Anda di halaman 1dari 6

Indonesia Butuh Perppu Kesehatan dan Keselamatan Kerja

Pabrik kembang api-petasan di Tangerang, yang konon baru beroperasi dua


bulan meledak, Kamis (26/10). Tiga hari berlalu, kantong-kantong mayat yang
telah dibawa ke RS Polri Kramatjati, belum seluruhnya selesai di identifikasi.
Sedikitnya 47 korban meninggal dan 31 lainnya luka-luka dari total 103 tenaga
kerja PT Panca Buana Cahaya.

Di hari yang sama, di Medan, satu korban meregang nyawa akibat tertimpa
besi penyangga proyek kereta Medan-Kualanamu (GoSumut.com). Hari Minggu
(29/10) seorang pekerja tertimpa Girder Flyover proyek tol Pasuruan-
Probolinggo. Selang lima hari sebelumnya, seorang pekerja pelabuhan di
Jakarta juga meninggal dengan sobekan di dada akibat sabetan wayer trolly
Container Crane (CC).

Data Kementerian Ketenagakerjaan menyebutkan, sampai Juni 2017 ada 147


pekerja tewas dari 11.028 kasus kecelakaan kerja. Data ini jauh berbeda dari
yang dikeluarkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Tenaga Kerja.
Ambil contoh misalnya dari data BPJS Tenaga Kerja Cabang Pontianak yang
sampai pada Oktober 2017 mengaku sudah mengeluarkan klaim jaminan
kematian (JKK) untuk 246 peserta.

L. Meily Kurniawidjaja, M. Sc, Sp.OK dalam pidato pengukuhannya sebagai


Guru Besar FKM UI, pada tahun 2014, mengatakan bahwa data yang ada di
Jamsostek (BPJS Ketenagakerjaan) hanya menunjukkan 10% dari kondisi aktual
yang sesungguhnya terjadi. Hal ini terkait dengan kondisi bahwa tidak semua
pekerja menjadi anggota Jamsostek/BPJS Ketenagakerjaan dan pekerja yang
bersifat informal dan non-formal.

Dalam peristiwa-peristiwa kecelakaan kerja yang menyebabkan kematian


apalagi yang jumlahnya banyak selalu saja aparat yang semestinya bekerja di
awal baru heboh belakangan. Saling lempar kewenangan, saling menyalahkan
data, saling lempar tanggung jawab, dan akhirnya keluarga korban makin
merana. Keluarga korban dijanjikan banyak hal disaat liputan media begitu
besar, namun begitu mereda, dibiarkan kebingungan mengurus janji yang
terlanjur dilontarkan.

Reda pemberitaan peristiwa kecelakaan kerja yang merenggut nyawa, seolah


sudah selesailah kerja yang dilakukan Kementerian Ketenagakerjaan. Data
tidak diperbaiki, sistem dibiarkan sama, pengawasan kembali “sesuai standar,”
paling maksimal akan berakhir pada pengajuan anggaran baru demi perbaikan
katanya. Apesnya data yang simpang siur ini juga lah yang menjadi dasar
perhitungan pengajuan anggaran.

Kelemahan Peraturan
Sampai 2005 setidaknya ada 48 peraturan terkait Kesehatan dan Keselamatan
Kerja. Mulai dari Undang-undang nomor 1 Tahun 1970 hingga peraturan-
peraturan pelaksana yang dikeluarkan Kementerian dan Lembaga. Ada
pembaharuan-pembaharuan memang di peraturan-peraturan pelaksana.
Demikian juga tambahan peraturan mengikuti perkembangan industri. Namun
Undang-undang Keselamatan Kerja yang hanya berisi 18 Pasal ini masih UU
lama yang tidak pernah tersentuh perbaikan.

Pasal 15 UU 1 Tahun 1970 di ayat satu misalnya, menyebutkan “Pelaksanaan


ketentuan tersebut pada pasal-pasal di atas diatur lebih lanjut dengan
peraturan perundangan. Pada pasal 7 Undang-undang yang sama ada
ketentuan soal retribusi yang harus dibayar oleh pengusaha dan ini harus
diatur dengan undang-undang. Kemudian di pasal 8 (3) Undang-undang ini juga
meminta pengaturan UU berkenaan dengan pengujian kesehatan. Selanjutnya
pada pasal 11, peraturan ini mensyaratkan wajib lapor kecelakaan kerja diatur
dengan perundangan.

Baru pada tahun 1981 ada UU tentan Wajib Lapor Ketenagakerjaan di


Perusahaan yang pada pasal enam menyebutkan kewajiban pengusaha
melaporkan perlindungan tenaga kerja. UU Nomor 7 Tahun 1981 ini sendiri
dicantelkan pada UU 14/1969 tentang Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga
Kerja dan tidak sama sekali mencantumkan UU 1/1970 dalam diktum
“mengingat.”

Kita baru punya undang-undang yang secara tegas mencantelkan pijakannya


pada UU 1/1970 pada tahun 1992. UU Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan
Sosial Tenaga Kerja yang menjadi dasar pembentukan PT Jamsostek yang kini
sudah dilikuidasi menjadi BPJS (Ketenagakerjaan) melalui UU Nomor 24 Tahun
2011. Bahkan UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 tidak menyebut
sama sekali pertimbangan UU 1 Tahun 1970 walaupun juga berarti tidak serta
merta mendelegitimasi pemberlakuan UU Keselamatan Kerja.

Berkenaan dengan manajemen Kesehatan dan keselamatan Kerja, atau


“Pengurus” dalam istilah UU Keselamatan Kerja, baru ada pengaturannya
secara resmi melalui Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 Tentang
Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Butuh waktu 9 tahun
untuk membuat pengaturan yang diamanatkan UU Ketenagakerjaan Nomor 13
Tahun 2003. Sedikit lebih baik dari UU Nomor 3 Tahun 1992 yang butuh 22
tahun untuk mengejawantahkan amanat UU 1 Tahun 1970.

Setelah berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1970 ada 3 Peraturan Pemerintah yang


langsung lahir tidak berselang lama. PP Nomor 7 Tahun 1973 tentang
Pengawsan atas Peradaran, Penyimpanan dan Peredaran Pestisida, PP Nomor
19 tahun 1973 Tentang Pengaturan dan Pengawasan Keselamatan Kerja
dibidang Pertambangan, dan PP No.11 Tahun 1973 tentang Keselamatan Kerja
Pada Pemurnian dan Pengolahan Minyak dan Gas Bumi. Di era Reformasi PP
Nomor 50 Tahun 2012 lah yang lahir dengan semangat penerapan UU K3
walaupun dalam diktumnya hanya menggunakan cantelan UUK No.13 Tahun
2003.

Harus diakui memang banyak Peraturan Menteri yang berkaitan dengan


keselamatan kerja. Jika merujuk pada daftar periksa pengawasan Kementerian
Ketenagakerjaan, setidaknya ada 15 peraturan yang telah lahir. Mulai dari
pengawasan pesawat uap, bejana bertekanan, pesawat angkat angkut,
kelistrikan, pencegahan kebakaran, kesehatan kerja, konstruksi bangunan,
lingkungan kerja, sarana K3, operator/teknisi/petugas, perusahaan jasa K3,
hingga perancangan bangunan. Kesemuanya memiliki detail teknis yang
dituangkan baik dalam Peraturan Menteri, hingga setingkat Direktorat
Jenderal.

Namun pasal 15 UU Keselamatan Kerja hanya mengkategorikan pidana atas


pengabaian keselamatan kerja sebagai pelanggaran. Hanya dikenakan
kurungan 3 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000 rupiah. Sialnya
Undang-undang yang demikian inilah yang masih berlaku hingga era
millennium saat ini.

Seringkali,pemerintah beralasan UU 1 Tahun 1970 ini sudah baik sehingga


belum memerlukan revisi. Padahal, situasi ketenagakerjaan dan bahaya yang
dihadapi pekerja terus berubah. Nuansa monopoli pemerintah untuk
menetapkan “Ahli K3” dalam UU ini misalnya, sangat jauh berbeda dengan
situasi tripatrit dalam penyelesaian masalah perburuhan. Belum lagi soal
ringannya sanksi terhadap pelanggar UU ini dan pasifnya posisi pemerintah
dalam pengawasan yang mengandalkan laporan. Dan laporan inilah yang juga
menjadi masalah carut-marutnya data yang dipublikasikan Kementerian
sampai saat ini.

Butuh Peraturan Kuat


Data Pusdatin Kemenaker (Juni 2017) menyebutkan setidaknya ada 15.170.623
pekerja lebih yang terdaftar sebagai peserta BPJS Tenaga Kerja dari 398.757
perusahaan terdaftar per Juni 2017. Padahal data BPS Februari 2017
menyebutkan jumlah tenaga kerja Indonesia yang bekerja pada 12 lapangan
kerja utama mencapai 124.538.849 orang dengan 16,573,121 bekerja di sektor
industri.

Jika diambil data pekerja industri dari BPS (2017), ditambah 39,7 Juta pekerja
Pertanian dan Perikanan, 7,2 Juta pekerja konstruksi, 1,4 Juta pekerja
pertambangan, 414,8 Ribu pekerja listrik, gas, dan air minum dan 5,7 Juta
pekerja transportasi, pergudangan dan komunikasi, mereka inilah yang
berpotensi menjadi korban pengabaian kesehatan dan keselamatan kerja.

Tahun 2016 saja terjadi peningkatan 349,4 persen jumlah kematian pekerja
dari tahun sebelumnya, menurut Pelaksana Tugas Direktur Jenderal
Pembinaan dan Pengawasan Tenaga Kerja Kemnaker, Maruli Apul Hasoloan
(liputan6.com). Sebanyak 2.382 pekerja yang tewas pada 2016 ini jauh lebih
besar dari tahun 2015 yang berjumlah 530 orang. Sumbangan peningkatan
jumlah kematian ini 50 persennya berasal dari sektor konstruksi.

Merujuk perhitungan organisasi pekerja internasional (ILO) (2013), dari


100.000 pekerja yang mengalami kecelakaan kerja, 20 diantaranya dalam
kondisi sangat fatal. ILO juga pernah mengatakan (2013) bahwa 1 orang
pekerja di dunia tewas setiap 15 detik, dan 160 pekerja lainnya menderita sakit
akibat kerja.

Disaat Indonesia sedang berkonsentrasi besar dalam bidang konstruksi


infrastruktur yang ditandai dengan porsi APBN yang terus diperbesar, kondisi
keselamatan dan kesehatan kerja sudah selayaknya makin diperhatikan.
Apalagi pemerintah berniat membangun sentra-sentra industri Indonesia
melalui 36 kawasan industri sampai tahun 2035. Tahun 2013-2016 Sebanyak
23 kawasan industri sudah ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN)
dan 7 diantaranya sudah beroperasi.

Gencarnya pemerintah mendorong pembangunan industri dengan memberi


berbagai insentif kemudahan investasi dengan 16 paket ekonomi yang telah
dilahirkan, sayangnya masih mengabaikan aturan yang tegas untuk
keselamatan dan kesehatan para pekerja.

Data Kementerian Kenagakerjaan Juni 2017 mengatakan hanya terdapat 1.625


orang tenaga pengawas umum yang 10 persennya berada di pusat, dan 296
tenaga spesialis dan 367 Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang tersebar di
seluruh Indonesia. Jumlah inilah yang bertugas mengawasi 398.757 industri
(terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan), 1 berbanding 207 perusahaan. Sungguh
merupakan jumlah yang tidak sebanding dan pastinya akan tidak akan efektif
mengawasi apalagi dengan cara yang aktif. Padahal kuasa yang diberikan UU 1
Tahun 2017 kepada pemerintah begitu besar.

Dalam peristiwa ledakan pabrik petasan-kembang api di Kosambi, Tangerang,


argumentasi yang digunakan juga serupa dan hampir selalu sama di peristiwa
lainnya. Kekurangan tenaga pengawas, ketidakpatuhan perusahaan untuk
lapor kondisi tenaga kerja, dan paling apes adalah mengatakan bahwa
pekerjalah yang abai terhadap aturan keselamatan dan kesehatan kerja.
Akhirnya, dengan kultur ketimuran, pengusaha “dipaksa” untuk memberikan
“uang kerohiman.” Padahal Indonesia adalah negara hukum yang semestinya
bisa menetapkannya secara lebih pasti.

Fakta bahwa UU Keselamatan Kerja belum dapat maksimal memberikan


kepastian hukum dan keadilan, tenaga pengawas dari kementerian yang
minim, makin membesarnya jumlah pekerja dan variatifnya industri harusnya
menjadi desakan untuk segera mengeluarkan peraturan yang lebih tegas dan
kuat.

Ada dua solusi peraturan yang dapat ditempuh untuk memperbaiki kondisi ini.
Pertama melakukan revisi terhadap Undang-Undang Keselamatan Kerja Nomor
1 Tahun 1970 atau mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang.

Revisi UU 1/1970 pernah diwacanakan sejak tahun 2000-an dan terus dijadikan
wacana oleh Kementerian bidang Tenaga Kerja. Namun belum pernah ada
draft revisi UU 1/1970 ini yang dimasukkan kedalam Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) atau bahkan sekedar masuk dalam Rancangan Kerja Program di
Kementerian. Tahun 2012 dibawah kepemimpinan Muhaimin Iskandar konon
revisi UU 1 /1970 ini pernah dikaji untuk dilakukan revisi. Namun entah
kemana hasil kajiannya, yang pasti DPR tidak memiliki naskah apapun yang
diajukan untuk merevisi Undang-undang yang sudah berusia 47 Tahun.
Memang ada rencana dari Kementerian Hukum dan HaM melalui Badan
Pembinaan Hukum Nasional untuk memasukkan RUU Bahan Kimia yang
diprakarsai oleh Kementerian Perindustrian periode 2014-2019. RUU ini
berkaitan dengan penggunaan Bahan Kimia, Beracun, Berbahaya yang juga
disebutkan dalam UU 1/1970. Namun di sisi prakarsa Kementerian
Ketenagakerjaan ternyata BPHN hanya mencatat upaya Kementerian
Ketenagakerjaan untuk mengubah UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003
dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPILN) (yang kini
sudah menjadi UU).

Bukan perkara mudah untuk mendesak DPR melakukan pembahasan usulan


Undang-undang. Waktu yang dibutuhkan pun tidaklah sebentar. Daftar
prolegnas yang ada masih membutuhkan konsentrasi untuk diselesaikan tepat
waktu. Akan sulit untuk mengandalkan pembahasan di DPR untuk merubah UU
Keselamatan Kerja. Apalagi tidak lama lagi akan memasuki tahun politik yang
pasti menyita banyak waktu para anggota DPR.

Jika melihat fakta terus naiknya tren naiknya klaim jaminan kematian di BPJS
Ketenagakerjaan, 36.453 Kasus (2015), 33.151 Kasus (2016) (per April 2016),
belum kunjung masuknya rencana perubahan UU 1/1970, semestinya hal ini
dapat dijadikan alasan subjektif presiden untuk mengeluarkan Peraturan
Pemerintah (Perppu) tentang keselamatan kerja. Kebutuhan terhadap
perlindungan bagi para pekerja merupakan hak yang harus dipenuhi negara.

Negara perlu melindung tenaga kerjanya bukan hanya dari serbuan tenaga
kerja asing atau dari pergantian dengan mesin. Tenaga kerja juga perlu di
lindungi dalam setiap aktifitas kerjanya. Kementerian Ketenagakerjaan dapat
mengusulkan hal ini kepada presiden sebagaimana diamanatkan undang-
undang.

Pendataan situasi tenaga kerja yang baik, hukum yang tegas untuk melindungi
pekerja, dan kepastian dunia usaha melakukan kegiatannya harus ditopang
dengan peraturan keselamatan dan kesehatan kerja yang baru. Sesuai dengan
konteks zamannya dan masa depan yang akan dihadapi.

Anda mungkin juga menyukai