebih jauh isi usulan penelitian.
Bagian terpenting pada KTI hasil penelitian adalah ungkapan
permasalahan (khususnya rumusan masalahnya). Rumusan masalah adalah
pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya ingin dikaji melalui penelitian. Latar
Belakang Masalah merupakan penjelasan mengapa sesuatu itu
dipermasalahkan. Alasan itu diperlukan untuk mengetahui sejauh mana tingkat
urgensi, tujuan dan manfaat dari penelitian yang diajukan.
KTI hasil penelitian harus pula menuliskan tujuan dan manfaat yang
diperoleh dari hasil penelitian yang telah dilakukan.
30

Secara singkat hasil penelitian juga perlu mencantumkan pembahasan


teori dari hal yang dipermasalahkan dan hipotesis yang dapat ditarik dari teori
tersebut, serta akan diuji berdasar fakta empirik.Uraian tentang metode
penelitian, yang terdiri dari cara pengumpulan, hasil yang diperoleh serta
analisis data juga harus dituliskan dengan singkat.
Akhirnya perlu disajikan diskusi singkat, yang kemudian mengasilkan
beberapa kesimpulan serta (bila ada) pengajuan saran.
Hal yang tidak mudah dalam menulis KTI hasil penelitian untuk jurnal
adalah keterbatasan halaman. Umumnya jumlah halaman dari satu artikel
yang dimuat di jurnal antara 5 – 10 halaman (untuk ukuran kertas A4, font 12,
spasi dua). Karena itu kemampuan untuk memadatkan laporan, agar isinya tetap
terkomunikasikan dan terjaga, dengan tetap enak dibaca dan mampu menarik
minat, menjadi kemampuan yang memerlukan latihan.

Penutup
Untuk mempublikasikan karya ilmiahnya, atau untuk kenaikan
pangkatnya, dosen wajib menulis di jurnal. Menulis di jurnal memerlukan
sistematika yang spesifik. Di samping itu, keterbatasan jumlah halaman yang
disediakan memerlukan keterampilan khusus untuk menghemat kata, dan
mempersingkat kalimat dengan tetap mampu memperjelas makna.
Akhirnya, membuat KTI itu tidak sukar. Yang sukar adalah
memulainya. Untuk itu mari kita mulai, sekarang.

Daftar Bacaan
Suhardjono. (1983). Pengantar Penelitian Ilmiah : 135 Pertanyaan dan Jawaban.
Malang: Bagian Penerbitan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya
Suhardjono. (1990). Sebuah Pengantar Tentang: Fislafat Ilmu dan Hakekat
Penelitian. Makalah disampaikan pada Penataran Metodologi Penelitian
Ilmiah angkatan ke IV, Pusat Penelitian Universitas Brawijaya Malang.
Tanggal 17-22 September 1990.
Suhardjono, Azis Hoesein, dkk. (1996). Pedoman Penyusunan Karya Tulis Ilmiah di
Bidang Pendidikan dan Angka Kredit Pengembangan Profesi Guru.
Jakarta : Depdikbud, Dikdasmen.
Suriasumantri, Jujun S. (1984). Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
Sinar Harapan.
31

Meningkatkan Keterampilan Mengajar


pada Kurikulum Berbasis
Kompetensi1

Suhardjono

Pengantar
Banyak perguruan tinggi menyatakan bahwa mereka telah
melaksanakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Sayangnya, masih ada
yang mengartikan KBK hanya sebagai daftar mata matakuliah, besaran sks,
silabus dan pengelompokannya dari semester pertama ke semester-semester
berikutnya.
Terdapat berbagai kelompok kompetensi dalam KBK. Ada kompetensi
yang berkait dengan bidang studinya, ada pula yang bersifat umum, seperti
misalnya kompetensi untuk mampu dan mau membelajarkan dirinya sepanjang
hayat (suatu kompetensi yang tentunya sangat penting bagi mahasiswa baik
selama mereka belajar, maupun setelah lulus)
Sebagai pedoman pelaksanaan perkuliahan, seharusnya kurikulum
menjelaskan pula rancangan cara mengajar dan cara mengevalusi. Pada KBK,
maka sangat perlu untuk diketahui bagaimana cara mengajar agar kompetensi
yang diharapkan dapat dicapai.

Kompetensi
Kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggungjawab
yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh
masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan
tertentu. (SK Mendiknas 045/U/2002 Pasal 1).
Kompetensi hasil didik suatu program studi terdiri atas (a) kompetensi
utama, (b) kompetensi pendukung, dan (c) kompetensi lain yang bersifat khusus
dan gayut dengan kompetensi utama (SK Mendiknas 045/U/2002 Pasal 2).
Kurikulum PT terdiri atas (a) kelompok mata kuliah pengembangan
kepribadian-MPK, (b) kelompok mk keilmuan dan keterampilan-MKK, (c)
kelompok mk keahlian berkarya-MKB, (d) kelompok mk perilaku

1
Makalah Penunjang pada pelatihan PEKERTI bagi dosen Universitas Trunojoyo
Bangkalan, September 2005
32

berkarya-MPB, dan (e) kelompok mk berkehidupan bermasyarakat-MBB


(Kepdiknas 232 /U/2000 pasal 1(7-11))
Kompetensi (a) kepribadian dan (e) berkehidupan bermasyarakat,
merupakan kompetensi yang harus dimiliki oleh hampir semua profesi. Karena
kompetensi ini disebut sebagai kompetensi dasar bagi setiap profesi.
Kompetensi (b) keilmuan dan keterampilan berbeda-beda untuk setiap profesi.
Pada sistem pendidikan tinggi, kompetensi inilah yang akan membedakan
antara program studi yang satu dengan yang lain. Sedangkan kompetensi (c)
keahlian berkarya dan (d) perilaku berkarya untuk kelompok bidang profesi
tertentu merupakan kompetensi yang bersifat umum (=kompetensi generik,
kompetensi kunci).
Hall, W and Mark C. Werner menjabarkan komptensi umum ini dalam
7 (tujuh) macam , yakni
Macam Kompetensi umum, generik
1 Mengumpulkan, menganalisa dan mengorganisasikan informasi
2 Mengkomunikasikan ide dan informasi
3 Merencanakan dan mengatur kegiatan
4 Bekerjasama dengan orang lain dan kelompok
5 Menggunakan ide dan teknik matematika
6 Memecahkan persoalan/masalah
7 Menggunakan teknologi

Contoh lain ditunjukkan Kendall et al. (2001) melalui bukunya Content


Knowledge yang mengidentifikasi beberapa jenis keterampilan (kompetensi)
umum yang mereka sebut sebagai Life Skill. Keterampilan ini terdiri atas:
Macam kompetensi keterampilan untuk memahami dan menerapkan
1 Thinking and Prinsip-prinsip dasar berargumentasi
Reasoning Prinsip-prinsip dasar berpikir logis
Identifikasi persamaan dan perbedaan
Prinsip dasar menguji hipotesis dan scientific inquiry
Teknik memecahkan masalah
Teknik mengambil keputusan
33

2 Working with others Berperan dalam aktivitas kelompok


Menggunakan teknik resolusi konflik
Bekerjasama dengan individu berbeda dalam situasi berbeda
Berkomunikasi interpersonal secara efektif
Menunjukkan keterampilan kepemimpinan
3 Self Regulation Menetapkan dan mengelola tujuan
Menunjukkan Self-Appraisal
Mempertimbangkan resiko
Mendemonstrasikan ketabahan
Memelihara impulsivitas diri
4 Life Work Menggunakan alat-alat secara efektif
Menggunakan sumber-sumber informasi
Menggunakan dana secara efektif
Mempersiapkan diri memasuki lapangan kerja
Menunjukkan etika dasar bekerja dan terpercaya
Bekerja efektif dalam organisasi

Kurikulum Berbasis Komptensi (KBK)


Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi
dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar (SK Mendiknas no. 232/U/2000)
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), dilihat dari namanya saja
diketahui bahwa kurikulum ini memberi penekanan yang dominan pada
berbagai kompetensi yang harus dikuasi oleh peserta didik dalam setiap bidang
studi pada setiap jenjang sekolah. Implikasinya, akan terjadi pergeseran dari
penguasaan pengetahuan (kognitif) atau dominasi kognitif, menuju kepada
penguasaan kompetensi tertentu.
Menurut Kepdiknas 232 /U/2000 pasal 8, kurikulum inti terdiri atas
(a) kelompok mata kuliah pengembangan kepribadian-MPK, (b) kelompok mk
keilmuan dan keterampilan-MKK, (c) kelompok mk keahlian berkarya-MKB,
(d) kelompok mk perilaku berkarya-MPB, dan (e) kelompok mk berkehidupan
bermasyarakat-MBB, dengan uraian sebagai berikut,
34

No Kelompok mata kuliah Tujuan mata kuliah, Mata kuliahwajib (w) atau
untuk…..(* yang dapat diberikan(d)(**
1 pengembangan Mengembangkan manusia Pendidikan Pancasila (w)
kepribadian-MPK Indonesia yang beriman Pendidikan Agama (w)
dan bertaqwa terhadap
Tuhan Yang Maha Esa dan Pendidikan
berbudi pekerti luhur, Kewarganegaraan (w)
berkepribadian matap, dan Bhs Indonesia, Bhs Inggris,
mandiri serta mempunyai IBD, ISD, IAD, Filsafat Ilmu,
rasa tanggung jawab Olah raga, dll.(dapat
kemasyarakatan dan diberikan)
kebangsaan.
2 keilmuan dan Memberikan landasan
keterampilan-MKK penguasaan ilmu dan
keterampilan tertentu .
3 keahlian berkarya-MKB Menghasilkan tenaga ahli
dengan kekaryaan
berdasarkan dasar ilmu dan
keterampilan yang dikuasai.
4 perilaku berkarya-MPB Membentuk sikap dan
perilaku yang diperlukan
sesorang dalam berkarya
menurut tingkat keahlian
berdasarkan ilmu dan
keterampilan yang dikuasai.
5 berkehidupan Memahami kaidah
bermasyarakat-MBB berkehidupan
bermasyarakat sesuai
dengan pilihan kelahian
dalam berkarya.
(* Kepdiknas 232 /U/2000 pasal 1(7-11) (** Kepdiknas 232 /U/2000 pasal 10(1-2)).
Tujuan Pendidikan dalam rancangan kurikulum suatu program studi
sering juga dinyatakan sebagai Profil Lulusan yang akan menunjukkan
karakteristik lulusan suatu institusi. Oleh karena itu, langkah awal dalam
perancangan kurikulum, adalah menetapkan profil lulusannya.
Untuk menghasilkan lulusan yang sesuai dengan profil yang ditetapkan,
perlu diidentifikasi kompetensi apa saja yang dibutuhkan untuk mencapai
profil lulusan itu. Institusi dapat menetapkan sendiri kompetensi yang akan
dibekalkan bagi peserta didiknya atau menetapkannya berdasarkan standar
profesi tertentu yang baku. Jika profil lulusan mencitrakan lulusan yang
berstandar internasional, umpamanya, maka institusi perlu menetapkan
35

kompetensi yang relevan dengan standar tersebut. Sebagai contoh, pendidikan


sarjana teknik menggunakan standar internasional ABET bagi peserta didiknya.
Setiap kompetensi yang ditetapkan yang ditetapkan seyogyanya
dielaborasi ke dalam komponen kompetensi yaitu komponen intelektual,
psikomotorik, dan sikap, perilaku, dan nilai-nilai yang jelas.
Kompetensi yang diharapkan dapat dicapai melalui satu matakuliah
merupakan tujuan pembelajaran dari mata kuliah tersebut. TUJUAN
merupakan inti dari kegiatan pembelajaran. Kegiatan yang lain, seperti isi
ajaran, cara mengajar, organisasi pembelajaran, dan bentuk evaluasi harus
mengacu kepada tercapainya tujuan pembelajaran.
Karena itu, langkah alam merancang pembelajaran adalah (1)
menetapkan dan memperinci tujuan pembelajaran, (2) menentukan berbagai
pokok bahasan dan tugas ajaran yang harus diberikan pada mahamahasiswa
agar tujuan pembelajaran tersebut tercapai. Yang dilakukan dengan merinci
pokok bahasan menjadi berbagai rincian sasaran belajar dari masing-masing
pokok bahasan tersebut, (3) merancang strategi perkuliahan dan rancangan
dalam mengelola kelas, dan (d) mengembangkan (penyusunan, penulisan,
ujicoba) butir tes atau alat pengukuran hasil belajar yang lain, yang juga tetap
mengacu kepada tujuan.

Upaya Meningkatkan Keterampilan Mengajar


Mengajar, bukan hal yang mudah. Karena bukan hanya sekedar
memberikan informasi. Tetapi harus mampu membuat mahamahasiswanya
belajar. Memberi informasi berbeda maknanya dengan membelajarkan.
Mahsiswa harus mampu dirangsang untuk belajar. Karena, belajar ada dan
terjadi dalam diri mahasiswa.
Mengapa mahasiswa MAU belajar? Sukses bertumpu pada dua hal :
kemampuan dan kemauan. Sukses belajar mahasiswa juga sangat tergantung
pada keterampilan belajar yang dimiliki dan seberapa kuat mahasiswa MAU
menggunakannya. Tingkat kemauan (atau motivasi) orang berbeda-beda.
karena alasan (motif) yang berkait dengan kebutuhan untuk kegiatan yang
sama, dapat berbeda-beda.
Motivasi memang berhubungan upaya memenuhi kebutuhan. Makin
besar kebutuhan makin besar pula dorongan dalam diri seseorang untuk MAU
melakukan sesuatu. Karena itu peran motivasi untuk menunjang keberhasilan
sangat penting.
Besar kecilnya kemauan belajar mahasiswa tergantung kepada besar
kecilnya motivasinya. Tugas penting (dan sering dilupakan) dosen –dalam
mengajar—adalah membangkitkan motivasi mahasiswa. Motivasi belajar
36

mahasiswa akan meningkat bila (a) mereka tahu manfaat dari kegiatan
belajarnya. (b) secara fisik bersemangat, (c) kegiatannya menyenangkan, dan
(d) pikirannya positif. Untuk itu para dosen, harus mampu menumbuhkan
pendorong motivasi tersebut, dalam praktik mengajarnya.
Mengajar dengan lebih Menyenangkan. Memberi motivasi --apalagi
memotivasi orang lain--- bukanlah hal mudah.. Berikut disajikan beberapa
saran praktis untuk dapat memotivasi mahasiswa agar pembelajaran lebih
menyenangkan.:
1. Bila mahasiswa mengetahui manfaat dari pelajaran yang akan didapat,
motivasi belajar mereka akan meningkat.
Belajar hanya terjadi bila mahasiswa mau belajar (artinya dalam
diri mahasiswa ada kehendak, ada motivasi, ada kemauan untuk belajar).
Kehendak belajar akan menguat, apabila mahasiswa mengetahui apa
manfaat yang akan diperoleh dari hal yang dipelajari.

Yang dapat dilakukan dosen dalam merancang dan menyajikan pelajarannya


1. Jelaskan apa tujuan dan isi dari pelajaran Anda.
2. Beritahu keterkaitan isi pelajaran Anda dengan pelajaran-pelajaran lainnya
3. Berikan contoh-contoh konkrit tentang kegunaan dan manfaat dari mata ajaran itu
4. Jelaskan bagaimana cara Anda akan mengajar dan menilai keberhasilan belajar
5. Jelaskan perilaku yang Anda harapakan dari mahasiswa dalam mengikuti
pelajaran
6. Dorong dan minta mahasiswa untuk menyatakan-mengekpresikan (bila perlu
secara tertulis) harapan-harapan mereka terhadap pelajaran Anda, model
mengajar dan cara mengevaluasi, serta harapan terhadap diri Anda.

2. Semangatkan pikiran mahasiswa melalui gerakan, sikap tubuh, dan mimik


wajah yang penuh enersi.
Kemauan belajar atau motivasi yang telah muncul, harus diperkuat
dengan pikiran yang bersemangat. Untuk itu, ciptakan suasana dan aktivitas
fisik para mahasiswa, yang penuh bersemangat. Rasanya sulit untuk
menumbuhkan pikiran bersemangat, bila para mahasiswa duduk loyo,
bertopang dagu, bermata sayu.
37

Yang dapat dilakukan dosen


1. Salah satu kunci sukses pembelajaran afektif adalah “panutan” (modeling).
Mahasiswa akan “meniru” apa yang dilakukan dosennya. Untuk menciptakan
semangat belajar dalam perkuliaan Anda, yang pertama kali harus dilakukan
adalah : Anda sendiri harus menunjukkan adanya semangat itu melalui gerakan,
sikap tubuh, dan mimik wajah yang penuh enersi.
2. Secara lebih khusus Anda harus menunjukkan bahwa Anda sendiri juga sangat
bersemangat sangat mencitai, sangat antusias dalam pelajaran yang Anda berikan.
3. Tunjukkan (secara tidak langsung) bagaimana pelajaran yang Anda berikan, telah
mampu memberikan pengaruh positif terhadap karir, hidup dan kehidupan Anda,
dan beberapa tokoh lain yang “diketahui”oleh mahasiswa.
4. Ingatkan, dorong dan minta mahasiswa Anda untuk tidak lupa “memasang” mimik
muka mereka menjadi mimik muka orang paling cerdas. Agar mereka selalu duduk,
bertanya, berkomunikasi dengan percaya diri.
3. Jadikan proses mengajar sebagai kegiatan yang menyenangkan (untuk
Anda dan mahasiswa Anda)
Tidak ada mahasiswa yang ingin kegiatan pembelajarannya
membosankan, menakutkan, apalagi yang ditakut-takuti oleh dosennya.
Proses pembelajaran yang segar, menyenangkan, pasti mampu
memberikan hasil yang lebih baik. Karena sesuatu yang menyenangkan
mendorong motivasi positif, dan juga membentuk sikap positif kepada
banyak hal (termasuk kepada mata pelajarannya, pada dosennya, dan
bahkan pada sekolahnya). Dorong selalu tumbuhnya kreatifitas
mahasiswa. Kreatifitas membutuhkan adanya rasa aman, meningkatkan
pengertian dan penghargaan, serta menjauhkan hukuman.
Yang dapat dilakukan dosen….
1. Senyum, jadikan senyum sebagai ciri khas kegiatan pembelajaran Anda. Jadikan
diri Anda sebagai panutan dalam tersenyum. Jadikan kelas Anda, kelas senyum
Anda dan senyum mahasiswa Anda.
2. Dorong mahasiswa (dan juga Anda sendiri) untuk berani dan bangga untuk
mengungkapkan pendapat, komentar, tanggapan, pokok pikiran dalam suasana
yang menggembirakan.
3. Secara kreatif, selipkan berbagai variasi, seperti misalnya (a) bentuk media
pengajaran yang dipakai (kreativitas Anda dituntut untuk dapat menggunakan
berbagai media pembelajaran), (b) gerakan, solah boowo, mimik, dan variasi
bahasa tubuh Anda, (c) selipkan berbagai kegiatan yang dapat berfungsi pemecah
ketegangan (ice breaker) seperti “jokes”, nyanyi bersama, teka teki, dan banyak
yang lain. Sangat banyak bahan untuk hal ini. Bila perlu, dorong mahasiswa untuk
menghimpun dan menyajikan berbagai “acara” agar pembelajaran berlangsung
segar nanum tetap bertujuan .
38

4. Terapkanlah pikiran rasional: bahwa yang paling berperan, paling


bertanggung jawab, paling mampu untuk merubah kualitas diri, adalah
diri sendiri.
Membentuk sikap positif terhadap mata pelajaran Anda dapat pula
dilakukan melalui pendekatan rasional. Pikiran rasional mampu mengurangi
halangan besar dalam belajar dan berkomunikasi.

Yang dapat dilakukan dosen


1. Jangan bosan untuk menjelaskan secara rasional berbagai kesulitan dan
kemudahan dalam mempelajari mata pelajaran Anda
2. Dorong mahasiswa dapat mengungkapkan secara rasional hambatan yang
dirasakannya dalam belajar, Beritahu mereka untuk tidak melihat sesuatu dari segi
jeleknya saja, jangan selalu mengeluh. Minta mahasiswa berpikir dan bertindak
positif. Kegagalan (yang boleh terjadi) adalah sukses yang tertunda. Setiap
musibah pasti ada hikmahnya. Setiap pribadi pasti mempunyai sisi yang baik dan
bermanfaaat

Agar pembelajaran berhasil, ajarkan pula keterampilan


belajar.
Bertinju tidak cukup bila hanya berbekal semangat (apalagi bonek)
tetapi sangat dibutuhkan keterampilan. Demikian juga halnya dengan belajar.
Kemauan merupakan modal dasar namun harus dilengkapi dengan berbagai
keterampilan (untuk) belajar. Apa keterampilan belajar yang seharusnya
dikuasai mahasiswa? Dan siapa yang harus mengajarkan keterampilan-
keterampilan penting di atas kepada mahasiswa? Bila jawabannya adalah dosen,
maka keterampilan belajar juga selayaknya diajarkan. Berikut beberapa
saran
1. Keterampilan dalam membuat catatan. Ada bermacam-macam
teknik/model dalam membuat catatan. Ada yang mencacat rapi
hal-hal penting, ada yang berupaya mencacat sebanyak mungkin
informasi, ada pula yang catatannya seperti coretan dan penuh
gambar, dan lain-lain.Menurut DePorter dan Hernacki (1992) ada
teknik mencatat yang efektif (bahkan dikatakan sebagai teknik
mencacat tingkat tinggi), yaitu menggunaan peta pikiran (atau
pada beberapa referensi disebut sebagai peta kognitif, concept
mapping). Melalui peta pikiran dapat dibuat suatu catatan yang
menyeluruh dalam satu halaman.
2. Keterampilan menjadi pendengar yang cerdas. Beberapa
bacaan menyatakan ciri pendengar yang cerdas adalah (a) sikap
fisiknya mengekspresikan semangat dan perhatian terhadap
pembicara, (b) selama mendengar mengupayakan mengkaitkan
39

secara bermakna informasi yang diterima dengan pengetahuan


yang telah dipunyainya, (c) sambil mendengarkan membuat
pertanyaan-pertanyaan terhadap informasi yang didengarnya, dan
(d) berupaya untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan tanya-
jawab, diskusi atau demontrasi bila dilakukan.
3. Keterampilan membaca cepat dan akurat. Hal yang dapat
dilakukan untuk menjadi pembaca yang efektif adalah : (a) jangan
membaca kata-demi kata, bacalah kalimatnya, bacalah gagasan-
gagasannya. (b) baca lebih dulu, secara selintas isi keseluruhan
buku atau bab yang akan dibaca, untuk mendapat gambaran umum
tentang isi bacaan, gunakan daftar isi, atau ringkasan bila tersedia,
(c) gunakan jari atau benda lain sebagai penunjuk, (d) buat
cacatan-catatan selama atau pada akhir membaca –gunakan
misalnya model peta pikiran- dan kemudian rangkumlah isi
bacaan dan gunakan ‘pengingat’ tertentu.
4. Keterampilan berkomunikasi, mencari dan menghimpun
informasi. Keterampilan ini merupakan gabungan dari (a)
kemampuan memakai sumber-sumber informasi –perpustakaan,
internet, CD-Rom, (b) kemampuan berbahasa, baik bahasa
Indonesia maupun bahasa asing, (c) kemampuan berkomunikasi
baik lisan (berbincang santai, bertanya, menjawab pertanyaan,
menyampaikan pidato, dll) maupun tertulis (membina sahabat
pena, mengirim e-mail, dll)., (d) kerapihan dan ketertiban dalam
mendokumentasi, dan menyimpan informasi, (perlunya sistem
arsip, pengkodean, dll)
5. Keterampilan mengingat . Dalam belajar banyak hal harus
diingat. Karena daya ingat terbatas, maka berbagai cara dipakai
untuk dapat mengingat dengan lebih baik. Di antaranya yang kita
kenal adalah penggunaan Singkatan-Akronim. Banyak cara lain
untuk meningkatkan daya ingat, seperti : analogi, sistem cantol,
metode lokasi, gunakan asosiasi, jembatan keledai, dll.
6. Keterampilan bertanya. Dalam pembelajaran pasti terdapat
banyak hal yang dapat dipertanyakan dan terlebih lagi tidak ada
pertanyaan yang jelek. Kemampuan untuk bertanya, memang
harus dilatih. Untuk itu biasakan menugaskan mahasiswa untuk
membuat 1-2 buah pertanyaan, baik dalam hati, ditulis, ataupun
langsung disampaikan dalam setiap kegiatan mengikuti
pembelajaran, membaca buku, mendengarkan seminar, dll,
40

Simpulan dan Penutup


Dosen mempunyai peran yang sangat utama dalam merancang,
menyajikan dan menilai proses pembelajaran, yang menentukan keberhasilan
KBK. Berbagai cara mengajar yang sesuai untuk mencapai tujuan
pembelajaran sudah seharusnya digunakan untuk mengganti model PBM
“tradisional”. Pembelajaran berbasis pada kemampuan dalam pemecahan
masalah (problem based learning) misalnya, merupakan model mengajar yang
disarankan untuk tujuan tertentu dalam KBK.
Di samping kompetensi yang bersifat khusus sesuai dengan bidang
studinya, mahasiswa memerlukan serangkaian komptensi yang bersifat umum.
Di antaranya adalah kompetensi untuk berkemampuan dan berkemauan belajar.
Belajar menuntut kemauan emosional. Mau untuk selalu belajar. Itu
adalah bagian yang penting dari kecerdasan emosional (EQ). Dan hal itu dapat
ditingkatkan. Untuk meningkatkannya perlu kemauan dan keterampilan
belajar. Karena itu dosen dituntut berperilaku “tertentu” dalam kegiatan
mengajarnya, agar mampu menimbulkan kemauan mahasiswa dalam belajar.
Agar sukses belajarnya, sikap positif tersebut harus dilengkapi dengan
keterampilan belajar. Yaitu keterampilan dalam: (a) mencatat, (b)
mendengarkan, (c) membaca, (d) mencari informasi, (e) bertanya dan (f)
mengingat. Kelima keterampilan itu juga harus dilatihkan kepada mahasiswa.
Karenaya, dosen berkewajiban merancang dan mengajarkannya sebagai bagian
dari kegiatan perkuliahannya.

Daftar Bacaan:
Balitbang Depdiknas. (2001). Kurikulum berbasis kompetensi (Kebijakan Umum
Pendidikan Dasar dan Menengah), Jakarta: Depdiknas.
DePorter, Bobby dan Mike Hernaki (1992) Quatum Learning : Membiasakan Belajar
Nyaman dan Menyenangkan. Terjemahan Alwiyah Abdulrachman Bandung :
Kaifa.
Harsono (1998). Pokok-pokok pikiran tentang penegmbangan kurikulum dalam upaya
meningkatkan daya saing lulusan dalam komunitas global. Makalah disajikan
pada Seminar Nasional Profil Pendidikan Sains, Teknologi, dan Humaniora di
Indonesia pada Era Insdustrialisasi dan Globalisasai, 19 Nopember 1994.
Suciati (1997) Taksonomi Tujuan Instruksional dalam Mengajar di Perdidikan Tinggi,
Bagian Satu Program Applied Approach. Jakarta : PAU-P3AI.
Suciati (2001) Kontrak Perkuliahan. Buku 2.05. Program Applied Approach. Jakarta :
PAU-P3AI.
41

Suhardjono (1990). Teori tampilan Komponen pada Perancangan Pengajaran


(Component Display Theory). Makalah pada seminar kependidikan di Malang,
13 Juli 1999.
Suhardjono (1999). Peningkatan Mutu Lulusan FT Unibraw. Makalah disajikan pada
Seminar Pendidikan dalam rangka HUT FT Unibraw 23 Oktober 1999.
Suhardjono (2000). Belajar lebih Benar dan lebih Menyenangkan, Pembelajaran
Umum bagi Mahasiswa Baru tahun 2000 Sekolah Tinggi Informatika
dan Komputer Indonesia, 2 September 2000.
Suhardjono (2002) Evaluasi Kurikulum di Jurusan Teknik Mesin Unibraw. Makalah pada
Lokakarya Perbaikan Kurikulum FT Jurusan Mesin Unibraw, Projek
SemiQUE, 2002.
Sullivan, Rick, (1995). The Competency Based Approach to Training. JHPIEGO Strategy
Paper, September 1995.
42

Manfaat SOP dan Bagaimana


Menyusunnya1
Suhardjono

Pengantar
Apakan yang dimaksud SOP? Cukup beragam pendapat orang tentang
kepanjangan SOP. Adanya yang menyatakan SOP adalah singkatan dari:
Standard Operation Procedure, atau Standard Operating Procedure, atau juga
Standard Operational Procedure bahkan sering pula diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia sebagai Standar Operasi Prosedur.
Padahal, bila menggunakan kaidah bahasa Indonesia, maka terjemahan
yang benar adalah Prosedur Operasi Standar dan disingkat POS. Namun
sering juga diterjemahkannya sebagai Prosedur Operasi Baku, atau juga
Prosedur Pelaksanaan Standar, dan lain-lain.

Makna Prosedur Operasi Standar


Pada makalah ini SOP diterjemahkan sebagai Prosedur Operasi Standar
(POS), yang merupakan penjelasan tertulis tentang:
Prosedur operasi atau urutan cara pelaksanaan yang standar (baku) dari
suatu kegiatan. Termasuk di dalam penjelasan itu adalah, sajian rinci tentang
apa dan siapa-siapa yang mengerjakan kegiatan tersebut, serta bagaimana cara
mengerjakannya agar tujuan kegiatan dapat tercapai dengan efisien dan efektif.
Karena itu pada SOP juga terjelaskan dokumen-dokumen apa yang harus
dipakai dalam pelaksanaan kegiatan atau yang merupakan bukti dari hasil
kegiatan.
Di perguruan tinggi, termasuk juga di jurusan Teknik Industri Fakultas
Teknik Universitas Trunojoyo, terdapat berbagai kegiatan baik yang rutin
maupun yang sesaat, baik yang di lakukan oleh mahasiswa, dosen maupun
karyawan, untuk mencapai tujuan tertentu. Misalnya kegiatan rutin dalam
pelaksanaan tugas akhir mahasiswa. Kegiatan tersebut, tentu melibatkan
mahasiswa, jurusan, dosen pembimbing, karyawan, bahkan mungkin pula
dekan. Agar supaya kegiatan tersebut dapat berjalan dengan lancar, maka
diperlukan suatu pedoman, atau aturan tentang bagaimana cara melaksanakan
kegiatan tersebut.

1
Disampaikan pada diskusi penyusunan SOP di jurusann Teknik Industri FT Universitas
Trunojoyo , Agustus 2005
43

Bila pedoman tentang pelaksanaan tugas akhir tersebut disajikan dalam


bentuk penjelasan rinci yang menjelaskan bagaimana prosedur operasi yang
standar itu dilaksanakan, maka sajian tersebut dapat disebut sebagai SOP
pelaksanaan tugas akhir.
Di tingkat jurusan, atau program studi terdapat berbagai kegiatan yang
spesifik yang dapat dibuat SOP-nya, mulai dari kegiatan rapat jurusan,
pelaksanaan praktikum, penyelesaian tugas akhir, pelaksanaan ujuan skirpsi,
dan lain-lain.

Manfaat SOP
Suatu kegiatan yang dibuatkan Prosedur Operasi Standar atau SOPnya,
akan mampu memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Mempermudah tindakan yang harus dilakukan oleh mereka yang
terlibat.
2. Memperjelas tanggung jawab dari masing-masing yang terlibat
pada kegiatan tersebut.
3. Memudahkan dalam memperkirakan waktu yang efektif untuk
melaksanakan suatu kegiatan.
4. Meningkatkan efiseiensi, dengan meniadakan kegiatan-kegiatan
yang tidak diperlukan.
5. Memberikan dukungan pada kegiatan mengkontrol jaminan mutu
suatu kegiatan.

Kerangka Isi SOP


Tampilan SOP dapat bervariasi. Ada yang sangat rinci ada pula yang
hanya memberikan hal-hal pokok, namun tetap rinci. Suatu SOP yang lengkap
umumnya terdiri dari beberapa kerangka bagian isi sebagai berikut:
1. Header yaitu keterangan yang ada di bagian atas kertas. Pada
header itu, paling tidak memberikan informasi tertulis mengenai
(a) judul dari kegiatan, (b) nama institusi yang membuat SOP, (c)
kode dan tanggal ditetapkan, dan (d) kode dan tanggal revisi, bila
memang dilakukan revisi.
2. Definisi dan ruang lingkup kegiatan
3. Referensi atau peraturan-peraturan yang relevan yang wajib untuk
diketahui atau dipakai sebagai acuan
44

4. Bagan alir prosedur standar yang paling tidak menuliskan (a) nama
macam kegiatan, (b) nama siapa-siapa yang terlibat, (c) urutan
kegiatan yang dijelaskan melalui bagan alir, dan (d) bila ada
dijelaskan pula macam dokumen atau formulir yang dipergunakan
dalam kegiatan, serta waktu yang diperkirakan dibutuhkan.
5. Penjelasan lain baik berupa catatan, atau tambahan keterangan,
atau penjelasan contoh, dan lain-lain.
Diketahui bahwa jumlah kegiatan yang harus dibuatkan SOP-nya,
umumnya tidak sedikit. Karena itu, dari beberapa referensi tentang SOP yang
menjelaskan kegiatan di bidang pembelajaran di perguruan tinggi, jarang yang
memakai kerangka isi yang sangat lengkap. Umumnya SOP kegiatan bidang
administrasi akademik memakai kerangka sebagai berikut ini:
1. Header
2. Definisi atau ruang lingkup kegiatan
3. Bagan alir prosedur standar yang berisi macam kegiatan,
pelaksana kegiatan, urutan kegiatan, dokumen serta format yang
dipakai (bila ada)
4. Catatan atau keterangan.
Berikut disajikan contoh dari header

UNIVERSITAS TRUNOJOYO
BANGKALAN
Prosedur Operasi Standar No :
Tanggal dikeluarkan

JUDUL REVISI
PELAKSANAAN KULIAH No :
Tanggal

Suhardjono, 2005 7
45

Contoh dari definisi.

DEFINISI
• Kuliah adalah kegiatan belajar mengajar dengan cara tatap
muka antara dosen dan mahasiswa yang dijadwalkan.
• Satu kali tatap muka adalah 50 menit x bobot sks kuliah
• Dosen adalah seseorang yang berdasarkan persyaratan
pendidikan, keahlian dan kemampuannya diangkat oleh Rektor
untuk menjalankan tugas pokok pendidikan.
• Dosen terdiri dari Dosen Tetap dan Dosen Tidak Tetap.
• Mahasiswa adalah peserta didik yang terdaftar secara sah pada
program Diploma dan Sarjana di Universitas Trunojoyo

Suhardjono, 2005 8
46

Serta contoh dari bagan alir prosedur.

& ,

$+ ) '()* "

% & %

1 1

#
" # 2 2 2 2
! #
#$ "

"

!
3 3
"

4 4

Suhardjono, 2005 9
47

Menyusun SOP : Bersama, Seksama dan Gembira


Menyusun atau membuat SOP umumnya dilakukan secara bersama.
Satu tim kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, seringkali lebih efektif
daripada kelompok besar. Namun yang utama adalah kemampuan dan kemauan
dari para anggota tim. Anggota tim hendaknya mereka yang mengetahui atau
paling tidak pernah melakukan kegiatan yang akan dibuat SOP-nya. Mereka
mengetahui apa manfaat SOP, apa tujuannya dan bagaimana tampilan SOP.
Mereka hendaknya juga mampu bekerjasama dalam tim secara seksama
dan dalam suasana yang gembira.
Langkah kegiatan yang umumnya dilakukan adalah:
1. Pilih dan tetapkan serta tuliskan JUDUL KEGIATAN yang akan
dibuat SOP-nya
2. Melalui diskusi kelompok, tetapkan batas awal dan batas akhir dari
kegiatan tersebut. Harus jelas benar kapan kegiatan itu imulai dan
diakhiri, bila ada tetapkan apa yang menjadi pertanda bila kegiatan
tersebut telah selesai.
3. Rinci dengan seksama macam-macam bagian kegiatan yang harus
dilakukan mulai dari awal sampai akhir kegiatan. Anggota tim
hendaknya dapat bekerja dengan bebas dalam mengemukakan
pendapatnya, terutama dalam menentukan rincian macam kegiatan
ini. Untuk itu metode curah pendapat (brain stroming) dalam
menggali informasi antar anggota, sangat disarankan.
4. Tuliskan pendapat kelompok tentang rician macam kegiatan apa,
siapa, bagaimana dan dokumen apa yang diperlukan pada
lembaran-lembaran kertas kecil. Agar memudahkan diskusi
terutama saat menata prosedur kegiatan, atau langkah-langkah
urutan kegiatan.
5. Susunlah dalam urutan yang logis rician kegiatan tersebut.
Gunakan lembaran kertas yang telah berisi tulisan macam kegiatan
sebagai media untuk memudahkan menatanya. Lakukan berulang
kali sehingga mendapatkan urutan kegiatan yang paling logis,
paling efektif, efisien untuk mencapai tujuan kegiatan.
6. Periksa dan evaluasi kembali urutan kegiatan, bila tim telah
sepakat tuliskan dalam kertas yang baru urutan-urutan kegiatan,
pelaksana kegiatan, dokumen atau formulir-formulir yang harus
dikerjakan, dan lain-lain.
48

7. Rencanakan waktu yang diperlukan untuk penyelasaian kegiatan


tersebut, baik waktu tercepat yang mungkin dapat dilakukan
maupun waktu paling lama.
8. Tulis kembali dalam kerangka SOP yang telah disepakati.
Misalnya menggunakan kerangka : Header, Definisi atau ruang
lingkup kegiatan, Bagan alir prosedur standar yang berisi macam
kegiatan, pelaksana kegiatan, urutan kegiatan, dokumen serta
format yang dipakai (bila ada), dan bila diperlukan tambahan
catatan atau keterangan.
9. Evaluasi kembali, dan rayakan dengan telah selesainya satu SOP,
kemudian lanjutkan untuk SOP kegiatan yang lain
10. Kemampuan untuk dapat bekerjasama dalam suasana yang
gembira merupakan hal yang penting, karena umumnya tim
tersebut akan menyusun SOP dari berbagai kegiatan, yang tidak
jarang membawa pada kebosanan dan kekurangmenarikan

Macam kegiatan Program Studi yang perlu SOP


Apa saja kegiatan yang ada di Program Studi (termasuk di Prodi Teknik
Industri Unijoyo), yang perlu dibuat SOP-nya? Berikut adalah sebagian dari
kegiatan tersebut
1. Melaksanakan rapat rutin prodi
2. Menetapkan jadual perkuliahan setiap semester
3. Menyiapkan dan melaksanakan ujian semester, ujian tengah
semester, dan ujian yang lain
4. Melaksanakan kegiatan semester pendek
5. Melaksanakan evaluasi hasil pembelajaran dari dosen di prodi
6. Melaksanakan tugas akhir mahasiswa
7. Melaksanakan ujian tugas akhir
8. Menyelasikan transkrip dan ijazah
9. Mengusulkan kenaikan pangkat
10. Memilih ketua prodi dan lain-lain
49

Hubungan SOP dan penjaminan mutu


Bagaimana kita dapat mengetahui bahwa kegiatan yang kita lakukan
telah berjalan dengan baik. Apakah petugas, orang-orang yang terlibat pada
kegiatan tersebut telah melaksanakan tugasnya dengan baik? Semua pertanyaan
itu berfokus kepada mutu, pada kulaitas dari hasil dan proses kegiatan yang
dilakukan.
Untuk dapat mengetahui sejauh mana mutu pelaksanaan kegiatan yang
kita lakukan, diperlukan rincian yang baku tentang kegiatan itu, yang umumnya
berupa SOP.
Adanya SOP dapat menjelaskan secara rinci langkah kegiatan, format
yang harus diisi, waktu yang diperlukan, yang kesemuanya dapat menjadi
indikator terhadap mutu baik dari kegiatannya sendiri, ataupun dari para
pelaksana kegiatan. Adanya SOP memungkinkan adanya penilaian yang lebih
objektif pada mutu pelaksanaan kegiatan.

Penutup
Meskipun statu kegiatan telah terbiasa dilakukan, perlu ada dokumen
tertulis yang menjabarkan secara rinci langkah operasi yang baku. Dokumen
tersebut dinamakan SOP. Manfaat adanya SOP di antara adalah : memudahkan
pelaksanaan, memperjelas tanggung jawab dan evaluasi, serta mendukung
pelaksanaan penjaminan mutu.
Menyusun SOP, disarankan dilakukan oleh tim kecil, yang dapat
bekerja secara bersama, seksama dan gembira.

Daftar bacaan:
Fakultas Teknik Universitas Brawijaya (2001). Pedoman Admintrasi Pendidikan
Suhardjono (2005) Prosedur Operasi Standar dalam kegiatan PEKERTI di Unijoyo, urun
rembug awal.
Institut Pertanian Bogor (2004) Kumpulan Prosedur Operasional Baku Dit. Adminitrasi
dan Jaminan Mutu Pendidikan.
50

Menjadi ahli hukum yang jujur,


pintar, mahir, serta committed
terhadap profesi 1
Eman Suparman
Alumni perguruan tinggi yang jujur, pintar, sekaligus mahir dan
committed terhadap profesi dalam menerapkan ilmunya di masyarakat tentu
saja menjadi harapan stakeholders. Demikian pula alumni fakultas hukum,
para lulusannya sangat diharapkan tidak sekedar piawai dalam
berargumentasi mempertahankan sesuatu yang dianggap benar, melainkan
harus mampu membantu mencari kebenaran yang hakiki dari berbagai
persoalan yang dihadapi.
Terlanjur sudah kaum profesional hukum yang alumni perguruan tinggi
itu dianggap kurang committed terhadap apa yang seharusnya diperjuangkan
demi kebenaran dan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh
karena itu, kata “jujur” di dalam judul tulisan ini penulis tempatkan pada
urutan pertama, disusul dengan kata “pintar”, dan “mahir.” Adapun alasan
penulis adalah karena kejujuran harus menjadi landasan utama setiap individu
anggota masyarakat dalam menjalani pernak-pernik hidup dan kehidupan ini.
Tanpa ada kejujuran, apa pun yang dilakukan seseorang tidak akan
membawa manfaat bagi orang banyak dan tidak akan membawa keberkahan
bagi dirinya sendiri dalam menjalani kehidupan ini. Kejujuran yang dimaksud
tentu saja dalam artinya yang lebih makro, yakni jujur kepada Tuhannya, jujur
kepada dirinya sendiri, dan jujur kepada masyarakat. Boleh jadi akibat
mengabaikan faktor kejujuran itulah bangsa Indonesia sampai sekarang masih
saja didera oleh berbagai persoalan yang tiada kunjung berakhir.
“Pintar” harus menjadi landasan berikutnya. Artinya, agar seseorang
mampu mengerjakan sesuatu pekerjaan secara profesional, maka tentu saja dia
harus pintar, dalam arti memiliki bekal keilmuan yang cukup memadai untuk
dirinya serta cukup pula untuk disebarluaskan demi kemaslahatan orang lain.
Kepintaran seseorang idealnya diiringi dengan sikap santun dan rendah hati,
tidak congkak alias angkuh, karena sikap-sikap semacam itu sama sekali bukan
ciri hamba Allah Yang Maha Kuasa.
Di samping jujur dan pintar, kata kunci yang ketiga adalah “mahir.”
Tentu saja mahir dalam bidang ilmu yang ditekuninya selama di bangku kuliah.

1
Bahan renungan untuk para calon alumni fakultas hukum sebelum memasuki
“lorong waktu” dunia profesi yang penuh liku-liku.
51

Untuk alumni fakultas hukum, “mahir” mengandung makna pintar dan piawai
dalam menerapkan kaidah hukum demi menegakkan norma-norma yang
berlaku tanpa mengabaikan rasa keadilan masyarakat yang lebih bermartabat.
Mengapa hal itu perlu ditekankan? Seperti telah disinggung di muka,
bahwa kaum profesional hukum dianggap kurang committed terhadap apa yang
seharusnya diperjuangkan demi kebenaran dan keadilan berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Ungkapan sinis “maju tak gentar membela yang mbayar”
tentu saja menjadi salah satu sindiran yang kurang nyaman didengar. Padahal
sesungguhnya tidak semua anggota profesi hukum dapat dikenai ungkapan
semacam itu.
Oleh karena dalam kiprahnya sebagai ahli hukum yang profesional,
banyak bidang tugas yang dapat dijalani oleh alumni fakultas hukum. Sebagai
dosen, birokrat, penasihat hukum, jaksa, hakim, atau profesi-profesi lain yang
langsung maupun tidak berkaitan dengan seluk beluk penerapan dan penegakan
hukum.
Dalam konteks penerapan dan penegakan hukum, tuntutan
profesionalisme, kejujuran, kepintaran, dan kemahiran sangat diutamakan bila
seorang alumni fakultas hukum hendak memilih profesi hakim, jaksa, atau
penasihat hukum. Hal itu disebabkan ketiga pilar dalam penegakan hukum
khususnya dalam proses peradilan sungguh sangat menentukan nasib manusia
lain yang duduk sebagai “pesakitan” (terdakwa). Lebih dari itu, perbuatan
mengadili adalah pergulatan kemanusiaan yang luhur untuk memberikan suatu
putusan terhadap suatu perkara yang semata-mata harus didasarkan kepada
kebenaran, kejujuran, dan keadilan.
Oleh sebab itu, proses mengadili atau memeriksa perkara pada
umumnya memang mutlak “…harus dijauhkan dari tekanan atau pengaruh
pihak mana pun, baik oknum, golongan dalam masyarakat, apalagi kekuasaan
pemerintahan yang biasanya memiliki jaringan yang kuat dan luas, sehingga
jangan sampai terjadi pihak yang lemah akan dirugikan”.
Tentu saja kita semua sepakat bahwa tidak hanya profesi hakim yang
mutlak harus jujur, pintar, mahir, dan adil dalam proses penegakan hukum,
tetapi juga profesi-profesi penegak hukum lainnya, seperti penasihat hukum dan
jaksa bahkan polisi. Oleh karena di dalam sistem pemidanaan yang terintegrasi
(integrated criminal justice system) yang dianut Indonesia, pilar-pilar
penegakan hukum itu terdiri atas Kepolisian sebagai penyidik, Kejaksaan
sebagai penuntut umum, dan Hakim di pengadilan sebagai pemutus, ditambah
Advokat sebagai penasihat hukum yang mendampingi terdakwa dalam kasus
pidana atau kuasa hukum dalam kasus perdata. Muara dari tugas-tugas mulia
52

profesi hukum yang empat pilar tersebut di atas berada pada kekuasaan
kehakiman dengan puncak tertingginya yaitu Mahkamah Agung. 1
Sejak 29 Oktober 1999 urusan-urusan yang berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman telah diupayakan untuk dieliminir dari lingkungan kekuasaan
eksekutif. Satu di antaranya adalah mengganti nama Departemen Kehakiman
menjadi Departemen Hukum dan Perundang-undangan. Upaya itu dimaksudkan
untuk mengeluarkan urusan-urusan yang berkenaan dengan organ peradilan
sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman dari tubuh eksekutif. Selanjutnya
urusan organ peradilan dari tingkat yang paling rendah hingga yang tertinggi
akan diurusi oleh lembaga yudikatif sendiri.
Hampir enam dasawarsa, Departemen Kehakiman tercatat dalam
skenario sejarah penegakan hukum di Indonesia telah memerankan fungsinya
sebagai penguasa atas separuh sosok pribadi hakim. Sedangkan separuh bagian
yang lainnya dikuasai oleh Mahkamah Agung sebagai salah satu badan
penyelenggara kekuasaan kehakiman.
Buktinya, golongan, pangkat, serta penghasilan dan sistem penggajian
hakim selama itu berada di bawah kendali Departemen Kehakiman (eksekutif).
Sementara itu, urusan yang menyangkut benar atau tidaknya, baik atau
buruknya dalam memberikan pertimbangan putusan, Mahkamah Agung
(sebagai yudikatif) yang kompeten untuk menilai hakim bawahan pada
pengadilan rendahan.
Semoga saja hal itu merupakan salah satu upaya ke arah pemurnian
kembali pelaksanan pasal 24 UUD ’45 yang selama kurun waktu yang cukup
lama kurang dihiraukan, sehingga terjadi penyimpangan. Sebagaimana
diketahui, tuntutan UUD 1945 sudah amat jelas, yakni kekuasaan kehakiman
harus merdeka. Artinya kekuasaan kehakiman harus terlepas dari pengaruh
kekuasaan pemerintah. Demikian strategisnya kekuasaan kehakiman dalam
konteks kekuasaan negara dalam arti makro, sehingga para penyusun penjelasan
resmi UUD ’45 menguraikan seperti itu.
Upaya pemurnian pelaksaan pasal 24 dan 25 UUD ’45 sebenarnya telah
dilakukan sejak Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 diundangkan. Di
dalam pasal 1 Undang-undang tersebut telah ditegaskan cita-cita konstitusi di
atas, yaitu: “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan…”. Penjelasan pasal tersebut juga
menegaskan bahwa “kekuasaan kehakiman yang merdeka mengandung arti

2
Lihat Pasal 2 UU Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah oleh Undang-
undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, LNRI 2004 Nomor 9.
53

kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan negara
lainnya..”.
Demikian pula ketika Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung diundangkan, upaya penegasan akan cita-cita kekuasaan
kehakiman yang merdeka itu diulang kembali. Pasal 2 UU Nomor 14 Tahun
1985, tegas menyebut: “Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi
dari semua lingkungan peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas
dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain”.
Dalam hal pengangkatan Hakim Agung, Undang-undang Mahkamah
Agung mengatur bahwa “Hakim Agung diangkat oleh Kepala Negara dari
daftar nama calon yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat” [Pasal 8
ayat (1)]. Apakah pasal ini telah mengindikasikan bahwa pengisian lembaga
tinggi negara yang bernama Mahkamah Agung itu telah sesuai dengan cita-cita
konstitusi UUD 1945 atau tidak, yang pasti DPR sebagai wakil rakyat telah
terlibat dalam pencalonannya.
Demikian pula jika diperhatikan siapa yang mengangkat Hakim Agung,
adalah Kepala Negara. Meskipun di Indonesia Kepala Negara dan Kepala
Pemerintahan dipegang oleh satu orang, namun tugas, kewajiban, hak, dan
wewenang kedua jabatan itu secara konstitusional berlainan.
Selama ini Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung juga dianggap masih mengandung anasir-anasir pencampur-bauran
kekuasaan disebabkan masih memberikan toleransi terhadap keterlibatan
kekuasaan eksekutif kepada yudikatif. Akibatnya Undang-undang tersebut
masih memberikan kesan yang cukup kuat tentang adanya pengaruh pemerintah
terhadap kekuasaan kehakiman.
Buktinya, dapat disimak dari penjelasan resmi Pasal 8 UU Nomor 14
Tahun 1985. Ayat (1) “Daftar nama calon Hakim Agung yang berasal baik dari
kalangan Hakim karier maupun dari luar kalangan Hakim karier disusun
berdasarkan konsultasi antara Dewan Perwakilan Rakyat, Pemerintah, dan
Mahkamah Agung yang pelaksanaannya disesuaikan dengan ketentuan yang
berlaku bagi lembaga masing-masing”. Kemudian ayat (2) “Yang dimaksud
dengan “Pemerintah” adalah Menteri yang bersangkutan”.
Dari penjelasan dua ayat di atas diperoleh gambaran betapa pengaruh
pemerintah terhadap kekuasaan kehakiman belum sama sekali tereliminasi.
Terbukti Undang-undang tentang Mahkamah Agung masih memuat ketentuan
semacam itu, lebih-lebih penjelasan ayat (2) secara tegas menyebut Pemerintah
adalah Menteri yang bersangkutan. Menyimak hal itu, betapa kentalnya nuansa
keterlibatan kekuasaan eksekutifnya di sana.
Oleh karena yang dimaksud dengan Menteri dalam ayat itu tidak lain
adalah Menteri Kehakiman, ketika itu. Bukankah persoalan campur tangan
54

kekuasaan eksekutif itulah yang menjadi isu sentral tidak merdekanya


kekuasaan kehakiman selama ini? Masalah selanjutnya adalah Bagaimana
mungkin Mahkamah Agung sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman dapat
sepenuhnya merdeka, sedangkan pengisian organ-organnya saja yakni para
hakim agungnya diangkat dengan keterlibatan pemerintah?
Oleh karena itu, sangat beralasan jika dalam menyongsong “Era
Indonesia Baru” serta mengembalikan ius constituendum (das sollen) dari para
founding fathers Republik Indonesia tentang kekuasaan kehakiman yang
merdeka, maka Undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-
undang Mahkamah Agung, dan Undang-undang tentang Peradilan Umum yang
menunjang hal itu diubah dan diperbaharui.
Hal itu menjadi conditio sine qua non untuk dilakukan agar para
penyelenggara negara di masa-masa yang akan datang memiliki panduan yang
jelas dalam mengembalikan kekuasaan kehakiman itu kepada porsi yang sesuai
dengan das sollen-nya. Perubahan nama Departemen Kehakiman menjadi
Departemen Hukum dan Perundang-undangan yang dilakukan semasa Kabinet
Presiden Abdurrahman Wahid, boleh jadi merupakan reaktualisasi gagasan
lama dalam rangka memurnikan pelaksanaan pasal 24 dan 25 UUD 1945.
Akan tetapi persoalannya tidak sesederhana yang dibayangkan.
Masalah berat masih menghadang di depan. Mahkamah Agung ketika itu
sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman belum sepenuhnya diberi
wewenang untuk mengawasi badan-badan lainnya dalam pemerintahan. Bahkan
wewenang demikian cenderung untuk dipertahankan dan tidak pernah akan
diberikan oleh pihak-pihak yang memiliki kekuasaan politik.
Padahal gagasan kekuasaan kehakiman yang merdeka yang diadopsi
Indonesia dari konsep aslinya1 itu, sesungguhnya terkait erat dengan fungsi
kekuasaan kehakiman itu sendiri. Fungsi kekuasaan kehakiman yang dimaksud
antara lain sebagai lembaga yang mengontrol atau mengawasi pelaksanaan
hukum atau perundang-undangan (produk legislatif) oleh lembaga eksekutif
(pemerintah).
Mengakhiti tulisan ini, relevan kiranya jika menyimak apa yang pernah
diungkapkan Daniel S. Lev bahwa “Kemandirian badan kehakiman
mengandung harapan meningginya prestise dan kemampuan forum
kelembagaan mereka dan bahkan akan menyebabkan para hakim lebih tanggap
terhadap kepentingan profesional. Apalagi jika badan ini dapat bekerja sesuai

3
Yang dimaksud dengan konsep aslinya adalah ajaran Trias Politica dari
Montesquieu.
55

dengan ketentuan formal, atau dengan kata lain jika badan kehakiman dapat
dibedakan secara tajam dari birokrasi pemerintahan”.1
Lebih-lebih pada masa lalu Peradilan di Indonesia berada pada konsep
dualisme birokrasi. Seperti diketahui, bahwa hakim sebagai organ kekuasaan
kehakiman berada pada dua kubu. Terhadap para hakim rendahan, Mahkamah
Agung memiliki tugas yang terbatas, yaitu hanya melakukan pengawasan atas
hal-hal yang berkaitan dengan masalah teknis yustisial. Sementara yang
berkaitan dengan hal-hal yang bersifat administratif kepegawaian dan
penggajian kewenangannya berada di bawah kendali Departemen Kehakiman
(eksekutif).
Oleh sebab itu, tidak heran bila kemudian “pihak-pihak tertentu dari
kalangan eksekutif lalu memanfaatkan kekuasaan melalui sistem birokrasinya
untuk mempengaruhi kebebasan hakim dalam menjalankan fungsinya. Apalagi
jika kekuasaan eksekutif cenderung bersifat arogan.”
Beberapa contoh kasus yang pernah menjadi isu nasional karena
mengindikasikan adanya pengaruh kekuasaan eksekutif terhadap putusan
hakim, di antaranya (1) Putusan Mahkamah Agung mengenai Peninjauan
Kembali perkara Gugatan Warga Kedung Ombo yang lahan garapan dan
miliknya tergenang atau digenangi oleh air Waduk Kedung Ombo; (2) Putusan
atas gugatan tanah adat terhadap Pemerintah Propinsi Irian Jaya (Kasus Henock
Hebe Ohee); dan (3) Kasus gugatan Majalah Tempo melawan Departemen
Penerangan Republik Indonesia.

Daftar Bacaan
Kusumaatmadja, Mochtar, “Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan
Nasional”; dalam Majalah PADJADJARAN, Nomor 1 September 1970, h. 5-
16.
Laoly, Yasonna H., Kolusi: “Fenomena atau Penyakit Kronis”; dalam Menyingkap
Kabut Peradilan Kita Menyoal Kolusi di Mahkamah Agung. Jakarta:
Pustaka Adil Sejahtera, 1996, h. 17-38.
Lev, Daniel S., Hukum dan Politik di Indonesia Kesinambungan dan Perubahan.
Jakarta: LP3ES, 1990.
Mertokusumo, R.M. Sudikno, “Sistem Peradilan di Indonesia”; dalam Jurnal Hukum,
Nomor 9 Vol. 4, 1997, h.1-8.

4
Daniel S. Lev, Op. Cit., h. 398.
56

Saleh, K. Wantjik, Kehakiman dan Peradilan. Jakarta Simbur Cahaya, 1976.


Siringoringo, Aldentua & Tumpal Sihite (ed), Menyingkap Kabut Peradilan Kita;
Menyoal Kolusi di Mahkamah Agung. Jakarta: Forum Adil Sejahtera, 1996.
Soetjipto, Adi Andojo, “Uraian Secara Kronologis Terjadinya Masalah Kolusi di
Mahkamah Agung”; dalam Menyingkap Kabut Peradilan Kita. Jakarta:
Pustaka Forum Adil Sejahtera, 1996, h. 53-87.
Subekti, R., Kekuasaan Mahkamah Agung RI. Bandung: Alumni, 1980.
Wisnubroto, A I., Hakim dan Peradilan di Indonesia dalam Beberapa Aspek Kajian.
Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya, 1997.
57

Tanggung Jawab Hukum & Etika


Profesi Tenaga Kesehatan1
Eman Suparman

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Pendahuluan
Diundang untuk ikut urun rembug menyampaikan materi berkaitan
dengan aspek hukum dan etika profesi dalam pembinaan anggota Ikatan Bidan
Indonesia (IBI) Cabang Bangkalan dalam rangka Sosialisasi Pencegahan
Infeksi pada Pelayanan Kebidanan di Kecamatan Sepulu Kabupaten
Bangkalan, sungguh merupakan kehormatan. Oleh karena itu, dengan perasaan
tersanjung dan bangga saya sampaikan penghargaan dan terima kasih, terutama
kepada Ketua LPPM Unijoyo dan juga kepada Ketua Pengurus Cabang IBI
Bangkalan atas kepercayaan dan kehormatan ini.
Sungguh tidak mudah untuk dapat menyampaikan dengan baik, sesuatu
pandangan mengenai aspek hukum dan etika profesi di hadapan para peserta
pertemuan profesi tenaga kesehatan, seperti pertemuan para bidan kali ini.
Perhatian peserta tentunya lebih terfokus pada substansi pokok yakni acara
Sosialisasi Pencegahan Infeksi pada Pelayanan Kebidanan.
Namun demikian, saya akan mencoba memaparkan sesuatu yang tidak
kalah pentingnya dengan tugas-tugas sehari-hari para bidan dalam menangani
pasien di tempat kerja.Oleh karena disadari maupun tidak, tugas-tugas para
bidan sebagai salah satu unsur tenaga kesehatan terikat oleh norma-norma baik
yang berasal dari etika profesi maupun norma hukum yang berlaku dan
mengikat setiap warga negara.
Kedua aspek tersebut, baik etika profesi maupun norma hukum hampir
tidak mungkin dihindari berlakunya dalam pelaksanaan tugas-tugas profesi apa
pun di negara kita ini. Sebagai konsekuensi logis dari mengikatnya etika profesi
dan hukum terhadap setiap pelaku tugas-tugas profesional, maka setiap subjek
pelaku tugas profesional selalu dapat diminta pertanggungjawaban, baik secara

1
Makalah disampaikan pada Pembinaan Anggota Ikatan Bidan Indonesia
(IBI) dalam rangka Sosialisasi Pencegahan Infeksi pada Pelayanan Kebidanan, di
Kecamatan Sepulu, Bangkalan Madura, Selasa, 20 September 2005.
58

hukum maupun berdasarkan etika profesi. Tanggung jawab hukum dikenal


dengan sebutan gugatan perdata dan/atau tuntutan pidana. Sedangkan tanggung
jawab berdasarkan etika profesi kita kenal dengan tuntutan pertanggungjawaban
dari Majelis Kode Etik Profesi.
Semoga paparan berikut dapat bermanfaat serta memberikan
pencerahan bagi para peserta pertemuan ini.
Dalam suasana yang menyenangkan ini, ijinkan saya untuk
menggunakan istilah medik dalam rangka mencoba menjawab pertanyaan:
Sejauhmana tenaga kesehatan dalam hal ini bidan dapat diminta
pertanggungjawaban berdasarkan hukum maupun etika profesi ketika
menjalankan tugasnya sebagai pemberi pelayanan kesehatan maternal dan
neonatal?
Sebelum memasuki uraian mengenai tanggung jawab berdasarkan
hukum maupun berdasarkan etika profesi, sebagai pengantar penulis sajikan
prolog berikut ini.
Kesehatan merupakan salah satu yang mutlak dibutuhkan manusia.
Namun ironisnya, dunia medis masih dianggap sebagai salah satu dunia yang
sedikit sekali diketahui orang awam. Kelompok profesional medis dan
keahliannya seakan menjadi pengetahuan yang eksklusif bagi mereka saja.
Kondisi ini terjadi, bahkan saat pasien sebagai konsumen berhadapan dengan
keadaan yang menyangkut keselamatan dirinya. Padahal sesungguhnya pasien
berhak mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan perlakuan medis
maupun obat yang dikonsumsinya.
Dalam kesempatan acara Sosialisasi Pencegahan Infeksi pada
Pelayanan Kebidanan seperti sekarang ini, sekali lagi saya minta ijin untuk
mengajak para peserta memahami sekilas pengetahuan tentang hukum dalam
rangka menambah wawasan serta pencerahan pengetahuan, sehingga dalam
melaksanakan tugas sebagai tenaga kesehatan, ibu-ibu bidan dapat memberikan
pelayanan kesehatan maternal dan neonatal yang berkualitas dan bermartabat.
Jika pelayanan kesehatan yang diberikan para bidan kepada para ibu-
ibu hamil dan melahirkan telah sedemikian berkualitas dan bermartabat
sekaligus dekat dengan masyarakat, maka pelayanan semacam itu akan
terhindar dari bayang-bayang tuntutan hukum maupun tuntutan etika profesi.

Kasus Angka Kematian Ibu (AKI) melahirkan di


Indonesia
Dari situs inovasi online, dijumpai sebuah artikel yang menyebutkan
bahwa: sampai saat ini, kematian ibu masih merupakan salah satu masalah
prioritas di bidang kesehatan ibu dan anak di Indonesia. Setiap satu jam dua
59

orang ibu di Indonesia meninggal saat melahirkan karena berbagai penyebab.


Jika seorang ibu meninggal, maka anak-anak yang ditinggalkannya mempunyai
kemungkinan tiga hingga sepuluh kali lebih besar untuk meninggal dalam
waktu 2 tahun bila dibandingkan dengan mereka yang masih mempunyai kedua
orang tua. Hal ini tentu hanya salah satu akibat yang sangat memprihatinkan.
Republika online memuat informasi, Direktur Maternal and Neonatal
Health (MNH) Dr. Abdullah Cholil MPH, menegaskan bahwa “Secara umum
memang angka kematian ibu (AKI) di Indonesia masih tinggi. Dulu akhir
tahun 1980-an, AKI-nya masih 800 orang per 100 ribu kelahiran. Sepuluh tahun
kemudian angkanya menurun menjadi 400-450 per 100 ribu. Tetapi, setelah
diamati setiap tahun ternyata AKI-nya tidak mengalami penurunan. Tetap saja
sekian. Di samping itu juga keprihatinan kita disebabkan krisis ekonomi yang
membuat masalah kesehatan perempuan semakin terkesampingkan. Oleh sebab
itu, berbagai upaya dicoba untuk menekan dan mengurangi AKI”.
Permasalahan AKI yang terdeteksi masih tinggi ini setidak-tidaknya
disebabkan oleh dua faktor, yaitu: pertama, sosio-kultural seperti kemiskinan,
pendidikan yang rendah, adanya norma-norma tertentu dalam adat tentang
perlakuan terhadap perempuan, dan lain-lain. Yang kedua, masalah lainnya
yang tak kalah penting adalah sosio-teknikal, yang juga paling banyak
menyebabkan AKI, yaitu karena terbatasnya perempuan dalam mengakses
pelayanan kesehatan, tidak terampil, dana yang terbatas, perilaku budaya,
kurang gender sensitive, dan lain-lain.
Di samping dua faktor yang disebutkan di atas, ternyata masih ada
penyebab AKI lainnya, yaitu: penyebab langsung dan tidak langsung. Untuk
penyebab langsung, terungkap, sekitar 50 persen AKI terjadi oleh pendarahan
waktu hamil, pada saat persalinan, dan selama proses persalinannya.
Sedangkan yang menjadi sebab tak langsung diketahui karena adanya tiga
terlambat, yaitu: terlambat mencari pertolongan, terlambat membawa ke tempat
rujukan, dan terlambat memberi pertolongan di tempat rujukan. Hal lain yang
tidak dapat diabaikan karena berisiko terjadinya AKI tinggi adalah ibu-ibu yang
mengalami 5-terlalu dalam melahirkan yaitu: (1) terlalu muda, (2) terlalu
tua, (3) terlalu banyak, (4) terlalu sering, dan (5) terlalu berdekatan jaraknya.
Masih dari Republika online diketahui bahwa berdasarkan hasil
penelitian MNH, AKI lebih banyak karena pendarahan, maka MNH
mengadakan pelatihan kepada para bidan dan ibu-ibu yang akan melahirkan.
Hasilnya, ternyata dengan bidan yang kompeten dan terlatih, paling tidak 50
persen pendarahan bisa dicegah. Pelatihan itu dilakukan juga melalui program
Asuhan Persalinan Normal (APN) bagi para bidan dan di rumah-rumah sakit.
60

Kapan tanggung jawab hukum dan etika profesi tenaga


kesehatan dipersoalkan?
Maraknya kasus dugaan malpraktik belakangan ini, khususnya di
bidang perawatan ibu dan anak, menjadi peringatan dan sekaligus sebagai
dorongan untuk lebih memperbaiki kualitas pelayanan. Melaksanakan tugas
dengan berpegang pada janji profesi dan tekad untuk selalu meningkatkan
kualitas diri perlu untuk selalu dipelihara. Kerja sama yang melibatkan segenap
tim pelayanan kesehatan perlu dieratkan dengan kejelasan dalam wewenang
dan fungsinya.
Oleh karena tanpa mengindahkan hal-hal yang disebutkan tadi, maka
konsekuensi hukum akan muncul tatkala terjadi penyimpangan kewenangan
atau karena kelalaian. Sebagai contoh umpamanya, terlambat memberi
pertolongan terhadap pasien yang seharusnya segera mendapat pertolongan,
merupakan salah satu bentuk kelalaian yang tidak boleh terjadi.
Mengenai hal itu jelas dapat diketahui dari Pasal 54 ayat (1) Undang-
undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, yaitu: “Tenaga kesehatan
yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesinya
dapat dikenakan tindakan disiplin.” Selanjutnya dari penjelasan pasal tersebut
dapat diketahui bahwa tindakan disiplin berupa tindakan administratif, misalnya
pencabutan izin untuk jangka waktu tertentu atau hukuman lain sesuai dengan
kesalahan atau kelalaian yang dilakukan. Khusus berkenaan dengan wewenang
bidan diatur di dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
363/Men.Kes/Per/IX/1980 tentang Wewenang Bidan.
Dari sudut hukum, profesi tenaga kesehatan dapat diminta
pertanggungjawaban berdasarkan hukum perdata, hukum pidana, maupun
hukum administrasi.
Tanggung jawab dari segi hukum perdata didasarkan pada ketentuan
Pasal 1365 BW (Burgerlijk Wetboek), atau Kitab Undang-undang Hukum
Perdata. Apabila tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya melakukan
tindakan yang mengakibatkan kerugian pada pasien, maka tenaga kesehatan
tersebut dapat digugat oleh pasien atau keluarganya yang merasa dirugikan itu
berdasarkan ketentuan Pasal 1365 BW, yang bunyinya sebagai berikut: “Tiap
perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian yang
disebabkan kelalaian atau kurang hati-hati.”
Dari segi hukum pidana juga seorang tenaga kesehatan dapat dikenai
ancaman Pasal 351 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Ancaman
pidana tersebut dikenakan kepada seseorang (termasuk tenaga kesehatan) yang
karena kelalaian atau kurang hati-hati menyebabkan orang lain (pasien) cacat
atau bahkan sampai meninggal dunia. Meski untuk mengetahui ada tidaknya
61

unsur kelalaian atau kekurang hati-hatian dalam tindakan seseorang tersebut


perlu dibuktikan menurut prosedur hukum pidana. Ancaman pidana untuk
tindakan semacam itu adalah penjara paling lama lima tahun.
Tentu saja semua ancaman, baik ganti rugi perdata maupun pidana
penjara, harus terlebih dahulu dibuktikan berdasarkan pemeriksaan di depan
pengadilan. Oleh karena yang berwenang memutuskan seseorang itu bersalah
atau tidak adalah hakim dalam sidang pengadilan.
Tanggung jawab dari segi hukum administratif, tenaga kesehatan dapat
dikenai sanksi berupa pencabutan surat izin praktik apabila melakukan
tindakan medik tanpa adanya persetujuan dari pasien atau keluarganya.
Tindakan administratif juga dapat dikenakan apabila seorang tenaga kesehatan:
1. melalaikan kewajiban;
2. melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh seorang
tenaga kesehatan, baik mengingat sumpah jabatannya maupun mengingat
sumpah sebagai tenaga kesehatan;
3. mengabaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh tenaga kesehatan;
4. melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasarkan undang-undang.
Selain oleh aturan hukum, profesi kesehatan juga diatur oleh kode etik
profesi (etika profesi). Namun demikian, menurut Dr. Siswanto Pabidang,
masalah etika dan hukum kadangkala masih dicampur baurkan, sehingga
pengertiannya menjadi kabur. Seseorang yang melanggar etika dapat saja
melanggar hukum dan tentu saja seseorang yang melanggar hukum akan
melanggar pula etika. Oleh karena itu, menurut Samil RS1 yang mengutip
pernyataan Davis & Smith, bahwa ada hubungan antara etik kedokteran dan
hukum kedokteran, yaitu:
5. sesuai etik dan sesuai hukum;
6. bertentangan dengan etik dan bertentangan dengan hukum;
7. sesuai dengan etik tetapi bertentangan dengan hukum; dan
8. bertentangan dengan etik tetapi sesuai dengan hukum.

Adakah Perlindungan Hukum bagi Tenaga Kesehatan?


Dari perspektif perlindungan konsumen, maraknya tuntutan pasien
terhadap cara dan hasil kerja paramedis atau tenaga kesehatan sesungguhnya

2
Samil RS, Etika Kedokteran penerapan masa kini; Seminar konflik etiko-legal
dan sengketa medik di Rumah Sakit. Jakarta, 2000.
62

merupakan gejala yang positif. Hal itu menandakan semakin tumbuhnya


kesadaran hukum masyarakat, khususnya kesadaran konsumen terhadap hak-
haknya, yaitu antara lain untuk memperoleh pelayanan yang baik maupun ganti
rugi, apabila tenaga kesehatan atau paramedis terbukti melakukan malpraktik
(melakukan penyimpangan dari standar profesi). Artinya, pada dewasa ini telah
muncul fenomena dimana pasien sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan
tidak lagi bersikap pasrah alias nrimo seperti pada waktu-waktu yang lampau.
Terlebih lagi setelah pemerintah mengundangkan Undang-undang
tentang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999. Satu di antara
ketentuannya adalah bahwa: Pasien sebagai konsumen pelayanan jasa
kesehatan, berhak atas keamanan, kenyamanan, dan keselamatan, informasi
yang benar, jelas, dan jujur serta menuntut ganti rugi apabila dokter atau tenaga
kesehatan lainnya selama melakukan pelayanan kesehatan ternyata melakukan
kesalahan atau kelalaian yang merugikan pasien.
Untuk mengantisipasi kejadian seperti yang diuraikan di atas, maka
Pasal 23 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan telah
menetapkan bahwa: “Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan
hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.” Selanjutnya
dijelaskan dalam Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun
1996, yang dimaksud dengan perlindungan hukum adalah bentuk-bentuk
perlindungan yang antara lain berupa: rasa aman dalam melaksanakan tugas
profesinya, perlindungan terhadap keadaan membahayakan yang dapat
mengancam keselamatan fisik atau jiwa, baik karena alam maupun perbuatan
manusia.”
Perlindungan hukum akan senantiasa diberikan kepada pelaku profesi
apa pun sepanjang pelaku profesi tersebut bekerja dengan mengikuti prosedur
baku sebagaimana tuntutan bidang ilmunya, sesuai dengan etika serta moral
yang hidup dan berlaku dalam masyarakat.
Mengakhiri paparan ini, harapan saya semoga apa yang telah
disampaikan membawa manfaat bagi para peserta sekalian sekaligus dapat
memberikan pencerahan dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas pengabdian dan
pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas dan bermartabat. Lebih dari itu
pelayanan yang diberikan kepada ibu hamil dan melahirkan dapat memberikan
kontribusi dalam rangka mempercepat penurunan Angka Kematian Ibu (AKI)
melahirkan dan Angka Kematian Bayi (AKB). Sekian, kurang lebihnya saya
mohon maaf.
Wassalamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
63

Daftar Bacaan
Abdullah Cholil, Keterbatasan Mengakses Pelayanan Kesehatan; dalam Republika
Online, Selasa, 15 Juni 2004.
Elsi Dwi Hapsari, Kontribusi Penting Menyelamatkan Persalinan Sehat dan Buku KIA;
dalam Inovasi Online Vol.2/XVI/November 2004.
Emi Dwi Hendarti, Implementasi Kewenangan Bidan Pondok Bersalin Desa (Polindes)
dalam Tindakan Medis (Studi di Puskesmas Tawangsari, Kecamatan
Trowulan, Mojokerto); dalam JIPTUMM Online.
Samil RS, Etika Kedokteran penerapan masa kini; Seminar konflik etiko-legal dan
sengketa medik di Rumah Sakit. Jakarta, 2000; dalam Siswanto Pabidang &
Andriana Pakendek, Etika Profesi, Hukum Kesehatan dan Perlindungan
Hukum Tenaga Kesehatan; Makalah - IDI Cabang Pamekasan, Madura, 2005.
Siswanto Pabidang & Andriana Pakendek, Etika Profesi, Hukum Kesehatan dan
Perlindungan Hukum Tenaga Kesehatan; Makalah - IDI Cabang Pamekasan,
Madura, 2005.
64

Arbitrase untuk Keadilan1


Eman Suparman

Arbitrase, baik nasional maupun internasional mempunyai peran dan


fungsi yang makin lama makin penting dalam kerangka proses penyelesaian
sengketa. Khusus bagi Indonesia sebagai negara niaga kecil yang telah
memastikan diri untuk memasuki arena ekonomi dunia yang terintegrasi,
arbitrase sangat penting karena tidak ada pengadilan dunia yang dapat
menangani sengketa-sengketa komersial yang terjadi dari perdagangan
internasional.
Arbitrase merupakan salah satu model penyelesaian sengketa yang
dapat dipilih di antara berbagai sarana penyelesaian sengketa komersial yang
tersedia. Oleh karena arbitrase diyakini sebagai forum tempat penyelesaian
sengketa komersial yang reliable, efektif, dan efisien.
Kontrak-kontrak bisnis antara pengusaha asing dengan pengusaha
nasional terus berlangsung dan semakin terbuka luas. Fenomena itu telah
berdampak terhadap peran pengadilan negeri sebagai lembaga tempat
menyelesaikan sengketa. Pengadilan negeri dianggap kurang mampu memenuhi
tuntutan percepatan yang selalu dituntut oleh para pengusaha, termasuk dalam
soal penyelesaian sengketa yang dihadapi, sehingga pihak-pihak dalam bisnis
menganggap tidak efektif jika sengketanya diselesaikan melalui pengadilan
negeri.
Di lain pihak, persoalan utama yang dihadapi lembaga peradilan adalah
cara pandang hakim terhadap hukum yang amat kaku dan normatif-prosedural
dalam melakukan konkretisasi hukum. Hakim hanya menangkap apa yang
disebut “keadilan hukum” (legal justice), tetapi gagal menangkap “keadilan
masyarakat” (social justice). Hakim telah meninggalkan pertimbangan hukum
yang berkeadilan dalam putusan-putusannya.
Akibatnya, kinerja pengadilan sering disoroti karena sebagian besar
dari putusan-putusan pengadilan masih menunjukkan lebih kental “bau
formalisme-prosedural” ketimbang kedekatan pada “rasa keadilan warga
masyarakat.” Oleh sebab itu, sulit dihindari bila semakin hari semakin
berkembang rasa tidak percaya masyarakat terhadap institusi pengadilan.

1
Sebagai bahan renungan para hakim pengadilan negeri yang masih berkenan
memberikan keadilan yang bermartabat kepada justiciabelen.
65

Persoalannya lalu mengapa arbitrase menjadi fenomena dalam


penyelesaian sengketa, sehingga orang memilih arbitrase sebagai forum bagi
penyelesaian sengketanya? Benarkah karena arbitrase berproses cepat dan
berbiaya murah? Ternyata bukan itu yang menjadi alasan utama. Yang menjadi
andalan pihak-pihak yang memilih arbitrase adalah justru kualitas (quality) dari
para arbiter berupa keahlian dalam bidang masing-masing arbiter.
Keahlian merupakan salah satu jaminan terhadap kepercayaan, karena
keahlian dan integritas yang dimiliki arbiter harus merujuk pada kualitas yang
patut dibanggakan, sehingga arbiter dituntut harus mampu meyakinkan pihak-
pihak yang berperkara sebagai figur yang bebas dan tidak memihak.
Tanpa ada kepercayaan dari pihak-pihak bersengketa kepada arbiter
atau para arbiter, forum arbitrase tidak akan dapat berfungsi dengan baik sebab
arbitrase bukan berlandaskan yuridis formal tetapi berdasarkan kebenaran dan
kepatutan (ex aequo et bono). Di sinilah antara lain letak perbedaan arbitrase
dengan pengadilan negeri.
Selain menyangkut persoalan perolehan keadilan, keluhan terhadap
lembaga peradilan juga berkaitan dengan proses peradilan yang lamban. Sebuah
proses persidangan dapat berlangsung hingga enam tahun sampai dengan ada
putusan hakim yang berkekuatan tetap.
Padahal Mahkamah Agung sendiri sesungguhnya telah menyadari
apabila penyelesaian perkara lambat dapat berakibat: (i) menenggelamkan
kebenaran dan keadilan ke dalam lembah yang curam, sehingga sulit diraih oleh
masyarakat pencari keadilan; (ii) menimbulkan ketidakpastian (uncertainty)
yang berlarut-larut di antara para pihak yang berperkara, yang membuat mereka
berada dalam keresahan yang berkepanjangan; dan (iii) para pihak yang
berperkara akan mengalami kerugian ekonomis yang tidak sedikit, sehingga
keadaan semacam itu memberi kesan seolah-olah badan peradilan telah menjadi
alat kekuasaan yang berperan menghambat laju perkembangan ekonomi sosial.
Lambatnya penyelesaian perkara melalui pengadilan terjadi karena
proses pemeriksaan yang berbelit dan formalistik Oleh karena itu, tidak heran
jika para pelaku bisnis sejak awal sudah bersiap-siap dan bersepakat di dalam
kontrak mereka apabila terjadi perselisihan, akan diselesaikan melalui forum di
luar pengadilan negeri.
Keadilan memang barang yang abstrak dan karena itu perburuan
terhadap keadilan merupakan usaha yang berat dan melelahkan. Berdasarkan
optik sosiologi hukum yang lebih memperhatikan fungsi dari badan yang
menjalankan fungsi mengadili, maka dalam rangka menemukan keadilan serta
dimana keadilan diputuskan, faktor lembaga atau badan pemutus keadilan yang
diakui menjadi tidak penting.
66

Putusan tentang keadilan dapat dilakukan dimana saja dalam


masyarakat, tidak perlu harus di pengadilan. Oleh sebab itu, menegakkan dan
menemukan keadilan tidak semata-mata harus dilakukan melalui struktur
formal lembaga pengadilan. Fungsi mengadili dapat dilakukan dan berlangsung
di banyak lokasi, sehingga Marc Galanter mengungkapkan dengan sebutan
“justice in many rooms.”
Atas dasar hal itu, maka memilih forum arbitrase untuk menyelesaikan
sengketa-sengketa bisnis merupakan kecenderungan beralihnya minat
masyarakat pencari keadilan dari menggunakan jalur litigasi pada pengadilan
kepada jalur lain yang formatnya lebih tidak terstruktur secara formal. Namun
demikian, bentuk yang disebut terakhir itu diyakini oleh para penggunanya
akan mampu melahirkan keadilan substansial.
Menghadapi transformasi global yang tidak mungkin dihindari,
pemerintah kemudian mengundangkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Langkah tersebut tentu
saja dimaksudkan sebagai salah satu upaya menjawab tuntutan akselerasi dan
dinamika masyarakat dalam memanaje konflik komersial yang volume maupun
intensitasnya semakin kompleks.
Namun demikian, meskipun arbitrase pada dewasa ini telah diatur
dalam sebuah undang-undang tersendiri, akan tetapi undang-undang tersebut
sama sekali tidak menetapkan lembaga arbitrase sebagai peradilan negara.
Arbitrase hanyalah sebuah cara yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa
untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu.
Bahkan sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase itu pun telah
secara limitatif disebutkan yaitu hanya sengketa di bidang hukum perdata
dalam arti sempit. Tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase,
melainkan hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang
menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa atas dasar
kata sepakat mereka.
Sayangnya, jalur arbitrase kerap dinodai oleh pihak-pihak yang
beriktikad buruk, terutama oleh pihak yang dikalahkan. Mereka yang
dikalahkan kerap meminta pengadilan untuk campur tangan, terutama saat
eksekusi. Padahal, arbitrase idealnya harus dibebaskan dari anasir pengadilan.
Masalahnya, seringkali pengadilan malah menganggap arbitrase sebagai
saingan yang mengambil lahan ketimbang sebagai mitra.
Akibat persepsi yang keliru dari pengadilan terhadap arbitrase semacam
itu, pengadilan tidak jarang sampai membatalkan putusan arbitrase. Memang
benar, secara normatif pengadilan memiliki kewenangan untuk membatalkan
putusan arbitrase.
67

Memilih menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dimana pun sama,


hukumnya sama, dan tidak mengenal perbatasan negara. Status para pihak
sama, para pihak berhak memilih arbiter, dapat memilih hukum yang akan
digunakan, maupun prosedur beracaranya. Sebagai konsekuensi dari pilihan-
pilihan tersebut, apabila para pihak telah sepakat untuk memilih cara
penyelesaian melalui arbitrase, maka kesepakatan tersebut harus dipenuhi.
Oleh karena itu, meminta pembatalan putusan arbitrase kepada
pengadilan negeri mengandung arti salah satu pihak melanggar janji. Pihak
yang melanggar janji tentu saja diragukan itikad baiknya. Sedangkan prinsip
bersengketa di hadapan arbitrase sifatnya itikad baik (good faith), non-
konfrontatif, dan kooperatif, sehingga setelah perkara diputus maka kerjasama
atau bisnis yang telah ada di antara para pihak dapat dilanjutkan kembali.
Dalam sistem peradilan di Indonesia, kedudukan arbitrase adalah extra
judicial atau peradilan semu (quasi judicial), sedangkan pengadilan negeri
(state court) berperan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman (judicial
power). Oleh karena itu, meskipun undang-undang memberi wewenang kepada
arbitrase untuk menyelesaikan sengketa, hal itu tidak mengubah status extra
judicial yang melekat pada arbitrase.
Akan tetapi tata cara pemeriksaan sengketa pada arbitrase memiliki
kemiripan dengan tata cara di pengadilan. Adapun faktor yang membedakan
adalah, pengadilan mengedepankan metode pertentangan (adversarial),
sehingga para pihak yang bertikai bertarung satu sama lain dengan hasil akhir
yang kuat yang akan menang. Sedangkan arbitrase lebih mengutamakan itikad
baik, non-konfrontatif, serta lebih kooperatif. Pada arbitrase para pihak tidak
bertarung melainkan mengajukan argumentasi di hadapan pihak ketiga yang
akan bertindak sebagai pemutus sengketa.
Oleh sebab itu, untuk mengantisipasi kurang sempurnanya pengadilan
dalam menjalankan tugasnya, seharusnya hukum tanpa harus mengorbankan
nilai keadilan dan kepastian hukum, mampu membuka diri untuk
mengaktualisasikan sistemnya dan meningkatkan peranannya untuk membuka
lebar-lebar akses keadilan bagi masyarakat bisnis tanpa harus terbelenggu pada
aturan normatif yang rigid.
Oleh karena itu, model penyelesaian sengketa di luar pengadilan
semacam arbitrase seharusnya diberi kompetensi yang lebih luas. Artinya,
arbitrase jangan hanya diakui sebagai forum pemutus sengketa, melainkan lebih
dari itu, arbitrase juga seharusnya berwenang penuh untuk mengeksekusi
putusan yang dibuatnya.
Apabila arbitrase hanya diberi kewenangan limitatif semata-mata
sebagai pemutus sengketa tanpa memiliki kompetensi melakukan eksekusi
terhadap putusan yang tidak dilaksanakan secara sukarela oleh pihak yang
dikalahkan, maka dapat dipastikan forum arbitrase bernasib sama dengan
68

peradilan agama sebelum lahir Undang-undang tentang Peradilan Agama.


Padahal sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan,
arbitrase telah memperoleh otoritas sebagai forum pemutus sengketa meskipun
sangat limitatif.
Satu pertanyaan yang masih tersisa. Apakah juga putusan arbitrase telah
memberikan kemanfaatan dan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang terlibat
di dalam sengketa? Hal itu masih merupakan persoalan. Persoalan tersebut akan
sangat jelas apabila menyimak tata cara pelaksanaan putusan arbitrase sebagai
berikut: (i) arbiter dan kuasanya wajib mendaftarkan asli atau salinan otentik
putusan arbitrase di kantor Pengadilan Negeri, dilengkapi asli atau salinan
otentik pengangkatan sebagai arbiter; (ii) pelaksanaan putusan arbitrase
berdasarkan perintah (exequatur) Ketua Pengadilan Negeri; (iii) sebelum
pemberian exequatur Ketua Pengadilan Negeri memeriksa dahulu hal-hal
berkaitan dengan: a) ada atau tidaknya perjanjian arbitrase bagi pihak-pihak;
dan b) apakah perjanjian arbitrase berada dalam lingkup hukum perdagangan
dan mengenai hak yang dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersangkutan.
Tidak dipenuhinya ketentuan mengenai penyerahan dan pendaftaran
lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase kepada panitera pengadilan
negeri berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan;[Pasal 59 ayat (4)
Undang-undang Arbitrase].
Rangkaian normatif tentang tata cara pelaksanaan putusan yang harus
dipenuhi sebelum putusan arbitrase dilaksanakan menunjukkan bahwa
sesungguhnya arbitrase masih dianggap tidak mandiri serta tidak sejajar
kedudukannya dengan pengadilan negeri, sehingga dianggap tidak matang
untuk dapat mengeksekusi putusannya sendiri. Betapa tidak, apabila
penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase itu tidak dipenuhi, maka
akibatnya putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan.
Kaidah tersebut pada dasarnya telah mengurangi kedudukan arbitrase
seperti halnya kedudukan pengadilan agama sebelum lahir Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989. Oleh karena itu, untuk menjamin diperolehnya kepastian
hukum bagi para pihak yang bersengketa pada forum arbitrase, norma yang
terkesan mensubordinasikan arbitrase dari pengadilan negeri harus dihapuskan
dari undang-undang arbitrase. Selanjutnya badan arbitrase seyogianya
dilengkapi dengan juru sita, sehingga badan arbitrase dapat melaksanakan
putusannya sendiri.
Menjadikan badan arbitrase mandiri, sejajar, matang, dan kompeten
melaksanakan putusannya sendiri adalah conditio sine qua non apabila hendak
menjadikan badan arbitrase di Indonesia sebagai badan penyelesaian sengketa
bisnis yang berprospek internasional. Oleh karena pada abad mendatang
interaksi bisnis antar bangsa telah dirancang untuk tidak lagi tersekat oleh
69

berbagai rintangan (barrier), baik berupa batas-batas teritorial, norma-norma


perdagangan, maupun rintangan berupa tarif.
Sebagai konsekuensi dari keadaan semacam itu maka terjadinya konflik
antar pelaku bisnis pun akan semakin sulit dihindarkan. Dalam konstelasi dunia
bisnis seperti itu, maka telah sangat mendesak untuk memberi status mandiri
dan kompeten terhadap badan arbitrase agar dapat melaksanakan putusannya
tanpa bantuan kewenangan pengadilan negeri.
Dalam rangka itu semua, yang harus diupayakan adalah melakukan
amandemen perubahan terhadap Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa terutama berkenaan
dengan pelaksanaan putusan arbitrase, baik putusan arbitrase nasional maupun
arbitrase internasional.
Pemberian status mandiri terhadap arbitrase akan membawa
konsekuensi hukum yang amat luas. Arbitrase yang telah memiliki karakter
berbeda dengan pengadilan negeri serta prosedur penyelesaian sengketa yang
tidak terikat dengan berbagai formalitas, akan menjadi lembaga penyelesaian
sengketa komersial yang lebih diminati oleh para pencari keadilan dari
kalangan bisnis karena akan lebih mampu memenuhi tuntutan mereka. Lebih-
lebih lagi kalangan bisnis atau usaha komersial internasional, karena sampai
saat ini “tidak ada badan pengadilan yang dapat memeriksa sengketa komersial
internasional yang dapat diandalkan dan efektif.”
Apabila demikian, tidak diragukan kalau lembaga arbitrase di masa-
masa yang akan datang akan menjadi model penyelesaian sengketa komersial
yang lebih berkeadilan, sekaligus menjamin kepastian hukum, serta betul-betul
bermanfaat bagi penggunanya karena prosesnya yang cepat dan beayanya yang
murah. Hal itu berarti pula arbitrase sebagai salah satu lembaga pelaksana
hukum akan mampu merealisasikan ketiga unsur dalam penegakan hukum yang
harus diperhatikan, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan secara
proporsional seimbang.

Daftar Pustaka

Abdurrasyid, Priyatna, “99,9 % Hakim Tidak Mengerti Arbitrase.” dalam Wawancara


Hukumonline_com.htm, Jumat, 10 Januari 2003.
____________, “Pengusaha Indonesia Perlu Meningkatkan Minatnya terhadap Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa; dalam Jurnal Hukum Bisnis, Volume
21, Oktober-November 2002.
70

____________, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa–suatu pengantar.


Jakarta: Fikahati Aneska-BANI, 2002.
Ali, Achmad, “Pengadilan yang yang tak Berkeadilan;” dalam Kompas, Jumat, 08 Juni
2001.
Auerbach, Jerold S., Justice Without Law? New York: Oxford University Press, 1983.
Bernini, Giorgio & Albert Jan Van den Berg, “The enforcement of arbitral awards
against a state: the problem of immunity from execution;” dalam Julian DM
Lew (ed), Contemporary Problems in International Arbitration. Dordrecht:
Martinus Nijhoff Publishers, 1987.
Berg, A. J. van den et al., Arbitrage Recht. W.E.J. Tjeenk Willink - Zwolle, 1988.
____________, "The New York Arbitration Convention of 1958 – Towards a Uniform
Judicial Interpretation. The Hague: TMC Asser Institute, 1981.

1) Rawls, John, A Theory of Justice. Cambridge, Massachusetts: Harvard


University Press, 1971.
____________, Justice as Fairness – A Restatement; (Edited by Erin Kelly).Cambridge,
Mass.: Harvard University Press, 2001.
Saleh, Roeslan, Mengadili Sebagai Pergulatan Kemanusiaan. Jakarta: Aksara Baru,
1979.
Saleh, Samir, “The Recognition and Enforcement of foreign arbitral awards in the states
of the Arab Middle East;” dalam Julian DM Lew (ed), Contemporary
Problems in International Arbitration. Dordrecht: Martinus Nijhoff
Publishers, 1987.
71

Harmonisasi hukum untuk


globalisasi1
Eman Suparman

Latar Belakang
Indonesia dan bangsa-bangsa di sudut manapun di muka bumi ini,
sekarang sudah terhubung dan terkooptasi ke dalam satu pola kehidupan.
Akibatnya batas-batas teritorial negara nasional hampir tidak lagi menjadi
penghalang bagi berkembangnya ragam aktivitas manusia, baik perniagaan
maupun bukan perniagaan.
Kecenderungan untuk hidup bersatu adalah kodrat naluri manusia.
Oleh karena itu terbentuknya institusi global semacam WTO (World Trade
Organization), APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) sebagai forum
kerjasama ekonomi antar bangsa-bangsa se-kawasan, dan juga EEC (European
Economic Council), hingga mata uang pun mereka satukan, boleh jadi
merupakan beberapa contoh kecenderungan menyatunya pola kehidupan dalam
satu kepentingan yang serupa.
Dalam keadaan semacam itu, norma yang mengatur ragam aktivitas
tersebut tentu tidak diserahkan kepada aturan normatif suatu negara tertentu.
Sebab kaidah hukum nasional suatu negara berdaulat, batas berlakunya hanya
di dalam teritorial negara tersebut. Untuk itu, pengaturan berbagai hak dan
kewajiban maupun kepentingan bersama antar negara berdaulat tadi, kaidahnya
akan diupayakan dalam bentuk kesepakatan bersama antar negara-negara yang
lazimnya dituangkan dalam bentuk “perjanjian internasional.2 Instrumen inilah

1
Sebagai salah satu bahan ajar m.k. harmonisasi hukum regional ASEAN.
2
“Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota
masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat
hukum tertentu.”
Di dalam teori hukum internasional, perjanjian internasional dibedakan ke dalam
dua golongan, yaitu: (1) “law making treaties “ dan (2) “treaty contracts.”
“Law making treaties” merupakan perjanjian internasional yang mengandung
kaidah-kaidah hukum yang dapat berlaku secara universal bagi anggota
masyarakat bangsa-bangsa, sehingga dengan demikian dapat dikategorikan
sebagai perjanjian internasional yang berfungsi sebagai sumber langsung hukum
internasional. Sedangkan “teraty contracts” adalah perjanjian internasional yang
mengatur hubungan-hubungan atau persoalan-persoalan khusus antara pihak-
pihak yang mengadakannya saja, sehingga perjanjian internasional semacam ini
hanya berlaku khusus bagi para peserta perjanjian. Lagi pula treaty contracts
72

yang paling mungkin untuk digunakan dalam menangani berbagai persoalan


transnasional yang dihadapi bersama.
Pada kondisi masyarakat dunia yang digambarkan semacam itu,
instrumen hukum “perjanjian internasional”, kian menjadi penting. Melalui
perjanjian internasional itulah negara-negara, baik yang membuat kesepakatan
maupun negara yang turut serta kemudian, dapat menciptakan norma-norma
hukum baru yang diperlukan untuk mengatur hubungan antar negara dan antar
masyarakat negara-negara yang volumenya semakin besar, intensitasnya
semakin kuat, dan materinya semakin kompleks.”1

Permasalahan
Bertolak dari realitas masyarakat dunia yang makin bersatu itu,
beberapa hal menarik untuk dikaji, antara lain:
Pertama, benarkah proses nasionalisasi2 terhadap kaidah-kaidah
transnasional di Indonesia dilakukan untuk mengisi kekosongan hukum akibat
lambatnya proses kodifikasi hukum nasional dalam rangka memenuhi
kebutuhan akan kaidah hukum di era globalisasi?
Kedua, kerjasama internasional bidang hukum macam apakah yang
selama ini dilakukan Indonesia dengan negara lain, sehingga patut dijadikan
model kesepahaman timbal balik yang layak untuk terus diupayakan dalam
rangka menciptakan suasana harmonis di masa yang akan datang?

tidak secara langsung menjadi sumber hukum internasional. Baca Mochtar


Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Binacipta, 1978,
hlm. 109, 114, dan 115. Bdgk. JG Starke, Introduction to International Law.
London: Butterworths, 1984, hlm. 40-44.
1
Lihat Mochd. Burhan Tsani, Hukum dan Hubungan Internasional. Yogyakarta:
Liberty, 1990, hlm. 8-9.
2
Kamus Besar Bahasa Indonesia menguraikan makna “nasionalisasi” sebagai
“sebuah proses menjadikan sesuatu menjadi milik bangsa atau negara (terutama
milik asing), yang biasanya diikuti dengan penggantian yang merupakan
kompensasi.” Namun penggunaan kata nasionalisasi dalam konteks pembahasan
ini, makna “nasionalisasi atas kaidah transnasional” mengandung makna
konotatif. Oleh karena itu, proses nasionalisasi terhadap kaidah hukum
transnasional tidak pernah dilakukan dengan penggantian yang merupakan
kompensasi.
73

Kesepahaman antar Negara


Bila negara-negara berdaulat hendak membuat kesepakatan tentang
sesuatu berkenaan dengan kepentingan negara dan bangsa diantara mereka,
lazimnya perangkat norma yang dibuat atas dasar kesepakatan bersama dengan
tujuan dan akibat-akibat hukum tertentu, secara formal akan diwujudkan dalam
bentuk perjanjian internasional.
Demikian pentingnya perjanjian internasional dalam mengatur berbagai
persoalan masyarakat bangsa-bangsa, sehingga perjanjian internasional tidak
hanya terjadi dalam bidang hukum publik internasional, melainkan juga
berlangsung dalam bidang hukum perdata internasional (HPI). Upaya yang
dilakukan sejumlah negara sejak akhir abad ke 19 melalui penyelenggaraan
beberapa konperensi dalam bidang HPI yang diselenggarakan di Den Haag,
antara lain bertujuan untuk mempersiapkan unifikasi kaidah-kaidah HPI.1
Memang setiap negara merdeka dan berdaulat memiliki sistem HPI
yang berlainan satu sama lain. Untuk mengatasi kesulitan yang timbul
manakala muncul persoalan perdata dan melibatkan dua negara atau lebih,
maka negara-negara berupaya mengadakan kerjasama internasional dengan
jalan mempersiapkan konvensi-konvensi yang bertujuan menciptakan unifikasi
di dalam bidang hukum, khususnya hukum perdata.
Akan tetapi upaya yang dilakukan itu bukan dimaksudkan untuk
menyeragamkan seluruh sistem hukum intern dari negara-negara peserta
konperensi, melainkan sekedar upaya untuk menyelaraskan kaidah-kaidah HPI-
nya. Harapannya adalah penyelesaian persoalan untuk masalah-masalah hukum
perdata tertentu akan dapat dilakukan oleh badan-badan peradilan masing-
masing negara peserta.2

1
Semula Konperensi Hukum Perdata Internasional (HPI) di Den Haag itu
merupakan konperensi diplomatik antara negara-negara Eropa (negara-negara
Eropa kontinental) dengan tujuan menjajagi kemungkinan mengadakan unifikasi
kaidah-kaidah HPI. Akan tetapi kemudian pesertanya diperluas dengan
masuknya Jepang (dari Asia tahun 1904). Kemudian seusai Perang Dunia ke II
keanggotaan konperensi tersebut makin diperluas dengan masuknya Inggris
(1951), Turki (1956), Israel dan RPA (1960), USA (1964), Canada (1968), dan
kemudian diikuti pula oleh negara-negara dari kawasan Amerika Latin. Lihat
Sudargo Gautama, Capita Selecta Hukum Perdata Internasional. Bandung:
Alumni, 1983, hlm. 6.
2
S. Gautama, Capita... Op. cit., hlm. 5.
74

Agaknya upaya penyelarasan kaidah hukum publik maupun privat


melalui perjanjian internasional, sudah saatnya dilakukan juga oleh negara-
negara di kawasan ASEAN ini. Paling tidak menyambut efektifnya kurun
AFTA mendatang, kesenjangan akibat perbedaan sistem hukum yang ada pada
sejumlah negara anggota ASEAN, harus diupayakan untuk diminimalkan.
Untuk itu proses pembentukan pranata hukum yang dilakukan negara
seperti Indonesia, tidak cukup bila semata-mata menggunakan model kodifikasi
sebagaimana berlangsung selama ini. Model semacam itu dikhawatirkan akan
mempersulit Indonesia sendiri dalam mengakomodasi berbagai perubahan
yang berlangsung sangat cepat akibat interaksi masyarakat bangsa-bangsa yang
semakin hari semakin intensif.
Tak ada cara untuk mengatasi ketertinggalan norma hukum dari
faktanya (het recht hinkt achter de feiten aan), hukum nasional negara-negara
harus terus menerus diupayakan agar senantiasa mampu menjawab berbagai
persoalan transnasional. Upaya aktualisasi kaidah hukum nasional itu harus
secara simultan dilakukan, baik melalui proses kodifikasi, maupun dengan jalan
melakukan nasionalisasi terhadap norma-norma transnasional dalam bentuk
pengesahan atau ratifikasi (ratification) terhadap sejumlah perjanjian
internasional.. Sehingga perubahan dan perkembangan masyarakat dunia
macam apa pun, akan mampu diimbangi oleh tersedianya kaidah hukum.
Di dalam Viena Convention on the law of Treaties 1969, "Ratifications
means in each case the international act so named whereby a state establishes
on the international plans its consent to be bound by a treaty", [Art 2 (1)
b]. Ratifikasi merupakan tindakan suatu negara yang dipertegas oleh pemberian
persetujuannya untuk diikat oleh suatu perjanjian internasional. Jadi, yang
dimaksud dengan “nasionalisasi” terhadap norma hukum transnasional ini pun
pada dasarnya adalah suatu proses masuk dan diterimanya norma transnasional
ke dalam pranata hukum nasional suatu negara. Selanjutnya norma-norma
tersebut menjadi bagian dari hukum positip negara tersebut.
Kekosongan dan ketertinggalan kaidah hukum acara perdata pengadilan
negeri di Indonesia, telah berakibat luas terutama pada perolehan rasa keadilan
oleh pihak-pihak yang bersengketa. Akibatnya muncul fenomena dalam
masyarakat, berupa pilihan forum untuk menyelesaikan konflik ke arah forum
lain selain pengadilan negeri. Apalagi untuk sengketa-sengketa yang
melibatkan pihak-pihak multinasional. Para pihak multinasional bahkan sejak
awal telah bersepakat di dalam kontrak mereka, manakala kelak terjadi konflik,
maka penyelesaiannya tidak akan melalui pengadilan negeri.
Pengadilan negeri dihindari, karena dianggap oleh mereka prosesnya
terlalu panjang, sehingga sulit sekali memperoleh kepastian dan keadilan.
Menghadapi kenyataan itu, muncul “Alternative Dispute Resolution (ADR)”
sampai akhirnya Pemerintah Indonesia menerbitkan Undang-Undang tentang
75

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Nomor 30 Tahun 1999.


Langkah itu tentu saja dimaksudkan sebagai salah satu upaya menjawab
tuntutan dinamika masyarakat yang semakin kompleks.
Meski kompetensi pengadilan negeri dalam menyelesaikan berbagai
sengketa komersial cenderung digeserkan oleh forum lain yang dianggap lebih
memuaskan para pihak, namun dalam beberapa hal kompetensi pengadilan
negeri tidak mudah untuk dihindari. Buktinya, ketika putusan forum lain
(sebut saja: arbitrase), tidak dilaksanakan secara sukarela oleh pihak yang
terkena eksekusi, maka eksekusi putusan semacam itu menjadi kompetensi
pengadilan negeri. Apalagi jika putusan forum arbitrase tadi dijatuhkan di
luar Indonesia, maka ketika putusan hendak memperoleh pengakuan dan
eksekusi di dalam wilayah hukum Republik Indonesia, terlebih dahulu putusan
tersebut harus memperoleh exequatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat.1
Menghadapi kenyataan demikian, suka atau pun tidak, Indonesia harus
terus melakukan upaya pembaharuan atas sejumlah perangkat norma hukum
formal yang ada. Jika tidak, di masa depan kasus-kasus sengketa komersial
yang bakal muncul nuansanya semakin kompleks dibandingkan dengan
sengketa di masa lalu. Demikian pula pihak-pihak yang terlibat di dalamnya
tidak hanya subjek hukum lokal, melainkan pihak-pihak multinasional.
Hukum Acara Perdata untuk pengadilan negeri kaidahnya kini sudah
sangat tertinggal. Betapa tidak, het Herziene Indonesisch Reglement (HIR)
sebagai perangkat norma hukum formal yang disusun oleh Jhr. Mr. H.L.
Wichers, pada tahun 1846 2 untuk beracara di depan Land Raad, harus tetap
dipertahankan untuk mampu menjawab sejumlah persoalan yang semakin
kompleks pada abad 21 ini.
Sungguh aneh bila upaya untuk mengganti het Herziene Indonesisch
Reglement (HIR) yang telah uzur dengan Undang-undang yang baru tidak
pernah dilakukan oleh pemerintah bersama parlemen. Padahal problema
penyelesaian sengketa transnasional menghadang di depan mata.
Mengadakan kesepakatan bilateral atau meratifikasi berbagai
perjanjian internasional multilateral menyangkut hukum acara perdata untuk

1
Lihat Pasal 66 huruf d Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.
2
Disahkan dan dikuatkan dengan Firman Raja, pada tanggal 29 September 1849,
dan diumumkan dalam Staatsblad 1849 Nomor 63. Kemudian HIR diubah secara
mendalam pada tahun 1941.
76

badan peradilan, adalah tindakan yang amat tepat untuk memberikan suplemen
terhadap norma hukum acara perdata peninggalan kolonial itu. Bila tidak,
dikhawatirkan suatu ketika HIR tidak lagi mampu menangani persoalan yang
muncul.
Atas dasar kenyataan semacam itu, maka membuat kesepakatan
internasional untuk memperkaya kaidah hukum acara perdata pengadilan
negeri, sudah saatnya untuk dipertimbangkan. Persoalannya, menghadapi
berlakunya AFTA mendatang saja, setidaknya di kawasan ASEAN harus terjadi
harmonisasi antar sistem hukum antar masing-masing negara-negara. Jika tidak,
kesulitan demi kesulitan akan dihadapi setiap negara, tatkala tuntutan hak
berupa eksekusi putusan yang dijatuhkan di suatu negara tidak dapat
dilaksanakan di negara berdaulat lainnya. Keadaan ini tentu saja kurang
meguntungkan dari sisi kerjasama ekonomi.
Oleh karena itu, model konvensi yang pernah diupayakan untuk negara-
negara di kawasan Eropa, sewajarnya bila dipertimbangkan untuk dijadikan
model dalam penyusunannya, paling tidak dalam rangka harmonisasi hukum
negara-negara di kawasan ASEAN menjelang AFTA berlaku. Beberapa contoh
konvensi tersebut diantaranya:
Convention relating to Civil Procedure, 1954. (Konvensi tentang
hukum acara perdata pada badan peradilan, tahun 1954).
Convention on the Service Abroad of Judicial and Extrajudicial
Documents in Civil or Commercial Matters, 1965. (Konvensi tentang
penyampaian dokumen resmi badan peradilan kepada para pihak yang
berada di luar negeri di dalam perkara perdata dan dagang, tahun 1965).
Konvensi ini pada dasarnya merupakan hasil revisi dari Bab pertama
Konvensi 1954, yang dilakukan pada Konperensi Den Haag ke 10 tahun 1964.
1

The Hague Convention on the Recognition and Enforcement of


Foreign Judgments in Civil and Commercial Matters, 1971. (Konvensi Den

1
Selain diikuti oleh kebanyakan negara civil law, konvensi Service Abroad ini
juga telah diratifikasi oleh Amerika Serikat (24-8-1967) dan Kerajaan Inggris
(17-11-1967). Oleh karena itu menurut keadaan tanggal 1 September 1985,
terdapat kira-kira 20 negara yang telah terikat oleh Konvensi ini, yaitu: Belgia
(1970), Cyprus (1983), Chekoslovakia (1982), Denmark (1969), Finlandia
(1969), Mesir (1968), Perancis (1972), Jerman Barat (1979), Yunani (1983),
Israel (1972), Italia (1981), Jepang (1970), Luxemburg (1975), Belanda (1975),
Norwegia (1969), Portugal (1973), Spanyol (penandatanganan 1976), Swedia
(1969), Swiss (penandatanganan 1985), dan Turki (1972). Lihat S. Gautama,
Op. Cit., hlm. 246.
77

Haag tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Hakim Asing di dalam


perkara Perdata dan Dagang, tahun 1971).1
Berdasarkan tujuan pembentukannya, konvensi-konvensi di atas, selain
untuk menyeragamkan kaidah-kaidah hukum perdata internasional diantara
negara-negara peserta, juga dalam rangka melancarkan hubungan lalu lintas
internasional khususnya di dalam menyelesaikan kasus-kasus hukum perdata
dan hukum perniagaan. Hal itu dipandang penting mengingat dalam
masyarakat internasional tidak terdapat suatu penguasa yang berwenang
menetapkan serta memaksakan ketentuan hukum, seperti halnya dalam suasana
nasional.
Pada dasarnya upaya mengadaptasikan norma-norma hukum lokal
dengan norma-norma hukum masyarakat bangsa-bangsa telah dilakukan di
Indonesia semasa Orde Baru. Ratifikasi atas sejumlah norma hukum
internasional menjadi hukum positip nasional, telah dilakukan.
Upaya pembangunan dan pemulihan ekonomi negara yang dilakukan
rezim Orde Baru antara lain dengan jalan mengundang masuknya modal asing.
Maka tak terlalu keliru bila dikatakan, sejak Orde Baru itulah era kapitalisme di
Indonesia secara formal dimulai. Ditandai oleh pengundangan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang secara resmi
menjadi instrumen bagi berkiprahnya investasi asing di Indonesia.
Menyusul tindakan rezim Orde Baru mengundang investor asing untuk
menstimulasi upaya pembangunan ekonomi rakyat Indonesia, mulailah satu
demi satu proses nasionalisasi kaidah hukum internasional dilakukan.
Menyusul diundangkannya UU No. 1 Tahun 1967 tentang PMA,
“Convention on the Settlement of Investment Disputes Between States and
Nationals of Other States” disahkan oleh Pemerintah Indonesia. (‘Konvensi
mengenai Penyelesaian Sengketa antara Negara dan Warga Negara Asing
mengenai Penanaman Modal). Perjanjian internasional ini tergolong paling

1
Konvensi ini menurut D. Kokkini-Iatridou & J.P. Verheul, "... has entered into
force between the Netherlands and some other countries but has not become
operative since there are as yet no complementary bilateral treaties in the sense
of its article 21" ; Maksudnya adalah, bahwa untuk memperoleh pengakuan dan
pelaksanaan putusan hakim dari sesama negara peserta The Hague Convention
tersebut, masih disyaratkan harus adanya perjanjian bilateral diantara negara-
negara peserta konvensi, sebagaimana ditentukan dalam pasal 21 konvensi. Lihat
Recognition and Enforcement of Foreign Judgments in Civil and Commercial
Matters; di dalam: Netherlands Reports to the twelfth International Congress of
Comparative Law. Sydney-Melbourne,1986; TMC-Asser Institute-The Hague,
1987, hlm. 004.
78

awal disahkan oleh Pemerintah Indonesia melalui instrumen ratifikasi berupa


Undang-Undang Nomor 5 tahun 1968.1
Secara substansial, Undang-undang No. 5 tahun 1968 hanya berisi 5
(lima) pasal. Ini berarti secara materiil, substansi norma yang berisi perintah,
larangan, dan lain-lain yang berasal dari konvensi internasional tersebut-lah
yang secara utuh diadopsi dan kemudian menjadi bagian dari hukum positip
Indonesia.
Sementara itu Undang-undang No.5 Tahun 1968 secara formal maupun
materiil fungsinya semata-mata merupakan alat untuk mendeklarasikan sikap
Pemerintah Indonesia. Dalam konteks nasionalisasi norma-norma hukum
internasional, media deklarasi itu tentu saja sangat penting dalam menerima
segala hak dan kewajiban serta konsekuensi dari keseluruhan norma-norma
hukum yang termuat pada konvensi internasional tersebut. Persoalannya karena
norma bersangkutan kelak akan berlaku dan mengikat seluruh rakyat Indonesia.
Setelah melampaui satu dasawarsa lebih usia Undang-undang tentang
Penanaman Modal Asing menjadi instrumen pembentukan era kapitalisme di
Indonesia, memasuki dekade delapan-puluhan yang lalu, intensitas hubungan
niaga antar warga negara asing dengan mitranya dari Indonesia juga secara
simultan berlangsung timbal balik. Intensitas hubungan dagang antar mereka
tentu saja tidak selamanya mulus tanpa masalah.
Munculnya friksi hingga sengketa yang lebih besar diantara para pelaku
niaga yang memerlukan penyelesaian, seringkali sulit dihindari. Akibatnya
muncul tuntutan baru dari mereka tatkala institusi hukum negara yang bernama
pengadilan negeri kurang mampu menjawab harapan percepatan dalam
menyelesaikan sengketa komersial diantara mereka.
Ketika itu Pemerintah Indonesia kembali dipaksa untuk menjawab
tuntutan komunitas pelaku usaha swasta, tatkala sengketa yang muncul diantara
mereka enggan diselesaikan lewat pengadilan negeri. Kondisi itu pun kemudian
kembali memaksa penguasa negeri ini lagi-lagi untuk mengadopsi ketentuan
hukum internasional multilateral yang dikenal dengan “Convention on the
Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards.”2 Dengan
memakai instrumen nasional untuk ratifikasi berupa Keputusan Presiden

1
Sunarjati Hartono. Beberapa Masalah Transnasional dalam Penanaman Modal
Asing di Indonesia; (Disertasi). Bandung: Binacipta, 1972, hlm.122.
2
Dibuat di New York tanggal 10 Juni 1958 dan mulai berlaku pada tanggal 7 Juni
1959.
79

Nomor 34 tahun 1981,1 akhirnya disahkanlah konvensi di atas, sehingga


menjadi bagian dari hukum positip Indonesia.
Namun demikian, masalahnya tidak selesai sampai di situ, karena
ketika kaidah hukum hasil nasionalisasi itu harus diuji coba dengan munculnya
kasus permohonan eksekusi atas putusan arbitrase London, saat itu Mahkamah
Agung (MA) RI tampak belum siap menerima kondisi semacam itu. Buktinya
sengketa antara Navigation Maritime Bulgare vs PT Nizwar Jakarta, yang
diputus oleh forum arbitrase di London, dengan berbagai alasan dan
pertimbangan putusan arbitrase itu tidak dapat dilaksanakan di Indonesia.
Ketika itu Mahkamah Agung berbeda pendapat dengan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat.2 MA berpendirian bahwa Keputusan Presiden Nomor 34
tahun 1981 tentang Pengesahan “Convention on the Recognition and
Enforcement of Foreign Arbitral Awards” dianggap masih memerlukan
peraturan pelaksanaan. Akibatnya putusan arbitrase yang dijatuhkan di luar
negeri tidak dapat dieksekusi oleh Pengadilan Negeri di Indonesia.3
Cukup lama dan berlarut-larut permasalahan seputar pengakuan dan
eksekusi putusan arbitrase asing di Indonesia itu. Penyebabnya antara lain sikap
dan pendirian MA sendiri yang selalu diliputi keraguan. Bahkan setelah
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 tahun 19904 dikeluarkan,
hampir tidak ada kasus permohonan eksekusi putusan arbitrase asing di
Indonesia yang dikabulkan. MA selalu bersandar pada persoalan “ketertiban
umum”. Hingga tak satu pun putusan arbitrase asing yang dianggap lolos oleh
MA dan dianggap tidak bertentangan dengan ketertiban umum Indonesia.
Terlepas dari permasalahan pengakuan dan eksekusi dengan berbagai
liku-likunya, sisi lain yang menarik dari konvensi yang disahkan dan menjadi
kaidah hukum positip ini adalah proses masuk dan diterimanya kaidah

1
Sebagai instrumen untuk mengesahkan Convention on the Recognition and
Enforcement of Foreign Arbitral Award (Konvensi tentang Pengakuan dan
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing) yang telah ditandatangani di New York
tanggal 10 Juni 1958. KepPres tersebut ditetapkan dan diundangkan pada tanggal
5 Agustus 1981.
2
Meski PN Jakarta Pusat melalui penetapannya di atas telah mengabulkan
permohonan eksekusi atas putusan arbitrase London yang menghukum PT
Nizwar di Jakarta untuk membayar jumlah tertentu kepada Navigation Maritime
Bulgare, tetapi Mahkamah Agung berpendapat lain.
3
Periksa Putusan MA No. 2944/Pdt/1983, tanggal 29 November 1984; dalam S.
Gautama, Op. Cit., hlm. 71.
4
Tentang Tatacara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing.
80

transnasional itu sama sekali tanpa liku-liku, tanpa perdebatan sengit di


parlemen. Bahkan melalui proses pengesahan itu seluruh substansi norma yang
berasal dari konvensi langsung diterima utuh menjadi bagian dari norma hukum
positip Indonesia. Keduanya tergolong kaidah hukum formal, yaitu kaidah
hukum yang berisi aturan tentang bagaimana caranya menjamin ditaatinya
hukum materiil dengan perantaraan lembaga (baca: pengadilan atau bukan
pengadilan) dan proses (baca: beracara).
Dalam bidang hukum internasional materiil, Indonesia juga
mengesahkan beberapa konvensi diantaranya seperti berikut ini:
• Konvensi Telekomunikasi Internasional (International
Telecommunication Convention) Nairobi, 1982, dengan
instrumen nasional Undang-undang Nomor 11 tahun 1985;
• Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut
(United Nations Convention the Law of the Sea) New York 1982,
dengan instrumen nasional Undang-Undang Nomor 17 tahun
1985;
• Convention Establishing the Multilateral Investment Guarantee
Agency, Washington DC, 1986, dengan instrumen ratifikasi
Keputusan Presiden Nomor 31 tahun 1986.
Disimak dari pihak-pihak yang mengadakannya, konvensi di atas
tergolong perjanjian multilateral, karena dilakukan antara banyak pihak.
Sedangkan berdasarkan substansinya, termasuk kategori “law making
treaties”. Karena perjanjian internasional tersebut melahirkan norma hukum
internasional baru, sehingga meletakkan ketentuan-ketentuan atau kaidah-
kaidah hukum bagi masyarakat internasional dalam arti keseluruhan.1
Sementara itu, apabila diamati berdasarkan negara pihak ketiga,2 yakni
negara-negara yang tidak turut serta pada perundingan-perundingan ketika
melahirkan perjanjian tersebut, tampaknya juga termasuk “law making
treaties”. Hal itu disebabkan konvensi semacam itu selalu terbuka bagi pihak
lain yang semula tidak turut serta dalam perjanjian karena yang diatur oleh
perjanjian itu merupakan masalah-masalah umum yang bersangkut paut
dengan semua anggota masyarakat internasional.3

1
Moctar Kusumaatmadja, Op. Cit., hlm. 114.
2 Yang dimaksud dengan negara-negara pihak ketiga (third state) dalam kaitan ini adalah negara-negara yang bukan
peserta dari suatu perjanjian internasional
. Lihat article 2 ayat (1-h) yang menentukan: ‘third state’
means a state not a party to the treaty.
3
Ibid., hlm. 114.
81

Kerjasama Bilateral Bidang Hukum suatu Keniscayaan


Seperti telah diutarakan, menghadapi situasi global di abad mendatang
penataan dan pembaharuan produk-produk hukum seyogianya dilakukan secara
cepat dan tepat. Di samping melakukan kodifikasi perundang-undangan,
nasionalisasi berbagai kaidah transnasional melalui pengesahan konvensi
internasional, juga yang tak kalah pentingnya adalah melakukan kerjasama
bilateral dengan negara-negara tertentu untuk kepentingan tertentu pula.
Mengoptimalkan upaya kerjasama, khususnya dalam bidang hukum di
antara negara-negara, terutama di lingkungan anggota ASEAN sebagai
komunitas bangsa-bangsa se kawasan tentu merupakan upaya yang sewajarnya
untuk dilakukan. Kerjasama tersebut pada gilirannya akan membantu
mewujudkan harmonisasi hukum di antara negara-negara anggota ASEAN itu
sendiri. Harmonisasi hukum dimaksud dapat digambarkan “sebagai suatu upaya
yang dilaksanakan melalui proses untuk membuat hukum nasional dari
negara-negara anggota ASEAN memiliki prinsip serta pengaturan yang sama
mengenai masalah yang serupa di masing-masing jurisdiksinya”.1
Harmonisasi dalam bidang hukum merupakan salah satu tujuan
penting dalam menyelenggarakan hubungan-hubungan hukum. Terlebih lagi
kawasan ASEAN telah bersepakat membentuk AFTA sebagai kawasan
perniagaan negara-negara di Asia Tenggara. Kerjasama bidang hukum yang
berujung pada adanya harmonisasi itu penting agar hubungan-hubungan
hukum yang diatur oleh satu negara akan sejalan atau tidak begitu berbeda
dalam penerapannya dengan ketentuan yang berlaku di negara lain.2
Namun realisasi kerjasama hukum untuk mencapai harmonisasi
hukum di antara negara-negara anggota ASEAN itu memang tidak mudah.
Oleh karena setiap negara anggota ASEAN harus berusaha untuk saling
memahami bahwa kesepuluh negara anggota ASEAN itu memiliki perbedaan-
perbedaan yang mendasar dilihat dari segi latar belakangnya baik sejarah,
hukum, maupun budayanya.

1
Lihat Komar Kantaatmadja, “Harmonisasi Hukum Negara-Negara ASEAN”.
Kertas Kerja Pada Simposium Nasional Aspek-aspek Hukum Kerjasama
Ekonomi antara Negara-negara Asean dalam rangka AFTA; Fakultas Hukum
UNPAD, Bandung, 1 Februari 1993, hlm. 3-4.
2
E. Saefullah, “Harmonisasi Hukum di antara Negara-Negara Anggota ASEAN”;
Kertas Kerja pada Simposium Nasional Aspek-aspek Hukum Kerjasama
Ekonomi Antara Negara-Negara ASEAN dalam rangka AFTA; Fakultas Hukum
UNPAD, Bandung, 1 Februari 1993, hlm. 1.
82

Pluralisme sistem hukum negara-negara di kawasan ASEAN


merupakan salah satu kendala dasar. Akibatnya upaya-upaya dan
perkembangan yang dicapai oleh organisasi bangsa-bangsa Asia Tenggara ini
tidak secerah dan secepat yang dicita-citakan. Terdapatnya prinsip-prinsip
yang sama saja sudah merupakan keberhasilan, walaupun pelaksanaan
pengaturannya masih bervariasi karena kondisi setempat.
Berbagai upaya sebagai tindak lanjut dari sejumlah kesepakatan terus
dilakukan. Ini banyak dilakukan juga semasa rezim Orde Baru masih kokoh
mengendalikan negeri ini. Diantaranya, pertemuan para Menteri Kehakiman
dan Jaksa Agung se-ASEAN di Bali pada tanggal 11-12 April 1986, adalah
salah satu contoh upaya kesefahaman yang telah menghasilkan dokumen
ASEAN Ministerial Understanding on the Organizational Arrangament for
Cooperation in the Legal Field. Dari pertemuan itu paling tidak telah dicapai
tiga aspek kerjasama bidang hukum di antara negara-negara ASEAN. Ketiga
aspek tersebut adalah: (i) pertukaran bahan hukum; (ii) kerjasama di bidang
peradilan; dan (iii) kerjasama di bidang pendidikan hukum dan penelitian.
Sebenarnya aspek kerjasama di bidang peradilan juga telah lama
dirintis oleh Indonesia dengan Kerajaan Thailand dalam bentuk perjanjian
bilateral. Kerjasama bilateral itu telah dicapai jauh sebelum adanya Dokumen
ASEAN Ministerial Understanding on the Organizational Arrangement for
Cooperation in the Legal Field of 1986, yang antara lain menghasilkan tiga
aspek kerjasama tersebut di atas. Bahkan dengan amat ideal Agreement on
Judicial Cooperation between the Republic of Indonesia and the Kingdom of
Thailand of 1978 ini telah dicanangkan sebagai suatu model bagi kesepakatan
berikutnya di antara negara-negara anggota ASEAN lainnya.

Agreement on Judicial Cooperation between the RI and the Kingdom


of Thailand of 1978 (Kesefahaman Bilateral yang cukup Monumental
yang pernah dilakukan Republik Indonesia)
Kerjasama dalam bidang hukum acara perdata atau bidang peradilan
yang bersifat multilateral, belum banyak dilakukan oleh Pemerintah
Indonesia, kalau tidak dikatakan tidak pernah ada sama sekali. Namun tanpa
mengecilkan arti sebuah kerjasama, pada tingkat regional ASEAN hal itu telah
lama dirintis.
Dapat disebutkan satu diantara upaya untuk melakukan kesefahaman
yang cukup monumental yang pernah dilakukan RI adalah: "Perjanjian
Kerjasama di bidang Peradilan antara Republik Indonesia dan Kerajaan
Thailand tahun 1978" ‘(Agreement on Judicial Cooperation between the
Republic of Indonesia and the Kingdom of Thailand) 1978’.
83

Kesepakatan kerjasama tersebut didasarkan atas ASEAN Concord of


1976 yang ditandatangani di Bali dan merupakan dasar bagi dilakukannya
kerjasama dalam bidang hukum antara negara-negara ASEAN.1
Bagi Republik Indonesia, perjanjian kerjasama bilateral dalam bidang
peradilan semacam itu merupakan upaya yang pertama kali dirintis di
lingkungan negara-negara di kawasan ASEAN bahkan hingga saat ini.
Perjanjian tersebut ditandatangani pada tanggal 8 Maret 1978 di Bangkok
Thailand. Selanjutnya diratifikasi oleh kedua negara. Masing-masing negara
diwakili oleh Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja (Menteri Kehakiman Republik
Indonesia) dan Dr. Upadit Pachariyangkun (Minister of Foreign Affairs the
Kingdom of Thailand).
Dilihat dari luas lingkup materi kerjasama yang disepakati, memang
tidak terlalu luas. Bidang cakupannya baru meliputi beberapa hal tertentu saja,
yakni menyangkut pemberian dan permintaan bantuan dalam penyampaian
dokumen-dokumen pengadilan serta alat-alat bukti perkara perdata oleh pihak
Indonesia kepada pengadilan di luar negeri dan sebaliknya.
Sejak saat itu pengadilan di Indonesia memiliki kewajiban untuk
melayani segala permintaan dari pengadilan di Thailand berkaitan dengan hal
bersangkutan. Begitu pula sebaliknya, pengadilan di Thailand memiliki
kewajiban yang sama secara bertimbal balik.
Tujuan diadakannya perjanjian bilateral tersebut antara lain untuk
mempermudah cara penyampaian panggilan dan pemberitahuan resmi dalam
perkara perdata yang harus dilakukan apabila pihak yang bersangkutan berada
di luar negeri. Di samping itu, perjanjian tersebut diharapkan dapat menjadi
suatu model bagi perjanjian-perjanjian berikutnya diantara sesama negara
anggota ASEAN lainnya.
Oleh karena tercapainya harmonisasi hukum di antara negara-negara
anggota ASEAN merupakan harapan setiap anggotanya. Kerjasama semacam
itu pada hakekatnya akan mempermudah lalu lintas bidang hukum dan
menghapuskan berbagai rintangan yang sering dijumpai di dalam praktik,
khususnya dalam bidang peradilan.
Pihak-pihak dalam perjanjian, yakni Republik Indonesia dan Kerajaan
Thailand menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyampaian dokumen-
dokumen resmi pengadilan harus dihindari agar tidak melalui saluran

1
Lihat Sudargo Gautama, Hukum Perdata dan Dagang Internasional.Bandung:
Alumni, 1980, hlm. 70. Bandingkan E. Saefullah, Op. Cit., hlm. 3.
84

diplomatik. Oleh karena itu, masing-masing pihak menunjuk suatu badan


khusus yang dinamakan Central Authority.1
Badan itulah yang menentukan instansi yang akan mengirimkan dan
menerima permohonan penyampaian dokumen pengadilan dan panggilan atau
surat permohonan untuk memperoleh bukti-bukti. Instansi tersebut untuk
Republik Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pembinaan Badan Peradilan
Umum Departemen Kehakiman dan untuk Kerajaan Thailand adalah Office of
Judicial Affairs of the Ministry of Justice.2
Pihak Indonesia dan Thailand juga menyepakati untuk menghilangkan
berbagai formalitas serta syarat legalisasi terhadap dokumen yang berasal dari
luar negeri yang akan dipergunakan di hadapan pengadilan di dalam negeri.3
Persoalannya adalah, bahwa legalisasi itu seringkali justru menjadi faktor
penghambat bagi perolehan dokumen resmi dari luar negeri tersebut.
Khusus mengenai syarat legalisasi dokumen, Konferensi Hukum
Perdata Internasional Den Haag juga telah menyepakati sebuah Konvensi yang
menghapuskan syarat legalisasi. Kemudian syarat legalisasi itu diganti dengan
sebuah Apostille, yaitu secarik keterangan yang ditempelkan kepada dokumen
bersangkutan.4 Dengan demikian akan dapat dihindarkan segala kewajiban
untuk mengadakan legalisasi yang bertele-tele, memakan biaya, dan waktu.
Perjanjian kerjasama pun menetapkan bahwa permohonan
penyampaian dokumen untuk memperoleh bukti-bukti dibatasi oleh asas
ketertiban umum yang berlaku pada masing-masing negara. Artinya, perjanjian
itu akan dilaksanakan apabila permohonan penyampaian dokumen untuk
memperoleh bukti-bukti itu tidak bertentangan dengan ketertiban umum, atau
merugikan kedaulatan atau keamanan negara yang bersangkutan.5
Seberapa jauh pelaksanaan perjanjian ini telah efektif bagi pihak-
pihak, tentu perlu penelitian yang seksama. Namun, Sudargo Gautama pernah
menyatakan bahwa: "... dalam praktik realisasinya masih belum adanya kasus-

1
Lihat pasal 3 Perjanjian Bilateral RI-Thailand, Tahun 1978.
2
Pasal 3 ayat (2).
3
Pasal 6 ayat (1) menetapkan: "(1) The Authority of the party in which the
documents originate shall forward the request to the Authority of the other party
without any requirement of legalization or other like formality."
4
Sudargo Gautama, Pemberian dan Permintaan Bantuan dalam Penyampaian
Dokumen-dokumen Pengadilan serta Alat-alat Bukti Perkara Perdata oleh pihak
Indonesia kepada pengadilan luar negeri dan sebaliknya. Kertas Kerja pada
Lokakarya Hukum Acara Perdata, BPHN, 6-7 Desember 1984, hlm. 8.
5
Pasal 15 ayat (1c).
85

kasus konkrit berkenaan dengan pelaksanaan dari persetujuan internasional


itu...".1 Kendati demikian, paling tidak perjanjian bilateral ini akan menjadi
model bagi terbentuknya Konvensi Kerjasama khusus antara negara-negara di
lingkungan ASEAN.
Walaupun kenyataannya kerjasama bilateral tersebut masih belum
berdaya guna dan berhasil guna, tidak berarti hal itu kurang bermanfaat.
Lebih jauh, dalam rangka mengakomodasi kepentingan Indonesia sebagai
anggota masyarakat internasional yang terhimpun di dalam suatu kawasan atas
dasar satu atau beberapa kepentingan yang sama, seperti halnya di dalam
ASEAN dengan AFTA (ASEAN Free Trade Area) kemudian sebagai salah
satu negara di kawasan Asia Pasifik dengan APEC (Asia Pacific Economic
Cooperation) maka Indonesia perlu mendukung upaya harmonisasi hukum
dan unifikasi kaidah hukum melalui berbagai perjanjian internasional semacam
di atas. Hal itu diperlukan dengan maksud paling tidak dalam Hukum
Perdata ada persamaan-persamaan mendasar yang akan memudahkan
pengaturan kemudian segala sesuatu yang menyangkut hal ihwal hubungan
perdata dan perdagangan.2
Munculnya sengketa-sengketa perdagangan di antara negara-negara
anggota ASEAN dengan adanya AFTA maupun di antara negara-negara
anggota APEC, harus diantisipasi sejak dini. Oleh karena sangat besar
kemungkinan terjadi suatu sengketa dagang diputus oleh pengadilan di salah
satu negara anggota perhimpunan di atas, kemudian putusan tersebut
dimintakan untuk dieksekusi pada negara lainnya. Kenyataan serupa itu
menuntut adanya kerjasama regional dalam bidang peradilan, khusunya
menyangkut pengakuan serta pelaksanaan putusan hakim asing (recognition
and enforcement of foreign judgment).

Penutup
Menutup paparan sekaligus menjawab permasalahan di atas, berikut ini
ada dua hal yang hendak penulis kemukakan:
Pertama, globalisasi bermakna berlangsungnya proses interdependensi
negara-negara bangsa satu terhadap yang lainnya. Salah satu indikatornya
karakteristik permasalahan yang muncul semakin kompleks. Kompleksitas

1
Sudargo Gautama, “Pemberian Permintaan Bantuan …”. Op. Cit.,. hlm. 3.
2
Lihat Mochtar Kusumaatmadja, “Sambutan Pengarahan dalam Simposium
Nasional Aspek-aspek Hukum Kerjasama Ekonomi antara Negara-Negara Asean
dalam rangka AFTA”. Fakultas Hukum UNPAD, Bandung, 1 Februari 1993;
hlm. 4.
86

permasalahan di era globalisasi menjadi suatu keniscayaan negara-negara


bangsa untuk diupayakan solusinya.
Solusi dimaksudkan setidak-tidaknya untuk menghindari terjadinya
benturan kepentingan. Kalau pun terjadi benturan kepentingan, akibat yang
terjadi diupayakan untuk diminimalkan. Langkah bijaksana yang seyogianya
ditempuh antara lain melalui kerjasama kesefahaman antar negara-negara dalam
berbagai aspek kehidupan. Upaya semacam itu secara konkrit memiliki tujuan
akhir berupa kondisi harmonis di antara negera-negara yang saling berinteraksi.
Mengingat penataan dan pembaharuan kaidah hukum melalui
kodifikasi acapkali dirasakan sangat lamban, maka upaya alternatif pengisian
kaidah hukum yang mendesak diperlukan, seyogianya dilakukan dengan cara
nasionalisasi terhadap norma-norma hukum transnasional. Upaya itu jelas
dikerjakan melalui proses ratifikasi atau pengesahan atas kaidah transnasional,
sehingga menjadi bagian dari hukum nasional.
Mengapa kodifikasi selalu dituding lamban? Oleh karena disadari betul,
bahwa untuk menyusun satu undang-undang saja, selain melibatkan proses
yang tidak sederhana, juga harus melampaui tahapan yang amat panjang serta
berjenjang. Lagi pula biayanya tentu tidak sedikit. Padahal ketika undang-
undang tersebut selesai kemudian diundangkan boleh jadi fakta dan tuntutan
masyarakat yang dinamis itu sudah sangat berubah dan berbeda.
Kedua, seperti telah diutarakan, bahwa upaya untuk melakukan
kesefahaman yang cukup monumental yang pernah dilakukan RI adalah:
"Perjanjian Kerjasama di bidang Peradilan antara Republik Indonesia dan
Kerajaan Thailand tahun 1978" ‘(Agreement on Judicial Cooperation
between the Republic of Indonesia and the Kingdom of Thailand) 1978.’
Kerjasama bilateral semacam itu maupun kerjasama multilateral dalam
mengantisipasi berbagai problema transnasional seyogianya dilakukan secara
terrencana, dalam rangka upaya-upaya penyeragaman pranata hukum lewat
kesepakatan antara negara-negara. Sehingga pada gilirannya berbagai kendala
dalam menyelesaikan berbagai persoalan disebabkan karena perbedaan sistem
hukum, diharapkan akan dapat ditanggulangi.
Tindakan ratifikasi untuk mensahkan perjanjian internasional
multilateral menjadi hukum nasional maupun pembuatan kesepakatan bilateral
diharapkan akan mampu menjadi instrumen harmonisasi hukum di antara
negara-negara meskipun berlainan sistem hukumnya.

Daftar Bacaan
utama, Sudargo, Hukum Perdata dan Dagang Internasional. Bandung: Alumni, 1980.
87

--------------------------, Capita Selecta Hukum Perdata Internasional. Bandung: Alumni,


1983.
--------------------------, “Pemberian dan Permintaan Bantuan dalam Penyampaian
Dokumen-dokumen Pengadilan serta Alat-alat Bukti Perkara Perdata oleh
Pihak Indonesia kepada Pengadilan Luar Negeri dan Sebaliknya”; Kertas
Kerja pada Lokakarya Hukum Acara Perdata, BPHN, Jakarta, 6-7 Desember
1984, hlm. 8.
Iatridou, D. Kokini et al., “Recognition and Enforcement of Foreign Judgments in Civil
and Commercial Matters”; di dalam Netherlands Reports to the twelfth
International Congress of Comparative Law. Sydney-Melbourne, 1986; TMC
Asser Institute, The Hague, 1987.
Kantaatmadja, Komar, “Harmonisasi Hukum Negara-Negara ASEAN”; Kertas Kerja
pada Simposium Nasional Aspek-aspek Hukum Kerjasama Ekonomi antara
Negara-negara ASEAN dalam rangka AFTA. Fakultas Hukum Unpad,
Bandung, 1 Februari 1993.
Komar, Mieke, Beberapa Masalah Pokok Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum
Perjanjian Internasional. Bahan Pelajaran Hukum Perjanjian Internasional,
FH Unpad, Bandung, 1985.
Kusumaatmadja, Mochtar, Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Binacipta, 1978.
Kusumohamidjojo, Budiono, Suatu Studi terhadap Aspek Operasional Konvensi Wina
tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional. Bandung: Binacipta,
1986.
Rahardjo, Satjipto, “Pembangunan Hukum di Indonesia dalam Konteks Situasi Global”;
dalam Kajian Masalah Hukum dan Pembangunan PERSPEKTIF. Volume 2
Nomor 2 Edisi Juli Tahun 1997, halaman [1-10].
Saefullah, E., “Harmonisasi Hukum di antara Negara-Negara anggota ASEAN”; Kertas
Kerja pada Simposium Nasional Aspek-Aspek Hukum Kerjasama Ekonomi
antara Negara-Negara Anggota ASEAN dalam rangka AFTA. Fakultas
Hukum Unpad, 1 Februari 1993.
Tsani, Mohd. Burhan, Hukum dan Hubungan Internasional. Yogyakarta: Liberty, 1990.
88

Beberapa Tips Presentasi Lisan


Dalam Bahasa Inggris Pada Forum
Internasional1
Francien Herlen Tomasowa
Seringkali kita kehilangan percaya diri sewaktu ingin berpartisipasi
dalam diskusi tentang bidang ilmu kita.
Untuk meningkatkan rasa percaya diri dalam berkomunikasi tentang
bidang ilmu kita pada forum yang formal, beberapa kunci disajikan
dalam makalah ini.

Pendahuluan
Dalam membahas apakah sebuah presentasi berhasil atau tidak,
presentasi perlu dilihat dari segi sikap dan keterampilan bahasa penyaji.

I. Sikap Penyaji
Dalam memikirkan tentang organisasi dan isi dari sebuah presentasi,
sangatlah penting untuk membayangkan serta memperagakan “cara” anda akan
membawakan presentasi anda dalam bahasa Inggris.
Keberhasilan suatu presentasi ilmiah sangat tergantung baik pada
penyajinya maupun isi sajiannya. Penyaji yang handal mempunyai rasa percaya
diri dan keyakinan akan apa yang diungkapkannya, ia akan memanfaatkan
kontak mata, postur serta suaranya secara optimal.
Sebuah presentasi merupakan alat untuk menyampaikan informasi, dan
akan memberikan citra positif kepada pendengarnya. Presentasi akan
menghasilkan citra positif tentang penyaji, institusi atau perusahaan yang
diwakilinya, serta informasi atau berita yang dikomunikasikan. Bagian yang
paling menentukan dalam pemberian citra positif tersebut dari suatu
presentasi adalah kontak mata, postur dan suara.
Suatu presentasi pada dasarnya terdiri dari dua bagian:
• isi, yaitu apa yang akan disampaikan; serta
• penyampaian, yaitu cara penyaji membawakan presentasi-nya.

1
Disajikan pada diskusi dengan para dosen muda Universitas Unijoyo Oktober
2005
89

Sayangnya, banyak penyaji cenderung berkonsentrasi pada apa yang


mereka akan sampaikan, dan sedikit sekali mempedulikan cara membawakan
presentasinya tersebut. Mungkin saja seorang penyaji akan membicarakan suatu
hal yang paling menarik di dunia ini, namun tanpa menggunakan komunikasi
yang efektif, tanpa kemampuan untuk menyampaikan informasi dengan efektif,
pendengarnya takkan mungkin memperhatikan apa yang akan dikemukakannya.
Apa yang menjadikan seorang penyaji berhasil? Yang perlu dimiliki
seorang penyaji presentasi adalah rasa percaya diri. Orang akan mudah
mempercayai seorang penyaji yang tampak percaya diri, yang yakin akan apa
yang dikatakannya. Seorang penyaji harus tampak percaya diri di depan
pendengarnya.
Rasa percaya diri tersebut dapat disalurkan kepada pendengar melalui
kontak mata, postur serta suara penyaji.

I.1 Kontak Mata


Kontak mata adalah salah satu cara yang dapat digunakan penyaji untuk
menjalin suatu hubungan dengan pendengarnya, suatu hubungan sikap percaya.
Seorang penyaji yang bukan petutur asli bahasa Inggris mungkin merasa kurang
yakin akan kemampuan berbahasa Inggrisnya, dan sebagai kompensasinya ia
akan mencoba menghafalkan di luar kepala apa yang akan dipresentasikannya.
Cara mengatasi seperti ini perlu dihindari. Mengapa demikian?
Presentasi yang merupakan hafalan akan terdengar sangat kaku dan
monoton, bagaikan dibawakan oleh sebuah robot, tiada perasaan dalam kata-
kata yang diutarakan. Apalagi jika presentasi tersebut hanya dibacakan tanpa
mempedulikan nilai dari kontak mata.
Tiga hal utama yang perlu diperhatikan berkenaan dengan kontak mata
adalah persentase, arah, dan kapan.
1. Persentase. Penyaji perlu 50% melihat ke pendengar dan 50%
membaca presentasinya. Ini adalah proporsi yang baik untuk seorang
penyaji yang bukan merupakan petutur asli bahasa Inggris. Ini
tentunya berarti bahwa naskah yang akan dibaca tersebut harus dibuat
agar cukup mudah dibaca oleh penyaji.
2. Arah. Pandangan mata penyaji harus mampu menyapu semua
hadirin, tidak boleh hanya dipusatkan pada satu atau dua orang
tertentu saja. Penyaji harus sebanyak mungkin memusatkan
pandangannya pada wajah hadirin, dan tidak berusaha melihat ke
langit-langit ruangan atau ke luar jendela. Dengan cara ini, semua
hadirin akan merasa terlibat dalam apa yang dibicarakan penyaji.
90

3. Kapan. Kontak mata sangat penting pada awal dan akhir presentasi
dilakukan. Yang biasanya diingat oleh siapa saja adalah kesan
pertama dan kesan terakhir, dan oleh karenanya, pada saat-saat itulah
penyaji perlu berupaya agar hadirin merasa dekat dengan penyaji.
Pendek kata, kontak mata sangat penting, Karena kontak mata
melibatkan hadirin dalam apa yang disajikan penyaji dan kontak mata sangat
berperan dalam kesan percaya diri yang ditinggalkan pada hadirin. Bagi
masyarakat barat, kontak mata menentukan apakah suatu hubungan percaya
dapat terbentuk antara dua orang. Olehkarenanya, bagi budaya di mana kontak
mata dianggap tabu atau tidak sopan, sebagaimana halnya dalam budaya-
budaya Asia, mungkin aspek inilah yang merupakan hal tersulit untuk diatasi
dalam upaya menyajikan suatu presentasi dalam bahasa Inggris, namun ini
termasuk kunci keberhasilan suatu presentasi lisan.

I.2 Postur
Setidaknya terdapat empat hal yang perlu diperhatikan seorang penyaji
dalam kaitannya dengan postur yaitu tempat, isyarat, rilek, dan punggung,
sebagaimana tersebut berikut ini:
• Tempat. Penyaji sebaiknya berdiri diam di satu tempat tertentu, dan tidak
berpindah-pindah tempat sewaktu berbicara;
• Isyarat fisik. Penyaji sebaiknya tidak menggunakan isyarat fisik sewaktu
presentasi, karena dalam budaya barat hal tersebut dianggap tidak sopan ;
• Rilek. Penyaji sebaiknya tampak tidak tegang sewaktu presentasi; dan
• Punggung. Penyaji sebaiknya tidak pernah membelakangi hadirin sewaktu
menerangkan tentang alat bantu visual yang ditayangkannya.

I.3 Suara
Yang sangat perlu diperhatikan sewaktu menggunakan suara adalah
berkenaan dengan volume, kecepatan, dan ragam.
• Volume. Dalam hal volume suara, penyaji sebaiknya berbicara cukup
keras agar apa yang dikatakannya dapat didengar oleh semua hadirin
yang ada. Penyaji perlu mengingat bahwa ia berbicara dengan hadirin,
bukan dengan catatannya ataupun alat bantu visualnya.
• Kecepatan. Berkenaan dengan kecepatan berbicara, penyaji prelu
mengetahui bahwa kelemahan dari kebanyakan penyaji adalah bahwa
mereka berbicara terlalu cepat. Ini mungkin disebabkan karena
mereka gugup. Suatu percakapan yang terlalu cepat sukar dimengerti,
dan sebaliknya suatu percakapan yang terlalu lamban akan
91

menidurkan pendengarnya. Suatu kecepatan berbicara dari seorang


penyaji yang bukan petutur asli bahasa Inggris adalah sebanyak 90
kata per menit, sedangkan bagi petutur asli kecepatan ini berkisar
antara 110 sampai 120 kata per menit. Ini berarti bahwa untuk waktu
presentasi 20 menit, seorang penyaji yang bukan petutur asli bahasa
Inggris sebaiknya menyiapkan suatu presentasi sepanjang 20 x 90
kata, yaitu 1.800 kata.
• Ragam. Keragaman suara selama presentasi sangat besar
manfaatnya. Perubahan kecepatan, volume dan intonasi suara selama
presentasi akan memudahkan hadirin mengerti dan akan membuat
presentasi tersebut lebih menarik untuk didengarkan.

II. Keterampilan Bahasa Penyaji


Dalam mempresentasikan pemikiran kita, kita dapat menggunakan
isyarat bahasa untuk memberitahukan kepada hadirin apa yang akan kita
katakan. Tabel di bawah ini menyajikan isyarat-isyarat bahasa yang dapat
digunakan oleh penyaji dalam menyajikan presenatsinya.
No. Tujuan Isyarat Bahasa
1 Penyapaan dalam pembukaan Good morning, ladies and gentlemen.
Good afternoon, ladies and gentle-men.
Good evening, ladies and gentlemen.
2 Memperkenalkan suatu topik I’m going to talk about …
bahasan The aim of this presentation is to …
What I’d like to talk about is …
I’m going to speak to you about …
3 Memberitahukan adanya Let’s start with …
kesinambungan Let’s first look at …
After that …
First …
The next …
4 Mengacu pada teks atau alat As you can see from the graph, …
visual The graph shows that …
The table indicates that …
If we look at this transparency on the OHP, ….
5 Mengalihkan topik bahasan Now, turning to …
Now, let’s look at …
Now, I’m going to talk about …
92

Now, I’d like to turn to …


Now, if I can draw your attention to …
I’d now like to refer back to …
If I can go back to …
6 Mengakhiri presentasi bahan Finally, …
So, to conclude, …
In conclusion, we can say, …
Well, that is all I would like to say about …
7 Mengundang pertanyaan dan If you would like to know more, do not hesitate to
saran tentang apa yang telah ask.
disajikan I would be very happy to answer any questions
about this topic …
Any comments, or inquiries?

Sebuah presentasi yang baik selalu terdiri dari tiga bagian utama, yaitu,
• pembuka,
• inti, dan
• penutup.
Beberapa penyaji menganggap bahwa hanya bagian inti presentasi
sajalah yang penting, dan oleh karenanya mengabaikan bagian pembuka dan
penutupnya. Sikap seperti ini tidak dapat dibenarkan.
Bagian pembuka adalah bagian dari suatu presentasi di mana hadirin
mendapat kesan pertama tentang penyaji presentasi dan isi yang akan disajikan.
Bagian penutup adalah bagian dari presentasi yang akan tinggal paling
lama dalam benak hadirin.
Oleh karenanya, seorang penyaji perlu menaruh perhatian khusus pada
bagian pembuka dan bagian penutup dari presentasinya.

II.1 Bagian Pembuka


Dalam bagian pembuka presentasi, hadirin mengharap agar penyaji
mencakup setidak-tidaknya tiga hal, yaitu:
1. topik pembicaraan, yaitu apa yang akan dibahas;
2. pokok permasalahan, yaitu mengapa penyaji menganggap topik
pembicaraannya penting untuk dibagikan dengan hadirin; dan
93

3. alur/ kerangka penyajian, yaitu bagaimana urutan penyajian dalam


mempresentasikan topik pembicaraan tersebut.
Pendek kata, dalam hal ketiga, penyaji diminta untuk menyiapkan
sebuah “peta” agar hadirin dengan mudah dapat mengikuti presentasi tersebut.
Di samping ketiga hal ini, penyaji dapat memperkenalkan dirinya
dengan singkat dengan menyebutkan namanya, perusahaan/ instansi yang
diwakili dan informasi lain yang berkaitan dengan presentasi tersebut.
Sebagai contoh, sebuah bagian pembuka presentasi dapat berbunyi
sebagai berikut:

Good morning, ladies and gentlemen, I’m Djumilah Zain from the
perkenalan diri
Faculty of Economics, Brawijaya University, Malang.
This morning I’m going to describe the forecasts for the
topik pembicaraan
empowerment of woman labor in the rural areas of East Java.
Our data show that the empowerment will continue to grow in the
areas south of Malang but may level off in the areas north of pokok permasalahan
Malang.
I’ll start by looking at overall figures and then look at the four areas
of East Java in turn.
Finally, I’ll make recommendations for the empowerment of rural
alur/ kerangka penyajian
women based on these figures.
At the end of the presentation there will be time for any questions
you have.

II.2 Bagian Penutup


Dalam bagian penutup, penyaji perlu menyebutkan keempat hal berikut
ini:
1.sebuah ringkasan dari topik pembicaraan yang telah dibahas;
2.pengulangan dari pokok permasalahan yang telah disebutkan;
3.pernyataan tentang kegiatan terkait terdekat yang akan dilakukan, dan
4.menutup presentasi secara keseluruhan.
Terdapat ungkapan-ungkapan khusus dalam bahasa Inggris yang biasa
digunakan untuk keempat tujuan tersebut:
In summary, I’ve explained …
ringkasan topik pembicaraan In conclusion, I’ve talked about …
In conclusion, I’ve shown …
pengulangan pokok permasalahan My main point was …
94

I, therefore, recommend …
I’ve also explained …
kegiatan terkait terdekat In the next five years we will …
Thank you for your attention. Do you have any
questions?
penutupan presentasi
Thank you for listening. Do you have any
questions?

II.3 Bagian Inti Presentasi


Pada saat menyajikan bagian inti presentasi, penyaji juga perlu
menggunakan ungkapan-ungkapan tertentu agar hadirin mengerti apa yang
sedang dibicarakan. Yang juga sangat penting adalah penggunaan kata-kata
penghubung seperti however, atau therefore untuk mempermudah hadirin
mengikuti presentasi tersebut.

Isyarat bahasa juga dapat digunakan untuk menunjukkan peralihan


dalam presentasi tersebut. Coba perhatikan contoh penyajian bagian inti
presentasi berikut ini.

presentasi tujuan isyarat bahasa


First of all, let’s look at a country whose steel industry has changed a Memberitahukan
lot in recent years, the UK. adanya kesinambungan
As you can see from the bar graph, the UK’s steel production stood Mengundang unttuk
at 25.3 million tons in 1972. In 1981 this figure was 15.3 million tons, memperhatikan alat
a difference of roughly 10 million tons. bantu visual
Now, if we turn to another large steel producer, France, we can see Memberitahukan
that the situation is different. French crude steel production in 1972 adanya kesinambungan
stood at just over 24 million tons, and the figure for 1981 was only
approximately 3 million tons lower.
Finally, let’s look at Italy, one of the countries in which production has Memberitahukan
risen. In 1981, its steel production was 24.8 million tons, in contrast adanya kesinambungan
to
19.8 million tons in 1972.
In conclusion, we can observe a general fall in production, although Mengakhiri presentasi
this is not true in Italy. inti
95

II.4 Penjabaran tentang kecenderungan


Terdapat ungkapan yang biasa digunakan untuk menunjukkan adanya
kecenderungan gerakan meningkat atau menurun yang mungkin sangat
mencolok ataupun hampir tidak mempengaruhi. Beberapa yang sangta sering
digunakan adalah yang tersebut pada table berikut ini.

TUJUAN UNGKAPAN

menunjukkan gerakan naik noun form verb form


a rise to rise
an increase to increase
- to go up
a climb to climb
a jump to jump
menunjukkan gerakan turun noun form verb form
a fall to fall
a drop to drop
a decline to decline
a decrease to decrease
Menunjukkan stabilitas dan
fluktuasi to level out, to level off
to remain stable
to fluctuate
to reach a peak
d

a b c
96

Penyaji juga dapat menggunakan ungkapan penegas ataupun pelemah


untuk menerangkan sejauh mana suatu perbedaan/ perubahan terjadi, seperti
yang tampak pada tabel di bawah ini.

UNGKAPAN
TUJUAN
PENEGAS / PELEMAH

fractionally higher
fractionally lower
Menggambarkan < 5% beda/perubahan
marginally higher
marginally lower
slightly higher
Menggambarkan 5% 10% beda/perubahan
slightly lower
somewhat higher
Menggambarkan 10% < 50% beda/perubahan
somewhat lower
considerably higher
considerably lower
Menggambarkan <50% beda/perubahan
substantially higher
substantially lower
a great deal higher/ lower
far higher/ lower
Menggambarkan > 50% beda/perubahan
much higher/ lower
dramatically higher/ lower
97

II.5 Simbol Matematika


Pelafalan dari beberapa symbol matematika dalam bahasa Inggris,
adalah sebagai berikut:
TANDA PELAFALAN
3+8 three plus eight
17 – 6 seventeen minus six
8×4 eight times four
6 ÷3 six divided by three
three to the power of five
35 three to the fifth power
three raised to the fifth power
123 twelve cubed
√7 the square root of seven
3√ 8 the cube root of eight
3 + 7 = 10 three plus seven equals ten
A is more than B
A>B
A is greater than B
C is less than D
C<D
C is smaller than D

II.6 Menjawab Pertanyaan Hadirin


Bagi banyak pembicara yang bukan petutur asli bahasa Inggris, bagian
Tanya-jawab merupakan bagian presentasi yang paling mencekam. Ini tidak
boleh terjadi karena pada bagian Tanya-Jawab inilah penyaji mempunyai
kesempatan untuk berdialog secara langsung dengan hadirin.
Seorang penyaji yang handal akan memanfaatkan bagian ini secara
optimal dengan cara selalu fokus pada:
• persiapan;
• pengendalian diri & forum;
• pengecekan jawaban terkait; dan
• penutupan bagian ini.
Cara pertama untuk mempersiapkan diri adalah dengan selalu
mengantisipasi macam pertanyaann yang akan ditanyakan. Cara kedua adalah
98

dengan mempresentasikannya terlebih dulu kepada teman-teman, lalu meminta


mereka untuk menanyakan pertanyaan.
Pengendalian diri sangat penting karena jika seorang penyaji
kehilangan kendali, hadirin akan meremehkannya dan mereka akan tidak
tertarik lagi pada presentasinya.
Cara mengendalikan bagian Tanya-Jawab adalah dengan
mengendalikan waktu, bahasa, dan makna.
Beberapa ungkapan yang dapat digunakan untuk mengundang
pertanyaan adalah:
• If you have any questions during my talk, please stop me and
ask.
• Please stop me at any time if you have any questions.
• I’ll be happy to answer any questions you have at the end of
my presentation.
• Before I start, can I ask you to hold any questions you have
until the end of my presentation?
Dalam upaya mengendalikan kecepatan bahasa, penyaji dapat
mengatakan:
• I’m sorry, could you speak a little slower, please?
• Please speak a little slower.
• Could you speak more slowly, please?
Dalam mengendalikan volume, penyaji dapat mengatakan:
• I’m sorry, could you speak a little louder, please?
• Could you speak louder, please?
• I’m sorry, we can’t hear you.
Dalam upaya membuat pertanyaan lebih mudah, penyaji dapat
mengatakan:
• Could you ask your question more simply, please?
• I’m sorry, I don’t understand. Could you restate your
question, please?
Cara terbaik bagi penyaji untuk mengecek apakah pertanyaan yang
diajukan penanya dimengertinya adalah dengan bertanya:
99

• Is your question … ?
• Let me make sure I understand your question. Are you
asking …?
Setelah penyaji menjawab pertanyaan yang diajukan, ia harus
mengecek apakah penanya puas dengan jawaban yang diberikannya. Sebagai
contoh adalah; “Does that answer your question?”
Ada beberapa ungkapan yang dapat digunakan penyaji sewaktu ia
merasa tidak dapat melayani penanya:
• I’m sorry, I’m not permitted to give you that information.
• I’m sorry, I don’t have that information with me. I can try to
get it to you later, if you like.
• I’m sorry, I don’t have enough time to answer that now, can
we talk about it later?
• I’m sorry, I don’t know the answer to that question at this
time.
• I’m sorry, that information is confidential.
Untuk mengakhiri bagian Tanya-Jawab ini:
Sewaktu tiada pertanyaan, penyaji dapat berkata:
• If there are no questions, I’ll finish there. Thank you very
much.
Sewaktu tidak ada pertanyaan lagi, penyaji dapat berkata:
• If there are no more questions, I’ll finish there. Thank you
very much.
Jika waktu tidak mengijinkan lagi untuk menjawab pertanyaan yang diajukan,
penyaji dapat berkata:
• I’m afraid that’s all the time we have. Thank you.
• I’m sorry to say that we’ve run out of time. Thank you.
100

Kesimpulan
Dapat disimpulkan di sini bahwa agar presentasi yang dilakukan
berhasil dengan baik, penyaji sebaiknya:
• Menyediakan cukup waktu untuk rencana, penulisan, pengeditan
dan penulisan ulang;
• Menyediakan cukup waktu untuk memperagakan;
• Membatasi jumlah informasi yang akan disajikan;
• Mengetahui sebanyak mungkin tentang pendengar sebelum
presentasi berlangsung. Mengetahui sejauhmana pengetahuan
mereka tentang topik pembicaraan dan apakah mereka tertarik
pada topik tersebut;
• Yakin bahwa naskah mudah digunakan: sebaiknya
menggunakan kartu indeks, jangan menggunakan buku catatan
ataupun lembar-lembar kertas;
• Memeriksa keadaan alat bantu penyajian seperti OHP, dan
apakah slide atau peta yang digunakan sudah berada dalam
susunan yang benar;
• Menyapu pandangan kepada sebanyak mungkin hadirin;
• Berbicara dengan jelas dan tidak terlalu cepat;
• Beristirahat selama lima atau sepuluh menit setelah
menayangkan suatu alat bantu visual;
• Memberi waktu kepada hadirin untuk membaca sebelum
melanjutkan pembicaraan;
• Sadar waktu, karena hadirin bosan jika pembicaraan terlalu
lama;
• Menggunakan bagian Tanya-Jawab sebagai kesempatan untuk
memberi informasi ekstra tentang topik pembicaraan; dan
• Rilek.
Penyaji jangan sekali-kali:
• Minta maaf untuk kemampuan bahasa Inggrisnya, karena petutur
asli akan malah menganggap bahwa penyaji menyombongkan
dirinya;
101

• Melihat/ memandang ke langit-langit ruangan, ke lantai ataupun


ke luar jendela;
• Menghafalkan presentasinya;
• Memainkan pointer, kunci atau rantai sewaktu menyajikan
presentasi; dan
• Melambai-lambaikan kertas atau kartu dalam usaha membuat
isyarat fisik sewaktu presentasi.

Daftar Pustaka
Butt, David, 1989 Living with English Book One. Hornsby: Literacy technologies Pty
Ltd , Australia
Doherty, M., Knapp, L., Swift, S. 1989 Write for Business: Skills for Effective Report
Writing in English Essex: Longman Group UK Limited.
Hewings, M. 1999. Advanced Grammar in Use, With Answers. Cambridge: Cambridge
University Press
Kerridge, David , 1988. Presenting Facts and Figures Longman Group UK Limited
Martin, J. 1985. Teaching Factual Writing: A Genre Based Approach, Metropolitan East
DSP – Language and Social Power Project (unpublished)
O’Connor, M. and Woodford, FP 1979 Writing Scientific Papers in English, London:
Pitman Medical Publishing Co Ltd
Readers Digest, 1989. How to Write and Speak Better. Surry Hills: Reader’s Digest
(Australia) Pty Ltd.
Schor, S. and Fishman, J. 1981. The Random House Guide to Writing (Second Edition),
New York: Random House
Tomasowa, Francien Herlen, 2003. Oral Presentation: Seminar. Malang: Lembaga
Penerbitan FPUB. ISBN 979-508-507-7
Troyka, Lynn Quitman 1990 Handbook for Writers ,New Jersey: Prentice Hall
102

Kapita selekta pembelajaran Bahasa


Inggris anak usia sekolah dasar1
Francien Herlen Tomasowa
Mata pelajaran bahasa Inggris merupakan muatan lokal dalam
kurikulum pendidikan dasar yang berlaku. Pembelajaran bahasa Inggris pada
tingkat pendidikan ini ditujukan sebagai pembekalan untuk pembelajaran
bahasa Inggris di pendidikan lanjutan. Dalam tulisan ini penulis ingin
menekankan betapa pentingnya peran pengajar dalam meningkatkan kualitas
pembelajaran bahasa Inggris di tingkat pendidikan dasar.

Pendahuluan
Pendidikan di Indonesia sampai beberapa dekade mendatang ditujukan
pada pembentukan sumber daya manusia yang profesional, termasuk di
dalamnya penguasaan bahasa asing. Penguasaan bahasa asing, dalam hal ini
bahasa Inggris, akan membantu dalam mengikuti perkembangan ilmu dan
teknologi yang ada.
Untuk dapat meningkatkan mutu pembelajaran bahasa Inggris di
Sekolah Dasar (SD), perlu terlebih dulu dilihat isu apa saja yang terkait dalam
pembelajaran bahasa Inggris itu sendiri. Isu-isu yang perlu diperhatikan dalam
pembelajaran bahasa Inggris adalah status, tujuan, kurikulum, metode
pengajaran, bahan, dan pengajar.

Pembahasan
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas, keenam isu yang
diperlukan tersebut dibahas secara berurutan berikut ini.
Status. Status pembelajaran bahasa Inggris dapat dilihat dari segi
kedudukannya dalam komunikasi sosial-formal, kurikulum SD, serta perannya
di mata siswa dan orangtua murid.
Sebagai suatu bahasa asing, bahasa Inggris di Indonesia hanya diajarkan
secara formal di bangku sekolah. Bahasa Inggris tidak digunakan untuk
keperluan komunikasi sosial maupun formal. Ini berbeda dengan bahasa Inggris
di Hongkong, Singapura dan Filipina. Di sana bahasa Inggris tidak hanya

1
Disampaikan pada Lokakarya tentang “Peningkatan Kualitas Pembelajaran Bahasa
Inggris Anak Usia Sekolah Dasar” Senin, 26 September 2005 di Universitas
Trunojoyo.
103

digunakan di bangku sekolah, tetapi bahasa Inggris juga digunakan untuk


komunikasi sosial maupun formal. Keterbatasan lingkungan linguistik ini
membatasi pembelajar dalam kesempatan untuk belajar bahasa Inggris lisan
yang diperlukan dalam komunikasi secara lisan.
Bagaimana statusnya dalam kurikulum SD yang berlaku? Mata pelajaran
bahasa Inggris tidak diwajibkan pada tingkat pendidikan dasar. Jika sekolah
merasa bahwa mata pelajaran bahasa Inggris penting bagi anak didiknya di
kemudian hari, maka mata pelajaran ini boleh dimasukkan dalam kurikulum
sekolah tersebut. Jadi dalam hal ini tampak pentingnya peran sekolah dalam
menentukan apakah bahasa Inggris dimuat dalam kurikulumnya.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan Nuril Huda pada tahun
1990 (Nuril Huda,1999) ternyata bahwa kebanyakan responden orangtua murid
(83,7%) mewajibkan anak mereka untuk mengikuti kursus bahasa Inggris di
luar jam sekolah, dengan keyakinan bahwa dengan penguasaan bahasa Inggris
yang baik anak mereka akan mendapatkan pekerjaan yang baik di kemudian
hari. Sebagian besar (55,6%) dari responden siswa yang mengikuti kursus
bahasa Inggris di luar jam sekolah yakin bahwa dengan menguasai bahasa
Inggris dengan baik mereka akan dapat melanjutkan studi mereka ke tingkat
yang lebih tinggi.
Melihat status pembelajaran bahasa Inggris dari berbagai segi tersebut
dapat disimpulkan bahwa harapan para orangtua murid dan siswa dalam
keterbatasan lingkungan linguistik yang tidak mendukung perlu mendapat
perhatian serius. Karena terbatasnya dukungan dari lingkungan linguistiknya,
maka sebaiknya pembelajaran bahasa Inggris dimulai sejak dini, yaitu sejak
masih anak-anak.
Secara formal, bahasa Inggris sebaiknya diajarkan pada tingkat SD
mengingat bahwa semakin muda seseorang memulai belajar sesuatu hal,
semakin baiklah hasil yang dapat diharapkan. Walaupun belum disepakati
tentang periode kritis dalam proses pembelajaran bahasa, para ahli bahasa
sepakat bahwa lebih mudah bagi seorang anak daripada seorang dewasa untuk
belajar suatu bahasa asing dengan baik.
Tujuan. Pembelajaran bahasa Inggris di tingkat SD harus dapat
menunjang pembelajaran di tingkat SLTP nantinya (Retmono, 1992, Nuril
1999). Jika ditujukan untuk mendukung pembelajaran bahasa Inggris di SLTP,
maka tujuan pembelajarannya harus seiring dengan tujuan pembelajaran bahasa
Inggris di SLTP. Tujuan pendidikan bahasa Inggris di SLTP adalah untuk
mengembangkan keterampilan mendengar, berbicara, membaca dan menulis.
Oleh karenanya, pendidikan bahasa Inggris di tingkat SD harus juga difokuskan
pada pengembangan keempat keterampilan bahasa tersebut.
Masalahnya kemudian adalah sejauh manakah keterampilan berbahasa
tersebut harus dikembangkan. Mengingat bahwa bagi mayoritas siswa SD,
104

bahasa Indonesia, paling tidak, merupakan bahasa kedua mereka, dan mereka
baru mulai diperkenalkan dengan penggunaan bahasa Indonesia dengan baik
dan benar, maka pembelajaran bahasa Inggris sebaiknya jangan mengganggu
proses pembelajaran bahasa Indonesia. Pembelajaran bahasa Inggris di SD
sebaiknya hanya bertujuan untuk memperkenalkan siswa dengan bahasa
Inggris, membuat mereka merasa tidak asing lagi dan mau belajar bahasa
Inggris lebih jauh.
Kurikulum. Kurikulum pendidikan dasar terdiri dari muatan nasional,
muatan lokal dan muatan pengayaan. Muatan nasional berisikan bahan minimal
yang wajib diperlukan oleh semua sekolah dan siswa di Indonesia. Muatan
lokal bersifat pilihan karena tergantung apakah sesuai dengan kebutuhan lokal
dari sekolah yang bersangkutan. Sedangkan muatan pengayaan adalah bahan
yang dipersiapkan bagi siswa yang telah dapat mencapai atau memenuhi
persyaratan minimal yang telah ditetapkan menurut muatan nasional yang ada.
Karena pembelajaran bahasa Inggris di tingkat SD termasuk sebagai
muatan lokal saja, maka sifatnya hanya pilihan, tidak wajib. Masalahnya
sekarang adalah jika sudah terpilih oleh sekolah untuk dimasukkan kurikulum
yang ada, bagaimana usaha sekolah tersebut untuk menjaga kualitas
pembelajarannya, agar tujuan instruksionalnya tercapai.
Metode Pengajaran. Di dalam pelaksanaannya, pembelajaran bahasa
Inggris memerlukan pendekatan kebermaknaan (Silabus Bahasa Inggris 1994),
suatu pendekatan yang sebenarnya mengandung sejumlah sifat dari pendekatan
komunikatif. Pendekatan kebermaknaan tidak mengharuskan bahasa Inggris
sebagai satu-satunya bahasa pengantar; bahasa Indonesia juga dapat digunakan
jika dianggap perlu untuk mencapai tujuan topik pembelajaran tersebut.
Perbedaan dalam kemampuan belajar bahasa, pengetahuan bahasa, latar
belakang budaya, cara belajar, sikap terhadap bahasa tersebut, bahasa ibu,
intelegensi, pengetahuan umum, pengalaman belajar, pengetahuan tentang
bahasa lain, usia, gender, kepribadian, percaya diri, motivasi, minat dan/atau
tingkat pendidikan merupakan hal-hal yang sangat mempengaruhi keberhasilan
suatu proses pembelajaran bahasa. Tidak dapat dipungkiri bahwa tiap siswa
mempunyai caranya sendiri untuk belajar, dan mempunyai kecepatannya
sendiri untuk berkembang. Deniz alli – Çopur (2005) mengatakan
heterogenitas pembelajar bahasa biasanya merupakan kendala dalam hal
efektifnya pembelajaran, bahan ajar, partisipasi, minat dan disiplin siswa.
Walau sulit bagi pengajar untuk mengenali tiap siswanya dengan
seksama, dan mengikuti apa yang dilakukan masing-masing siswa selama
proses pembelajaran bahasa Inggris dalam kelas sekecil apapun, pengajar tetap
berkewajiban untuk memonitor tiap siswanya agar proses pembelajaran
tersebut efektif.
105

Untuk mengatasi masalah-masalah karena heterogenitas tersebut di atas,


maka pengajar dapat melakukan hal-hal berikut:
1. pengajaran harus bersifat menarik dalam segala hal, harus dapat
menjangkau semua cara belajar dan semua tingkat intelegensi siswa.
Visualisasi selalu berguna bagi pembelajar segala umur. Penggunaan
kapur atau spidol papan berwarna akan sangat berguna. Pengajar dapat
menggunakan alat bantu visual untuk menarik perhatian siswa, karena
seringkali siswa yang paling pasif sekalipun dapat tertarik pada poster
yang berwarna-warni,
2. pengajar perlu mempersiapkan rencana tambahan untuk mengantisipasi
siswa yang menyelesaikan tugasnya lebih awal dari yang lainnya. Bahan
tambahan tersebut dapat berupa suatu latihan tambahan, atau suatu bacaan.
Pengajar harus jeli untuk menentukan latihan tambahan apa yang sesuai
dengan topik ajaran hari tersebut,
3. berkenaan dengan kegiatan-dalam-kelas, tidak semua siswa harus
mengerjakan tugas yang sama. Kepada mahasiswa diberikan kebebasan
mengerjakan tugas yang mana sesuai dengan topik ajaran hari tersebut.
Mereka yang cepat selesai biasanya akan mengerjakan semua tugas
sedangkan mereka yang lamban akan mengerjakan sebagian saja. Pengajar
perlu yakin bahwa bahan tersebut telah sesuai dengan tujuan
pembelajarannya. Siswa dapat diberi tugas yang berbeda sesuai dengan
perkembangan atau minat bahasanya,
4. pengajar sebaiknya memberikan pertanyaan/ tugas terbuka seperti
menyelesaikan sebuah cerita atau kalimat. Ini adalah untuk menampung
keterbatasan siswa dalam mengutarakan pendapatnya sendiri dengan lebh
leluasa,
5. pengajar perlu memberi kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan
pemikiran, perasaan ataupun pengalaman mereka walaupun mereka
mungkin kurang dalam hal percaya diri atau penguasaan bahasa. Melalui
personalisasi tugas yaitu memberi tugas yang sesuai dengan sifat siswa,
diharapkan bahwa tugas tersebut akan lebih menarik dan siswa lebih
terdorong untuk menggunakan semua yang telah dikuasainya,
6. pengajar menggunakan permainan, kompetisi dan dramatisasi, karena
siswa biasanya menyukainya. Kegiatan semacam ini dapat menjaga minat
siswa selama proses pembelajaran tersebut,
7. kegiatan kelompok/ pasangan berguna tidak saja bagi pengajar dalam
mengamati siswanya tetapi juga bagi siswa untuk bekerjasama dan belajar
dari sesamanya. Jika siswa yang lebih kuat bekerja dengan yang lebih
lemah, siswa tersebut bisa menjadi sumber bahasa atau pengetahuan dalam
kelompok tersebut. Pengajar dapat membentuk kelompok berbeda untuk
106

siswa yang lebih lemah dan untuk siswa yang lebih kuat, dan memberi
tugas yang berbeda sesuai kemampuan siswanya,
8. pekerjaan rumah ekstra membantu pengajar asalkan tugas tersebut
menyenangkan siswa. Olehkarenanya, tugas tersebut sebaiknya ada yang
bersifat tugas perorangan maupun yang bersifat tugas kelompok,
9. portofolio juga dapat digunakan. Baik pengajar maupun siswa sebaiknya
mengumpulkan semua hasil pembelajaran mereka selama periode
pembelajaran tersebut,
10. pusat belajar mandiri/ self-access center dapat meningkatkan
kemampuan siswa, karena siswa dapat menggunakan pusat tersebut dalam
waktu luang mereka untuk belajar mandiri. Siswa tersebut dapat belajar
bersama temannya atau bersama tutor. Tujuan utama dari diadakannya
pusat semacam itu adalah agar siswa dibiasakan untuk menentukan sendiri
apa yang akan dipelajarinya, dan
11. komputer dapat juga dimanfaatkan pengajar, namun perlu diingat bahwa
komputer hanya merupakan alat bantu dan tidak merupakan hasil akhir
dari proses pembelajaran tersebut.
Selain solusi bagi masalah heterogenitas di atas, pengajar juga dapat
memanfaatkan beberapa kiat yang diajukan Holy Andrews (2005) yaitu bahwa
sebaiknya:
1. pengajarlah yang memulai menjalin hubungan dengan siswanya,
2. insiden yang terjadi sewaktu mengajar digunakan sebagai momen yang
baik untuk mengajar,
3. beban kognitif para siswa dikurangi,
4. fokus tidak hanya pada perkembangan otak tapi juga memperhatikan
perut siswa,
5. siswa disambut agar merasa nyaman dalam kelas,
6. komunikasi dengan siswa menggunakan kecepatan yang sedang, dan
penyampaian yang jelas dan secara langsung,
7. pengulangan bahan lampau dilakukan sebelum beranjak ke bahan yang
baru, dan
8. harus pandai beranimasi.
Pendeknya, pengajar harus berusaha agar siswa merasa tertarik untuk
mengikuti proses pembelajaran bahasa Inggris tersebut.
107

Bahan. Kebanyakan buku ajar bahasa Inggris yang tersedia di pasar


dirancang untuk lingkungan kelas homogen yang ideal. Padahal tiap siswa
bereaksi terhadap buku ajarnya dengan caranya sendiri. Beberapa akan
menganggap buku tersebut mudah dan menarik, sedangkan lainnya mungkin
menganggapnya membosankan dan sulit ditangkap. Karena dewasa ini bahan
biasanya berdasarkan silabus muatan atau silabus tematik, beberapa siswa
mungkin menganggapnya membosankan, aneh atau tak bermakna. Oleh
karenanya, pengajar perlu mengevaluasi dan menyesuaikan bahan ajarnya
dengan mengetahui benar karakteristik siswanya.
Menentukan bahan apa yang akan digunakan dalam pembelajaran bahasa
Inggris di tingkat SD mungkin merupakan hal yang paling sulit: apakah harus
sama ataukah berbeda dengan yang digunakan di tingkat SLTP?
Kalau sama, maka ada kemungkinan bahwa siswa SLTP yang sewaktu
SDnya sudah mendapatkan pembelajaran bahasa Inggris nantinya bosan karena
terjadi pengulangan materi.
Kalau berbeda, pertanyaan yang muncul adalah sejauhmana perbedaan
tersebut. Apakah bahan di tingkat SD dan di tingkat SLTP berbeda dalam hal
• tingkat,
• keterampilan bahasa yang dikembangkan, ataukah
• fungsi bahasa dan kosakata.
Dilihat dari segi tingkat, baik bagi tingkat SD maupun tingkat SLTP,
pengajaran bahasa Inggris adalah pada tingkat awal. Keterampilan bahasa yang
dikembangkan dapat berbeda. Pada tingkat SD ditekankan keterampilan aural-
oral sedangkan pada tingkat SLTP ditekankan keterampilan aural-oral dan
membaca. Fungsi bahasa dan kosakata sebaiknya berkisar pada benda dan hal-
hal yang nyata dalam lingkungan sekitar.
Untuk menghindari adanya pengulangan bahan, memang sebaiknya
dirancang kurikulum bahasa Inggris untuk SD dan SLTP sekaligus, hal-hal
yang akan merupakan bagian dari kurikulum SD maupun yang tidak akan
termasuk dalam kurikulum SD.
Pengajar. Berkaitan dengan pengajar yang bertugas dalam pembelajaran
bahasa Inggris, ada dua hal yang perlu dipertimbangkan. Pertama, guru SD
tidak dipersiapkan untuk mengajar mata pelajaran bahasa Inggris di SD.
Pendidikan bahasa Inggris tidak termasuk dalam kurikulum pendidikan guru
SD. Mereka dipersiapkan untuk menjadi guru kelas dengan tanggung jawab
dapat mengajar semua mata pelajaran, kecuali pendidikan agama dan olahraga.
Kedua, pengajar di SD dapat dibagi menjadi guru kelas dan guru mata
pelajaran. Dengan demikian terdapat dua kemungkinan, guru kelas atau guru
mata pelajaran yang ditugaskan sebagai pengajar bahasa Inggris. Jika guru
108

kelas diberi tugas mengajar bahasa Inggris, maka padanya perlu diberikan
pelatihan. Dan inipun tidak mudah dilaksanakan. Pelatihan singkat tidak akan
berguna karena pembelajaran bahasa asing membutuhkan waktu yang tidak
singkat dan perhatian yang khusus. Kemungkinan kedua adalah guru mata
pelajaran, sukarelawan dan guru kursus privat (Huda,1999). Guru mata
pelajaran yang pernah mengikuti pelatihan TEFL (pengajaran bahasa Inggris
sebagai bahasa asing) akan merupakan solusi yang baik. Pendeknya,
pengajaran bahasa Inggris sebaiknya dilaksanakan oleh pengajar yang
profesional, mungkin sudah saatnya SD mempekerjakan guru bantu untuk mata
pelajaran bahasa Inggris.

Kesimpulan
Walaupun pembelajaran bahasa Inggris di tingkat Sekolah Dasar bersifat
pilihan, tidak wajib, namun jika SD sudah memasukkan mata pelajaran bahasa
Inggris dalam kurikulum sekolahnya, maka pembelajarannya perlu
dilaksanakan sedemikian rupa sehingga tujuan instruksional dapat tercapai
dengan memuaskan.
Di antara keenam isu yang perlu diperhatikan dalam upaya meningkatkan
mutu pembelajaran bahasa Inggris di tingkat SD, jelaslah bahwa pengajarlah
yang paling menentukan keberhasilan pembelajaran kontekstual tersebut.

Daftar Bacaan
Holy Andrews. 2005. Tips for Teaching ESL Beginners and Pre-Literate Adults dalam
The Internet TESL Journal, vol. XI, No.8 August 2005. http://iteslj.org/
Kasihani, S. Rachmajanti. 2003. Let’s Communicate in English Book 2. Malang:
Bayumedia.
Kelly, A.V. 1978. Mixed Ability Grouping. London: Harper & Row Publishers.
Nuril Huda. 1999. Language Learning and Teaching: Issues and Trends. Malang:
IKIP Malang.
Prodomou, L. 1989. The mixed-ability class and the bad language learner, dalam
English Teaching Forum, 27/4, 2-8.
Retmono. 1992. Pengajaran bahasa Inggris di Sekolah Dasar di Indonesia: Asumsi
Dasar, Kemungkinan Pelaksanaan dan Kendala-Kendalanya. Pidato
pengukuhan sebagai Profesor. Semarang: IKIP Semarang.
R. Ybarra, T. Green. 2003. Using Technology to Help ESL/ EFL Students Develop
Language Skills, dalam The Internet TESL Journal, vol. IX No.3, March
2003. http://iteslj.org/
alli – Çopur, Deniz. 2005. Coping with the Problems of Mixed Ability Classes, dalam
The Internet TESL Journal, vol.XI, No.8 August 2005. http://iteslj.org/
109

Penjaminan mutu sebagai langkah


awal untuk pengembangan program
studi1
Susijahadi

Pendahuluan
Penjaminan mutu program studi sebetulnya merupakan suatu upaya yang
dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan stakeholder, berupa kebutuhan
kemasyarakatan, dunia kerja, serta kebutuhan professional dalam rangka untuk
menghasilkan lulusan yang memiliki daya saing tinggi dalam dunia kerja.
Dengan demikian lulusan tersebut akan mampu beradaptasi dan bersaing
dengan lulusan dari manapun, baik secara nasional maupun internasional.
Pada prinsipnya penjaminan mutu tersebut adalah suatu konsep yang akan
dilakukan, dengan terlebih dahulu menetapkan butir-butir mutu sebagai acuan.
Beberapa butir mutu yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jendral Perguruan
Tinggi meliputi input mahasiswa, sarana dan prasarana, sistim informasi yang
digunakan, sistim penganggaran, menejemen lembaga dan tata pamong.

Input mahasiswa
Ada beberapa parameter yang terkait dengan input mahasiswa seperti
sistem rekrutmen, kondisi akademik dan juga pelayanan mahasiswa seperti
bantuan tutorial dan bimbingan karir. beberapa cara yang dipergunakan untuk
merekrut mahasiswa seperti melalui jalur SPMB (seleksi penerimaan
mahasiswa baru), dan PSB (penelusuran siswa berprestasi). Agar supaya
proses pembelajaran di suatu program studi terjamin kelangsungannya maka
supaya diperhatikan juga keberlanjutan penerimaan mahasiswa. Apapun cara
yang ditempuh oleh suatu program studi yang perlu dipertimbangkan adalah
keberlanjutan input mahasiswa, sehingga akan terjamin kelangsungan proses
belajar mahasiswa disuatu program studi. Tidak kalah penting untuk selalu
diperhatikan agar supaya adanya keberlanjutan input mahasiswa, sehingga
program studi beserta dosen dan tenaga pendukung dapat melayani mahasiswa
secara optimal. Hal ini penting untuk ditekankan karena tanpa adanya

1
Disampaikan pada acara Pelatihan Pengembangan dan Peningkatan Jurusan
Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Trunojoyo, Sebagai
Pelaksanaan Program SP-4, Saptu 17 September 2005.
110

pelayanan yang baik, maka proses belajar mengajar akan mengalami hambatan
sehinga kurang menarik lagi bagi para calon mahasiswa.

Proses Pembelajaran
Proses pembelajaran meliputi misi pembelajaran, mengajar, belajar dan
penilaian kemajuan serta keberhasilan belajar. Misi pembelajaran menyangkut
bagaimana pengembangan atau pelatihan kompetensi yang diharapkan, serta
efisiensi baik internal maupun eksternal. Mengajar yang perlu diperhatikan
diantaranya kesesuaian srategi dan metode dengan tujuan, materi dengan tujuan
mata kuliah dan penggunaan teknologi informasi. Belajar perlu dilihat
bagaimanaa keterlibatan mahasiswa, dan peluang bagi mahaiswa untuk dapat
mngembangkan pengetahuan dan pemahamaan materi khusus sesuai
bidangnya, pemahaman dan pemanfaatan kemampuan sendiri serta kemampuan
belajar mandiri. Penilaian kemajuan dan keberhasilan belajar perlu dicermati
apakah ada peraturan yang mengatur penilaian kemajuan dan penyelesaian studi
mahasiswa, strategi dan metode penilaian kemajuan dan keberhasilan
mahasiswa, serta penelaahan kepuasan mahasiswa.

Suasana Akademik
Suasana akademik yang terkait dengan penjaminan mutu meliputi
ketersediaan sarana untuk memelihara terjadinya interaksi dosen dengan
mahasiswa, baik didalam maupun diluar kampus, dan penciptaan suatu iklim
yang kondusif untuk mendorong perkembangan dan kegiatan akademik atau
profesional. Selanjutnya perlu dikaji juga mutu dan kuantitas interaksi kegiatan
akademik dosen, mahasiswa dan sivitas akademika lainnya. Keikutsertaan
sivitas akademika dalam kegiatan akademik seperti seminar, simposium,
diskusi dan eksidisi dikampus, serta pengembangan kepribadian ilmiah sangat
diperlukandalam rangka menciptakan suasana akademik yang kondusip.

Sumber Daya Manusia


Sumber daya manusia yang terkait dengan penjaminan mutu didalam
proses belajar mengajar meliputi tenaga dosen dan tenaga pendukung yang
berupa tenaga administrasi dan teknisi. Agar sumber daya manusia memiliki
kualitas yang bagus maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan diantaranya
sistem rekrutmen yang dilakukan, pengelolaan bagi dosen dan tenaga
pendudung, profil tenaga dosen dan pendukung yang meliputi mutu, kualifikasi,
pengalaman, dan ketersediaan. Agar supaya proses belajar mengajar
berlangsung baik maka sistem recruitment supaya betul-betul dilaksanakan
berdasarkan pada kebutuhan dan dipilih tenaga yang betul-betul mau dan dapat
bekerja dengan baik. Untuk inilah maka dari pihak pemakai langsung perlu
dilibatkan dalam pelaksanaan rekrutmen tenaga.
111

Karir akademik dosen meliputi hasil-hasil penelitian dan publikasi baik


dalam jurnal, mupun proseding seminar juga harus diperhatikan. Para dosen
seyogyanya didorong untuk mempublikasikan hasil-hasil penelitiannya baik
melalui jurnal ilmiah maupun melalui seminar ilmiah dalam organisasi profesi,
sehingga akhirnya hasil penelitiannya dapat dimuat dalam prosiding.Baik
tenaga dosen maupun pendukung perlu diperhatikan adanya kode etik,
peraturan kerja, pengembangan staf serta keberlanjutan didalam pengadaan dan
pemanfaatan tenaga tersebut. Kode etik dan peraturan kerja sangat penting
untuk melatih kedisiplinan serta memberi contoh yang baik terutama kepada
mahsiswa.

Sarana dan Prasarana


Sarana dan prasarana pendukung proses pembelajaran yang perlu
diperhatikan diataranya adalah sistem pengelolaan, pemanfaatan, pemeliharaan,
ketersediaan, kualitas yang baik tentang ruang kuliah, laboratorium maupun
perpustakaan, dan fasilitas komputer dan pendukung pembelajaran maupun
penelitian, kesesuaian dan kecukupan, keberlajutan dalam pengadaan,
pemeliharaan, dan pemanfaatannya. Tanpa adanya dukungan sarana dan
prasarana yang memadahi dengan sendirinya akan sulit proses belajar mengajar
berjalan dengan baik. Agar dosen dapat mengajar yang baik tentunya perlu
didukung dengan media pembelajaran yang memadahi seperti OHP dan OHT,
LCD dan lain-lainnya.

Komunikasi
Agar komunikasi dapat berjalan dengan baik, maka baik komunikasi
antar dosen, lembaga dengan dosen, maupun dosen dengan para mahasiswa
harus ditumbuhkan, selain itu perlu perlu adanya rancangan pengembangn
sistem informasi, kecukupan dan kesesuain sumber daya, sarana dan prasarana
untuk komunikasi, efisiensi dan efekifitas pemanfaaatan sisem informasi yang
ada serta ada atau tidaknya sistem informasi melalui intranet dan internet.
Dalam era teknologi informasi saat ini penyediaan teknologi informasi melalui
jaringan internet sangat diperlukan, oleh karena dengan jaringan internet ini
maka baik dosen maupun masiswa dapat mencari informasi perkembangan
ilmu yang ada diluar.

Sumber Dana
Agar supaya proses pembelajaran dapat berlangsung dengan baik, maka
perlu adanya kepastian sumber dana yang akan digunakan, sistem alokasinya,
pengelolaan dan akuntabilitas, serta adanya jaminan keberlanjutan didalam
pengadaan maupun dalam pemanfaatannya. Dengan kondisi keuangan
pemerintah saat ini perlu digali sumber dana dari masyarakat, melalui
112

kerjasama dengan instansi terkait maupun masyarakat lain yang


memungkinkan.

Tata Pamong
Didalam tata pamong perlu diperhatikan bagaimana struktur dan suasana
organisasi yang ada, personil yang mengisi struktur organisasi tersebut, beserta
fungsi dan tugas pokoknya, sistem kepemimpinan, dan pengalihan serta
akuntabilitas pelaksanaan tugas, partisipasi sivitas akademika dalam
pengembangan kebijaksanaan, serta pengelolaan dan kordinasi pelaksanaan
program, perencanaan program jangka pendek, jangka panjang dan monitoring
pelaksanaan sesuai dengan visi, misi, sasaran dan tujuan program.

Pengelolaan Program
Pengelolaan program untuk suatu program studi dapat dilihat dari adanya
efisiensi dan efektifitas kepemimpinan, pelaksanaan evaluasi program yang
sudah dicanangkan, dan pelacakan lulusan perlu ditanyakan pula apakah
program studi sudah melakukan perencanaan dan pengembangan program
dengan berbekal pada hasil evaluasi internal maupun eksternal. Selanjutnya
perlu dilihat juga apakah program studi sudah melakukan kerjasama dan
kemitraan, evaluasi dampak dari hasil evaluasi program terhadap pengalaman
dan mutu pembelajaran mahasiswa. Agar dapat diketahui seberapa tingkat
efisiensi dan efektifitas di dalam pengelolaan program studi, maka
ditetapkannya target yang akan dicapai dalam kurun waktu tertentu oleh
program studi. Karena dengan adanya target ini akan dapat diketahui dampak
dari pemanfaatan sumber daya yang ada untuk mencapai suatu tujuan.

Daftar Bacaan
Departemen Pendidikan Nasional, 2002. Pedoman Evaluasi Diri Program Studi. Badan
Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi, Jakarta.
Departemen Pendidikan Nasional, 2005. Panduan Penyusunan Proposal Program
HibahKompetisi Tahun 2006. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Jakarta.
113

Perspektif agribisnis dan


agroindustri dalam rangka
1
meningkatkan ekonomi masyarakat
Susijahadi

Pendahuluan
Dalam era otonomi saat ini, pemerintah telah bertekad untuk
menempatkan pengembangan wawasan agribisnis pada posisi sentral di
dalam pembangunan pertanian dan pedesaan. Dengan mengantisipasi
perubahan eksternal maupun internal, tekad tersebut telah dituangkan
secara sangat jelas di dalam suatu Visi Pembangunan Pertanian, yang
dirumuskan sebagai pertanian modern yang tangguh dan efisien.
Dengan demikian, tekad untuk mengejawantahkan pertanian modern
berwawasan agribisnis merupakan wujud ideal pertanian yang akan menjadi ciri
pada era mendatang. Kerangka pembangunan pertanian yang berwawasan
agribisnis tersebut pada dasarnya mempunyai tujuan ganda, antara lain (a)
menarik dan mendorong sektor pertanian; (b) menciptakan struktur
perekonomian yang tangguh, efisien dan fleksibel; (c) menciptakan nilai
tambah; (d) meningkatkan penerimaan devisa; (e) menciptakan lapangan kerja;
dan (f) meningkatkan pendapatan para petani. Oleh karena itu, strategi
pembangunan sektor pertanian pada masa mendatang harus dikaitkan dengan
strategi pengembangan industri pertanian yang dapat dikembangkan di
pedesaan, dan karenanya harus diprioritaskan pertumbuhan industri pertanian
yang mampu menangkap efek ganda bagi pedesaan. Dengan demikian, perlu
didorong mekanisme keterkaitan antara pembangunan pertanian dengan
pembangunan industri dan jasa.
Pada prinsipnya pengertian agribisnis adalah merupakan usaha komersial
(bisnis) di bidang pertanian (dalam arti luas) dan bidang-bidang yang berkaitan
langsung dengan pertanian tersebut. Bidang-bidang yang berkaitan itu adalah
sbb: 1) usaha produksi dan distribusi alat-alat/mesin pertanian, sarana produksi
pertanian dan input pertanian lainnya (agroindustri hulu), 2) pengolahan dan

1
Disampaikan pada Seminar dan Muswil DPW IV POPMASEPI (Jawa Timur, Bali,
NTT, NTB, dan Irian Jaya) Himpunan Mahasiswa Agribisnis (HIMAGRI) Fakultas
Pertanian Keluarga Mahasiswa Universitas Trunojoyo Bangkalan, Jumat, 30
September 2005.
114

manufakturing hasil pertanian serta pemasarannya (agroindustri hilir), 3)


kegiatan penunjang seperti penyediaan kredit, asuransi pertanian, pelatihan,
konsultasi dan transportasi. Pengertian ini sejalan dengan yang dikemukakan
oleh Davis & Goldberg, dalam bukunya A Conception of Agribusiness tahun
1957. Dia mendefinisikan agribisnis sebagai penjumlahan semua kegiatan yang
berkecimpung dalam pabrik dan distribusi alat-alat maupun bahan untuk
pertanian, kegiatan produksi pertanian, pengolahan, penyimpanan dan distribusi
komoditas pertanian atau barang-barang yang dihasilkan (Masyhuri, 2002).
Agribisnis sebagai suatu system dapat dibagi menjadi beberapa subsistem yaitu
subsistem input pertanian, usaha pertanian, pengolahan, pemasaran dan
penunjang. Subsistem usahatani atau pertanian sering disebut on farm sedang
subsistem lainnya disebut off-farm.
Dalam perekonomian Indonesia, agribisnis mempunyai peranan yang
sangat penting sehingga mempunyai nilai strategis. Hal ini disebakan karena 1)
mayoritas rumah tangga penduduk Indonesia yang mengusahakan agribisnis
dan mayoritas angkatan kerja yang bekerja di bidang agribisnis, 2) agribisnis
menyumbang pendapatan nasional terbesar, 3) kandungan impor dalam usaha
agribisnis rendah, 4) agribisnis sebagai salah satu sumber devisa, karena
sebagian besar devisa dari non migas berasal dari agribisnis, 5) kegiatan
agribisnis lebih bersifat ramah terhadap lingkungan, 6) agribisnis off farm
merupakan indunstri yang lebih mudah diakses oleh petani dalam rangka
trasformasi struktural, 7) agribisnis merupakan kegiatan usaha penghasil
makanan pokok dan kebutuhan lainnya. 8) agribisnis bersifat labor intensive 9)
mempunyai efek multiplier yang tinggi. Disamping itu, agribisnis merupakan
tumpuan utama dalam pemulihan ekonomi dari krisis ekonomi yang
berkepanjangan ini.
Berdasarkan visi tersebut, telah pula dirumuskan misi pembangunan
pertanian, yang penuangannya adalah upaya-upaya untuk (a) melaksanakan
pembangunan pertanian dengan pendekatan agribisnis, (b) memanfaatkan
sumberdaya pertanian secara optimal, (c) meningkatkan aktivitas ekonomi
pedesaan, dan (d) menciptakan kondisi yang menjamin pembangunan pertanian
berkelanjutan.
Tekad tersebut tentu menuntut segala kemampuan sumberdaya yang
ada, baik infrastruktur, kelembagaan maupun sumber daya manusia (SDM)-
nya, untuk dapat menciptakan iklim yang kondusif, agar mampu sebagai
pendorong menuju kepada visi yang telah ditetapkan di atas. Dengan perkataan
lain, penciptaan iklim yang kondusif untuk merangsang pengembangan
wawasan agribisnis pada hakekatnya merupakan dukungan agar kendala-
kendala yang masih melekat pada sektor tersebut dapat segera diatasi.
Jika dilihat secara umum, banyak kendala yang masih melekat di dalam
upaya pengembangan wawasan agribisnis, yaitu antara lain skala usaha di
dalam sistem produksi yang relatif sangat kecil, kurangnya pengetahuan
115

terhadap perilaku pasar, kuantitas dan kualitas baik produk maupun bahan
baku serta permasalahan di dalam pembentukan modal yang dirasakan masih
sangat terbatas, kelembagaan pendukung dalam pengembangan agribisnis, dan
masih banyak lainnya. Semua kendala tersebut jika dilihat dari sisi
pengembangan agribisnis tidak dapat disangkal merupakan inti dari masih
lemahnya “daya saing” bidang ini dibandingkan dengan bidang lainnya.
Berkaitan dengan kondisi serta arah yang telah ditetapkan di atas, tekad
untuk mencapai harapan di dalam pengembangan wawasan agribisnis mutlak
memerlukan keterampilan di dalam berbagai segi, baik produksi,
pemasaran, pengolahan, permodalan, distribusi maupun aspek-aspek yang
berkaitan dengan rekayasa-rekayasa baik manajemen, maupun teknologi
informasi dan institusi. Ini semua pada prinsipnya berkaitan dengan aspek-
aspek sentral dalam peningkatan kualitas sumberdaya manusia pertanian.
Dengan perkataan lain, input intelectual dalam kandungan sumberdaya manusia
merupakan faktor kunci dalam pengembangan kualitas sumberdaya manusia
yang kompetitif dalam membangun agribisnis tersebut. Ini semua merupakan
landasan dalam kaitannya untuk memampukan penyediaan teknologi yang
tepat, mengembangkan dan mengelola potensi sumberdaya alam yang
berkeunggulan serta menumbuhkan iklim penunjang yang kondusif di dalam
rangka mencapai keberhasilan pengembangan agribisnis.

Perspektif agribisnis dan agroindustri


Untuk melihat perspektif agribisnis dapat dilihat dari kecenderungan
permintaan produk agribisnis dan kemampuan menghasilkan serta mengolah
produk tersebut. Permintaan produk agribisnis dapat dilihat dari pasar domestik
dan internasional. Sebagai negara dengan jumlah penduduk sebesar lebih dari
200 juta, terbesar di dunia nomor 4, Indonesia merupakan pasar potensial
produk agribisnis. Jumlah penduduk ini akan semakin besar lagi karena
pertumbuhan penduduk yang relatif masih tinggi. Sebagai negara yang
berpenghasilan rendah, sebagian besar konsumsinya adalah makanan.
Disamping itu setelah mengalami krisis beberapa tahun terakhir ini, Indonesia
mulai bangkit lagi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang sudah positif.
Dengan demikian akan terjadi kenaikan pendapatan per kapita. Kenaikan
pendapatan ini akan meningkatkan permintaan produk agribisnis. Namun
dengan adanya liberalisasi perdagangan dunia akan semakin meningkatkan
produk impor masuk Indonesia misalnya buah-buahan dan bersaing dengan
produk agribisnis Indonesia. Ini kalau tidak diantisipasi dengan baik akan
mengurangi peluang di pasar domestik.
Di pasar internasional, dengan semakin terbukanya perdagangan dunia
akan meningkatkan pasar internasional produk-produk agribisnis. Pada tahun
2003, perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara sudah diberlakukan
(AFTA = Asia Pacific Economic Cooperation) dan di tingkat dunia sesuai
116

dengan kesepakatan GATT ( General Agreement on Tariff and Trade) secara


bertahap akan diberlakukan tahun 2020. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal.
Dengan liberalisasi perdagangan internasional, proteksi terhadap semua usaha
produksi dikurangi termasuk produk agribisnis, sehingga beberapa negara
terutama negara pengimpor produk agribisnis akan semakin mengembangkan
usaha non-agribisnis.
Dengan demikian produksi agribisnis semakin menurun, sehingga import
produk agribisnis semakin meningkat. Ini terjadi di negara tetangga seperti
Jepang, Korea Selatan, Malaysia dll. Ditambah lagi dengan adanya kenaikan
pendapatan warganya akan meningkatkan permintaan produk agribisnis yang
tergolong barang normal dan mewah atau yang mempunyai elastisitas
pendapatan positif.
Di samping itu dengan dikuranginya tarif dan non-tarif barier akan
memperkecil margin pemasaran internasional. Dengan semakin rendahnya
margin pemasaran internasional akan mengurangi harga di negara pengimpor
tanpa harus menurunkan harga produk agribisnis di negara eksportir dan
bahkan bisa meningkatkan harga produk yang diterima produsen di negara
eksportir. Keadaan ini akan meningkatkan harga produk yang diterima
produsen di negara eksportir dan ini akan meningkatkan lagi kebutuhan impor
produk agribisnis dari negara-negara lain. Kalau peluang ini bisa dimanfaatkan,
berarti prospek agribisnis Indonesia akan cerah.
Namun demikian karena kemudahan dan liberalisasi perdagangan ini juga
akan dinikmati oleh semua negara, maka akan ada persaingan yang semakin
tinggi antar negara. Jadi peluang ini akan dapat terealisir atau tidak tergantung
kemampuan pelaku ekonomi Indonesia untuk dapat bersaing dengan negara
lain. Karena disamping kebebasan itu terdapat juga persyaratan-persyaratan
internasional yang tidak mudah untuk dipenuhi. Misalnya keharusan
mencantumkan kandungan mineral atau zat yang ada dalam produk,
ecolabelling, HACCP dll. Sudah banyak kasus bahwa ekspor produk Indonesia
ke Amerika, Jepang dan Eropa harus diuji kembali oleh laboratorium yang
diakui oleh negara tersebut dan bahkan ada yang ditolak sama sekali. Pengujian
kembali akan sangat merugikan karena disamping menambah biaya juga akan
mengurangi kualitas produk atau meningkatkan kerusakan sebagai akibat
terlalu lama di perjalanan menuju pembeli di luar negeri.
Dari sisi kemampuan menghasilkan produk agribisnis, Indonesia
mempunyai sumber daya yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari lahan yang luas
dan subur, sumber daya perairan dan kelautan yang potensial, sumberdaya
manusia (SDM) yang jumlahnya cukup besar dan mempunyai pengalaman
dalam mengembangkan agribisnis, keadaan iklim yang cocok untuk pertanian
dalam mendukung kegiatan agribisnis. Ditambah lagi dengan banyaknya
lembaga-lembaga penelitian pertanian. Indonesia mempunyai peluang
117

mengembangkan kelapa sawit, kelapa, karet dan coklat menjadi salah satu
produsen terbesar di dunia pada komoditas tersebut.
Krisis moneter yang dimulai tahun 1998 dengan adanya devaluasi mata
uang rupiah dari Rp 2.400/$ menjadi Rp Rp 10.250/$ sekarang, sebenarnya
semakin meningkatkan keunggulan kompetitif produk agribisnis, lebih-lebih
untuk produk yang di ekspor ke luar negeri. Untuk produk yang diekspor,
dengan devaluasi rupiah, maka meningkatkan nilai jual dalam rupiah. Untuk
produk substitusi impor, dengan devaluasi rupiah berarti harga impor produk
menjadi semakin mahal, sehingga produk substitusi impor tersebut semakin
kompetitif. Beberapa perusahaan dan petani yang mengusahakan perkebunan
dan perikanan menikmati devaluasi tersebut, tetapi sayang penegakaan hukum
yang belum baik dan adanya krisis ekonomi serta bencana alam memperburuk
atau meniadakan keuntungan tersebut.
Teknologi yang secara potensi dapat menyebar luas tetapi masih banyak
petani yang menggunakan teknologi rendah. Ini menunjukan adanya peluang
mengembangkan teknologi maju dalam pengembangan agribisnis misalnya
pembibitan dengan tissue culture, penggunaan rumah kaca, mekanisasi dan
mengolah produk menjadi bahan jadi.
Tingkat penggunaan benih bermutu yang masih rendah, membuka
peluang industri perbenihan. Penggunaan benih yang bermutu akan
mepermudah pengawasan kualitas produk akhir agroindustri dan pencapaian
skala ekonomi industri tersebut.
Produk eksport Indonesia kebanyakan masih berupa produk pertanian
mentah. Seperti CPO kelapa sawit, biji kopi, biji coklat, teh hitam, karet, ikan,
produk kehutanan dll. Produk tersebut dapat merupakan bahan baku yang
murah bagi agroindustri hilir. Dengan demikian untuk pengembangan
agroindustri hilir sudah tersedia bahan baku yang berlimpah dan relatif murah.
Untuk dapat meningkatkan pendapatan petani dan devisa negara, maka
sebaiknya diusahakan mengolah produk-produk pertanian menjadi bahan jadi
atau setengah jadi. Yang menjadi permasalahan saat ini adalah sumberdaya
manusia yang ada masih perlu ditingkatkan.

Strategi Alternatif
Banyak teori yang mampu menjelaskan kepada kita tentang manfaat dari
pengembangan SDM melalui berbagai pendidikan terhadap perkembangan
ekonomi dan produktivitas kerja. Walaupun dengan landasan pemikiran yang
berbeda, Teori Fungsionalism (Burton Clark, 1962), Teori Human Capital
(Theodore Schultz, 1961) dan Teori Empirisme (Blau & Duncan, 1967) pada
hakekatnya memandang bahwa pendidikan adalah sebagai salah satu bentuk
investasi SDM. Landasan pemikiran teori-teori tersebut pada dasarnya
menganggap bahwa manusia merupakan suatu bentuk kapital sebagaimana
118

bentuk-bentuk kapital lainnya (teknologi, mesin, tanah, uang, dan sebagainya)


yang sangat menentukan terhadap pertumbuhan produktivitas suatu bangsa.
Dengan demikian, titik singgung antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi
adalah produktivitas tenaga kerja, dengan asumsi bahwa semakin tinggi mutu
pendidikan, semakin tinggi produktivitas tenaga kerja, dan semakin tinggi pula
pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat.
Melalui investasi di bidang SDM tersebut, seseorang dapat memperluas
alternatif untuk memilih profesi, pekerjaan atau kegiatan-kegiatan lainnya yang
dapat lebih mensejahterakan hidupnya. SDM semacam itu dapat diaplikasikan
melalui berbagai bentuk investasi, diantaranya pendidikan sekolah (formal),
pendidikan luar sekolah (pelatihan, dan sebagainya), pengalaman kerja,
kesehatan dan gizi, dan sebagainya.
Meningkatnya sarana usaha dan investasi pada sektor pertanian pada
masa lalu diyakini telah membawa implikasi bertambahnya lapangan pekerjaan
dan meningkatnya penyerapan tenaga kerja baik di bidang usaha pertanian
secara langsung maupun usaha penunjang yang terkait. Namun demikian,
nampaknya masih terdapat permasalahan utama mengenai sumberdaya manusia
di samping permasalahan lainnya seperti teknologi, permodalan, dan peraturan
perundangannya. Permasalahan ini tentu bermuara pada mutlaknya keperluan
dukungan SDM bagi pengembangan agribisnis baik dari segi jumlah, kualitas
maupun disiplin ilmu.
Rendahnya tingkat pendidikan pelaku agribisnis cenderung menghambat
proses alih teknologi dan keterampilan yang berdampak pada kemampuan
manajemen dan skala usahanya, yang mengakibatkan mereka sulit untuk keluar
dari lingkaran permasalahan yang dihadapi tanpa adanya bantuan dari luar.
Walau demikian melalui program yang dijalankan pemerintah selama ini
terhadap pengembangan sumberdaya manusia telah terjadi perubahan meskipun
masih jauh dari yang diharapkan.
Dampak dari rendahnya jumlah dan kualitas SDM sektor pertanian
menjalar di setiap segmen agribisnis. Pada usaha budidaya, petani kita
umumnya masih berpendidikan rendah lagi terbatas. Hal ini mengakibatkan
kurangnya kemampuan manajemen, prasarana dan teknologi, kurang lancarnya
penyerapan informasi dan teknologi dan pada gilirannya kemampuan jangkauan
wawasan yang terbatas. Pada usaha budidaya tertentu masih mengalami kendala
yang sama, sehingga kesempatan (opportunitas) investasi banyak dimanfaatkan
oleh pemodal asing. Situasi dan kondisi ini menuntut perbaikan tenaga baik
kualitas maupun jumlahnya. Sedangkan pada segmen agroindustri atau pasca
panen, secara umum masih memerlukan tenaga yang profesional, ditinjau dari
masih rendahnya kualitas hasil produksi yang dipanen dan dipasarkan serta
masih seringnya produk kita ditolak atau ditahan oleh negara-negara importir
dengan alasan kualitas. Salah satu contoh di subsektor perikanan adalah
dimasukkannya sebagian produk kita kedalam Block List USFDA untuk masuk
119

ke Amerika. Contoh yang lain lagi yaitu eksport biji kakao kita di Amerika
dianggap sub standar, sehingga dikenakan biaya untuk meningkatkan kualitas
ratusan dolar dalam setiap ton-nya.
Permasalahan lain adalah kuantitas dan distribusi aparat pembuat
kebijaksanaan, pembina dan pelayan serta penyuluh pada masing-masing
Direktorat Teknis baik yang berada di daerah-daerah dengan status Pegawai
Negeri Sipil Pusat, yang dipekerjakan dan yang diperbantukan masih sangat
terbatas dan belum merata pada setiap unit kerja. Berdasarkan struktur
pendidikan yang ada, menunjukkan gambaran piramida yang sangat melebar ke
bawah dan menyempit keatas akan tetapi tidak meruncing, hal ini tercermin dari
relatif sedikit jumlah tenaga mempunyai pendidikan tinggi.
Implikasi dari masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia dalam
pengembangan agribisnis adalah kurang lancarnya adopsi teknologi sampai ke
tingkat lokalita (tingkatan petani dan nelayan) sehingga tidak cepat
memanfaatkan teknologi dan kurang tinggi fleksibilitasnya dalam melakukan
penyesuaian-penyesuaian dari signal pasar.
Peranan sumberdaya manusia dalam menunjang pengembangan
agribisnis dengan demikian memegang posisi sangat sentral, baik sebagai
pelaku utama kegiatan maupun sebagai pembuat kebijaksanaan, pembina dan
pelayan maupun para pelaku kegiatan di lapangan. Oleh karena itu, diperlukan
perencanaan pengembangan sumberdaya manusia agribisnis secara terpadu dan
berkesinambungan yang menyangkut keseluruhan struktur masyarakat
agribisnis di atas.

Reorientasi Proses Transformasi SDM Agribisnis


Pertanian adalah karya manusia dalam memanfaatkan biota, sumberdaya
lingkungan dan iptek untuk menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan
manusia dalam hidupnya yang sejahtera. Berangkat dari batasan ini pertanian
terwujud melalui proses interaksi antara manusia dengan lingkungannya yang
spesifik lokalita. Karena ikan hidup di air tentu saja perikanan berkembang
sebagai hasil interaksi yang melembaga antara manusia (komunitas masyarakat)
dengan basis ekologi lahan berair dan/atau perairan.
Perkembangan sejarah menghasilkan eksistensi 3 corak
pertanian/perikanan, yaitu yang berwawasan tradisi, hobi dan industri.
Agribisnis adalah pertanian/perikanan yang berwawasan industri. Ditinjau dari
dimensi waktu, kita menyaksikan kasus adanya hubungan genesis antara
pertanian tradisional dengan pertanian industrial (maju) yang berlangsung
dalam suatu proses transformasi sistemik karena berubahnya paradigma
berusahatani maupun perubahan iptek dan manajerial maupun spasial serta
struktural. Proses inilah yang kita acu dalam membangun pertanian kita sampai
dengan saat ini.
120

Dengan demikian agribisnis dapat kita bangun melalui proses


transformasi pertanian tradisional yang sudah ada, maupun melalui membangun
perusahaan pertanian baru yang secara khusus dirancang bangun dan direkayasa
menurut kaidah dan paradigma pembangunan industri. Terkait dengan itu maka
karya membangun SDM pertanian juga secara katagoristik perlu disesuaikan
dengan sifat pembangunan sistem agribisnis itu. Dengan demikian dipandang
sangat perlu ditarik bidang pembeda antara karya membangun sumberdaya
yang mengacu kepada proses tranformasi dengan yang mengacu kepada
bangunan agribisnis khusus.
Dari pengalaman membangun pertanian padi untuk mencapai dan
melestarikan swasembada, terlihat bahwa karya membangun SDM itu
berspektrum luas sehingga mencakup keseluruhan pelaku masyarakat
agribisnis, yaitu aparatur pemerintah, masyarakat/pedesaan, masyarakat profesi,
masyarakat dunia usaha dan masyarakat dunia iptek. Semua antar masyarakat
pertanian (masyarakat agribisnis) perlu melakoni proses perubahan perilaku
yang relevan dengan kebutuhan sistem agribisnis padi yang baru. Semua itu
berlangsung melalui proses belajar yang menjadi asas bekerjanya karya
penyuluh pertanian, ialah asas “learning by doing”. Dalam karya membangun
SDM yang mengacu kepada proses transformasi ini, lembaga pendidikan
formal menunjukkan relevansi melalui penyediaan alumninya yang bekerja
pada aparatur pemerintah, dunia usaha dan lembaga iptek, dan tidak banyak
yang terserap sebagai petani maupun masyarakat profesi.
Pengalaman dari agribisnis (perusahaan besar) perkebunan dan juga
perusahaan besar perikanan, sebagai kasus bangunan agribisnis industrial yang
dirancang bangun khusus untuk menjadi satu unit usaha peraih nilai tambah,
menunjukkan bahwa SDM yang tersedia pada masyarakat pencari kerja tidak
sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan mereka akan tenaga terampil/profesional
maupun managerial yang diperlukan oleh perusahaan. Sistem learning by
doing pun belum cukup berkembang, meskipun akhir-akhir ini sudah mulai
berkembang gerakan nasional untuk meningkatkan mutu terpadu (dengan
sistem Gugus Kendali Mutu/GKM atau Total Quality Control/TQC). Yang
banyak terjadi dalam dunia agribisnis industrial adalah transfer teknologi dan
manajemen melalui penempatan tenaga luar (asing). Dalam dunia perkebunan
patut disebut secara khusus peranan dari Lembaga Pendidikan Perkebunan
(LP2) di Yogyakarta, yang merupakan lembaga khusus dari perusahaan-
perusahaan perkebunan (BUMN) untuk meningkatkan kemampuan dan mutu
SDM-nya.
Mengacu kepada antisipasi pembangunan pertanian berwawasan
agribisnis, yang menggariskan strategi pengembangan agribisnis terpadu, maka
karya membangun SDM itu perlu dirancang sesuai dengan arahan itu, yaitu
harus ada keterpaduan antara perusahaan pertanian besar dengan
usahatani rakyat (keluarga). Ini berarti adanya perubahan paradigma, yang
121

menyebabkan perangkat lembaga pembangunan SDM yang ada sampai


sekarang perlu dirakit ulang sesuai dengan acuannya. Proses learning by doing
harus kita tampilkan dalam wajah baru yang lebih sesuai dengan sistem
agribisnis terpadu. Penyiapan tenaga profesional harus dirancang khusus untuk
memenuhi kebutuhan spesifik sistem agribisnis lokalita demi lokalita.
Dalam dunia agribisnis, pengalaman dan aset kelembagaan Bimas bisa
dimanfaatkan untuk meningkatkan kemampuan petani, aparatur pedesaan dan
pemerintah dalam mengembangkan agribisnis mina padi yang prospeknya
cukup cerah. Perlu dirancang strategi pengembangan agribisnis untuk basis
ekologi (sawah, lahan kering, pantai dan basis ekologi kelautan), yang
daripadanya bisa dirancang strategi membangun SDM yang relevan dengan
kebutuhannya. Dalam pada itu, bahwa katagorisasi menurut genesis dari
lahirnya agribisnis seperti pada budidaya tanaman dapat dirujuk sehingga dapat
dikembangkan perangkat pembangunan SDM melalui proses transformasi dan
asas learning by doing, disamping karya peningkatan SDM melalui pendidikan
dan pelatihan formal.

Sistem Pendidikan dan Pelatihan Agribisnis


Pengembangan sumberdaya manusia diarahkan untuk menciptakan
manusia Indonesia yang maju dan mandiri agar mampu menunjang upaya
pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan pendapatan
masyarakat yang merata. Pengembangan sumberdaya manusia di tingkat
pedesaan meletakkan manusia sebagai insan sekaligus sebagai sumberdaya
pembangunan. Mereka perlu dibina untuk menjadi tenaga kerja yang
profesional yang mampu bertindak sebagai elemen pembangunan yang mampu
mengambil keputusan dan memanfaatkan setiap peluang untuk meningkatkan
pendapatannya.
Dalam menopang upaya tersebut di atas maka sangatlah perlu
menciptakan suatu sistem pelatihan, penataran dan penyuluhan sebagai
upaya transfer of agribusiness knowledge yang dapat mempercepat alur proses
pemerataan di tingkat petani. Sistem pelatihan agribisnis merupakan salah satu
pilihan yang dapat digunakan untuk mengejawantahkan tujuan tersebut dan
secara sederhana dapat didefinisikan sebagai suatu rangkaian kegiatan belajar
mengajar untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peserta/petani
serta usaha guna merubah pola pikir mereka untuk berwawasan agribisnis.
Tujuan akhir dari perubahan pola pikir ini adalah upaya untuk meningkatkan
pendapatan/nilai tambah petani, perubahan pola agribisnis tradisional/
konvensional menjadi sistem yang berorientasi pasar serta menciptakan
motivator-motivator baru di tingkat petani di wilayahnya.
Dalam mengupayakan pelaksanaan sistem pelatihan tersebut, pada
umumnya kegiatan pelatihan perlu melibatkan beberapa instansi terkait. Materi
122

yang biasanya digunakan oleh petugas perlu diarahkan kepada pengembangan


pola-pola agribisnis yang digerakkan oleh berbagai instansi baik antara peneliti,
penyuluh, instansi terkait, kelompok tani, petugas Pemda dan pengusaha.
Dalam hal ini, pengembangan program pelatihan/penataran agribisnis
perlu mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, sehingga setiap identifikasi
masalah, identifikasi potensi wilayah, pemilihan potensi/masalah untuk
dipecahkan, penyajian tugas-tugas pelatihan, serta penyajian perencanaan
pekerjaan dapat ditindaklanjuti dengan baik.
Perluasan dan pendalaman pola pelatihan pada dasarnya mengarah pada
wawasan agribisnis tersebut, mempunyai berbagai konsekuensi. Dalam kaitan
ini, masalah-masalah penting yang menjadi simpul kritis yang perlu
mendapatkan perhatian dalam pengembangan pola pembinaan yang
berwawasan agribisnis, mencakup persoalan : (a) Mutu, yang terkait erat
dengan dengan masalah-masalah standardisasi dan akreditasi, (b) Pasar, yang
terkait dengan masalah informasi pasar dan inefisiensi rantai tata-niaga, (c)
Iklim Investasi, yang terkait dengan masalah suku bunga, pajak dan hal-hal
yang menyangkut lingkungan dan agroekosistem, serta (d) Dualisme, yang
terkait erat dengan masalah-masalah kemitraan dalam hubungannya dengan
kebersamaan manfaat.
Bentuk pola pembinaan masyarakat agribisnis petani yang mengarah pada
penerapan wawasan agribisnis selain pola PIR adalah sistem magang dan
sistem pencangkokan manajer. Dalam hal ini, peran swasta akan semakin
menonjol dalam menempatkan fungsinya sebagai pentransfer manajemen dan
teknologi yang efektif melalui pengembangan pola-pola kemitraan. Beberapa
pola kemitraan yang saat ini berkembang dapat dicontohkan adalah contract
farming.
Pola pembinaan manajemen dan teknologi terapan berwawasan
agribisnis yang saat ini nampaknya cukup prospektif untuk dikembangkan
adalah bentuk kerjasama dalam suatu kelembagaan seperti Pusat Inkubator
Agribisnis maupun Pusat Pengkajian Agribisnis ataupun seperti lembagai
informasi website. Institusi tersebut biasanya merupakan suatu lembaga yang
bersifat non-profit dan disponsori oleh pemerintah atau swasta berfungsi
melakukan bimbingan dan pengawasan fasilitas dengan biaya murah, bantuan
teknik dan manajemen, penggunaan jasa bersama dengan biaya murah dan
kesempatan belajar dari wiraswasta-wiraswasta lain. Faktor positif daripadanya
adalah dapat memberikan aspek keamanan bagi para pengusaha pemula dan
lemah (juga koperasi) atau yang baru belajar beragribisnis, sehingga pada tahap
awal mereka dapat memfokuskan perhatiannya pada produk tidak perlu
memikirkan mekanisme pasar dari pelaksanaan suatu bisnis.
123

Beberapa contoh pembinaan instrumentasi yang


diperlukan misalnya :
a. Substansi Manajemen Mutu atau Kualitas
Pembinaan standardisasi dan akreditasi diperlukan guna menunjang
upaya perbaikan mutu hasil-hasil pertanian agar mampu memenuhi tuntutan
konsumen dan persaingan pasar.
Pengembangan standardisasi dan akreditasi yang mendukung perbaikan
kualitas antara lain dapat melalui :
1. Pembakuan standar dan sistemnya;
2. Perbaikan sistem produksi (pra-panen);
3. Perbaikan sistem panen;
4. Perbaikan sistem pasca panen, termasuk penanganan, pengalengan,
pengemasan dan penyimpanan yang mengacu kepada prinsip-prinsip
Good Manufacturing Practice dan Total Quality Control;
5. Akreditasi laboratorium/lembaga penelitian;
6. Pengawasan mutu yang dapat dilakukan melalui pengujian acak
secara rutin oleh lembaga yang berwenang;
7. Peningkatan kesadaran konsumen akan arti penting nilai kualitas;
8. Pengembangan sistem insentif dan penalti yang jelas pada industri
yang mematuhi atau melanggar ketentuan standar, termasuk
ketentuan tentang pembuangan/pengendalian limbah yang berkaitan
dengan konservasi sumberdaya alam dan lingkungan.
b. Substansi Manajemen Pemasaran
Perbaikan sistem pemasaran perlu diarahkan pada terbentuknya
mekanisme penentuan harga yang adil, yang pada gilirannya akan menyangkut
pembagian keuntungan yang layak bagi produsen dan pelaku pemasaran.
Kebijaksanaan yang dapat dilakukan untuk tujuan tersebut adalah (1)
meningkatkan posisi petani dalam proses pembentukan harga melalui
pembinaan asosiasi produsen termasuk koperasi dan penyempurnaan pelayanan
informasi pasar di semua tingkat pasar ; (2) mendorong terciptanya struktur
pasar yang lebih kompetitif dengan cara mengurangi terciptanya struktur pasar
yang monopolistik ataupun monopsonistik; (3) menciptakan pusat-pusat
produksi berdasarkan asas skala ekonomi pada lokasi sehamparan dan
mengaitkannya langsung dengan usaha agroindustri; (4) menurunkan biaya
pemasaran dengan mengupayakan terwujudnya prasarana pemasaran dan sarana
124

transportasi umum yang lebih efisien dan mampu mencapai pusat-pusat


produksi di pedesaan ; (5) menciptakan kemudahan dalam proses perjalanan
alur komoditas dari produsen kepada konsumen, termasuk merangsang
tumbuhnya industri/fasilitas penyimpanan, pengemasan dan transportasi yang
memadai; (6) pembatasan perdagangan yang bukan tarif dihilangkan secara
bertahap dan tingkat tarifpun diperkecil.
Untuk meningkatkan cakupan daerah pemasaran, kebijaksanaan perluasan
pasar hasil pertanian dan agroindustri diarahkan untuk: (1) menyediakan
fasilitas dan sarana promosi yang dapat dilakukan perorangan ataupun asosiasi
pengusaha; (2) memperbaharui produk-produk lokal yang sudah diterima
masyarakat maupun menciptakan produk baru yang mempunyai potensi
pemasaran; (3) memperluas dan mempermudah jaringan transportasi antar
pulau dan antar negara; dan (4) mengembangkan sistem penyidikan dan
informasi pasar yang kuat baik untuk pasar domestik ataupun pasar
internasional (Market Intelligence dan Market Information).
c. Substansi Rekayasa Kelembagaan
Upaya peningkatan keterkaitan antara sektor pertanian dengan sektor
industri melalui percepatan pengembangan agroindustri dan pengintegrasiannya
ke sektor pertanian. Dengan terjadinya peningkatan kaitan antara sektor
pertanian dengan sub sektor agroindustri melalui integrasi fungsional,
diharapkan tata nilai dan norma industri akan terdifusi ke kelembagaan
pertanian.
Dalam hubungannya dengan hal tersebut perlu adanya rekayasa
kelembagaan pertanian pada tingkat desa sehingga diharapkan terjadi
percepatan rekayasa kelembagaan pertanian dalam mengimbangi kecepatan
tumbuh dan berkembangnya agroindustri, terutama dalam menangkap signal-
signal pasar. Keperluan inilah yang seringkali kita sebut dengan rancang
bangun atau arsitektur agribisnis pedesaan. Selain itu, kelembagaan pertanian
dapat menyediakan bahan mentah dalam kuantitas, kualitas, kualifikasi dan
waktu yang sesuai dengan permintaan pasar (agroindustri). Pada gilirannya,
kelembagaan pertanian diharapkan akan dapat melakukan redistribusi manfaat
ekonomi yang timbul sebagai akibat peningkatan efisiensi dan peningkatan
kaitan fungsional dengan agroindustri sehingga akan mampu meningkatkan
partisipasi masyarakat.
d. Substansi Manajemen Usaha Berwawasan Lingkungan
Kegiatan investasi baik yang bersumber dari modal asing maupun dalam
negeri dalam kegiatan produktif sektor pertanian merupakan bagian dari upaya
pembangunan pertanian yang akan terus didorong secara intensif. Orientasi
yang seharusnya ditempuh adalah meneruskan upaya penyempurnaan dalam
berbagai kemudahan dalam bidang perijinan maupun dalam penyediaan
prasarana.
125

Dalam pada itu, orientasi pengembangan agribisnis harus tetap


didudukkan pada kerangka pembangunan pertanian berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan. Hal ini memberikan konsekuensi bahwa orientasi
harus tetap berlandaskan pada wawasan agroekosistem.
Lebih lanjut, pembangunan agribisnis dilaksanakan dengan pendekatan
berwawasan lingkungan, artinya kegiatan pertanian disamping memanfaatkan
sumberdaya tetapi juga sekaligus melestarikan dan kalau mungkin
meningkatkan produktivitasnya. Bersamaan dengan itu upaya-upaya
pengendalian pencemaran lingkungan akibat sampingan dari kegiatan pertanian
terus diupayakan agar dampak negatifnya dapat diminimalkan dan kelestaraian
lingkungan hidup dapat dipertahankan. Berkaitan dengan itu, upaya-upaya yang
berkaitan dengan memberikan insentif investasi bagi sektor swasta akan selalu
dikaitkan dengan upaya-upaya melestarikan lingkungan.

Penutup
Uraian tentang perspektif kewirausahaan di bidang pertanian di atas pada
dasarnya bermuara pada bagaimana memahami persoalan peningkatan SDM,
baik SDM aparat maupun pelaku agribisnis yang fungsinya tidak lagi sekedar
merupakan salah satu faktor produksi saja. Dalam hal ini, konsep SDM telah
merupakan konsep yang berdimensi ganda, yang pada saat bersamaan selain
menjadi pekerja (petani) sekaligus juga sebagai produsen, konsumen, sumber
gagasan, serta penggerak di dalam memanfaatkan seluruh peluang peningkatan
produktivitas.
Dalam pembangunan pertanian yang berwawasan agribisnis pada masa
mendatang, bukan lagi sekedar bertumpu pada persoalan produksi semata-
mata, akan tetapi lebih berwawasan kepada peningkatan pendapatan dan mutu
kehidupan yang lebih baik. Dengan demikian upaya penting daripadanya
adalah bagaimana sejauh mungkin menangkal ekses negatif yang ditimbulkan
oleh distorsi yang dapat ditimbulkan oleh ekonomi pasar.
Untuk itu, pokok pangkal dari pembangunan pertanian dalam masa
mendatang adalah menumbuh-kembangkan wawasan agribisnis pada setiap
pelaku-pelakunya. Segenap insiatif masyarakat dan dukungan pemerintah
dalam mengimplementasikan tujuan tersebut harus selalu bermuara pada
keinginan untuk menterjemahkannya ke dalam sistem agribisnis, yang selain
memperluas dan memperdalam peluang nilai tambah (value added) juga harus
mampu meningkatkan kesempatan kerja (employment generation).
Dalam pada itu, manajemen diharapkan dapat meningkatkan kepastian
keberhasilan melalui pengembangan sumber daya manusia yang berwawasan
agribisnis, sehingga dapat menghasilkan rekayasa-rekayasa penciptaan peluang-
peluang investasi dan iklim usaha yang sehat, diantaranya dengan
126

mengembangkan manajemen substansial seperti pasar, mutu, kelembagaan


(termasuk kemitraan), dan wawasan lingkungan.
Agribisnis merupakan kegiatan usaha yang kompleks yang satu sama lain
saling berkaitan membentuk suatu sistem yang berstruktur vertikal yang
berintikan pertanian dalam arti luas. Agribisnis merupakan kegiatan ekonomi
yang paling dominan di Indonesia dan memiliki posisi strategis. Pengembangan
agribisnis dapat memperkokoh struktur perekonomian Indonesia dan dalam
jangka pendek dapat membantu mengatasi krisis ekonomi atau membantu
pemulihan ekonomi Indonesia serta dapat membantu mengatasi krisis ekonomi
atau membantu pemulihan ekonomi Indonesia. Dilihat dari permintaan maupun
kemampuan sumberdayanya, agribisnis mempunyai peluang yang baik. Kalau
SDM nya dipersiapkan dengan baik, maka peluang tersebut dapat direalisasikan
sehingga agribisnis dapat berkembang.
Untuk dapat meningkatkan pendapatan masyarakat atau petani maka
sebaiknya diusahakan agar para petani dapat memasarkan produk-produknya
minimal dalam bentuk setengah jadi, atau dengan kata lain agar supaya dirintis
agribisnis produk-produk pertanian daerah hilir. Dengan demikian diharapkan
bahwa negara juga mengeksport produk-produk setengah jadi atau bahkan
produk-produk jadi hasil olahan industri dalam negeri.

Daftar Bacaan
Masyhuri, 2002. Mengembangkan Sistem dan Usaha Agribisnis yang Berkerakyatan
dalam Upaya Membantu Pemulihan Ekonomi Nasional. Makalah disampaikan
pada Workshop Pengembangan Agribisnis Hortikultura yang diselanggarakan
oleh Kadin dan Departemen Pertanian, Jakarta, tanggal 14 Maret 2002.
………….,2002, Prospek Agribisnis di Indonesia. Makalah disampaikan pada seminar
dalam rangka pembukaan kuliah perdana Program Magister Manajemen
Agribisnis Angkatan VI, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta tanggal 23
maret 2002.
Saragih, B. 2001. Agribisnis, Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis
Pertanian, Pustaka Wirausaha Muda, Bogor.
………….., 2000. Kebijakan Pertanian Untuk Merealisasikan Agribisnis Sebagai
Penggerak Utama Perekonomian Negara. Centre Policy for Agro Studies
Paper on Panel Discussion. Jakarta American Club. Tuesday November 14,
2000.
Soetriono, 2002. Kontribusi Sektor Pertanian Melalui Agribisnis. Makalah disampaikan
pada Seminar Regional Program Pasca Sarjana, Universitas Brawijaya,
Malang, 5 Agustus, 2002.
127

Penanganan limbah industri hasil


pertanian1
Susijahadi

Pendahuluan
Limbah industri hasil pertanian adalah produk suatu proses industri
yang belum mempunyai nilai ekonomis, dibatasi ruang dan waktu. Beberapa
permasalahan limbah yang ada ini diantaranya (1) sikap hidup masyarakat yang
kurang menghargai limbah, (2) belum semua limbah hasil industri hasil
pertanian dimanfaatkan secara maksimal, (3) belum ada teknologi yang tepat
untuk dilaksanakan dimasyarakat, (4) adanya pencemaran lingkungan dari
limbah yang belum di manfaatkan, (5) adanya tanggapan bahwa pemanfaatan
limbah hanya memberikan nilai tambah yang kecil, dan (6) kurangnya
dorongan dari pemerintah kepada pengusaha untuk memanfaatkan limbah
industri hasil pertanian.
Beberapa bentuk limbah industri hasil pertanian yang sering dijumpai
yaitu dalam bentuk padat, cair dan gas. Ketiga bentuk limbah tersebut akan
memberikan konsekuensi didalam cara penangan limbah tersebut. Secara umum
ada 3 cara penangan limbah yaitu : cara biologis, khemis, fisis atau mekanis.
Penanganan limbah sendiri dapat dibedakan menjadi penanganan sekedar agar
limbah tersebut menjadi bentuk yang tidak membahayakan atau mengganggu
lingkungan dan penanganan limbah untuk dapat dimanfaatkan. Biasanya limbah
industri hasil pertanian dapat dimanfaatkan menjadi pakan, pangan dan energi
atau bahan bakar.
Pada dasarnya limbah dapat dibuang ditanah, di air atau diudara.
Apabila limbah yang terbuang limbahnya sedikit, dan lingkungan tempat
membuat limbah masih mampu menetralkan, maka limbah tersebut tidak akan
membahayakan lingkungan. Akan tetapi apabila jumlah limbah tersebut sudah
berada diambang batas (NAB) yang diperkenankan, maka akan memberikan
dampak yang merugikan dan membahayakan lingkungan disekitarnya,
termasuk manusia, hewan dan tanaman. Besar tidaknya dampak limbah
tergantung dari sifat dan jumlah limbah, serta daya dukung atau kepekaan
lingkungan yang menerimanya.
Apabila limbah tersebut memasuki lingkungan dan selanjutnya
menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan yang merugikan, maka

1
Makalah di sampaikan pada Pelatihan Kewirausahaan Siswa SMA, kerjasama LPPM
Unijoyo dengan SMA Negeri 1 Kamal dan SMA Negeri 3 Bangkalan.
128

limbah tersebut telah mencemari lingkungan. Secara umum pencemaran


lingkungan meliputi pencemaran tanah, air, dan udara. Ketiga pencemaran
diatas dapat disebabkan oleh masuknya limbah padat, cair maupun gas.
Karena pencemaran pada dasarnya disebabkan oleh adanya limbah
maka untuk mengatasi pencemaran diperlukan penanganan dan pengendalian
limbah. Penanganan dan pengendalian limbah merupakan masalah yang
semakin komplek karena semakin banyaknya jenis limbah yang komposisinya
semakin komplek. Masalah yang sering timbul dalam penanganan limbah
adalah masalah teknologi dan biaya operasi yang tinggi. Oleh karena itu perlu
suatu upaya pemilihan teknologi penangan limbah yang memiliki efektifitas
dan efisiensi yang tinggi sehingga cukup layak diterapkan.
Di Indonesia sudah beberapa dekade yang terakhir ini digalakkan suatu
upaya penanganan dan pengendalian limbah dalam rangka menanggulangi
pencemaran. Telah banyak berbagai media massa dan forum-forum diskusi
yang menyoroti masalah penanganan limbah. Demikian juga aspek legal berupa
peraturan-peraturan mengenai lingkungan dan penanggulangan pencemaran
telah banyak dibuat sebagai pedoman didalam penanganan dan pengendalian.
Akan tetapi sampai saat ini ternyata masih banyak limbah buangan
yang belum tertangani dengan baik dan tepat. Masih bangak terlihat limbah
padat terbengkalai dimana-mana sehingga menimbulkan bau busuk dan
perasaaan kotor yang sangat mengganggu pandangan mata. Di samping itu juga
masih banyak kasus industri hasil-hasil pertanian yang membuang limbah hasil
industrinya secara langsung ke sungai sehingga sangat mengganggu kesehatan
bagi manusia maupun terhadap kondisi mikro flora yang hidup di sungai
tersebut.

Limbah dan permasalahannya


Limbah padat merupakan suatu bentuk limbah yang terdapat
dilingkungan, dan masyarakat awam biasanya mengenal dengan nama sampah.
Bentuk, jenis, dan komposisi limbah biasanya sangat tergantung dari tingkat
budaya masyarakat serta kondisi alamnya. Buangan limbah industri hasil
pertanian biasanya mengandung bahan organik, padatan yang mengapung,
mengendap dan melarut, bahan gizi, asam, alkali, dan bahan beracun yang
sering kali memiliki suhu tinggi sehingga dapat menaikkan suhu air penerima.
Pembuangan bahan organik kedalam air akan menurunkan persediaan
oksigen yang terlarut dalam air. Kondisi ini akan berakibat terjadinya
perubahan mikroflora yang ada didalam air tersebut. Padatan yang mengapung
biasanya tidak terlihat dan dapat mempengaruhi sifat-sifat perairan alam seperti
pemindahan oksigen dan penetrasi cahaya kedalam air. Di samping itu juga
akan dapat mempengaruhi atau menghambat pertumbuhan vegetasi air yang
penting untuk kehidupan mikro flora yang ada. Bila kadar padatan tersuspensi
129

tinggi, maka untuk keperluan konsumsi manusia maupun proses industri


terlebih dahulu diperlukan perlakuan khusus. Padatan yang mengendap dapat
membentuk lapisan endapan yang terurai dan menghasilkan gas-gas yang
berbau dan lapisan mengapung dipermukaan air. Lapisan padatan juga
mempengaruhi kehidupan organisme alami yang hidup terikat pada dasar air.
Penetasan ikan juga akan terganggu oleh adanya padatan yang mengendap.
Sebaliknya apabila ada penambahan bahan gizi seperti pospor, nitrogen, dan
komponen-komponen kecil lainnya akan dapat mempercepat pertumbuhan
algae.
Perubahan suhu dalam air akan dapat mengganggu kehidupan yang ada
dalam air. Ikan dan organisme lain biasanya dapat hidup dengan baik dalam
kisaran suhu tertentu, apabila suhu kisaran terganggu ikan atau organisme yang
lain akan pindah tempat atau mati. Kadar asam dan alkali dari air limbah dapat
berpengaruh cukup kritis terhadap kualitas air penerima. Air limbah yang
masuk kedalam air sebaiknya dikendalikan sampai mencapai nilai keasaman
mendekati titik netral. Apabila fluktuasi keasaman cukup tajam dalam waktu
yang lama akan dapat merusak lingkungan akuatik.
Senyawa-senyawa yang beracun atau yang bersifat toksin lazim
dijumpai beberapa proses industri hasil pertanian yang pada umumnya akan
dibuang kedalam air. Hanya umumnya sedikit sekali limbah industri hasil
pertanian yang mengandung bahah yang beracun. Apabila bahan beracun
dibuang kedalam air maka kehidupan tumbuhan dan hewan akan terpengaruh
sehingga air menjadi tidak sesuai untuk tujuan konsumsi manusia.

Cara penanganan limbah industri hasil pertanian

Dalam Bentuk Cairan


Pada prinsipnya pengolahan air buangan industri adalah suatu usaha
agar ir buangan industri tidak membahayakan dan mencemari lingkungan. Air
yang digunakan untuk industri harus memenuhi beberapa persyaratan tertentu
disamping harus murah karena industri terutama industri kimia amembutuhkan
iar dengan jumlah besar , disatu pihak air asangat terbatas sehingga seringkali
harus memanfaatkan air buangan sebagai sumber air. Untuk menangani air
buangan industri yang jumlahnya sangat banyak biasanya harus diketahui jenis
dan jumlah zat pencemar yang ada kaitannya dengan usaha untuk mengurangi
akibat buruk yang ditimbulkan. Zat pencemar dalam air buangan industri
seperti telah disebutkan diatas dapat dikelompokkan menjadi yang mengapung,
melayang, dan yang larut. Zat-zat pencemar yang larut dalam air dapat
dikelompokkan menjadi garam-garam organik asam atau basa pembentuk busa,
mikro organisme dan zat kimia beracun. Biasanya bahan pencemar yang berasal
130

dari buangan air industri mengandung banyak bahan yang tidak dapat
diturunkan secara biologis.
Untuk setiap kelompok industri biasanya sudah dikenal zat
pencemarnya yang dinyatakan dengan parameter tertentu seperti (1) pabrik
pulp dan kertas, pencemar yang penting berupa BOD, COD, bahan pelarut,
bakteri, sisa cairan solfit dan ammonia, (2) pabrik amonia zat pencemar yang
terpenting yaitu asam, nitrogen serta minyak, dan (3) pabrik semen secara basah
zat pencemar yang paling penting berupa padatan yang larut, padatan tidak
larut, asam dan panas.
Untuk menghindari pencemaran lingkungan, maka air limbah industri
yang akan dibuang harus dinetralkan terlebih dahulu. Penangan air buangan
industri pada prinsipnya merupakan kombinasi dari proses-proses dasar dengan
urutan (1) menghilangkan zat padat yang melayang dengan cara penyaringan
atau pengendapan, (2) menghilangkan minyak, lemak, atau zat padat berbentuk
lemak dihilangkan dengan cara flotasi yang dikombinasi dengan penambahan
zat kimia, (3) menghilangkan partikel koloid dengan menambah koakulan
kimia dan elektrolit sehingga dapat diendapkan dan disaring, (4) menetralkan
kelebihan asam atau basa dengan menambahkan bahan kimia, (5)
menghilangkan zat-zat pelarut dengan pengendapan bahan kimia dan atau
proses biologi, (6) menghilangkan zat-zat pelarut dengan cara pengendapan
secara kimia dan atau proses biologis, (7) menghilangkan warna dengan cara
penambahan zat kimia yang diikuti dengan pengendapan atau penyaringan dan
(8) mengoksidasi kembali air buangan.

Dalam Bentuk Padatan


Limbah padatan industri hasil pertanian mengandung selulosa seperti
bagase yang merupakan hasil limbah pengolahan tebu, Bahan limbah yang
mengandung selulosa pada prinsipnya dapat dikonversi dan dimanfaatkan
menjadi bentuk baru yang mempunyai nilai ekonomi lebih tinggi. Apabila
berbicara mengenai pemanfaatan limbah, pada prinsipnya bahwa limbah dapat
dikonversi secara biologis, khemis dan fisis atau mekanis. Dengan
menggunakan kegiatan mikroorganism limbah padatan dapat dimanfaatkan
menjadi pakan, pangan, dan enersi atau bahan bakar.
Untuk pemanfaatan limbah padatan yang mengandung selulosa dengan
memanfaatkan mikroorganisma dapat dimanfaatkan sebagai sirup, dan protein
sel tunggal. Pemecahan selulosa merupakan proses pemecahan senyawa
komplek polinir anhidroglukosa kedalam molekul-molekul yang lebih kecil
atau senyawa yang lebih sederhana. Pemecahan ini dapat menghasilkan
oligosakarida, trisakarida, dan disakarida seperti selobiosa dan selobiosa,
monomer glokosa atau produk pemecahan yang lain seperti alkohol, aldehida,
asam-asam dan keton atau pada akhirnya akan menghasilkan asam arang dan
air.
131

Ada beberapa cara yang mungkin dapat digunakan untuk


mengkondisikan sehingga akan terjadi pemecahan selulosa oleh enzim selulase.
Proses yang dikehendaki adalah pemecahan selulosa dengan menggunaka
energi yang rendah, dapat menghasilkan produk akhir glukosa dan sebagian
besar selulosa dapat didegradasi. Pemecahan selulosa secara biologis biasanya
menggunakan beberapa enzim selulase sebagai pemecah, sedangkan proses non
biologis biasanya menggunakan cara fisis atau khemis.

Produksi glukosa dari selulosa


Glokosa merupakan produk akhir utama dari suatu proses hidrolisa
selulosa. Ada beberapa proses yang sudah dikembangkan untuk menghidro
selulosa baik secara asam maupun enzimatis. Bentuk komersial yang layak
digunakan adalah proses hidrolisa asam. Proses hidrolisa selulose menggunakan
enzim akan menghasilkan glukosa yang lebih homogen dan tidak mengandung
produk degradasi glukosa beraldeht atau ketonik. Kelebihan lain dari proses
pemecahan glukosa secara enzimatik yaitu bahwa pada proses ini hanya
memerlukan suhu dan tekanan rendah serta tidak menghasilkan limbah asam.
Kelemahan hidrolisa dengan enzim yaitu kecepatan hidrolisa yang rendah serta
membutuhkan tempat yang lebih luas.

Pertimbangan Non Teknis Didalam Penanganan


Limbah
Apabila akan melaksanakan proyek pemanfaatan limbah perlu
dipertimbangkan faktor kesehatan umum, ekonomis, dan budaya masyarakat.
Jadi untuk melaksanakan proyek pemanfaatan limbah tidak cukup hanya
mempertimbangkan factor sumber fisis dan kebutuhan. Agar implementasi
suatu teknologi yang baru dapat terlaksanya dengan baik, terlebih dahulu agar
supaya dilaksanakan dengan mempertimbangkan benefit atau keuntungan dan
teknologi yang akan digunakan harus disesuaikan dengan kondisi lingkungan.
Pemilihan teknologi baru biasanya dipetik teknologi yang
menggunakaan peralatan serta tenaga akademik dan penggunaan modal yang
intensif. Oleh karena itu harus dipertimbangkan juga adanya dorongan
kelembagaan yang terkait dengan pelatihan, pemeliharaan dan pemantauan
pelaksanaan teknologi tersebut. Tidak kalah pentingnya adalah koordinasi
dengan kelompok-kelompok yang dapat memberikan dorongan pelaksaan
implementasi teknologi tersebut.
132

Daftar Bacaan
Susihadi, 1998. Teknologi dan pemanfaatan limbah. Diktat Kuliah. Jurusan teknologi
hasil pertanian, fakultas teknolgi pertanian UNEJ, Jember
Harjo, S. , M.S., Indrasti, dan T. bantacut, 1989. Biokonfersi : Pemanfaatan limbah
industri pertanian, Bahan pengajaran. Dep. P dan K Dirjen Dikti, PAO pangan
dan gizi IPB Bogor.
Mustado, D. E. G. Said, 1988 Penanganan dan pemanfaatan limbah padat, PT mediatama
sarana perkasa, Jakarta.
Winarno, FG, a. F.S. Budiman, T silitonga, B. Suwardi, 1985. Limbah pertanian.
Monografi pertama, kator menteri muda urusan peningkatan produksi pangan,
Jakarta
133

Langkah penyusunan evaluasi diri


untuk akreditasi program studi1
Susijahadi
Evaluasi adalah upaya sistimatik, untuk menghimpun dan mengolah
data (fakta dan informasi) yang handal dan syhih, dari mana dapat disimpulkan
kenyataan, yang dapat digunkan sebagai landasan tindakan manajemen untuk
mengelola kelangsungan lembaga atau program.
Oleh karena itu kemampuan untuk melaksanakan evaluasi adalah suatu
faktor penting untuk semua institusi akademik (perguruan tinggi, fakultas,
jurusan/departemen) dan program-program yang ada di dalam institusi tersebut
(program sudi, program penelitian, laboratorium, dsb). Tanpa kemampuan
untuk melakukan evaluasi, tidak akan ada peningkatan kualitas yang dapat
dicapai.
Dari banyak evaluasi yang dilaksanakan di lingkungan pendidikan
tinggi, evaluasi diri dan evaluasi kesejawatan (peer review) adalah
model/skema evaluasi yang paling banyak diadopsi dan direkomendasikan
untuk dilaksanakan dalam mengevaluasi hasil proses akademik, khususnya
pendidikan.

Konsep Evaluasi Diri


Salah satu model evaluasi yang penggunaannya cukup luas adalah
model pencapaian sasaran atau concruency model. Pada dasarnya model ini
adalah proses kuantifikasi (pengukuran secara kuantitatif). Yang
membandingkan prestasi yang telah dicapai dengan tujuan yang diinginkan.
Kelemahan dari model ini adalah sulitnya untuk mengukur secara tepat dampak
(out comes/impact) dari suatu proses pengembangan, namun hal ini dapat
dilakukan antisipasi.
Secara umum, penggunaan model ini didasarkan pada penentuan
tujuan/sasaran yang jelas dan terkait erat dengan penetapan “Kebutuhan
minimum yang dipenuhi” (Minimum Necessary requirement / NMR).
Penetapan NMR untuk masukan (input), proses dan keluaran (output) yang
menjadi target evaluasi.

1
Makalah disampaikan di hadapan Task Force akreditasi program studi di
Universitas Trunojoyo
134

Objective (Tujuan)
Tujuan (objective) adalah sesuatu yang jelas dan spesifik
menggambarkan keinginan yang akan dicapai pada akhir program.
Pengambilan keputusan dalam menetapkan tujuan diuraikan secara rinci dan
jelas, bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Tujuan perencanaan harus
dirumuskan secara hati-hati dan dengan bijaksana.
Tujuan dapat dikatakan baik apabila memenuhi kriteria sebagai berikut :
1. Jelas untuk semua pihak yang berkepen-tingan
2. Hasil dapat dicapai, harus bisa diamati dan diukur atau dibuktikan.
3. Hasilnya merupakan “Sesuatu yang berharga” (something valuable) bagi
semua pihak yang berkepentingan, dan
4. Realistis, karena ditetapkan berdasarkan sumberdaya yang dapat
disediakan dan kapasitas yang dimiliki.
Tujuan yang realistik ditetapkan berdasarkan perimbangan antara
harapan yang ingin dicapai dengan kepuasan dan motivasi untuk mencapai
tujuan tersebut, dari semua pihak terlibat.

Kebutuhan minimal yang harus dipenuhi (Minimum Necessary


Requirement/MNR)
MNR adalah kebutuhan minimal dalam wujud sumber daya,
kemampuan, tata aturan, peraturan, dan dukungan dari masyarakat dimana
institusi berada, yang harus tersedia dan dipenuhi agar dapat menjamin
keberhasilan dari suatu program.
Setiap komponen tujuan, masukan, proses dan keluaran mempunyai
MNR dan bisa datang dari dalam maupun dari luar organisasi. Pengamatan
terhadap MNR ini sering dilupakan daalam melakukan evaluasi diri, di samping
data dan informasi. Perlu disadari sepenuhnya bahwa aturan, implementasi
program dan produk yang dihasilkan dari Institusi Pendidikan Tinggi dan
program-programnya sangat banyak dipengaruhi oleh MNR tersebut.

Masukan (Input)
Masukan (Input) adalah berbagai hal yang dapat dan akan digunakan
dalam proses untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam arti sempit,
masukan (input) meliputi juga (1) sumber daya yang dapat diukur (tangible),
seperti dana, tenaga kerja, tanah, bangunan, peralatan, perpustakaan, dsb, dan
(2) sumberdaya tidak dapat diukur (intangible) seperti pengetahuan, sikap,
kreativitas, kecerdikan, dsb.
135

Proses (Process)
Proses adalah usaha untuk mendayagunakan sumberdaya yang tersedia (
manusia, alat, sistem, informasi, finansial, dsb) untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Pendistribusian, pengalokasian dan interaksi antar sumberdaya
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses itu sendiri. Pengumpulan
data, informasi dan fakta merupakan hal yang sangat penting dalam proses
pembuatan Laporan Evaluasi Diri. Manajemen sumberdaya yang baik, sangat
penting karena akan menghasilkan efisiensi dalam pemanfaatan sumberdaya
dan peningkatan produktivitas dari proses tersebut.
Pelaksanaan evaluasi diri secara berkala dan berkesinambungan dapat
menjadikan suatu kebiasaan dalam manajemen sumberdaya dan pada akhirnya
akan menjadi suatu tradisi yang baik dalam pengelolaan dan pengembangan
institusi. Apabila tradisi sudah terbangun, maka usaha untuk perbaikan proses
dan mencari berbagai alternatif proses yang lebih baik akan sangat mudah
dilakukan. Pada kondisi yang sebaliknya dan ekstrem,dimana kebiasaan yang
baik tidak terbentuk, maka usaha pengumpulan data, informasi dan fakta dalam
rangka penyusunan laporan evaluasi diri, akan dihambat dan bahkan dihentikan
karena dianggap sebagai ancaman bagi organisasi dan budaya yang ada di
dalam organisasi tersebut.

Keluaran (output) dan Dampak (outcome)


Keluaran adalah prestasi dan hasil akhir dari suatu proses. Pada evaluasi
diri yang didasarkan pada pencapaian tujuan, hasil keluaran harus menjadi
fokus perhatian. Dalam hal ini, keluaran adalah hasil dari proses yang
direncanakan dan juga merupakan hasil dari manajemen dan pengendalian
proses.
Namun, terlalu banyak perhatian pada hasil keluaran (output), dapat
mengurangi perhatian pada dampak (outcome) yang dihasilkannya dan hal ini
merupakan konsekwensi naiknya resiko pada keberlanjutannya institusi
pendidikan tinggi atau programnya di masa datang. Pada keadaan seperti ini,
harus ada pertimbangan kembali secara hati-hati mengenai titik berat perhatian
tersebut di atas.
Dampak (outcome) juga merupakan bagian dari hasil proses yang
diharapkan maupun yang tidak diharapkan dalam mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Hasil proses yang tidak diharapkan, umumnya terjadi di luar kendali
dari suatu perencanaan, namun melakukan suatu perencanaan, harus diantisipasi
akan terjadinya hal tersebut.
136

Indikator Kinerja dan Kualitas


Di awal suatu rencana evaluasi diri, ukuran-ukuran yang akan
digunakan untuk menilai kinerja (perfomance) dan capaian kualitas harus
ditetapkan terlebih dahulu daan ukuran-ukuran tersebut disebut indikator
(indicator). Indikator kinerja (performance indicator) adalah data atau fakta
empiris yang dapat berupa data kualitatif atupun kuantitatif, yang menandai
capaian dari perkembangan suatu institusi (seperti jurusan, fakultas,dsb) dalam
mencapai sasaran hasil yang telah ditetapkan.
Dalam model evaluasi diri, indikator kinerja dapat digunakan untuk
menggambarkan efisiensi, produktivitas dan efektivitas dan faktor-faktor yang
dapat menunjukkan kesehatan organisasi (organization health) seperti:
akuntabilitas, kemampuan inovatif dalam konteks menjaga keberlangsungan
institusi dan kualitas yang telah diraihnya, dan suasana akademis (academic
atmosphere). Dengan kata lain, kualitas dicerminkan dengan konvergensi dari
seluruh indikator tersebut.

Efesiensi
Efesiensi adalah kesesuaian antara masukan (termasuk sumberdaya)
dengan proses yang dilaksanakan. Tingkatan efesiensi dapat diperlihatkan
dengan bagaimana peran dan kinerja manajemen sumberdaya dalam
pelaksanaan proses tersebut. Tingkat efesiensi dapat dihitung berdasarkan
perbandingan antara sumberdaya yang telah dimanfaatkan dengan sumberdaya
yang dapat/ harus digunakan dalam melaksaanakan proses tersebut. Semakin
kecil hasil perbandingan tersebut, maka semakin kecil tingkat efisiensinya.
Penilaian tingkat efisiensi suatu aktivitas di institusi pendidikan tinggi, sulit
diukur dan bahkan mungkin tidak bisa diukur, terutama apabila tidak adanya
standarisasi proses.

Produktivitas
Produktivitas adalah kesesuaian antara proses dengan keluaran yang
dihasilkan tingkat produkvitas umumnya diperlihatkan dengan perbandingan
jumlah keluaran yang dihasilkan dari suatu proses dengan memanfaatkan
suberdaya dengan standar tertentu. Namun perlu diperhatikan, bahwa
perubahan proses dapat mempengaruhi tingkat produktivitas.

Efektivitas
Efektivitas adalah kesesuaian antara tujuan atau sasaran dengan
keluaran yang dihasilkan. Tingkat efektivitas dapat diperhatikan dengan
membandingkan tujuan dengan hasil dari proses (termasuk dampak yang
dihasilkan)
137

Usaha untuk menentukan tingkat efektivitas secara kuantitatif dalam


proses evaluasi diri dilingkungan pendidikan tinggi sangat sulit, karena tujuan
atau sasaran yang ditetapkan pada pendidikan tinggi sering tidak dinyatakan
secara kuantitatif.

Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah tingkat pertanggung jawaban yang menyangkut
bagaimana sumberdaya yang diterima oleh institusi pendidikan tinggi tersebut
dimanfaatkan dalam upaya dan kegiatan untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Pertanggung jawaban menyangkut tingkat efiensi, kesesuaian
dengan norma dan peraturan yang berlaku umum.
Berbeda dengan auditabilitas, akuntabilitas mempunyai arti yang
lebih luas karena menyangkut hal-hal sebagai berikut :
1. Kesesuaian antara tujuan yang ditetapkan oleh institusi pendidikan tinggi
dengan falsafah, moral dan etika yang dianut secara umum dalam
masyarakat.
2. Kesesuaian antara tujuan yang ditetapkan dengan pola kegiatan sivitas
akademika serta hasil dan dampak yang dicapai.
3. Keterbukaan terhadap semua pihak yang berkepentingan (stakeholders)
mengenai penyelenggaraan dan pelaksanaan kegiatan fungsionalnya
seperti pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
4. Pertanggungjawaban pemanfaatan sumber daya dalam upaya pencapaian
tujuan
5. Aktualisasi asas otonomi dan kebebasan akademik, agar tidak
disalahgunakan dan menyimpang dari pengaturan dan kesepakatan yang
ditetapkan sebagai rambu-rambu.
6. Kesadaran para anggota sivitas akademika bahwa aktualisasi perilaku dan
tingkah lakunya yang tidak akan mengganggu pelaksanaan kegiatan
fungsional lembaga dan juga pihak masyarakat pada umumnya.

Kemampuan Inovatif
Kemampuan inovatif adalah tingkat fleksibilitas institusi
(jurusan/depatemen dan fakultas) atau programnya (program studi, program
penelitian, dsb) untuk bereaksi terhadap perubahan sosial dalam masyarakat. Di
dalam merencanakan dan implementasi aktivitas fungsionalnya, institusi
pendidikan tinggi harus selalu memperhatikan dan mengacu pada perubahan–
perubahan yang terjadi di masyarakat.
138

Setiap perubahan yang terjadi di masyarakat akan berdampak pada


institusi pendidikan tinggi atau program-program yang sedang
dilaksanakannya. Apabila institusi pendidikan tinggi tidak mempunyai
kemampuan inovasi atau tidak mampu mengakomodasi maupun mengantisipasi
perubahan yang terjadi di masyarakat, maka institusi tersebut akan ditinggalkan
atau ditolak kehadirannya oleh masyarakat.

Suasana Akademik
Secara sederhana, suasana akademik diartikan sebagai tingkat kepuasan
dan motivasi dari sivitas akademika dalam menyelesaikan tugasnya untuk
mencapai tujuan institusi.
Banyak faktor yang perlu dipertimbangkan untuk menjelaskan
mengenai suasana akademik. Pada tingkat individu, faktor seperti tujuan,
aspirasi dan tata nilai yang dimiliki individu, sangat memegang peranan
penting. Hal yang perlu diperhatikan dalam mengelola staf, adalah bagaimana
membuat cara dan suasana kerja yang didasarkan atas keterbukaan, kejelasan
dan saling pengertian, yang pada akhirnya akan dapat menghasilkan komitmen
yang tinggi untuk menyelesaikan pekerjaannya.
Kesehatan organisasi (organization health), termasuk di dalamnya
akuntabilitas, kemampuan inovasi dan kemampuan memelihara sistem, akan
dapat ditemukan, apabila dilakukan penelitian (survei) dengan mewawancarai
jajaran manajemen dan staf akademik guna melacak kondisi :
1. Hubungan antar individu
2. Kesadaran untuk mencapai sasaran hasil
3. Manajemen sistem
4. Suasana kerja, dan
5. Kesadaran untuk meningkatkan mutu.

Langkah-langkah Umum Penyusunan Laporan


Evaluasi Diri
Kualitas Laporan Evaluasi Diri sangat ditentukan langkah-langkah yang
dilaksanakan dalam proses penyusunan laporan tersebut. Pada dasarnya, proses
evaluasi diri mengikuti alur pikir seperti yang diperlihatkan pada gambar 2
dengan menggunakan pendekatan 5i Principles (Prinsip 5i), yaitu initiation,
idealism, information, identification dan inception, dalam menentukan masa
depan yang diinginkan.
139

Penggunaan pendekatan 5i Principles pada umumnya dilaksanakan


secara bersamaan (simultan) dengan mempertimbangkan banyak faktor.
Prakarsa/inisiasi (initiation) untuk membuat rencana pengembangan suatau
institusi sampai terbentuknya rencana tersebut, harus secara sungguh-sungguh
mengikuti beberapa prosedur/langkah-langkah yang akan diuraikan di bawah
ini. Namun demikian, tidak ada algoritma yang spesifik untuk pembuatan
rencana pengembangan, sejak adanya prakarsa (inisiasi) sampai terbentuknya
rencana yang diinginkan.
Kerangka pikir, yang dapat digunakan sebagai salah satu alternatif dan
acuan yang bermanfaat dalam menyusun suatu rencana, adalah sebagai berikut
ini:
1. Setiap rencana, pasti dihasilkan dari suatu prakarsa (inisiasi) yang terdiri
atas pemahaman terhadap beberapa persyaratan untuk pembuatan suatu
rencana pengembanagan yang diinginkan. Dalam hal ini, beberapa aktor
kunci (key actors/key persons), pada umumnya adalah pimpinan institusi,
dapat memberikan kontribusi yang visioner (impian masa depan) dalam
pembuatan suatu rencana yang diinginkan.
2. Suatu rencana adalah suatu pengintegrasian antara gagasan (idea) dengan
idealisme (idealism). Hal ini terjadi, karena rencana adalah suatu alat
(tools) pengambilan keputusan yang digunakan untuk memutuskan
implementasi atau pelaksanaan pembangunan masa depan yang
diinginkan.
3. Kualitas suatu rencana sangat ditentukan oleh adanya data dan informasi
yang relevan. Data dan informasi ini akan dianalisa, disimpulkan dan
digunakan untuk penyusunan rencana pengembangan.
4. Hasil evaluasi dan analisa akan menjadi dasar/landasan untuk identifikasi
isu-isu strategis, permasalahan atau program-program unggulan dan
berbagai hal yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam
menentukan tujuan dan sasaran pengembangan.
5. Pada akhir proses pembuatan rencana pengembangan adalah pembuatan
rencana awal (inception of plan) yang sifatnya global, ringkas dan
nantinya merupakan ikhtisar/rangkuman dari jabaran rencana
pengembangan yang kompleks dan rinci.
Apabila Laporan Evaluasi Diri yang dihasilkan telah diterima oleh
semua pihak yang terkait dan disetujui untuk ditindaklanjuti, maka rencana
awal tersebut akan diuraikan (di-breakdown) lebih rinci menjadi aktivitas-
aktivitas yang langsung dapat dilaksanakan pada tingkat operasional.
140

1. Kinerja Institusional, karena Indikator Kinerja Institusional diperlukan


untuk melakukan analisa jarak (Gap Analysis) antara kondisi saat ini
dengan kondisi masa depan yang diinginkan.
2. Conclusion adalah pembuatan rangkuman dan kesimpulan dari hasil
analisa situasional.
3. Strategi Move dapat diartikan sebagai kegiatan identifikasi berbagai
strategi yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan Institusi yang telah
ditetapkan. Dari banyak strategi yang telah berhasil di identifikasi, harus
ditetapkan, strategi mana yang diambil, sebaiknya dilakukan Pimpinan
Institusi bersama task force dan semua staf institusi
4. Implementation Plan dapat diartikan sebagai penjabaran dari strategi yang
dipilih menjadi aktivitas-aktivitas yang dapat dilaksanakan di tingkat
operasional. Tujuan dan indikator kinerja untuk masing-masing aktivitas
terebut harus selalu mengacu pada Tujuan Institusi dan Indikator Kinerja
Insitusional. Kegiatan ini dapat dilakukan oleh task force.
Kegiatan pengumpulan dan pengolahan data, dapat dilakukan dengan
tahapan seperti yang terlihat pada gambar 4, dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Identifikasi data dan informasi yang dibutuhkan
Data dan informasi yang dibutuhkan, untuk menjelaskan mengenai
Struktur Laporan Evaluasi Diri. Namun demikian, perlu dicermati lebih teliti
bagian tersebut, karena data dan informasi yang dibutuhkan tidak hanya
tercantum pada Lampiran Panduan Penyusunan Laporan Evaluasi Diri, namun
juga tersirat penjelasan pada Struktur Laporan Evaluasi Diri.
Selain identifikasi data dan informasi yang dibutuhkan, diperlukan juga
identifikasi dimana data dan informasi tersebut bisa didapatkan (sumber data)
2. Validasi data dan informasi
Data dan informasi yang didapatkan harus di validasi agar data dan
informasi yang didapat tersebut dapat diyakini kebenarannya.
3. Pengelompokan data dan informasi
Data dan Informasi yang didapatkan dan telah diyakini kebenarannya,
maka di kelompok-kelompokkan, sehingga mudah untuk menginterpretasikan
dan menganalisanya.
4. Cek konsistensi data dan informasi
Setelah dikelompok-kelompokan, harus di cek konsistensinya antara
kelompok data yang satu dengan yang lain. Apabila ada ketidak-konsistenan
antar kelompok data tersebut, maka harus dilakukan pengumpulan data ulang.
141

Ketidak-konsistenan data bisa terjadi, diantaranya akibat (1) cara pengumpulan


data yang tidak sistematik dan tidak teliti, (2) proses validasi data tidak
dilakukan, (3) prosedur pengumpulan data yang dilakukan oleh institusi dimana
data diperoleh (institusi sumber data), tidak dilakukan dengan baik dan benar.
Apabila yang terjadi akibat dari butir (1) tersebut di atas, maka pengumpulan
data harus diulang dengan menggunakan metode yang lebih baik.
5. Analisa awal atau interprestasi tabel
Pada dasarnya data hanya ada 2 kategori, yaitu (1) data profil (profile
data) dan (2) data kinerja (performance data). Data profil adalah data yang
diambil saat itu, sedangkan data kinerja adalah data yang diambil dalam kurun
waktu tertentu. Dengan perkataan lain, data kinerja adalah terdiri atas sederetan
data profil yang disusun berdasarkan waktu pengambilan data profil tersebut.
Untuk data profil, interpretasi dilakukan dengan membandingkan antara
data tersebut dengan indikator kinerja institusional yang dapat dianggap standar
yang ingin dicapai. Kesimpulan dari interpretasi tersebut, umumnya adalah
gradasi buruk sampai dengan baik. Dikatakan baik, apabila data profile sesuai
atau melebihi standar yang diacu, demikian juga sebaliknya. Interpretasi adalah
sejauhnya jarak atau gap antara data profil dengan standar yang diacu, demikian
juga sebaiknya. Intepretasi adalah sejauhnya jarak atau gap antara data profil
dengan standar.
Untuk data kinerja, yang harus dicermati adalah kecenderungan yang
terjadi dalam kurun waktu tertentu. Perlu di prediksi kelanjutan kecendeungan
tersebut dimasa mendatang.
Setelah tahapan ini selesai dilaksanakan, baru melakukan SWOT
Analysis dan Root –Couse Analysis.

RAISE
Pada butir A tersebut di atas, telah disinggung mengenai RAISE, namun
kurang dijelaskan secara lebih rinci dan pada bagian ini akan dijelaskan
mengenai makna RAISE secara lebih jelas.
Pada dasarnya, RAISE merupakan isu strategis untuk menjaga
keberlangsungan dan pengembangan institusi pendidikan tinggi. Sehingga,
apabila RAISE ini tidak diperhatikan, tidak ditangani dengan baik dan
diabaikan, maka keadaan dan kinerja institusi pendidikan tinggi tersebut akan
sangat menurun, bahkan terancam keberadaannya. Penggunaan RAISE untuk
menilai program pendidikan di Institusi Pendidikan Tinggi sudah mulai sejak
tahun 1995.
Untuk dapat menjelaskan RAISE, perlu dipahami terlebih dahulu
bagaimana cara pengelolaan institusi pendidikan tinggi yang normatif. Agar
142

memudahkan dalam pemahaman, maka pada gambar 5 dibawah ini akan


digambarkan secara skematis pola manajemen pendidikan tinggi dan
keterkaitannya dengan RAISE. D bawah ini akan dijelaskan lebih rinci apa
yang dimaksudkan dengan RAISE, sebagai berikut :
1. Relevansi (Relevance)
Relevansi merupakan cerminan dari tingkat sensitivitas institusi
pendidikan tinggi terhadap lingkungan di mana institusi tersebut berada.
Tingkat sensitivitas dapat dilihat dari berbagai aktivitas yang dilakukan oleh
institusi tersebut dalam memberikan respon pada lingkungannya dan sangat
bergantung pada disiplin atau bidang keilmuan, bentuk-bentuk keterkaitan dan
kapasitas yang dimiliki oleh institusi tersebut. Untuk program pendidikan,
umumnya, relevansi ditinjau dari 2(dua) sisi yaitu (1) sisi mutu lulusan dan (2)
keterserapan lulusan tersebut pada segmen dunia kerja yang menjadi target.
Untuk mendapatkan data dan informasi yang terkait dengan tingkat relevansi,
maka perlu dilakukan (1) pemantauan secara berkesinambungan lulusan,
dengan studi pelacakan lulusan (tracer study) dan (2) membangun hubungan
yang erat dan berkesinambungan dengan pengguna lulusan (employer), seperti
industri, pengusaha, pemerintah.
2. Suasana Akademik (Academic Atmosphere)
Suasana akademik adalah tingkat kepuasan dan motivasi dari sivitas
akademika dalam menyelesaikan tugasnya untuk mencapai tujuan
institusi.Suasana akademik yang kondusif merupakan persyaratan yang mutlak
untuk terjadinya suatu interaksi yang sehat anatara dosen dan mahasiswa, antar
sesama dosen, dan antar sesama mahasiswa.
Suasana akademik yang sehat akan menjamin terjadinya kepuasan dan
memacu motivasi dan kreativitas di kalangan sivitas akademika dalam
menjalankan kegiatan akademik yang pada gilirannya akan menghasilkan
produk akademik yang berkualitas. Suasana akademik yang kondusif ditandai
antara lain oleh terjadinya interaksi yang optimal antara dosen dan mahasiswa
baik di dalam maupun di luar ruang kuliah dan laboratorium, para dosen
seyogyanya merupakan model panutan untuk penegakan nilai-nilai dan norma
akademik, kebebasan mimbar, dan sistem pengambilan keputusan yang
didasarkan atas azas pemilihan yang terbaik (merit system), adil dan transparan.
Untuk konstitusi pendidikan tinggi yang mendidik calon tenaga
profesonal, suasana akademik yang kondusif ditandai dengan kedisplinan para
sivitas akademika dalam mengikuti prosedur Baku untuk Operasi (Standart
Operation Procedures) yang telah ditetapkan, seperti penggunaan peralatan
yang terkait dengan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di laboratorium,
dan kemampuan serta kemahiran sivitas akademika dalam menggunakan alat-
alat keadaan darurat seperti pemadam kebakaran, dan sebagainya yang sesuai
dengan standar keselamatan di industri terkait.
143

3. Manajemen Internal dan Organisasi (Internal Management &


Organization)
Banyak aspek yang berkaitan dengan upaya peningkatan kualitas
penyelenggaraan program pendidikan yang tidak membutuhkan sumberdaya
yang mahal. Komitmen untuk meningkatkan sistem manajemn sumberdaya
yang mahal. Komitmen untuk meningkatkan sistem manajemen dan organisasi
yang mengarah pada suatu penyelenggaraan program pendidikan yang efektif
dan efisien merupakan salah satu contoh upaya yang dimaksud.
Termasuk di antaranya adalah upaya peningkatan kinerja dan motivasi
di kalangan staf, pembenahan sistem perencanaan dan penganggaran yang
mencerminkan prioritas, pengembangan sistem dan mekanisme pengawasan
internal dan evaluasi, sistem prosedur dan pengambilan keputusan yang efisien,
pengurangan birokrasi, serta kiat-kiat yang menjamin terjadinya pengelolaan
institusi yang transparan dan pemanfaatan sumber daya yang efisien dan efektif.
4. Keberlanjutan (Sustainability)
Sebagai salah satu isu strategis dalam pengmbangan institusi pendidikan
tinggi, pada dasarnya keberlanjutan terdiri atas 3 (tiga) yang perlu mendapatkan
perhatian,yaitu (1) aspek keberlanjutan yang menjamin eksistensi institusi, (2)
aspek keberlanjutan yang menjamin tingkat kualitas yang telah dicapai melalui
program pengambangan dan (3) aspek keberlanjutan atas sumber daya yang
telah diadakan (invested resources).
Aspek keberlanjutan yang menjamin eksistensi institusi, diperlihatkan
dari dana operasional yang berhasil didapatkan dari berbagai sumber, seperti
dari masyarakat (SPP, sumbangan, dsb), pemerintah (DIK, DIP, dsb), industri,
dsb. Aspek keberlanjutan yang menjamin tingkat kualitas diperlihatkan dari
seberapa banyak praktek-praktek yang baik (good practices) yang diadopsi
untuk dilaksanakan pada pelaksanaan kegiatan yang bersifat rutin dan
berkesinambungan.
Sedangkan aspek keberlanjutan atas sumber daya yang diadakan,
diperlihatkan dari usaha yang dilakukan oleh instutusi tersebut dalam
memelihara dan mempertahankan sumber daya.
5. Efisiensi dan Produktivitas ( Efficiency and Productivity)
Secara sederhana efisiensi dapat diartikan sebagai tingkat kehematan
dalam pemanfaatan sumber daya, sedangkan produktivitas diartikan sebagai
tingkat kemapuan untuk menghasilkan keluaran sesuai dengan masukan dan
proses yang ditetapkan . Tentu saja perlu juga dicatat bahwa efisiensi dan
produktifitas tidak dapat dipisahkan dengan konsep bahwa keluaran yang
dihasilkan haruslah memenuhi baku mutu yang diharapkan oleh pihak
pengguna keluaran tersebut.
144

Beberapa contoh aspek yang terkait dengan efisiensi dan produktifitas


antara lain adalah penyelesaian program akademik yang tepat waktu, masa studi
yang sesuai dengan masa kurikulum, minimalisasi angka drop out, peningkatan
kualitas mahasiswa baru, dll. Disamping itu optimalisasi pemanfaatan
sumberdaya (cost mahasiswa), sumber daya fisik (tingkat utilisasi ruangan , dan
peralatan), maupun sumber daya uang (penekanan unit cost) juga merupakan
aspek yang sangat relevan dengan efisiensi.

Struktur evaluasi diri


Evaluasi diri adalah diskripsi, analisis dan refleksi mengenai keadaan,
kinerja, dan perangkat pendidikan suatu program studi, sebagai hasil suatu
kajian dan assesment yang mendalam dan bersifat internal. Pada prinsipnya
evaluasi diri disusun secara komprehensif, lengkap, sistematis dan mudah
dipahami sehingga pembaca dapat mengkaji dan memanfaatkan laporan
tersebut seperti apa yang dimaksudkan oleh penyusunnya.
Laporan evaluasi diri terutama digunakan oleh perguruan tinggi dan
program studi antara lain dalam bentuk profil yang komprehensif, perencanaan
dan perbaikan program studi secara sinambung, penjaminan mutu internal
perguruan tinggi dan program studi serta untuk menyiapkan evaluasi eksternal
atau akreditasi.
Evaluasi diri biasanya diawali dengan rangkuman eksekutif, yang
merupakan singkatan isi laporan lengkap evaluasi diri, dan dimaksudkan untuk
memberikan gambaran menyeluruh, jelas, singkat, sehingga si pembaca
laporan dapat menangkap apa yang dilaporkan, tanpa membaca keseluruhan
laporan nlengkap. Oleh karena itu evaluasi diri yang terkait dengan akreditasi
program studi disusun sebagai berikut :
Judul Laporan
• Kata pengantar
• Rangkuman eksekutif
• Susunan tim evaluasi diri beserta diskripsi tugasnya
• Daftar isi
• Deskripsi SWOT setiap komponen evaluasi diri
1. Jati diri, visi, misi, sasaran dan tujuan
2. Kemahasiswaan
3. Dosen dan tenaga pendudung
4. Kurikulum
5. Sarana dan prasarana
6. Pendanaan
7. Tata pamong
8. Pengelolaan program
9. Proses pembelajaran
145

10. Suasana akademik


11. Sistem informasi
12. Sisem jaminan mutu
13. Penelitian, publikasi, tesis, dan pengabdian pada masyarakat
14. Lulusan dan keluaran lainnya
• Analisis SWOT program studi secara keseluruhan merujuk kepada
diskripsi SWOT setiap komponen.
• Referensi
• Lampiran-lampiran

Daftar Bacaan
Direktorat Jnderal Pendidikan Tinggi, Depdiknas RI, 2005. Panduan penyusunan
proposal program hibah kompetisi, Tahun 2006, Depdiknas, jakarta
Badan Akreditasi Nasional Depdiknas RI, 2002 Pedoman Evaluasi Diri Program Studi,
Depdiknas, Jakarta
146

KEBENARAN ILMIAH DAN CARA


MENDAPATKANNYA1
Ika Rochdjatun Sastrahidayat

Pendahuluan
Dalam hidup sebenarnya manusia senantiasa mencari suatu nilai (value)
yang akan menjadikan dirinya itu berharga (nilai guna) atau tidak, nilai tersebut
bersifat universal dan bersifat objektif terhadap siapa saja yang mampu
menelusurinya, yakni: kebenaran dan keadilan. Mereka yang tidak
mendapatkan nilai-nilai ini umumnya akan senatiasa berada dalam dunia yang
“gelap gulita” sehingga dirinya menjadi gelisah karena tidak tahu kemana
hendak melangkah, ia serba salah dan merasa diri dalam kondisi tersudutkan.
Syukurlah bahwa manusia diberi petunjuk (hidayah) oleh tuhan berupa
perangkat lunak (software) untuk mendapatkaan kedua nilai yang essensial
tersebut, yaitu: (1) insting atau naluri, (2) ilmu, (3) filsafat, (4) religi atau
agama. Masing-masing software tersebut akan memberi petunjuk dengan
metode yang berbeda dalam mencari kedua nilai di atas.
Dalam tulisan ini tidak akan dikemukakan lebih jauh tentang semua
metode dari masing-masing alat tersebut, namun akan lebih difokuskan kepada
mencari kebenaran berdasarkan metode ilmiah yang menjadi acuan kebenaran
para ilmuwan selama ini.
Hal ini penting diketahui dengan jelas oleh mereka yang
berkecimpung dalam dunia pendidikan, penelitian, kemasyarakatan,
pemerintahan, dan lain-lain kegiatan agar supaya mempunyai rujukan yang
sama sehingga tidak terjadi silang pendapat yang berkepanjangan. Sungguh
akan sangat sulit apabila seorang pendidik ingin menyampaikan sesuatu nilai
tertentu terhadap anak didiknya atau dirinya apabila tidak didapat standar yang
jelas yang berakibat terjadinya kemandegan dalam proses pembelajaran dan
karier akademiknya. Sehubungan dengan itu pada uraian berikut akan dibahas
mengenai pengertian, cara mendapatkan sampai menyimpulkan dan
pemanfaatan mengenai kebenaran ilmiah tersebut, diharapkan dengan itu
mampu menempatkan diri diposisi mana sebenarnya ia berpijak.

1
Makalah disampaikan dalam rangka penataran guru SMU Bangkalan
bekerjasama dengan LPPM Trunojoyo pada tgl 11 Oktober 2005 di Unijoyo.
147

Landasan filosofis
Alam semesta pada dasarnya merupakan kumpulan dari berbagai materi
dan energi yang membentuk satuan bentuk tertentu yang kemudian secara
bersama-sama ataupun sendirian melakukan fungsi dan tugasnya tertentu pula.
Sebutir debu di udara secara kebendaan tidaklah berbeda dengan planet sebesar
yupiter misalnya, ia hanyalah materi dan energi; namun secara fungsional yang
satu merupakan absorbent (peresap) di udara yang satunya merupakan bagian
planet yang beredar dalam system tata surya matahari. Demikian pula halnya
dengan makhluk hidup antara manusia dengan babi secara kebendaan adalah
sama, namun dalam fungsi tentu berbeda “sang babi” kerjanya hanya makan
dan beranak, manusia masih punya fungsi lain yakni pengembangan intelektual
dan kerohanian yang akan mempunyai fungsi sosial.
Untuk memahami kodrat (eksistensi) dan iradat (peruntukan) suatu
benda secara alamiah diperlukan basic science (ilmu dasar) tertentu agar supaya
tidak salah persepsi dalam mengambil kesimpulan. Tanah bagi orang awam
hanya merupakan benda tempat kuburan atau menggali sumur atau bahan
tembikar; sedang bagi ahli tanah ia merupakan kumpulan dari unsur fisika,
kimia, dan biologi tanah. Betapa jauhnya bukan untuk memaknai secara hakiki
suatu benda? Bayangkan kalau hal seperti ini tidak mempunyai landasan
berpijak yang diakui dan dipatuhi secara bersama. Syukurlah sampai saat ini
telah ada kesepakatan yang diakui secara internasional mengenai paradigma
mencari kebenaran yang berhubungan dengan alam semesta ini yang kita kenal
sebagai metode ilmiah.

Metode ilmiah apakah itu


Pada saat Issac Newton kepalanya kejatuhan buah apel (bila cerita ini
benar), ia merasa kesakitan (mungkin apelnya besar sekali-kapoklah), sehingga
terucaplah kata-kata: mengapa kok buah apel ini jatuh ke bawah, kenapa tidak
ke atas! Kalau kita mungkin mengumpat (mesuh-bhs Jawa). Pertanyaan
Newton tidak berhenti hanya sampai benjolnya kepala, namun diteruskan
dengan melakukan “pelemparan” buah apel ke atas di kedua tangannya dan
“menangkapnya” kembali dengan hasil yang sama bahwa apel selalu jatuh ke
bawah.
Cara yang dilakukan oleh Newton tersebut disebut perbuatan coba-coba
atau metode coba-coba (trial and error) untuk mencari jawab mengapa apel
jatuh ke bawah. Berhasilkah ia, jawabnya tentu saja tidak! Baru setelah ia
melakukan percobaan dengan cara menaiki menara pisa yang miring itu dan
menjatuhkan berbagai benda lain jenis tapi dengan berat yang sama, ia
menyimpulkan bahwa jatuhnya benda ke bumi karena ada sesuatu yang
menariknya dari bumi yang kemudian dikenal sebagai daya tarik bumi atau
gravitasi. Kesimpulan diambil karena jenis benda menjadi tidak berguna
148

apabila dengan berat yang sama akan jatuh bersamaan waktunya di bumi karena
ditarik daya tarik tersebut. Nah! apa yang dilakukan oleh Newton pada
perbuatan kedua merupakan kebenaran ilmiah karena dilakukan dengan salah
satu yang masuk dalam paradigma ilmiah atau metode ilmiah, yakni metode
perlakuan atau eksperimen. Sebelum bicara lebih jauh mengenai metode yang
umumnya dilakukan dalam penelusuran ilmiah sebaiknya dikemukakan dahulu
mengenai kerangka bagaimana kebenaran ilmiah tersebut di dapat. Dari
berbagai pustaka dapat disepakati bahwa kebenaran ilmiah hanya dapat diakui
apabila mengikuti alur sebagai mana terlihat pada skema di bawah.
Berdasarkan skema alur pikir tersebut maka kebenaran ilmiah
merupakan alur pikir yang “berputar” yakni ia akan senantiasi berubah sesuai
dengan perubahan kerangka berfikir manusia, sehingga bersifat relative. Itulah
sebabnya bukan mustahil apa yang dikatakan benar hari ini, “esok” mungkin
akan diperbarui oleh penemuan lain yang lebih mampu menyampaikan
argumentasi ilmiah lebih maju. Selanjutnya dapat diikuti sedikit uraian
mengenai langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk mendapatkan kebenaran
ilmiah tersebut.

1) Perumusan masalah.
Betapa sulitnya sesorang untuk mencari kebenaran ilmiah apabila ia tak
mampu menarik “benang merah” yang akan menjadi objek penelitiannya nanti,
mengingat demikian banyaknya variabel yang ikut andil dalam suatu kasus
tertentu. Seseorang harus mampu menyederhanakan topic yang menjadi
permasalahannya sedemikian rupa sehingga menjadi bagian-bagian yang
mudah diamati atau diukur nantinya.
Kita ambil teladan hal sebagai berikut: seorang guru matematika
merasa frustasi mengapa nilai matematika anak didiknya di kelas adalah yang
terburuk dibandingkan nilai mata ajaran lainnya yang mengakibatkan banyak
siswanya yang tak lulus dalam ujian nasional. Hanya guru yang “tolollah”
yang akan berbangga diri bahwa jangan main-main dengan matematika
sehingga ia merasa berwibawa dan ditakuti murud-muridnya. Hal itu
menunjukkan bahwa ia bukan seorang pendidik, namun lebih cocok sebagai
“drakula” pendidikan. Sebagai seorang pendidik seharusnya ia sudah mampu
memprediksi bahwa dengan standar harian yang dimiliki muridnya tentang
matematika akan menyebabkan kegagalan mereka, lalu dicari jalan keluar
bagaimana mendongkrak kemampuan murid sebelum peristiwa terjadi. Masih
banyak jalan menuju Roma.
Sang guru (pendidik) akan mempelajari hal ini dengan serius, maka
dikumpulkanlah berbagai informasi yang berhubungan dengan bagaimana cara
meningkatkan nilai matematika murid. Ia bertanya pada teman atau yang lebih
senior, ia mengikuti pelatihan, ia membaca pustaka, ia membuat alat
149

pembelajaran, bahkan sampai ia diskusi dengan anak didik dan orang tua serta
lain sumber informasi. Tentu saja ia akan mendapatkan setumpuk informasi
baik yang mendukung atau yang menyalahkan dirinya. Dari sekian informasi
tersebut coba pilah dan pilih mana yang paling mendekati kenyataan sehingga
menjadi bagaian yang sederhana dan nantinya dapat diukur, buatlah menjadi
beberapa kalimat yang pendek dan jelas, inilah yang disebut sebagai perumusan
dari masalah. Dari teladan di atas maka dapatlah dirumuskan sebagai misal:
• prestasi anak terhadap nilai matematika sangatlah ditentukan oleh
kondisi psikologis anak didik yang bersangkutan.
• peranan guru khususnya sikap dan cara membawakan pelajaran
mempunyai andil yang besar dalam menaruh simpatik murid terhadap
materi yang dibawakan.
• pendekatan alamiah dengan out bound dalam memberikan pelajaran
matematika lebih dapat diterima murid dibandingkan monoton di
dalam kelas.

2) Rumusan Hipotesis
Kita lihat bukan betapa sederhananya permasalahan tersebut karena
benang “kusut”nya telah diuraikan dan diketahui mana benang merahnya.
Apabila seseorang telah mampu sampai langkah ini ia telah mempunyai bakat
sebagai ilmuwan, sebaliknya bila tak mampu sebaiknya pindah dunia lain
sebagai sastrawan atau lainnya. Mari kita teruskan! Apa yang dirumuskan
tersebut sifatnya masih “mentah” artinya baru dugaan yang sulit mengukurnya
baik dirinya apalagi orang lain, padahal ilmu yang ilmiah harus transparan.
Maka rumusan tersebut harus dirubah jadi variabel-variabel (peubah-peubah)
yang dapat diukur dan mana menentukan mana; atau dengan kata lain ia harus
jadi sangkaan atau dugaan awal mana sih yang sebenarnya jadi “biang
kerok”nya.
Dugaan ini dapat dalam bentuk verbal, rumus, model, atau pola; dugaan
demikian disebut hipotesis (hypo = palsu, thesis = pendapat). Memang benar
hipotesis berarti pendapat yang masih palsu atau pendapat/dugaan sementara.
Mari kita simak rumusan di atas bagaimana ia bisa jadi sebuah hipotesis:
• bahwa kondisi psikologis seorang anak sangatlah menentukan minat
terhadap mata pelajaran yang memerlukan penggunaan pemikiran, hal ini
diduga berhubungan dengan kondisi lingkungan sekolah dimana selalu
membuat dirinya gelisah sehingga sangat sulit untuk diajak berfikir serius.
• bahwa sikap simpatik guru dan penyampaian yang tidak langsung pada
mata pelajaran matematika lebih disukai murid dibandingkan penyampaian
yang bersifat formal dan disampaikan secara langsung (to the point), hal
150

ini diduga disebabkan rasa takut murid akan sosok guru sehingga
menimbulkan rasa benci terhadap mata pelajaran yang diasuhnya.
• bahwa mempelajari matematika di alam bebas akan lebih membantu murid
dalam memahami rumus-rumus dan perhitungan tertentu dibandingkan di
kelas sekalipun dengan menggunakan alat peraga, hal ini diduga bahwa
usia “bermain” lebih dominan dibandingkan dengan usia berfikir.
Dari hipotesis tersebut terlihat bahwa pada masing-masing item telah
ada variabel yang diukur dan mana menentukan mana. Variabel yang
menentukan disebut sebagai independent variable (peubah atau variabel bebas
atau yang mempengaruhi), sebaliknya variabel yang ditentukan disebut sebagai
dependent variable (peubah atau variabel yang ditentukan), dalam matematika
biasanya di rumuskan dalam bentuk fungsi misal: Y = a + b X atau lebih
kompleks lagi (dimana Y = peubah tak bebas, X = peubah bebas). Dalam
hipotesis di atas variabel-veriabel tersebut ditulis dengan huruf tebal yang bagi
setiap peneliti tentu tidak sulit untuk malacak ukuran-ukuran (parameter) apa
yang akan digunakan untuk mendeteksi atau mewujudkan variabel tersebut agar
mudah bagi siapa saja untuk menelusurinya. Cara yang demikian ditentukan
dalam langkah berikutnya yang dikenal dengan istilah pengujian hipotesis.

3) Pengujian Hipotesis
Dimaksud dengan pengujian hipotesis disini adalah: bagaiman caranya
hipotesis yang dikemukakan di atas akan diuji pembuktiannya, apakah yang
dikemukan tersebut benar atau salah. Istilah lain dikenal sebagai metodologi
penelitian (research method), yakni mengandung berbagai aspek yang
berhubungan dengan pengumpulan fakta di lapangan (fakta yang terkumpul
disebut data) terhadap variabel yang sudah ditentukan sebagai penduga tadi.
Didalamnya termasuk tentang: penentuan sample, parameter yang digunakan,
design yang tepat yang dipakai, cara pelaksanaan, bahan dan alat yang
digunakan, ruang dan waktu yang dipilih, cara analisis data, uji validitas data
dan signifikansi, serta kesimpulan yang didapat.
Tidak dapat disangkal bahwa antara sains dan penelitian adalah laksana
dua sisi mata uang; sains tak akan mempunyai nilai tanpa penelitian, demikian
sebaliknya penelitian tidak akan terlaksana tanpa sains yang mendukungnya.
Berdasarkan alur metode ilmiah, suatu penelitian baru bisa
dilaksanakan setelah seorang peneliti mampu memformulasikan objek
penelitiannya dalam bentuk hipotesis. Dengan demikian pada saat hipotesis
diformulakan perlu dipikir masak-masak apakah pendekatan (metode) yang
akan dilakukan nantinya sesuai. Lalu dengan cara atau rancangan yang
bagaimana penelitian tersebut akan kita bangun. Dengan metode dan rancangan
penelitian yang tepat akan mengurangi bias yang akan muncul. Memang cukup
sulit untuk menentukan metode atau rancangan yang bersifat umum mengingat
151

begitu luasnya objek yang kita dekati; apakah itu dalam bidang sejenis apalagi
lain jenis.

4) Kesimpulan
Setelah melakukan serangkaian percobaan untuk membuktikan
kebenaran hipotesis yang dibangun, akhirnya sampailah pada hal yang
menentukan yakni suatu kesimpulan. Suatu kesimpulan hendaknya tidaklah
lepas dari perumusan masalah, tujuan riset dilakukan, hipotesis, serta landasan
teori yang membangunnya. Suatu kesimpulan yang hanya berpedoman pada
angka-angka saja seringkali tidak informative apabila dikembalikan pada
kenyataan karena bertentangan dengan teori yang ada. Dari kasus di atas
kesimpulan hendaknya dapat memberikan jawaban terhadap benar tidaknya
hipotesis yang dibangun, apabila sesuai maka hipotesis diterima, bila
sebaliknya hipotesis tertolak. Pada hipotesis yang diterima dapat disimpulkan
bahwa hasil penelitian ini dapaat dijadikan dasar keilmuan yang bila
dikembangkan lebih jauh menjadi teknologi (teknologi keras atau lunak) yang
sangat berguna bagi metode pembelajaran atau pendidikan. Akan tetapi
manakala hasilnya tertolak, bukanlah berarti tidak berguna, namun masih harus
diuji kembali dengan membangun kerangka berfikir yang benar agar mendekati
kenyataan.
Langkah-langkah yang disebutkan di atas disebut metode ilmiah atau
cara ilmiah yang menghasilkan karya ilmiah dengan tingkat kebenarannya pada
tingkat kebenaran ilmiah (menggunakan signifikansi tertentu).
Perlu ditambahkan disini bahwa untuk membuat suatu langkah-langkah
penelitian seseorang harus menuangkannya dalam bentuk karya tulis yang
disebut dengan proposal atau usulan penelitian, yang isinya umumnya
mencakup: topic penelitian; pendahuluan yang didalamnya tercantum latar
belakang, tujuan, rumusan masalah, hipotesis; tinjauan pustaka yang
berhubungan dengan objek yang akan diteliti; serta metodelogi bagaimana riset
tersebut hendak dilaksanakan. Agar supaya dalam pelaksanaan nantinya segala
hambatan dapat dikurangi (dieliminasi), maka sebaiknya proposal
dikonsultasikan kepada sesame teman sejawat, seniornya, atau orang lain dalam
bidang sejenis. Bentuknya dapat pendekatan pribadi, dikirim lewat pos, atau
diseminarkan; yang terakhir ini paling banyak dilakukan karena lebih efisien
dapat masukan dari banyak orang. Dengan demikian seminar merupakan saling
tukar idea untuk kesempurnaan dan bukan “lading pembantaian” sehingga tak
perlu ditakutkan. Langkah inipun merupakan ciri dari kebenaran ilmiah.
Setelah penelitian dilakukan masih ada langkah lain yang umumnya
harus dilakukan para peneliti, yakni bagaimana mengkontribusikan hasil
penelitian tersebut kepada khalayak. Berbagai cara dapat ditempuh antara lain
melalui: poster, demonstrasi, percontohan, tulisan ilmiah, serta bentuk
152

dokumentasi lain. Kebanyakan peneliti di Indonesia lemah dalam cara


penyaampaian ini karena berbagai kendala seperti: dana, waktu, tak mau repot,
kurang informasi, dan sebagainya.
Khusus masalah tulisan ilmiah bentuknyapun berbagai ragam dari yang
popular ilmiah (majalah, koran), leaflet, jurnal, saampai teksbook. Laporan
penelitian itu sendiri yang tidak dipublikasikan pada dasarnya juga merupakan
karya tulis ilmiah selama telah mengikuti kaedah-kaedah yang berlaku seperti:
mengikuti format tertentu, ada topik, daftar isi, daftar gambar atau tabel, kata
pengantar, pendahuluan, tinjauan pustaka, metode penelitian, kesimpulan,
daftar pustaka yang dijadikan rujukan, dan lampiran-lampiran (sebagai bukti).

Daftar Pustaka
Anonim. 1989. Petunjuk penggunaan ISBN/ISSN. PDII-LIPI. 3h.
Anonim. 1989. Penjelasan dan petunjuk pelaksanaan peraturan baru tentang angka
kredit bagi tenaga pengajar di P.T. Fak. Pertanian Unibraw. 8 h.
Gembong Tjitrosoepomo. 1980. Tatacara laporan ilmiah secara tulis. Fak. Biologi
UGM, Yogyakarta. 12h.
F. Rumawas. 1981. Metodologi penelitian. IPB. 71 h.
153

PROSES PENULISAN ARTIKEL/MAKALAH


DI JURNAL ILMIAH ATAU PROSEDING1
Pendahuluan
"Apabila mati anak Adam (manusia), maka terputuslah amalnya
kecuali tiga perkara: Shodaqoh jariyah, ilmu yang dapat diambil
manfaatnya, dan anak yang shaleh yang mendo' a kan kepadanya" (H.R.
Muslim).
Dalam banyak hal setiap langkah dan gerak manusia sangat
ditentukan oleh motivasi yang melatar belakanginya, baik itu menyangkut
seni, agama, filsafat maupun keilmuan. Dalam motivasi itulah terkandung
harapan dan cambukan yang menyebabkan manusia menjadi dinamis dari
waktu ke waktu. Kalau hal tersebut dihubungkan dengan statemen Al
Hadist tersebut di atas, maka bagi ilmuwan yang religius akan meningkatkan
motivasinya untuk banyak berbuat dalam keilmuannya karena selain
kehidupan di dunia yang singkat ini masih ada harapan mendapatkan pahala
dikehidupan akhiran kelak. Tidak banyak memang ilmuwan demikian, namun
ada.
Untuk menyampaikan sebuah hasil karya keilmuan diperlukan
suatu alat komunikasi yang mudah dipahami oleh masyarakat secara luas dan
bersifat objektif. Model alat komunikasi yang selama ini dianut oleh madzab
ilmiah antara lain dalam bentuk karya tulis (buku, majalah, jurnal, abstrak,
proseding, pamflet, leaflet, paper, dsb.) dan oral serta demonstrasi (masal).
Dalam setiap langkah komunikasi tersebut diikuti aturan-aturan yang
mengikatnya sehingga dapat dinilai sebagai karya ilmiah (bukan seni atau
bentuk pengetahuan lainnya).
Di dalam makalah ini tidak semua bentuk komunikasi ilmiah
tersebut dikemukakan, dan hanya dibatasi dalam penulisan jurnal atau
proseding.

Penulisan Jurnal Ilmiah


Sampai saat ini informasi ilmiah terutama yang menyangkut hasil-
hasil penelitian dianggap mempunyai mutu keilmuan tertinggi dibanding yang
disampaikan dengan cara-cara lainnya. Sehubungan dengan itu penghargaan
terhadap karya tulis tersebut dalam penilaiannya diberikan bobot tertinggi
pula yakni mencapai kredit 15 (bila sendirian, bila bersama penulis lain maka

1
Makalah penunjang pada penataran guru SMU Bangkalan bekerjasama dengan
LPPM Trunojoyo pada tgl 11 Oktober 2005 di Unijoyo
154

penulis pertama 60 % sedang penulis berikutnya 40%). Hal ini nampaknya ada
hubungannya dengan rangkaian kegiatan yang dilakukan si penulis sejak
dari penulisan proposal, penelitian, biaya dan seleksi untuk dapatnya dimuat di
dalam jurnal dan waktu.
Untuk memuat suatu karya tulis di dalam suatu jurnal ilmiah,
memang sampai saat ini belum didapatkan suatu standar yang sama mengenai
mutu tulisan. Umumnya persyaratan tulisan dalam jurnal lebih dititik beratkan
kepada keseragaman format yang meliputi banyaknya halaman ketik, jumlah
kata (> 10.000 kata < 30.000 kata untuk jurnal), susunan outline, dsb.
Dengan cara tersebut memang akan muncul berbagai persoalan teknis,
seperti misalnya untuk ilmu-ilmu sosial relatif memerlukan
halaman/jumlah kata lebih banyak dibandingkan ilmu eksakta. Memang ada
beberapa pendapat bahwa suatu artikel baru dapat dimuat apabila bukan
merupakan hasil penelitian satu musim atau hasil laboratorium yang dilakukan
beb erapa minggu. Namun pendapat inipun sampai saat ini masih merupakan
saran yang perlu mendapatkan perhatian lebih saksa ma.
Untuk mengatasi kesenjangan tersebut dalam bobot keilmuan
suatu artikel perlu mendapatkan suatu penilaian sebagai aspek legalitas dari
para pakar yang bersangkutan. Dalam etika ilmiah penilaian para pakar/akhli
ini dapat dianggap sebagai suatu standar ilmiah karena yang bersangkutan
telah mempunyai cukup pengalaman dan pemahaman yang mendalam terhadap
masalah tersebut. Legalitas ini disebut sebagai "The statement of the
authoraty". Atas dasar inilah maka bobot suatu jurnal dapat dilihat dari ada
atau tidak adanya anggota penilai atau mitra bestari yang tercantum dalam
jurnal tersebut yang berfungsi sebagai wasit bagi laik tidaknya suatu artikel
dimuat. Setiap artikel yang masuk kepada dewan redaksi sebelum dimuat
dalam suatu jurnal hendaknya dikirimkan dahulu kepada minimal dua orang
akhli dalam bidangnya dan selanjutnya yang bersangkutan akan
mengembalikan ke dewan redaksi hasil penilainya berupa "diterima" atau
"ditolak" dan bila diperlukan dapat juga menyisipkan beberapa komentar
perbaikan. Dewan redaksilah yang akan menggodog lebih lanjut yang
menyangkut redaksional maupun formatnya.
Selanjutnya tentunya akan muncul pertanyaan dari pembaca
bagaimanakah membuat suatu jurnal yang dapat diakui mempunyai mutu
ilmiah. Hal ini dimaksudkan pula dalam membantu pembaca untuk
menyalurkan karya ilmiahnya lebih lancar mengingat kurangnya informasi
jurnal yang sesuai, lamanya prosedur penerbitan, dsb. Dari pengamatan penulis
dewasa ini ada tiga jenis jurnal yang berkembang dimasyarakat ilmiah, yakni:
jurnal "bunga rampai", jurnal dalam bidang sejenis, dan jurnal profesi
keilmuan. Dimaksud dengan bunga rampai karena jurnal tersebut berisi
berbagai macam ilmu baik yang berupa IPTEK keras maupun IPTEK lunak
menjadi satu, bahkan diisi "pidato-pidato" dan pencantuman manajemen
155

redakturnya kurang profesional. Sedangkan tipe kedua adalah jurnal yang


memuat artikel dalam bidang sejenis (misal: Pertanian, Kedokteran,
Peternakan, Ekonomi, dsb.). Jurnal tipe ini mempunyai bobot lebih baik
dibandingkan yang pertama, karena sudah menunjukan ciri khas keilmuan
tertentu. Namun jurnal yang mempunyai tipe ketiga (profesi) tertentu lebih
diutamakan karena dengan demikian akan lebih mudah membantu masyarakat
dalam penelusuran informasi ilmiah dalam bidang tertentu. Contoh jurnal ini
antara lain Jurnal Fitopatologi, Entomologi, Geologi, dsb.). Di luar negeri jurnal
tipe satu sudah lama ditinggalkan orang dan tipe ketiga justru yang mendapat
perhatian dan kredibilitas utama.
Sebaliknya di Indonesia ketiganya masih berkembang secara
seimbang, hal ini mungkin disebabkan alasan beberapa faktor, antara lain:
kurangnya informasi permasalahan jurnal, pendanaan, sumber daya manusia,
birokrasi, dsb. Sampai saat ini penilain suatu jurnal memang masih belum
diberlakukan secara ketat setidak-tidaknya di perguruan tinggi.
Dalam Juknis yang dikeluarkan oleh Depdikbud. No. 2492/D/C/88
sebagai penjabaran dari SK. Menpan No. 59/1987 disebutkan kretarium
majalah ilmiah yang dapat diakui oleh Depdikbud, sebagai berikut: a)
bertujuan untuk menampung/ mengkomunikasikan hasil-hasil penelitian
ilmiah dana atau konsep ilmiah dan disiplin ilmu pengetahuan tertentu; b)
diterbitkan oleh badan ilmiah/organisasi/ perguruan tinggi dengan unit-
unitnya; c) ditujukan kepada masyarakat ilmiah/ peneliti yang mempunyai
disiplin keilmuan yang relevan; d) mempunyai Dewan Redaksi yang terdiri
dari para ahli dalam bidangnya; e) mempunyai ISSN (International Standard
Serial Number); f) diedarkan secara nasional. Untuk mendapatkan ISSN
adalah tidak sulit karena setiap pengelola jurnal atau majalah yang ingin
mendapatkan ISSN tinggal mengajukan permohonan kepada PDII-LIPI (Jl.
Jend. Gatot Subroto 10, Jakarta) dengan memberikan alasan-alasan dan
contoh edisi sebelumnya.
Dengan demikian jurnal atau majalah yang sudah mendapatkan ISSN
berarti sudah terdaftar dalam bank data majalah dunia karena oleh PDII-LIPI
akan dilaporkan kepada Pusat ISDS (International Serial Data System).
Selanjutnya untuk mendapatkan akreditasi suatu jurnal
diperguruan tinggi perlu didaftarkan ke Departemen P & K, Dirjen Dikti.
Pengakuan suatu jurnal dipertimbangkan berdasarkan kretarium antara lain:
keteraturan terbit, keajekan format, dewan redaksi, minimal tiga tahun terbit,
spesifikasi keilmuan, sasaran/target, dll. Contoh jurnal yang sudah
mendapatkan pengakuan adalah "Agrivita" yang dikelola oleh Fakultas
Pertanian Unibraw (Format Dewan Redaksinya terlampir).
Sebagai tambahan informasi bahwa ada perbedaan prinsip antara
ISSN dengan ISBN (International Standard Book Number). ISBN adalah
156

nomor unik yang diberikan untuk setiap buku, satu nomor untuk setiap judul
buku. Nomor ini amat besar manfaatnya terutama bagi pedagang buku. Dengan
menggunakan nomor ini pesanan buku akan menjadi lebih cepat dan kesalahan
penulisan judul dan identifikasi buku lainnya dapat dihindari.
ISBN diberikan pada setiap: judul baru dan judul dengan edisi
baru. Untuk judul yang dicetak ulang, digunakan ISBN yang ada. Akan tetapi
untuk edisi baru diberikan ISBN baru. Untuk buku berjilid, setiap jilid
mendapat ISBN. Di samping itu diberikan juga ISBN untuk jilid lengkap. Jadi
untuk buku berjilid, terdapat dua ISBN, satu untuk setiap jilid dan satu
untuk jilid lengkap. Untuk mendapatkan ISBN ini dapat dimintakan ke
Perpustakaan Nasional RI, Jl. Salemba Raya 28 A di Jakarta Pusat.
Persyaratannya sama dengan untuk mendapatkan ISSN.

Penulisan dalam proseding


Dalam suatu pertemuan ilmiah (seminar, lokakarya, dsb.) umumnya
hasil-hasilnya akan dirangkum oleh suatu tim dalam bentuk buku yang
dikenal sebagai proseding. Mengingat karya tulis ini merupakan hasil kegiatan
ilmiah dalam kepanitiaan maka isinya meliputi:
- Daftar Isi
- Kata pengantar
- Makalah lengkap peserta
- Diskusi
- Kesimpulan
- Lampiran: Susunan panitia; Pidato/sambutan; Tanda hadir peserta.
Dengan demikian proseding akan dapat memberikan informasi
lengkap mengenai perkembangan keilmuan maupun lembaga (profesi).
Sampai sekarang penghargaan terhadap bobot makalah yang masuk proseding
relatif kecil (kreditnya 2-3), sehingga dalam seminar-seminar yang akan
datang "dianjurkan" untuk tidak membuat proseding (komunikasi pribadi
dengan Prof.Dr. Mien A. Rifai dari LIPI). Dengan demikian panitia akan
menseleksi makalah-makalah yang berbobot untuk selanjutnya dimuat dalam
majalah/jurnal ilmiah yang bersangkutan.
Dalam kenyataanya beberapa permasalahan sering muncul dalam
pembuatan suatu proseding yakni:
• Sering terbitnya terlambat sehingga arti makalah menjadi
kadaluwarsa.
157

• Kekurangan dana sehingga tidak terbit.


• Panitia sudah bubar sehingga data-data selama persidangan
tidak akurat lagi dan sulitnya koordinasi.
• Alasan teknis lainnya.

Daftar Pustaka
Anonim. 1989. Petunjuk penggunaan ISBN/ISSN. PDII-LIPI. 3h.
Anonim. 1989. Penjelasan dan petunjuk pelaksanaan peraturan baru tentang angka
kredit bagi tenaga pengajar di P.T. Fak. Pertanian Unibraw. 8 h.
Gembong Tjitrosoepomo. 1980. Tatacara laporan ilmiah secara tulis. Fak. Biologi
UGM, Yogyakarta. 12h.
F. Rumawas. 1981. Metodologi penelitian. IPB. 71 h.
158

EKSPLORASI DAN PERUMUSAN MASALAH


PENELITIAN

Ika Rochdjatun Sastrahidayat

Banyak pohon buahnya tinggi


Pakai gantar kalau mencari
Hikmah manfaat sulit diciri
Kalau ketemu dikira duri
Intan dijalan diduga kaca
Banyak pejalan ta' kan peduli
Orang yang arif dapat membaca
Orang yang bodoh sulit kenali
Telah jauh dan lama daku berjalan
Lorong sempit banyak kuhafal
Kini kudapat cahaya iman
Jangan kau umpat sebelum kenal
(I.R. Sastrahidayat, Yokkaichi-Japan 8 Juli 1993)

1. Pendahuluan
Seekor lumba-lumba yang telah dilatih bertahun-tahun oleh
pawangnya “mengerti” apa yang harus diperbuatnya pada saat irama peluit
tertentu dibunyikan, apakah ia harus menari, melompat lingkaran, mencium,
jungkir balik, dan sebagainya dikolam piaraannya. Para penonton ditepi kolam
bertepuk tangan memberi pujian seraya berceloteh “pinter” benar sang lumba-
lumba itu. Pujian yang sama sering dibrikan pada sang anak balita manakala
mereka belajar merangkak, beridir, berjalan, memanjat sekalipun jatuh
“gedebuk” dan menangis; pujian tetap terucap “anak mama sudah pinter”.
Sama-sama kata pinter diucapkan dalam dua kejadian ketrampilan yang
berbeda sudah tentu mempunyai makna yang berbeda baik bagi subjek pujian
maupun makna yang terkandung didalamnya.
Karena seekor lumba-lumba tak akan pinter sesungguhnya berapapun
banyaknya ketrampilan yang dipunyai bahkan ia tak mengerti makna pujian;
sebaliknya sang balita akan cepat merespon bahwa pujian tersebut adalah suatu
reward yang menyenangkan hatinya bahwa apa yang dilakukannya berada
dalam kebenaran dan menambah cakrawala pengetahuan yang selama ini belum
dipunyainya. Respon yang diberikan binatang terhadap stimulus yang
dilatihkannya hanya merupakan respon biologis terhadap kebutuhan makan dan
perlindungan semata yang disebut instinc atau naluri. Sebaliknya pada manusia
159

respon yang diberikannya merupakan rasa penasaran atau keingintahuannya


tentang sesuatu dalam lingkungan hidupnya yang disebut analysis atau
penalaran. Bentuk respon pertama tak akan berkembang lebih jauh selain apa
yang telah dilatihnya saja untuk mendapatkan sekedar “upah” berupa makanan;
sedangkan respon yang kedua bisa terjadi lonjakan yang tak terduga oleh si ibu,
hari ini merangkak, besok duduk, lusa berdiri, hari berikutnya berlari, tahu-tahu
naik meja makan dan menjatuhkan segala sesuatu yang ada diatasnya, si ibu
“geram” namun sayang karena harga gelas dan piring yang pecah tak sebanding
dengan senangnya hati bahwa sang anak semakin pintar.
Uraian di atas merupakan contoh sehari-hari yang dapat kita amati
disekitar kita dan menjadi batas yang amat tipis antara manusia dan binatang.
Manakala manusia dalam pembelajaran dirinya hanya berhenti pada tingkatan
naluri belaka maka ia tak akan pernah menjadi manusia atau dengan kata lain
identik dengan binatang, sementara binatang sampai kapanpun tak akan pernah
berkembang menjadi manusia karena pada dirinya tidak dilengkapi sofware
intelektual tersebut di atas. Benar sindiran Taufik Ismail bahwa otak manusia
tentu sama lezatnya dengan otak kerbau kalau digulai.
Daya analisis atau nalar seseorang tidak akan mampu berkembang
cepat kalau tidak dilatih dan dibimbing melalui metode yang disebut
pembelajaran. Otak yang jenius akan tertinggal oleh otak yang sedang-sedang
saja namun dituntun cara pembelajaran yang sistematis, runtut serta
berkesinambungan. Hal ini menunjukan bahwa disamping perlu adanya potensi
atau modal diri berupa otak yang cerdas maka pengarahan kemana otak tersebut
hendak dibimbing dan untuk apa, perlu penanganan serius. Pendidikan dan
pengajaran merupakan salah satu metode agar manusia mampu
mengembangkan dirinya sehingga muncul “harga kemanusiaannya” yang
mempunyai nilai tawar baik bagi diri pribadi, keluarga maupun masyarakatnya.
Mengingat demikian banyaknya objek yang harus dipelajari dan selalu
terbarukan maka pembelajaran manusia melalui pendidikan tak akan pernah
selesai sampai akhir hayat, karena pada dasarnya apa yang dikehuinya adalah
merupakan awal dari ketidak tahuannya. Ah! dasar bahlul diri ini tahi kucing
koq serasa coklat, kata Kus Plus.
Keingintahuan manusia akan sesuatu sebagai rasa penasarannya
adalah suatu karunia yang harus diarahkan dan dikembangkan untuk
mendapatka apa yang disebut pengetahuan yang benar dengan itulah kemudian
manusia mampu mengontrol lingkungan hidupnya. Penelusuran atau
penjelajahan terhadap keingintahuannya tadi disebut sebagai eksplorasi, maka
pengetahuan yang didapatnya disebut sebagai pengetahuan eksploratif. Ciri dari
pengetahuan demikian bersifat deskriptif yang umumnya akan menjadi dasar
penting bagi pengembangan pengetahuan berikutnya yang lebih detail atau
spesifik. Dalam uraian berikutnya kita aka membahas bagaimana melakukan
160

eksplorasi kemudian merumuskan sehingga menjadi pengetahuan yang


berguna.

2. Mana pengetahun dan mana sains


Sebelum menjelajah lebih jauh pada dimensi penelitian maka
seyogyanya kita letakan dahulu batasan-batasan penting yang sering rancu
dalam pengertian saintifik. Manusia pada prinsipnya membangun jawaban dari
keingintahuannya sebut saja pengetahuan tadi melalui beberapa jalur utama,
yakni:
a) Naluri
b) Ilmu (sains)
c) Filsafat
d) Religi
Pengetahuan yang dikembangkan melalui jalur naluri dimuka sudah
dikemukakan hanya akan berkembang kearah reproduktif (seksual),
pertumbuhan (makan), dan pertahanan atau perlindungan hidup. Tanpa
pembelajaran ang sistematispun manusia akan mudah mengerti siapa lawan
jenisnya, mana makanan yang bisa dimakan, dan bagaimana berlindung
terhadap rasa takut terhadap ancaman. Ilmu atau sains atau sering dikenal
dengan istilah ilmu pengetahuan (artinya pengetahuan yang didapat melalui
jalur ilmiah) pada prinsipnya juga untuk kebutuhan naluri biologis tersebut di
atas namun didapat melalui penelitian atas dasar teori yang bersifat umum yang
kemantapan dan keajegannya dapat diuji oleh siapapun dengan hasil serupa
sebagai kebenaran ilmiah.
Masalah ini akan kita bahas lebih jauh pada uraian berikutnya karena
hal inilah yang menjadi topik kajian kita. Manakala kita mendapatkan
kebenaran sebagai pengetahuan yang didapat melalui jalur sains maka timbulah
pertanyaan apakah pengetahuan tersebut benar? Jawabannya tentu tidak bisa
ditanyakan melalui sains itu sendiri karena ia tak akan mampu menjawab
dirinya, untuk itu perlu alat lain untuk menjawabnya dan alat itu adalah filsafat.
Filsafat meletakan dasar-dasar dari suatu pengetahuan tertentu, ia mencoba
melompat jauh kedepan dari segala sesuatu di luar pengalaman manusia dengan
analisis rasionya dan memberi makna tentang kehidupan ini.
Sehingga seperti seorang penghayal yang baik alam pikirnya jauh
disebrang sedangkan pijakan kakinya tak berajak ditempat, dengan demikian
pengetahuan yang didapat masih bersifat apriori dan ini pula yang menyebakan
terjadinya banyak aliran dalam filsafat. Pengetahuan terakhir adalah yang
didapat melalui jalur religi atau wahyu atau nubuah yang bersifat mutlaq karena
ia diturunkan langsung dari Sang Pencipta alam semesta yang menjadi
161

pertanyaan ilmu dan filsafat dimuka yang bersifat relatif. Pengetahuan yang
diturunkan melalui jalur ini demikian luasnya baik yang menangkut alam nyata
(benda) maupun alam ghaib dengan kurun waktu yang lampau, saat ini dan
akan datang. Sumber wahyu dalam agama Islam yakni Al-Qur’an memebrikan
informasi yang demikian luas pula tentang kebenaran yang dapat diruntut
melalui jalur sains, sehingga ia bukan hanya berupa ajaran dogmatis dan ritus
semata namun rasional dan berdimensi sosial. Dalam buku “Mencari cahaya
iliahi yang hilang”, penulis telah mencoba memaparkan permasalah ini dengan
bahasa hati, rasio dan aplikatif sehingga tak perlu diuraikan disini.
Uraian di atas menerangkan mengenai bagaimana seseorang
mendapatkan pengetahuannya melalui jalur ilmiah. Akan tetapi ada pula cara
lain dalam menapakan pengetahuan yakni melalui jalur non ilmiah.
Pengetahuan yang didapat melalui jalur ini umumnya bersifat spesifik, sulit
ditularkan dan mempunyai validitas yang rendah, namun perlu diakui bahwa
hal ini berkembang dalam masyarakat. Beberapa jenis pengetahuan dalam
kelompok ini adalah:
- Akal sehat (common sense)
- Prasangka
- Intuitif
- Penemuan kebetulan dan coba-coba
- Pendapat otoritas ilmiah dan pikira kritis

3. Eksplorasi ilmiah
Suatu pengetahuan disebut ilmiah sehingga menjadi kebenaran ilmiah
adalah apabila ia didapat melalui koridor atau paradigma ilmiah, bukan wahyu,
intuisi, seni, atau lainnya yang mempunyai paradigma sendiri. Koridor yang
demikian disebut sebagai metode ilmiah, yakni suatu cara berfikir dan bertindak
secara sistematik untuk mendapat kesimpulan yang mantap sebagai kebenaran
baru dengan kaidah-kaidah tertentu. Cara berfikir deduktif, induktif atau
gabungan keduanya merupakan cara yang menjadi landasan awal untuk
mendapatkan kebenaran ilmiah yang banyak dianut oleh para ilmuwan. Dengan
landasan berfikir demikian manusia dapat melakukan eksplorasi atau
penjelajahan keilmuannya untuk menyingkap rahasia-rahasia diri dan alam
sekitarnya.
Kebenaran ilmiah terwujud oleh konsep-konsep ilmiah yang
mendasarinya yakni teori ilmiah dan fakta ilmiah. Teori berfungsi untuk
menjelaskan mengenai kondisi alam tentang pertanyaan mengapa? Dengan
teori yang benar kita telah mampu mendeskripsi tentang sesuatu dan mampu
menerangkan serta meramalnya dimasa depan. Pada saatnya teori dapat berubah
162

sesuai dengan kemajuan nalar manusia dan penemuan-penemuan baru atau


fakta ilmiah. Sehigga fakta ilmiah adalah sesuatu yang apa adanya yang tidak
bisa berubah, dan fakta inilah yang umumnya menjadi pokok penelitian ilmiah
yang dilakukan secara induktif. Dahulu orang menganut teori planetisimal
dalam menerangkan kejadian tatasurya, namun apabila teori tersebut
dipraktekan maka tak akan terjadi dalam fakta sesungguhnya sehingga
munculah teori baru yang disebut dengan nobular. Sampai saat ini dalam
bidang biologi orang masih banyak menganut teori evolusi yang mulai
dipertanyakan orang karena tidak sesuai dengan fakta bahkan belum didapat
faktanya bahwa salamander merupakan suatu bentuk contoh evolusi dari ikan
ke jenis kadal.
Dengan kedua alat tersebut seorang ilmuwan mencoba melakukan
perumusan dari demikian banyaknya permasalah teori dan tentunya fakta di
lapangan nantinya menjadi sesuatu yang menurutnya dapat dilacak dengan cara
tertentu yang disebut penelitian atau riset. Bentuk dan macam penelitian
tersebut sangat beragam tergantung objek yang jadi kajiannya dalam rangka
mendapatkan informasi yang valid (akan dikemukakan kemudian). Maka
sebelum melangkah lebih jauh diperlukan kemampuan seseorang untuk
merumuskan dahulu apakah sesungguhnya yang akan dijadikan objek
penelitian tersebut sehingga tidak terlalu luas yang akan menambah bias
permasalahan utamanya.
Dengan demikian perumusan permasalahan adalah merupakan ayakan
kedua setelah dibangunnya teori dan terpaparnya fakta di lapangan. Akan tetapi
ayakan ini sifatnya masih kasar karena didalamnya belum dikemukakan secara
gamblang mengenai variabel-variabel yang akan menjadi fokus penelitiannya
serta teori yang akan dibangun oleh variabel-variabel tersebut. Dalam metode
ilmiah, formulasi dari perumusan kearah penelitiannya disebut sebagai
hipotesis, dengan ciri utamanya adalah berupa dugaan atau jawaban sementara
(sebelum terbukti) terhadap masalah yanga akan dibuktikan atau diteliti.
Dengan demikian suatu hipotesis dibangun secara deduktif atas dasar premis-
premis dari pengetahuan ilmiah sebelumnya yang perlu ditindak lanjuti
kebenarannya.
Mengenai bagaimana seharusnya hipotesis dikemukakan tidaklah ada
rujukan yanga baku, sehingga ia dapat dikemukakan dalam bentuk verbal (kata-
kata), model matematika, model dinamika, diagram, dan sebagainya. Ketidak
mampuan seorang ilmuwan dalam membangun hipotesis adalah awal dari
kegagalan bahwa apa yang disampaikannya termasuk berbau ilmiah. Setelah
formula ini dibentuk barulah kita dapat melangkah pada tahap berikutnya yakni
apa yang disebut penelitian yang merupakan tindakan untuk menguji apakah
hipotesis yang dibangun tadi benar adanya.
Pada tahap ini si peneliti mencoba mengumpulkan fakta-fakta di
lapangan yang relevan dengan hipotesis apakah mendukung atau tidak. Fakta-
163

fakta tadi bisa saja dalam bentuk yang terukur oleh parameter tertentu sehingga
bersifat objektif, disebut dengan data kuantitatif; atau sulit diukur sehingga
bersifat subjektif maka disebut data kualitatif. Saat ini banyak orang mencoba
melakukan penelitian dengan pendekatan kuantitatif agar didapat kesamaan
persepsi tentang sesuatu masalah, meskipun dalam kenyataanya dalam bidang
tertentu seperti humaniora sulit pengukurannya, seperti bagaimana mengukur
taqwa menurut Tuhan dan taqwa menurut sumpah jabatan.
Setelah fakta lapangan dikumpulkan ilmuwan tidak boleh berhenti, ia
harus mencoba menarik kesimpulan untuk menilai apakah hipotesis yang
diajukan tadi sesuai dengan kenyataan atau bahkan tertolak. Apabila hipotesis
tersebut diterima atau sesuai dengan kenyataan melalui penelitian maka
kesimpulan tadi merupakan bagian dari kebenaraan ilmiah yang harus diterima
sepanjang belum ada pendapat lain yang menggugurkannya. Kebenaran ini
dapat menjadi teori baru setelah diuji berulang-ulang menunjukan pola yang
sama dan diterima sebagai teori ilmiah yang selanjutnya dapat menjadi dasar
ilmiah baru pula bahkan berkembang menjadi ilmu baru (alur metode ilmiah
yang diuraikan tadi dapat disimak pada Gambar terlampir).

4. Sumber-sumber ekplorasi ilmiah


Sebelum sampai pada langkah ilmiah lebih jauh tentunya seseorang
akan bertanya-tanya dimanakah ekslorasi keilmuan itu didapat agar supaya
tidak meraba-raba sehingga persoalan menjadi komplek dan tidak jelas. Dari
pengamatan penulis banyak sumber yang dapat menjadi pijakan bagi seseorang
untuk mencari inspirasi penelitian antara lain:
a. Pengalaman seseorang yang dapat pribadi atau orang lain. Cerita
klasik tentang buah apel yang jatuh ke kepala Issac Newton yang
diteruskan dengan penelitiannya dari menara miring Pisa dengan
menjatuhkan berbagai benda dan menghitung kecepatan jatuh
sehingga didapatlah hukum gravitasi menjadi bukti pengalaman
seorang jenius yang bermanfaat bagi orang banyak. Maka jangan
biarkan pengalaman berlalu jadikan dia guru untuk menemukan
ilmu. Pantun Nasehat mengatakan: Intan dijalan diduga kaca; Banyak
pejalan takan peduli; Orang yang arif dapat membaca; Orang yang
bodoh sulit kenali (Ika Rochdjatun Sastrahidayat, Yokkaichi-1993).
b. Melalui penelusuran pustaka. Buku atau pustaka sebagai bahan
bacaan sehari-hari sangat membantu seseorang untuk mencari atau
memilah-milah tentang objek riset bahkan mungkin-tidaknya
prosedur riset dilakukan. Ketrampilan seseorang untuk menguasai
berbagai bahasa tentu saja menjadi faktor pemicu sekaligus pemacu
“betah” tidaknya berlama-lama membaca atau mempelajari suatu
naskah. Referensi melalui kepustakaan dengan tahun terbit mutakhir
164

memang diharapkan dalam rangka mendapatkan informasi baru,


namun bukan berarti yang kuno sekalipun tidak mempunyai nilai
guna yang tentu saja tergantung dari tujuan riset tersebut. Dengan
tersedianya fasilitas elektronik saat ini hampir dapat dipastikan bahwa
penelusuran pustaka bukanlah suatu kendala serius karena kita dapat
keliling dunia melalui medium tersebut sekalipun berada dalam
ruangan dan tak beranjak. Tentu saja dalam perpustakaan sebagai
sumber pustaka kita dapat menemukan berbagai jenis informasi mulai
dari yang benar-benar ilmiah, fiksi ilmiah, sihir jenis Hary Potter,
sampai betaljemur bukunya orang percaya klenik.
c. Melalui eksplorasi di lapangan atau alam. Cara ini biasanya sudah
dipertimbangkan masak-masak mengenai suatu objek yang akan
dijadikan bahan penelitian lebih mendalam melalui metode-metode
riset tertentu sehingga dia merupakan pra survey untuk mendapatkan
masukan bagi survey sesungguhnya. Kejelian seseorang untuk
melihat indikator-indikator bahan penelitian sangatlah membantu
dalam memunculkan ide atau perumusan yang akan dikumpulkan
nantinya. Sering seseorang kurang memperhatikan (cuek) terhadap
suatu indikator yang dianggapnya kurang menarik padahal justru
itulah yang menjadi kunci keberhasilan terhadap langkah-langkah
selanjutnya. Suatu contoh yang menarik dalam bidang biologi adalah
komodo, orang Indonesia khususnya akhli biologi hanya tertarik pada
keunikan dari sisi “kadal raksasanya” sehingga perlu dilestarikan.
Beda dengan ahli Rusia mereka tertarik pada air liur komodo yang
ternyata merupakan senjata mematikan karena dengan gigitan kecil
saja cukup melumpuhkan kerbau besar disebabkan sistem syarafnya
terkontaminasi bakteri pelumpuh yang terkandung dalam liur
tersebut. Mereka mengambil sampel air liur komodo terus diisolasi
bakterinya, dikembangkan di laboratorium, jadilah senjata biologis
yang mematikan. Orang Amerika tahu Rusia mengembangkan senjata
biologis dari liur komodo, datanglah mereka ke pulau Komodo,
bukan untuk cari air liurnya namun mencari orang yang pernah
digigit komodo namun tak mati, diambilah darah orang itu, demikian
pula dengan darah komodo karena bila terjadi perkelahian sesamanya
mengapa komodo tak lumpuh. Sampel darah tersebut kemudian
dikembangkan dan diperbanyak di laboratorium dijadikan serum yang
bersifat anti bakteri liur komodo; inilah yang disebut perang biologis.
Dimana kita? Dasar goblog, hanya jadi objek wisata bahkan mungkin
komodo disembah jadi dunia pedukunan.
d. Melalui ilham atau intusi. Sampai saat ini memang ilham belum
banyak diteliti secara ilmiah gejala apakah itu sebenarnya, sehingga
tentu saja jaranglah digunakan sebagai suatu sumber eksplorasi,
bahkan cara atau metodenyapun sulit dikemukakan dengan
165

pendekatan metode ilmiah. Namun kita tak dapat menafikan bahwa


banyak penemuan ilmiah terkuak karena secara tidak sengaja muncul
inspirasi yang tak terduga atau ilham tadi sehingga menjawab
pertanyaan yang selama ini membebaninya. Contoh ilham yang
spektakuler adalah dikala tuan Archimides mencari jawab tentang
bagaimana orang bisa mengapung; secara tak sengaja disaat ini
berendam dalam bak mandi, tiba-tiba ia melompat dari bak mandi dan
keluar kamar mandi lari ke jalan sambil berteriak “I got it..I got it”
(tentu saja ia telanjang bulat). Apa yang ia dapat tersebut saat ini telah
menjadi dalil Archimedes yang dipelajari sejak bangku SMP oleh
anak-anak kita. Dalam pengetahuan keagamaan lebih dahsyat lagi apa
yang ditemukan oleh Sidarta Gautama yang karena terusiknya
kesadaran dirinya akan ketidak adilan atau ketimpangan hidup,
mengapa di negerinya ada yang sakit, ada yang melarat, ada yang
teraniaya, ada yang cacat sementara kehidupannya sendiri berada
dalam hedonisme penuh kenikmatan dan kelezatan. Isolasi dirinya di
bawah pohon boldi tidaklah membuka takbir rahasia maka hidup
yang sebenarnya, hingga sampailah pada suatu waktu ketika
terdengar lamat-lamat olehnya seorang guru kecapi yang berperahu
dengan muridnya berujar begini: “wahai muridku apabila engkau
menginginkan irama kecapi yang merdu maka kencangkanlah talinya
namun jangan kencang-kencang karena nanti putus”. Mendengar itu
muncullah ilham dalam diri Sidarta karena tiba-tiba ia paham apa
maksudnya, inilah yang merubah sejarah kebudayaa manusia karena
muncullah tokoh besar yang kemudian disebut Budha dan diadopsi
menjadi nama agama. Nah! Apakah anda punya kepekaan hati seperti
Sidarta, atau intelektual seperti Archimedes? Kalau tidak jangan
berharap jadi orang besar!!!
e. Melalui Kitab Suci. Agak aneh memang bahwa kitab suci menjadi
sumber penelusuran ilmiah, namun bagi mereka yang tartil Al-Qur’an
dan melakukan analisis terhadap kandungan yang ada di dalamnya
maka mata mereka akan terbeliak. Tenyata kitab suci yang satu ini
nampaknya hanya bisa dipahami dengan benar oleh mereka yang
mempunyai basic science tertentu, dengan kata lain ternyata selama
ini umat Islam salah dalam mengimplementasikan isi kandungan
kitab sucinya sehingga mereka tetap menjadi korban dari
kebodohannya sendiri.
Di bawah ini beberapa contoh yang mendukung statement tersebut:
1. Metode Historis.
Banyak sekali statement Al-Qur’an yang mengajak kita untuk mencoba
melihat kejadian-kejadian penting yang telah lalu yang dapat dijadikan
pelajaran bagi generasi saat ini maupun yang akan datang. Contoh-contoh
166

seperti Hancurnya Bani Ad, Tsamud, Aikah, Fir' aun, Luth dsb., oleh Al
Qur' an diperintah untuk dipelajari; dan masih banyak contoh lainnya baik
yang jadi contoh kebaikan maupun kejelekan yang pernah ada di muka bumi
ini (Q.47:10; 12:109). Kajian ini dapat dipelajari melalui penulusuran
sejarah dengan referensi yang ada, data geologi, arkeologi, dsb. Salah satu
bukti statement Qur'an yang menjadi kenyataan dari sisi sejarah adalah yang
berbunyi:

(Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu (Fir' aun) supaya
kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu
dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda
kekuasaan Kami) (Q. 10:92).
Ternyata hal ini benar setelah ditemukannya batu bersurat dimuara
cabang sungai nil dan batang tubuh (badan) Fir' aun berupa mumi pertama
kalinya pada tanggal 6 Juli 1879 oleh Emil Brugsch dan Ahmad Effendi Kamal
atas petunjuk Muhammad Abder-Rasul dari Mesir. Terungkaplah nama-
nama Fir'aun dari dinasti ke 18 (1635-1365 s.m.) dan ke 19 (1365-1235 s.m.)
sebagai berikut: Dinasti ke 18, Aahmes I (1635-1610), Amenhotep I (1610-
1590), Tehutimes (1590-1565), Tehutimes II (1565-1552), Ratu Hatshepshut
(1552-1530), Tehutimes III (1530-1500), Amenhotep II (1500-1470),
Tehutimes IV (1470-1455), Amenhotep III (1455-1420), Amenhotep IV
(1420-1400), Saa-nekht (1400-1390), Tut-Ankh-Amen (1390-1380), Ai-
Amen (1380-1368), Hor-em-heb (1368- 1365). Dinasti ke 19, Ramses I
(1365-1355), Seti I (1355-1345), Ramses II (1345-1285), Meneptah (1285-
1250), Seti II (1250-1235). Dari sederet nama tersebut para ahli sejarah
sependapat bahwa yang tenggelam dalam laut pada pengejaran Musa adalah
Ramses II.

2. Metode comparative.
Cara ini sangat menonjol dalam ungkapan Al Qur' an seperti dikemukakan
dalam beberapa ayat antara lain: Q. 13:4; 71:1-10; 89:1-5; 92: 1-11. Dengan
cara ini kita mampu mengungkap suatu rahasia alam berdasarkan kaidah-
kaidah (sunatullah) yang berlaku dari dua sisi yang berlawanan. Kalau kita
ambil salah satu ayat di atas, misal Q. 13:4, bunyinya sebagai berikut:
167

(Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berpasangan, dan


kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan
yang tak bercabang, disirami dengan air yang sama; Kami melebihkan
sebagian tanaman itu atas sebagian yang lain tentang cita-rasanya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran (ilmu pengetahuan)
bagi kaum yang mau berfikir (meneliti).
Tidak diragukan bahwa tanda luar (fenotip) suatu jenis tanaman berupa
bentuk batang, jumlah bulu daun dan stomata, jumlah tandan atau malai dan
sebagainya; sering merupakan indikator penting yang dijadikan dasar
pertimbangan ahli breeding tanaman dalam mencari varietas tanaman baru
yang lebih unggul. Hal ini ternyata ada hubungannya dengan adanya faktor-
faktor dominasi genetika yang senantiasa terbawa dari tetua ke zuruatnya,
yang kita kenal sebagai penentu genotipnya. Cara pengujian comparative ini
umum dilakukan dalam bidang pertanian dalam mencari klon-klon tanaman
unggul tadi pada hamparan areal pertanaman tertentu. Varietas atau klom yang
unggul tadi baik produksinya maupun kualitasnya akan menjadi
perbendaharaan plasma nutfah yang tak ternilai harganya.

3.Metode Prediksi.
Yaitu suatu cara untuk dapat mengungkap apa yang akan terjadi pada suatu
masa didepan. Ketajaman cara ini dalam dunia sains umumnya jarang yang
mencapai titik yang tepat (100%), hal ini dapat diakibatkan berbagai hal
seperti kurangnya data pendukung, kurangnya pengalaman pengamat,
kurang jelinya analisis, dsb. Namun prediksi yang dikembangkan Al
Qur' an nampak sudah mencapai titik kepastian yang hakiki, seperti
diterangkan dalam beberapa ayat: Q.81:1-14; 99:1-6; 101:1-5. Hal ini kalau
diteliti dengan seksama ternyata juga ditunjukan dengan adanya contoh-
contoh yang berulang-ulang sebelumnya. Salah satu contoh prediksi
(ramalan) yang tepat terbukti dalam Qur' an adalah mengenai kalah-
menangnya perang antara Romawi dan Persia, seperti dijelaskan dalam
surat Ar Ruum (30): 2-4 sebagai berikut:
168

(Telah dikalahkan bangsa Romawi; dinegeri yang terdekat dan


mereka sesudah dikalahkan itu akan menang; dalam beberapa tahun lagi.
Bagi Allahlah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan di hari
(kemenangan bangsa Romawi) itu bergembiralah orang-orang yang
beriman).
Ayat ini turun jauh sebelum pertempuran itu terjadi, dikala kondisi
umat Islam masih minoritas dan belum mempunyai kekuatan sama sekali.
Ironisnya dalam kondisi demikian telah berani membuat ramalan terhadap
kejatuhan dua negara super power yang ada saat itu. Metodologi ini telah
dimanfaatkan dengan jitu oleh Abu Bakar Shiddiq dengan cara bertaruh dengan
Ubbay bin Khalaf dan Ummayyah bin Khalaf (keduanya kafir Quraisy), yang
kemudian dimenangkan Abubakar Shidiq dengan 100 ekor unta muda. Karena
terbukti setelah Romawi kalah pertama dalam beberapa tahun kemudian
(sekitar 3-9 tahun) ia mengalahkan Persia.

4. Metode Observasi.
Dalam Al-Qur’an hal ini lebih banyak hubungannya dengan metode pendidikan
dan pengajaran, dimana si anak didik secara langsung ditunjukan pada
pengawasan objek kajiannya. Beberapa metode ini tersembunyi dalam perintah
Tuhan dalam beberapa ayat berikut:

(Katakanlah: Berjalanlah kamu di muka bumi, lalu perhatikanlah


bagaimana akibatnya orang-orang yang berdosa) (An-Naml, 27: 69). Ayat
sejenis dapat dilihat pada surat Ar-Ruum, 9; Al-Ghaafir, 21 dan 82; Al-An’am,
11; dan lain-lain.

5. Metode klinis.
Hal ini menyangkut cara perawatan individu maupun kelompok yang
sangat intensif sekali dikembangkan oleh rasulullah, dengan dialog langsung
terhadap problema yang muncul dalam masyarakat. Dengan penuh
perhatian rasulullah memberikan perhatian khusus pada sosok individu,
sehingga menimbulkan rasa persaudaraan khas muslim (Q. 48: 29).
169

6. Metode Trigger.
Metode ini adalah suatu cara yang dikembangkan dengan menggunakan
pendekatan “trigger” atau pendobrakan atau lecutan pada suatu sistem.
Efektivitasnya telah terbukti oleh konsep Al-Qur’an pada suatu masyarakat
jahiliyah yang pada saat itu menganggap kebudayaannya sudah standar. Pada
masyarakat demikian Al-Qur’an mendobraknya dengan ayat-ayat Makiah yang
dirasakan “keras” oleh kafir Quraisy seperti ayat-ayat berikut:

(Katakanlah: Hai orang-orang kafir. Aku tiada akan menyembah apa


yang kamu sembah. Dan kamu tiada akan menyembah apa yang aku sembah.
Aku tak pernah pula menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tak pernah
pula menyembah apa yang aku sembah. Bagi kamu agamamu dan bagiku
agamaku) (Al-Kafirun, 109: 1-6).
Masih ada ayat-ayat pelecut lainnya yakni: Surat Al-Lahab, Al-Ikhlas,
dan lain-lain. Dengan cara ini sendi-sendi budaya rapuh tersebut hancur
total, tentunya dengan resiko berat bagi pendobraknya. Setelah itu barulah
muncul periode pengisian dan pemeliharaan yang dijabarkan dalam bentuk
surat-surat Madaniah yang kebanyakan membangun sistem sosial.

7. Metode Behaviour.
Yakni menyangkut pendekatan tabiat atau adat kelakuan. Cara ini sangat
menonjol dalam Islam terutama dalam mengungkap jati diri individu atau
kelompok, sehingga dengan mudah dapat dilihat perbedaan mukmin,
mukhlis, munafik, kafir, fasik, dst. Dengan cara ini pula dengan mudah dapat
melakukan peningkatan kualitas individu atau kelompoknya.
Nampaknya metodologi ini sangat efektif dalam pengembangan bidang ilmu-
ilmu sosial. Dalam Islam pembentukan kelakuan seseorang dipraktekan
langsung sejak dini, seperti perintah agar anak umur tujuh tahun sudah
dikenalkan dengan shalat dan sembilan tahun mulai agak keras bila
membangkang dengan pukulan lembut, dan seterusnya. Bahkan nabi
menganjurkan agar mencari lingkungan yang baik dalam pendidikan tersebut
karena masalah lingkungan akan merubah watak seseorang. Secara eksplisit Al-
Qur’an membangun watak etika (sopan-santun) anak terhadap orang tua
sekalipun berbeda prinsip, seperti ayat berikut:
170

(Tuhanmu memerintahkan, supaya janganlah kamu sembah, kecuali


Dia dan berbuat baiklah kepada ibu-bapak. Jika seseorang di antara keduanya
telah tua atau keduanya, janganlah engkau katakan cis kepada keduanya dan
jangan pula engkau hardik keduanya dan ucapkanlah kepada keduanya
perkataan yang mulia (lemah-lembut). Rendahkanlah sayap kehinaan (berhina
dirilah) kepada keduanya, karena kasih-sayang dan katakanlah: Ya Tuhanku!
Kasihanilah keduanya, sebagaimana keduanya telah mengasuhku ketika aku
masih kecil) (Surat Al-Isra’, 17: 23-24).

8. Metode deduksi/induksi.
Metode ini telah dikenal secara luas dalam dunia sains moderen saat ini,
terutama dalam mengungkap dunia benda mati, sedang dalam benda
hidup tirainya saat ini sedang dibuka melalui rahasia DNA/RNA. Untuk
mendapatkan pengetahuan, dalam dunia sains biasanya cara ini berjalan
silih berganti dengan metode rasionalis/deduktif. Kalau yang pertama
dalam mencari kebenaran itu berdasarkan pada data yang terkumpul dari
pengalaman yang didapat menjadi pengetahuan yang cakupannya luas dan
bersifat umum. Maka pada deduktif orang mendapatkan pengetahuannya
melalui naluri atau penalaran akalnya sehingga didapat pemahaman yang
bersifat umum menjadi pengetahuan khusus. Dalam kenyataannya kedua
metodologi inipun mempunyai kelebihan dan kekurangannya sehingga
penggunaan keduanya dalam dunia sains akan mengurangi tingkat kesalahan.
Bagaimana besarnya tingkat kesalahan dalam dunia sains adalah apabila kita
mengamati sebuah benda sebagai contoh; pada benda berdiameter 0,25 mm,
harus pakai lensa; pada diameter 1/1.600 mm benda telah kehilangan warna;
pada diameter seper milyar mm benda kehilangan bentuk, ukuran dan posisi.
Dengan demikian semakin kecil benda tersebut maka tingkat kesalahan
pengukuran atau identifikasi sains semakin besar dan dapat mencapi 100 %,
atau salah sama sekali. Hal seperti inilah yang disebut dengan azas ketidak
pastian menurut Dr. Wernen Heisenberg (1927) manakala ia tak dapat
menentukan secara pasti letak elektron pada satu waktu serentak dengan
geraknya.
171

5. Metode dan rancangan penelitian


Tidak dapat disangkal bahwa antara sains dan penelitian adalah
laksana dua sisi mata uang; sains tak akan mempunyai nilai tanpa penelitian,
demikian sebaliknya penelitian tidak akan terlaksana tanpa sains yang
mendukungnya.
Berdasarkan alur metode ilmiah, suatu penelitian baru bisa
dilaksanakan setelah seorang peneliti mampu memformulasikan objek
penelitiannya dalam bentuk hipotesis. Dengan demikian pada saat hipotesis
diformulakan perlu dipikir masak-masak apakah pendekatan (metode) yang
akan dilakukan nantinya sesuai. Lalu dengan cara atau rancangan yang
bagaimana penelitian tersebut akan kita bangun. Dengan metode dan rancangan
penelitian yang tepat akan mengurangi bias yang akan muncul. Memang cukup
sulit untuk menentukan metode atau rancangan yang bersifat umum mengingat
begitu luasnya objek yang kita dekati; apakah itu dalam bidang sejenis apalagi
lain jenis. Sehubungan dengan itu di bawah ini dikemukakan berbagai
rancangan penelitian yang sering didapat dalam berbagai penelitian.

Penelitian Historis (Historical research)


Untuk merekrostruksi kembali kejadian masa lampau secara sistematis
dan objektif dengan cara mengumpulkan data, mengevaluasi serta verifikasi dan
melakukan analisis terhadap data-data agar supaya didapat kesimpulan yang
benar. Penelitian jenis ini biasanya mengandalkan data primer dan sekunder,
yakni dengan cara mengumpulkan langsung di lapangan atau menelusuri
laporan yang telah ada. Langkah yang perlu dilakukan adalah:
Devinisikan permasalahan dengan mengajukan pertanyaan misal:
apakah cara pendekatan ini sesuai; data penting apakah yang perlu dicari;
bergunakah hasil yang akan didapat nantinya.
• Rumuskan tujuan dari penelitian tersebut dan kalau mungkin
buatlah hipotesisnya.
• Lakukan pengumpulan data dengan menjadikan data primer dan
sekunder sesuatu yang berbeda.
• Evaluasi data secara kritis baik faktor internal maupun eksternal
yang terlibat di dalamnya.
• Buatlah laporan
Beberapa contoh adalah: Mempelajari sistem irigasi kerajaan Saba’
dimasa lampau yang katanya menyebabkan negeri itu makmur padahal di
daerah yang dikenal sebagai padang pasir. Atau mempelajari sistem bawon
(bagi hasil padi dikala panen antara pemilik dan pemetik) di Jawa yang
merupakan sistem gotongroyong sosial dipedesaan.
172

Penelitian Deskripsi (Descriptive research)


Merupakan pencandraan (perekaman kasat mata) mengenai fakta-fakta
yang ada dalam suatu populasi, daerah, benda, dan sebagainya secara
sistematis, akurat dan apa adanya (faktual). Penelitian jenis ini umumnya
dilakukan untuk mempelajari kondisi faktual objek riset di lapangan tanpa
memilah-milah sehingga sering juga disebut sebagai penelitian survey.
Langkahnya adalah sebagai berikut:
• Devinisikan secara jelas mengenai apa yang hendak dicapai dan
fakta yang bagaimana yang mau dicari.
• Rumuskan rancangan pendekatannya. Bagaimana data
dikumpulkan; bagaimana penentuan sampel; peralatan apa yang
akan digunakan serta tekniknya observasinya bagaimana; apakah
si pendata sudah terlatih; dan sebagainya.
• Lakukan pengumpulan data.
• Buat laporan
Contoh: Jenis plasma nutfah apa sajakah yang dominan pada setiap
kenaikan ketinggian gunung Semeru; Apakah perbedaan prilaku yang
mencolok antara suku Madura yang berdomisili di pesisir pantai dan
pedalaman; Apakah ciri-ciri atau perbedaan pokok dari salak Madura, Bali,
Pondoh (Yogya), dan Suwaru (Malang); dan lain-lain.

Penelitian Perkembangan (Developmental research)


Dimaksudkan untuk melihat suatu pola perkembangan atau
pertumbuhan atau perubahan berdasarkan berjalannya waktu. Dalam penelitian
jenis ini kita mempelajari variabel-variabel tertentu yang dianggap pokok bagi
suatu perkembangan yang dijabarkan dalam ukuran waktu sepertu hari, bulan
atau tahun. Dalam perkembangan tersebut kita dapat melihat pola yang
terbentuk, kecepatan laju pertumbuhannya, serta bagaimana hubungannya
dengan faktor lain. Langkah yang dilakukan sebagai berikut:
• Devinisikan masalah dan tujuan
• Telaah pustaka dalam rangka menentukan metode, peralatan,
teknik pengumpulan data.
• Rencanakan cara pendekatannya.
• Kumpulkan data
• Evaluasi data
• Buat laporan
173

Teladan: Apakah terdapat pola tertentu respon manusia terhadap rasa


takut akan hantu pada kelompok umur yang berbeda (misal: tingkat SD, SLTP,
SLTA, PT, di atas 50 tahun); Pengaruh umur tanaman terhadap kepekaan
terhadap hama atau penyakit tertentu; dan lain-lain.

Studi Kasus dan Lapangan (Case study and field research)


Mempelajari secara intensif keadaan sesungguhnya saat ini serta
interaksi unit sosial tertentu di masyarakat seperti: individu, struktur sosial,
pemerintah, dan sebagainya. Agak berbeda dengan metode survey yang
mempelajari variabel yang kecil dari unit sampel yang besar, maka disini
mencoba mempelajari unit yang kecil tetapi dalam variabel atau kondisi yang
besar. Umumnya digunakan untuk kasus-kasus sosial tertentu yang hasilnya
merupakan gambaran yang lengkap dan terorganisir dengan baik. Hal ini sangat
berguna dalam rangka perencanaan atau tindakan kebijakan lebih lanjut yang
menyangkut faktor-faktor sosial sehingga sedapat mungkin harus objektif dan
dideskripsikan dalam data statistik. Langkah pokoknya adaalah:
• Rumuskan apa tujuan yang hendak dicapai.
• Rancangan dan pendekatannya. Unit apa yang akan dipilih,
sumber data apa yang tersedia, dsb.
• Pengumpulan data
• Pengorganisasian data dan informasi yang ada menjadi konstruksi
yang utuh.
• Buat laporan dan diskusinya
Teladan: Studi kasus “peristiwa sampit” terhadap rasa traumatik
masyarakat Madura; Studi masyarakat baduy di Jawa Barat; dsb.

Korelasional (correlational research)


Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat sejauhmana keterkaitan
hubungan suatu faktor dengan faktor lain baik tunggal maupun majemuk yang
bentuk keterkaitannya digambarkan dalam koefisien korelasi (r) . Penelitian
cara ini memungkinkan kita bermain dengan angka-angka koefisien korelasi
tanpa dapat mengintervensi data yang sebenarnya terjadi sehingga mendekati
kondisi realistiknya di lapangan. Cara ini dilakukan apabila rancangan lain tak
dapat digunakan karena tidak sesuai seperti eksperimental. Langkah yang
dilakukan meliputi:
• Definisikan permasalahan
• Runtut studi kepustakaan
• Buat rancangan pendekatan terdiri dari: identifikasi variabel yang
relevan, tentukan subjek, pilih peralatan yang cocok, pilih metode
174

korelasional yang sesuai (korelasi sedrhana, korelasi parsial dan


berganda, path analysis, SEM, dll.)
• Kumpulkan data
• Analisis data dan interpretasinya
• Membuat laporan
Teladan: Mencari pengaruh banyaknya ponpes terhadap tingkat
kriminalitas di Bangkalan; Pengaruh pendirian industri kimia di bantalan sungai
terhadap kualitas air; Pengaruh tingkat pendidikan suami-istri terhadap
kenakalan remaja; Pengaruh hutan kota terhadap pencemaran udara; dsb.

Kausal-Komparatif (Causal-comparative research)


Untuk mempelajari hubungan timbal balik atau sebab akibat yang
bentuk hubungannya biasanya dapat dilihat dalam pola tertentu dengan
keeratannya digambarkan dalam koefisien determinatif (R2). Cara ini
memungkinkan kita melakukan pengamatan dengan variabel yang luas yang
dianggap punya hubungan terhadap faktor tertentu dengan demikian akan
didapat berbagai model hubungan yang pilihannya ditentukan oleh besarnya
nilai keeratan serta alasan-alasan lain yang rasional. Langkah yang perlu
dilakukan adalah:
• Definisikan masalah
• Penelaahan pustaka
• Rumuskan hipotesis
• Rancang cara pendekatan (Regresi linier atau non linier)
• Kumpulkan data dan analisis data
• Laporan
Teladan: Hubungan pertumbuhan tanaman terhadap pemupukan dan
irigasi; Hubungan IPK mahasiswa Universitas Trunojo dengan pengalaman
dosen; dsb.

Eksperimental-Sungguhan
Dimaksudkan untuk melihat pengaruh suatu perlakuan atau beberapa
perlakuan terhadap variabel tertentu dengan membandingkannya pada
perlakuan kontrol. Penelitian cara ini banyak dikembangkan dalam bidang
eksakta karena memungkinkan untuk melakukan pengontrolan terhadap faktor-
faktor lain yang tidak dikehendaki. Langkah yang dilakukan:
• Studi pustaka
• Identifikasi dan definisi masalah
175

• Buat hipotesis
• Devinisikan variabel-variabel kunci
• Susun rencana eksperimen: FRD, RBD, LSqD, SSPD, dsb.
• Lakukan penelitian
• Atur data kasar
• Uji signifikansi
• Buat laporan dan interpretasi
Teladan: Pengaruh unsur cuaca terhadap produksi melon di rumah
kaca; Pengaruh gulma air dalam mengurangi polutan buangan pabrik dalam
water treatment area; dsb.

Eksperimental-Semu
Pada prinsipnya sama dengan eksperimental-sungguhan namun disini
dilakukan apabila variabel tertentu tidak dapat dikontrol atau sulit dikontrol
karena alasan tertentu. Langkah yang dilakukan sama dengan eksperimen
sungguhan namun ada catatan terhadap keterbatasan dalam mengontrol faktor
internal dan eksternalnya.
Teladan: Masalah kenakalan usia sekolah dengan kebiasaan merokok,
bertato, rambut gondrong; dsb.

Penelitian Tindakan
Dimaksudkan untuk mengembangkan ketrampilan atau inovasi baru
dalam memecahkan masalah dengan penerapan atau contoh langsung di
lapangan. Cara ini memang praktis serta nyata dan mampu merubah langsung
perilaku atau kebiasaan masyarakat. Langkahnya adalah:
• Definisikan masalah dan tujuan
• Telaah pustaka
• Buat hipotesis atau strategi pendekatan yang akan dilakukan
• Bagaimana penempatan penelitiannya
• Buat kretarium evaluasinya dan kumpulkan data
• Analisis data
• Buat laporan
Teladan: Introduksi panca usaha tani dalam masyarakat tradisional;
Contoh langsung pimpinan dalam tindakan kedisiplinan atas waktu kerja di
kantor, dsb.
176

Dengan pengelompokan rancangan di atas kita dengan mudah dapat


melangkah lebih jauh untuk memilah-milah penyesuaian objek, dana, waktu,
instrument, dan sebagainya. Disini tidak ada istilah jenis penelitian mana yang
lebih tinggi kualitasnya atau kebenarannya, mengingat masing-masingnya
mempunyai kelebihan dan kekurangan, yang penting disini adalah prosedur
kaidah ilmiah telah dikemukakan dengan gamblang. Bisa saja hasil yang
didapat saat ini dianggapnya benar dengan kaedah yang ada akan tetapi
tertempis kemudian karena pendekatan atau rancangan yang salah. Dalam
bidang sosial misalnya hampir mustahil kita melakukan penelitian dengan
menggunakan eksperimental sungguhan ataupun semu mengingat sulitnya
mengontrol variabel yang berinteraksi di dalamnya, hal ini lebih tepat dalam
bidang-bidang eksakta seperti kimia, fisika, atau biologi tertentu. Pendekatan
yang dipaksakan justru akan menyebabkan interpretasi yang salah terhadap
suatu masalah, sehingga pekerjaan penelitian menjadi sia-sia.

Daftar Pustaka
Anonim. 1989. Petunjuk penggunaan ISBN/ISSN. PDII-LIPI. 3h.
Anonim. 1989. Penjelasan dan petunjuk pelaksanaan peraturan baru tentang angka
kredit bagi tenaga pengajar di P.T. Fak. Pertanian Unibraw. 8 h.
Gembong Tjitrosoepomo. 1980. Tatacara laporan ilmiah secara tulis. Fak. Biologi
UGM, Yogyakarta. 12h.
F. Rumawas. 1981. Metodologi penelitian. IPB. 71 h.
177

METODE MONITORING DAN EVALUASI


PENGEMBANGAN JURUSAN1
Ika Rochdjatun Sastrahidayat

Pendahuluan
Tugas utama dari perguruan tinggi adalah melakukan kegiatan yang
disebut dengan istilah Tri Dharma Perguruan Tinggi, yang meliputi: (a)
pendidikan dan pengajaran; (2) penelitian; (3) dan pengabdian kepada
masyarakat. Dengan demikian segala aktivitas daya dukung baik itu berupa
manusia maupun perlengkapannya seharusnya diarahkan kepada ketiga
kegiatan tersebut, demikian pula dengan pengembangannya. Sumber daya
manusia kampus sebagai daya dukung kegiatan tadi dikenal sebagai sivitas
akademika, yakni terdiri atas: tenaga dosen, mahasiswa dan tenaga administrasi
termasuk di dalamnya unsur pimpinan. Potensi dari masing-masing unsur
tersebut perlu terus dibina dan dikembangkan agar supaya visi dan misi yang
menjadi target perguruan tinggi tertentu dapat segera dicapai atau terealisir.
Untuk mewujudkan cita-cita tersebut unsur dosen sangat vital
mengingat peranannya yang dapat melakukakan atau mewarnai ketiga aktivitas
tersebut di atas, bahkan ia bisa menjadi “lokomotif” yang bisa membawa
gerbong perguruan tinggi kemana saja. Hal ini tidak lepas dari fungsi gandanya
yakni selain sebagai pendidik ia dapat juga sebagai pemimpin di kampusnya
(Rektor, Dekan, Kajur). Cepat atau lambatnya perkembangan perguruan tinggi
sangat tergantung dari seberapa jauh para dosennya aktif dalam pengabdian tri
dharmanya, sehingga motivation echievement sangatlah diperlukan bagi para
dosen.
Untuk melihat sampai seberapa jauh perkembangan kegiatan semua
unsur tersebut dalam aktivitas tri dharmanya diperlukan adanya monitoring
yang kontinyu terhadap semua variabel yang terlibat di dalamnya. Dengan
demikian variabel tersebut harus bisa diukur dan sebaiknya disederhanakan
agar tidak nampak sulit dan membingungkan, tanpa harus mengurangi esensi
keberadaan variabel tersebut dalam suatu system. Alat ukur (parameter) yang
diakomodasikan secara bersama akan membatu dalam monitoring progress
suatu pekerjaan sehingga mengurangi tingkat kesalah fahaman dikemudian hari.
Hasil monitoring terhadap variabel yang disepakati tersebut merupakan fakta
lapangan yang biasanya ditulis dalam bilangan (angka-angka) yang dikenal

1
Makalah disampaikan dalam diskusi tentang Monev di Jurusan
Manajemen Fak. Ekonomi Unijoyo, tgl 14 Oktober 2005
178

dalaam dunia ilmu sebagai data. Karena monitoring berjalan menurut waktu
maka data-data yang didapat akan semakin banyak dan selalu berubah atau
dinamis sehingga diperlukan tenaga monitoring yang handal yang mengerti
filosofis dan tujuan dari pekerjaan monitoring tersebut.
Data-data yang didapat merupakan suatu bahan yang masih mentah
untuk diproses lebih jauh, apakah data-data tersebut mempunyai nilai guna
(added value) atau justru sebaliknya hanya merupakan sekumpulan informasi
yang justru menyesatkan (rubbiesh). Pekerjaan demikian (evaluasi) hanya dapat
dilakukan oleh seorang yang mempunyai kemampuan memadai sebagai
evaluator, karena ia harus pula mampu memberikan saran-saran atau solusi
bagaimana sebaiknya. Agar supaya seorang evaluator mampu berbuat cepat
dengan tingkat legitimasi akademik yang dapat dipertanggung jawabkan, maka
ia harus mempunyai alat analisis yang dikemukakan secara terbuka kepada
khalayak (terutama yang akan dievaluasi) dalam rangka menjaga objektivitas.
Analisis tersebut dikenal sebagai analisis data yang umumnya menggunakan
pendekatan statistika baik dalam bentuk uji signifikansi, trend, pola, model, dll.
Hasil analisis inilah yang menjadi bahan laporan dari perkembangan suatu
system yang kemudian didiskusikan untuk mencari jalan keluar bagi tindakan
tertentu (action program) terhadap perubahan system yang sedang berjalan.
Dengan dasar siklus tersebut maka pada tulisan ini akan diuraikan
secara lebih luas dari masing-masing elemen dalam “kotak” siklus tersebut
sehingga akan lebih mudah dipahami bagaimana mekanismenya.

Sistem berjalan
Sistem adalah sebuah kesatuan atau unit tertentu dengan cirri-ciri
yang khas dan mempunyai pola atau model khas pula dengan dilengkapi oleh
bagian system atau subsistem serta elemen system. Kita kenal sebuah system
terkecil yang hidup yang disebut dengan sel (baik khewan, tumbuhan, maupun
manusia), yang padanya terdapat bagian-bagian yang rumit seperti dinding sel,
inti sel, protoplasma, mitochondria, dsb. Demikian khasnya sehingga antara sel
makhluk hidup tersebut berjalan menurut kodrat yang diperuntukannya. Sel
selama semua unsur dan “mesin”nya masih memadai ia akan tetap berjalan dan
apabila terdapat kerusakan akan terjadi perbaikannya (self improvement). Oleh
karena itu sebuah system yang hidup akan selalu berubah dari waktu ke waktu,
system demikian disebut sebagai system yang dinamis (dynamic system).
Contoh sehari-hari dari system demikian selain sel tersebut adalah lingkungan
dimana manusia hidup berinteraksi dengan lingkungannya yang disebut
ekosistem.
Kembali hubungannya dengan dunia pendidikan di perguruan tinggi,
maka dunia kampus, baik di tingkat universitas, fakultas atau jurusan pada
dasarnya adalah sebuah system dinamis atau system berjalan. Dalam uraian ini
179

akan dibicarakan sebuah system pada tingkatan terkecil di perguruan tinggi


yakni di tingkat jurusan, sehingga lebih sederhana dalam melakukan
evaluasinya karena subsistem maupun elemen sistemya tidak luas.
Kita ambil contoh jurusan Manajemen, fakultas Ekonomi, Universitas
Trunojoyo. Dalam jurusan yang dimaksud system yang berjalan adalah system
akademik yang dinamikannya dapat dilihat dari perubahan sub system dan
elemen sistemnya. Terdapat dua subsistem penting yang ada di dalamnya yakni:
factor internal dan factor eksternal. Masing-masing mempunyai elemen system
yang berbeda dan sangat penting bagi dinamika system tersebut. Faktor internal
terdiri atas: elemen fisik (laboratorium, kelas, kebun percobaan, ruang
administrasi, peralatan dan bahan, dll.) dan elemen non fisik (dosen,
mahasiswa, karyawan, pimpinan, kurikulum, peraturan, dll). Sedangkan factor
eksternal juga terdiri dari factor fisik (instansi terkait, peralatan dan bahan, dll.)
dan non fisik (kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah, respon
masyarakat, lapangan kerja, dll.).
Sistem pendidikan di jurusan Manajemen Unijoyo tentu berbeda
dengan di jurusan Manajemen Unibraw misalnya; dimana Unijoyo lebih
berorientasi kepada manajemen ekonomi pengusaha kecil sedangkan di
Unibrawa kepada pengusaha menengah. Kelangsungan dari system tersebut
untuk berkembang sangat tergantung dari sejauhmana manajer yang menjadi
“nakhoda” system tersebut mampu menyambungkan orientasi antara system
manajemennya dengan pangsa pasarnya. Oleh karena itu bentuk atau model
dari system perlu diformatkan atau digambarkan secara jelas agar mudah dalam
usaha monitoringnya.

Metode Monitoring
Sebelum masuk lebih jauh dalam membahas monitoring dan evaluasi
(Monev) tersebut, maka ada baiknya dikemukakan dahulu beberapa hal yang
perlu diperhatikan dengan saksama:
Harus ada tenaga monitoring yang paham benar terhadap sistem yang
berjalan beserta elemen sistemnya. Jumlahnya tergantung kebutuhan namun
sebaiknya ganjil agar supaya lebih objektif terhadap pengumpulan data (3 atu 5
orang).
Sebaiknya dilakukan secara rutin berdasarkan kurun waktu tertentu agar
supaya memudahkan ploting data untuk melihat kecenderungan trend yang
sedang sedang berjalan. Adapun frekuensinya tergantung tujuan dari
monitoring tersebut dilaksanakan.
Dalam mengumpulkan data seyogyanya mengikuti kaedah-kaedah
akademik untuk mengurangi bias yang akan muncul (seperti penentuan sampel,
cara pengamatan).
180

Setelah hal-hal tersebut disepakati bersama maka langkah selanjutnya


adalah berhubungan dengan bagaimana monitoring tersebut dilakukan atau
bagaimana metode pelaksanaannya. Monitoring pada hakekatnya adalah
merupakan tindakan seseorang atau sekelompok orang dalam mengumpulkan
informasi (berupa data) dari suatu sistem yang ada atau menjadi tugasnya
(relevan) untuk diproses lebih lanjut. Dalam pengumpulan data tersebut
beberapa hal perlu diperhatikan adalah: (1) jenis data, (2) sumber data, (3) cara
memperolehnya, (4) jumlah data yang harus dikumpulkan agar mencukupi
kebutuhan (cukup, memadai, dan tepat).
Jenis data
Terdapat dua jenis data yakni:
• Data kuantitatif, yakni data yang dapat diselidiki secara
langsung dan dapat dihitung dengan menggunakan cara
sederhana.
• Data kualitatif, yakni data yang tidak dapat diselidiki secara
langsung dan hanya dapat diukur dengan cara tidak langsung,
seperti misalnya tingkat intelegensia, ketrampilan, kejujuran,
dan lainnya.
Sumber data.
• Ada dua sumber data yang lazim dilibatkan yakni sumber
lapangan (primer) dan sumber documenter (sekunder).
Cara memperoleh data.
Teknik pengumpulan data dapat diterangkan sebagai berikut:
• Teknik komunikasi. Dalam hal ini tenaga monitoring
menelusuri data ke sumber data (informan) sehingga terjadi
komunikasi tanya-jawab, yang biasanya dilakukan dengan
metode lisan maupun tulis. Oleh karena itu perlu diusahakan
agar pihak informan mau dan dapat mengerti isi dan arti dari
masalah yang akan dibahas. Ada dua factor yang sangat
berpengaruh, yaitu bahasa dan cara pendekatannya. Beberapa
petunjuk dalam pelaksanaan teknik komunikasi tersebut
antara lain: (1) perumusan masalah dan tujuan pengumpulan
data sebagai arahan topic pembicaraan, (2) menggunakan alat
komunikasi yang tepat dan penggunaan bahasa yang harus
menari, bersikap simpati dan luwes, tapi jujur, (3)
menghindari berbagai hal yang dapat menyinggung harga
diri dan perasaan subjek informan serta menjunjung tinggi
kerahasiaan fakta pribadi, (4) kalau mungkin diadakan
percobaan atau latihan pendekatan terlebih dahulu.
181

• Teknik observasi. Pada dasarnya teknik observasi sama


dengan teknik komunikasi, perbedaannya adalah pada cara
pengisian daftar isian dan daftar pertanyaan. Pada teknik
komunikasi pengisian dilakukan oleh informan, sedangkan
pada teknik observasi dilakukan oleh tenaga monitoring atau
peneliti (dalam penelitian). Teknik inipun mengharuskan
tenaga monitoring mengumpulkan data secara fisik di
lapangan.
• Studi kepustakaan. Tenaga monitoring dapat mempelajari
data kuantitatif maupun kualitatif melalui sumber dokumenter
(laporan, monografi, koran, peta, dll), namun demikian
keabsahannya harus dicek langsung ke lapangan.
Kompilasi data.
• Setelah data cukup terkumpul atas dasar kaedah tertentu maka
tahap berikutnya adalah bagaimana data tersebut disusun
sedemikian rupa agar mudah dibaca, mudah dilihat kaitannya
satu dengan yang lain, dan informatif. Tahap kompilasi data
ini sudah mempunyai bobot “pra analisis”, artinya dari
kompilasi data ini sudah dapat terbaca segala kecenderungan
di masa mendatang, yang akan sangat penting peranannya
dalam proses peramalan. Macam kompilasi data dipengaruhi
oleh sistem analisis data yang akan digunakan, yang juga
menentukan volume data yang dibutuhkan. Oleh karena itu
pencatatan data harus dibuat sedemikian rupa agar
bermanfaat bagi analsis data. Data mentah harus dibuat
selengkap mungkin dan terinci. Kompilasi data dapat
disajikan dengan berbagai cara seperti dalam bentuk tabel,
peta, grafik, gambar dan bagan.

Evaluasi
Antara monitoring dan evaluasi biasanya merupakan suatu kesatuan
yang utuh agar supaya didapatkan kesimpulan yang bermanfaat. Namun
adakalanya kedua kegiatan tersebut juga dipisahkaan agar tidak terjadi
manipulatif data yang menyebabkan kesimpulan yang salah (abs). Seorang
evaluator sebaiknya adalah mereka yang paham benar dengan model-model
analisis data serta mampu menganalsisnya secara kritis dan objetif. Ini berarti
bukan hanya menjadi “tukang” stempel atau “yes man” namun harus punya
keberanian dan kemampuan untuk membuat kesimpulan dan saran serta
ekstrapolasi terhadap data yang dianggap kurang memadai atas dasar akademik.
182

Sehubungan dengan itu dalam evaluasi dikenal dua model yang


biasanya dikembangkan, yakni: (1) model matematika dan (2) model miniatur.
Model matematika menyatakan hubungan dari aspek yang diamati dalam
rumusan matematika. Hal ini dilakukan apabila masalah yang akan dianalisis
mempunyai hubungan yang dapat diasosiasikan dengan hubungan fungsi
matematika, seperti: garis lurus, lengkungan, model gravitasi, atau model
aljabar lainnya. Contohnya: analisis perkembangan jumlah penduduk, migrasi,
transportasi, input-output, analisis ekonomi, dll. Sedangkan model miniatur
adalah menyatakan objek dalam skala miniatur yang tetap proposional,
misalnya maket, peta, sistem nilai.
Dalam tulisan ini tidak dibahas lebih jauh tentang bagaimana cara
analisis data karena hal tersebut sangat tergantung dari rancangan yang
dibangun atau digunakan untuk penelitian tersebut yang lebih lengkapnya dapat
dipelajari dari berbagai referensi yang ada.

Tindakan.
Istilah lain adalah program aksi, yakni suatu perlakuan yang harusnya
dilakukan atau diintroduksikan kepada sistem berjalan setelah melalui berbagai
macam pertimbangan sehingga setelah tindakan tersebut dilakukan maka sistem
tersebut akan berjalan sesuai dengan tujuan atau bahkan lebih baik sebagai efek
percepatan. Oleh karena itu kebijakan tindakn perlu dilakukan oleh mereka
yang mempunyai legitimasi atau bertanggung jawab untuk pekerjaan tersebut.
Misal: untuk universitas adalah Rektor, fakultas Dekan, jurusan Kajur. Dengan
demikian apapun bentuk tindakan yang dilakukan seyogyanya telah melalui
proses monitoring dan evaluasi yang mendalam agar tidak terjadi
“kecerobohan” yang akan mengakibatkan rusaknya elemen sistem bahkan
sistemnya itu sendiri.
Dengan berjalannya waktu seorang pimpinan perguruan tinggi
tentunya telah dapat melakukan skenario-skenario kebijakan yang akan menjadi
keputusan dalam tindakan nantinya sehingga program-program pendidikan
dapatlaah berjalan dengan lancer. Dari table di atas kita bisaa lihat berdasarkan
analisis SWOT tentu akan terjadi empat kemungkinan yang terjadi sebagai
konsekuensi dari pertemuan keempat elemen SWOT tersebut. Kebijakan mana
yang akan diambil dan diterapkan dalam system yang berjalan hendaknya
merupakan kebijakan yang rasional dengan mendekati kondisi sesungguhnya
agar supaya tidak terjadi prediksi yang terlalu optimistis atau pesimistis yang
menyebabkan beratnya tugas pelaksanaan seorang pimpinan. Kondisi lima
tahun di depan atau sepuluh tahun ke depan (berdasar tabel) harusnya bukan
hanya keluar dalam bentuk angka-angka kondisi yang akan terjadi namun juga
dengan langkah-langkah atau kebijakan yang akan dilakukan agar supaya
progres tersebut berjalan sesuai dengan skenario yang diambil. Dengan cara
inilah bentuk atau warna dari sistem yang berjalan tersebut akan senantiasa
183

dinamik terhadap perubahan waktu dimana semua elemen dan unit-unit sistem
lainnya akan “merasa” berada di dalam rumahnya sendiri (home sweet home).
Dalam Tabel 1 dapatlah dikemukakan sebuah teladan mengenai
tindakan apa yang perlu direncanakan agar supaya skenario yang diambil dapat
berjalan.
Peningkatan Sumber Daya yang Dibutuhkan
Aktifitas yang
Direncanakan
Infestasi Relokasi Sharing
Baru dari dengan
Sumber Program
yang Ada yang Ada
Relevansi Meningkatkan ke-mampuan Ya - -
berbahasa inggris mahasiswa
Meningkatkan ke-mampuan
meng-operasikan komputer Ya - -

Pelatihan
Memproduksi buku panduan - Ya -
untuk prak-tikum, diktat, dan bu- Ya - -
ku petunjuk labora-torium
Seminar/ Workshop - Ya Ya
Demo lapang petani - Ya Ya
Pelatihan untuk masyarakat - Ya Ya
sekitar
Publikasi artikel il-miah oleh
mahasis-wa dan dosen - Ya Ya

Memberikan reko-mendasi dan - Ya Ya


ke-yakinan pada petani di lapang
184

Atmosfer Evaluasi penerimaan perkuliahan - - -


Akademis oleh Dekan atau Ketua Jurusan
Peringatan oleh Dekan
- Ya -
Kehadiran perkuliah-an - Ya -
mahasiswa
Evaluasi semester untuk
mahasiswa - Ya -

Evaluasi 4 semester - Ya -

Evaluasi 8 semester - Ya -

Evaluasi akhir 7 ta-hun - Ya -

Pengembalian hasil ujian kepada - Ya -


maha-siswa
- Ya -
Pemberitahuan nilai mahasiswa
Seminar ilmiah dosen dan maha- - Ya -
siswa setiap bulan
Workshop setiap 3 bulan sekali
- Ya -
Manajemen Program terpadu manajemen Ya Ya -
internal dan infor-masi
organisasi
Memberi insentif yang sesuai
dengan kerja/ bulan - Ya -

Memotong garis birokrasi - Ya -


adminis-trasi
Menyiapkan laporan budget - Ya -
bulanan, tri-wulan, semester dan
tahunan
Alokasi budget yang sesuai
dengan aktifitas - Ya -
Evaluasi sumber budget per - Ya -
tahun
Menyiapkan perencanaan dari
unit terkecil Program Studi - Ya -
185

Pendidikan, works-hop, dalam


kuri-kulum
- Ya -
Rapat bulanan pim-pinan
Jurusan dan rapat tahunan pim-
pinan Sekolah Ting-gi - Ya -

Sustainabilitas Peningkatan DRK - Ya -


Efisiensi alokasi ang-garan - Ya -
Efisiensi dan Rapat antar semester - - -
Produktifitas
Penentuan kredit se-mester - - -
Monitoring skripsi oleh ketua - Ya -
program studi
Peningkatan fasilitas
laboratorium, per-pustakaan, dan - Ya -
dana penelitian mahasis-wa
Pelayanan mahasis-wa terhadap -- Ya -
masya-rakat sekitar
Peningkatan minat dan bakat
mahasiswa -- Ya -

Peningkatan peng-gunaan Ya -
bangunan kelas berdasarkan
peningkatan aktifitas mahasiswa
Ya -
Peningkatan aktifitas dosen dan
staf ad-ministrasi
186

Data Penulis
Ika Rochdjatun Sastrahidayat, Prof. Dr.Ir. H., Lahir di
Purwakarta (Jawa Barat), 9 Januari 1948. Guru Besar di
Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya-Malang. Pendidikan:
S1 Fakultas Pertanian Unibraw tamat 1975; S3 Fakultas
Pertanian UGM tamat 1984.
Pendidikan tambahan: Keahlian dalam riset di
Landbouw Hogeschool, Wageningan-Belanda, tahun 1977;
Keahlian dalam bidang bioteknologi (riset mikoriza) di UPLB,
Los Banos-Filipina, tahun 1988; Keahlian dalam bidang lingkungan di International
Centre of Environment for Transfer Technology (ICETT), Yokkaichi-Jepang, tahun 1993;
Keahlian tentang penangkaran bibit kentang di La Trobe University (Melbourne) dan
Departemen Pertanian di Perth (Australia), tahun 2003. Jabatan yang pernah dipegang:
PD III Fak. Pertanian Unibraw tahun 1980, Ketua Departemen Hama Penyakit
Tumbuhan FP tahun 1979, Rektor IPM tahun 1985, Staf Ahli Bupati Kutai Timur
Kalimantan Timur dan Rektor Sekolah Tinggi Pertanian Kutim tahun 2001; Ketua Umum
Perhimpunan Fitopatologi Indonesia tahun 1990. Data keluarga: 1. Istri: Ir.Siti Hamidah,
2. Anak: Saintpaulia Yonantha, SE, MM., Mychelia Champaca, SE Ak., Camellia
Nucivera (mhs), Renanthera Candra Nuralam (mhs), Arumdina Sadriana (siswa).
Alamat rumah: Jl. Bhima Sakti 9, Tlogomas-Malang, tilp. (0341) 582047, HP.
08123389237. e-mail irs_fp@brawijaya.id.ac

Francien Herlen Tomasowa, Dra., Ph.D., lahir di


Surabaya, 4 Agustus 1948. Memperoleh gelar B.A. (1973)
dan Dra. (1976) dalam Teaching English as a Foreign
Language at University Level dari IKIP Malang. Mengikuti
English Language Teaching Training Program (1975/1976)
di IKIP Malang. Memperoleh gelar Ph.D. dalam English &
Linguistics dari Macquarie University, Sydney, Australia
pada tahun 1992. Semenjak 1979 mengajar bahasa Inggris
di prodi Inggris dan non-Inggris di Universitas Brawijaya,
Malang. Dengan berbekal pengalaman mengajar tersebut
telah mencoba berbagi pengetahuan dengan menulis buku acuan untuk prodi non-
bahasa Inggris di tingkat pendidikan tersier, yaitu English for Agriculture, English for
Statistics, English for Computer Sciences, English for Mathematics, Oral Presentation:
Seminar, dan English for Non-English Departments. Berbahagia sekali ditugaskan
sebagai detaser di Universitas Trunojoyo dari bulan Agustus 2005 sampai Desember
2005. Alamat rumah: Jalan Bandulan I-L/69, Malang 65146, tilp. (0341)581683, e-mail
francien_tomasowa@yahoo.com
187

Susijahadi, Ir, MS, lahir di Yogyakarta, tahun 1945.


Lektor Kepala dalam Mikrobiologi. Lulus Magister Sains
dalam bidang Teknologi Pangan, di IPB Bogor, tahun 1983.
Lulus Insinjur Jurusan Bercocok Tanam, tahun 1975, di UNEJ
Jember. Pernah melakukan riset tentang flavor biji kakao di
Universiti Putra Malaysia, tahun 1998. Pernah studi banding
mengenai manajemen pengelolaan Program Studi dan
Fakultas di seluruh Universitas di Australia Barat tahun 1990,
di Universitas Kochi dan Osaka Perfecture, Jepang tahun
1971. Kursus Kepemimpinan melalui Kursus Reguler
Angkatan 28, selama 9(sembilan) di Lemhanas R.I. Jakarta pada tahun 1995.
Pengalaman di bidang manajemen dimulai sebagai Ketua Departemen Mikrobiologi,
tahun 1979-1980. Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan Fak. Pertanian UNEJ
tahun 1985-1987. Dekan Fak. Pertanian UNEJ tahun 1987-1990. Dekan Fak.Pertanian
tahun 1987-1994. Kajur Teknologi Hasil Pertanian Fak. Tekn. Pertanian UNEJ tahun
1998-2001. Kajur Tekn. Hasil Pertanian Fak.Tekn. Pertanian UNEJ 2001-2005. Ketua
Dewan Pertimbangan LPM UNEJ tahun 2003-sekarang. Menikah dengan seorang isteri,
satu putri, dua putra dan seorang cucu. Pada bulan Agustus sampai dengan bulan
Desember 2005 sebagai detaser di Universitas Trunojoyo, Bangkalan. Alamat rumah :
Jln. Jawa II blok G no 4 Jember telp. (0331) 336 724, HP 0812345 9329 e-mail

Suhardjono, Prof. Dr. Ir. H M.Pd., Dipl.HE, lahir di


Kebumen, 23 Maret 1946. Guru Besar Ilmu Metode Penelitian
(2000). Tahun 1990, lulus sebagai Doktor Kependidikan
bidang Studi Teknologi Pembelajaran. Menyelesaikan
Magister Kependidikan tahun 1982, Diploma on Hydraulic
Engineering dari International Institute of Hydraulic Engineering
TH Delft, Nederland (1977), dan Sarjana Teknik Sipil
Universitas Brawijaya pada tahun 1972. Ia mengikuti
pendidikan tambahan, dalam bidang kependidikan dan pengembangan sumber daya air
baik di dalam maupun di luar negeri, antara lain di University of Newcastle, Inggris
(1997), International Institute for Infrastructural, Hydraulic and Enviromental
Engineering, Manila (1996), State University of New York at Albany, USA (1988),
University of Southern California, Los Angeles, USA (1980). Pernah menjabat sebagai
Ketua Pusat Pengembangan Aktivitas Instruksional (P3AI) Universitas Brawijaya (1986-
2001), Dekan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya (1982-1985 dan 2001-2005). Pada
bulan Agustus 2005 sampai Desember 2005 ia ditugaskan sebagai dosen detaser di
Universitas Trunojoyo. Alamat rumah: Jl. AR Hakim IV/129 Malang, telp (0341) 327 834.
e-mail suhardjono_sisno@yahoo.com
188

Eman Suparman Dr., S.H., M.H. Lahir di


Kuningan, 23 April 1959. Lektor Kepala Hukum Acara
Perdata pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
Bandung. Pendidikan: S1 bidang Hukum Perdata,
Universitas Padjadjaran,1982; S2 bidang Hukum Acara
Perdata, Universitas Gadjah Mada, 1988; S3 bidang
Hukum Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa,
Universitas Diponegoro, 2004. Pendidikan tambahan:
“Sandwich Programme” untuk studi lanjutan, penelitian,
dan studi perbandingan bidang Hukum Perdata
Internasional dan Hukum Arbitrase di Rijksuniversiteit
Leiden, The Netherlands, 1990-1991. “Visiting Scholar for the European Council
Session at Strasborough, France, March 1991.” Awal 1997 kembali sebagai
Visiting Scholar at “de Hoge Raad der Nederlanden”; The Hague, The
Netherlands, March 1997; Visiting Academic and Research Programme,
organised by The Departement of Law The University of Nottingham, United
Kingdom, April 1997; Visiting Scholar at “The 7th Annual Writers” Festival Prague
’97 at Franz Kafka Centre on Prague’s Old Town Square, Prague, Czech
Republic, May 1997; Participant at The SANGIS Training Programme: South East
Asian Network for a Geological Information System; International Centre for
Training and Exchanges in Geosciences; United Nations Buildings, Bangkok,
Thailand, June 2001. Pada bulan Agustus–Desember 2004 dan Agustus-
Desember 2005 ditugaskan oleh Ditjen Dikti sebagai tenaga detasering di
Universitas Trunojoyo Bangkalan Madura. Alamat rumah: Jalan Taruna no 104
Ujungberung, Bandung, telp. (022) 7802735, e-mail eman_bandung@yahoo.com

Anda mungkin juga menyukai