Di hari yang sama, di Medan, satu korban meregang nyawa akibat tertimpa
besi penyangga proyek kereta Medan-Kualanamu (GoSumut.com). Hari Minggu
(29/10) seorang pekerja tertimpa Girder Flyover proyek tol Pasuruan-
Probolinggo. Selang lima hari sebelumnya, seorang pekerja pelabuhan di
Jakarta juga meninggal dengan sobekan di dada akibat sabetan wayer trolly
Container Crane (CC).
Kelemahan Peraturan
Sampai 2005 setidaknya ada 48 peraturan terkait Kesehatan dan Keselamatan
Kerja. Mulai dari Undang-undang nomor 1 Tahun 1970 hingga peraturan-
peraturan pelaksana yang dikeluarkan Kementerian dan Lembaga. Ada
pembaharuan-pembaharuan memang di peraturan-peraturan pelaksana.
Demikian juga tambahan peraturan mengikuti perkembangan industri. Namun
Undang-undang Keselamatan Kerja yang hanya berisi 18 Pasal ini masih UU
lama yang tidak pernah tersentuh perbaikan.
Jika diambil data pekerja industri dari BPS (2017), ditambah 39,7 Juta pekerja
Pertanian dan Perikanan, 7,2 Juta pekerja konstruksi, 1,4 Juta pekerja
pertambangan, 414,8 Ribu pekerja listrik, gas, dan air minum dan 5,7 Juta
pekerja transportasi, pergudangan dan komunikasi, mereka inilah yang
berpotensi menjadi korban pengabaian kesehatan dan keselamatan kerja.
Tahun 2016 saja terjadi peningkatan 349,4 persen jumlah kematian pekerja
dari tahun sebelumnya, menurut Pelaksana Tugas Direktur Jenderal
Pembinaan dan Pengawasan Tenaga Kerja Kemnaker, Maruli Apul Hasoloan
(liputan6.com). Sebanyak 2.382 pekerja yang tewas pada 2016 ini jauh lebih
besar dari tahun 2015 yang berjumlah 530 orang. Sumbangan peningkatan
jumlah kematian ini 50 persennya berasal dari sektor konstruksi.
Ada dua solusi peraturan yang dapat ditempuh untuk memperbaiki kondisi ini.
Pertama melakukan revisi terhadap Undang-Undang Keselamatan Kerja Nomor
1 Tahun 1970 atau mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang.
Revisi UU 1/1970 pernah diwacanakan sejak tahun 2000-an dan terus dijadikan
wacana oleh Kementerian bidang Tenaga Kerja. Namun belum pernah ada
draft revisi UU 1/1970 ini yang dimasukkan kedalam Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) atau bahkan sekedar masuk dalam Rancangan Kerja Program di
Kementerian. Tahun 2012 dibawah kepemimpinan Muhaimin Iskandar konon
revisi UU 1 /1970 ini pernah dikaji untuk dilakukan revisi. Namun entah
kemana hasil kajiannya, yang pasti DPR tidak memiliki naskah apapun yang
diajukan untuk merevisi Undang-undang yang sudah berusia 47 Tahun.
Memang ada rencana dari Kementerian Hukum dan HaM melalui Badan
Pembinaan Hukum Nasional untuk memasukkan RUU Bahan Kimia yang
diprakarsai oleh Kementerian Perindustrian periode 2014-2019. RUU ini
berkaitan dengan penggunaan Bahan Kimia, Beracun, Berbahaya yang juga
disebutkan dalam UU 1/1970. Namun di sisi prakarsa Kementerian
Ketenagakerjaan ternyata BPHN hanya mencatat upaya Kementerian
Ketenagakerjaan untuk mengubah UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003
dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPILN) (yang kini
sudah menjadi UU).
Jika melihat fakta terus naiknya tren naiknya klaim jaminan kematian di BPJS
Ketenagakerjaan, 36.453 Kasus (2015), 33.151 Kasus (2016) (per April 2016),
belum kunjung masuknya rencana perubahan UU 1/1970, semestinya hal ini
dapat dijadikan alasan subjektif presiden untuk mengeluarkan Peraturan
Pemerintah (Perppu) tentang keselamatan kerja. Kebutuhan terhadap
perlindungan bagi para pekerja merupakan hak yang harus dipenuhi negara.
Negara perlu melindung tenaga kerjanya bukan hanya dari serbuan tenaga
kerja asing atau dari pergantian dengan mesin. Tenaga kerja juga perlu di
lindungi dalam setiap aktifitas kerjanya. Kementerian Ketenagakerjaan dapat
mengusulkan hal ini kepada presiden sebagaimana diamanatkan undang-
undang.
Pendataan situasi tenaga kerja yang baik, hukum yang tegas untuk melindungi
pekerja, dan kepastian dunia usaha melakukan kegiatannya harus ditopang
dengan peraturan keselamatan dan kesehatan kerja yang baru. Sesuai dengan
konteks zamannya dan masa depan yang akan dihadapi.