CEDERA KEPALA Step 1 1
CEDERA KEPALA Step 1 1
Step 1
1. Racoon ey: echimosis pada bagian periorbital akibat fraktur basis crani
anterior
2. Otorea cerebrospinal fluid: serebrospinal yang diproduksi pleksus koroideus,
otore: keluarnya cairan dari telinga
3. Letargia: keadaan umum dimana seseorang merasa lemas
4. Pupil anisokor: ukuran pupil kanan dan kiri berbeda. Miosis dan midriasis
5. Neurogenik : membahas mengenai neuro
Step 2
Step 3 dan 4
12. a. Trauma: akibat fraktur dari temporal. Dapat juga diakibatkan fraktur basis krani
apabila ada benturan occiput.
Racoon eye akibat fraktur fossa krani anterior karena ruptur arteri ophtalmica dan
darah terbendung pada selaput mata. Non trauma:
8. penilaian GCS
A= eye 1-4
V= Verbal 1-5
Motorik= 1-6
- pupil anisokor
Cedera kepala sedang: karen belum ada hipoksia dan depresi pernafasan
a. mekanisme:
b. berdasarkan GCS
d. Lesi intrakranial:
- difus: contutio
11. Komplikasi
7. Pemeriksaan penunjang
menilai tanda eksternal misalnya laserasi. Menilai tanda tanda seperti, hemtoma,
racoon eye,keluarnya cerebrospinal, refleks pupil dan pemeriksaan GCS.
LO:
STEP 7
Idealnya semua penderita cedera kepala diperiksa dengan CT scan, terutama bila
dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup bermakna, amnesia atau sakit kepala
hebat.3 % penderita CK. Ringan ditemukan fraktur tengkorak
Klinis :
Therapy :
- Pada 10 % kasus :
- Pada 10 – 20 % kasus :
- Tindakan di UGD :
Anamnese singkat
CT. scan berikutnya tidak ditemukan adanya lesi masa yang memerlukan
pembedahan
Penderita jatuh pada keadaan koma, penatalaksanaanya sama dengan CK. Berat.
Diagnosa dan therapy sangat penting dan perlu dengan segara penanganan
Di UGD ditemukan :
12 % Anemia ( Ht < 30 % )
Sirkulasi
B. seconady survey
C. Pemeriksaan Neurologis
GCS
Lakukan pemijitan pada kuku atau papila mame untuk memperoleh respon
motorik, bila timbul respon motorik yang bervariasi, nilai repon motorik yang
terbaik
Catat respon motorik dari extremitas kanan dan kiri secara terpisah
Catat nilai GCS dan reaksi pupil untuk mendeteksi kestabilan atau perburukan
pasien.
Tujuan utama perawatan intensif ini adalah mencegah terjadinya cedera sekunder
terhadap otak yang telah mengaalami cedera
Cairan Intravena
Cairan intra vena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita agar tetap
normovolemik
Hyperventilasi
HV yang lama dan cepat menyebabkan iskemia otak karena perfusi otak
menurun
Manitol
Indikasi penderita koma yang semula reaksi cahaya pupilnya normal, kemudian
terjadi dilatasi pupil dengan atau tanpa hemiparesis
Dosis tinggi tidak boleh diberikan pada penderita hypotensi karena akan
memperberat hypovolemia
Furosemid
Steroid
Barbiturat
Tidak boleh diberikan bila terdapat hypotensi dan fase akut resusitasi, karena
barbiturat dapat menurunkan tekanan darah
Anticonvulasan
Penggunaan anticonvulsan profilaksisi tidak bermanfaat untuk mencegaah
terjadinya epilepsi pasca trauma
Phenobarbital & Phenytoin sering dipakai dalam fase akut hingga minggu ke I
PENATALAKSANAAN PEMBEDAHAN
Hal penting pada cedera kepala adalah mencukur rambut disekitar luka dan
mencuci bersih sebelum dilakukan penjahitan
Penyebab infeksi adalah pencucian luka dan debridement yang tidak adekuat
Lakukan insfeksi untuk fraktur dan adanya benda asing, bila ada CSS pada luka
menunjukan adanya robekan dura. Consult ke dokter ahli bedah saraf
Tindakan operatif
Tindakan operatif apabila tebal depresi lebih besar dari ketebalan tulang di
dekatnya
Trepanasi dapat dilakukan apabila perdarahan intra kranial dapat mengancam jiwa
dan untuk mencegah kematian
Prosedur ini penting pada penderita yang mengalami perburukan secara cepat dan
tidak menunjukan respon yang baik dengan terapy yang diberikan
Trepanasi dilakukan pada pasien koma, tidak ada respon pada intubasi
endotracheal , hiperventilasi moderat dan pemberian manitol
1. Gangguan kesadaran
2. Konvulsi
3. Abnormalitas pupil
4. Defisit neurologis
6. Kejang
7. Sakit kepala
8. Hipovolemik Syok.
9. Perubahan perilaku kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan gerakan motorik dapat
timbul segera atau secara lambat.
2. Trias klasik :
-Papil edema yang disebabkan oleh tekanan dan pembengkakan diskus aptikus
3. Tekanan nadi yang lebar, berkurangnya denyut nadi dan pernafasan menandakan
dekompensasi otak dan kematian yang mengancam
4. Hipertermia
6. Perubahan bicara
7. Kejang
Cedera kepala diklasifikasikan dalam beberapa aspek, secara prakatis dikenal 3 deskripsi
klasifikasi yaitu berdasarkan :
- Mekanisme cedera kepala.
Cedera kepala tumpul, berhubungan dengan kecelakaan mobil / motor, jatuh atau pukulan
benda tumpul
Adanya penetrasi selaput dura menentukan apakah suatu cedera termasuk cedera tembus
atau cedera tumpul.
- Beratnya
GCS penelaian secara kuantitatif kelainan neurologis dan dipakai secara umum untuk
menilai beratnya cedera kepala.
GCS 3 – 8 dikatakan koma dimana penderita tidak mampu melaksanakan perintah, tidak
dapat mengeluarkan suara dan tidak dapat membuka mata.
GCS 15 dikatakan sadar dimana penderita mampu membuka kedua mata dengan spontan,
mematuhi perintah dan berorientasi baik.
- Morfologi
Fraktur kranium,
dapat terjadi pada dasar atau atap tengkorak, dapat berbentuk garis / bintang dan dapat pula
terbuka atau tertutup.
Battle’s sign
Terjadi karena pembuluh darah antara duramater dan permukaan dalam tengkorak
robek, umumnya akibat robekan arteri meningeal media. Trauma akibat dari
kecepatan lemah misanya ; kena tinju, bola baseball, robekan arteri countercoup
atau akibat lacerasi karena duramaternya tertarik dan robek
Epidural hematom cepat menghasilkan peninggian ICP, gejalanya ; hemiparese
berlawanan dengan kepala yang terkena, mengeluh rasa pusing dan mengantuk.
Perdarahan subdural
Bila jaringan otak yangb memar cukup luas, maka peninggian ICP bisa terjadi.
Kehilanagn kesadaran 5 menit bahkan lebih.
Mekanisme trauma kepala perlu diketahui dengan baik untuk memprediksi berat
ringannya atau fraktur tengkorak, karena diagnosa dengan Xry cukup sulit.
Fraktur Basis kranii didaerah muka atau depan menyebabkan racoon’s eyes,
didaerah basis belakang ditandai dengan battle’s sign. Tanda lain dari fractur basis
cranii adalah adanya rembesarn liquor atau darah dari hidung dan telinga.
Hematom intracerebral
Umunya karena luka penetrasi seperti luka tembak atau dasar otak terseret di
dasar tulang tengkorak.
Akibat otak yang dikocok (gegar), tanpa disertai kerusakan otak yang berarti.
penatalaksanaan:
Bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan, lepaskan gig palsu, pertahan kan tulang
servikal segaris dengan badan, pasang gudel bila dapat ditoleransi. Jika cedera mengganggu
jalan nafas, maka pasien harus diintuasi.
2. Menilai pernafasan
Tentukan apakah pasien bernafas dengan spontan atau tidak, jika tidak, beri O2 melalui
masker oksigen. Jika bernafas spontan selidiki cedera dada berat seperti pneumotoraks,
hemopneumotoraks.
3. Menilai sirkulasi
Otak yang rusak tidak mentoleransi hipotensi. Hentikan semua perdarahan dengan menekan
arterinya. Perhatikan secara khusus adanya cedera intra abdomen atau dada. Ukur dan catat
frekuensi denyut jantung dan tekanan darah. Ambil darah vena untuk pemeriksaan darah
perifer lengkap, ureum, kreatinin, elektrolit, glukosa, AGD. Berikan larutan koloid,
sedangkan larutan kristaloid (dektrose atau dektrose dalam saline) menimbulkan eksaserbasi
edema serebri pasca cedera kepala.
4. Obati ceding
Kejng konvulsiv dapat terjad setelah cedera kepala dan harus diobati.
- Skor GCS 14 – 15
- Skor GCS 9 – 13
- Konkusi
- Muntah
- Kejang
• 1. Riwayat trauma
• - Sebab trauma
• 2. Pemeriksaan fisik
• - Tanda-tanda vital
• - Tingkat kesadaran cedera luar yang terlihat ; cedera kulit kepala, perdarahan
hidung, mulut, telinga, dan hematoperiorbital
• - Reflek tendon
• 3. Pemeriksaan penunjang
• - Laboratorium rutin
* Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika terjadi
peningkatan tekanan intrakranial.
Perubahan patofisiologi setelah cedera kepala adalah kompleks. Trauma bisa disebabkan oleh
mekanisme yang berbeda, dan sering berkombinasi. Perubahan- perubahan setelah trauma
adalah terjadi pada tingkat molekuler, biokimia, seluler, dan pada tingkat makroskopis
Cedera otak primer disebabkan oleh kerusakan mekanik pada jaringan otak dan
pembuluh darah pada saat terjadinya trauma. Pada tingkat makroskopis bisa terlihat
terputusnya jaringan otak; pada tingkat mikroskopik bisa terlihat kerusakan parenkhim sel
(sel neuron, axon, dan glia) dan mikrosirkulasi (arteriol, capiler, dan venula) (Selladurai,et
al,2007).
Kontusio serebri adalah tipe kerusakan otak fokal terutama disebabkan oleh kontak
antara permukaan otak dan tonjolan permukaan tulang dasar tengkorak, menuerut ICD-9
kontusio cerebri adalah luka memar pada otak akibat tubrukan / impact terhadap kepala atau
suatu trauma acceleration/deceleration .
Diantara banyak peristiwa molekouler paskacedera otak hal yang paling penting
adalah Sur-1 yang memberi kontribusi berkembangnya kontusio serebri. Secara umum area
kontusio serebri dibagi tiga yaitu; Epicenter, Pericotusional penumbra, dan Parapenumbra
area. Pada epicenter terputusnya pembuluh darah terjadi segera. Pada penumbra dan
parapenumbra area pukulan energi tidak merobek jaringan, tetapi mengawali peristiwa
molekuler sensitif-mekanik yang mengiduksi overexpresi dari Sur- 1. Sur-1 adalah regulator
subunit dari non-selektif kation channel (NCCa-ATP) yang ditemukan oleh Simard group dan
berimplikasi pada patophisiologi edema serebri dan bertransformasi dari kontusio menjadi
hemoragic. Induksi overekspresi Sur-1 meningkatkan pembengkakan sel dan kematian
onkotik sel astrocyte, neuron, dan sel endothelial. Pecahnya endotelial sel mengakibatkan
microhemoragic yang berakibat terbentuknya perdarahan baru dan konsekuensi perdarahan
menjadi progresif pada traumatik kontusio serebri
Gambaran CT scan pada kontusio serebri lokasi biasanya tanpak pada permukaan
korteks dan terlibat gray matter, pada sentral area terlihat hiperdense dan bercampur dengan
area hipodense yang merupakan bagian dari hemoragic necrosis atau bagian jaringan otak
yang rusak dan bagian otak yang edema (pericontusional edema)
Tidak ada aliran darah pada area sentral kontusio serebri dan pengurangan aliran
darah pada daerah perikontusional edema, dimana autoregulasi terganggu (vasoparalysis).
Oleh karena itu pada daerah perilesional ada kerusakan parsial sel yang rentan terhadap setiap
pengurangan perfusi oleh pengurangan MAP (mean arterial pressure), peningkatan tekanan
intrakranial atau vasokonstriksi setelah hipocapnia akibat dari hiperventilasi
Cedera otak sekunder merujuk kepada efek setelah peristiwa cedera primer, secara
klinis efek diaplikasikan setelah postraumatik hematom intrakranial, edema otak dan
peningkatan tekanan intrakranial dan pada fase lebih lambat hidrocephalus dan infeki. Cedera
otak sekunder adalah peristiwa sistemik yang terjadi setelah trauma yang potensial cedera ini
dapat menambah kerusakan neuron, axon, dan pembuluh darah otak. Cedera otak sekunder
yang terpenting adalah hipoxia ,hipotensi, hipercarbia, hiperexia, dan gangguan elektrolit
6. Jenis cedera spinal
Cidera medulla spinalsi dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi cedera, antara lain:
1. Cidera Servikal
1. Lesi C1 – C4
Pada lesi C1 – C4, otot trapezius, sternomastoideus dan otot plasma masih berfungsi.
Otot diafragma dan interkostal mengalami paralisis dan tidak ada gerakan involunter (baik
secara fisik maupun fungsional). Dibawah transeksi spinal tersebut, kehilangan sensori pada
tingkat C1 – C3 meliputi oksipital, telinga dan beberapa daerah wajah.
Pasien pada qudriplegia C1, C2, dan C3 membutuhkan perhatian penuh karena
ketergantungan pada/terhadap ventilator mekanis. Pasien ini juga ketergantungan semua
kebutuhan sehari-harinya. Quadriplegia pada C4 mungkin juga membutuhkan ventilator
mekanis tetapi dapat dilepas. Jadi penggunaannya secara intermitten saja.
1. Lesi C5
1. Lesi C6
Pada lesi segmen C6, distress pernafasan dapat terjadi karena paralisis intestinal dan
edema asenden dari medulla spinalis. Biasanyaakan terjadi gangguan pada otot bisep, triep,
deltoid dan pemulihannya tergantung pada perbaikan posisi lengan. Umumnya pasien masih
dapat melakukan aktivitas higiene secara mandiri, bahkan masih dapat memakai dan
melepaskan baju.
1. Lesi C7
Lesi medulla pada tingkat C7 memungkinkan otot diafragma dan aksesoris untuk
mengkompensasi otot abdomen dan interkostal. Fleksi jari tangan biasanya berlebihan ketika
kerja refleks kembali. Quadriplegia C7 mempunyai potensi hidup mandiri tanpa
perawatandan perhatian khusus. Pemindahan mandiri, seperti berpakaian dan melepas
pakaian melalui ekstrimitas atas dan bawah, makan, mandi, pekerjaan rumah yang ringan dan
memasak.
1. Lesi C8
Hipotensi postural bisa terjadi bila pasien ditinggikan pada posisi duduk karena
kehilangan control vasomotor. Hipotensi postural dapat diminimalkan dengan pasien berubah
secara bertahap dari berbaring ke posisi duduk. Jari tangan pasien biasanya
mencengkram.Quadriplegia C8 harus mampu hidup mandiri, mandiri dalam berpakaian,
melepaskan pakaian, mengemudikan mobil, merawatrumah, dan perawatan diri.
1. Cidera Thorakal
1. Lesi T1 – T5
1. Lesi T6 – T12
2. T3 : Aksilla.
3. T5 : Putting susu.
4. T6 : Prosesus xifoid.
6. T10 : Umbilikus.
8. Cidera Lumbal
Kehilangan sensori lesi pada lumbal, antara lain:
1. Lesi L1
Semua area ekstrimitas bawah, menyebar ke lipat paha& bagian belakang dari
bokong.
1. Lesi L2
1. Lesi L3
1. Lesi L4
1. Lesi L5
Aspek luar kaki dan pergelangan kaki serta ekstrimitas bawah dan area sadel
1. Cidera Sakral
Pada lesi yang mengenai S1-S5, mungkin terdapat beberapa perubahan posisi dari
telapak kaki. Dari S3-S5, tidak terdapat paralisisdari otot kaki. Kehilangan sensasi meliputi
area sadel, skrotum, danglans penis, perineum, area anal, dan sepertiga aspek posterior paha.
1. Klasifikasi Frankel:
Kelainan pada fase awal tidak menunjukkan gejala atau tanda. Baru setelah hematom
bertambah besar akan terlihat tanda pendesakan dan peningkatan tekanan intra kranial.
Penderita akan mengalami sakit kepala, mual dan muntah dan diikuti oleh penurunan
kesadaran. Gejala neurologik yang terpenting adalah pupil mata anisokor yaitu pupil
ipsilateral melebar.
Pada hematom epidural, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan dura meter.
Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu cabang arteria meningea
media robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur tulang tengkorak di daerah bersangkutan.
Hematom dapat pula terjadi di daerah frontal atau oksipital.(8)
Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan jalan
antara durameter dan tulang di permukaan dan os temporale. Perdarahan yang terjadi
menimbulkan hematom epidural, desakan oleh hematoma akan melepaskan durameter lebih
lanjut dari tulang kepala sehingga hematom bertambah besar. (8)
Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada lobus temporalis
otak kearah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus mengalami
herniasi di bawah pinggiran tentorium. Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-tanda
neurologik yang dapat dikenal oleh tim medis.(1)
Tekanan dari herniasi unkus pda sirkulasi arteria yang mengurus formation retikularis di
medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini terdapat nuclei saraf
cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf ini mengakibatkan dilatasi pupil dan
ptosis kelopak mata.
a. Epidural hematoma
Gejala – gejalanya :
3). Muntah
4). Hemiparese
b. Subdural hematoma
Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronik.
Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena / jembatan vena yang biasanya terdapat
diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut dapat terjadi dalam 48 jam –
2 hari, 2 minggu atau beberapa bulan.
Gejala – gejalanya :
2). Bingung
3). Mengantuk
6). Kejang
c. Perdarahan intra serebral berupa perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh
darah arteri, kapiler dan vena.
Gejala – gejalanya :
d. Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah dan permukaan
otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang hebat.
Gejala – gejalanya :
3). Hemiparese
Berikut beberapa efek samping penyalahgunaan narkoba pada organ tubuh, seperti
dikutip NIDA (National Institute On Drug Abuse) dalam situsnya:
Penggunaan steroid pada masa kecil dan masa remaja, menghasilkan hormon
seksual melebihi tingkat sewajarnya, dan mengakibatkan pertumbuhan tulang terhenti
lebih cepat dibanding saat normal. Sehingga tinggi badan tidak maksimal, bahkan
cenderung pendek. Beberapa jenis narkoba juga dapat mengakibatkan kejang otot
yang hebat, bahkan bisa berlanjut pada kelumpuhan otot.
Penyakit Gagal Ginjal
Meskipun demikian terkadang beberapa jenis obat masih dipakai dalam dunia kedokteran,
namun hanya diberikan bagi pasien-pasien tertentu, bukan untuk dikonsumsi secara umum
dan bebas oleh masyarakat. Oleh karena itu obat dan narkotik yang disalahgunakan dapat
menimbulkan berbagai akibat yang beraneka ragam.
Dampak Tidak Langsung Narkoba Yang Disalahgunakan
• Akan banyak uang yang dibutuhkan untuk penyembuhan dan
perawatan kesehatan pecandu jika tubuhnya rusak digerogoti zat beracun.
• Dikucilkan dalam masyarakat dan pergaulan orang baik-baik. Selain
itu biasanya tukang candu narkoba akan bersikap anti sosial.
• Keluarga akan malu besar karena punya anggota keluarga yang
memakai zat terlarang.
• Kesempatan belajar hilang dan mungkin dapat dikeluarkan dari
sekolah atau perguruan tinggi alias DO / drop out.
• Tidak dipercaya lagi oleh orang lain karena umumnya pecandu
narkoba akan gemar berbohong dan melakukan tindak kriminal.
• Dosa akan terus bertambah karena lupa akan kewajiban Tuhan serta
menjalani kehidupan yang dilarang oleh ajaran agamanya.
• Bisa dijebloskan ke dalam tembok derita / penjara yang sangat
menyiksa lahir batin.
Biasanya setelah seorang pecandu sembuh dan sudah sadar dari mimpi-mimpinya maka ia
baru akan menyesali semua perbuatannya yang bodoh dan banyak waktu serta kesempatan
yang hilang tanpa disadarinya. Terlebih jika sadarnya ketika berada di penjara. Segala caci-
maki dan kutukan akan dilontarkan kepada benda haram tersebut, namun semua telah
terlambat dan berakhir tanpa bisa berbuat apa-apa.
Pengaruh Alkohol
Alkohol murni tidaklah dikonsumsi manusia. Yang sering dikonsumsi adalah minuman
yang mengandung bahan sejenis alkohol, biasanya adalah ethyl alcohol atau ethanol
(CH3CH2OH ). Bahan ini dihasilkan dari proses fermentasi gula yang dikandung dari malt
dan beberapa buah-buahan seperti hop, anggur dan sebagainya.
• Beer : 2–8%
• Dry wine : 8 – 14 %
• Vermouth : 18 – 20 %
• Cocktail wine : 20 – 21 %
• Cordial : 25 – 40 %
• Spirits : 40 – 50 %
Akibat Penggunaan Alkohol :
Bila seseorang mengkonsumsi minuman yang mengandung alkohol, zat tersebut. diserap
oleh lambung, masuk ke aliran darah dan tersebar ke seluruh jaringan tubuh, yang
mengakibatkan terganggunya semua sistem yang ada di dalam tubuh.
Besar akibat alkohol tergantung pada berbagai faktor, antara lain berat tubuh, usia, gender,
dan sudah tentu frekuensi dan jumlah alkohol yang dikonsumsi.
• Kegelisahan
• Gemetar / tremor
• Halusinasi
• Kejang-kejang
• Bila disertai dengan nutrisi yang buruk, akan merusak organ vital
seperti otak dan hati
Catatan :
- Semakin lama penggunaan, toleransi tubuh semakin besar sehingga untuk mendapatkan
efek yang sama, semakin lama semakin besar dosisnya.
Bila ibu yang hamil mengkonsumsi, akan mengakibatkan bayi yang memiliki resiko lebih
tinggi terhadap hambatan perkembangan mental dan ketidak-normalan lainnya, serta beresiko
lebih besar menjadi pecandu alkohol saat dewasanya.
Pertolongan pertama penderita dimandikan dengan air hangat, minum banyak, makan
makanan bergizi dalam jumlah sedikit dan sering dan dialihkan perhatiannya dari narkoba.
Bila tidak berhasil perlu pertolongan dokter.
Upaya kuratif bagi pemakai narkoba secara lebih rinci dilaksanakan melalui beberapa
tahapan berikut:
1. Detoksifikasi
Detoksifikasi adalah proses menghilangkan racun (zat narkotika atau adiktif lain) dari tubuh
dapat dilakukan secara medis dan nonmedis. Secara medis, terapi detoksifikasi dilakukan
menggunakan berbagai macam cara. Cara pertama dengan melakukan pengurangan dosis
secara bertahap dan mengurangi tingkat ketergantungan. Cara yang kedua dengan
menggunakan antagonis morfin, yaitu suatu senyawa yang dapat mempercepat proses
neuroregulasi (pengaturan kerja saraf). Cara yang ketiga dengan penghentian total. Tetapi,
cara yang ketiga ini cukup berbahaya untuk dilakukan karena penghentian total pemakaian
obat akan dapat menimbulkan gejala putus obat (sakaw) sehingga pada cara ini perlu diberi
terapi untuk menghilangkan gejala-gejala yang timbul. Detoksifikasi bisa dilakukan dengan
berobat jalan atau dirawat di rumah sakit. Biasanya proses detoksifikasi dilakukan terus
menerus selama satu sampai tiga minggu, hingga hasil tes urin menjadi negatif dari zat
adiktif. Detoksifikasi nonmedis yang sering dilakukan adalah dengan cara-cara yang kurang
manusiawi, seperti disiram air dingin, dipasung dan lain sebagainya.
2. Rehabilitasi
Setelah menjalani detoksifikasi hingga tuntas (tes urin sudah negatif), tubuh secara fisik
memang tidak “ketagihan” lagi. Namun secara psikis, pada bekas pemakai narkoba biasanya
sering timbul keinginan terhadap zat tersebut yang terus membuntuti alam pikiran dan
perasaannya. Sehingga sangat rentan dan sangat besar kemungkinan kembali mencandu dan
terjerumus lagi.Untuk itu setelah detoksifikasi perlu juga dilakukan proteksi lingkungan dan
pergaulan yang bebas dari lingkungan pecandu, misalnya dengan memasukkan mantan
pecandu ke pusat rehabilitasi.
Rehabilitasi dilakukan agar pasien yang telah menempuh proses pengobatan, dapat kembali
ke dalam kondisi seperti semula. Rehabilitasi atau pemulihan ini mencakup rehabilitasi
secara fisik dan mental/psikis serta rehabilitasi secara sosial seperti memperbaiki hubungan
dengan keluarga, teman-teman dan orang-orang lain di lingkungan sekitar.
Daftar Pustaka
Anonim._____. Cedera Kepala: Penatalaksanaan Fase Akut.
http://www.kalbefarma.com/files/cdk/files/16PenatalaksanaanFaseAkut077.pdf/16Penatalaks
anaanFaseAkut077.html
Arif, et al, 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2, Media Aesculapius, Jakarta3.
Sjamsuhidajat, R & Wim de Jong, 1997, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC, Jakarta.
Basuki, Endro, Sp.BS,dr; 2003, Materi Pelatihan GELS (General Emergency Life Support),
Tim Brigade Siaga Bencana (BSB), Jogjakarta.
Harsono, 2000. Kapita Selekta Neurologi. Jogjakarta, Gajah Mada University Press.
Mangku, Made Pastika, Mudji Waluyo, Arief Sumarwoto, dan Ulani Yunus, 2007. pecegahan
Narkoba Sejak Usia Dini. Jakarta: Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia