Anda di halaman 1dari 28

CEDERA KEPALA

Step 1

1. Racoon ey: echimosis pada bagian periorbital akibat fraktur basis crani
anterior
2. Otorea cerebrospinal fluid: serebrospinal yang diproduksi pleksus koroideus,
otore: keluarnya cairan dari telinga
3. Letargia: keadaan umum dimana seseorang merasa lemas
4. Pupil anisokor: ukuran pupil kanan dan kiri berbeda. Miosis dan midriasis
5. Neurogenik : membahas mengenai neuro

Step 2

1. Penyebab keluarnya darah dan cairan kuning dari telinga


2. Apa saja aspek penting yang perlu diperiksa pada cedera kepala
3. Algoritma penanganan cedera kepala
4. Klasifikasi cedera kepala
5. Tanda-tanda cedera kepala dan fraktur basis krani
6. Diagnosis cedera kepala di skenario? Dan penatalaksanaan
7. Pemeriksaan penunjang untuk cedera kepala di skenario?
8. Penilaian GCS?
9. Mekanisme cedera kepala sampai menimbulkan cedera otak?
10. Jenis cedera spinal
11. Komplikasi cedera kepala
12. Patofisiologi terjadinya racoon eye dan pupil anisokor

Step 3 dan 4

12. a. Trauma: akibat fraktur dari temporal. Dapat juga diakibatkan fraktur basis krani
apabila ada benturan occiput.
Racoon eye akibat fraktur fossa krani anterior karena ruptur arteri ophtalmica dan
darah terbendung pada selaput mata. Non trauma:

8. penilaian GCS

A= eye 1-4

V= Verbal 1-5

Motorik= 1-6

GCS <8 : cedera otak berat atau koma

GCS 9-12 : dikategorikan sebagai cedera otak sedang


GCS 13-15: ringan

5. cedera kepala berat, fraktur basis krani

- pupil anisokor

- TD meningka, hipertensi dan depresi pernapasan

- darah kekuningan keluar dari telinga

Cedera kepala sedang: karen belum ada hipoksia dan depresi pernafasan

tanda dan gejala fraktur basis krani:

a. otore: keluarnya cairan serebrospinal


b. ekimosis retroaurikuler
c. racoon eyes akibat fraktur basis krani

4. klasifikasi cedera kepala, berdasarkan:

a. mekanisme:

- cedera tumpul: kecelakaan

- tajam: luka tusuk

b. berdasarkan GCS

c. Morfologi fraktur kranium

d. Lesi intrakranial:

- fokal: epidural dan subdural, intrakranial

- difus: contutio

11. Komplikasi

Hemiparesis, displasi, gangguan mental, keluarnya css, epilepsi pasca trauma


(fraktur depresi kranial, hematim krnial), vertigo.

7. Pemeriksaan penunjang

- gold standar untuk morfologi cedera kepala digunakan CT-scan.

- tes glukosa sewaktu


- Fluoresence: letak lesi

- Hb, diferensiasi sel, elektrolit,

- leukositosis >14000 menunjukkan contusio

- ureum dan kreatinin: untumeninjau pemberian kreatinin

- analisis gas darah apabila terjadi penurunan kesadaran

menilai tanda eksternal misalnya laserasi. Menilai tanda tanda seperti, hemtoma,
racoon eye,keluarnya cerebrospinal, refleks pupil dan pemeriksaan GCS.

LO:

1. Aspek penting yang perlu diperiksa pada kasus cedera kepala.


2. Algoritma penanganan cedera kepala
3. Tanda-tanda cedera kepala
4. Diagnosis cedera kepala di skenario dan penatalaksanaan
5. Pemeriksaan penunjang untuk skenario
6. Mekanisme cedera kepala sampai menimbulkan cedera otak
7. Jenis cedera spinal
8. Patofisiologi terjadinya pupil anisokor
9. Jenis-jenis perdarahan akibat cedera kepala
10. Akibat penyalahgunaan obat dan alkohol dan penatalaksanaannya

STEP 7

1. aspek penting pemeriksaan


a. melihat apakah ada laserasi atau memar
b. melihat tingkat kesadaran
c. pemeriksaan naurologi yang penting yaitu refleks pupil
d. melihat dan identifikasi tanda-tanda penting seperti hematoma mastoid atau
hematoma periorbital bilateral (tanda battle), hematoma
subkonjungtiva,perdarahan dari telinga

2. algoritma penanganan cedera kepala

I. CEDERA KEPALA RINGAN (GCS = 14 – 15 )

Idealnya semua penderita cedera kepala diperiksa dengan CT scan, terutama bila
dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup bermakna, amnesia atau sakit kepala
hebat.3 % penderita CK. Ringan ditemukan fraktur tengkorak
Klinis :

- Keadaan penderita sadar


 Mengalami amnesia yang berhubungna dengan cedera yang
dialaminya
 Dapat disertai dengan hilangnya kesadaran yang singkat
 Pembuktian kehilangan kesadaran sulit apabila penderita dibawah
pengaruh obat-obatan / alkohol.
 Sebagain besar penderita pulih sempurna, mungkin ada gejala sisa
ringan

Therapy :

Obat anti nyeri non narkotik

Toksoid pada luka terbuka

Penderita dapat diobservasi selama 12 – 24 jam di Rumah Sakit

II. CEDERA KEPALA SEDANG ( GCS = 9 13 )

- Pada 10 % kasus :

Masih mampu menuruti perintah sederhana

Tampak bingung atau mengantuk

Dapat disertai defisit neurologis fokal seperti hemi paresis

- Pada 10 – 20 % kasus :

Mengalami perburukan dan jatuh dalam koma

Harus diperlakukan sebagai penderita CK. Berat.

- Tindakan di UGD :

Anamnese singkat

Stabilisasi kardiopulmoner dengan segera sebelum pemeriksaan neulorogis

- Pemeriksaan CT. scan

Penderita harus dirawat untuk diobservasi

Penderita dapat dipulangkan setelah dirawat bila :

Status neulologis membaik

CT. scan berikutnya tidak ditemukan adanya lesi masa yang memerlukan
pembedahan
Penderita jatuh pada keadaan koma, penatalaksanaanya sama dengan CK. Berat.

Airway harus tetap diperhatikan dan dijaga kelancarannya

III. CEDERA KEPALA BERAT ( GCS 3 – 8 )

Kondisi penderita tidak mampu melakukan perintah sederhana walaupun status


kardiopulmonernya telah distabilkan

CK. Berat mempunyai resiko morbiditas sangat tinggi

Diagnosa dan therapy sangat penting dan perlu dengan segara penanganan

Tindakan stabilisasi kardiopulmoner pada penderita CK. Berat harus dilakukan


secepatnya.

A. Primary survey dan resusitasi

Di UGD ditemukan :

30 % hypoksemia ( PO2 < 65 mmHg )

13 % hypotensia ( tek. Darah sistolik < 95 mmHg ) Mempunyai mortalitas 2


kali lebih banyak dari pada tanpa hypotensi

12 % Anemia ( Ht < 30 % )

Airway dan breathing

Sering terjadi gangguan henti nafas sementara, penyebab kematian karena


terjadi apnoe yang berlangsung lama

Intubasi endotracheal tindakan penting pada penatalaksanaan penderita cedera


kepala berat dengan memberikan oksigen 100 %

Tindakan hyeprveltilasi dilakukan secara hati-hati untuk mengoreksi


sementara asidosis dan menurunkan TIK pada penderita dengan pupil telah
dilatasi dan penurunan kesadaran

PCo2 harus dipertahankan antara 25 – 35 mm Hg

Sirkulasi

Normalkan tekanan darah bila terjadi hypotensi

Hypotensi petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat pada


kasus multiple truama, trauma medula spinalis, contusio jantung /
tamponade jantung dan tension pneumothorax.

Saat mencari penyebab hypotensi, lakukan resusitasi cairan untuk


mengganti cairan yang hilang
UGS / lavase peritoneal diagnostik untuk menentukan adanya akut
abdomen

B. seconady survey

Penderita cedera kepala perlu konsultasi pada dokter ahli lain.

C. Pemeriksaan Neurologis

Dilakukan segera setelah status cardiovascular penderita stabil, pemeriksaan


terdiri dari :

GCS

Reflek cahaya pupil

Gerakan bola mata

Tes kalori dan Reflek kornea oleh ahli bedah syaraf

Sangat penting melakukan pemeriksaan minineurilogis sebelum penderita


dilakukan sedasi atau paralisis

Tidak dianjurkan penggunaan obat paralisis yang jangka panjang

Gunakan morfin dengan dosis kecil ( 4 – 6 mg ) IV

Lakukan pemijitan pada kuku atau papila mame untuk memperoleh respon
motorik, bila timbul respon motorik yang bervariasi, nilai repon motorik yang
terbaik

Catat respon terbaik / terburuk untuk mengetahui perkembangan penderita

Catat respon motorik dari extremitas kanan dan kiri secara terpisah

Catat nilai GCS dan reaksi pupil untuk mendeteksi kestabilan atau perburukan
pasien.

TERAPI MEDIKAMENTOSA UNTUK TRAUMA KEPALA

Tujuan utama perawatan intensif ini adalah mencegah terjadinya cedera sekunder
terhadap otak yang telah mengaalami cedera

Cairan Intravena

Cairan intra vena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita agar tetap
normovolemik

Perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebih


Penggunaan cairan yang mengandung glucosa dapat menyebabkan
hyperglikemia yang berakibat buruk pada otak yangn cedera

Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah NaCl o,9 % atau Rl

Kadar Natrium harus dipertahankan dalam batas normal, keadaan hyponatremia


menimbulkan odema otak dan harus dicegah dan diobati secara agresig

Hyperventilasi

Tindakan hyperventilasi harus dilakukan secara hati-hati, HV dapat menurunkan


PCo2 sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak

HV yang lama dan cepat menyebabkan iskemia otak karena perfusi otak
menurun

PCo2 < 25 mmHg , HV harus dicegah

Pertahankan level PCo2 pada 25 – 30 mmHg bila TIK tinggi.

Manitol

Dosis 1 gram/kg BB bolus IV

Indikasi penderita koma yang semula reaksi cahaya pupilnya normal, kemudian
terjadi dilatasi pupil dengan atau tanpa hemiparesis

Dosis tinggi tidak boleh diberikan pada penderita hypotensi karena akan
memperberat hypovolemia

Furosemid

Diberikan bersamaan dengan manitol untuk menurunkan TIK dan akan


meningkatkan diuresis

Dosis 0,3 – 0,5 mg/kg BB IV

Steroid

Steroid tidak bermanfaat

Pada pasien cedera kepala tidak dianjurkan

Barbiturat

Bermanfaat untuk menurunkan TIK

Tidak boleh diberikan bila terdapat hypotensi dan fase akut resusitasi, karena
barbiturat dapat menurunkan tekanan darah

Anticonvulasan
Penggunaan anticonvulsan profilaksisi tidak bermanfaat untuk mencegaah
terjadinya epilepsi pasca trauma

Phenobarbital & Phenytoin sering dipakai dalam fase akut hingga minggu ke I

Obat lain diazepam dan lorazepam

PENATALAKSANAAN PEMBEDAHAN

Luka Kulit kepala

Hal penting pada cedera kepala adalah mencukur rambut disekitar luka dan
mencuci bersih sebelum dilakukan penjahitan

Penyebab infeksi adalah pencucian luka dan debridement yang tidak adekuat

Perdarahan pada cedera kepala jarang mengakibatkan syok, perdarahan dapat


dihentikan dengan penekanan langsung, kauteraisasi atau ligasi pembuluh besar
dan penjahitan luka

Lakukan insfeksi untuk fraktur dan adanya benda asing, bila ada CSS pada luka
menunjukan adanya robekan dura. Consult ke dokter ahli bedah saraf

Lakukan foto teengkorak / CT Scan

Tindakan operatif

Fractur depresi tengkorak

Tindakan operatif apabila tebal depresi lebih besar dari ketebalan tulang di
dekatnya

CT Scan dapat menggambarkan beratnya depresi dan ada tidaknya perdarahan di


intra kranial atau adanya suatu kontusio

Lesi masa Intrakranial

Trepanasi dapat dilakukan apabila perdarahan intra kranial dapat mengancam jiwa
dan untuk mencegah kematian

Prosedur ini penting pada penderita yang mengalami perburukan secara cepat dan
tidak menunjukan respon yang baik dengan terapy yang diberikan

Trepanasi dilakukan pada pasien koma, tidak ada respon pada intubasi
endotracheal , hiperventilasi moderat dan pemberian manitol

3. tanda-tanda cedera cupola


Secara umum tanda dan gejala cedera kepala adalah :

1. Gangguan kesadaran

2. Konvulsi

3. Abnormalitas pupil

4. Defisit neurologis

5. Disfungsi sensorik – motorik

6. Kejang

7. Sakit kepala

8. Hipovolemik Syok.

9. Perubahan perilaku kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan gerakan motorik dapat
timbul segera atau secara lambat.

10. Pola pernafasan dapat secara progresif menjadi tidak abnormal.

11. Respon pupil negatif.

1. Perubahan tingkat kesadaran (paling sensitive diantara tanda peningkatan TIK)

2. Trias klasik :

-Nyeri kepala karena regangan duramater dan pembuluh darah.

-Papil edema yang disebabkan oleh tekanan dan pembengkakan diskus aptikus

-Muntah, seringkali proyektil.

3. Tekanan nadi yang lebar, berkurangnya denyut nadi dan pernafasan menandakan
dekompensasi otak dan kematian yang mengancam

4. Hipertermia

5. perubahan motorik dan sensorik

6. Perubahan bicara

7. Kejang

4. diagnosis dan klasifikasi cedera kepala beserta penanganan

Cedera kepala diklasifikasikan dalam beberapa aspek, secara prakatis dikenal 3 deskripsi
klasifikasi yaitu berdasarkan :
- Mekanisme cedera kepala.

Cedera kepala tumpul, berhubungan dengan kecelakaan mobil / motor, jatuh atau pukulan
benda tumpul

Cedera kepala tembus, disebabkan oleh peluru atau luka tusuk

Adanya penetrasi selaput dura menentukan apakah suatu cedera termasuk cedera tembus
atau cedera tumpul.

- Beratnya

GCS penelaian secara kuantitatif kelainan neurologis dan dipakai secara umum untuk
menilai beratnya cedera kepala.

GCS 3 – 8 dikatakan koma dimana penderita tidak mampu melaksanakan perintah, tidak
dapat mengeluarkan suara dan tidak dapat membuka mata.

GCS 15 dikatakan sadar dimana penderita mampu membuka kedua mata dengan spontan,
mematuhi perintah dan berorientasi baik.

- Morfologi

Secara morfologi cedera kepala dibagi atas :

Fraktur kranium,

dapat terjadi pada dasar atau atap tengkorak, dapat berbentuk garis / bintang dan dapat pula
terbuka atau tertutup.

Fraktur dasar tulang tengkorak ditandai :

Racoon eyes sign

Battle’s sign

Kebocoran CSS (rembesan cairan CSS di hidung atau di telinga)

Paresis nervus fasialis

- Lesi intra kranial

Keadaan yang mungkin terjadi pada trauma kepala

Perdarahan epidural (hematoma epidural)

Terjadi karena pembuluh darah antara duramater dan permukaan dalam tengkorak
robek, umumnya akibat robekan arteri meningeal media. Trauma akibat dari
kecepatan lemah misanya ; kena tinju, bola baseball, robekan arteri countercoup
atau akibat lacerasi karena duramaternya tertarik dan robek
Epidural hematom cepat menghasilkan peninggian ICP, gejalanya ; hemiparese
berlawanan dengan kepala yang terkena, mengeluh rasa pusing dan mengantuk.

Perdarahan subdural

Biasanya terjadi kerusakan otak dibawahnya.

1. Acut Subdural hematoma, memberi gejala dalam 24 jam, umumya akibat


kecelakaan dengan kecepatan tinggi.

2. Subacute Subdural hematoma, memberi gejala 25 – 65 jam setelah kejadian,


akibat high velocity impact.

3. Chronic Subdural hematoma, bisa mulai bergejala beberapa minggu sampai


bulan setelah kejadian trauma ringan atau trauma yang tidak disadari oleh
penderita.

Kontusio (memar otak)

Akibat decelerasi atau accelerasi yang hebat sering mengakibatkan kerusakan


jaringan otak atau pembuluh darah atau bahkan laserasi.

Bila jaringan otak yangb memar cukup luas, maka peninggian ICP bisa terjadi.
Kehilanagn kesadaran 5 menit bahkan lebih.

Ada defisit memori dan defisit neulogis.

Fractur (Retak tulang tengkorak)

Mekanisme trauma kepala perlu diketahui dengan baik untuk memprediksi berat
ringannya atau fraktur tengkorak, karena diagnosa dengan Xry cukup sulit.

Fraktur Basis kranii didaerah muka atau depan menyebabkan racoon’s eyes,
didaerah basis belakang ditandai dengan battle’s sign. Tanda lain dari fractur basis
cranii adalah adanya rembesarn liquor atau darah dari hidung dan telinga.

Hematom intracerebral

Gejala yang paling umum adanya kejang

Umunya karena luka penetrasi seperti luka tembak atau dasar otak terseret di
dasar tulang tengkorak.

Contusio ( Commosio cerbri = gegar otak )

Akibat otak yang dikocok (gegar), tanpa disertai kerusakan otak yang berarti.

Ditandai dengan kehilangan kesadaran sebentar, penderita kelihatan cemas dan


bertanya pada hal-hal yang tidak perlu.
di skenario termasuk cedera kepala berat, fraktur basis kranii,akibat trauma tumpul, lesi
intrakranial fokal.

penatalaksanaan:

Pedoman resusitasi dan penilaian awal

1. Menilai jalan nafas

Bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan, lepaskan gig palsu, pertahan kan tulang
servikal segaris dengan badan, pasang gudel bila dapat ditoleransi. Jika cedera mengganggu
jalan nafas, maka pasien harus diintuasi.

2. Menilai pernafasan

Tentukan apakah pasien bernafas dengan spontan atau tidak, jika tidak, beri O2 melalui
masker oksigen. Jika bernafas spontan selidiki cedera dada berat seperti pneumotoraks,
hemopneumotoraks.

3. Menilai sirkulasi

Otak yang rusak tidak mentoleransi hipotensi. Hentikan semua perdarahan dengan menekan
arterinya. Perhatikan secara khusus adanya cedera intra abdomen atau dada. Ukur dan catat
frekuensi denyut jantung dan tekanan darah. Ambil darah vena untuk pemeriksaan darah
perifer lengkap, ureum, kreatinin, elektrolit, glukosa, AGD. Berikan larutan koloid,
sedangkan larutan kristaloid (dektrose atau dektrose dalam saline) menimbulkan eksaserbasi
edema serebri pasca cedera kepala.

4. Obati ceding

Kejng konvulsiv dapat terjad setelah cedera kepala dan harus diobati.

5. Menilai tingkat keparahan

a.Cedera Kepala Ringan (kelompok resiko ringan)

- Skor GCS 14 – 15

- Tidak ada kehilangan kesadaran

- Tidak ada intoksikasi alcohol atau obat terlarang.

- Pasien dpat mengeluh nyeri kepala dan pusing

- Pasien dapat menderita abrasi, laserasi atau hematoma kulit kepala.

- Tidak ada criteria cedera sedang – berat.

b.Cedera kepala Sedang (kelompok resiko sedang)

- Skor GCS 9 – 13
- Konkusi

- Muntah

- Tanda kemungkinan fraktur kranium (mata rabun, hematimpanium, otorea)

- Kejang

c.Cedera Kapala Berat (kelompok resiko berat)

- Skor GCS 3 – 8 (koma)

- Penurunan kesadaran secara progresif

- Tanda neurologis fokal

- Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium

5. Pemeriksaan penunjang untuk skenario

• Diagnosis cedera kepala ditegakkan berdasarkan :

• 1. Riwayat trauma

• - Sebab trauma

• - Adanya kelainan neurologik awal ; kejang, hilang kesadaran, kelemahan


motorik dan gangguan bicara

• - Derajat ketidak-sadaran , amnesia

• - Nyeri kepala, mual dan muntah

• 2. Pemeriksaan fisik

• - Tanda-tanda vital

• - Tingkat kesadaran cedera luar yang terlihat ; cedera kulit kepala, perdarahan
hidung, mulut, telinga, dan hematoperiorbital

• - Tanda-tanda neurologis foko,mkal ; ukuran pupil, gerakan mata, aktivitas


motorik.

• - Reflek tendon

• - Sistem sensorik perlu diperiksa, jika pasien sadar.

• 3. Pemeriksaan penunjang

• - Laboratorium rutin

• - Foto kepala AP lateral


• - Foto servikal

• - CT Scan / MRI kepala

• - Arteriografi bila perlu

* CT Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran


ventrikuler, pergeseran jaringan otak.

* Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan


otak akibat edema, perdarahan, trauma.

* X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis


(perdarahan / edema), fragmen tulang.

* Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika terjadi
peningkatan tekanan intrakranial.

* Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan


intrakranial.

6. Mekanisme cedera kepala sampai menimbulkan cedera otak

Perubahan patofisiologi setelah cedera kepala adalah kompleks. Trauma bisa disebabkan oleh
mekanisme yang berbeda, dan sering berkombinasi. Perubahan- perubahan setelah trauma
adalah terjadi pada tingkat molekuler, biokimia, seluler, dan pada tingkat makroskopis

- Cedera Otak Primer dan Kontusio Serebri

Cedera otak primer disebabkan oleh kerusakan mekanik pada jaringan otak dan
pembuluh darah pada saat terjadinya trauma. Pada tingkat makroskopis bisa terlihat
terputusnya jaringan otak; pada tingkat mikroskopik bisa terlihat kerusakan parenkhim sel
(sel neuron, axon, dan glia) dan mikrosirkulasi (arteriol, capiler, dan venula) (Selladurai,et
al,2007).

Kontusio serebri adalah tipe kerusakan otak fokal terutama disebabkan oleh kontak
antara permukaan otak dan tonjolan permukaan tulang dasar tengkorak, menuerut ICD-9
kontusio cerebri adalah luka memar pada otak akibat tubrukan / impact terhadap kepala atau
suatu trauma acceleration/deceleration .

Diantara banyak peristiwa molekouler paskacedera otak hal yang paling penting
adalah Sur-1 yang memberi kontribusi berkembangnya kontusio serebri. Secara umum area
kontusio serebri dibagi tiga yaitu; Epicenter, Pericotusional penumbra, dan Parapenumbra
area. Pada epicenter terputusnya pembuluh darah terjadi segera. Pada penumbra dan
parapenumbra area pukulan energi tidak merobek jaringan, tetapi mengawali peristiwa
molekuler sensitif-mekanik yang mengiduksi overexpresi dari Sur- 1. Sur-1 adalah regulator
subunit dari non-selektif kation channel (NCCa-ATP) yang ditemukan oleh Simard group dan
berimplikasi pada patophisiologi edema serebri dan bertransformasi dari kontusio menjadi
hemoragic. Induksi overekspresi Sur-1 meningkatkan pembengkakan sel dan kematian
onkotik sel astrocyte, neuron, dan sel endothelial. Pecahnya endotelial sel mengakibatkan
microhemoragic yang berakibat terbentuknya perdarahan baru dan konsekuensi perdarahan
menjadi progresif pada traumatik kontusio serebri

Gambaran CT scan pada kontusio serebri lokasi biasanya tanpak pada permukaan
korteks dan terlibat gray matter, pada sentral area terlihat hiperdense dan bercampur dengan
area hipodense yang merupakan bagian dari hemoragic necrosis atau bagian jaringan otak
yang rusak dan bagian otak yang edema (pericontusional edema)

Tidak ada aliran darah pada area sentral kontusio serebri dan pengurangan aliran
darah pada daerah perikontusional edema, dimana autoregulasi terganggu (vasoparalysis).
Oleh karena itu pada daerah perilesional ada kerusakan parsial sel yang rentan terhadap setiap
pengurangan perfusi oleh pengurangan MAP (mean arterial pressure), peningkatan tekanan
intrakranial atau vasokonstriksi setelah hipocapnia akibat dari hiperventilasi

Perkembangan dari lesi kontusio serebri adalah (1) Komponen perdarahan


berkembang; penyatuan fokus –fokus perdarahan kecil dapat terjadi; komponen perdarahan
dari kontusio serebri dapat mencapai maximal dalam waktu 12 jam pascatrauma pada 84%
pasien; koangolopati dan alkoholik dapat memperbesar risiko bertambahnya komponen
perdarahan pada kontusio serebri, (2) Meningkatnya pembengkakan zona sentral kontusio
dan zona perikontusional; kerusakan parsial sel parenkim pada sentral kontusio juga pada
zona perikontusional bisa menyebabkan bengkak (cytotoxic edema). Pada area nekrotik dari
kontusio makromolekuler yang didegradasi menjadi molekul yang lebih kecil dapat
meningkatkan osmolaritas jaringan dan bisa menyebabkan perpindahan cairan dari
intravasculer ke area necrosis kontusio (osmolar edema). Pembengkakan area sentral
kontusio menyebabkan penekanan zona perikontusional dan menyebabkan iskhemik lebih
lanjut dan edema. Perikontusional edema dapat mencapai maximal 48-72 jam setelah cedera

- Cedera Otak Sekunder

Cedera otak sekunder merujuk kepada efek setelah peristiwa cedera primer, secara
klinis efek diaplikasikan setelah postraumatik hematom intrakranial, edema otak dan
peningkatan tekanan intrakranial dan pada fase lebih lambat hidrocephalus dan infeki. Cedera
otak sekunder adalah peristiwa sistemik yang terjadi setelah trauma yang potensial cedera ini
dapat menambah kerusakan neuron, axon, dan pembuluh darah otak. Cedera otak sekunder
yang terpenting adalah hipoxia ,hipotensi, hipercarbia, hiperexia, dan gangguan elektrolit
6. Jenis cedera spinal

Cidera medulla spinalsi dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi cedera, antara lain:

1. Cidera Servikal

1. Lesi C1 – C4

Pada lesi C1 – C4, otot trapezius, sternomastoideus dan otot plasma masih berfungsi.
Otot diafragma dan interkostal mengalami paralisis dan tidak ada gerakan involunter (baik
secara fisik maupun fungsional). Dibawah transeksi spinal tersebut, kehilangan sensori pada
tingkat C1 – C3 meliputi oksipital, telinga dan beberapa daerah wajah.

Pasien pada qudriplegia C1, C2, dan C3 membutuhkan perhatian penuh karena
ketergantungan pada/terhadap ventilator mekanis. Pasien ini juga ketergantungan semua
kebutuhan sehari-harinya. Quadriplegia pada C4 mungkin juga membutuhkan ventilator
mekanis tetapi dapat dilepas. Jadi penggunaannya secara intermitten saja.

1. Lesi C5

Bila segmen C5 medulla spinalis mengalami kerusakan, fungsi diafragma rusak


sekunder terhadap pascatrauma akut. Paralisis intertinal dan dilatasi lambungdapat disertai
dengan depresi pernafsan. Quadriplegia pada C5 biasanya mengalami ketergantungan dalam
melakukan aktivitas seperti mandi, menyisir rambut, mencukur teapi pasien mempunyai
koodinasi tangan dan mulut yang baik.

1. Lesi C6

Pada lesi segmen C6, distress pernafasan dapat terjadi karena paralisis intestinal dan
edema asenden dari medulla spinalis. Biasanyaakan terjadi gangguan pada otot bisep, triep,
deltoid dan pemulihannya tergantung pada perbaikan posisi lengan. Umumnya pasien masih
dapat melakukan aktivitas higiene secara mandiri, bahkan masih dapat memakai dan
melepaskan baju.

1. Lesi C7

Lesi medulla pada tingkat C7 memungkinkan otot diafragma dan aksesoris untuk
mengkompensasi otot abdomen dan interkostal. Fleksi jari tangan biasanya berlebihan ketika
kerja refleks kembali. Quadriplegia C7 mempunyai potensi hidup mandiri tanpa
perawatandan perhatian khusus. Pemindahan mandiri, seperti berpakaian dan melepas
pakaian melalui ekstrimitas atas dan bawah, makan, mandi, pekerjaan rumah yang ringan dan
memasak.
1. Lesi C8

Hipotensi postural bisa terjadi bila pasien ditinggikan pada posisi duduk karena
kehilangan control vasomotor. Hipotensi postural dapat diminimalkan dengan pasien berubah
secara bertahap dari berbaring ke posisi duduk. Jari tangan pasien biasanya
mencengkram.Quadriplegia C8 harus mampu hidup mandiri, mandiri dalam berpakaian,
melepaskan pakaian, mengemudikan mobil, merawatrumah, dan perawatan diri.

1. Cidera Thorakal

1. Lesi T1 – T5

Lesi pada region T1-T5 dapat menyebabkan pernafasan dengandiafragmatik. Fungsi


inspirasi paru meningkat sesuai tingkat penurunan lesi pada toraks. Hipotensi postural
biasanya muncul.Timbul paralisis parsial dari otot adductor pollici, interoseus, dan
ototlumrikal tangan, seperti kehilangan sensori sentuhan, nyeri, dan suhu.

1. Lesi T6 – T12

Lesi pada tingkat T6 menghilangkan semua refleks adomen.Dari tingkat T6 ke bawah,


segmen-segmen individual berfungsi, dan pada tingkat 12, semua refleks abdominal ada. Ada
paralisis spastik pada tubuh bagian bawah. Pasien dengan lesi pada tingkat torakalharus
befungsi secara mandiri.

Batas atas kehilangan sensori pada lesi thorakal adalah:

1. T2 : Seluruh tubuh sampai sisi dalam dari lengan atas.

2. T3 : Aksilla.

3. T5 : Putting susu.

4. T6 : Prosesus xifoid.

5. T7, T8 : Margin kostal bawah.

6. T10 : Umbilikus.

7. T12 : Lipat paha

8. Cidera Lumbal
Kehilangan sensori lesi pada lumbal, antara lain:

1. Lesi L1

Semua area ekstrimitas bawah, menyebar ke lipat paha& bagian belakang dari
bokong.

1. Lesi L2

Ekstrimitas bagian bawah kecuali sepertiga atas aspek anterior paha

1. Lesi L3

Ekstrimitas bagian bawah dan daerah sadel.

1. Lesi L4

Sama dengan L3, kecuali aspek anterior paha.

1. Lesi L5

Aspek luar kaki dan pergelangan kaki serta ekstrimitas bawah dan area sadel

1. Cidera Sakral

Pada lesi yang mengenai S1-S5, mungkin terdapat beberapa perubahan posisi dari
telapak kaki. Dari S3-S5, tidak terdapat paralisisdari otot kaki. Kehilangan sensasi meliputi
area sadel, skrotum, danglans penis, perineum, area anal, dan sepertiga aspek posterior paha.

Klasifikasi berdasarkan keparahan:

1. Klasifikasi Frankel:

Grade A : motoris (-), sensoris (-)

Grade B : motoris (-), sensoris (+)

Grade C : motoris (+) dengan ROM 2 atau 3, sensoris (+)

Grade D : motoris (+) dengan ROM 4, sensoris (+)

Grade E : motoris (+) normal, sensoris (+)


1. Klasifikasi ASIA (American Spinal Injury Association)

Grade A : motoris (-), sensoris (-) termasuk pada segmen sacral

Grade B : hanya sensoris (+)

Grade C : motoris (+) dengan kekuatan otot < 3

Grade D : Motoris (+) dengan kekuatan otot > 3

Grade E : motoris dan sensoris normal

7. Patofisiologi terjadinya pupil anisokor

Kelainan pada fase awal tidak menunjukkan gejala atau tanda. Baru setelah hematom
bertambah besar akan terlihat tanda pendesakan dan peningkatan tekanan intra kranial.
Penderita akan mengalami sakit kepala, mual dan muntah dan diikuti oleh penurunan
kesadaran. Gejala neurologik yang terpenting adalah pupil mata anisokor yaitu pupil
ipsilateral melebar.

Pada hematom epidural, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan dura meter.
Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu cabang arteria meningea
media robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur tulang tengkorak di daerah bersangkutan.
Hematom dapat pula terjadi di daerah frontal atau oksipital.(8)
Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan jalan
antara durameter dan tulang di permukaan dan os temporale. Perdarahan yang terjadi
menimbulkan hematom epidural, desakan oleh hematoma akan melepaskan durameter lebih
lanjut dari tulang kepala sehingga hematom bertambah besar. (8)
Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada lobus temporalis
otak kearah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus mengalami
herniasi di bawah pinggiran tentorium. Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-tanda
neurologik yang dapat dikenal oleh tim medis.(1)
Tekanan dari herniasi unkus pda sirkulasi arteria yang mengurus formation retikularis di
medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini terdapat nuclei saraf
cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf ini mengakibatkan dilatasi pupil dan
ptosis kelopak mata.

8. Jenis-jenis perdarahan akibat cedera kepala

a. Epidural hematoma

Terdapat pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan duramater akibat


pecahnya pembuluh darah / cabang – cabang arteri meningeal media yang terdapat diantara
duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena sangat berbahaya . Dapat
terjadi dalam beberapa jam sampai 1 – 2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu di lobus
temporalis dan parietalis.

Gejala – gejalanya :

1). Penurunan tingkat kesadaran

2). Nyeri kepala

3). Muntah

4). Hemiparese

5). Dilatasi pupil ipsilateral

6). Pernapasan cepat dalam kemudian dangkal ( reguler )

7). Penurunan nadi

8). Peningkatan suhu

b. Subdural hematoma

Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronik.
Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena / jembatan vena yang biasanya terdapat
diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut dapat terjadi dalam 48 jam –
2 hari, 2 minggu atau beberapa bulan.

Gejala – gejalanya :

1). Nyeri kepala

2). Bingung

3). Mengantuk

4). Menarik diri

5). Berfikir lambat

6). Kejang

7). Udem pupil.

c. Perdarahan intra serebral berupa perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh
darah arteri, kapiler dan vena.

Gejala – gejalanya :

1). Nyeri kepala


2). Penurunan kesadaran

3). Komplikasi pernapasan

4). Hemiplegi kontra lateral

5). Dilatasi pupil

6). Perubahan tanda – tanda vital

d. Perdarahan Subarachnoid

Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah dan permukaan
otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang hebat.

Gejala – gejalanya :

1). Nyeri kepala

2). Penurunan kesadaran

3). Hemiparese

4). Dilatasi pupil ipsilateral

5). Kaku kuduk

9. Akibat penyalahgunaan obat dan alkohol dan penatalaksanaannya

Gangguan berhubungan dengan alkohol seperti hampir semua dengan keadaan


psikiatri yang lainnya, mewakilii suatu kelompok yang heterogen, dan pada setiap kasus
individual bervariasi penyebabnya yang meliputi faktor Psikososial, faktor keturunan faktor
perilaku, dan faktor lingkungan. Alkohol di dalam tubuh mempengaruhi hampir setiap sitem
organ dan di dalam dosis tinggi dapat menyebabkan koma atau kematian. Alkohol
mempengaruhi beberapa system saraf, termasuk opiate, GABA, glutamate, serotonin dan
dopamine. Peningkatan kadar opiate di dalam darah menjelaskan efek bahagia di dalam
alkohol yang juga diterangkan oleh peningkatan GABA yang mempengaruhi efek mengantuk
/ sedative dan tenang.

Akibat Penyalahgunaan Narkoba

Berikut beberapa efek samping penyalahgunaan narkoba pada organ tubuh, seperti
dikutip NIDA (National Institute On Drug Abuse) dalam situsnya:

HIV, Hepatitis dan Beberapa Penyakit Menular Lainnya

Penyalahgunaan narkoba tidak hanya melemahkan sistem kekebalan tubuh


seseorang, tetapi hal itu juga kerap dikaitkan dengan berbagai perilaku berbahaya
seperti pemakaian jarum suntik secara bergantian, dan perilaku seks bebas.
Kombinasi dari keduanya akan sangat berpotensi meningkatkan resiko tertular
penyakit HIV/AIDS, hepatitis, dan beragam penyakit infeksi lainnya. Perilaku
berbahaya tersebut biasanya berlaku bagi penggunaan narkoba berjenis heroin,
kokain, steroid, dan methamphetamin.
Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah

Para peneliti telah menemukan semacam korelasi antara penyalahgunaan


narkoba (dalam berbagai frekuensi penggunaan) dengan kerusakan fungsi jantung,
mulai dari detak jantung yang abnormal sampai dengan serangan jantung.
Penyuntikan zat-zat psikotropika juga dapat menyebabkan kolapsnya saluran vena,
serta resiko masuknya bakteri lewat pembuluh darah dan klep jantung. Beberapa jenis
narkoba yang dapat merusak kinerja sistem jantung antara lain kokain, heroin,
inhalan, ketamin, LSD, mariyuana, MDMA, methamphetamin, nikotin, PCP, dan
steroid.
Penyakit Gangguan Pernapasan

Penyalahgunaan narkoba juga dapat menyebabkan beragam permasalahan


sistem pernapasan. Merokok, misalnya, sudah terbukti merupakan penyebab penyakit
bronkhitis, emphysema, dan kanker paru-paru. Begitu pula dengan menghisap
mariyuana yang bisa membawa dampak lebih parah lagi. Penggunaan sejumlah zat
psikotropika juga dapat mengakibatkan lambatnya pernapasan, menghalangi udara
segar memasuki paru-paru yang lebih buruk dari gejala asma.
Penyakit Nyeri Lambung

Dari efek merugikan yang ditimbulkannya, beberapa kasus penyalahgunaan


narkoba juga diketahui dapat menyebabkan mual dan muntah beberapa saat setelah
dikonsumsi. Penggunaan kokain juga dapat mengakibatkan nyeri pada lambung.
Penyakit Kelumpuhan Otot

Penggunaan steroid pada masa kecil dan masa remaja, menghasilkan hormon
seksual melebihi tingkat sewajarnya, dan mengakibatkan pertumbuhan tulang terhenti
lebih cepat dibanding saat normal. Sehingga tinggi badan tidak maksimal, bahkan
cenderung pendek. Beberapa jenis narkoba juga dapat mengakibatkan kejang otot
yang hebat, bahkan bisa berlanjut pada kelumpuhan otot.
Penyakit Gagal Ginjal

Beberapa jenis narkoba juga dapat memicu kerusakan ginjal, bahkan


menyebabkan gagal ginjal, baik secara langsung maupun tak langsung akibat
kenaikan temperatur tubuh pada tingkat membahayakan sampai pada terhentinya
kinerja otot tubuh.
Penyakit Neurologis

Semua perilaku penyalahgunaan narkoba mendorong otak untuk memproduksi


efek euforis. Bagaimanapun, beberapa jenis psikotropika juga memberikan dampak
yang sangat negatif pada otak seperti stroke, dan kerusakan otak secara meluas yang
dapat melumpuhkan segala aspek kehidupan pecandunya. Penggunaan narkoba juga
dapat mengakibatkan perubahan fungsi otak, sehingga menimbulkan permasalahan
ingatan, permasalahan konsentrasi, serta ketidakmampuan dalam pengambilan
keputusan.
Penyakit Kelainan Mental

Penyalahgunaan narkoba yang sudah sampai pada level kronis dapat


mengakibatkan perubahan jangka panjang dalam sel-sel otak, yang mendorong
terjadinya paranoia, depresi, agresi, dan halusinasi.
Penyakit Kelainan Hormon

Penyalahgunaan narkoba dapat mengganggu produksi hormon di dalam tubuh


secara normal, yang mengakibatkan kerusakan yang dapat dipulihkan sekaligus yang
tidak dapat dipulihkan kembali. Semua perusakan ini meliputi kemandulan dan
penyusutan testikel pada pria, sebagaimana juga efek maskulinisasi yang terjadi pada
wanita.

Penyakit Gangguan Kehamilan

Efek keseluruhan akibat ketergantungan narkoba terhadap kesehatan janin


yang dikandung memang tidak diketahui. Namun, beberapa studi menunjukkan
bahwa penyalahgunaan narkoba dapat menyebabkan kelahiran prematur, keguguran,
penurunan berat bayi, serta berbagai permasalahan perilaku maupun kognitif pada
bayi di kemudian hari.
Permasalahan Kesehatan Lainnya

Sebagai tambahan dari berbagai penjelasan tentang penyakit yang ditimbulkan


oleh penyalahgunaan narkoba di atas, perlu diketahui pula bahwa semua jenis narkoba
tersebut memiliki potensi merubah fungsi tubuh secara keseluruhan. Termasuk
diantaranya perubahan selera makan dan peningkatan suhu tubuh secara dramatis
yang bisa melumpuhkan kesehatan dalam waktu singkat. Tidak cukup sampai disitu,
zat psikotropika berpotensi menimbulkan kelelahan yang berkepanjangan,
mengombang-ambingkan perasaan, kepenatan mendalam, perubahan selera makan,
nyeri pada otot dan tulang, hilang ingatan, diare, keringat dingin, dan muntah-muntah.
Akibat/Dampak Langsung Dan Tidak Langsung Penyalahgunaan Narkoba Pada Kehidupan
& Kesehatan Manusia
Narkotika dan obat terlarang serta zat adiktif / psikotropika dapat menyebabkan efek
dan dampak negatif bagi pemakainya. Danmpak yang negatif itu sudah pasti merugikan dan
sangat buruk efeknya bagi kesehatan mental dan fisik.

Meskipun demikian terkadang beberapa jenis obat masih dipakai dalam dunia kedokteran,
namun hanya diberikan bagi pasien-pasien tertentu, bukan untuk dikonsumsi secara umum
dan bebas oleh masyarakat. Oleh karena itu obat dan narkotik yang disalahgunakan dapat
menimbulkan berbagai akibat yang beraneka ragam.
Dampak Tidak Langsung Narkoba Yang Disalahgunakan
• Akan banyak uang yang dibutuhkan untuk penyembuhan dan
perawatan kesehatan pecandu jika tubuhnya rusak digerogoti zat beracun.
• Dikucilkan dalam masyarakat dan pergaulan orang baik-baik. Selain
itu biasanya tukang candu narkoba akan bersikap anti sosial.
• Keluarga akan malu besar karena punya anggota keluarga yang
memakai zat terlarang.
• Kesempatan belajar hilang dan mungkin dapat dikeluarkan dari
sekolah atau perguruan tinggi alias DO / drop out.
• Tidak dipercaya lagi oleh orang lain karena umumnya pecandu
narkoba akan gemar berbohong dan melakukan tindak kriminal.
• Dosa akan terus bertambah karena lupa akan kewajiban Tuhan serta
menjalani kehidupan yang dilarang oleh ajaran agamanya.
• Bisa dijebloskan ke dalam tembok derita / penjara yang sangat
menyiksa lahir batin.
Biasanya setelah seorang pecandu sembuh dan sudah sadar dari mimpi-mimpinya maka ia
baru akan menyesali semua perbuatannya yang bodoh dan banyak waktu serta kesempatan
yang hilang tanpa disadarinya. Terlebih jika sadarnya ketika berada di penjara. Segala caci-
maki dan kutukan akan dilontarkan kepada benda haram tersebut, namun semua telah
terlambat dan berakhir tanpa bisa berbuat apa-apa.

Dampak Langsung Narkoba Bagi Jasmani / Tubuh Manusia

• Gangguan pada jantung


• Gangguan pada hemoprosik
• Gangguan pada traktur urinarius
• Gangguan pada otak
• Gangguan pada tulang
• Gangguan pada pembuluh darah
• Gangguan pada endorin
• Gangguan pada kulit
• Gangguan pada sistem syaraf
• Gangguan pada paru-paru
• Gangguan pada sistem pencernaan
• Dapat terinfeksi penyakit menular berbahaya seperti HIV AIDS,
Hepatitis, Herpes, TBC, dll.
Dan banyak dampak lainnya yang merugikan badan manusia.

Dampak Langsung Narkoba Bagi Kejiwaan / Mental Manusia


• Menyebabkan depresi mental.
• Menyebabkan gangguan jiwa berat / psikotik.
• Menyebabkan bunuh diri
• Menyebabkan melakukan tindak kejehatan, kekerasan dan
pengrusakan.

Pengaruh Alkohol

Alkohol murni tidaklah dikonsumsi manusia. Yang sering dikonsumsi adalah minuman
yang mengandung bahan sejenis alkohol, biasanya adalah ethyl alcohol atau ethanol
(CH3CH2OH ). Bahan ini dihasilkan dari proses fermentasi gula yang dikandung dari malt
dan beberapa buah-buahan seperti hop, anggur dan sebagainya.

Beberapa jenis minuman dan kandungan alkoholnya :

• Beer : 2–8%
• Dry wine : 8 – 14 %
• Vermouth : 18 – 20 %
• Cocktail wine : 20 – 21 %
• Cordial : 25 – 40 %
• Spirits : 40 – 50 %
Akibat Penggunaan Alkohol :

Bila seseorang mengkonsumsi minuman yang mengandung alkohol, zat tersebut. diserap
oleh lambung, masuk ke aliran darah dan tersebar ke seluruh jaringan tubuh, yang
mengakibatkan terganggunya semua sistem yang ada di dalam tubuh.

Besar akibat alkohol tergantung pada berbagai faktor, antara lain berat tubuh, usia, gender,
dan sudah tentu frekuensi dan jumlah alkohol yang dikonsumsi.

• Efek moderat : euphoria ( perasaan gembira dan nyaman ), lebih


banyak bicara dan rasa pusing
• Efek setelah minum dalam jumlah besar :
• Banyak sekali berbicara
• nausea ( ‘neg )
• muntah
• sakit kepala, pusing
• rasa haus
• rasa lelah
• disorientasi
• tekanan darah menurun
• refleks melambat
Akibat Penggunaan – Jangka Panjang :

• Kegelisahan
• Gemetar / tremor
• Halusinasi
• Kejang-kejang
• Bila disertai dengan nutrisi yang buruk, akan merusak organ vital
seperti otak dan hati
Catatan :

- Sangat potensial menimbulkan rasa ketagihan / ketergantungan

- Semakin lama penggunaan, toleransi tubuh semakin besar sehingga untuk mendapatkan
efek yang sama, semakin lama semakin besar dosisnya.

Bila ibu yang hamil mengkonsumsi, akan mengakibatkan bayi yang memiliki resiko lebih
tinggi terhadap hambatan perkembangan mental dan ketidak-normalan lainnya, serta beresiko
lebih besar menjadi pecandu alkohol saat dewasanya.

Pertolongan pertama penderita dimandikan dengan air hangat, minum banyak, makan
makanan bergizi dalam jumlah sedikit dan sering dan dialihkan perhatiannya dari narkoba.
Bila tidak berhasil perlu pertolongan dokter.

Upaya kuratif bagi pemakai narkoba secara lebih rinci dilaksanakan melalui beberapa
tahapan berikut:

1. Detoksifikasi

Detoksifikasi adalah proses menghilangkan racun (zat narkotika atau adiktif lain) dari tubuh
dapat dilakukan secara medis dan nonmedis. Secara medis, terapi detoksifikasi dilakukan
menggunakan berbagai macam cara. Cara pertama dengan melakukan pengurangan dosis
secara bertahap dan mengurangi tingkat ketergantungan. Cara yang kedua dengan
menggunakan antagonis morfin, yaitu suatu senyawa yang dapat mempercepat proses
neuroregulasi (pengaturan kerja saraf). Cara yang ketiga dengan penghentian total. Tetapi,
cara yang ketiga ini cukup berbahaya untuk dilakukan karena penghentian total pemakaian
obat akan dapat menimbulkan gejala putus obat (sakaw) sehingga pada cara ini perlu diberi
terapi untuk menghilangkan gejala-gejala yang timbul. Detoksifikasi bisa dilakukan dengan
berobat jalan atau dirawat di rumah sakit. Biasanya proses detoksifikasi dilakukan terus
menerus selama satu sampai tiga minggu, hingga hasil tes urin menjadi negatif dari zat
adiktif. Detoksifikasi nonmedis yang sering dilakukan adalah dengan cara-cara yang kurang
manusiawi, seperti disiram air dingin, dipasung dan lain sebagainya.

2. Rehabilitasi
Setelah menjalani detoksifikasi hingga tuntas (tes urin sudah negatif), tubuh secara fisik
memang tidak “ketagihan” lagi. Namun secara psikis, pada bekas pemakai narkoba biasanya
sering timbul keinginan terhadap zat tersebut yang terus membuntuti alam pikiran dan
perasaannya. Sehingga sangat rentan dan sangat besar kemungkinan kembali mencandu dan
terjerumus lagi.Untuk itu setelah detoksifikasi perlu juga dilakukan proteksi lingkungan dan
pergaulan yang bebas dari lingkungan pecandu, misalnya dengan memasukkan mantan
pecandu ke pusat rehabilitasi.

Rehabilitasi dilakukan agar pasien yang telah menempuh proses pengobatan, dapat kembali
ke dalam kondisi seperti semula. Rehabilitasi atau pemulihan ini mencakup rehabilitasi
secara fisik dan mental/psikis serta rehabilitasi secara sosial seperti memperbaiki hubungan
dengan keluarga, teman-teman dan orang-orang lain di lingkungan sekitar.
Daftar Pustaka
Anonim._____. Cedera Kepala: Penatalaksanaan Fase Akut.
http://www.kalbefarma.com/files/cdk/files/16PenatalaksanaanFaseAkut077.pdf/16Penatalaks
anaanFaseAkut077.html

Arif, et al, 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2, Media Aesculapius, Jakarta3.
Sjamsuhidajat, R & Wim de Jong, 1997, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC, Jakarta.

Basuki, Endro, Sp.BS,dr; 2003, Materi Pelatihan GELS (General Emergency Life Support),
Tim Brigade Siaga Bencana (BSB), Jogjakarta.

Gershon, A. 2005. Subarachnoid Hematoma. www.emedicine.com

Harsono, 2000. Kapita Selekta Neurologi. Jogjakarta, Gajah Mada University Press.

Kartono, Kartini, 1992. Patologi II Kenakalan Remaja. Jakarta: Rajawali.

Mangku, Made Pastika, Mudji Waluyo, Arief Sumarwoto, dan Ulani Yunus, 2007. pecegahan
Narkoba Sejak Usia Dini. Jakarta: Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia

Morales, D. 2005. Brain Contusion. www.emedicine.com

McDonald, D.K., 2006. Epidural Hematoma. www.emedicine.com

Sari, et al. 2005. Chirurgica Re-Package+ Edition. Jogjakarta, Tosca Enterprise.

Wagner, A.L., 2005. Subdural Hematoma. www.emedicine.com

Anda mungkin juga menyukai