Anda di halaman 1dari 257

LAPORAN

produktivitas primer

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di dalam suatu ekosistem air terdapat aktifitas-aktifitas organisme
dan plankton dan berbagai mikroorganisme. Antara organisme-organisme
tersebut saling melakukan timbal balik. Hasil dari timbal balik tersebut dapat
menghasilkan senyawa-senyawa yang penting bagi kehidupan makhluk hidup
termasuk organisme yang berada di dalamnya. Salah satu senyawa yang
dihasilkan oleh organisme-organisme tersebut adalah oksigen. Meskipun
kadar oksigen yang dihasilkan terdapat dalam jumlah yang banyak namun
keberadaan hewan-hewan, bakteri dan juga tumbuh-tumbuhan itu sendiri
cepat sekali menghabiskan oksigen. Karena pada dasarnya, kadar oksigen
sangat tergantung dengan jumlah organisme yang hidup di tempat tersebut,
selain itu juga dipengaruhi oleh penggunaan oksigen oleh organisme tersebut.
Sehingga antara tempat yang satu dengan tempat yang lain dapat memiliki
kadar oksigen yang berbeda.
Kehidupan di bumi berpangkal pada kemampuan tumbuhan hijau
dalam menggunakan energi cahaya matahari untuk mensintesis molekul-
molekul organik yang kaya energi dari senyawa-senyawa anorganik. Menurut
(Odum, 1971 dalam Widowati, 2004) dalam tropik level suatu perairan,
fitoplankton disebut sebagai produsen utama perairan. Laut merupakan suatu
kesatuan ekosistem dimana terdapat serangkaian komunitas yang dihuni oleh
berbagai organisme laut dan plankton yang dipengaruhi oleh faktor-faktor
fisika kimia air laut sekelilingnya. Air laut merupakan air murni yang di
dalamnya terlarut zat padat yang meliputi garam-garam anorganik, senyawa-
senyawa organik yang berasal dari organisme hidup dan gas (Nybaken,
1992). Oleh karena itu, laut mempunyai kandungan produktivitas primer yang
tinggi.
Produktivitas primer dapat diartikan sebagai laju pada massa energi
pancaran yang disimpan oleh kegiatan fotosintesis atau kemosintesis
organisme-organisme produsen (terutama tumbuh-tumbuhan hijau) dalam

2
bentuk senyawa-senyawa organik yang dapat digunakan sebagai bahan
pangan. Pengukuran produktivitas dapat dilakukan dengan menggunakan
produksi oksigen sebagai dasar perhitungan karena terdapat suatu
kesepadanan antara oksigen dan pangan yang dihasilkan.
Pantai Bama Taman Nasional Baluran merupakan perwakilan
ekosistem laut, dengan luas wilayah perairan terletak di antara 114° 18' - 114°
27' Bujur Timur dan 7° 45' - 7° 57' Lintang Selatan. Daerah ini terletak di
ujung Timur pulau Jawa. Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Madura,
sebelah Timur berbatasan dengan Selat Bali, sebelah Selatan berbatasan
dengan Sungai Bajulmati dan sebelah Barat berbatasan dengan Sungai
Kelokoran. Wilayah tersebut merupakan wilayah konservasi sehingga
perairannya pun terlihat masih bersih. Karena kondisi yang bersih tersebut
maka diasumsikan bahwa keanekaragaman organisme di Pantai Bama masih
tinggi. Dengan adanya hewan-hewan, bakteri dan juga tumbuh-tumbuhan
tersebut berarti oksigen yang dibutuhkan atau digunakan tinggi, sehingga
oksigen cepat habis.
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk
mengetahui produktivitas primer yang ada di Pantai Bama Baluran
Situbondo.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dapat diambil dari latar belakang diatas
adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kadar fotosintesis pada air laut di Pantai Bama Taman
Nasional Baluran?
2. Bagaimanakah kadar respirasi pada air laut di Pantai Bama Taman
Nasional Baluran?
3. Bagaimanakah produktivitas primer pada air laut di Pantai Bama Taman
Nasional Baluran?
4. Bagaimanakah produktivitas total pada air laut di Pantai Bama Taman
Nasional Baluran?

3
C. Tujuan
Tujuan dari percobaan ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui kadar fotosintesis pada air laut di Pantai Bama Taman
Nasional Baluran.
2. Untuk mengetahui kadar respirasi pada air laut di Pantai Bama Taman
Nasional Baluran.
3. Untuk mengetahui produktivitas primer pada air laut di Pantai Bama
Taman Nasional Baluran.
4. Untuk mengetahui produktivitas total pada air laut di Pantai Bama Taman
Nasional Baluran.

D. Manfaat
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini antara lain sebagai berikut:
1. Bagi peneliti
a) Mengetahui produktivitas primer perairan di pantai Bama Taman
Nasional Baluran.
b) Mengetahui cara penentuan produktifitas primer dengan menggunakan
metode Botol Winkler.
2. Bagi pembaca
a) Mengetahui produktivitas primer perairan di pantai Bama Taman
Nasinal Baluran.
b) Sebagai bahan referensi untuk melakukan penelitian lebih lanjut.

4
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Pantai Bama
Laut yang luasnya mencakup 70% permukaan bumi merupakan
habitat yang saling berhubungan, tidak terpisah-pisah seperti daratan dan air
tawar sehingga temperatur, salinitas dan kedalaman ialah hambatan utama
untuk gerakan bebas organisme laut. Laut didominasi oleh berbagai macam
gelombang dan pasang surut yang terjadi karena gaya tarik bulan dan
matahari (Odum, 1994).
Taman Nasional Baluran dengan luas 25.000 Ha wilayah daratan dan
3.750 Ha wilayah perairan terletak di antara 114° 18' - 114° 27' Bujur Timur
dan 7° 45' - 7° 57' Lintang Selatan. Daerah ini terletak di ujung Timur pulau
Jawa. Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Madura, sebelah Timur
berbatasan dengan Selat Bali, sebelah Selatan berbatasan dengan Sungai
Bajulmati dan sebelah Barat berbatasan dengan Sungai Kelokoran. Selain itu,
terdapat pula pantai yang landai dan berpasir putih, formasi terumbu karang
dan ikan hias yang indah. Iklimnya bertipe Monsoon yang dipengaruhi oleh
angin Timur yang kering. Curah hujan berkisar antara 900 - 1600 mm/tahun,
dengan bulan kering per tahun rata-rata 9 bulan. Antara bulan Agustus s/d
Desember bertiup angin cukup kencang dari arah Selatan. Pada bagian tengah
dari kawasan ini terdapat Gunung Baluran yang sudah tidak aktif lagi. Tinggi
dinding kawahnya bervariasi antara 900 - 1.247 m, dan membatasi kaldera
yang cukup luas.

Gambar 1. Peta Pantai Bama Baluran

5
Pantai merupakan daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air
pasang tertinggi dan air surut terendah. Berdasarkan substratnya, habitat
pantai dapat dibagi menjadi tiga yaitu pantai berbatu, pantai berpasir, dan
pantai belumpur. Selain itu, terdapat tipe pantai lain yang merupakan
kombinasi dari ketiga substrat tersebut. Misalnya, pantai berlumpur dan
berbatu, pantai berlumpur dan berpasir, dan lain-lain.
Pantai Bama adalah salah satu bentuk pantai yang berpasir dan
berbatu. Pantai ini memiliki struktur pasir yang halus. Faktor lingkungan
yang dominan beraksi pada pantai pasir adalah gerakan ombak yang
membentuk substrat yang tidak stabil dan terus menerus bergerak (Nybaken,
1992).

B. Produktivitas Primer
Krebs (1987) menuliskan bahwa masing-masing makhluk
memerlukan masukan yang terus-menerus berwujud energi baru untuk
mengimbangi kehilangan oleh karena penggunaan energi untuk metabolisme,
pertumbuhan, dan reproduksi. Masing-masing individu dapat dipandang
sebagai mesin yang majemuk yang memproses energi dan bahan. Energi dan
bahan masuk ke dalam suatu komunitas biologi digunakan oleh individu
makhluk hidup dan diubah menjadi struktur biologi yang pada akhirnya akan
dilepaskan kembali ke lingkungannya.
Di dalam suatu ekosistem air terdapat aktifitas-aktifitas organisme
dan plankton dan berbagai mikroorganisme. Antara organisme-organisme
tersebut saling melakukan timbal balik. Hasil dari timbal balik tersebut dapat
menghasilkan senyawa-senyawa yang penting bagi kehidupan makhluk hidup
termasuk organisme yang berada di dalamnya. Salah satu senyawa yang
dihasilkan adalah oksigen organisme-organisme tersebut dapat menghasilkan
oksigen.
Oksigen merupakan hasil sampingan dari fotosintesis sehingga ada
hubungan erat antar produktivitas dengan oksigen yang dihasilkan (Eden,
1990). Oksigen yang terlarut digunakan oleh organisme untuk melakukan

6
proses pembakaran bahan makanan dan proses tersebut menghasilkan energi
untuk keperluan aktivitas organisme. Odum (1993) mengatakan kebutuhan
oksigen terlarut pada organisme sangat bervariasi tergantung jenis, stadia dan
aktivitasnya.
Meskipun kadar oksigen yang dihasilkan terdapat dalam jumlah
yang banyak namun keadaan kebanyakan hewan-hewan dan bakteri dan juga
tumbuh-tumbuhan itu sendiri cepat sekali menghabiskan oksigen. Tetapi pada
dasarnya, kadar oksigen sangat tergantung dengan jumlah organisme yang
hidup di tempat tersebut. Selain itu juga dipengaruhi oleh penggunaan
oksigen oleh organisme tersebut. Sehingga antara tempat yang satu dengan
tempat yang lain dapat memiliki kadar oksigen yang berbeda.
Produktivitas primer dapat diketahui dengan menggunakan produksi
oksigen sebagai dasar pengukuran. Reid dan Wood (1976), Misar (1980) dan
Emberlin (1983) dalam Suhartono (1991) mendefinisikan produktivitas
primer sebagai jumlah total proses-proses produksi pengikatan energi melalui
fotosintesis dan kemosintesis menjadi bahan-bahan organik pada tingkat
autotrof yang pada sistem perairan tertentu meliputi berbagai organisme
berklorofil. Produktivitas primer juga dapat diartikan sebagai laju masa energi
pancaran yang disimpan oleh kegiatan fotosintesis ataupun kemosintesis
organisme-organisme produsen (terutama tumbuh-tumbuhan hijau) dalam
bentuk senyawa-senyawa organik yang dapat digunakan sebagai bahan-bahan
pangan. Digunakan metode pengukuran oksigen karena adanya kesepadanan
yang pasti antara oksigen dan pangan. Metode ini menggunakan tabung
winkler gelap dan botol winkler terang. Menurut Odum (1971) dan Odum
(18,a) yang dimaksud dengan produktivitas primer di dalam suatu ekosistem,
komunitas atau bagian yang manapun daripadanya adalah laju penyimpanan
energi sinar matahari oleh aktivitas fotosintetik dan kemosintetik yang
dilakukan oleh makhluk produsen (terutama tumbuhan hijau) ke bentuk bahan
organik yang dapat dipergunakan sebagai bahan pangan.
Terdapat 4 kategori produktivitas, diantaranya adalah :
1. Produktivitas primer kotor, yaitu kecepatan total fotosintesis, mencakup
bahan organik yang dipakai dan habis digunakan untuk respirasi selama

7
pengukuran. Istilah lain untuk produktivitas primer kotor adalah
fotosintesis total atau asimilasi total.
2. Prodiktivitas primer bersih, yaitu kecepatan penyimpanan bahan-bahan
organik dalam jaringan tumbuhan, sebagai kelebihan bahan yang dipakai
untuk respirasi oleh tumbuh-tumbuhan. Tumbuhan itu selama pengukuran.
Istilah lain untuk produktivitas bersih adalah apparent fotosuntesis atau
asimilasi bersih.
3. Produktivitas komunitas bersih, yaitu laju penyimpangan bahan organik
yang tidak digunakan oleh heterotrof selama jangka waktu yang
bersangkutan. Produktivitas komunitas bersih dapat diketahui dengan cara
mengurangi produktivitas primer bersih dengan penggunaan bahan organik
oleh heterotrof.
4. Produktivitas sekunder, laju penyimpangan energi pada konsumen.

Produktivitas primer suatu ekosistem sangat penting untuk diketahui


karena dengan itu, kita dapat mengetahui kadar oksigen terlarut suatu
ekosistem, mempelajari dan mengetahui rantai makanan (food chain), aliran
karbon harian dan musiman dalam ekosistem yang merupakan bentukan dasar
piramida makanan dan dapat digunakan juga untuk memperkirakan produksi
maksimal pada tingkat trofik yang lebih tinggi.
Laju produktivitas yang tinggi pada ekosistem alami ataupun
ekosistem budidaya terjadi apabila faktor-faktor yang menunjang sesuai dan
khususnya subsidi energi dari luar sistem dapat mengurangi penggunaan
energi untuk pemeliharaan. Subsidi energi dapat berupa hasil kerja angin dan
hujan, energi pasang surut di daerah estuari, atau bahan bakar fosil, binatang,
atau energi kerja manusia yang digunakan dalam budidaya tanaman. Dalam
mengevaluasi produktivitas dalam suatu ekosistem, harus dipertimbangkan
selain sifat dan besarnya kehilangan energi yang diakibatkan oleh gangguan
iklim, panen, polusi dan tekanan-tekanan lainnya yang mengeluarkan energi
dari proses produksi, tetapi juga subsidi energi yang dapat menambah
produksi dengan mengurangi kehilangan panas untuk pernapasan.

8
Produktivitas biologis merupakan hasil yang terus menerus
dihasilkan oleh komunitas biologis, sehingga perlu dinyatakan satuan
waktunya, misalnya produksi zat makanan perhari atau pertahun.
Produktivitas dapat dijadikan ukuran dari ukuran dari kekayaan kesuburan
suatu komunitas atau ekosistem.
Cara yang ideal untuk mengukur produktivitas primer yaitu dengan
mengukur arus energi, ataupun dengan menggunakan metode-metode lain
seperti metode panen, metode pengukuran oksigen, metode karbondioksida,
metode pH dan metode-metode lainnya. Namun pada dasarnya dalam
pengukuran produktivitas primer harus diperhatikan beberapa hal diantaranya
pengaturan energi yang berasal dari iklim, panen, pencemaran, dan tekanan-
tekanan lainnya selain sifat dan besarnya yang diperhatikan.
Pengukuran produktivitas primer yang paling efektif sampai saat ini
yaitu dengan mengukur kandungan pigmen fotosintetiknya karena pada
keadaan tertentu jumlah produktivitas primer sebanding dengan kandungan
klorofil-a fitoplankton (Suhartono, (1991) dalam Hermawan, 1996).
Tetapi pada percobaan prodiktivitas primer di daerah aliran air pantai
Bama ini menggunakan botol winkler terang. Selain itu metode ini juga dapat
digunakan untuk memberikan titik awal guna menentukan aliran energi.
Adapun cara dalam metode ini yaitu dengan mengambil sampel air dari
keadaan yang berbeda-beda dan dimasukkan ke dalam 1 botol terang dan 1
botol gelap dan pada botol tersebut tidak boleh terdapat gelembung udara.
Kemudian kedua botol tersebut digantungkan dalam air pada kedalaman yang
sama dengan kedalaman pengambilan sampel air. Dalam botol gelap yang
telah dibenamkan dalam air, yang terjadi didalamnya hanyalah pernapasan
(tidak ada fotosintesis) oleh plakton. Dalam botol terang, terjadi pernapasan
dan fotosintesis walaupun terbatas karena ruang lingkupnya yang lebih sempit
dibandingkan lingkungan luar. Setelah waktunya cukup, botol dikeluarkan
dari air kemudian dititrasi untuk mengetahui produktivitasnya.
Cara ini sesuai untuk dipakai dalam lingkungan air. Di sini
produktivitas diukur menurut kesetimbangan oksigen yang dihasilkan sebagai
akibat fotosintesis. Kandungan oksigen dalam setiap botol diperkirakan

9
menurut cara Winkler. Volume oksigen dalam botol terang dan juga volume
oksigen dalam botol gelap menunjukkan produktivitas primer fitoplankton
tersebut.
Persamaan yang ekuivalen antara molekul karbohidrat dengan
oksigen dapat dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut:

Fotosintesis
2 H2O +CO2 + 114 Cal CH2O + O2 + H2O
respirasi
Dari hasil titrasi, dapat dihitung nilai dari produktivitas pada
ekosistem air tersebut, yaitu dengan rumus :
F = Fotosintesis = DO akhir botol terang - DO awal
R = Respirasi = DO akhir botol gelap - DO awal
Produktivitas primer = F – R
Produktivitas total =F+R

C. Faktor-Faktor Produktivitas
Produktivitas primer perairan sangat ditentukan oleh beberapa
faktor. Faktor-faktor utama yang mempengaruhi produktivitas primer di laut
adalah cahaya, nutrient dan suhu (Vallela, 1984; Parsons et al., 1984; Cloem
et al., 1995; Tomasclk et al., 1997). Selain ketiga faktor tersebut, tingginya
laju grazing dan sinking (Lehman, 1991), jenis fitoplankton (Heyman and
Lundgren, 1988) serta air, oksigen terlarut, pH, kecerahan, kecepatan arus dan
PTT (Padatan Tersuspensi Total) juga berperan dalam mendukung
produktivitas primer perairan.
1. Cahaya
Intensitas cahaya optimal pada kisaran 100-160 kcal/cm2/tahun. Nilai di
atas atau di bawah kisaran tersebut menghasilkan produktivitas yang lebih
rendah. Intensitas cahaya yang tinggi menghambat fotosintesis. Jika
radiasi cahaya matahari tinggi maka nilai maksimum produktivitas terjadi
beberapa meter di bawah permukaan air.

10
2. Nutrient
Suplai unsure dan senyawa essensial ke dalam suatu system perairan,
khususnya N (nitrogen), P (fosfat) dan Si (silikat) sering dilihat sebagai
faktor pembatas yang mempengaruhi penyebaran dan pertumbuhan
populasi dan komunitas fitoplankton. Howarth (1988) dalam Pomeroy
(1991) mengatakan bahwa dinamika populasi fitoplankton sangat
ditentukan oleh nutrient sebagai faktor pembatas dapat dibedakan sebagai:
a. Nutrien sebagai faktor pembatas pertumbuhan populasi yang dominan.
Perubahan atau pertukaran populasi dominan terjadi di bawah batas
saturasi dari populasi dominan yang ada.
b. Nutrient sebagai faktor pembatas terhadap laju potensial produksi
primer bersih. Perubahan populasi melebihi batas populasi dominan
yang ada, ditentukan oleh perubahan spesies yang dominan.
c. Nutrient sebagai faktor pembatas produksi ekosistem bersih,populasi
primer kotor melebihi total respirasi ekosistem. Perubahan populasi ini
berdampak pada meningkatnya kandungan organik bersih atau hasil
dari ekosistem.
Unsur-unsur utama yang sangat dibutuhkan oleh fitoplankton merupakan
faktor pembatas pada perairan yang berbeda. Menurut Hecky and Kilham
(1988), dari ketiga unsur nutrien utama tersebut yakni N, P, Si. Di perairan
air tawar, fosfat lebih bersifat faktor pembatas bagi pertumbuhan alga bila
dibandingkan dengan unsur yang lain, sedangkan di perairan laut, ke tiga
unsur tersebut bersama-sama bersifat sebagai faktor pembatas
pertumbuhan, terutama nitrogen.
3. Suhu
Suhu dapat mempengaruhi fotosintesis, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Pengaruh secara langsung yaitu suhu berperan mengontrol
reaksi kimia enzimatik dalam proses fotosintesis. Tingginya suhu dapat
meningkatkan laju maksimum fotosintesis (Pmax), sedangkan pengaruh
tidak langsung yaitu dalam mengubah sruktur hidrologi kolam perairan
yang dapat mempengaruhi distribusi fitoplankton ( Tomascik et al.,1997 ).

11
4. Air
Air sangat mempengaruhi produktivitas primer. Jika kadar air menurun
maka stomata tumbuhan akan lebih sering menutup sehingga tumbuhan
kekurangan CO2, kekurangan ini dapat menghambat fotosintesis.
5. Oksigen Terlarut
Oksigen merupakan hasil sampingan dari fotosintesis sehingga ada
hubungan erat antar produktivitas dengan oksigen yang dihasilkan (Eden,
1990). Oksigen yang terlarut digunakan oleh organisme untuk melakukan
proses pembakaran bahan makanan dan proses tersebut menghasilkan
energi untuk keperluan aktivitas organisme. Odum (1993) mengatakan
kebutuhan oksigen terlarut pada organisme sangat bervariasi tergantung
jenis, stadia dan aktivitasnya.
6. Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) air merupakan suatu ukuran keasaman air yang
dapat mempengaruhi kehidupan tumbuhan dan hewan perairan sehingga
dapat digunakan untuk menyatakan baik buruknya kondisi suatu perairan
sebagai lingkungan hidup ( Odum,1993 ).
7. Kecerahan
Menurut Sumawidjaja (1974) kecerahan air mempengaruhi jumlah dan
kualitas sinar matahari dalam perairan. Jumlah dan kualitas sinar matahari
ini mempengaruhi kualitas plankton melalui penyediaan energi untuk
melangsungkan proses fotosintesis. Menurut Odum ( 1993 ) penetrasi
cahaya seringkali dihalangi oleh zat yang terlarut dalam air sehingga
membatasi zona fotosintesis. Apabila kecerahan pada suatu perairan
rendah, berarti perairan itu keruh. Kekeruhan terjadi karena adanya
plankton, lumpur dan zat terlarut dalam air. Kekeruhan yang baik adalah
kekeruhan yang disebabkan oleh jasad-jasad renik atau plankton. Nilai
kecerahan air untuk kehidupan plankton bisa mencapai 100-500m di
bawah permukaan laut ( Sachlan, 1982).
8. Kecepatan arus
Menurut Sijabat (1976) dalam Murtini (2000) menyebutkan bahwa adanya
arus di perairan akan membantu perpindahan massa air, selanjutnya

12
dikatakan bahwa arus dapat membantu penyebaran dan migrasi horizontal
fitoplankton. Menurut Hutabarat dan Evans (1985), arus merupakan salah
satu faktor yang terpenting dalam mempengaruhi kesuburan perairan.
Perubahan arus terjadi sesuai dengan makin dalamnya suatu perairan.
9. PTT (Padatan Tersuspensi Total)
Padatan tersuspensi adalah padatan yang menyebabkan kekeruhan air,
tidak terlarut, dan tidak dapat mengendap lagi. Padatan tersuspensi terdiri
dari partikel-partikel yang ukuran maupun beratnya lebih kecil daripada
sedimen seperti lumpur. Padatan tersuspensi akan mengurangi penetrasi
sinar matahari kedalam air, sehingga dapat mengganggu proses
fotosintesis.

D. Fotosintesis Dan Respirasi


Dua proses penting dalam aliran energi adalah fotosintesis dan
respirasi. Dalam fotosintesis, sinar matahari ditransformasikan menjadi energi
kimia dari karbohidrat, seperti gula-gula yang terbentuk dari persenyawaan
antara air dan karbondioksida. Oksigen, akan dihasilkan dari proses ini
sebagai gas.
Cara yang mendasar untuk menangkap energi matahari adalah
pembentukan gula oleh tumbuhan yang mengandung klorofil (Rabinowitch,
1945 – 46 dalam Kendeigh 1980) yang disebut sebagai peristiwa fotosintesis
dengan persamaan sebagai berikut :
6 CO2 + 6 H2O + 709 Kkal → 6 O2 + C6H12O6
Dan untuk respirasi persamaannya adalah :
C6H12O6 + 6 O2 → 6 CO2 + 6 H2O + 674 Kkal (energi bebas) + 35 Kkal
(entropi)
Persenyawaan lainnya, seperti lipida-lipida dan protein-protein,
dapat dibentuk dari perubahan gula dan menghasilkan energi kimia yang
tersimpan. Energi ini merupakan sumber tenaga kehidupan bagi organisme
hidup yang akan dirombak kembali dalam proses respirasi makhluk hidup itu.

Tabel 1. Perbedaan Antara Fotosintesis dan Respirasi

13
Item Fotosintesis Respirasi

Semua tumbuh-tumbuhan,
Organisme Tumbuh-tumbuhan hijau hewan-hewan dan
kebanyakan organisme
Sejak matahari terbit
Waktu 24 jam
sampai terbenam
Karbon
dioksida dan Diperlukan untuk proses Dihasilkan oleh proses
air
Oksigen Dihasilkan oleh proses Diperlukan untuk proses

E. Kadar Fotosintesis
Intensitas cahaya mengontrol seluruh ekosistem melalui
pengaruhnya pada produksi primer. Hubungan intensitas cahaya dengan
fotosintesis pada tumbuh-tumbuhan baik di darat maupun di perairan
mengikuti pola umum yang sama dari penambahan linier sampai optimum
atau jenuh, yang diikuti pengurangan intensitas cahaya matahari. Terjadinya
faktor kompensasi, karena individu dan komunitas tumbuh-tumbuhan
beradaptasi pada intensitas cahaya yang berbeda sehingga menjadi adaptasi
naungan yaitu mencapai kejenuhan pada intensitas cahaya rendah. Sebagai
contoh, Diatome dapat mencapai kecepatan cahaya yang kurang dari 5%
cahaya matahari dan dapat mempertahankan produksi bersih kurang dari 1%.
Diatome hanya sedikit sekali dihalangi oleh intensitas cahaya yang tinggi.
Sebaliknya, fitoplankton merupakan adaptasi naungan dan besar sekali
dihalangi oleh intensitas cahaya yang tinggi.
Besar maupun kecilnya kadar fotosintesis pada suatu perairan
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :
a. Cahaya
Merupakan aspek penting dalam fotosintesis, gelombang energi cahaya
yang diabsorbsi air dan klorofil berkisar 350-710 nm è PAR
(Photosynthesis Active Radiation). Sedangkan sinar matahari yang biasa
terserap oleh air sekitat 45-50% dari kekuatan cahaya yang sebenarnya.

14
Beberaapa faktor yang berefek terhadap penerimaan jumlah cahaya untuk
dapat sampai ke dalam permukaan air adalah:
 Ketinggian tempat (altitude).
 Efek geografik : jumlah radiasi cahaya matahari dalam setahun
(kal/cm2/hari) berbeda secara geografis (latitude).
 Efek musim : letak geografis, perbedaan musim dalam setahun è
perbedaan radiasi.
 Efek diurnal : pagi atau sore – jarak matahari lebih jauh daripada
tengah hari, elevasi cahaya juga lebih rendah (semakin miring)
sehingga % cahaya yang dipantulkan semakin besar è intensitas
cahaya rendah.
 Efek lokal : morfologi perairan, arus
 Konsentrasi karbon dioksida
b. Salinitas
Salinitas adalah banyaknya zat terlarut. Zat padat terlarut meliputi garam-
garam organik, senyawa-senyawa organik yang berasal dari organisme
hidup, dan gas-gas terlarut (Nybakken, 1992).
c. Kejernihan air
Semakin jernih air semakin besar kadar DO.
d. Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor yang penting dalam mengatur proses
kehidupan dan penyebaran organisme. Proses metabolisme hanya
berfungsi di dalam kisaran suhu yang relatif sempit, biasanya antara 0o-
40oC. Tetapi ada juga organisme yang mampu mentolelir suhu sedikit di
atas dan sedikit di bawah batas-batas tertentu, misalnya ganggang hijau
yang hidup pada suhu 85oC. Naiknya suhu air akan menimbulkan akibat
sebagai berikut :
1. Menurunkan jumlah oksigen terlarut dalam air.
2. Meningkatkan kecepatan reaksi kimia.
3. Mengganggu kehidupan ikan dan hewan air lainnya.
4. Jika batas suhu yang mematikan terlampaui, ikan dan hewan air
lainnya mungkin akan mati (Kristanto, 2002).

15
e. Derajat Keasaman (pH)
Nilai pH yang netral adalah netral yaitu antara pH 6 sampai pH 8 (Fardiaz,
1992). Air yang pH-nya kurang dari 7 bersifat asam, sedangkan yang pH-
nya lebih dari 7 bersifat basa. Air yang bersifat asam akan mengakibatkan
pelarutan dan ketersediaan logam berat yang berlebihan (Darmono, 1995).
Perubahan pH yang sangat asam maupun basa akan mengganggu
kelangsungan hidup organisme akuatik karena menyebabkan terganggunya
metabolisme dan respirasi. Jika pH air mendekati netral maka organisme
air akan lebih mudah beradaptasi pada lingkungan air tersebut
dibandingkan dengan pH air yang terlalu asam atau terlalu basa.

F. Oksigen Terlarut (DO)


Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen = DO) dibutuhkan oleh semua
jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang
kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan.
Disamping itu, oksigen juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan organik
dan anorganik dalam proses aerobik. Sumber utama oksigen dalam suatu
perairan berasal dari suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis
organisme yang hidup dalam perairan tersebut (Salmin, 2000). Kecepatan
difusi oksigen dari udara, tergantung dari beberapa faktor, seperti kekeruhan
air, suhu, salinitas, pergerakan massa air dan udara seperti arus, gelombang,
dan pasang surut. Odum (1971) menyatakan bahwa kadar oksigen dalam air
laut akan bertambah dengan semakin rendahnya suhu dan berkurang dengan
semakin tingginya salinitas. Pada lapisan permukaan, kadar oksigen akan
lebih tinggi, karena adanya proses difusi antara air dengan udara bebas serta
adanya proses fotosintesis. Dengan bertambahnya kedalaman akan terjadi
penurunan kadar oksigen terlarut, karena proses fotosintesis semakin
berkurang dan kadar oksigen yang ada banyak digunakan untuk pernapasan
dan oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik. Keperluan organisme
terhadap oksigen relatif bervariasi tergantung pada jenis, stadium dan
aktivitasnya. Kebutuhan oksigen untuk ikan dalam keadaan diam relatif lebih
sedikit apabila dibandingkan dengan ikan pada saat bergerak atau memijah.

16
Jenis-jenis ikan tertentu yang dapat menggunakan oksigen dari udara bebas
memiliki daya tahan yang lebih terhadap perairan yang kekurangan oksigen
terlarut (Wardoyo, 1978).
Kandungan oksigen terlarut (DO) minimum adalah 2 ppm di dalam
keadaan normal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun (toksik).
Kandungan oksigen terlarut minimum ini sudah cukup mendukung kehidupan
organisme (Swingle, 1968). Idealnya, kandungan oksigen terlarut tidak boleh
kurang dari 1,7 ppm selama waktu 8 jam dengan sedikitnya pada tingkat
kejenuhan sebesar 70 % (Huet, 1970). KLH menetapkan bahwa kandungan
oksigen terlarut adalah 5 ppm untuk kepentingan wisata bahari dan biota laut
(Anonimuos, 2004).
Oksigen memegang peranan penting sebagai indikator kualitas
perairan, karena oksigen terlarut berperan dalam proses oksidasi dan reduksi
bahan organik dan anorganik. Selain itu, oksigen juga menentukan proses
biologis yang dilakukan oleh organisme aerobik atau anaerobik. Dalam
kondisi aerobik, peranan oksigen adalah untuk mengoksidasi bahan organik
dan anorganik dengan hasil akhirnya adalah nutrien yang pada akhirnya dapat
memberikan kesuburan perairan. Dalam kondisi anaerobik, oksigen yang
dihasilkan akan mereduksi senyawa-senyawa kimia menjadi lebih sederhana
dalam bentuk nutrien dan gas. Karena proses oksidasi dan reduksi inilah
maka peranan oksigen terlarut sangat penting untuk membantu mengurangi
beban pencemaran pada perairan secara alami maupun secara perlakuan
aerobik yang ditujukan untuk memurnikan air buangan industri dan rumah
tangga. Sebagaimana diketahui bahwa oksigen berperan sebagai pengoksidasi
dan pereduksi bahan kimia beracun menjadi senyawa lain yang lebih
sederhana dan tidak beracun. Di samping itu, oksigen juga sangat dibutuhkan
oleh mikroorganisme untuk pernapasan. Organisme tertentu seperti
mikroorganisme, sangat berperan dalam menguraikan senyawa kimia beracun
menjadi senyawa lain yang lebih sederhana dan tidak beracun. Karena
peranannya yang penting ini, air buangan industri dan limbah sebelum
dibuang ke lingkungan umum terlebih dahulu diperkaya kadar oksigennya,
jika tidak maka akan terjadi pencemaran.

17
Pencemaran air adalah penambahan unsur atau organisme lain ke
dalam air, sehingga pemanfaatannya dapat terganggu. Pencemaran air dapat
menyebabkan kerugian ekonomi dan sosial, kerena adanya gangguan oleh
adanya zat-zat beracun atau muatan bahan organik yang berlebih. Keadaan ini
akan menyebabkan oksigen terlarut dalam air pada kondisi yang kritis, atau
merusak kadar kimia air. Rusaknya kadar kimia air tersebut akan berpengaruh
terhadap fungsi dari air. Besarnya beban pencemaran yang ditampung oleh
suatu perairan, dapat diperhitungkan berdasarkan jumlah polutan yang berasal
dari berbagai sumber aktivitas air buangan dari proses-proses industri dan
buangan domestik yang berasal dari penduduk. Telah banyak dilakukan
penelitian tentang pengaruh air buangan industri dan limbah penduduk
terhadap organisme perairan, terutama pengaruhnya terhadap ikan. Akibat
yang ditimbulkan antara lain dapat menyebabkan kelumpuhan ikan, karena
otak tidak mendapat suplai oksigen serta kematian karena kekurangan
oksigen (anoxia) yang disebabkan jaringan tubuh ikan tidak dapat mengikat
oksigen yang terlarut dalam darah (Jones, 1964). Untuk mengetahui kualitas
air dalam suatu perairan, dapat dilakukan dengan mengamati beberapa
parameter kimia, seperti oksigen terlarut (Dissolved Oxygen = DO) dan
kebutuhan oksigen biologis (Biological Oxygen Demand = BOD).

G. Analisis Oksigen Terlarut (DO)


Oksigen terlarut dapat dianalisis atau ditentukan dengan cara metode
titrasi dengan cara Winkler. Metode titrasi dengan cara Winkler secara umum
banyak digunakan untuk menentukan kadar oksigen terlarut. Prinsipnya
dengan menggunakan titrasi iodometri. Sampel yang akan dianalisis terlebih
dahulu ditambahkan larutan MnCl2 dan NaOH - KI, sehingga akan terjadi
endapan MnO2. Dengan menambahkan H2SO4 atau HCl maka endapan yang
terjadi akan larut kembali dan juga akan membebaskan molekul iodium (I2)
yang ekivalen dengan oksigen terlarut. Iodium yang dibebaskan ini
selanjutnya dititrasi dengan larutan standart natrium tiosulfat (Na2S2O3) dan
menggunakan indikator larutan amilum (kanji encer).
Reaksi kimia yang terjadi dapat dirumuskan sebagai berikut :

18
1. MnCl2 + NaOH → Mn(OH)2 + 2 NaCl
2. 2 Mn(OH)2 + O2 → 2 MnO2 + 2 H2O
3. MnO2 + 2 KI + 2 H2O → Mn(OH)2 + I2 + 2 KOH
4. I2 + 2 Na2S2C3 → Na2S4O6 + 2 NaI

H. Kebutuhan Oksigen Biologis (BOD)


BOD (kebutuhan oksigen biologis) adalah jumlah kebutuhan oksigen
yang dibutuhkan oleh organisme dalam lingkungan air, pengukuran BOD
didasarkan kepada kemampuan mikroorganisme untuk menguraikan senyawa
organik, artinya hanya terhadap yang mudah diuraikan secara biologis seperti
senyawa yang terdapat dalam rumah tangga. Untuk produk-produk kimiawi,
seperti senyawa minyak dan buangan kimia lainnya akan sangat sulit dan
bahkan tidak bisa diuraikan oleh mikroorganisme (Barus, 2004).
BOD merupakan ukuran oksigen yang digunakan oleh
mikroorganisme untuk mendekomposisi limbah. Jika ada jumlah besar
sampah organik dalam pasokan air, juga akan ada banyak bakteri ini bekerja
untuk mendekomposisi limbah. Dalam hal ini, permintaan oksigen akan
tinggi (karena semua bakteri) sehingga tingkat direksi akan tinggi. Sebagai
limbah yang dikonsumsi atau tersebar melalui air, tingkat BOD akan mulai
menurun.
Nitrat dan fosfat dalam tubuh air dapat berkontribusi terhadap
tingkat BOD yang tinggi. Nitrat dan fosfat adalah nutrisi tanaman dan dapat
menyebabkan tanaman hidup dan ganggang dapat tumbuh dengan cepat. Jika
tanaman tumbuh dengan cepat, mereka juga cepat mati. Hal ini memberikan
kontribusi untuk sampah organik dalam air, yang kemudian terurai oleh
bakteri. Hal ini menghasilkan tingkat BOD yang tinggi. Para suhu air juga
dapat berkontribusi untuk tingkat BOD yang tinggi. Sebagai contoh, air
hangat biasanya akan memiliki tingkat BOD lebih tinggi daripada air dingin.
Seiring dengan peningkatan suhu air, laju fotosintesis oleh tanaman lain hidup
dan ganggang dalam air juga meningkat. Ketika ini terjadi, tanaman tumbuh
lebih cepat dan juga mati lebih cepat. Bila tanaman mati, mereka jatuh ke
dasar mana mereka terurai oleh bakteri. Bakteri membutuhkan oksigen untuk

19
proses ini sehingga direksi tinggi di lokasi ini. Oleh karena itu, suhu air
meningkat akan mempercepat dekomposisi bakteri dan mengakibatkan
tingkat BOD lebih tinggi.

I. Sebaran Produktivitas Primer


Persebaran produktivitas primer dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
1. Lingkungan Eutrofik
Yaitu lingkungan yang mempunyai kandungan zat hara yang banyak
sehingga mempunyai produktivitas tinggi. Contohnya danau yang dangkal,
kolam, rawa-rawa untuk lingkungan air tawar dan lain-lain.
2. Lingkungan Oligotrofik
Yaitu lingkungan yang mempunyai kandungan zat hara yang sedikit
sehingga mempunyai produktivitas rendah. Contohnya di laut lepas, danau
besar yang dalam, dan lain-lain.

20
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Penelitian ini tergolong pengamatan (observasi) , karena dalam
penelitian ini tidak terdapat variabel manipulasi, kontrol dan respon, ataupun
studi untuk mengkaji hubungan diantara ketiga variabel tersebut, tetapi data
yang diambil berdasarkan pengamatan lapangan langsung.

B. Waktu dan Tempat


Penelitian ini dilaksanakan di Pantai Bama, Taman Nasional Baluran
pada tanggal 23 Maret 2011 pukul 05.00 - 20.30 WIB.

C. Alat dan Bahan


 Alat
1. Botol Winkler gelap 4 buah
2. Botol Winkler terang 4 buah
3. Erlenmeyer 250 mL 2 buah
4. Spuit ukuran 5 mL 5 buah
5. Tongkat kayu secukupnya
6. Tali rafia secukupnya

 Bahan
1. Sampel air laut 8x@250ml
2. Larutan MnSO4 16 mL
3. Larutan KOH-KI 16 mL
4. Larutan H2SO4 pekat 16 mL
5. Larutan Na2S2O3 secukupnya
6. Larutan amilum 1% 80 tetes
7. Kertas label secukupnya

21
D. Langkah Kerja
1. Pengambilan sampel air.
a. Mengambil sample air pada pagi hari sebelum matahari bersinar terik
dengan menggunakan botol winkler gelap dan terang. Kemudian
menutup masing-masing botol sewaktu di dalam air, agar gelembung
udara tidak bisa masuk.
b. Menenggelamkan botol winkler yang sudah berisi sampel air dengan
mengikatnya menggunakan tali rafia yang digantungkan pada tongkat
kayu, sehingga botol yang diikat rafia dapat masuk ke badan air sesuai
dengan kedalaman dan direndam selama 2 jam dan 6 jam.
c. Pengambilan sample air dilakukan di setiap stasiun.

2. Pemeriksaan kadar oksigen terlarut.


a. Membiarkan sepasang botol tersebut tenggelam hingga siang hari
(ditenggelamkan ke dalam air selama 6 jam). Kemudian menguji kadar
oksigennya.
b. Sementara botol winkler yang lain diuju kadar oksigen terlarutnya
setelah pengambilan sampel di pagi hari (setelah ditenggelamkan ke
dalam air selama 2 jam).

3. Pengukuran kandungan oksigen dengan metode Winkler.


a. Membuka botol Winkler, air hasil tampungan diberi MnSO4 sebanyak
2 mL dengan menggunakan spuit dengan ujung spuit di bawah
permukaan air, sehingga tidak menimbulkan gelembung.
b. Menambahkan 2 mL KOH-KI dengan cara yang sama.
c. Menutup botol winkler kembali dengan membolak-balikkan sampai
larutan homogen.
d. Membiarkan selama 10 menit agar terjadi pengikatan oksigen terlarut
dengan sempurna dengan ditandai timbulnya 1/3 endapan di dasar
botol.
e. Menambahkan 2 mL H2SO4 pekat dengan menggunakan spuit.

22
f. Menutup botol dan membolak-balikkan sehingga endapan larut dan
larutan menjadi berwarna kuning kecoklatan.
g. Untuk satu botol Winkler, mengambil larutan dan memasukkannya ke
dalam erlenmeyer masing-masing sebanyak 100 mL, larutan siap
untuk dititrasi dengan Na2S2O3.
h. Larutan dalam erlenmeyer dititrasi dengan Na2S2O3 hingga berwarna
kuning muda, dan mengukur Na2S2O3 yang digunakan.
i. Memasukkan 10 tetes amilum 1 % ke dalam erlenmeyer hingga larutan
menjadi berwarna biru.
j. Larutan dititrasi lagi hingga warna biru hilang, Na2S2O3 yang
digunakan pada langkah kerja (h-j) dijumlahkan.
k. Menghitung nilai DO sampel air dengan menggunakan rumus:

a x N x 8000
DO =
V xN

Keterangan:
DO : Oksigen terlarut (mg/L)
A : Volume titrasi ( Na2S2O3) yang dibutuhkan (mL)
N : Normalitas Na2S2O3 (mL)
V : Volume sampel air dalam botol winkler (mL)

23
E. DESAIN PENELITIAN
Mengambil sample air dengan 4 botol winkler gelap dan 4 botol
winkler terang

1 botol winkler gelap dan 1 botol winkler


3 botol winkler gelap dan 3 botol winkler terang
terang ditenggelamkan ke dalam air selama
ditenggelamkan ke dalam air selama 2 jam
6 jam kemudian diuji untik mengetahui DO
kemudian diuji untik mengetahui DO awal
akhir

Membuka botol winkler kemudian memasukkan 2 Membuka botol winkler kemudian


mL MnSO4 ke dalamnya memasukkan 2 mL MnSO4 ke dalamnya

Memasukkan 2 mL KOH-KI Memasukkan 2 mL KOH-KI

Menutup botol winkler dan membolak-baliknya Menutup botol winkler dan membolak-
sampai larutan homogen baliknya sampai larutan homogen

Membiarkan sampai terbentuk sepertiga endapan Membiarkan sampai terbentuk sepertiga


dalam botol endapan dalam botol

Memasukkan 2 mL larutan H2SO4 pekat Memasukkan 2 mL larutan H2SO4 pekat

Menutup botol winkler dan membolak-


Menutup botol winkler dan membolak-baliknya
baliknya

Mengambil larutan sebanyak 100 mL ke dalam Mengambil larutan sebanyak 100 mL ke


erlenmeyer dalam erlenmeyer

Titrasi dengan Na2S2O3 sampai warna kuning Titrasi dengan Na2S2O3 sampai warna kuning
muda muda

Memasukkan 10 tetes larutan amilum 1% sampai Memasukkan 10 tetes larutan amilum 1%


warna biru sampai warna biru

Titrasi dengan Na2S2O3 sampai warna biru hilang / Titrasi dengan Na2S2O3 sampai warna biru
jernih hilang / jernih

24
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
Data Kelas Hasil Pengamatan Kualitas Air Di Kawasan Pantai Bama Baluran
Situbondo
1. Tabel Kualitas Air Pada Pagi Hari
Nilai
No Aspek Rata-rata
Tepi Tengah Ujung
1 DO 2,05 ppm 1,93 ppm 1,60 ppm 1,86 ppm
2 CO2 22 ppm 16,85 ppm 18,9 ppm 19,25 ppm
3 BOD 13,16 ppm 1,32 ppm
4 pH 68,3 7
5 Suhu 268,1 0C 26,81 0C
6 Salinitas 3,2 0/00 3,2 0/0

2. Tabel Kualitas Air Pada Siang Hari


Nilai
No Aspek Rata-rata
Tepi Tengah Ujung
1 DO 1,88 ppm 1,9 ppm 1,99 ppm 1,92 ppm
2 CO2 16,52 ppm 13,95 ppm 17,48 ppm 15,98 ppm
3 BOD 13,16 ppm 1,32 ppm
4 pH 72 7,2
5 Suhu 353,7 0C 35,4 0C
6 Salinitas 3,2 0/00 3,2 0/00

3. Tabel Kualitas Air Pada Malam Hari


No Aspek Nilai Rata-rata
1 DO 9,56 ppm 0,96 ppm
2 CO2 273,9 ppm 27,39 ppm
3 BOD 13,16 ppm 1,32 ppm

25
4 pH 75,6 7,7
5 Suhu 254 0C 25,4 0C
6 Salinitas 3,2 0/00 3,2 0/00

4. Tabel Data Kelas Hasil Pengamatan Produktifitas Primer Di Kawasan


Pantai Bama Baluran Situbondo
Nilai
No Aspek
2 jam 6 jam
1 DO awal 1,54 ppm 19.98 ppm
2 DO akhir terang 1,56 ppm 18,55 ppm
3 DO akhir gelap 1,46 ppm 17,42 ppm
4 Fotosintesis 0,624 ppm -1,45 ppm
5 Respirasi -0,931 ppm -2,579 ppm
6 Produktifitas primer 1,071 ppm 2,39 ppm
7 Produktifitas sekunder -0,311 ppm 5,63 ppm

5. Tabel Rata-rata Produktivitas Primer di Kawasan Pantai Bama Baluran,


Situbondo
Nilai
No Aspek Rata-rata
2 jam (per-jam) 6 jam (per-jam)
1 Fotosintesis 0,31 ppm -0,24 ppm 0,04 ppm
2 Respirasi -0,47 ppm -0,43 ppm -0.45 ppm
3 Produktifitas primer 0,54 ppm 0,40 ppm 0,47 ppm
Produktifitas
4 -0,16 ppm 0,94 ppm 0,39 ppm
sekunder

B. Analisis dan Pembahasan


1. Kualitas Air
DO (Disolved Oxygen)
Berdasarkan tabel 1 mengenai data kualitas air di kawasan pantai
Bama pada pagi hari diketahui bahwa Disolved Oxygen (DO) atau kadar
oksigen terlarut untuk masing-masing titi yaitu tepi, tengah dan ujung

26
memiliki nilai yang berbeda. DO tepi pada pagi hari sebesar 2,05 ppm; DO
tengah pada pagi hari sebesar 1,93 ppm dan DO ujung sebesar 1,86.
Sedangkan rata-rata DO untuk pagi hari sebesar 1,86 ppm. Tabel 2
menunjukkan DO untuk siang hari memiliki rata-rata sebesar 1,92. Nilai
DO pada siang hari ini memiliki nilai yang lebih tinggi daripada DO pada
pagi hari. Sedangkan pada malam hari, DO mengalami penurunan, yaitu
hanya memiliki nilai sebesar 0,96 ppm.
Analisis menentukan oksigen terlarut dilakukan dengan
menggunakan metode winkler. Prinsip metode ini dengan menggunakan
titrasi. Sampel yang akan dianalisis kadar oksigen terlarutnya ditetesi
terlebih dahulu dengan menggunakan larutan MnSO4 dan KOH-KI,
sehingga akan terbentuk endapan MnO2. Kemudian dilanjutkan dengan
penambahan H2SO4 pekat yang juga akan membebaskan molekul iodiom
(I2) yang nilainya ekivalen dengan oksigen terlarut (Salmin, 2005). Iodium
yang dibebaskan ini selanjunya akan dititrasi kembali dengan
menggunakan larutan Na2S2O3 dan larutan amilum sampai terjadi
perubahan warna menjadi biru muda.
Reaksi kimia yang terjadi dapat dirumuskan sebagai berikut :
MnSO4 + NaOH → Mn(OH)2 + 2 NaSO4
2 Mn(OH)2 + O2 → 2 MnO2 + 2 H20
MnO2 + 2 KI + 2 H2O → Mn(OH)2 + I2 + 2 KOH
I2 + 2 Na2S2O3 → Na2S4O6 + 2 NaI
DO (Disolved Oxygen) menunjukkan besarnya kadar oksigen yang
terlarut dalam suatu perairan. Sumber oksigen terlarut dalam air berasal
dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer, arus atau aliran air melalui
air hujan serta aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton
(Novonty dan Olem, 1994 dalam Sitorus 2009). Nilai DO pada pagi hari
menunjukkan semakin jauh dari daratan nilai oksigen terlarut suatu
perairan semakin kecil. Hal ini salah satu faktor penyebabnya yaitu
semakin jauh dari daratan maka kedalaman suatu perairan juga semakin
bertambah dalam. Oksigen biasanya banyak terdapat di dekat permukaan
air dan konsentrasinya akan menurun sesuai dengan kedalaman air.

27
Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal sari suatu proses
difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam
perairan tersebut (Salmin, 2000). Kecepatan difusi oksigen dari udara,
tergantung dari beberapa faktor, seperti kekeruhan air, suhu, salinitas,
pergerakan massa air dan udara seperti arus, gelombang dan pasang surut.
Proses fotosintesis itu sendiri memerlukan penyinaran matahari yang
cukup, hal ini mengisyaratkan bahwa fotosintesis akan lebih mudah
berlangsung pada titik atau tempat dengan kedalaman tertentu. Semakin
dalam suatu perairan maka penetrasi cahaya yang masuk dan intensitas
cahaya yang masuk dalam suatu perairan juga semakin sedikit. Sehingga
fitoplankton yang terdapat dalam perairan juga akan semakin sulit untuk
melangsungkan proses fotosintesis, akibatnya kadar oksigen dalam
perairan juga semakin rendah.
Oksigen memegang peranan penting sebagai indikator kualitas
perairan, karena oksigen terlarut berperan dalam proses oksidasi dan
reduksi bahan organik dan anorganik. Dalam kondisi aerobik, peranan
oksigen adalah untuk mengoksidasi bahan organik dan anorganik dengan
hasil akhirnya adalah nutrien yang pada akhirnya dapat memberikan
kesuburan perairan.
Sedangkan pada waktu siang hari malah terjadi sebaliknya yaitu nilai
DO tepi lebih rendah daripada DO di bagian tengah dan ujung. Hal ini
salah satu penyebabnya yaitu karena pada saat siang hari arus laut semakin
besar yang mengakibabtan banyaknya pasir pada bagian tepi yang ikut
terbawa arus yang menyebabkan air pada bagian tepi menjadi keruh.
Kekeruhan air juga menjadi salah satu faktor yang dapat menghalangi
cahaya matahari yang masuk ke dalam air. Jadi meskipun pada bagian tepi
memiliki kedalaman yang lebih rendah tetapi kerena adanya penghalang
berupa partikel-partikel kecil pasir yang dapat menyebabkan air menjadi
keruh hal ini dapat memengaruhi kemempuan fitoplankton untuk dapat
berfotosintesis.
Secara keseluruhan berdasarkan ketiga tabel nilai DO menunjukkan
bahwa nilai kadar DO tertinggi terjadi pada waktu siang hari yaitu rata-rata

28
sebesar 1,92 ppm. Hal ini salah satu faktor penyebabnya pada waktu siang
hari cahaya matahari yang diterima oleh perairan (laut) dalam keadaan
yang maksimum sehingga fitoplankton dapat melakukan proses
fotosintesis akibatnya air mendapatkan pasokan oksigen yang cukup
banyak. Sedangkan DO terendah diperoleh pada saat malam hari yang
hanya sebesar 0,96 ppm. Salah satu penyebabnya pada malam hari
tumbuhan laut dan fitoplankton lebih banyak melakuka respirasi dan
minimnya cahaya, sehingga fitoplankton dan tumbuhan air tidak dapat
melakukan fotosintesis.
CO2
Aspek kedua dalam pengukuran kualitas air ialah kadar karbon
dioksida dalam air. Tabel 1 kualitas air pada pagi hari menunjukkan bahwa
rata-rata CO2 terlarut sebesar 19,25 ppm, pada siang hari rata-rata CO2
sebesar 15,98 ppm sedangkan pada malam hari kadar CO2 sebesar 27,39
ppm. Hal ini menunjukkan bahwa kadar CO2 terbesar terjadi pada waktu
malam hari sedangkan terendah terjadi pada saat siang hari.
Selain oksigen, makhluk hidup (biota air) juga membutuhkan
karbondioksida untuk proses fotosintesis (Hadisubroto, 1989). Karbon
dioksida hanya sedikit terdapat di udara, kira-kira hanya 0,03% sedangkan
di dalam air kelarutannya 30 kali lipat dibandingkan dengan oksigen,
sehingga dalam kondisi yang ideal air berisi 0,3 ml karbon dioksida
terlarut perliter.
Karbondioksida terendah terjadi pada waktu siang hari, salah satu
faktor yang menyebabkan hal ini yaitu pada waktu siang hari tumbuhan
dan fitoplankton membutuhkan banyak CO2 dalam proses fotosintesis.
Salah satu komponen yang terlibat dalam proses fotosintesis ialah CO dan
juga cahaya. Pada waktu siang hari penyiunaran matahari mencapai
maksimal dan perairan mendapatkan cahaya yang optimum untuk
melaksanakan proses fotosintesis, sehingga karbondioksida yang terlarut
dalam air banyak digunakan dalam proses fotosintesis sehingga kadarnya
menjadi berkurang, sebaliknya kadar oksigen semakin meningkat.

29
Meningkatnya kadar oksigen dalam perairan ini dihasilkan dari proses
fotosintesis.
BOD
BOD (Biological Oxygen Demand) atau kebutuhan oksigen biologis
ialah jumlah kebutuhan oksigen yang dibutuhkan oleh organisme dalam
lingkungan air atau dengan kata lain didefinisikan sebagai banyaknya
oksigen yang diperlukan oleh organisme pada saat pemecahan bahan
organik, pada kondisi aerobik. Pengukuran BOD didasarkan pada
kemampuan mikroorganisme dalam menguraikan senyawa organik, dalam
arti lain senyawa yang diuraikan hanya sebatas senyawa limbah organik
yang berasal dari rumah tangga. Untuk senyawa-senyawa bahan kimia dan
industri sangat sulit dan bahkan tidak dapat diuraikan oleh
mikroorganisme (Barus, 2004).
Data di atas menunjukkan bahwa dari ketiga waktu pengambilan
sample menunjukkan tidak ada perbedaan besarnya BOD baik pada waktu
pagi hari, siang hari serta malam hari BOD rata-rata sebesar 1,32 ppm.
Penentuaan kadar BOD didasarkan pada pemeriksaan oksigen terlarut
(DO). Sampel yang akan ditentukan nilai BOD harus diinkubasikan selama
5 hari. Karena pemeriksaan BOD pada dasarnya suatu prosedur oksidasi
yang mana organissme hidup bertindak sebagai medium untuk
menguraikan bahan organik menjadi CO2 dan H2O. Di alam, waktu waktu
yang diperlukan agar bahan organik dapat teroksidasi secara sempurna
membutuhkan waktu yang tidak terbatas, akan tetapi dalam penelitian di
laboratorium hanya dilakukan selama 5 hari. Waktu 5 hari tersebut
diasumsikan bahwa bahan organik telah teroksidasi sempurna.
pH
Pengukuran pH atau derajat keasaman menunjukkan bahwa pH air
laut pada pagi hari memiliki rata-rta pH sebesar 7 pada siang hari terjadi
peningkatan pH sebesar 0,2 sehingga pH menjadi 7,2 dan pada malam hari
terjadi kenaikan sehingga pH menjadi 7,7. Kenaikan pH ini salah satu
penyebabnya berhubungan dengan aktivitas metabolisme yang dilakukan
oleh fitoplankton yang berada di dalam perairan pantai Bama.

30
Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa pH tertinggi terjadi pada
waktu malam hari yaitu sebesar 7,7 sedangkan pH terendah terjadi pada
waktu pagi hari yaitu sebesar 7. Hal ini menunjukkan bahwa pH air laut
pantai Bama masih berada dalam kisaran pH netral. Derajat keasaman
atau pH merupakan salah satu parameter yang dapat menentukan
produktivitas suatu perairan. Setiap organisme membutuhakan derajat
keasaman yang optimum bagi kehidupannya. Batas toleransi organisme
terhadap pH bervariasi, pH yang ideal untuk kehidupan fitoplkankton
berkisar antara 6,5-8,0 (Sitorus, 2009).
Suhu
Data kualitas air menunjukkan bahwa pada pagi hari rata-rata suhu
air laut sebesar 26,810C, pada siang hari rata-rata suhu mengalami
kenaikan menjadi sebesar 35,40C sedangkan pada malam hari suhu air laut
mengalami penurunan menjadi 25,40C.
Berdasarkan data tersebut dapatlah diketahui bahwa suhu air
terendah terjadi pada waktu malam hari yaitu rata-rata sebesar 25,4oC dan
suhu tertinggi terjadi pada waktu siang hari sebesar 35,4oC. Kenaikan dan
penurunan suhu air ini dipengaruhi oleh adanya intensitas penyinaran
cahaya matahari. Pada waktu pagi hari, cahaya matahari yang mengenai
perairan memiliki intensitas yang rendah sehingga suhu air tidak sebesar
pada waktu siang hari. Pada waktu siang hari intensitas penyinaran
matahari mencapai titik maksimum mengenai perairan hal ini
memengaruhi suhu air laut yang menyebabkan suhu air mengalami
kenaikan menjadi 35.4oC. Sedangkan pada malam hari tidak ada cahaya
sama sekali, hal ini berpengaruh pula terhadap suhu air laut sehingga suhu
mengalami penuran.

2. Produktivitas Primer
Berdasarkan hasil pada tabel 5 mengenai aspek nilai fotosintesis ini
diperoleh dengan perhitungan menggunakan rumus:
Fotosintesis ⁼ DO akhir botol terang- DO awal

31
Nilai foto sintesis yang diperoleh menunjukkan bahwa selama selang
waktu 2 jam nilai fotosintesis sebesar 0,31 ppm sedangkan untuk rentang
waktu selama 6 jam rata-rata sebesar -0,24 ppm, sehingga apabila kedua
nilai tersebut dirata-rata kembali maka diperoleh nilai fotosintesis perairan
sebesar 0,04 ppm.
Sedangkan untuk nilai respirasi diperoleh dengan menggunakan
perhitungan menggunakan rumus :
Respirasi ⁼ DO akhir botol gelap - DO awal
Nilai respirasi yang diperoleh untuk rata-rata perjam selama selang waktu
2 jam sebesar -0,47 ppm, sedangkan untuk selang waktu selama 6 jam nilai
rata-ratanya yaitu sebesar -0,43 ppm dan rata-rata respirasi secara
kseluruhan yaitu sebesar -0,45 ppm. Produktivitas primer merupakan hasil
pengurangan dari kadar fotosintesis dengan kadar respirasi (Produktivitas
primer = Fotosintesis – Respirasi). Produktivitas primer air laut di kaawsan
pantai Bama menunjukkan nilai rata-rata perjam untuk selang waktu
pengukuran selama 2 jam memiliki nilai sebesar 0,54 ppm sedangkan
pengukuran selang waktu selama 6 jam nilainya sebesar -0,40 sehingga
apabila dirata-rata kembali nilainya menjadi 0,47 ppm. Laju produktivitas
primer yang bernilai sebesar 0,5285 berarti laju produktivitas ini tergolong
sangat rendah. Laju produktivitas primer sangat dipengaruhi oleh suhu,
penyinaran matahari.
Produktivitas primer perairan sangat ditentukan oleh beberapa
faktor. Faktor utama yang memengaruhi produktivitas primer di laut ialah
cahaya, nutrient, dan suh serta jenis fitoplankton juga mendukung
produktivitas primer suatu perairan. Produktivitas sekunder atau
produktivitas total suatu perairan dapat diperoleh dengan menggunakan
rumus: respirasi + fotosintesis. Produktivitas sekunder pantai bama
diperoleh nilai rata-rata sebesar 0,39 ppm.

32
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil pengamatyan dan pembahasan di atas maka dapat
disimpulkan bahwa:
1. Kadar DO air laut pantai Bama pada waktu pagi hari sebesar 1,86 ppm,
kadar DO pada waktu siang hari sebesar 1,92 ppm dan kadar DO pada
wkatu malam hari sebesar 0,96 ppm.
2. Kadar CO2 air laut pantai Bama pada waktu pagi hari sebesar 19,25 ppm,
siang hari sebesar 15,98 ppm dan pada waktu malam hari sebesar 27,39
ppm.
3. Kadar BOD air laut pantai Bama sebesar 1,32 ppm.
4. Suhu air laut pantai Bama memiliki rentangan sebesar 25,4oC – 35,4oC.
5. pH air laut Bama memiliki rentangan pH yang netral yaitu sebesar 7 -7,7.
6. Slinitas air laut pantai Bama sebesar 3,2‰.
7. Kadar fotosintesis air laut pantai Bama sebesar 0,04 ppm.
8. Kadar respirasi air laut pantai Bama sebesar -0,45 ppm.
9. Produktivitas primer air laut pantai Bama sebesar 0,47 ppm.
10. Produktivitas total air laut pantai Bama sebesar 0,39 ppm.

33
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2009. Taman Nasional Alas Purwo. (online),


(http://www.pendakierror.com/tnap.htm diakses tanggal 16 februari
2011)

Anonim, 2009 Produktifitas Primer (online), (http://www.WordPress.com.


diakses tanggal 16 februari 2011)

Anonim, 2009 Parameter Pengolahan Air Limbah Industri (online), (http:/


www.majari megazine.htm diakses tanggal 16 februari 2011)

Anonim.2008.CO2danTanamanAir.(Online)(http://www.ofish.com/Aquascaping/c
o2.php,diakses tanggal 16 Februari 2011.

Bayurini, Diah. 2006. Hubungan antara produktivitas primer Fitoplankton


dengan distribusi ikan di ekosistem perairan rawa penin Kabupaten
semarang.(Online)
(http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/collect/skripsi.1/import/1619.pdf, diakses
tanggal 16 Februari 2011)

Daryanto. 1995. Ekologi dan Sumber Daya Alam. Bandung : Penerbit Tarsito
Hadisubroto, tisno. 1989. Ekologi Dasar. Jakarta: departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan
Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.

http://www.google.co.id/search?Mahmudinbelajardarimanusia, Produktivitas
Primer Ekosistem, September 2002, Diakses 26 Mei 2011.

Kurnia, Adi. 2009. Parameter Pengolahan Air Limbah Industri. (Online)


(http://majarimagazine.com/2009/06/parameter-pengolahan-air-limbah-
industri/, diakses tanggal 17 Februari 2011)

Mc Naughton, SJ (trans. Pringgoseputro, Sunaryono dkk.). 1992. Ekologi Umum.


Jogjakarta: Gajah Mada University Press.

Odum, Yanney J. 1994. Dasar-Dasar Ekologi. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press.

Odum, E.P. 1993. Basic Ecologi (Dasar-dasar Ekologi). Yogyakarta : Universitas


Gajah Mada Press.

(Online)(http://dhamadharma.wordpress.com/2010/02/11/produktivitas-primer-
di-lingkungan-perairan/ diakses tanggal 18 Februari 2011)

(Online)(http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/collect/skripsi/import/1619.pdfi/ diakses
tanggal 18 Februari 2011)

34
(Online)(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/5789/1/09E01759.pdf
diakses tanggal 18 Februari 2011)

Salmin. 2005. Bidang Dinamika Laut, Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI,


Jakarta Oksigen Terlarut (Do) Dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD)
Sebagai Salah Satu Indikator Untuk Menentukan Kualitas Perairan.
Oseana, Volume XXX, Nomor 3, 2005 : 21 – 26.

Sitorus, Mangatur. 2009. Hubungan Nilai Produktivitas Primer dengan


Konsentrasi Klorofil a dan Faktor Fisik Kimia di Perairan Danau Toba,
Balige, Sumatera Utara. (Online)
(http://digilib.usu.ac.id/gsdl/collect/skripsi/import/1619.pdfi/downloadpdf
diakses 26 Mei 2011 )..

Soemarwoto, Otto. 1983. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta:


Djambatan.

35
Lampiran
Penghitungan nilai produktivitas primer
1. Selang waktu 2 jam
Fotosintesis : DO akhir botol terang – DO awal
(1,56 – 1,54)ppm = 0,02 ppm
Respirasi : DO akhir botol gelap – DO awal
(1,46 – 1,54) ppm = -0,08 ppm
Produktivitas primer : fotosintesis – respirasi
(0,02 – (-0,08)) ppm = 0,1ppm
Produktivitas total : fotosintesis + respirasi
(0,02 + (-0,08)) ppm = - 0,06 ppm

2. Selang waktu 6 jam


Fotosintesis : DO akhir botol terang – DO awal
(1,85 – 1,98)ppm = -0,13 ppm
Respirasi : DO akhir botol gelap – DO awal
(1,74 – 1,98) ppm = -0,24 ppm
Produktivitas primer : fotosintesis – respirasi
(-0,13 – (-0,24)) ppm = 0,11ppm
Produktivitas total : fotosintesis + respirasi
(-0,13 + (-0,24)) ppm = - 0,34 ppm

36
LAPORAN
KUALITAS AIR

37
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Laut yang menutupi 70% permukaan bumi merupakan habitat yang
saling berhubungan, tidak terpisah-pisah seperti daratan dan air tawar
sehingga temperatur, salinitas dan kedalaman menjadi suatu hambatan utama
untuk pergerakan bebas bagi organisme-organisme laut. Laut merupakan
suatu kesatuan oleh faktor-faktor fisika dan kimia air laut di sekelilingnya.
Air laut adalah air murni yang di dalamnya terlarut berbagai zat padat yang
meliputi garam-garam anorganik, senyawa-senyawa organik yang berasal dari
organisme hidup dan gas (Nybaken, 1992). Diantara zat-zat terlarut, terdapat
berbagai garam organik yang sangat penting bagi binatang-binatang laut.
Perbedaan suhu udara diantara kutub dan ekuator menimbukan angin
yang kuat seperti ke arah yang angin pasang yaitu anginnya yang bertiup ke
arah yang sama sepanjang tahun, yang bersama-sama dengan rotasi bumi
menimbulkan lautan yang ditimbulkan oleh angin masih ditambah oleh
adanya perbedaan suhu dan salinitas yang menimbukan perbedaan kerapatan.
Keberadaan cahaya membagi laut menjadi beberapa zona dengan
berbagai macam keneragaman organisme laut yang berbeda-beda pada setiap
zona. Keanekaragaman organisme dalam ekosistem air laut disebabkan
perbedaan kandungan bahan organik, mineral, oksigen, dan cahaya yang ada
pada air laut tersebut. Organisme akan banyak ditemukan di daerah atau zona
yang memiliki kandungan mineral, bahan organik, oksigen, dan cahaya yang
cukup untuk organisme tersebut hidup. Dari hal di atas dapat dikatakan jika
makin banyak organisme pada daerah tersebut, maka baik kualitas air tersebut
karena kandungan mineral, bahan organik, oksigen, dan cahaya pada daerah
tersebut cukup. Selain itu, keaneragaman organisme juga dipengaruhi oleh
faktor fisik, kimia, dan biologi, seperti suhu dan salinitas. Oleh karena itu
dilakukan penelitian tentang uji kualitas air di Pantai Bama, Taman Nasional
Baluran, Situbondo.

38
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat diambil suatu rumusan
masalah antara lain :
1. Berapa kadar BOD pada Pantai Bama, Taman Nasional Baluran,
Situbondo ?
2. Berapa kadar DO pada Pantai Bama, Taman Nasional Baluran,Situbondo ?
3. Berapa kadar CO2 pada Pantai Bama,Taman Nasional Baluran,Situbondo ?
4. Berapa suhu air pada Pantai Bama, Taman Nasional Baluran, Situbondo ?
5. Berapa salinitas pada Pantai Bama, Taman Nasional Baluran, Situbondo ?
6. Berapa pH pada Pantai Bama, Taman Nasional Baluran, Situbondo ?

C. Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum uji kualitas air di pantai Taman Nasional
Baluran, Situbondo antara lain :
1. Mengetahui kadar BOD pada Pantai Bama, Taman Nasional Baluran,
Situbondo .
2. Mengetahui kadar DO pada Pantai Bama, Taman Nasional Baluran,
Situbondo.
3. Mengetahui kadar CO2 pada Pantai Bama, Taman Nasional Baluran,
Situbondo.
4. Mengetahui suhu air pada Pantai Bama, Taman Nasional Baluran,
Situbondo.
5. Mengetahui salinitas air pada Pantai Bama, Taman Nasional Baluran,
Situbondo.
6. Mengetahui pH air pada Pantai Bama, Taman Nasional Baluran,
Situbondo.

39
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Taman Nasional Baluran

Gbr. Lokasi TN Baluran


(Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Taman_Nasional_Baluran)

Taman Nasional Baluran adalah miniatur hutan Indonesia karena


hampir semua tipe hutan terdapat di Taman Nasional Baluran.Dan yang
paling khas dari wilayah ini adalah hamparan savana yang luasnya menutupi
kurang lebih 40% wilayah Baluran. Temperatur udara 27° – 34° C, curah
hujan 900 – 1.600 mm/tahun, ketinggian tempat 0 – 1.247 m. dpl, dan letak
geografisnya 7°29’ – 7°55’ LS, 114°17’ – 114°28’ BT (Anonim, 2010).
Taman Nasional Baluran merupakan perwakilan ekosistem hutan yang
spesifik kering di Pulau Jawa, terdiri dari tipe vegetasi savana, hutan
mangrove, hutan musim, hutan pantai, hutan pegunungan bawah, hutan rawa
dan hutan yang selalu hijau sepanjang tahun. Sekitar 40 persen tipe vegetasi
savana mendominasi kawasan Taman Nasional Baluran (Anonim, 2010).

40
Tumbuhan yang ada di taman nasional ini sebanyak 444 jenis,
diantaranya terdapat tumbuhan asli yang khas dan menarik yaitu widoro
bukol (Ziziphus rotundifolia), mimba (Azadirachta indica), dan pilang
(Acacia leucophloea). Widoro bukol, mimba, dan pilang merupakan
tumbuhan yang mampu beradaptasi dalam kondisi yang sangat kering (masih
kelihatan hijau), walaupun tumbuhan lainnya sudah layu dan mengering.
Tumbuhan yang lain seperti asam (Tamarindus indica), gadung (Dioscorea
hispida), kemiri (Aleurites moluccana), gebang (Corypha utan), api-api
(Avicennia sp.), kendal (Cordia obliqua), manting (Syzygium polyanthum),
dan kepuh (Sterculia foetida) (Anonim, 2010).

B. Kualitas Air Laut


Laut yang menutupi 70% permukaan bumi merupakan habitat yang
saling berhubungan, tidak terpisah-pisah seperti daratan dan air tawar
sehingga temperatur, salinitas dan kedalaman menjadi suatu hambatan utama
untuk pergerakan bebas bagi organisme-organisme laut. Laut merupakan
suatu kesatuan oleh faktor-faktor fisika kimia air laut disekelilingnya. Air laut
adalah air murni yang didalamnya terlarut berbagai zat padat yang meliputi
garam-garam anorganik, senyawa-senyawa organik yang berasal dari
organisme hidup dan gas (Nybaken, 1992). Diantara zat-zat terlarut, terdapat
berbagai garam organik yang sangat penting bagi binatang-binatang laut.
Perbedaan suhu udara diantara kutub dan ekuator menimbukan angin
yang kuat seperti ke arah yang angin pasang yaitu angin yang bertiup ke arah
yang sama sepanjang tahun, yang bersama-sama dengan rotasi bumi
menimbulkan lautan yang ditimbulkan oleh angin masih ditambah oleh
adanya perbedaan suhu dan salinitas yang menimbukan perbedaan kerapatan.
Keberadaan cahaya membagi laut menjadi beberapa zona dengan
berbagai macam keneragaman organisme laut yang berbeda-beda pada setiap
zona. Kenaeragaman organisme dalam ekosistem air laut disebabkan
perbedaan kandungan bahan organik, mineral, oksigen, dan cahaya yang ada
pada air laut tersebut. Organisme akan banyak ditemukan di daerah atau zona
yang memiliki kandungan miniral, bahan organik, oksigen, dan cahaya yang

41
cukup untuk organisme tersebut hidup. Dari hal di atas dapat dikatakan jika
makin banyak organisme pada daerah tersebut, maka baik kualitas air tersebut
karena kandungan mineral, bahan organik, oksigen, dan cahaya pada daerah
tersebut cukup. Selain itu, keaneragaman organisme juga dipengaruhi oleh
faktor fisik, kimia, dan biologi, sperti suhu dan salinitas.
Terdapat 2 faktor pembatas di dalam lautan yaitu suhu, salinitas, dan
konsentrasi zat hara/bahan organik terlaurt rendah yang menentukan besarnya
populasi organisme laut. Organisme pengurai aerobik umumnya terdiri dari
mikroorganisme seperti bakteri yang selalu bekerja di dalam air, menguraikan
senyawa-senyawa organik menjadi karbondioksida dan air. Bakteri lain
mengubah amoniak dan nitrit menjadi nitrat. Untuk semua proses ini
dibutuhkan oksigen. Jika jumlah bahan organik dalam air hanya sedikit maka
bakteri aerob akan dapat dengan mudah menguraikannya tanpa mengganggu
keseimbangan oksigen dalam air. Tetap jika jumlah bahan organik tersebut
banyak maka bakteri pengurainya akan melipatgandakan diri. Hal ini pada
umumnya akan mengakibatkan terjadinya kekurangan oksigen seperti di
rawa-rawa dasar kolam dan danau yang airnya tidak mengalir. Aktivitas
bakteri aerobik tersebut dapat menunjukkan kadar oksigen terlarut dalam air
sampai ke titik 0. jika hal ini terjadi maka tugasnya akan diambil alih oleh
organisme pengurai anaerobik yang umumnya berupa bakteri juga dan
terjadilah pembusukan. Bakteri anaerobik ini menghasilkan gas metana dan
hidrogen sulfida yang berbau busuk.

C. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas air


Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kehidupan
dan pertumbuhan organisme perairan. Suhu air mempunyai peranan penting
dalam kecepatan laju metabolisme dan respirasi biota air serta proses
metabolisme ekosistem perairan sehingga suhu air bukan saja merupakan
pearameter fisik yang mempengaruhi sifat kimia perairan tetapi juga sifat
fisiologi organisme pada medium air tersebut.

42
Suhu air berbeda-beda sesuai dengan iklim dan musim. Hal ini
mempengaruhi proses pertukaran zat atau metabolisme dari makhluk hidup
juga mempengaruhi kadar oksigen terlarut dalam air. Makin tinggi suhu
perairan maka makin cepat pula perairan teresbut mengalami kejenuhan akan
oksigen.
pH (derajat keasaman)
Nilai pH air normal yaitu antara 6 sampai dengan 8. air yang masih
segar dari pegunungan biasanya mempunyai pH yang lebih tinggi. Makin
lama pH air akan turun menuju kondisi asam. Hal ini dikarenakan
bertambahnya bahan-bahan organik yang membebaskan CO2 jika mengalami
penguraian.
pH perairan dipengaruhi oleh konsentrasi karbondioksida dan
senyawa bersifat asam. Fitoplankton dan tanaman air lainnya akan
mengambil CO2 dari air selama proses fotosintesis sehingga mengakibatkan
pH air meningkat pada siang hari dan menurun pada malam hari.
Tinggi rendahnya oksigen dan karondioksida mempengaruhi
besarnya air tersebut dan sebaliknya makin tinggi kandungan CO 2 maka
makin rendah nilai pHnya. Hal tersebut disebabkan adanya perubahan kimia
sebagai berikut:
H2S + CO2 → HCO3
HCO3 → H+ + CO-3
Salinitas
Salinitas adalah banyaknya zat terlarut. Zat padat terlarut meliputi
garam-garam anorganik, senyawa-senyawa organik yang berasal dari
organisme hidup, dan gas-gas terlarut (Nybakken, 1992). Ciri paling khas
pada air laut yang diketahui oleh semua orang ialah rasanya yang asin. Ini
disebabkan karena di dalam air laut terlarut garam-garam yang paling utama
adalah natrum klorida (NaCl) yang sering disebut garam dapur. Selain NaCl,
di dalam air laut terdapat pula MgCl2, kalium, kalsium dan sebagainya.
Salinitas adalah jumlah berat semua garam (dalam garam) yang terlarut dalam
satu liter air, biasanya dinyatakan dengan satuan 0/00 (permil, gram per liter)
(Naughton, 1990). Perairan estuari atau daerah sekitar kuala dapat

43
mempengaruhi struktur salinitas yang kompleks, karena selain merupakan
pertemuan antara air tawar yang relatif ringan dan air laut yang lebih juga
pengadukan air sangat menentukan (Naughton, 1990).
Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen merupakan gas yang tidak berbau, tidak berasa dan hanya
sedikit larut dalam air. Semua organisme air membutuhkan oksigen dalam
hidupnya. Sehingga, tempat yang mengandung oksigen selalu terdapat
organisme di dalamnya dan makin banyak oksigen terlarut di daerah tersebut,
maka makin banyak organisme yang ada di dalmnya. Jadi kadar oksigen
terlarut dapat dijadikan ukuran untuk menentukan kualitas air.
Oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan
tanaman dan hewan di dalam air. Kehidupan makhluk hidup di dalam air
tersebut tergantung dari kemampuan air untuk mempertahankan konsentrasi
oksigen minimal yang dibutuhkan untuk kehidupannya (Suprianto, 2001).
Oksigen terlarut dapat berasal dari proses fotosintesis tanaman air, di mana
jumlahnya tidak tetap tergantung dari jumlah tanamannya, dan dari atmosfer
(udara) yang masuk ke dalam air dengan kecepatan terbatas (Suprianto,
2001). Oksigen terlarut dalam laut dimanfaatkan oleh organisme perairan
untuk respirasi dan penguraian zat-zat organik oleh mikroorganisme.
Konsentrasi oksigen terlarut dlaam keadaan jenuh bervariasi tergantung dari
suhu dan tekanan atmosfer (Suprianto, 2001).
Oksigen merupakan faktor pembatas dalam penentuan kehadiran
makhluk hidup di dalam air. Kepekatan oksigen terlarut bergantung kepada :
a. Suhu.
b. Kehadiran tanaman fotosintesis.
c. Tingkat penetrasi cahaya bergantung kepada kedalaman dan kekeruhan air.
d. Tingkat kederasan aliran air.
e. Jumlah bahan organik yang diuraikan dalam air seperti sampah, ganggang
mati atau limbah industri.
Oksigen terlarut (Dissolved oxygen = DO) dibutuhkan oleh semua
jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang
kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan. Di

44
samping itu, oksigen juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan organik
dan anorganik dalam proses aerobik. Sumber utama oksigen adalah suatu
perairan berasal dari suatu proses difusi udara bebas dan hasil fotosintesis
organisme yang hidup dalam perairan tersebut (Dzaki, 1989). Kecepatan
difusi oksigen dari udara, tergantung sari beberapa faktor, seperti kekeruhan
air, suhu, salinitas, pergerakan massa air dan udara seperti arus, gelombang
dan pasang surut. Odum (1971) menyatakan bahwa kadar oksigen dalam air
laut akan bertambah dengan semakin rendahnya suhu dan berkurang dengan
semakin tingginya salinitas. Pada lapisan permukaan, kadar oksigen akan
lebih tinggi, karena adanya proses difusi antara air dengan udara bebas serta
adanya proses fotosintesis. Dengan bertambahnya kedalaman akan terjadi
penurunan kadar oksigen terlarut, karena proses fotosintesis semakin
berkurang dan kadar oksigen yang ada banyak digunakan untuk pernapasan
dan oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik. Keperluan organisme
terhadap oksigen relatif bervariasi tergantung pada jenis, stadium dan
aktifitasnya. Kebutuhan oksigen untuk ikan dalam keadaan diam relatif lebih
sedikit apabila dibandingkan dengan ikan pada saat bergerak atau memijah.
Jenis-jenis ikan tertentu yang dapat menggunakan oksigen dari udara bebas,
memiliki daya tahan yang lebih terhadap perairan yang kekurangan oksigen
terlarut. Kandungan oksigen terlarut (DO) minimum adalah 2 ppm dalam
keadaan normal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun (toksik).
Kandungan oksigen terlarut minimum ini sudah cukup mendukung kehidupan
organisme. Idealnya, kandungan oksigen terlarut tidak boleh kurang dari 1,7
ppm selama waktu 8 jam dengan sedikitnya pada tingkat kejenuhan sebesar
70%. KLH menetapkan bahwa kandungan oksigen terlarut adalah 5 ppm
untuk kepentingan wisata bahari dan biota laut (Anonimous, 2004).
Oksigen memegang peranan penting sebagai indikator kualitas
perairan, karena oksigen terlarut berperan dalam proses oksidasi dan reduksi
bahan organik dan anorganik. Selain itu, oksigen juga menentukan biologis
yang dilakukan oleh organisme aerobik atau anaerobik. Dalam kondisi
aerobik, peranan oksigen adalah untuk mengoksidasi bahan organik dan
anorganik dengan hasil akhirnya adalah nutiren yang pada akhirnya dapat

45
memberikan kesuburan perairan. Dalam kimia menjadi lebih sederhana dalam
bentuk nutrien dan gas. Disamping itu, oksigen juga sangat dibutuhkan oleh
mikroorganisme untuk pernapasan. Organisme tertentu, seeprti
mikroorganisme, sangat berperan dalam menguraikan senyawan kimia
beracun menjadi senyawa lain yang lebih sederhana dan tidak beracun.

Tabel 1: Penentuan kualitas air melalui hubungan DO dan indeks


keanekaragaman plankton.
DO Indeks Keanekaragaman Kualitas air
<> <1 Tercemar parah
2 – 4,4 1,0 – 1,5 Tercemar sedang
4,5 – 6,5 1,6 – 2,0 Tercemar Ringan
> 6,5 >2 Tidak tercemar

CO2 (Karbondioksida)
Semua tanaman, termasuk tanaman air di dalamnya, memerlukan
CO2 untuk berfotosintesis dalam rangka membentuk karbohidrat sebagai
bagian dari tubuhnya. Pada sungai atau danau, ternyata kandungan CO2 di
dalamnya lebih dari hanya sekedar untuk memenuhi reaksi keseimbangan
antara air dengan udara. Dengan kata lain, kadar CO2 yang dikandungnya
lebih banyak dari jumlah yang diperlukan untuk reaksi keseimbangan.
Kelebihan CO2 ini ternyata berasal dari proses dekomposisi bahan organik,
terutama yang terjadi pada lantai danau atau sungai. Proses dekomposisi
tersebut terjadi dengan bantuan bakteri heterotrofik yang menghasilkan CO2
dan metana.
Jumlah CO2 yang dilepaskan oleh proses dekomposisi bahan organik
sangat ditentukan oleh jenis bahan organiknya. Beberapa penelitian
membuktikan bahwa jenis bahan organik yang berbeda menghasilkan jumlah
CO2 yang berbeda pula dalam proses dekomposisinya pada endapan sungai
atau danau. Bahan organik yang berasal dari tanaman air diketahui akan
menghasilkan jumlah CO2 yang berbeda pula dalam proses dekomposisinya
pada endapan sungai atau danau. Bahan organik yang berasal dari tanman air

46
diketahui akan menghasilkan jumlah CO2 lebih banyak dibandingkan dengan
bahan organik yang berasal dari tanaman darat. Hasil analisis kimiawi
terhadap kedua kelompok tanaman tersebut juga menyatakan bahwa tanaman
air segar mempunyai kadar nutrien yang lebih banyak dibandingkan dengan
daun tanaman darat. Bakteri pada umumnya akan lebih aktif pada bahan-
bahan organik yang kaya nutiren sehingga CO2 yang dihasilkan akan lebih
banyak. Kandungan CO2 dapat juga lebih banyak terutama pada perairan
yang mengandung Karbon Organik Terlarut (DOC) tinggi. Karbon Organik
Terlarut pada umumnya berada dalam proses pembusukakn sehingga dapat
menjadi sumber CO2 yang potensial.
Air yang berada dalam proses keseimbangan dengan udara pada
umumnya hanya mengandung 0,5 ppm CO2. sedangkan tanaman air banyak
yang memerlukan CO2 lebih banyak dari jumlah tersebut. Oleh karena itu,
tanaman air bisa diduga tidak akan bertahan hidup di alam bila tidak
mendapatkan tambahan CO2 yang berasal dari proses dekomposisi bahan
organik, kecuali tanaman air yang mampu mendapatkan karbon dari bahan
selain CO2.
Fotosintesis fitoplankton sebagai tumbuhan air, agitasi air dan
penguap banyaknya CO2 mempengaruhi kerapatan metabolisme dan
pertumbuhan, orientasi maupun pergerakan beberapa hewan air, zooplankton
dan invertebrata yang lain. Perairan yang diperuntukkan bagi kepentingan
perikanan sebaiknya mengandung CO2 bebas sebesar 10 mg/l, masih dapat
ditorerir oleh organisme akuatik asal disertai dengan kadar O2 yang cukup.
Sebagian besar organisme akuatik masih dapat bertahan hidup hingga
karbondioksida bebas mencapai 60 mg/l.

BOD
Pengujian yang berhubungan dengan kandungan oksigen dalam air
dibedakan menjadi 2, yakni :
1) Uji BOD (Biochemical Oxygen Demand test = uji kebutuhan oksigen
biokimia).
2) Uji COD (Chemical Oxygen Demand test – uji kebutuhan oksigen kimia).

47
BOD/KOB merupakan suatu analisis empiris yang mendekati secara
global proses-proses mikrobiologis yang benar-benar terjadi di dalam air.
Angka BOD adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri untuk
menguraikan (mengoksidasikan) hampir semua zat organik yang terlarut dan
sebagian zat-zat organis yang tersuspensi dalam air. BOD menunjukkan
jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk
menguraikan atau mengoksidasi bahan-bahan buangan dari dalam air. Jika
nilai BOD menunjukkan jumlah bahan organik yang sebenarnya tetapi hanya
mengukur secara relatif jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi
bahan-bahan buangan tersebut. Jika konsumsi oksigen tinggi yang
ditunjukkan dengan semakin kecilnya sisa oksigen terlarut di dalamnya, maka
berarti kandungan bahan buangan yang membutuhkan oksigen adalah tinggi.
Organisme hidup yang bersifat aerobic membutuhkan oksigen untuk proses
reaksi biokimia yang akan dihabiskan dalam waktu 5 hari oleh pengurai
aerobic dalam suatu volume limbah pada suhu 20ºC. Hasilnya dinyatakan
denagn ppm. Jadi BOD sebesar 200 ppm berarti bahwa 200 mg oksigen akan
dihabiskan oleh sample limbah sebanyak 1 liter dalam waktu 5 hari pada suhu
20ºC.
Pemeriksaan BOD didasarkan atas reaksi oksidasi zat organis
dengan oksigen di dalam air dan proses tersebut berlangsung karena adanya
bakteri aerobic. Sebagai hasil oksidasi akan terbentuk karbondioksida, air dan
amoniak. Reaksi oksidasi dapat dituliskan sebagai berikut :
CnHaObNc + (n + a/4 – b/2 – 3c/4) O2 à nCo2 + (a/2 – 3c/2) H2O + cNH3
Atas dasar tersebut yang memerlukan kira-kira 2 hari supaya 100%
dimana 50% reaksi telah tercapai, 5 hari supaya 75% dan 20 hari supaya
100% tercapai, maka pemeriksaan BOD dapat dipergunakan untuk menaksir
beban pencemaran zat organis. Reaksi biologis pada tes BOD dilakukan pada
temperatur 20ºC dan dilakukan selama 5 hari (BOD205). Demikian jumlah zat
organis yang ada di dalam air diukur melalui jumlah oksigen yang dibutuhkan
oleh bakteri untuk mengoksidasi zat organis.
Karena reaksi BOD dilakukan di dalam botol tertutup maka jumlah
oksigen yang telah dicapai adalah perbedaan antara kadar oksigen di dalam

48
larutan saat t=0 (biasanya baru ditambah oksigen dengan aerasi hingga = 9
mg O2/l, yaitu konsentrasi kejenuhan) dan kadarnya pada t=5 hari
(konsentrasi sisa harus ≥2 mg O2/l agar hasil cukup teliti).

Tabel 2. standar BOD untuk Penentuan Kualitas Air


Kondisi Umum Air BOD
Sangat bersih 1 ppm
Bersih 2 ppm
Agak bersih 3 ppm
Diragukan kebersihannya 4 ppm
Tidak bersih 5 ppm

Gelombang
Secara ekologis gelombang paling penting di Mintakat pasang surut.
Di bagian yang agak dalam pengaruhnya mengurang sampai ke dasar, dan di
perairan Oseanik ia mempengaruhi pertukaran udara dan agak dalam.
Gelombang ditimbulkan oleh angin, pasang-surut dan kadang-kadang oleh
gempa bumi dan gunung meletus (dinamakan tsunami). Gelombang
mempunyai sifat penghancur. Biota yang hidup di Mintakat pasang surut
harus mempunyai daya tahan terhadap pukulan gelombang. Gelombang
dengan mudah menjebol alga-alga dari substratnya. Ia diduga juga mengubah
bentuk karang-karang pembentuk terumbu. Gelombang mencampur gas
atmosfir ke dalam permukaan air sehingga memulai proses pertukaran gas.

Arus
Arus mempunyai pengaruh positip maupun negatip terhadap
kehidupan biota perairan. Arus dapat mengakibatkan ausnya jaringan-
jaringan jasad hidup yang tumbuh di daerah itu dan partikel-partikel dalam
suspensi dapat menghasilkan pengikisan. Di perairan dengan dasar lumpur,
arus dapat mengaduk endapan lumpur-lumpuran sehingga mengakibatkan
bisa mengurangi penetrasi sinar matahari, dan karenanya mengurangi
aktivitas fotosintesis. Manfaat dari arus bagi banyak biota adalah menyangkut

49
penambahan makanan bagi biota-biota tersebut dan pembuangan kotoran-
kotorannya. Untuk algae kekurangan zat-zat kimia dan CO2 dapat dipenuhi.
Sedangkan bagi binatang CO2 dan produk-produk sisa dapat disingkirkan dan
O2 tetap tersedia. Arus juga memainkan peranan penting bagi penyebaran
plankton, baik holoplankton maupun meroplankton. Terutama bagi golongan
terakhir yang terdiri dari telur-telur dan burayak-burayak avertebrata dasar
dan ikan-ikan. Mereka mempunyai kesempatan menghindari persaingan
makanan dengan induk-induknya terutama yang hidup menempel seperti
teritip (Belanus sp.) dan kerang hijau (Mytilus viridis). Pada kira-kira 1½
dekade yang lalu faktor-faktor lingkungan yang diuraikan di atas cukup untuk
diperhatikan dalam menilai kualitas air untuk budidaya laut. Akan tetapi
dengan cepatnya pertambahaan penduduk dan digalakkannya industrialisasi
di negara kita, maka dalam sepuluh tahun terakhir ini telah timbul
pencemaran air dan pencemaran laut, karena masuknya limbah industri dan
limbah rumah tangga yang tak terkendalikan ke dalam lingkungan akuatik.

50
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini tergolong penelitian observasi, karena tidak
menggunakan beberapa variabel dalam melakukan penelitian.

B. Waktu dan Tempat


1. Waktu
Praktikum uji kualitas air dilakukan pada tanggal 23 Maret 2011, pada
pukul 06.00, 13.00 dan 19.00 WIB.
2. Tempat
Praktikum uji kualitas air dilakukan di Pantai Bama, Taman Nasional
Baluran, Situbondo.

C. Alat dan Bahan


a. Mengukur Kadar BOD
Alat :
 Botol Winkler terang
 Inkubator
Bahan :
 Spatula
b. Mengukur kadar DO
Alat :
 Botol Winkler gelap dan terang
Bahan :
 Larutan MnSO4 2 ml
 Larutan KOH-KI 2 ml
 Larutan H2SO4 2 ml
 Larutan amilum 1% 10 tetes
 Larutan Na2S2O3 0,025 N
 Sampel air

51
c. Mengukur kadar CO2
Alat :
 Botol Winkler gelap
 Pipet tetes
 Erlenmeyer
 Biuret / Spet / Pipet tetes
Bahan :
 NaOH
 Sampel air
 Indikator PP
d. Mengukur suhu air
Alat :
 Termometer
e. Mengukur salinitas
Alat :
 Refraktometer
f. Mengukur pH
Alat :
 pH meter

3. Langkah Kerja
1. Mengukur Kadar BOD
a. Mengambil air dengan botol winkler terang pada permukaan
perairan dengan hati-hati agar tidak timbul gelembung, dan menutup
botol tersebut sewaktu masih berada di dalam air.
b. Membuka tutup botol winkler dengan hati-hati, menambahkannya
dengan 1 ml metilen blue, menutup botol dengan hati-hati agar tidak
terjadi gelembung.
c. Mengikubasi sampel di tempat gelap pada suhu 200 C ± 10 C.
d. Memeriksa botol sampel tiap 12 – 24 jam untuk mengamati saat
menghilangnya warna biru.
e. Menentukan prosentase kemantapan relatif.

52
2. Mengukur DO
a. Mengambil air dengan botol winkler terang pada permukaan
perairan dengan hati-hati agar tidak timbul gelembung, dan menutup
botol tersebut sewaktu masih berada di dalam air.
b. Membuka tutup botol winkler dengan hati-hati, menambahkannya
dengan 1 ml MNSO4 dan 1 ml KOH-KI, kemudian menutup botol
dengan hati-hati agar tidak terjadi gelembung.
c. Membolak-balik botol ± 5 menit agar pereaksi tercampur sempurna
dengan sample air.
d. Mendiamkan ± 10 menit agar terjadi pengikatan oksigen terlarut dan
terbentuk endapan putih/kecoklatan dan endapan turun sampai 1/3
volume botol.
e. Menambahkan 1 ml H2SO4, membolak-balikan botol beberapa kali
sampai endapan larut dan warna larutan menjadi kuning kecoklatan,
membiarkan beberapa saat agar endapan turun ke dasar botol.
f. Mengambil 100 ml sample dan memasukkannya ke dalam
Erlenmeyer.
g. Melakukan titrasi dengan Na2S2O3 menggunakan spet sampai warna
berubah menjadi kuning muda. Jumlah titran adalah V1 (ml).
h. Menambah 10 tetes larutan amilum 1% hingga warna berubah
menjadi biru tua.
i. Melakuakan titrasi lagi dengan Na2S2O3 hingga larutan berubah
menjadi jernih. Jumlah titran adalah V2 (ml).
j. Semua kegiatan dilakukan dengan pengulangan sebanyak tiga kali.
k. Menghitung kadar DO dengan rumus sebagai berikut :
DO = a.N.8000
V–4
Keterangan:
DO = oksigen terlarut
a = volume titran Na2S2O3 V2 – V1 (ml)
N = normalitas larutan Na2S2O3 sebesar 0,025

53
V = Volume botol winkler
3. Mengukur Kadar CO2
a. Botol winkler gelap pada permukaan perairan dengan hati-hati agar
tidak timbul gelembung, dan menutup botol tersebut sewaktu masih
berada di dalam air.
b. Menuangkan 100 ml dalam erlenmeyer dengan hati-hati dan jaga
agar tidak terjadi penembahan CO2 ke dalamnya, misal tidak
berbicara di dekat erlenmeyer, langsung menutup erlenmeyer
setelah sampel dituangkan, dan sebagainya.
c. Menambahkan larutan PP sebanyak 10 tetes.
d. Bila sampel berwarna merah muda, berarti tidak ada CO2 di dalam
sampel, atau CO2 = 0 ppm.
e. Bila setelah penambahan PP larutan tidak berubah warna, maka
dilanjutkan titrasi berikutnya.
f. Melakukan titrasi dengan NaOH hingga sampel tepat berubah
warna menjadi merah muda.
g. Semua kegiatan dilakukan dengan pengulang sebanyak tiga kali.
h. Menghitung jumlah titran (ml) dan kadar CO2 dengan perhitungan
sebagai berikut :
CO2 = volume titran NaOh X 10
4. Mengukur Suhu
a. Memasukkan termometer ke dalam air pada bagian permukaan.
b. Membiarkan sampai suhunya konstan dan hasilnya dites.
c. Menghitung skala di termometer tersebut setelah di celupkan.
d. Mencatat hasil pengukuran skala.
5. Mengukur pH
a. Mencelupkan kertas indikator pH beberapa saat ke permukaan air
pada bagian kertas yang berwarna.
b. Mencocokkan warna pada kertas pH dengan label pH, atau dapat
juga menggunakan pH meter.
c. Mencatat hasil.

54
6. Mengukur salinitas
a. Membersihkan refraktometer dengan air akuades dari sisa-sisa
kotoran dan untuk menstabilkan angka/skala.
b. Mengeringkan dengan kertas tissue/kertas hisap hingga kering.
c. Meneteskan 2 tetes air laut dengan pipet bersih ke atas kaca
refraktometer kemudian menutupnya.
d. Melihat skala refraktometer sambil memutar skrup pada
refraktometer agar terlihatr jelas skala yang ditunjukkan oleh garis
antara warna biru dan jernih.
e. Mencatat hasil pengukuran skala.

55
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
Data Kelas Hasil Pengamatan Kualitas Air Di Kawasan Pantai Bama
Baluran Situbondo
Tabel 3. Kualitas Air Pada Pagi Hari
NILAI RATA-
NO ASPEK
TEPI TENGAH UJUNG RATA
1 DO 2,05 ppm 1,93 ppm 1,60 ppm 1,86 ppm
2 CO2 22 ppm 16,85 ppm 18,9 ppm 19,25 ppm
3 BOD 13,16 ppm 1,32 ppm
4 pH 68,3 7
5 Suhu 268,1 0C 26,81 0C
6 Salinitas 3,2 0/0 3,2 0/0

Tabel 4. Kualitas Air Pada Siang Hari


NILAI RATA-
NO ASPEK
TEPI TENGAH UJUNG RATA
1 DO 1,88 ppm 1,9 ppm 1,99 ppm 1,92 ppm
2 CO2 16,52 ppm 13,95 ppm 17,48 ppm 15,98 ppm
3 BOD 13,16 ppm 1,32 ppm
4 pH 72 7,2
0
5 Suhu 353,7 C 35,4 0C
6 Salinitas 3,2 0/0 3,2 0/0

Tabel 5. Kualitas Air Pada Malam Hari

NO ASPEK NILAI RATA-RATA

1 DO 9,56 ppm 0,96 ppm


2 CO2 273,9 ppm 27,39 ppm

56
3 BOD 13,16 ppm 1,32 ppm
4 pH 75,6 7,7
5 Suhu 254 0C 25,4 0C
6 Salinitas 3,2 0/0 3,2 0/0

B. Analisis
Dari hasil penelitian yang telah kami lakukan dengan mengambil
sampel air laut di Pantai Bama, Baluran, Situbondo maka diperoleh hasil
sebagai berikut:
1. Pagi hari
Nilai DO yang diperoleh pada daerah tepi sebesar 2,05 ppm, pada
daerah tengah sebesar 1,93 ppm, dan pada daerah ujung sebesar 1,60 ppm.
Rata-rata nilai DO yaitu sebesar 1,86 ppm. Sedangkan nilai CO2 yang
diperoleh pada daerah tepi sebesar 22 ppm, pada daerah tengah sebesar
16,85 ppm, dan pada daerah ujung sebesar 18,9 ppm. Rata-rata nilai CO2
yaitu sebesar 19,25 ppm. Rata-rata nilai BOD adalah sebesar 1,32 ppm.
pH yang diperoleh adalah 7 dengan suhu rata-rata 26,81 0C dan salinitas
air laut sebesar 3,2 0/00.
2. Siang hari
Nilai DO yang diperoleh pada daerah tepi sebesar 1,88 ppm, pada
daerah tengah sebesar 1,9 ppm, dan pada daerah ujung sebesar 1,99 ppm.
Rata-rata nilai DO yaitu sebesar 1,92 ppm. Sedangkan nilai CO2 yang
diperoleh pada daerah tepi sebesar 16,52 ppm, pada daerah tengah sebesar
13,95 ppm, dan pada daerah ujung sebesar 17,48 ppm. Rata-rata nilai CO2
yaitu sebesar 15,98 ppm. Rata-rata nilai BOD adalah sebesar 1,32 ppm.
pH yang diperoleh adalah 7,2 dengan suhu rata-rata 35,4 0C dan salinitas
air laut sebesar 3,2 0/00.
3. Malam hari
Nilai DO yang doperoleh pada malam hari adalah sebesar 0,96
ppm. Sedangkan nilai CO2 dan BOD berturut-turut adalah sebesar 27,39
ppm dan 1,32 ppm. pH air laut pada malam hari mencapai 7,7 dengan suhu
25,4 0C dan salinitas air laut sebesar 3,2 0/00.

57
C. Pembahasan
Penggolongan Air berdasarkan pasal 7, penggolongan air menurut
peruntukannya dapat dibedakan menjadi :
1. Air golongan A: air pada sumber air yang dapat digunakan sebagai air
minum secara langsung tanpa pengolahan terlebih dahulu.
2. Air golongan B: air yang dapat digunakan sebagai air baku untuk diolah
menjadi air minum dan keperluan rumah tangga lainnya.
3. Air golongan C: air yang dapat dipergunakan untuk keperluan perikanan-
perikanan dan peternakan.
4. Air golongan D: air yang dapat dipergunakan untuk keperluan pertanian
dan dapat dimanfaatkan untuk usaha diperkotaan, industri dan listrik
tenaga air.
Dari penggolongan di atas, maka air yang kita teliti ini termasuk air
golongan C, karena air di sana bukan termasuk air yang bisa dikonsumsi,
tetapi air ini biasa dipergunakan oleh masyarakat sekitar untuk usaha
perikanan. Pengolongan air yang diatas masih termasuk dalam bagian air,
badan air atau air permukaaan, dimana pada air badan air ini memiliki batas
syarat yang disesuiakan dengan peruntukannya. Selain bahan-bahan beracun,
adanya pencemaran zat organik diketahui antara lain dengan memeriksa kadar
ooksigen terlarut (dissolved oxygen=DO), kebutuhan biologic akan oksigen
(Bologycal Oxygen Demand = BOD), kebutuhan kimiawi akan oksigen
(Chemical Oxygen Demand=COD). Air badan air mempunyai daya
pemurnian alami (self purification). Bila kemasukan bahan pencemar akan
diuraikan secara biologic oleh mikroorganisme yang ada di dalam air dengan
kebutuhan oksigen terlarut menjadi hasil uraian yang stabil. Dari zat organic
diuraikan menjadi senyawa nitrat sulfat,karbonat,fosfat dan sebagainya oleh
bakteri aerob. Akan tetapi bila bahan pencemar organiknya terlalu tinggi,
oksigen terlarut yang ada akan makin berkurang sampai menjadi nol.
Akibatnya yang bekerja adalah bakteri anaerob, dengan hasil akhir nitrit,
amonia, asam sulfide dan sebagainya yang manimbulkan bau,dalam hal ini
terjadi pembusukan.

58
DO
Dari data di atas nilai DO pagi hari ialah 1,86 ppm, pada siang hari
sebesar 1,92 ppm, sedangkan pada malam hari sebesar 0,96 ppm. Oksigen
terlarut dalam laut dimanfaatkan oleh organisme perairan untuk respirasi dan
penguraian zat-zat organik oleh mikroorganisme. Konsentrasi oksigen terlarut
dalam keadaan jenuh bervariasi tergantung dari suhu dan tekanan atmosfir
(Fardiaz, 1992).
Oksigen merupakan faktor pembatas dalam penentuan kehadiran
makhluk di dalam air. Adanya perbedaan DO antara pagi, siang dan malam
ini tergantung pada :
a) Suhu
b) Kehadiran tanaman fotosintesis, banyaknya tanaman fotosintesis seperti
fitoplankton akan meningkatkan jumlah DO.
c) Tingkat penetrasi cahaya yang bergantung kepada kedalaman dan
kekeruhan air.
d) Tingkat kederasan aliran air, semakin deras aliran air maka DO juga
semakin tinggi.
e) Jumlah bahan organik yang diuraikan dalam air seperti sampah,
ganggang mati atau limbah industri (Sastrawijaya,2).

Kadar CO2
Kadar CO2 pada pagi hari sebesar 19,25 ppm, sedangkan siang hari
sebesar 15,98 ppm dan malam hari sebesar 27,39 ppm. Perbedaan jumlah
CO2 ini disebabkan oleh adanya proses dekomposisi bahan organik, proses ini
juga ditentukan oleh jenis bahan organiknya. Beberapa penelitian
membuktikan bahwa jenis bahan organik yang berbeda menghasilkan jumlah
CO2 yang berbeda pula dalam proses dekomposisinya pada endapan sungai
atau danau. Bahan organik yang berasal dari tanaman air diketahui akan
menghasilkan jumlah CO2 lebih banyak dibandingkan dengan bahan organik
yang berasal dari tanaman darat. Hasil analisis kimiawi terhadap kedua
kelompok tanaman tersebut juga menyatakan bahwa tanaman air segar
mempunyai kadar nutrien yang lebih banyak dibandingkan dengan daun

59
tanaman darat. Bakteri pada umumnya akan lebih aktif pada bahan-bahan
organik yang kaya nutrien sehingga CO2 yang dihasilkan akan lebih banyak.
Kandungan CO2 dapat juga lebih banyak terutama pada perairan yang
mengandung karbon organik terlarut atau (DOC) tinggi. Karbon organik
terlarut pada umumnya berada pada proses pembusukan sehingga dapat
menjadi sumber CO2 yang potensial.
Air yang berada dalam proses keseimbangan dengan udara pada
umumnya hanya mengandung 0,5 ppm CO2. sedangkan tanaman air banyak
yang memerlukan CO2 lebih banyak dari jumlah tersebut. Oleh karena itu,
tanaman air bisa diduga tidak akan bertahan hidup di alam bila tidak
mendapatkan tambahan CO2 yang berasal dari proses dekomposisi bahan
organik, kecuali tanaman air yang mampu mendapatkan karbon dari bahan
selain CO2.

Kadar BOD
Pengujian yang berhubungan dengan kandungan oksigen dalam air
dibedakan menjadi 2, yakni :
a) Uji BOD (Biochemical Oxygen Demand test = uji kebutuhan oksigen
biokimia)
b) Uji COD (Chemical Oksigen Demand test = uji kebutuhan oksigen kimia)
BOD/KOB merupakan suatu analisis empiris yang mendekati secara
global proses-proses mikrobiologis yang benar-benar terjadi di dalam air.
Angka BOD ialah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri untuk
menguraikan (mengoksidasikan) hampir semua zat organik yang terlarut dan
sebagian zat-zat organik yang tersuspensi dalam air. BOD menunjukkan
jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan organisme hidup untuk menguraikan
atau mengoksidasi bahan-bahan buangan dari dalam air. Jika nilai BOD
menunjukkan jumlah bahan organik yang sebenarnya tetapi hanya mengukur
secara relatif jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan-
bahan buangan tersebut. Jika konsumsi oksigen tinggi yang ditunjukkan
dengan semakin kecilnya sisa oksigen terlarut di dalamnya, maka berarti
kandungan bahan buangan yang membutuhkan oksigen ialah tinggi.

60
Organisme hidup yang bersifat aerobik membutuhkan oksigen untuk proses
reaksi biokimia yang akan dihabiskan dalam waktu 5 hari oleh pengurai
aerobik dalam suatu volume limbah pada suhu 200C. Hasilnya dinyatakan
dengan ppm. Jadi BOD sebesar 200ppm berarti bahwa 200 mg oksigen akan
dihabiskan oleh sampel limbah sebanyak 1 liter dalam waktu 5 hari pada suhu
200C.
Pemeriksaan BOD didasarkan atas reaksi oksidasi zat organik dengan
oksigen di dalam air dan proses tersebut berlangsung karena adanya bakteri
aerobik. Sebagai hasil oksidasi akan terbentuk karbondioksida, air dan
amoniak.
Reaksi oksidasi dapat dituliskan sebagai berikut :
CnHaObNc + (n+a/4 – b/2 – 2c/4)O2 nCO2 + cNH3
Atas dasar tersebut yang memerlukan kira-kira 2 hari supaya 100%
dimana 50% raksi telah tercapai, 5 hari supaya 75% dan 20 hari supaya 100%
tercapai, maka pemeriksaan BOD dapat dipergunakan untuk menaksir beban
pencemaran zat organik. Reaksi biologis pada tes BOD dilakukan pada
temperatur 200C dan dilakukan selama 5 hari (BOD205). Demikian jumlah zat
organik yang ada di dalam air diukur melalui jumlah oksigen yang
dibutuhkan oleh bakteri untuk mengoksidasi zat organik.
Karena reaksi BOD dilakukan di dalam botol tertutup maka jumlah
oksigen yang telah dicapai ialah perbedaan antara kadar oksigen di dalam
larutan paad saat t=0 (biasanya baru ditambah oksigen dengan aerasi hingga =
9 mg O2) dan kadarnya pada t=5 hari (konsentrasi sisa harus ≥ 2 mg O2/l agar
supaya hasil cukup teliti).

Tabel 6. standar BOD untuk Penentuan Kualitas Air


Kondisi umum air BOD
Sangat bersih 1 ppm
Bersih 2 ppm
Agak bersih 3 ppm
Diragukan kebersihannya 4 ppm
Tidak bersih 5 ppm

61
Berdasarkan hasil perhitungan, dapat terlihat bahwa BOD yang
diperoleh pada pagi, siang, dan malam hari yakni rata-rata nilainya sebesar
1,32 ppm. Ini menunjukkan bahwa kandungan oksigen bahan buangan yang
harus diuraikan tinggi, oksigennya sedikit. Hal ini karena oksigen yang
digunakan untuk konsumsi dan bahan tereduksi ikut terhitung.
pH
pH merupakan perubahan konsentrasi hydrogen. Air dapat bersifat
asam atau basa. Bergantung pada beasar kecilnya pH air atau konsentrasi
hydrogen dalam air. Hasil yang kami peroleh menunjukkan bahwa pH di
Pantai Bama pada pagi, siang, dan malam hari adalah 7, 7.2, 7.7. Hal ini
sesuai dengan prinsip , bahwa pH air normal air laut tidak pernah kurang dari
7, menunjukkan bahwa perairan tersebut bersifat basa.
Suhu
Terdapat perbedaan suhu dari pagi, siang, dan malam yaitu 26,810C,
35,40C dan 25,40C. Suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
kehidupan dan pertumbuhan organisme perairan. Perbedaan suhu antara pagi,
siang, dan malam disebabkan intensitas cahaya matahari. Intensitas cahaya
matahari pada pagi hari lebih lemah dibandingkan dengan siang hari yang
intensitas cahayanya sangat kuat, sedangkan pada malam hari intensitasnya
lebih kecil debandingkan dengan siang hari, karena pada malam hari cahaya
matahari sangat lemah bahkan tidak ada sama sekali.
Suhu air mempunyai peranan penting dalam kecepatan laju
metabolisme dan respirasi biota air serta proses metabolisme ekosistem
perairan sehingga suhu air bukan saja merupakan parameter fisik yang
mempengaruhi sifat kimia perairan, tetapi juga sifat fisiologi organisme pada
medium air tersebut.
Suhu air berbeda-beda sesuai dengan iklim dan musim. Hal ini
mempengaruhi proses pertukaran zat atau metabolisme dari makhluk hidup
juga mempengaruhi kadar oksigen terlarut dalam air. Makin tinggi suhu
perairan maka makin cepat pula perairan tersebut mengalami kejenuhan akan
oksigen.

62
Pada suhu yang tinggi, ikan akan mengalami kenaikan kecepatan
respirasi. Suhu yang tinggi juga akan menurunkan jumlah oksigen terlarut di
dalam air, sehingga ikan dan hewan air dapat mati. Suhu yang relatif tinggi
ditandai dengan munculnya ikan-ikan dan hewan air lainnya ke permukaan
untuk mencari oksigen.
Salinitas air
Salinitas air Pantai Bama Baluran, Situbondo pada pagi, siang, dan
malam hari sebesar 3,2. Salinitas ialah banyaknya zat yang terlarut. Zat padat
terlarut meliputi garam-garam anorganik, senyawa-senyawa organik yang
berasal dari organisme hidup, dan gas-gas terlarut (Nybakken, 1992).

63
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Dari hasil penelitian yang telah kami lakukan diperoleh kesimpulan
bahwa:
1. Kadar DO tertinggi terjadi pada siang hari karena plankton pada saat itu
aktif melakukan fotosintesis dengan adanya cahaya dari matahari.
2. Makin tinggi suhu perairan, kelarutan O2 makin naik sejalan dengan
kecepatan fotosintesis yang dilakukan fitoplankton yang ada di perairan
tersebut.
3. Kadar CO2 dalam air dipengaruhi oleh suhu dan frekuensi cahaya
(intensitas cahaya matahari) yang digunakan untuk proses fotosintesis.
Semakin tinggi sushu perairan, kelarutan CO2 makin turun sejalan
dengan kecepatan fotosintesis yang dilakukan fitoplankton yang ada pi
perairan tersebut.
4. Kadar CO2 dan O2 terlarut dalam air dipengaruhi oleh suhu, kelembaban,
dan intensitas cahaya (matahari) yang digunakan untuk proses
fotosintesis.

B. Saran
Dalam mengukur kadar CO2, DO, salinitas, suhu, BOD menggunakan
metode yang benar sehingga didapatkan hasil yang valid.

64
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010. Informasi TN Baluran. Diakses melalui:


http://www.dephut.go.id/INFORMASI/TN%20INDO-
ENGLISH/tn_baluran.htm pada tanggal 20 mei 2011.

Dzaki, Ramli. 1989. Ekologi. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Naughton, M.C. dan Larry, L. Wolf. 1990. Ekologi Umum. Yogyakarta:


Universitas Gadjahmada.

Nyabakken, James W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologi. Jakarta: PT.
Gramedia.

Odum, Yanney J. 1994. Dasar-Dasar Ekologi. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press.

Supriatno, Bambang. 2001. Petunjuk praktikum Ekologi. Surabaya: Universitas


Pendidikan Indonesia.

Tim ekologi. 2011. Panduan Praktikum Ekologi. Surabaya: UNIPRESS.

65
LAMPIRAN
 Sampel air yang sudah diberi MgSO4 dan KOH-KI

 Ditetesi H2SO4

Dikocok

 Sampel air dimasukkan ke dalam Erlenmeyer

 Ditetesi Na2S2O3

66
LAPORAN
PLANKTON

67
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kurang lebih 71% dari permukaan bumi ditutupi oleh lautan dengan
luas ± 361% juta km3 dengan kedalaman rata-rata 4 km dan bagian terdalam
± 10 km dalamnya (Meconnaughey dan Zottoli,1983). Karena di seluruh
volume air yang besar ini terdapat kehidupan, maka lautan merupakan satu-
satunya tempat kumpulan organisme yang sangat besar di planet bumi.
Organisme-organisme itu sangat bervariasi dan praktis mewakili semua fila.
Segenap organisme ini dipengaruhi oleh sifat air laut yang ada
disekelilingnya, dan banyak bentuk-bentuk yang dijumpai pada tumbuhan –
tumbuhan dan binatang ini merupakan hasil penyesuaian diri terhadap air laut
dan pergerakannya. Dalam pengertian luas ekosistem dibagi menjadi 2
kelompok besar, yaitu ekosistem darat dan ekosistem perairan, ekosistem
perairan merupakan ekosistem dengan air sebagai habitatnya. Terdapat
perbedaan-perbedaan fisik yang mendasar antara ekosistem darat dengan
perairan yang akhirnya dapat mengakibatkan adanya perbedaan organisasi
komunitas yang menghuni kedua lingkungan hidup tersebut. Perbedaan yang
paling mencolok dan mudah diamati ialah kelompok organisme yang hanyut
bebas dalam laut dan sangat lemah daya renangnya. Kelompok organisme ini
dinamakan plankton.
Plankton adalah suatu organisme yang berukuran kecil yang hidupnya
terombang-ambing oleh arus dilautan bebas. Plankton terdiri dari makhluk-
makhluk yang hidupnya sebagai hewan (zooplankton) dan sebagai tumbuh-
tumbuhan (fitoplankton). Zooplankton termasuk golongan hewan perenang
aktif yang dapat mengadakan migrasi vertical pada beberapa lapisan perairan,
tetapi kekuatan berenang mereka sangat kecil dibanding dengan kekuatan
gerakan arus laut itu sendiri. Kecilnya ukuran plankton tidaklah mengandung
arti bahwa mereka itu organisme yang kurang penting. Anggapan itu kurang
benar, karena mereka ini merupakan sumber makanan bagi ikan komersial
yang hidup dilautan. Pertumbuhan fitoplankton dipengaruhi oleh salah

68
satunya oleh cahaya, wilayah yang cukup banyak dihuni oleh organisme laut
yang memanfaatkan cahaya untuk memasak makanan sendiri (fotosintesis)
khususnya pada fitoplankton (Hutabarat dan Evans,1985). Perubahan
terhadap kualitas perairan erat kaitannya dengan potensi perairan ditinjau
dari kelimpahan dan komposisi fitoplankton dan zooplankton. Keberadaan
fitoplankton dan zooplankton disuatu perairan dapat memberikan informasi
mengenai kondisi perairan. Fitoplankton dan zooplankton merupakan
parameter biologi yang dapat dijadikan indikator untuk mengevaluasi
kualitas dan tingkat kesuburan suatu perairan. Fitoplankton dan zooplankton
juga merupakan penyumbang oksigen terbesar di dalam suatu perairan.
Pentingnya peranan fitoplankton dan zooplankton sebagai pengikat awal
energi matahari menjadikan fitoplankton dan zooplankton berperan penting
bagi kehidupan laut. Dengan demikian keberadaaan fitoplankton dan
zooplankton dapat dijadikan indikator kualitas perairan yakni, gambaran
tentang banyak atau sedikitnya jenis fitoplankton dan zooplankton yang
mendominasi, adanya jenis fitoplankton dan zooplankton yang dapat hidup
karena zat-zat tertentu yang sedang blooming, dapat memberikan gambaran
mengenai keadaan perairan yang sesungguhnya (Ferianita,2005)

B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas rumusan masalah yang dapat
diajukan adalah:
1. Berapa nilai Indeks Keanekaragaman Plankton di Pantai Bama Baluran,
Situbondo?
2. Berapa nilai Indeks Keseragaman Plankton di Pantai Bama Baluran,
Situbondo?
3. Berapa nilai Indeks Dominasi Plankton di Pantai Bama Baluran,
Situbondo?
4. Bagaimana tingkat keanekaragaman jenis plankton yang terdapat di Pantai
Bama Baluran, Situbondo?

69
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini
adalah:
1. Untuk mengetahui nilai Indeks Keanekaragaman Plankton di Pantai Bama
Baluran, Situbondo.
2. Untuk mengetahui nilai Indeks Keseragaman Plankton di Pantai Bama
Baluran, Situbondo.
3. Untuk mengetahui nilai Indeks Dominasi Plankton di Pantai Bama
Baluran, Situbondo.
4. Untuk mengetahui tingkat keanekaragaman jenis plankton yang terdapat di
Pantai Bama Baluran, Situbondo?

D. Manfaat
Adapun manfaat yang dapat diperoleh setelah melakukan penelitian ini
adalah:
1. Mengetahui keanekaragaman plankton yang ada di Pantai Bama Baluran
Situbondo.
2. Sebagai bahan referensi bagi pembaca untuk melakukan penelitian lebih
lanjut.

70
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Pantai Bama
Taman Nasional Baluran dengan luas 25.000 Ha wilayah daratan dan
3.750 Ha wilayah perairan terletak di antara 114° 18' - 114° 27' Bujur Timur
dan 7° 45' - 7° 57' Lintang Selatan. Daerah ini terletak di ujung Timur pulau
Jawa. Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Madura, sebelah Timur
berbatasan dengan Selat Bali, sebelah Selatan berbatasan dengan Sungai
Bajulmati dan sebelah Barat berbatasan dengan Sungai Kelokoran. Selain itu,
terdapat pula pantai yang landai dan berpasir putih, formasi terumbu karang
dan ikan hias yang indah. Iklimnya bertipe Monsoon yang dipengaruhi oleh
angin Timur yang kering. Curah hujan berkisar antara 900 - 1600 mm/tahun,
dengan bulan kering per tahun rata-rata 9 bulan. Antara bulan Agustus s/d
Desember bertiup angin cukup kencang dari arah Selatan. Pada bagian tengah
dari kawasan ini terdapat Gunung Baluran yang sudah tidak aktif lagi. Tinggi
dinding kawahnya bervariasi antara 900 - 1.247 m, dan membatasi kaldera
yang cukup luas.

Gambar 1. Peta Lokasi Taman Nasional Baluran

71
Pantai merupakan daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air
pasang tertinggi dan air surut terendah. Berdasarkan substratnya, habitat
pantai dapat dibagi menjadi tiga yaitu pantai berbatu, pantai berpasir, dan
pantai belumpur. Selain itu, terdapat tipe pantai lain yang merupakan
kombinasi dari ketiga substrat tersebut. Misalnya, pantai berlumpur dan
berbatu, pantai berlumpur dan berpasir, dan lain-lain.
Pantai Bama adalah salah satu bentuk pantai yang berpasir dan
berbatu. Pantai ini memiliki struktur pasir yang halus. Faktor lingkungan
yang dominan beraksi pada pantai pasir adalah gerakan ombak yang
membentuk substrat yang tidak stabil dan terus menerus bergerak (Nybaken,
1992). Subtrat berpasir umumnya miskin akan organisme, tidak dihuni oleh
kehidupan makroskopik, selain itu kebanyakan bentos pada pantai berpasir
akan mengubur diri dalam substrat. Kelompok organisme yang mampu
beradaptasi pada kondisi substrat pasir adalah organisme infauna makro yang
berukuran sekitar 1 -10 cm yang mampu mengali pasir, dan organisme
meiofauna mikro yang berukuran sekitar 0,1 – 1 mm yang hidup diantara
butiran pasir (Ardi, 2002).
Selain itu, pantai Bama juga merupakan pantai yang berbatu yang
terdiri dari batu granit yang memanjang ke laut dan terbenam air. Batu yang
terbenam di air ini menciptakan suatu zonasi habitat karena adanya perubahan
naik turunnya permukaan air laut akibat proses pasang yang menyebabkan
adanya bagian yang selalu tergenang air, selalu terbuka terhadap matahari,
serta zona diantaranya yang tergenang pada pasang naik dan terbuka pada
pasang surut. Zonasi pada habitat ini mengakibatkan adanya zonasi
organisme yang menghuni pada batuan tersebut. Zonasi komunitas biota di
batu-batu yang dipengaruhi oleh fenomena pasang lebih nyata daripada
tempat lain karena batu menyediakan tempat menempel yang baik dan juga
perlindungan bagi mereka. Komunitas biota di daerah berbatu jauh lebih
kompleks dari daerah lain karena bervariasnya relung (niche) ekologis yang
disediakan oleh genangan air, celah-celah batu, permukaan batu, dan
hubungan mereka yang bervariasi terhadap cahaya, gerakan air, perubahan
suhu dan faktor lain (Dahuri, et al, 2001).

72
Gambar 2. Pantai Bama Baluran

B. Faktor Fisika Kimia Air


Suhu
Suhu sangat berpengaruh terhadap kelarutan oksigen populasi termal
pada organisme air terjadi optimum. Kenaikan suhu air laut menyebabkan
laju metabolisme hewan-hewan yang ada di dalamnya meningkat dan oksigen
yang tekandung dalam air menurun. Kenaikan suhu biasanya meningkat
akibat keracunan pencemaran kimia dalam air. Perubahan suhu menyebabkan
pola sirkulasi yang khas dan stratifikasi yang amat mempengaruhi kehidupan
akuatik (Odum, 1993).
Suhu merupakan faktor fisik yang sangat penting di laut. Bersama
dengan salinitas, mereka dapat digunakan dalam pengidentifikasian massa air
tertentu dan bersama-sama dengan tekanan mereka dapat digunakan untuk
menentukan densitas air laut dan distribusi organisme laut (Romimohtarto
dan Juwana, 2001).
Suhu yang tinggi dapat menambah daya racun senyawa-senyawa NO3,
NH3, dan NH3N terhadap hewan akuatik, serta mempercepat metabolisme.
Meningkatnya suspensi bahan-bahan organik dapat menyebabkan
peningkatan temperatur dan penurunan pH, sehingga dapat menyebabkan

73
penurunan kadar oksigen terlarut dan meningkatnya toksisitas bahan-bahan
beracun (Odum, 1993).
Suhu pada permukaan laut sangat bervariasi, pada laut terbuka di
daerah tropis sebesar 300 C atau lebih dan pada daerah panatai mencapai 400
C (Laili dan Parson (dalam Arlina, 2004)). Suhu mempunyai kisaran luas,
baik secara harian maupun musiman. Kisaran ini dapat melebihi batas
toleransi organisme laut. Suhu juga mempunyai pengaruh tidak langsung,
yaitu organisme laut dapat mati karena kekurangan air yang dipercepat
dengan meningkatnya suhu (Nybaken, 1992).

Oksigen Terlarut (DO)


Oksigen terlarut sangat penting bagi pernafasan organisme akuatik
(Odum, 1993). Oksigen adalah gas yang tidak berbau, tidak berwarna dan
tidak berasa. Oksigen yang terlarut dalam air oleh makhluk hidup air
digunakan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya yaitu untuk
metabolisme jasad air seperti respirasi. Kelarutan O2 dalam air dipengaruhi
oleh faktor fisika, kimia dan biokimia yang terjadi dalam badan air. Kelarutan
oksigen dipengaruhi oleh faktor suhu. Pada suhu tinggi maka DO akan rendah
dan pada suhu rendah maka DO akan tinggi. Setiap spesies mempunyai
kisaran toleransi berbeda terhadap konsentrasi DO. Spesies dengan kisaran
toleransi lebar terhadap oksigen maka penyebarannya akan luas berbeda
dengan spesies yang mempunyai kisaran toleransi sempit.
Faktor lain yang mempengaruhi kelarutan O2 dalam air adalah
golakan dipermukaan air, luas daerah permukaan air yang terbuka bagi
atmosfer, tekanan atmosfer dan persentase O2 dalam udara di sekelilingnya,
serta kehadiran tanaman berfotosintesis. Selain itu juga, dipengaruhi oleh
konsentrasi bahan organik dalam air dimana makin banyak bahan organik
dalam air maka bakteri pengurai akan berlipat ganda, hal ini mengurangi
kadar O2 dalam air. Adanya bahan organik ini disebabkan oleh tindakan
manusia yan terus menerus membuang sampah organik ke dalam air,
sehingga menimbulkan kondisi anaerob.

74
Karbondioksida (CO2) bebas
Karbondioksida sangat mudah larut dalam air tetapi sangat sedikit
karbondioksida berada dalam larutan biasa karena jumlahnya dalam udara
atmosfer sanat sedikit. Selain dekomposisi bahan organik dan pernafasan
tumbuhan air dalam hal ini fitoplankton dan zooplankton memberi
sumbangan pada karbondioksida yang sudah ada. Karbondioksida bergabung
secara kimiawi dengan air membentuk asam karbonat yang mempengaruhi
pH air. Dalam air yang asam dengan pH rendah, CO2 diubah menjadi bentuk
bebas. Pada pH yang mendekati netral hampir semua CO2 sebagai karbonat
dan dengan bertambahnya ion-ion bikarbonat dan karbonat menyebabkan air
cenderung bersifat basa dan menahan perubahan ion hidrogen, sehingga
menyebabkan fluktuasi pH yang minimum dalam sistem air tawar.
Fotosintesis fitoplankton sebagai tumbuhan air, agitasi air, dan
penguapan menyebabkan hilangnya CO2 dalam sistem air tawar. Disamping
itu dalam sistem air banyaknya CO2 mempengaruhi kecepatan metabolisme
dan pertumbuhan, orientasi maupun pergerakan beberapa hewan air,
zooplankton dan invertebrata yang lain (Boy, 1988 dalam Purwandari, 2005).
Salinitas
Salinitas adalah jumlah berat semua garam (dalam garam) yang
terlarut dalam 1 liter air, biasanya dinyatakan dalam satuan ‰ (per mil,
gram/liter). Salinitas, pada zona terbuka saat surut dan digenangi air hujan
maka salinitas akan menurun. Di perairan samudera, salinitas biasanya 30‰ -
36‰. Rentangan salinitas yang cocok untuk organisme-organisme seperti
fitoplankton tidak boleh terlalu keras, yaitu sekitar 25‰ – 34 ‰. Dalam
artian perubahannya tidak terlalu drastis, karena bila terjadi penurunan
salinitas yang melewati batas toleransi maka organisme yang berada pada
daerah itu akan mati (Nybaken, 1988).
Perubahan salinitas yang dapat mempengaruhi organisme terjadi di
zona intertidal melalui dua cara. Pertama, jika pada saat air surut terjadi hujan
maka daerah ini akan dibanjiri oleh air tawar sehingga salinitas akan turun
yang jika sampai melewati batas toleran dapat membunuh organisme yang
ada. Kedua, jika pada saat air surut cuaca sangat panas maka akan terjadi

75
evaporasi yang dapat meningkatkan salinitas. Di daerah tropis, peningkatan
salinitas bisa mencapai tingkat yang cukup dramatis (Nybaken 1992).

pH (Derajat Keasaman)
Suatu larutan dikatakan bersifat basa atau asam disebabkan adanya
kemampuan air untuk mengikat larutan atau melepaskan sejumlah ion
hidrogen. pH dianggap sebagai faktor pembatas yang penting dan merupakan
indikator yang dapat digunakan untuk menentukan keadaan umum ekologi
lingkungan perairan. Meningkatnya suspensi bahan-bahan organik dapat
menyebabkan meningkatnya temperatur dan penurunan nilai pH, sehingga
dapat mengakibatkan penurunan kadar oksigen terlarut dan meningkatnya
toksisitas bahan – bahan beracun (Odum, 1993).
Menurut Sastrawijaya (1991) air yang mempunyai pH 6,7 – 8,6
mendukung populasi organisme dalam air. pH perairan air tawar pada
umumnya berkisar antara 4-5 dapat membatasi keanekaragaman spesies
tertentu sedangkan batasan pH yang ideal pada perairan untuk fitoplankton
yaitu antara 7,5 – 8,5. Kondisi air yang sedikit basa lebih cepat mendorong
proses pembongkaran bahan organik menjadi mineral seperti nitrat dan fosfat
yang merupakan makanan bagi fitoplankton.

C. Plankton
Sachlan (1982) mendefinisikan plankton sebagai jasad renik yang
melayang dalam air, tidak dapt bergerak secara aktif atau bergerak sedikit dan
selalu mengikuti arus. Plankton dibedakan atas tumbuhan (fitoplankton) dan
hewan (zooplankton)
Fitopankton (dari bahasa Yunani phyton atau tumbuhan), alga
autotrophic, prokaryotik ataupun eukaryotik yang tinggal dekat permukaan air
dimana ada cahaya yang cukup untuk mendukung fotosintesis. Fitoplankton
merupakan organisme plankton yang paling banyak jumlahnya. Umumnya
fitoplankton berukuran besar dan mudah ditangkap oleh jaring plankton
terdiri dari dua kelompok besar yaitu diatom dan dinoflagellata. Sebagai dasar
dari seluruh rantai makanan, diatoms merupakan producer primer pertama

76
yang di manfaatkan oleh consumer seperti zooplankton, ikan kecil, udang
kecil dan atau beberapa bivalve yang menyring makanan dari badan air
(suspension feeder).

Gambar 3 Rantai makanan

Fitoplankton banyak sekali terdapat di permukaan air karena perlu


oksigen untuk fotosintesis. Semua jenis fitoplankton yang termasuk alga
mempunyai klorofil dan berkedudukan sebagai produsen primer. Dengan
bantuan klorofil dan pigmen lainnya, fitoplankton dapat menyerap energi
yang dipancarkan matahari untuk melakukan fotosintesis. Karena untuk
melakukan fotosintesis sangat diperlukan cahaya, maka fitoplankton hanya
dijumpai pada bagian perairan yang ditembus sinar matahari dengan panjang
gelombang 0,4 – 0,8 mikron (Sachlan, 1982). Batas antara daerah yang
ditembus cahaya (disphotic) disebut garis kompensasi. Jadi fitoplankton
hanya dijumpai pada daerah di atas garis kompensasi. Kelimpahan dan
penyebaran fitoplankton selain dipengaruhi oleh penetrasi cahaya, juga
dipengaruhi sifat-sifat fisika kimia seperti : pH, salinitas, kadar O2 terlarut,
karbondioksida (CO2) bebas dan lainnya.
Keanekaragaman plankton dapat menggambarkan struktur komunitas
organisme suatu perairan. Keanekaragaman plankton menunjukkan jumlah
spesies atau kelimpahan spesies serta menunjukkan keseimbangan komunitas.

77
Keanekaragaman plankton akan berkurang bila suatu komunitas didominasi
oleh satu atau sejumah kecil spesies. Hal ini dapat terjadi jika individu dari
spesies tertentu digantikan oleh spesies yang mampu berkembangbiak cepat.
Fitoplankton terdiri dari berbagai alga yang tersusun dari beberapa divisi
yaitu: Chlorophyta, Cyanophyta, Rhodiphyta, Euglenophyta, Phaeophyta,
Chrysophyta dan Pyrrophyta.

Gambar 4. Spirulina

Berlawanan dengan fitoplankton, yang didominasi oleh dua kelompok


tumbuhan, zooplankton yang merupakan anggota plankton yang bersifat
hewani, sangat beraneka ragam dan terdiri dari bermacam larva dan bentuk
dewasa yang mewakili hampir seluruh filum hewan. Namun demikian ,dari
sudut ekologi hanya satu golongan zooplankton yang sangat penting artinya,
yaitu subklas copepoda (klas Crustacea, filum arthropoda) (Nybakken, 1992).
Selain copepoda yang sanagt dominan, dalam crustacea juga terdapat
anggota-anggota ordo Cladocera, subklas Ostracoda, ordo Mysidacea, ordo
Amphipoda, ordo Euphausiaceae dan ordo Decapoda.
Zooplankton melakukan migrasi harian yang dilakukan ke arah dasar
laut pada siang hari dan ke arah permukaan laut pada malam hari (Nybakken,
1992). Dinyatakannya bahwa tujuan dari migrasi ialah:
1. untuk menghindari pemangsaan oleh para predator yang mendeteksi
mangsa secara visual.

78
2. untuk mengubah posisi dalam kolam air.
3. sebagai mekanisme untuk meningkatkan produksi dan menghemat energi.

D. Distribusi Vertikal Plankton


Pada lapisan perairan bagian dalam, fitoplankton lebih jarang
dijumpai dibandingkan pada bagian permukaan. Penyebab utama terjadinya
distribusi seperti ini, terutama karena fitoplankton perlu cahaya dengan
intensitas tertentu untuk melakukan fotosintesis. Distribusi seperti itu tetap
dijumpai pada perairan dengan salinitas, suhu, kadar O2, fosfat, nitrit dan
nitrat yang homogen (Ryther dan Hulburd, 1969 dalam Bougis, 1976).
Distribusi vertikal plankton pada perairan yang dangkal kurang
bervariasi bila dibandingkan pada perairan dalam. Demikian juga pada
perairan mengalir distribusi vertikal plankton berbeda dengan perairan yang
menggenang. Kemampuan plankton untuk tetap berada pada suatu kedalaman
tertentu dipengaruhi oleh ukuran dan bentuk tubuhnya. Ada pengurangan
berat tubuh yang disebabkan oleh pengurangan berat skeleton atau cangkok,
adanya bahan seperti gelatin dan pemeliharaan keseimbangan tekanan
osmotik dengan aari laut oleh ion-ion yang ringan seperti sulfat merupakan
bentuk adaptasi plankton untuk mempertahankan dirinya pada kedalaman
tertentu (Bougis, 1976). Perubahan suhu juga mempengaruhi laju
pertumbuhan plankton, terutama fitoplankton.
Perubahan suhu yang drastis juga dapat menyebabkan kematian
mendadak pada biota perairan. Kenaikan suhu perairan akan menyebabkan
laju respirasi biota semakin tinggi, sehingga dibutuhkan O2 yang lebih
banyak. Jadi jelas akan mempengaruhi kadar O2 terlarut dalam perairan.

E. Indeks Diversitas Plankton


Diversitas jenis merupakan gambaran struktur komunitas. Suatu
komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman jenis yang tinggi jika
disusun oleh banyak jenis (taksa) yang mempunyai kelimpahan individu
masing-masing jenis sama besar atau hampir sama besar kuantitasnya,

79
sedangkan suatu komunitas punya keanekaragaman jenis rendah jika disusun
oleh sedikit jenis dengan jumlah individu yang melimpah (Michael, 1994).
Untuk menentukan diversitas jenis plankton yang menggambarkan
suatu kesatuan interaksi organisme dapat dilakukan dengan mengukur indeks
diversitas plankton yang merupakan pernyataan matematik untuk
mempermudah analisis informasi tentang jenis dan jumlah organisme. Indeks
diversitas plankton adalah rasio antara jumlah individu suatu jenis terhadap
jumlah total individu semua jenis yang ditemukan (Odum, 1993).
Menurut Michael (1994) dasar untuk menentukan indeks diversitas
adalah dengan menempatkan atau menyertakan perhitungan terhadap jumlah
jenis (taksa) dan keterjadian individu masing-masing jenis yang terkoleksi
dalam sampling. Ada tiga persamaan untuk menentukan indeks diversitas
plankton, yaitu indeks diversitas Magurran, indeks diversitas Simpson dan
indeks diversitas Shanon-Weiner.
a. Menentukan indeks keanekaragaman plankton (H) menggunakan rumus
(Shanon-weiner(1949) dalam Dianthani (2003)):
S
Ni Ni
H   log e
N N
i 1
Keterangan: Ni = jumlah individu genus ke i
N = jumlah total genus
H = Indeks dominansi Simpson
Kisaran total Indeks Keanekaragaman dapat diklasifikasikan sebagai
berikut (modifikasi Wilhm dan Dorris (1968) dalam Mason (1981) dalam
Dianthani (2003)):
 H’ < 2,3026 : keanekaragaman kecil dan kestabilan
komunitas rendah
 2,3026 <H’> 6,9078 : keanekaragaman sedang dan kestabilan
komunitas sedang
 H’ > 6,9078 : keanekaragaman tinggi dan kestabilan
komunitas tinggi

80
b. Menentukan indeks keseragaman plankton (E) dan indeks dominasi
plankton menggunakan rumus (Magurran(1982) dalam Dianthani (2003)):
H
E
H max
Keterangan : E = indeks keseragaman plankton
H max = Ln S
S = Jumlah total genus
Karena N = S maka rumus untu menetukan E dapat diturunkan sebagai
H
berikut: E 
H max
H
E
H ln S
H
E
H ln N
Indeks Keseragaman berkisar antara 0-1. Apabila nilai mendekati 1
sebaran individu antar jenis merata. Nilai E mendekati 0 apabila sebaran
individu antar jenis tidak merata atau ada jenis tertentu yang dominan.
c. Menentukan indeks dominansi plankton menggunakan rumus
(Simpson(1949) dalam Dianthani (2003)):
Ni 2
D x 100 %
N2
Keterangan: Ni = jumlah individu genus ke i
N = jumlah total genus
H = Indeks dominansi Simpson
dengan kriteria (Odum, 1993) sebagai berikut :
D mendekati 0 tidak ada jenis yang mendominansi dan D mendekati 1
terdapat jenis yang mendominansi.

81
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang kami lakukan termasuk penelitian observasi
karena tidak menggunakan variabel penelitian serta dilakukan secara
langsung di lapangan.

B. Sasaran Penelitian
Sasaran penelitian ini adalah indeks penyebaran plankton di Pantai
Bama Baluran Situbondo.

C. Waktu dan Tempat


Penelitian ini dilakukan di Pantai Bama, Taman Nasional Baluran
pada tanggal 23 Maret 2011 pukul 06.00 dan 12.00 WIB.

D. Alat dan Bahan


Alat:
1. Jaring plankton nomor 25
2. Timba plastik volume 5 liter
3. Botol plankton kecil (vial) volume 15 ml
4. Pipet tetes
5. Sedwick rafther
6. Mikroskop
7. Gelas benda dan gelas kaca
8. Kamera digital
9. Mikroskop
10. Buku identifikasi plankton

Bahan:
1. Sampel air

82
E. Langkah Kerja
Langkah kerja dalam kegiatan praktikum ini adalah :
1. Menentukan lokasi perairan yang akan diambil sampel airnya.
2. Membagi lokasi pengambilan sampel ke dalam 3 titik (tepi, tengah,
ujung)
3. Menyiapkan jaring plankton.
4. Mengisi timba plastik volume 5 liter dengan air sampai penuh. Menuang
air yang ada di dalam timba plastik pada jaring plankton. Pengambilan
air dilakukan 30 kali, untuk mencapai volume 150 liter.
5. Menuangkan air hasil saringan tersebut ke dalam botol plankton (masing-
masing botol diisi 15 ml sampel air)
6. Meneteskan formalin 4% 1 tetes dan menutupnya.
7. Mengulangi langkah 1-6 pada titik tengah dan ujung.
8. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 2 kali, yaitu pada pagi hari dan
siang hari.
9. Mengidentifikasi plankton
10. Menuang sampel air dalam botol ke dalam sedwick rafther volume 1 ml.
11. Menutup dengan kaca benda dan meletakkan pada meja benda
mikroskop.
12. Mengamati dengan mikroskop.
13. Melakukan pengamatan sebanyak 5 kali untuk masing-masing sampel
dari tiap titik.
14. Menghitung jumlah plankton yang didapat. Kemudian hasil plankton
dikalikan 3 karena volume botol plankton 15 ml.
15. Mengidentifikasi plankton sampai dengan genus. Menulis dalam tabel
plankton.
16. Menentukan indeks keanekaragaman plankton (H)
17. Menentukan indeks keseragaman plankton (E) dan indeks dominasi
plankton
18. Menentukan indeks dominansi plankton.

83
BAB IV
DATA DAN PEMBAHASAN

A. Data
Pola Penyebaran komunitas zooplankton Pagi Hari
No Nama Genus Ni N H E D (%)
1 Astramoeba 3 518 0.0298 0.0048 0.003354154
2 Biddulphia 9 518 0.0704 0.0113 0.030187385
3 Blastocladiella 26 518 0.1502 0.024 0.251934229
4 Castia 1 518 0.0121 0.0019 0.000372684
5 Cocepoda 7 518 0.0582 0.0093 0.018261505
6 Cyclops 10 518 0.0762 0.0122 0.037268377
7 Dapnia 4 518 0.0376 0.006 0.00596294
8 Diaptomus 6 518 0.0516 0.0083 0.013416616
9 Didinium 16 518 0.1074 0.0172 0.095407045
10 Endolimax 3 518 0.0298 0.0048 0.003354154
11 Entamoeba 21 518 0.13 0.0208 0.164353543
12 Ergasilus 16 518 0.1074 0.0172 0.095407045
13 Filinia 1 518 0.0121 0.0019 0.000372684
14 Foraminifora 3 518 0.0298 0.0048 0.003354154
15 Hemisiriella 15 518 0.1026 0.0164 0.083853848
16 Leptocylindus 7 518 0.0582 0.0093 0.018261505
17 Macrosetella 40 518 0.1978 0.0316 0.596294033
18 Manfredium 7 518 0.0582 0.0093 0.018261505
19 Metophus 3 518 0.0298 0.0048 0.003354154
20 Microcyclops 5 518 0.0448 0.0072 0.009317094
21 Nadularia 39 518 0.1947 0.0312 0.566852015
22 Naoplius 49 518 0.2231 0.0357 0.894813733
23 Noctiluca 26 518 0.1502 0.024 0.251934229
24 Oikomonas 3 518 0.0298 0.0048 0.003354154
25 Paramecium 12 518 0.0872 0.014 0.053666463

84
26 Pelagothuria 3 518 0.0298 0.0048 0.003354154
27 Petalomonas 3 518 0.0298 0.0048 0.003354154
28 Pheranema 33 518 0.1754 0.0281 0.405852626
29 Polytomella 3 518 0.0298 0.0048 0.003354154
30 Pseudeuphasia 3 518 0.0298 0.0048 0.003354154
31 Sapphirina 3 518 0.0298 0.0048 0.003354154
32 Spirostomum 3 518 0.0298 0.0048 0.003354154
33 Stemtor 1 518 0.0121 0.0019 0.000372684
34 Sterromonas 3 518 0.0298 0.0048 0.003354154
35 Thecamoeba 1 518 0.0121 0.0019 0.000372684
36 Tintinnopsis 5 518 0.0448 0.0072 0.009317094
37 Tripanosoma 5 518 0.0448 0.0072 0.009317094
38 Tullbergella 3 518 0.0298 0.0048 0.003354154
39 Urunema 100 518 0.3175 0.0508 3.726837704
40 Vahlkampfia 2 518 0.0215 0.0034 0.001490735
41 Volvox 15 518 0.1026 0.0164 0.083853848
Jumlah 518 3.0482 0.4877 7.487216947
Rata-rata 0.0743 0.0119 0.182615047

Pola Penyebaran komunitas Fitoplankton Pagi Hari


No Nama Genus Ni N H E D (%)
1 Acanthosphaera 9 1345 0.033504 0.004651 0.004478
2 Bumilleriopsis 3 1345 0.013618 0.00189 0.000498
3 Ceratium 6 1345 0.024144 0.003351 0.00199
4 Chlorella 7 1345 0.027366 0.003799 0.002709
5 Chlorosarcina 30 1345 0.084824 0.011774 0.049751
6 Chrysoamphitrema 36 1345 0.096909 0.013452 0.071641
7 Cladophora 1 1345 0.005356 0.000743 5.53E-05
8 Clamydomonas 9 1345 0.033504 0.004651 0.004478
9 Closteriopsis 51 1345 0.124081 0.017224 0.143779
10 Closterium 7 1345 0.027366 0.003799 0.002709

85
11 Coetoceros 6 1345 0.024144 0.003351 0.00199
12 Coscinodiscus 40 1345 0.104543 0.014512 0.088445
13 Coscino 9 1345 0.033504 0.004651 0.004478
14 Crenotix 7 1345 0.027366 0.003799 0.002709
15 Cryptoonas 1 1345 0.005356 0.000743 5.53E-05
16 Cymatopleura 48 1345 0.118945 0.016511 0.127361
17 Diatomae 48 1345 0.118945 0.016511 0.127361
18 Docidium 14 1345 0.047518 0.006596 0.010835
19 Enteromorpha 29 1345 0.082728 0.011483 0.046489
20 Ephitemia 28 1345 0.080606 0.011189 0.043338
21 Eucocconeis 6 1345 0.024144 0.003351 0.00199
22 Euglena 289 1345 0.33041 0.045864 4.616907
23 Flabellina 2 1345 0.009682 0.001344 0.000221
24 Fragellaria 18 1345 0.057731 0.008014 0.01791
25 Geminella 64 1345 0.144905 0.020114 0.22642
26 Goniumchloris 4 1345 0.017302 0.002402 0.000884
27 Heleophera 1 1345 0.005356 0.000743 5.53E-05
28 Hormidium 3 1345 0.013618 0.00189 0.000498
29 Kentrosphaera 18 1345 0.057731 0.008014 0.01791
30 Leptothrix 35 1345 0.09495 0.01318 0.067716
31 Lyngbia 7 1345 0.027366 0.003799 0.002709
32 Mallomona 21 1345 0.064946 0.009015 0.024378
33 Melosia 64 1345 0.144905 0.020114 0.22642
34 Monas 9 1345 0.033504 0.004651 0.004478
35 Mougeotiopsis 12 1345 0.042105 0.005845 0.00796
36 Navicula 23 1345 0.069576 0.009658 0.029242
37 Neprhrocytium 24 1345 0.071841 0.009972 0.03184
38 Ophiocytium 71 1345 0.155275 0.021553 0.278658
39 Osilatoria 17 1345 0.055246 0.007669 0.015975
40 Peridinium 5 1345 0.020798 0.002887 0.001382
41 Pleurosigma 4 1345 0.017302 0.002402 0.000884

86
42 Polyhedrosis 10 1345 0.036443 0.005059 0.005528
43 Pormidio 2 1345 0.009682 0.001344 0.000221
44 Rizoclonium 27 1345 0.078457 0.010891 0.040298
45 Rhyncocystis 1 1345 0.005356 0.000743 5.53E-05
46 Scgizodictyon 26 1345 0.076281 0.010588 0.037368
47 Schroederia 2 1345 0.009682 0.001344 0.000221
48 Setigera 5 1345 0.020798 0.002887 0.001382
49 Sirodotia 16 1345 0.052717 0.007318 0.014151
50 Skeletonema 1 1345 0.005356 0.000743 5.53E-05
51 Sphaeroplea 10 1345 0.036443 0.005059 0.005528
52 Spirulina 18 1345 0.057731 0.008014 0.01791
53 Stepharophyxis 3 1345 0.013618 0.00189 0.000498
54 Synedra 77 1345 0.163752 0.02273 0.327746
55 Tabelaria 4 1345 0.017302 0.002402 0.000884
56 Thallasiothrix 1 1345 0.005356 0.000743 5.53E-05
57 Thiospirillum 5 1345 0.020798 0.002887 0.001382
58 Tricodesmium 35 1345 0.09495 0.01318 0.067716
59 Zigonemopsis 16 1345 0.052717 0.007318 0.014151
Jumlah 1345 3.330462 0.462298 6.844737
Rata-rata 0.056449 0.007836 0.116012

Pola Penyebaran komunitas zooplankton Siang Hari


No Nama genus Ni N H E D
1 Amnodiscus 5 538 0,04347975 0,00691487 0,00863725
2 Amoeba 4 538 0,03644286 0,00579575 0,00552784
3 Anisonema 1 538 0,01168747 0,00185874 0,00034549
4 Candicia 6 538 0,05014237 0,00797447 0,01243764
5 Chilodonella 3 538 0,02893632 0,00460194 0,00310941
6 Chlamydobotrys 1 538 0,01168747 0,00185874 0,00034549
7 Closterium 6 538 0,05014237 0,00797447 0,01243764
8 Coronastrum 1 538 0,01168747 0,00185874 0,00034549

87
9 Cymatopleura 68 538 0,26142725 0,04157651 1,59754564
10 Dactylogyrus 2 538 0,02079818 0,00330767 0,00138196
11 Daphnia 7 538 0,05649375 0,00898458 0,01692901
12 Discorbis 9 538 0,06843068 0,01088299 0,02798469
13 Entamoeba 15 538 0,09980878 0,01587326 0,07773524
14 Episcuro 3 538 0,02893632 0,00460194 0,00310941
15 Geocenntrophora 5 538 0,04347975 0,00691487 0,00863725
16 Gleomonas 3 538 0,02893632 0,00460194 0,00310941
17 Hemisiriella 30 538 0,16096624 0,02559953 0,31094098
18 Laphospyris 1 538 0,01168747 0,00185874 0,00034549
19 Larva udang 36 538 0,18095953 0,0287792 0,44775501
20 Macrosetella 25 538 0,14261072 0,02268033 0,21593123
21 Mallomonas 3 538 0,02893632 0,00460194 0,00310941
22 Marcosetella 5 538 0,04347975 0,00691487 0,00863725
23 Microstomium 9 538 0,06843068 0,01088299 0,02798469
24 Mycrocyclops 11 538 0,07953457 0,01264891 0,04180429
25 Myxosoma 2 538 0,02079818 0,00330767 0,00138196
26 Onychocamptus 4 538 0,03644286 0,00579575 0,00552784
27 Osphranticum 2 538 0,02079818 0,00330767 0,00138196
28 Paramaecium 2 538 0,02079818 0,00330767 0,00138196
29 Pheranema 6 538 0,05014237 0,00797447 0,01243764
30 Physocypria 3 538 0,02893632 0,00460194 0,00310941
31 Procotyla 6 538 0,05014237 0,00797447 0,01243764
32 Pseudeuphasia 6 538 0,05014237 0,00797447 0,01243764
33 Rangrolaimus 9 538 0,06843068 0,01088299 0,02798469
34 Rhincalannus 1 538 0,01168747 0,00185874 0,00034549
35 Rhopalophyra 18 538 0,11367056 0,01807779 0,11193875
36 Simorhynchotus 5 538 0,04347975 0,00691487 0,00863725
37 Skeletonema 11 538 0,07953457 0,01264891 0,04180429
38 Spathidium 6 538 0,05014237 0,00797447 0,01243764
39 Stentor 38 538 0,18719396 0,0297707 0,49888752

88
40 Stichosticha 10 538 0,07407572 0,01178075 0,034549
41 Tabellaria 41 538 0,19618168 0,03120008 0,58076865
42 Tetraselmis 46 538 0,21026764 0,03344026 0,73105678
43 Tintinnopsis 5 538 0,04347975 0,00691487 0,00863725
44 Tracheulius 6 538 0,05014237 0,00797447 0,01243764
45 Tricodina 1 538 0,01168747 0,00185874 0,00034549
46 Tricosdemium 4 538 0,03644286 0,00579575 0,00552784
47 Uronema 47 538 0,21295988 0,03386843 0,76318735
Jumlah 538 538 3,2366999 0,51475393 5,72476887
rata-rata 0,068865955 0,01095221 0,12180359

Pola Penyebaran komunitas Fitoplankton Siang Hari


No Nama genus Ni N H E D
1 Bacillaria 5 1861 0,015903899 0,00211239 0,0007219
2 Basicladia 24 1861 0,056109388 0,00745257 0,0166314
3 Bidduplhia 17 1861 0,042894224 0,0056973 0,0083446
4 Botrydiopsis 35 1861 0,074730382 0,00992584 0,0353707
5 Bumileriopsis 3 1861 0,010365809 0,00137681 0,0002599
6 Ceriospora 15 1861 0,038856682 0,00516102 0,0064967
7 Chlamydomonas 24 1861 0,056109388 0,00745257 0,0166314
8 Chlorella 11 1861 0,030328164 0,00402825 0,0034938
9 Chlorobotrys 12 1861 0,032524208 0,00431993 0,0041579
10 Chrysarachnion 15 1861 0,038856682 0,00516102 0,0064967
11 Cladophora 35 1861 0,074730382 0,00992584 0,0353707
12 Coccochloris 8 1861 0,023425804 0,00311146 0,0018479
13 Coccomyxa 5 1861 0,015903899 0,00211239 0,0007219
14 Coclochloris 3 1861 0,010365809 0,00137681 0,0002599
15 Coscinodiscus 3 1861 0,010365809 0,00137681 0,0002599
16 Cryptobia 1 1861 0,004045604 0,00053735 2,887E-05
17 Diatome 87 1861 0,143190553 0,01901887 0,2185475
18 Dinophisys 6 1861 0,018496861 0,00245679 0,0010395

89
19 Dunalialla 1 1861 0,004045604 0,00053735 2,887E-05
20 Elakotothrik 3 1861 0,010365809 0,00137681 0,0002599
21 Enteromorpha 84 1861 0,139836865 0,01857342 0,2037351
22 Entosiphon 3 1861 0,010365809 0,00137681 0,0002599
23 Ephitemia 9 1861 0,025784418 0,00342474 0,0023388
24 Epistyles 3 1861 0,010365809 0,00137681 0,0002599
25 Euglena 109 1861 0,166195502 0,02207443 0,3430522
26 Fragellaria 33 1861 0,071503458 0,00949724 0,0314438
27 Goniochloris 4 1861 0,01320274 0,00175362 0,000462
28 Gonatozygon 18 1861 0,044864565 0,005959 0,0093552
29 Gonyalux 5 1861 0,015903899 0,00211239 0,0007219
30 Heteronema 7 1861 0,020999846 0,00278924 0,0014148
31 Hormidium 3 1861 0,010365809 0,00137681 0,0002599
32 Lephotrix 53 1861 0,101345835 0,01346096 0,0811071
33 Leptotrix 21 1861 0,050602516 0,00672113 0,0127334
34 Lyngbya 25 1861 0,057898891 0,00769025 0,0180463
35 Lyrocytris 45 1861 0,090005 0,01195465 0,0584699
36 Melosira 54 1861 0,102715637 0,0136429 0,0841966
37 Mesotaenium 18 1861 0,044864565 0,005959 0,0093552
38 Monocilia 8 1861 0,023425804 0,00311146 0,0018479
39 Mougeotiopsis 9 1861 0,025784418 0,00342474 0,0023388
40 Myrmecia 9 1861 0,025784418 0,00342474 0,0023388
41 Navicula 347 1861 0,313166004 0,04159536 3,4766919
42 Nepherocytium 24 1861 0,056109388 0,00745257 0,0166314
43 Nitzschia 1 1861 0,004045604 0,00053735 2,887E-05
44 Nodularia 4 1861 0,01320274 0,00175362 0,000462
45 Oedogonium 20 1861 0,048717216 0,00647072 0,0115496
46 Oodinium 2 1861 0,007346289 0,00097575 0,0001155
47 Oscilatoria 29 1861 0,064849881 0,0086135 0,0242831
48 Pelagothuria 1 1861 0,004045604 0,00053735 2,887E-05
49 Peroniella 6 1861 0,018496861 0,00245679 0,0010395

90
50 Petalomonas 2 1861 0,007346289 0,00097575 0,0001155
51 Quadrigula 2 1861 0,007346289 0,00097575 0,0001155
52 Rhabdolalmus 24 1861 0,056109388 0,00745257 0,0166314
53 Rhizochrysis 1 1861 0,004045604 0,00053735 2,887E-05
54 Phopalodiagibba 5 1861 0,015903899 0,00211239 0,0007219
55 Rizoclonium 27 1861 0,061414226 0,00815716 0,0210492
56 Setigera 4 1861 0,01320274 0,00175362 0,000462
57 Sirodotia 16 1861 0,040892256 0,00543139 0,0073917
58 Sphaeroplea 10 1861 0,028083203 0,00373007 0,0028874
59 Spirulina 10 1861 0,028083203 0,00373007 0,0028874
60 Spyrogira 336 1861 0,309054659 0,04104928 3,2597614
61 Spryrulina 1 1861 0,004045604 0,00053735 2,887E-05
62 Stephanopyxis 2 1861 0,007346289 0,00097575 0,0001155
63 Surirella 85 1861 0,140961059 0,01872274 0,2086148
64 Synedra 40 1861 0,082536052 0,01096261 0,0461984
65 Thalassiosira 1 1861 0,004045604 0,00053735 2,887E-05
66 Tillina 4 1861 0,01320274 0,00175362 0,000462
67 Zygnemopsis 19 1861 0,046805038 0,00621674 0,0104235
68 Zygonema 5 1861 0,015903899 0,00211239 0,0007219
Jumlah 1861 3,179738401 0,42233944 8,3301837
Rata-rata 0,046760859 0,00621087 0,1225027

Pola Penyebaran komunitas zooplankton Malam Hari


No Nama genus Ni N H E D (%)
1 Aspidisca 3 325 0,043248 0,007477 0,008521
2 Branchinecta 1 325 0,017796 0,003077 0,000947
3 Briceela 12 325 0,121806 0,02106 0,136331
4 Camerina 2 325 0,031327 0,005416 0,003787
5 Cerasterias 2 325 0,031327 0,005416 0,003787
6 Cladocera 12 325 0,121806 0,02106 0,136331
7 Closteriopsis 7 325 0,082663 0,014292 0,046391

91
8 Colipidum 1 325 0,017796 0,003077 0,000947
9 Cyclops 1 325 0,017796 0,003077 0,000947
10 Desmid 46 325 0,276734 0,047846 2,003314
11 Dicranophorus 9 325 0,099321 0,017172 0,076686
12 Dileptus 6 325 0,0737 0,012742 0,034083
13 Dinamoeba 5 325 0,064221 0,011104 0,023669
14 Entamoeba 6 325 0,0737 0,012742 0,034083
15 Entocythere 7 325 0,082663 0,014292 0,046391
16 Globigerina 4 325 0,054123 0,009358 0,015148
17 Mallomonas 3 325 0,043248 0,007477 0,008521
18 Naplius 2 325 0,031327 0,005416 0,003787
19 Omychocamptus 4 325 0,054123 0,009358 0,015148
20 Pangrolaemus 12 325 0,121806 0,02106 0,136331
21 Paramaecium 108 325 0,366101 0,063297 11,04284
22 Philodina 18 325 0,160253 0,027707 0,306746
23 Procotyla 3 325 0,043248 0,007477 0,008521
24 Rivularia 1 325 0,017796 0,003077 0,000947
25 Roya 4 325 0,054123 0,009358 0,015148
26 Spirostomun 6 325 0,0737 0,012742 0,034083
27 Testudinella 12 325 0,121806 0,02106 0,136331
28 Tetraedriella 3 325 0,043248 0,007477 0,008521
29 Tintinnus 1 325 0,017796 0,003077 0,000947
30 Tracelius 15 325 0,141959 0,024544 0,213018
31 Tripleuchlanis 6 325 0,0737 0,012742 0,034083
32 Troglodyhella 3 325 0,043248 0,007477 0,008521
Jumlah 325 2,617513 0,452557 14,54485
Rata-rata 0,081797 0,014142 0,454527

Pola Penyebaran komunitas Fitoplankton Malam Hari


No Nama Genus Ni N H E D (%)
1 Amphora 3 566 0,0241 0,003802 0,002809

92
2 Asterionella 6 566 0,040852 0,006445 0,011237
3 Aulomonas 12 566 0,111095 0,017527 0,04495
4 Botryococcus 3 566 0,026249 0,004141 0,002809
5 Bulbochaeta 4 566 0,039897 0,006294 0,004994
6 Bumilleriopsis 2 566 0,022398 0,003534 0,001249
7 Cepalomonas 1 566 0,006809 0,001074 0,000312
8 Ceriospora 12 566 0,104996 0,016565 0,04495
9 Chlorobotys 4 566 0,0301 0,004749 0,004994
10 Chrysocapsa 8 566 0,058535 0,009235 0,019978
11 Cocconeis 9 566 0,078747 0,012423 0,025284
12 Coscidoniscus 4 566 0,039897 0,006294 0,004994
13 Cymatopleura 2 566 0,016067 0,002535 0,001249
14 Cymbella 6 566 0,032655 0,005152 0,011237
15 Diatomae 26 566 0,136491 0,021533 0,211015
16 Enteromorpha 29 566 0,26848 0,042356 0,26252
17 Elakotothrik 3 566 0,012167 0,00192 0,002809
18 Ephitemia 57 566 0,242378 0,038238 1,014184
19 Euglena 51 566 0,472154 0,074489 0,811909
20 Excentrosphaera 3 566 0,013786 0,002175 0,002809
21 Fragillaria 42 566 0,388833 0,061344 0,550637
22 Frustulia 3 566 0,019243 0,003036 0,002809
23 Heleopera 15 566 0,149614 0,023604 0,070234
24 Heribaudiella 2 566 0,009937 0,001568 0,001249
25 Leptothrix 34 566 0,314769 0,049659 0,360849
26 Macrococcum 3 566 0,021951 0,003463 0,002809
27 Menoidium 9 566 0,050933 0,008035 0,025284
28 Navicula 23 566 0,173075 0,027305 0,165129
29 Nepherocytium 8 566 0,074063 0,011685 0,019978
30 Neridium 3 566 0,021951 0,003463 0,002809
31 Noctiluca 9 566 0,031514 0,004972 0,025284
32 Phacus 78 566 0,722118 0,113924 1,899137

93
33 Phaeosphaera 3 566 0,029923 0,004721 0,002809
34 Phormidium 2 566 0,016067 0,002535 0,001249
35 Rhabdolalmus 6 566 0,043901 0,006926 0,011237
36 Rizoclonium 9 566 0,10079 0,015901 0,025284
37 Schroederia 1 566 0,008033 0,001267 0,000312
38 Spirogyra 6 566 0,055548 0,008763 0,011237
39 Tabellaria 3 566 0,026249 0,004141 0,002809
40 Tetragonidium 4 566 0,034999 0,005522 0,004994
41 Tribonema 4 566 0,020085 0,003169 0,004994
42 Uronema 33 566 0,275728 0,0435 0,339934
43 Zygonema 5 566 0,031502 0,00497 0,007804
44 Zygonemopsis 16 566 0,100806 0,015903 0,079911
Jumlah 566 4,499483 0,709855 6,105083
Rata-rata 0,102261 0,016133 0,138752

B. Analisis
Dari tabel diatas diketahui bahwa pada pengambilan sampel untuk
mengetahui jenis-jenis plankton yang terdapat pada pantai Bama yang
dilakukan sebanyak tiga kali yaitu pada pagi hari, siang hari dan malam hari,
ditemukan jenis plankton yang beraneka ragam. Pada pengambilan sampel
untuk plankton pagi hari, setelah dilihat dibawah mikroskop plankton yang
ditemukan yaitu bertipe zooplankton dan fitoplankton. Pada tipe zooplankton
setelah diidentifikasi terdapat 41 genus dengan total seluruh plankton pada
tipe ini sejumlah 518. Selain itu nilai indeks keanekaragaman rata-rata pada
zooplankton sebesar 0.0743 dan nilai rata-rata indeks keseragaman yaitu
0.0119 serta nilai rata-rata indeks dominansinya sebesar 0,182%. Pada tipe
fitoplankton setelah diidentifikasi terdapat 59 genus dengan total seluruh
plankton pada tipe ini yaitu 1345. Nilai indeks keanekaragaman rata-rata pada
fitoplankton sebesar 0.056 dan nilai rata-rata indeks keseragaman yaitu
0.0078 serta nilai rata-rata indeks dominansinya sebesar 0,116%.
Pada siang hari jenis plankton yang ditemukan beranekaragam.
Setelah dilihat dibawah mikroskop plankton yang ditemukan yaitu bertipe

94
zooplankton dan fitoplankton. Pada tipe zooplankton setelah diidentifikasi
terdapat 47 genus dengan total seluruh plankton pada tipe ini sejumlah 538.
Selain itu nilai indeks keanekaragaman rata-rata pada zooplankton sebesar
0,0689 dan nilai rata-rata indeks keseragaman yaitu 0,011serta nilai rata-rata
indeks dominansinya sebesar 0,121%. Pada tipe fitoplankton setelah
diidentifikasi terdapat 68 genus dengan total seluruh plankton pada tipe ini
yaitu 1861. Nilai indeks keanekaragaman rata-rata pada fitoplankton sebesar
0,0468 dan nilai rata-rata indeks keseragaman yaitu 0,0062 serta nilai rata-
rata indeks dominansinya sebesar 0,122%.
Pada malam hari jenis plankton yang ditemukan beranekaragam.
Setelah dilihat dibawah mikroskop plankton yang ditemukan yaitu bertipe
zooplankton dan fitoplankton. Pada tipe zooplankton setelah diidentifikasi
terdapat 32 genus dengan total seluruh plankton pada tipe ini sejumlah 325.
Selain itu nilai indeks keanekaragaman rata-rata pada zooplankton sebesar
0,082 dan nilai rata-rata indeks keseragaman yaitu 0,0141 serta nilai rata-rata
indeks dominansinya sebesar 0,454%. Pada tipe fitoplankton setelah
diidentifikasi terdapat 44 genus dengan total seluruh plankton pada tipe ini
yaitu 566. Nilai indeks keanekaragaman rata-rata pada fitoplankton sebesar
0,1022 dan nilai rata-rata indeks keseragaman yaitu 0,016 serta nilai rata-rata
indeks dominansinya sebesar 0,138%.

C. Pembahasan
Plankton adalah mikroorganisme yang ditemui hidup diperaliran,
baik di sungai, danau, waduk, maupun diperaliran payau dan laut.
Mikroorganisme ini baik dari segi jumlah dan jenisnya sangat banyak.
Plankton merupakan salah satu komponen utama dalam sistem mata rantai
makanan dan jaring makanan. Mereka menjadi pakan bagi sejumlah
konsumen dalam sistem mata rantai makanan dan jaring makanan ini.
Mikroorganisme plankton ini ada yang dapat bergerak aktif sendiri
seperti satwa/ hewan dan kita sebut dengan plankton hewani (Zooplankton),
dan ada juga plankton yang dapat melakukan assimilasi (fotosintesis) seperti
halnya tumbuhan di darat, kelompok ini kita sebut dengan plankton nabati

95
(fitoplankton). Fitoplankton merupakan kelompok produsen dalam sistem
mata rantai makanan. Mereka dapat melakukan aktifitas hidupnya sendiri
dengan memanfaatkan cahaya matahari. Sedangkan zooplankton harus
melakukan aktifitas makan untuk mempertahankan eksistensinya. Plankton
hewani (zooplankton) maupun plankton nabati (fitoplankton) dalam sistem
akuarium laut, merupakan pakan alami bagi ikan dan koral yang hidup
didalamnya. Mereka tergolong pakan yang memiliki nilai gizi yang tinggi,
memiliki bentuk dan ukuran yang sesuai dengan mulut ikan dan koral, isi
selnya padat, dinding selnya tipis, serta tidak beracun.
Dari hasil pengamatan yang dilakukan jumlah fitoplankton lebih
banyaki daripada zooplankton, hal ini karena fitoplankton sebagai produsen
makanan dalam lingkungan air. Dari pengambilan sampel diketahui
fitoplankton paling banyak ditemukan pada siang hari, hal ini karena pada
siang hari fitoplankton melakukan proses fotosintesis sedangkan fitoplankton
ditemukan paling sedikit pada waktu malam hari karena pada malam hari
tidak ada cahaya sehingga fitoplankton tidak dapat melakukan proses
fotosintesis sementara pada pagi hari fitoplankton menyiapkan diri untuk
melakukan proses fotosintesis. Selain itu juga dipengaruhi oleh faktor suhu,
salinitas, arus, serta lokasi pengambilan.
Selain fitoplankton, jumlah zooplankton yang ditemukan juga
melimpah. Kelimpahan zooplankton sangat ditentukan oleh adanya
fitoplankton, karena fitoplankton merupakan makanan bagi zooplankton.
Pada perairan fitoplankton mempunyai peranan sebagai produsen yang
merupakan sumber energi bagi kehidupan organisme lainnya. Selain itu
kepadatan zooplankton sangat tergantung pada kepadatan fitoplankton,
karena fitoplankton adalah makanan bagi zooplankton, dengan demikian
kuantitas atau kelimpahan zooplankton akan tinggi di perairan yang tinggi
kandungan fitoplanktonnya.
Zooplankton merupakan organisme penting dalam proses
pemanfaatan dan pemindahan energi karena merupakan penghubung antara
produsen dengan hewan-hewan pada tingkat tropik yang lebih tinggi. Dengan
demikian populasi yang tinggi dari zooplankton hanya mungkin dicapai bila

96
jumlah fitoplankton tinggi. Namun dalam kenyataannya tidak selalu benar
dimana seringkali dijumpai kandungan zooplankton yang rendah meskipun
kandungan fitoplankton sangat tinggi. Hal ini dapat diterangkan dengan
adanya “The Theory of Differential Growth Rate” (Teori Perbedaan
Kecepatan Tumbuh) yang dikemukakan oleh Steeman dan Nielsen (1973)
yang menyebutkan bahwa pertumbuhan zooplankton tergantung pada
fitoplankton tetapi karena pertumbuhannya lebih lambat dari fitoplankton
maka populasi maksimum zooplankton akan tercapai beberapa waktu setelah
populasi maksimum fitoplankton berlalu.
Selain itu terdapat pula teori yang menerangkan terjadinya hubungan
terbalik antara zooplankton dan fitoplankton, teori ini dikenal dengan
“Theory of Grazing” yaitu dimakannya fitoplankton oleh zooplankton yang
dikemukakan oleh Harvey et. al (1935). Bila populasi zooplankton
meningkat, pemangsaan fitoplankton akan sedemikian cepatnya sehingga
fitoplankton tidak sempat membelah diri, jika jumlah zooplankton menurun
dan menjadi sedikit maka hal ini memberi kesempatan kepada fitoplankton
untuk tumbuh dan berkembang biak sehingga menghasilkan konsentrasi yang
tinggi.
Pada data diatas, terlihat bahwa nilai indeks keanekaragaman (H)
selama penelitian yaitu pada zooplankton dan fitoplankton pada pagi, siang
dan malam hari H < 2,3026 yang berarti bahwa keanekaragaman kecil dan
kestabilan komunitas rendah. Menurut Wilhim dan Doris (dalam Hamidy,
1984) menyatakan bahwa perairan dengan nilai indeks keragaman jenis lebih
besar dari 3 menandakan perairan bebas dan pencemaran, nilai indeks antara
1-3 berarti perairan tersebut tercemar sedang dan apabila indeks lebih kecil
dari 1 menandakan bahwa perairan tercemar berat.
Nilai indeks Dominansi selama pengamatan fitoplankton dan
zooplankton baik pagi, siang dan malam berkisar 0,116 % - 0,454 %
Berdasarkan indeks Simpson (dalam Odum, 1971) dapat diketahui bahwa
indeks dominasi jenis yang mendekati angka nol berarti tidak ada jenis
organisme yang dominan dan jika indeks dominasi mendekati angka satu
berarti ada jenis organisme yang mendominasi pada perairan tersebut.

97
Penyebaran fitoplankton lebih merata dibandingkan dengan
penyebaran zooplankton. Zooplankton bermuara ke arah mendatar dan tegak
mengikuti kelompok fitoplankton dan jika sudah mencapai tingkat kepedatan
tertentu perkembangan zooplankton akan berkurang sedangkan fitoplankton
bertambah.
Zooplankton melakukan migrasi secara vertikal. Migrasi vertikal
ialah migrasi harian yang dilakukan oleh organisme zooplankton tertentu ke
arah dasar laut pada siang hari dan ke arah permukaan laut pada malam hari.
Rangsangan utama yang mengakibatkan terjadinya migrasi vertikal harian
pada zooplankton adalah cahaya. Cahaya mengakibatkan respon negatif bagi
para migran, mereka bergerak menjauhi permukaan laut bila intensitas cahaya
di permukaan meningkat. Sebaliknya mereka akan bergerak ke arah
permukaan laut bila intensitas cahaya di permukaan menurun.
Pola yang umum tampak adalah bahwa zooplankton terdapat di
dekat permukaan laut pada malam hari, sedangkan menjelang dini hari dan
datangnya cahaya mereka bergerak lebih ke dalam. Dengan meningkatnya
intensitas cahaya sepanjang pagi hari, zooplankton bergerak lebih ke dalam
menjauhi permukaan laut dan biasanya mempertahankan posisinya pada
kedalaman dengan intensitas cahaya tertentu. Di tengah hari atau ketika
intensitas cahaya matahari maksimal, zooplankton berada pada kedalaman
paling jauh. Kemudian ketika intensitas cahaya matahari sepanjang sore hari
menurun, zooplankton mulai bergerak ke arah permukaan laut dan sampai di
permukaan sesudah matahari terbenam dan masih tinggal di permukaan
selama fajar belum tiba.
Migrasi vertikal merupakan suatu fenomena universal yang
dilakukan oleh zooplankton tertentu. Perangsang utama yaitu cahaya, namun
perangsang ini dapat dimodifikasi oleh faktor lain seperti suhu. Beberapa
alasan zooplankton melakukan migrasi vertikal ialah (1) untuk menghindari
pemangsaan oleh para predator yang mendeteksi mangsa secara visual; (2)
untuk mengubah posisi dalam kolom air; dan (3) sebagai mekanisme untuk
meningkatkan produksi dan menghemat energi (Nybakken, 1992).

98
Zooplankton yang meliputi semua hewan yang umumnya renik
adalah bersifat herbivora yang memakan fitoplankton. Hampir seluruh
zooplankton sangat tergantung pada fitoplankton dan pada trophic level
zooplankton menempati tingkat kedua setelah fitoplankton.
Dalam rantai makanan, fitoplankton dimakan oleh hewan herbivora
yang merupakan konsumen pertama. Konsumen pertama ini pada umumnya
berupa zooplankton yang kemudian dimangsa pula oleh oleh hewan karnivora
yang lebih besar sebagai konsumen kedua. Demikianlah seterusnya rangkaian
karnivora memangsa karnivora lain.
Sebagai herbivora primer di ekosistem perairan, peranan
zooplankton sangat penting artinya karena dapat mengontrol kelimpahan
fitoplankton. Dengan demikian zooplankton berperan sebagai mata rantai
antara produsen primer dengan karnivora besar dan kecil. Struktur komunitas
dan pola penyebaran zooplankton dapat dijadikan sebagai salah satu indikator
biologi dalam menentukan perubahan kondisi perairan.

99
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan diatas dapat disimpulkan
bahwa:
1. Nilai rata-rata indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, dan indeks
dominansi plankton (zooplankton) pada pagi hari berturut-turut sebesar
0.0743, 0.0119, 0,182%.
2. Nilai rata-rata indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi
plankton (fitoplankton) pada pagi hari berturut-turut sebesar 0.056, 0.0078,
0,116%.
3. Nilai rata-rata indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, dan indeks
dominansi plankton (zooplankton) pada siang hari berturut-turut sebesar
0,0689, 0,011, 0,121%
4. Nilai rata-rata indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi
plankton (fitoplankton) pada siang hari berturut-turut sebesar 0,0468,
0,0062, 0,122%.
5. Nilai rata-rata indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, dan indeks
dominansi plankton (zooplankton) pada malam hari berturut-turut sebesar
0,082, 0,0141, 0,454%
6. Nilai rata-rata indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi
plankton (fitoplankton) pada malam hari berturut-turut sebesar 0,1022,
0,016, 0,138%.
7. Dari keseluruhan nilai yang diperoleh diketahui bahwa Pantai Bama
Baluran Situbondo tercemar sedang.

B. Saran
Dalam melakukan observasi yang dilakukan dengan cara kerja kelompok
sebaiknya:
1. Pembuatan garis transek sesuai dengan aturan yang telah disepakati dan
diseragamkan antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain

100
2. Memakai beberapa buku acuan atau referensi yang valid dalam
mengidentifikasi berbagai macam plankton yang ditemukan pada stasiun
observasi.
3. Mengidentifikasi secara teliti dan tepat untuk setiap spesies.

101
DAFTAR PUSTAKA

Akrimi. 2002. Teknik Pengamatan Kualitas Air dan Plankton di Reservat Arang-
arang Jambi. , (online), (http://kualitas air.html, diakses pada tangggal 29
mei 2011)

Dinathani, Dani. 2003. Identifikasi Jenis plankton di Perairan Muara Badak


Kalimantan Timur, (online), (http://plankton.html, diakses pada tangggal
29 mei 2011)

Hutabarat dan Evans. 1985. Pengantar Oseonografi. Jakarta: Universitas


Indonesia Press.

Nyabakken, James W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologi. Jakarta: PT.
Gramedia.

Mc Naugthon, S. J. dan Wolf, L. L. 1992. Ekologi Umum (trans. Pringgoseputro


dan Srigandono). Yogyakarta: UGM Press

Odum., E.P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Yogyakarta: The Benjamin/ Clummings


Publishing Company, Inc.

Racmadiarti, Fida dan Winarsih. 1990. Petunjuk Praktikum Ekologi dan Ilmu
Lingkungan. Surabaya: IKIP Press.

Salmin. 2005. Oksigen terlarut (DO) Dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD)
Sebagai Salah Satu Indikator Untuk Menentukan Kualitas Perairan,
(online), (http://DO.html, diakses pada tangggal 29 mei 2011)

102
LAPORAN
VEGETASI MANGROVE

103
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Taman nasional baluran merupakan sebuah wilayah konservasi yang
memiliki ekosistem yang tergolong lengkap. Di kawasan tersebut terdapat
ekosistem herba, sabana, stepa, pantai, serta hutan mangrove. Hutan
mangrove di wilayah konservasi ini terletak di sekitar Pantai Bama yang
merupakan pantai yang landai dengan pasir putih serta memiliki perairan
yang tenang.
Hutan mangrove atau yang biasa juga disebut dengan hutan bakau
terletak pada daerah pesisir pantai atau lebih tepatnya berbatasan langsung
dengan pantai. Hutan mangrove ini selalu tergenang air laut dan terpengaruh
oleh pasang surut air laut. Menurut Nyabakken (1992 dalam Erna Rochana)
hutan mangrove didominasi oleh beberapa jenis spesies pepohonan yang khas
yang memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi untuk tumbuh di lingkungan
perairan asin. Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana terjadi
pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk yang
terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai di mana air
melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu
Komunitas mangrove yeng terdapat di Taman Nasional Baluran
memiliki berbagai macam jenis spesies mangrove yang memiliki fungsi
secara ekologis, diantaranya yaitu sebagai pelindung garis pantai, habitat
(tempat tinggl) dari beberapa spesies laut, tempat mencari makan, tempat
pembesaran dan juga sebagai pengatur iklim mikro lingkungan yang ada di
sekitarnya.
Jenis-jenis spesies mangrove dalam suatu komunitas mangrove
sangatlah beragam dan memiliki tingkat kerapatan, dominansi dan frekuensi
yang berbeda beda. Hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya yaitu kemampuan adaptasi dari setiap jenis spesies untuk
beradaptasi terhadap lingkungan perairan yang asin, kekeringan atau kadar
air, dan kondisi pasang surut suatu perairan. Ekosistem hutan bakau bersifat

104
khas, baik karena adanya pelumpuran yang mengakibatkan kurangnya aerasi
tanah; salinitas tanahnya yang tinggi; serta mengalami daur penggenangan
oleh pasang-surut air laut. Hanya sedikit jenis tumbuhan yang bertahan hidup
di tempat semacam ini, dan jenis-jenis ini kebanyakan bersifat khas hutan
bakau karena telah melewati proses adaptasi.
Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk mengetahui
keanekaragaman spesies mangrove yang menyusun komunitas mangrove
yang terdapat di pantai Bama Taman Nasional Baluran.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dibuat beberapa rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Jenis mangrove apa saja yang yang menyusun kawasan hutan Mangrove
Pantai Bama Baluran Situbondo?
2. Bagaimana indeks nilai penting (INP) komunitas mangrove di Taman
Nasional Baluran?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini yaitu:
1. Mengetahui berbagai jenis mangrove yang menyusun kawasan hutan
Mangrove Pantai Bama Baluran Situbondo
2. Menentukan nilai penting suatu komunitas hutan mangrove di Taman
Nasional Baluran.

D. Manfaat
Adapun manfaat yang diperoleh setelah melakukan penelitian ini adalah:
1. Memberikan informasi untuk mengetahui jenis-jenis mangrove yang
terdapat di hutan mangrove pantai Bama kawasan Taman Nasional
Baluran.
2. Setelah mengetahui kerapatan, dominansi, frekuensi dan indeks nilai
spesies spesies mangrove diharapkan adanya upaya pelestarian mangrove

105
di daerah pesisir pantai mengingat pentingnya keberadaan mangrove di
wilayah perairan.
3. Sebagai bahan referensi bagi pembaca untuk melakukan penelitian lebih
lanjut.

106
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Pengertian Hutan Mangrove


Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah
pasang surut, terutama di pantai yang terlindung, laguna dan muara sungai
yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut
yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusumaet al,
2003). Menurut FAO, Hutan Mangrove adalah komunitas tumbuhan yang
tumbuh di daerah pasang surut. Kata mangrove merupakan kombinasi antara
bahasa Portugis ”Mangue” dan bahasa Inggris ”grove” (Macnae, 1968).
Dalam Bahasa Inggris kata mangrove digunakan baik untuk komunitas
tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang surut maupun untuk
individu-individu jenis tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut. Hutan
mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland,
vloedbosschen dan hutan payau (bahasa Indonesia). Selain itu, hutan
mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang
berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Penggunaan istilah
hutan bakau untuk hutan mangrove sebenarnya kurang tepat dan rancu,
karena bakau hanyalah nama lokal dari marga Rhizophora, sementara hutan
mangrove disusun dan ditumbuhi oleh banyak marga dan jenis tumbuhan
lainnya. Oleh karena itu, penyebutan hutan mangrove dengan hutan bakau
sebaiknya dihindari (Kusmana et al, 2003).
Menurut MacKinnon dkk. (2000) hutan mangrove adalah nama
kolektif untuk vegetasi pohon yang menempati pantai berlumpur di dalam
wilayah pasang surut, dari tingkat air pasang tertinggi sampai tingkat air surut
terendah. Hutan mangrove hanya terdapat di pantai yang kekuatan ombaknya
terpecah oleh penghalang berupa pasir, terumbu karang atau pulau.

B. Ekosistem Mangrove
Ekosistem mangrove menduduki lahan pantai zona pasang surut, di
laguna, estuaria, dan endapan lumpur yang datar. Ekosistem ini bersifat

107
kompleks dan dinamis namun labil. Kompleks, karena di dalam hutan
mangrove dan perairan/tanah di bawahnya merupakan habitat berbagai satwa
dan biota perairan. Dinamis, karena hutan mangrove dapat terus berkembang
serta mengalami suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuh. Labil,
karena mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali (Nugroho,
Setiawan dan Harianto, 1991).
Ekosistem mangrove merupakan ekoton (daerah peralihan) yang unik,
yang menghubungkan kehidupan biota daratan dan laut. Fungsi ekologis
ekosistem mangrove sangat khas dan kedudukannya tidak terganti oleh
ekosistem lainnya. Ekosistem mangrove menggambarkan sebuah kekayaan
dan keanekaragaman sumberdaya alam. Hutan mangrove kini telah diakui
sebagai pelindung utama bagi lingkungan pesisir/pantai dan merupakan
sumberdaya ekonomi nasional yang bernilai tinggi. Sekarang ini kesadaran
tentang komunitas pesisir sangat penting untuk kegiatan konservasi hutan
mangrove yang terus menerus berkurang. Luasan hutan mangrove Indonesia
telah berkurang karena aktivitas manusia. Pemerintah Indonesia telah
mengambil inisiatif untuk mengatasi masalah penurunan sumberdaya hutan
mangrove ini dengan berbagai cara termasuk penanaman kembali hutan
mangrove yang telah rusak dan pembentukan jalur hijau di sepanjang garis
pesisir pantai dengan melalui garis partisipasi daerah untuk melindungi
sumberdaya pesisir. Dengan demikian diperlukan pengembangan tekhnologi
yang tepat untuk melakukan rehabilitasi mangrove (Kitamura,et al., 1997).
Hutan mangrove mempunyai tajuk yang rata dan rapat serta memiliki
jenis pohon yang selalu berdaun. Keadaan lingkungan di mana hutan
mangrove tumbuh, mempunyai faktor-faktor yang ekstrim seperti salinitas air
tanah dan tanahnya tergenang air terus menerus. Meskipun mangrove toleran
terhadap tanah bergaram (halophytes), namun mangrove lebih bersifat
facultative daripada bersifat obligative karena dapat tumbuh dengan baik di
air tawar. Hal ini terlihat pada jenis Bruguiera sexangula, Bruguiera
gymnorrhiza, dan Sonneratia caseolaris yang tumbuh, berbuah dan
berkecambah di Kebun Raya Bogor dan hadirnya mangrove di sepanjang
tepian sungai Kapuas, sampai ke pedalaman sejauh lebih 200 km, di

108
Kalimantan Barat Mangrove juga berbeda dari hutan darat, dalam hal ini
jenis-jenis mangrove tertentu tumbuh menggerombol di tempat yang sangat
luas. Disamping Rhizophora spp., jenis penyusun utama mangrove lainnya
dapat tumbuh secara "coppice”. Asosiasi hutan mangrove selain terdiri dari
sejumlah jenis yang toleran terhadap air asin dan lingkungan lumpur, bahkan
juga dapat berasosiasi dengan hutan air payau di bagian hulunya yang hampir
seluruhnya terdiri atas tegakan nipah (LPP Mangrove, 2008).
Ekosistem hutan mangrove dapat dibedakan dalam tiga tipe utama
yaitu bentuk pantai/delta, bentuk muara sungai/laguna dan bentuk pulau.
Ketiga tipe tersebut semuanya terwakili di Indonesia. Menurut Khazali
(2005), kondisi pantai yang baik untuk ditumbuhi vegetasi hutan mangrove
adalah pantai yang mempunyai sifat-sifat; air tenang/ombak tidak besar, air
payau, mengandung endapan lumpur dan lereng endapan tidak lebih dari 0,25
- 0,50%.
Salah satu tipe zonasi hutan mangrove di Indonesia menurut Bengen
(2002) dalam Fachrul (2007) adalah sebagai berikut:
1. Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir,
sering ditumbuhi oleh Avicennia sp. Pada zona ini biasa berasosiasi
dengan Sonneratia sp yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang
kaya bahan organik.
2. Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh
Rhizophora sp. Pada zona ini juga dijumpai Bruguiera sp dan
Xylocarpus sp.
3. Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera sp.
4. Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa
ditumbuhi nipah (Nypa fructicans) dan beberapa spesies palem lainnya.
Menurut Nybakken (1982) hutan mangrove di Indonesia memilliki
keanekaragaman yang terbesar di dunia. Komunitas mangrove membentuk
pencampuran antara dua kelompok, yaitu kelompok fauna daratan /terestial
(arboreal) yang umumnya menempati bagian atas pohon mangrove dan
kelompok fauna perairan /akuatik. Beberapa hewan tinggal di atas pohon
sebagian lain di antara akar dan lumpur sekitarnya. Walaupun banyak hewan

109
yang tinggal sepanjang tahun, habitat mangrove penting pula untuk
pengunjung yang hanya sementara waktu saja, seperti burung yang
menggunakan dahan mangrove untuk bertengger atau membuat sarangnya
tetapi mencari makan di daratan yang jauh dari habitat mangrove.
Kelompok hewan arboreal yang hidup di atas daratan seperti serangga,
ular pohon, primata dan burung yang tidak sepanjang hidupnya berada di
habitat mangrove, tidak perlu beradaptasi dengan kondisi pasang surut.
Burung-burung dari daerah daratan menemukan sumber makanan dan habitat
yang baik untuk bertengger dan bersarang. Mereka makan kepiting, ikan dan
moluska atau hewan lain yang hidup di habitat mangrove. Kelompok lain
yang bukan hewan arboreal adalah hewan-hewan yang hidupnya menempati
daerah dengan substrat yang keras (tanah) atau akar mangrove maupun pada
substrat yang lunak (lumpur). Kelompok ini antara lain adalah jenis kepiting
mangrove, kerang-kerangan dan golongan invertebrata lainnya.

Gambar 1. Ekosistem Mangrove

C. Daya Adaptasi Hutan Mangrove


Adaptasi vegetasi hutan mangrove yang unik menyebabkan mangrove
dapat tumbuh pada daerah yang cukup ekstrim bagi sebagian besar tanaman,
yaitu daerah dengan kadar oksigen rendah, salinitas (kadar garam) yang tinggi
dan dipengaruhi pasang surut air laut. Menurut Bengen (2002), adaptasi
vegetasi hutan mangrove dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
a. Adaptasi terhadap kadar kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove
memiliki bentuk perakaran yang khas:
1. tipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora (misalnya :
Avecennia spp., Xylocarpus., dan Sonneratia spp.) untuk mengambil
oksigen dari udara

110
2. tipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel (misalnya
Rhyzophora spp.).
b. Adaptasi terhadap kadar garam tinggi:
1. memiliki sel-sel khusus dalam daun untuk menyimpan garam
2. daun tebal dan kuat yang banyak mengandung air untuk menjaga
keseimbangan garam
3. memiliki stomata khusus untuk mengurangi penguapan
c. Adaptasi terhadap tanah yang tidak stabil dan pasang surut,
mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk
jaringan horizontal yang lebar untuk memperkokoh pohon dan mengambil
unsur hara serta menahan sedimen.

D. Fungsi dan Peranan Hutan Mangrove


Melana et al. (2000) dalam Syakur (2009) mengatakan bahwa fungsi
hutan mangrove adalah sebagai tempat hidup dan mencari makan berbagai
jenis ikan, kepiting, udang dan tempat ikan-ikan melakukan proses
reproduksi. Menyuplai bahan makanan bagi spesies-spesies didaerah estuari
yang hidup dibawahnya karena mangrove menghasilkan bahan organik.
Sebagai pelindung lingkungan dengan melindungi erosi pantai dan
ekosistemnya dari tsunami, gelombang, arus laut dan angin topan. Sebagai
penghasil biomas organik dan penyerap polutan disekitar pantai dengan
penyerapan dan penjerapan. Sebagai tempat rekreasi khususnya untuk
pemandangan kehidupan burung dan satwa liar lainnya. Sebagai sumber
bahan kayu untuk perumahan, kayu bakar, arang dan kayu perangkap ikan.
Tempat penangkaran dan penangkapan bibit ikan. Sebagai bahan obat-
obatan dan alkohol, fungsi dan manfaat mangrove telah banyak diketahui,
baik sebagai tempat pemijahan ikan di perairan, pelindung daratan dari abrasi
oleh ombak, pelindung daratan dari tiupan angin, penyaring intrusi air laut ke
daratan dan kandungan logam berat yang berbahaya bagi kehidupan, tempat
singgah migrasi burung, dan sebagai habitat satwa liar serta manfaat
langsung lainnya bagi manusia seperti bahan bangunan, kayu bakar, dan
arang. Masyarakat Aborigin di Australia menggunakan kayu jenis ini untuk

111
pembuatan Bumerang, tombak serta berbagai obyek upacara. Anggur ringan
serta minuman untuk mengobati hematuria (pendarahan pada air seni) dapat
dibuat dari buahnya. Hasil penelitian Istiyanto et al.(2003) yang merupakan
pengujian model di laboratorium antara lain menyimpulkan bahwa rumpun
bakau (Rhizophora spp.) memantulkan, meneruskan, dan menyerap energi
gelombang tsunami yang diwujudkan dalam perubahan tinggi gelombang
tsunami melalui rumpun tersebut. Hasil-hasil tersebut menunjukkan bahwa
keberadaan mangrove di sepanjang pantai dapat memperkecil efek
gelombang tsunami yang menerjang pantai. Vegetasi mangrove terutama
perakarannya dapat meredam energi gelombang dengan menurunkan tinggi
gelombang saat melalui mangrove (Chairil dan Gunawan, 2007). Manfaat
mangrove dalam bidang sosial ekonomi antara lain sebagai tempat kegiatan
wisata alam (rekreasi, pendidikan dan penelitian). Penghasil kayu untuk kayu
bangunan, kayu bakar, arang dan bahan baku kertas, serta daun nipah untuk
pembuatan atap rumah. Penghasil tannin untuk pembuatan tinta, plastik, lem,
pengawet net dan penyamakan kulit. Penghasil bahan pangan
(ikan/udang/kepiting, dan gula nira nipah), dan obat-obatan (daun Bruguiera
sexangula untuk obat penghambat tumor, Ceriops tagal dan Xylocarpus
mollucensis untuk obat sakit gigi, dan lain-lain). Tempat sumber mata
pencaharian masyarakat nelayan tangkap dan petambak., dan pengrajin atap
dan gula nipah (LPP Mangrove, 2008).
Jenis Rhizophoraceae sangat cocok untuk bahan baku chip. Pada
tahun 1998 jumlah produksi chip mangrove kurang lebih 250.000 ton yang
sebagian besar diekspor ke Korea dan Jepang. Areal produksinya tersebar di
Riau, Aceh, Lampung, Kalimantan, dan Papua. Harga chip di pasar
internasional kurang lebih US$ 40/ton (Inoue et al., 1999). Daerah dekat
pantai (surfzone) merupakan tempat terjadinya aktivitas gelombang yang
sangat intensif terhadap material dasar, sehingga material dasar pantai
umumnya selalu bergerak. Keberadaan tanaman mangrove dari famili
Rhizophoraceae, spesies R. stylosa di daerah dekat pantai berfungsi sebagai
resisten atau penghalang bagi gelombang dalam menggempur pantai. Fungsi
akar dan batang dari tanaman ini meredam energi gelombang.

112
Secara umum, fungsi hutan mangrove dibagi menjadi 3, yaitu fungsi
fisik, fungsi biologis, dan fungsi ekonomi atau produksi.
1. Fungsi fisik
Secara fisik hutan mangrove menjaga garis pantai agar tetap stabil,
melindungi pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya erosi laut serta
sebagai perangkap zat-zat pencemar dan limbah, mempercepat perluasan
lahan, melindungi daerah di belakang mangrove dari hempasan dan
gelombang dan angin kencang; mencegah intrusi garam (salt intrution) ke
arah darat; mengolah limbah organik, dan sebagainya. Hutan mangrove
mampu meredam energi arus gelombang laut, seperti tergambar dari hasil
penelitian Pratikto et al. (2002) dan Instiyanto et al. (2003). Pratikto et al.
(2002) melaporkan bahwa di Teluk Grajagan – Banyuwangi yang
memiliki tinggi gelombang tersebut sebesar 1,09 m, dan energi gelombang
sebesar 1493,33 Joule, maka ekosistem mangrove di daerah tersebut
mampu mereduksi energi gelombang sampai 60%, sehingga keberadaan
hutan mangrove dapat memperkecil gelombang tsunami yang menyerang
daerah pantai.Istiyanto, Utomo dan Suranto (2003) menyimpulkan bahwa
rumpun bakau (Rhizophora) memantulkan, meneruskan, dan menyerap
energi gelombang tsunami yang diwujudkan dalam perubahan tinggi
gelombang tsunami ketika menjalar melalui rumpun tersebut. Hasil
pengujian tersebut dapat digunakan dalam pertimbangan awal bagi
perencanaan penanaman hutan mangrove bagi peredaman penjalaran
gelombang tsunami di pantai. Pasca tsunami 26 Desember 2004 yang
melanda Asia dengan pusat di pantai barat Aceh terdapat fakta bahwa
hutan mangrove yang kompak mampu melindungi pantai dari kerusakan
akibat tsunami (Istiyanto et al., 2003, Pratikto et al. 2002, Dahdouh-
Guebas, 2005, Onrizal, 2005, Sharma, 2005). Demikian juga hal sama
dijumpai pada kawasan pantai dengan hutan pantai yang baik mampu
meredam dampak kerusakan tsunami (WIIP, 2005). Vegetasi mangrove
juga dapat menyerap dan mengurangi pencemaran (polutan). Jaringan
anatomi tumbuhan mangrove mampu menyerap bahan polutan, misalnya
seperti jenis Rhizophora mucronata dapat menyerap 300 ppm Mn, 20 ppm

113
Zn, 15 ppm Cu (Darmiyati et al., 1995), dan pada daun Avicennia marina
terdapat akumulasi Pb ³ 15 ppm, Cd ³ 0,5 ppm, Ni ³ 2,4 ppm (Saepulloh,
1995). Selain itu, hutan mangrove dapat mengendalikan intrusi air laut
sebagaimana yang dilaporkan Hilmi (1998), yakni percepatan intrusi air
laut di pantai Jakarta meningkat dari 1 km pada hutan mangrove selebar
0,75 km menjadi 4,24 km pada areal tidak berhutan.
2. Fungsi biologis
Secara biologi hutan mangrove mempunyai fungsi sebagai daerah
berkembang biak (nursery ground), tempat memijah (spawning ground),
dan mencari makanan (feeding ground) untuk berbagai organisme yang
bernilai ekonomis khususnya ikan dan udang. Habitat berbagai satwa liar
antara lain, reptilia, mamalia, hurting dan lain-lain. Selain itu, hutan
mangrove juga merupakan sumber plasma nutfah. Ekosistem hutan
mangrove memiliki produktivitas yang tinggi. Produktivitas primer
ekosistem mangrove ini sekitar 400-500 gram karbon/m2/tahun adalah
tujuh kali lebih produktif dari ekosistem perairan pantai lainnya (White,
1987). Oleh karenanya, ekosistem mangrove mampu menopang
keanekaragaman jenis yang tinggi. Daun mangrove yang berguguran
diuraikan oleh fungi, bakteri dan protozoa menjadi komponen-komponen
bahan organik yang lebih sederhana (detritus) yang menjadi sumber
makanan bagi banyak biota perairan (udang, kepiting dan lain-lain)
(Naamin, 1990). Kerusakan mangrove di pantai Kecamatan Secanggang,
Kabupaten Langkat, Sumatera Utara berdampak pada penurunan volume
dan keragaman jenis ikan yang ditangkap (56,32% jenis ikan menjadi
langka/sulit didapat, dan 35,36% jenis ikan menjadi hilang/tidak pernah
lagi tertangkap). Konversi hutan mangrove di pantai Napabalano, Sulawesi
Tenggara dilaporkan Amala (2004) menyebabkan berkurangnya secara
nyara kelimpahan kepiting bakau (Scylla serrata). Hasil penelitian Onrizal
et al. (2008) menunjukkan bahwa semakin bertambah umur mangrove
hasil rehabilitasi akan meningkatkan populasi dan keragaman biota pesisir
pantai.

114
3. Fungsi ekonomi atau fungsi produksi
Mangrove sejak lama telah dimanfaatkan oleh masyarakat yang tinggal di
sekitarnya (Saenger et al., 1983). Tercatat sekitar 67 macam produk yang
dapat dihasilkan oleh ekosistem hutan mangrove dan sebagian besar telah
dimanfaatkan oleh masyarakat, misalnya untuk bahan bakar (kayu bakar,
arang, alkohol); bahan bangunan (tiang-tiang, papan, pagar); alat-alat
penangkapan ikan (tiang sero, bubu, pelampung, tanin untuk penyamak);
tekstil dan kulit (rayon, bahan untuk pakaian, tanin untuk menyamak
kulit); makanan, minuman dan obat-obatan (gula, alkohol, minyak sayur,
cuka); peralatan rumah tangga (mebel, lem, minyak untuk menata rambut);
pertanian (pupuk hijau); chips untuk pabrik kertas dan lain-lain. Menurut
Saenger et al. (1983), hutan mangrove juga berperan dalam pendidikan,
penelitian dan pariwisata. Bahkan menurut FAO (1982), di kawasan Asia
dan Pasifik, areal mangrove juga digunakan sebagai lahan cadangan untuk
transmigrasi, industri minyak, pemukiman dan peternakan. Dari kawasan
hutan mangrove dapat diperoleh tiga macam manfaat. Pertama, berupa
hasil hutan, baik bahan pangan maupun bahan keperluan lainnya. Kedua,
berupa pembukaan lahan mangrove untuk digunakan dalam kegiatan
produksi baik pangan maupun non-pangan serta sarana/prasarana
penunjang dan pemukiman. Manfaat ketiga berupa fungsi fisik dari
ekosistem mangrove berupa perlindungan terhadap abrasi, pencegah
terhadap rembesan air laut dan lain-lain fungsi fisik. Kerusakan hutan
mangrove di Secanggang, menyebabkan penurunan pendapatan sebesar
33,89% dimana kelompok yang paling besar terkena dampak adalah
nelayan. Selain itu sekitar 85,4% masyrakat pesisir di kawasan tersebut
kesulitan dalam berusaha dan mendapatkan pekerjaan dibandingkan
sebelum kerusakan mangrove.
Selain beberapa fungsi yang telah dijelaskan di atas, masih banyak banyak lagi
peranan dari hutan mangrove, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Menumbuhkan pulau dan menstabilkan pantai
Salah satu peran dan sekaligus manfaat ekosistem mangrove, adalah
adanya sistem perakaran mangrove yang kompleks dan rapat, lebat dapat

115
memerangkap sisa-sia bahan organik dan endapan yang terbawa air laut
dari bagian daratan. Proses ini menyebabkan air laut terjaga kebersihannya
dan dengan demikian memelihara kehidupan padang lamun (seagrass) dan
terumbu karang. Karena proses ini maka mangrove seringkali dikatakan
pembentuk daratan karena endapan dan tanah yang ditahannya
menumbuhkan perkembangan garis pantai dari waktu ke waktu.
Pertumbuhan mangrove memperluas batas pantai dan memberikan
kesempatan bagi tumbuhan terestrial hidup dan berkembang di wilayah
daratan. Akar pohon mangrove juga menjaga pinggiran pantai dari bahaya
erosi. Buah vivipar yang dapat berkelana terbawa air hingga menetap di
dasar yang dangkal dapat berkembang dan menjadi kumpulan mangrove di
habitat yang baru. Dalam kurun waktu yang panjang habitat baru ini dapat
meluas menjadi pulau sendiri.
2. Menjernihkan air
Akar pernafasan (akar pasak) dari api-api dan tancang bukan hanya
berfungsi untuk pernafasan tanaman saja, tetapi berperan juga dalam
menangkap endapan dan bisa membersihkan kandungan zat-zat kimia dari
air yang datang dari daratan dan mengalir ke laut. Air sungai yang
mengalir dari daratan seringkali membawa zat-zat kimia atau polutan. Bila
air sungai melewati akar-akar pasak pohon api-api, zat-zat kimia tersebut
dapat dilepaskan dan air yang terus mengalir ke laut menjadi bersih.
Banyak penduduk melihat daerah ini sebagai lahan marginal yang tidak
berguna sehingga menimbunnya dengan tanah agar lebih produktif. Hal ini
sangat merugikan karena dapat menutup akar pernafasan dan
menyebabkan pohon mati.
3. Mengawali rantai makanan
Daun mangrove yang jatuh dan masuk ke dalam air. Setelah mencapai
dasar teruraikan oleh mikro organisme (bakteri dan jamur). Hasil
penguraian ini merupakan makanan bagi larva dan hewan kecil air yang
pada gilirannya menjadi mangsa hewan yang lebih besar serta hewan darat
yang bermukim atau berkunjung di habitat mangrove.

116
4. Melindungi dan memberi nutrisi
Akar tongkat pohon mangrove memberi zat makanan dan menjadi daerah
nursery bagi hewan ikan dan invertebrata yang hidup di sekitarnya. Ikan
dan udang yang ditangkap di laut dan di daerah terumbu karang sebelum
dewasa memerlukan perlindungan dari predator dan suplai nutrisi yang
cukup di daerah mangrove ini. Berbagai jenis hewan darat berlindung atau
singgah bertengger dan mencari makan di habitat mangrove.
5. Manfaat Mangrove Bagi Manusia
Masyarakat daerah pantai umumnya mengetahui bahwa hutan mangrove
sangat berguna dan dapat dimanfaatkan dalam berbagai cara untuk
memenuhi kebutuhan hidup. Pohon mangrove adalah pohon berkayu yang
kuat dan berdaun lebat. Mulai dari bagian akar, kulit kayu, batang pohon,
daun dan bunganya semua dapat dimanfaatkan manusia.
Beberapa kegunaan pohon mangrove yang langsung dapat dirasakan dalam
kehidupan sehari-hari antara lain adalah:
1. Tempat Menambat Kapal
Daerah teluk yang terlidung seringkali dijadikan tempat berlabuh dan
bertambatnya perahu. Dalam keadaan cuaca buruk pohon mangrove dapat
dijadikan perlindungan dengan bagi perahu dan kapal dengan
mengikatkannya pada batang pohon mangrove. Perlu diperhatikan agar
cara tambat semacam ini tidak dijadikan kebiasaan karena dapat merusak
batang pohon mangrove yang bersangkutan.
2. Bahan Pembuat Obat-obatan
Kulit batang pohonnya dapat dipakai untuk bahan pengawet dan obat-
obatan. Macam-macam obat dapat dihasilkan dari tanaman mangrove.
Campuran kulit batang beberapa species mangrove tertentu dapat dijadikan
obat penyakit gatal atau peradangan pada kulit. Secara tradisional tanaman
mangrove dipakai sebagai obat penawar gigitan ular, rematik, gangguan
alat pencernaan dan lainlain. Getah sejenis pohon yang berasosiasi dengan
mangrove (blind-your-eye mangrove) atau Excoecaria agallocha dapat
menyebabkan kebutaan sementara bila kena mata, akan tetapi cairan getah

117
ini mengandung cairan kimia yang dapat berguna untuk mengobati sakit
akibat sengatan hewan laut. Air buah dan kulit akar mangrove muda dapat
dipakai mengusir nyamuk. Air buah tancang dapat dipakai sebagai
pembersih mata. Kulit pohon tancang digunakan secara tradisional sebagai
obat sakit perut dan menurunkan panas. Di Kambodia bahan ini dipakai
sebagai penawar racun ikan, buah tancang dapat membersihkan mata, obat
sakit kulit dan di India dipakai menghentikan pendarahan. Daun mangrove
bila di masukkan dalam air bisa dipakai dalam penangkapan ikan sebagai
bahan pembius yang memabukkan ikan (stupefied).
3. Bahan Pengawet
Buah pohon tancang dapat dijadikan bahan pewarna dan pengawet kain
dan jaring dengan merendam dalam air rebusan buah tancang tersebut.
Selain mengawetkan hasilnya juga pewarnaan menjadi coklat-merah
sampai coklat tua, tergantung pekat dan lamanya merendam bahan.
Pewarnaan ini banyak dipakai untuk produksi batik, untuk memperoleh
pewarnaan jingga-coklat. Air rebusan kulit pohon tingi dipakai untuk
mengawetkan bahan jaring payang oleh nelayan di daerah Labuhan,
Banten.
4. Bahan Makanan
Daunnya banyak mengandung protein. Daun muda pohon api-api dapat
dimakan sebagai sayur atau lalapan. Daun-daun ini dapat dijadikan
tambahan untuk pakan ternak. Bunga mangrove jenis api-api mengandung
banyak nectar atau cairan yang oleh tawon dapat dikonversi menjadi madu
yang berkualitas tinggi. Buahnya pahit tetapi bila memasaknya hatihati
dapat pula dimakan.
5. Bahan Bangunan
Batang pohon mangrove banyak dijadikan bahan bakar baik sebagai kayu
bakar atau dibuat dalam bentuk arang untuk kebutuhan rumah tangga dan
industri kecil. Batang pohonnya berguna sebagai bahan bangunan. Bila
pohon mangrove mencapai umur dan ukuran batang yang cukup tinggi,
dapat dijadikan tiang utama atau lunas kapal layar dan dapat digunakan
untuk balok konstruksi rumah tinggal. Batang kayunya yang kuat dan

118
tahan air dipakai untuk bahan bangunan dan cerocok penguat tanah.
Batang jenis tancang yang besar dan keras dapat dijadikan pilar, pile, tiang
telepon atau bantalan jalan kereta api. Bagi nelayan kayu mangrove bisa
juga untuk joran pancing. Kulit pohonnya dapat dibuat tali atau bahan
jaring.

E. Hubungan Ekosistem Mangrove dengan Ekosistem Lainnya


Ekosistem utama di daerah pesisir adalah ekosistem mangrove,
ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang. Menurut Kaswadji (2001),
tidak selalu ketiga ekosistem tersebut dijumpai, namun demikian apabila
ketiganya dijumpai maka terdapat keterkaitan antara ketiganya. Masing-
masing ekosistem mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Ekosistem mangrove
merupakan penghasil detritus, sumber nutrien dan bahan organik yang
dibawa ke ekosistem padang lamun oleh arus laut. Sedangkan ekosistem
lamun berfungsi sebagai penghasil bahan organik dan nutrien yang akan
dibawa ke ekosistem terumbu karang.
Selain itu, ekosistem lamun juga berfungsi sebagai penjebak sedimen
(sedimen trap) sehingga sedimen tersebut tidak mengganggu kehidupan
terumbu karang. Selanjutnya ekosistem terumbu karang dapat berfungsi
sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak (gelombang) dan arus laut.
Ekosistem mangrove juga berperan sebagai habitat (tempat tinggal), tempat
mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery
ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi organisme yang hidup di
padang lamun ataupun terumbu karang. Di samping hal-hal tersebut di atas,
ketiga ekosistem tersebut juga menjadi tempat migrasi atau sekedar berkelana
organisme-organisme perairan, dari hutan mangrove ke padang lamun
kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji, 2001).

F. Faktor-faktor yang mempengaruhi Pertumbuhan Mangrove


Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan
mangrove di suatu lokasi adalah:

119
1. Fisiografi pantai (topografi)
Fisiografi pantai dapat mempengaruhi komposisi, distribusi spesies dan
lebar hutan mangrove. Pada pantai yang landai, komposisi ekosistem
mangrove lebih beragam jika dibandingkan dengan pantai yang terjal. Hal
ini disebabkan karena pantai landai menyediakan ruang yang lebih luas
untuk tumbuhnya mangrove sehingga distribusi spesies menjadi semakin
luas dan lebar. Pada pantai yang terjal komposisi, distribusi dan lebar
hutan mangrove lebih kecil karena kontur yang terjal menyulitkan pohon
mangrove untuk tumbuh.
2. Pasang (lama, durasi, rentang)
Pasang yang terjadi di kawasan mangrove sangat menentukan zonasi
tumbuhan dan komunitas hewan yang berasosiasi dengan ekosistem
mangrove. Secara rinci pengaruh pasang terhadap pertumbuhan mangrove
dijelaskan sebagai berikut:
 Lama pasang :
a) Lama terjadinya pasang di kawasan mangrove dapat mempengaruhi
perubahan salinitas air dimana salinitas akan meningkat pada saat
pasang dan sebaliknya akan menurun pada saat air laut surut
b) Perubahan salinitas yang terjadi sebagai akibat lama terjadinya
pasang merupakan faktor pembatas yang mempengaruhi distribusi
spesies secara horizontal.
c) Perpindahan massa air antara air tawar dengan air laut
mempengaruhi distribusi vertikal organisme
 Durasi pasang :
a) Struktur dan kesuburan mangrove di suatu kawasan yang memiliki
jenis pasang diurnal, semi diurnal, dan campuran akan berbeda.
b) Komposisi spesies dan distribusi areal yang digenangi berbeda
menurut durasi pasang atau frekuensi penggenangan. Misalnya :
penggenagan sepanjang waktu maka jenis yang dominan adalah
Rhizophora mucronata dan jenis Bruguiera serta Xylocarpus
kadang-kadang ada.

120
 Rentang pasang (tinggi pasang):
a) Akar tunjang yang dimiliki Rhizophora mucronata menjadi lebih
tinggi pada lokasi yang memiliki pasang yang tinggi dan sebaliknya
b) Pneumatophora Sonneratia sp menjadi lebih kuat dan panjang pada
lokasi yang memiliki pasang yang tinggi.
3. Gelombang dan arus
a) Gelombang dan arus dapat merubah struktur dan fungsi ekosistem
mangrove. Pada lokasi-lokasi yang memiliki gelombang dan arus yang
cukup besar biasanya hutan mangrove mengalami abrasi sehingga
terjadi pengurangan luasan hutan.
b) Gelombang dan arus juga berpengaruh langsung terhadap distribusi
spesies misalnya buah atau semai Rhizophora terbawa gelombang dan
arus sampai menemukan substrat yang sesuai untuk menancap dan
akhirnya tumbuh.
c) Gelombang dan arus berpengaruh tidak langsung terhadap sedimentasi
pantai dan pembentukan padatan-padatan pasir di muara sungai.
Terjadinya sedimentasi dan padatan-padatan pasir ini merupakan
substrat yang baik untuk menunjang pertumbuhan mangrove
d) Gelombang dan arus mempengaruhi daya tahan organisme akuatik
melalui transportasi nutrien-nutrien penting dari mangrove ke laut.
Nutrien-nutrien yang berasal dari hasil dekomposisi serasah maupun
yang berasal dari runoff daratan dan terjebak di hutan mangrove akan
terbawa oleh arus dan gelombang ke laut pada saat surut.
4. Iklim (cahaya,curah hujan, suhu, angin)
Mempengaruhi perkembangan tumbuhan dan perubahan faktor fisik
(substrat dan air). Pengaruh iklim terhadap pertimbuhan mangrove melalui
cahaya, curah hujan, suhu, dan angin. Penjelasan mengenai faktor-faktor
tersebut adalah sebagai berikut:
 Cahaya
a. Cahaya berpengaruh terhadap proses fotosintesis, respirasi, fisiologi,
dan struktur fisik mangrove

121
b. Intensitas, kualitas, lama (mangrove adalah tumbuhan long day
plants yang membutuhkan intensitas cahaya yang tinggi sehingga
sesuai untuk hidup di daerah tropis) pencahayaan mempengaruhi
pertumbuhan mangrove
c. Laju pertumbuhan tahunan mangrove yang berada di bawah naungan
sinar matahari lebih kecil dan sedangkan laju kematian adalah
sebaliknya
d. Cahaya berpengaruh terhadap perbungaan dan germinasi dimana
tumbuhan yang berada di luar kelompok (gerombol) akan
menghasilkan lebih banyak bunga karena mendapat sinar matahari
lebih banyak daripada tumbuhan yang berada di dalam gerombol.
 Curah hujan
a. Jumlah, lama, dan distribusi hujan mempengaruhi perkembangan
tumbuhan mangrove
b. Curah hujan yang terjadi mempengaruhi kondisi udara, suhu air,
salinitas air dan tanah
c. Curah hujan optimum pada suatu lokasi yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan mangrove adalah yang berada pada kisaran 1500-3000
mm/tahun
 Suhu
a. Suhu berperan penting dalam proses fisiologis (fotosintesis dan
respirasi)
b. Produksi daun baru Avicennia marina terjadi pada suhu 18-20C dan
jika suhu lebih tinggi maka produksi menjadi berkurang
c. Rhizophora stylosa, Ceriops, Excocaria, Lumnitzera tumbuh optimal
pada suhu 26-28C
d. Bruguiera tumbuah optimal pada suhu 27C, dan Xylocarpus tumbuh
optimal pada suhu 21-26C
 Angin
Angin mempengaruhi terjadinya gelombang dan arus. Angin
merupakan agen polinasi dan diseminasi biji sehingga membantu
terjadinya proses reproduksi tumbuhan mangrove

122
5. Salinitas
a. Salinitas optimum yang dibutuhkan mangrove untuk tumbuh berkisar
antara 10-30 ppt
b. Salinitas secara langsung dapat mempengaruhi laju pertumbuhan dan
zonasi mangrove, hal ini terkait dengan frekuensi penggenangan
c. Salinitas air akan meningkat jika pada siang hari cuaca panas dan dalam
keadaan pasang
d. Salinitas air tanah lebih rendah dari salinitas air
6. Oksigen terlarut
a. Oksigen terlarut berperan penting dalam dekomposisi serasah karena
bakteri dan fungsi yang bertindak sebagai dekomposer membutuhkan
oksigen untuk kehidupannya.
b. Oksigen terlarut juga penting dalam proses respirasi dan fotosintesis.
c. Oksigen terlarut berada dalam kondisi tertinggi pada siang hari dan
kondisi terendah pada malam hari
7. Tanah (Substrat)
a. Karakteristik substrat merupakan faktor pembatas terhadap
pertumbuhan mangrove
b. Rhizophora mucronata dapat tumbuh baik pada substrat yang
dalam/tebal dan berlumpur
c. Avicennia marina dan Bruguiera hidup pada tanah lumpur berpasir
d. Tekstur dan konsentrasi ion mempunyai susunan jenis dan kerapatan
tegakan Misalnya jika komposisi substrat lebih banyak liat (clay) dan
debu (silt) maka tegakan menjadi lebih rapat
e. Konsentrasi kation Na>Mg>Ca atau K akan membentuk konfigurasi
hutan Avicennia/Sonneratia/Rhizophora/Bruguiera
f. Mg>Ca>Na atau K yang ada adalah Nipah
g. Ca>Mg, Na atau K yang ada adalah Melauleuca
8. Hara
Unsur hara yang terdapat di ekosistem mangrove terdiri dari hara
inorganik dan organik.
 Inorganik: P,K,Ca,Mg,Na

123
 Organik: Allochtonous dan Autochtonous (fitoplankton, bakteri, alga).
G. Profil mangrove yang ditemukan di kawasan hutan mangrove Pantai
Bama Baluran-Situbondo

1. Ceriops tagal
Klasifikasi
Kingdom :Plantae
Division :Magnoliophyta
Class :Magnoliopsida
Order :Malpighiales
Family :Rhizophoraceae
Genus :Ceriops
Species :Ceriops Tagal Robinson
(Robinson, 2008)

Ceriops tagal merupakan jenis mangrove yang memiliki penampakan


sebagai pohon dan semak. Ceriops tagal di Baluran yang ditemukan
berupa pohon. Ceriops tagal tersebut memiliki ketinggian 1-1,8 meter,
namun demikian pohon ini sebenarnya dapat tumbuh sampai 6 m. Batang
pohon berwarna coklat muda dan ada yang berwarna abu-abu. Permukaan
batang tidak kasar. Ceriops tagal memiliki sistem perakaran butress atau
papan. Namun demikian, sebenarnya sistem perakaran pohon ini dapat
berupa akar lutut, akar tunjang atau menjadi sistem perakaran
pneumatofor, hal ini sesuai sesuai dengan lingkungan tempat tinggal dari
Ceriops tagal ini. Perakaran papan dari Ceriops tagal berupa sistem

124
perakaran yang berbentuk seperti papan. Akar keluar dari batang secara
radial. Akar berwarna coklat gelap dan agak kehitaman karena tertutup
oleh substrat.

Daun Ceriops tagal tersusun sendiri-sendiri atau singgle dan letak satu
daun dengan daun lain di seberangnya pada dahan atau cabang yang
sama. Bentuk daun obovate, berbentuk seperti telur, tangkai daun terletak
pada bagian yang lebih sempit. Ujung daun tumpul. Daun berwarna hijau
tua dengan permukaan licin, tertutup kutikula atau lapisan lilin. Panjang
daun 4-10 cm.

Bunga Ceriops tagal tersusun dalam susunan cyme, setandan,


sekelompok bunga, biasanya cembung atau datar di bagian atas,
bentuknya bervariasi, memiliki berbagai macam sudut percabangan tetapi
bunga yang paling tua selalu terletak di ujung cabang. Berdasarkan letak
bunga pada tanaman, bunga tergolong bunga aksilar, muncul dari sudut
yang terbentuk antara daun di atasnya dengan batang atau tangkai. Bunga
Ceriops tagal tersusun 5-10 bunga. Bunga memiliki kelopak berwarna
hijau, berjumlah 5 kelopak. Mahkota bunga berjumlah 5 buah, berwarna
puith dan abu-abu bunga terdapat pada cabang yang panjang.

125
Buah Ceriops tagal berbentuk silindris dengan panjang 25 cm atau lebih.
Buah berwarna hijau, ada penonjolan, tidak rata. Bagian ujung buah
berwarna kecoklatan. Bagian pangkal batang berwarna kecoklatan.

2. Excoecaria agallocha
Klasifikasi
Kingdom :Plantae
Division :Magnoliophyta
Class :Magnoliopsida
Order :Malpighiales
Family :Euphorbiaceae
Genus :Excoecaria
Species :Excoecaria agallocha
(Anonim c, 2008)

Excoecaria agallocha merupakan salah satu jenis tanaman mangrove


yang memiliki habitus pohon dan semak. Namun di daerah Baluran yang
ditemui adalah berupa habitus pohon. Batang berwarna abu-abu,
berbentuk bulat, memiliki getah yang dapat megiritasi mata dan kulit.

126
Sistem perakaran Excoecaria agallocha merupakan perakaran no
prominent aerial roots, yaitu perakaran seperti pohon selayaknya. Akar
berada di bawah tanah, tidak dapat diamati. Daun Excoecaria agallocha
merupakan daun single dan tersusun secara alternate. Susunan alternate
merupakan susunan dimana letak daun berselang-seling, pada satu sisi
dengan ketinggian yang sama hanya terdapat satu daun. Bentuk daun
eliptical, bentuk ujung daun dan pangkal daun sama. Apabila daun dilipat
pada bagian tengah, akan tegak lurus tulang daun, maka akan didapatkan
bentuk simetri daun.ujung daun lancip, warna daun hijau. Bunga dan buah
Excoecaria agallocha tidak ditemukan dalam pengamatan kali ini, karena
saat praktikan melakukan pengamatan, hampir semua tanaman mangrove
tidak berbuah dan hanya sebagian saja yang berbunga.

3. Rhizopora apiculata
Klasifikasi
Kingdom :Plantae
Division :Magnoliophyta
Class :Magnoliopsida
Order :Malpighiales
Family :Rhizophoraceae
Genus :Rhizophora
Spesies :Rhizopora apiculata
(Anonim a, 2008)

127
Rhizopora apiculata berupa tanaman pohon. R. apiculata memiliki
penampakan seperti pohon biasa, hanya saat melihat akarnya baru terlihat
perbedaan. Batang R. apiculata berwarna kecoklatan. Batang umumnya
berbentuk bulat. Batang pokok memiliki banyak percabangan yang dapat
tumbuh menjadi tegakan tersendiri. Batang kasar, terdapat tonjolan kecil
dan pecahan kulit batang.

Tanaman ini memiliki perakaran jenis tunjang. Perakaran tunjang


merupakan jenis perakaran yang berada di atas permukaan tanah, pangkal
akar berasal dari pangkal batang. Ujung akar menembus tanah dan kuat.
Akar berwarna keputih-putihan pada daerah yang tidak dekat dengan
permukaan tanah, akar yang dekat dengan permukaan berwarna lebih
gelap. Apabila kulit akar dikelupas, akan nampak batang berwarna merah.

Daun R. apiculata berupa daun single dan terletak sejajar antara daun satu
dengan daun yang lain dalam satu tangkai, saling bersisihan atau
berseberangan.bentuk daun eliptical, bentuk ujung daun dan pangkal daun
sama. Apabila daun dilipat pada bagian tengah, akan tegak lurus tulang
daun, maka akan didapatkan bentuk simetri daun. Ujung daun runcing,
panjang daun 10 cm dan ada yang berukuran sampai 15 cm. Daun
Rhizopora apiculata memiliki kemampuan mengakumulasi garam pada
daun sebagai upaya adaptasi pada kondisi dimana R. apiculata ini hidup,
yaitu di daerah laut atau pasang surut. Permukaan daun mengkilat dan

128
agak licin. Daun berwarna hijau tua, kecuali daun muda yang berwarna
lebih muda.

R. apiculata memiliki bunga dengan susunan cyme. Dua bakal buah


terdapat dalam satu tangkai bunga, yang berkembang satu atau kedua-
duanya. Letak bunga adalah aksilar pada ujung cabang, di bawah pucuk
cabang dan di bawah daun-daun terminal, kira-kira 1-2 cm dari ujung
cabang. Bunga terletak berseberangan atau opposite (antara dua bunga).
Bunga memiliki empat kelopak bunga. Kelopak bunga kaku, halus,
berwarna kekuningan. Bagian dalam bunga setelah kelopak, terdapat
mahkota bunga. Mahkota bunga berwarna putih, berjumlah empat. Pada
bagaian dalam dari serbuk sari berwana merah, putik berwarna coklat,
jumlahnya 12, ada pula yang 11. Bagian dalam bunga terdapat lobus-
lobus yang dipisahkan oleh mahkota bunga. Bunga berukuran kecil,
antara 2-3 cm.

Buah R. apiculata berwarna hijau dengan kotiledon pangkal buah


berwarna hijau saat masak dan leher kotiledon berwarna merah.
Permukaan buah halus, namun terdapat sedikit bintil-bintil pada buah.
Buah ini berbentuk silindris. Pangkal buah yang berasal dari pangkal
bunga, terdapat bagian yang berwarna coklat, masih terdapat kelopak
bunga yang tersisa dengan arah menghadap ke atas. Bagian pangkal

129
bunga yang tersisa berwarna coklat tua. Ukuran buah 20-25 cm dengan
diameter 1,3-1,7 cm.

4. Rhizospora stylosa
Klasifikasi
Kingdom : Plantae
Division : Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida
Order : Malpighiales
Family : Rhizophoraceae
Genus : Rhizophora
Spesies : R.stylosa
(Anonim a, 2008)
Rhizophora stylosa merupakan tanaman mangrove jenis pohon, sama
seperti R. Apiculata, perbedaannya pada jenis perbungaan. R. stylosa
memiliki batang yang kokoh, kebanyakan tegak dan memiliki
percabangan. Batang berwarna kecoklatan. Permukaan batang tidak rata.

R. stylosa memiliki akar tunjang yaitu akar yang terdapat di atas


permukaan tanah. Pangkal akar berasal dari pangkal batang. Ujung akar
menembus tanah dan kuat. Akar berwarna keputih-putihan pada daerah
yang tidak dekat dengan permukaan tanah, akar yang dekat dengan
permukaan berwarna lebih gelap. Pada umumnya akar tanaman ini cukup
tinggi di atas permukaan tanah. Akarnya memiliki penampakan yang
kokoh dan kuat serta tidak mudah patah (lentur namun keras).

130
Rhizophora stylosa memiliki daun yang umumnya berwarna hijau agak
kekuningan pada pangkal daunnya serta terdapat bintik-bintik kecil
berwarna hitam namun tidak terlalu banyak. Memiliki bentuk daun yang
elliptical (sama dengan Rhizophora apiculata) yaitu memiliki bentuk
ujung dan pangkal daun yang sama. Apabila daun dilipat pada bagian
tengah, akan tegak lurus tulang daun, maka akan didapatkan bentuk
simetri daun. Daun single dan terletak sejajar antara daun satu dengan
daun yang lain dalam satu tangkai, saling bersisihan atau berseberangan.
Memiliki panjang daun antara 10-18 cm.

Bunga pada Rhizophora stylosa termasuk dalam bunga cyme dicotom,


yang terdiri dari 16 atau lebih bunga dalam satu tangkai bunga. Bunga R.
stylosa terletak secara aksilar pada cabang bunga. Perbedaan bunga R.
apiculata dan R. stylosa adalah pada rangkaian percabangan bunga dalam
satu tangkai bunga, pada R. apiculata dalam satu tangkai bunga terdapat
dua bunga yang bersatu (bersisihan), sedangkan pada R. stylosa rangkaian
bunga lebih dari dua. Satu bunga R. stylosa memiliki empat buah mahkota
bunga yang berwarna putih. Selain itu, bunga memiliki kelopak bunga
empat buah yang berwarna kuning kehijauan. Adanya kelopak bunga
membagi bunga menjadi beberapa lobus, yaitu menjadi empat lobus.
Bunga memiliki putik 8 buah. Panjang bunga 0,4-0,6 cm. Buah dari R.

131
stylosa berbentuk hampir sama dengan R. apiculata, hanya panjang dari
buah R. stylosa lebih panjang daripada buah R. apiculata. Panjang buah
ini dapat mencapai 30 cm. Warna buah adalah hijau sampai kuning.
Bagian pangkal buah berwarna hijau dengan daun buah menghadap ke
atas dan berwarna hijau kekuningan. Permukaan buah licin atau rata.
Bentuk buah silindris.

5. Sonneratia alba
Klasifikasi
Kingdom : Plantae
Division : Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida
Order : Myrtales
Family : Lythraceae
Genus : Sonneratia
Species : Sonneratia alba
(Anonim b, 2008)

Sonneratia alba merupakan tanaman mangrove yang memiliki habitus


pohon. Ketinggian pohon dapat mencapai 16 m. Batang S. alba halus
dengan bekas jaringan batang dan belahan kulit batang. Batang berwarna
krim sampai coklat. Batang berbentuk bulat atau bundar.

132
Sistem perakaran S. alba merupakan perakaran pneumatofor.
Pneumatofor merupakan perakaran napas. Akar keluar dari dalam tanah
seperti pensil, tegak ke permukaan, lancip, berwarna coklat muda sampai
coklat tua. Kulit akar mudah mengelupas. Bagian dalam akar berwarna
merah. Akar napas ini berasal dari akar pokok yang berada di dalam
tanah.

Daun S. alba adalah daun tunggal dan simple. Daun tersusun secara
opposite. Daun yang satu dengan daun yang lain tepat berseberangan
pada cabang yang sama, tersusun sepasang-sepasang. Daun berwarna
hijau dengan permukaan yang rata dan halus, licin. Daun memiliki
bentuk obovate, seperti telur dengan tangkai daun terletak pada bagian
yang sempit. Ujung daun berbentuk emarginate atau tumpul dengan
bagian tengah ujung daun berlekuk. Ukuran daun antara 5-10 cm. Bunga
dan buah S. alba tidak ditemukan dalam pengamatan kali ini, karena saat
praktikan melakukan pengamatan, hampir semua tanaman mangrove
tidak berbuah dan hanya sebagian saja yang berbunga.

133
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Penelitian Analisis Vegetasi yang kami lakukan termasuk jenis penelitian
observasi, karena dalam praktikum ini tidak menggunakan variabel dan data
yang diambil berdasarkan pengamatan di lapangan secara langsung.

B. Tempat dan Waktu penelitian


Penelitian ini dilakukan di kawasan hutan mangrove Pantai Bama Taman
Nasional Baluran, Situbondo, Jawa Timur pada hari Rabu, 23 Maret 2011
pukul 10.00-12.00 WIB

C. Alat dan Bahan


 Alat:
1. Meteran gulung
2. Gunting
3. Buku identifikasi
4. Kamera digital
5. Kertas dan pulpen
 Bahan:
1. Tali rafia
2. Kantong plastik
3. Karet gelang

D. Langkah Kerja
1. Menentukan area yang akan dijadikan sampel penelitian.
2. Menentukan 4 titik yang akan dijadikan sebagai plot.
3. Membuat plot berbentuk persegi (plot kuadrat) dengan ukuran 10m x 10m
dengan menggunakan tali raffia sebanyak 4 plot, kemudian menentukan
titik pusatnya (pohon centre).

134
4. Mengukur jarak pohon yang terdekat dengan pohon centre, kemudian
mengukur diameter pohon yang terdekat dengan pohon centre tersebut.
Pada analisis vegetasi mangrove diameter yang diukur ialah diameter
batang di atas akar banir.
5. Mengambil daun atau bagian dari pohon tersebut untuk dibuat herbarium
agar mempermudah dalam melakukan identifikasi.
6. Melakukan langkah yang ke 3-5 pada pohon yang berbeda sebanyak 3 kali
sehingga di dapatkan 4 jarak pohon dalam satu plot yang terdekat dengan
pohon centre.
7. Melakukan hal yang sama untuk plot yang kedua sampai plot yang
keempat.
8. Mengidentifikasi jenis pohon dengan menggunakan buku identifikasi.
9. Setelah mendapatkan data jarak pohon dan diameter pohon untuk masing-
masing mangrove selanjutnya melakukan analisis vegetasi pohon dengan
menggunakan beberapa parameter dengan menggunakan rumus yang
meliputi:
 Kerapatan
a. Jarak rata-rata pohon (tiap spesies) ke titik pusat (P)
b. Kerapatan total (KT)

c. Kerapatan mutlak tiap spesies (KM)

d. Kerapatan relative tiap spesies (KR)

 Dominansi
a. Basal area (BA)

135
b. Dominansi mutlak tiap spesies (DM)

c. Dominansi relatif tiap spesies (DR)

 Frekuensi
a. Frekuensi mutlak tiap spesies (FM)

b. Frekuensi relatif tiap spesies (FR)

 Indeks Nilai Penting (INP)


INP spesies x = KR spesies x + DR spesies x + FR spesies x

E. Rancangan Penelitian

Jarak pohon 1

Jarak pohon 2
10 meter

Tali rafia
Pohon
centre

Jarak pohon 3
Jarak pohon 4

Mengukur diameter
10 meter masing-masing pohon

136
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
Berdasarkan hasil praktikum mengenai analisis vegetasi Mangrove di Pantai
Bama Baluran-Situbondo diperoleh data seperti berikut:
Tabel 1. Data Mentah dari Lapangan
No Nama spesies Jumlah x jarak (m) x diameter (m) Ʃ PC
1 Ceriops tagal 2 3,41 0,236 1
2 Excoecaria agallocha 7 13,41 0,601 3
3 Rhizophora apiculata 114 454,73 28,086 33
4 Rhizophora stylosa 12 62,58 2,684 7
5 Xilocarpus xilokensis 1 2,65 0,287 1
6 Sonneratia alba 9 38,14 3,047 3
Jumlah total 145 574,92 34,941 48
Suhu = 26 0C, kelembapan = 77%, pH tanah = 7,3
Keterangan:
x jarak (m) : Jarak rata-rata spesies ke pohon center
x diameter (m) : Diameter rata-rata spesies
Ʃ PC : Jumlah poin center

B. Pembahasan
Berdasarkan hasil perhitungan dari data di atas, diperoleh hasil sebagai
berikut:
Tabel 2. Data KR, FR, DR, dan INP
No Nama spesies KR FR DR INP
1 Ceriops tagal 28,36 2,08 0,006 30,446
2 Excoecaria agallocha 24 6,25 0,045 30,295
3 Rhizophora apiculata 11,57 68,75 97,89 178,21
4 Rhizophora stylosa 8,89 14,58 0,89 24,36
5 Xilocarpus xilokensis 17,28 2,08 0,009 19,369
6 Sonneratia alba 10,9 6,25 1,15 18,33

137
200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
Ceriops tagal Excoecaria Rhizophora Rhizophora Xilocarpus Sonneratia
agallocha apiculata stylosa xilokensis alba

Grafik 1. Jumlah KR, FR, DR, dan INP

Tabel dan grafik di atas menunjukkan bahwa hutan Mangrove di


Pantai Bama Baluran-Situbondo di susun oleh 6 jenis tumbuhan mangrove
yang mewakili 5 genus. 6 jenis tumbuhan mangrove tersebut adalah Ceriops
tagal, Excoecaria agallocha, Rhizophora apiculata, Rhizophora stylosa,
Xilocarpus xilokensis, dan Sonneratia alba. Data ini menunjukkan bahwa
mangrove yang terdapat di kawasan hutan mangrove Pantai Bama Baluran
tergolong beraneka ragam. Menurut literatur yang kami peroleh, fisiografi
pantai dapat mempengaruhi komposisi, distribusi spesies dan lebar hutan
mangrove. Pada pantai yang landai, komposisi ekosistem mangrove lebih
beragam jika dibandingkan dengan pantai yang terjal. Hal ini disebabkan
karena pantai landai menyediakan ruang yang lebih luas untuk tumbuhnya
mangrove sehingga distribusi spesies menjadi semakin luas dan lebar. Pada
pantai yang terjal komposisi, distribusi dan lebar hutan mangrove lebih kecil
karena kontur yang terjal menyulitkan pohon mangrove untuk tumbuh. Selain
topografi, keanekaragaman mangrove juga dipengaruhi oleh lamanya pasang
serta tinggi pasang surut di wilayah pantai tersebut. Lama terjadinya pasang
di kawasan mangrove dapat mempengaruhi perubahan salinitas air dimana

138
salinitas akan meningkat pada saat pasang dan sebaliknya akan menurun pada
saat air laut surut. Selain itu perubahan salinitas yang terjadi sebagai akibat
lama terjadinya pasang merupakan faktor pembatas yang mempengaruhi
distribusi spesies secara horizontal Dalam hal ini, kawasan Pantai Bama
tergolong kategori landai dan memiliki pasang surut stabil sehingga spesies
mangrove yang ditemukan pun lebih beragam. Selain dipengaruhi oleh
fisiografi pantai dan pasang surut air laut juga dipengaruhi cahaya,curah
hujan, dan suhu. Kawasan hutan mangrove di Pantai Bama memiliki
pencahayaan yang cukup. Ekosistem hutan mangrovenya juga tidak
membentuk kanopi sehingga dapat ditembus oleh sinar matahari. Cahaya
memiliki peranan yang cukup penting dalam mendukung kehidupan suatu
tumbuhan. Cahaya berpengaruh terhadap proses fotosintesis, respirasi,
fisiologi, dan struktur fisik mangrove. Mangrove merupakan tumbuhan long
day plants yang membutuhkan intensitas cahaya yang tinggi sehingga sesuai
untuk hidup di daerah tropis. Curah hujan optimum pada suatu lokasi yang
dapat mempengaruhi pertumbuhan mangrove adalah yang berada pada
kisaran 1500-3000 mm/tahun. Kawasan hutan mangrove di Pantai Bama
Baluran Situbondo memiliki kisaran curah hujan yang cukup tinggi yaitu
sekitar 1700 mm/tahun. Suhu di kawasan hutan mangrove pantai Bama
Baluran Situbondo adalah 26 0C. Suhu ini merupakan suhu opotimum bagi
pertumbuhan spesies mangrove, seperti Rhizophora stylosa, Ceriops,
Excocaria, Lumnitzera, dan Xylocarpus. Keseluruhan karakteristik syarat
tumbuh mangrove tersebut dimiliki oleh Kawasan Hutan Mangrove Pantai
Bama Baluran, sehingga mangrove yang ada di sana dapat tumbuh dengan
subur dan spesiesnya pun beraneka ragam.
Berdasarkan Tabel 2. dan Grafik 1. di atas diketahui bahwa spesies
Ceriops tagal memiliki INP sebesar 30,446 ; Excoecaria agallocha memiliki
INP sebesar 30,295 ; Rhizophora apiculata memiliki INP sebesar 178,21 ;
Rhizophora stylosa memiliki INP sebesar 24,36 ; Xilocarpus xilokensis
memiliki INP sebesar 19,369 dan Sonneratia alba memiliki INP sebesar
18,33. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa jenis yang paling dominan
adalah Rhizophora apiculata dengan INP tertinggi yaitu 178,21, sedangkan

139
Sonneratia alba adalah jenis yang tersisih dengan INP terendah yaitu sebesar
18,33.
Rhizophora apiculata merupakan spesies mangrove yang paling
mendominasi di hutang Mangrove Pantai Bama, sedangkan Sonneratia alba
merupakan spesies mangrove yang tersisih atau paling sedikit ditemukan di
kawasan hutan Mangrove Pantai Bama. Hasil ini menunjukkan bahwa
mangrove jenis Rhizophora apiculata memiliki daya adaptasi yang besar
sehingga ia mampu bertahan di kawasan tersebut. Berdasarkan pembagian
tipe zonasi hutan Mangrove di Indonesia menurut Bengen (2002) dalam
Fachrul (2007), Rhizopora sp. menempati zona Mangrove tipe kedua yaitu
“zona lebih ke arah darat”. Dari habitatnya tersebut dapat diketahui bahwa
“zona lebih ke arah darat” memiliki salinitas yang lebih rendah dibanding
zona yang lebih dekat dengan pantai. Meskipun mangrove toleran terhadap
tanah bergaram (halophytes), namun mangrove lebih bersifat facultative
daripada bersifat obligative karena dapat tumbuh dengan baik di air tawar
(LPP Mangrove, 2008), itu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
Rhizopora apiculata menempati urutan paling dominan di kawasan hutan
Mangrove Pantai Bama Baluran Situbondo. Selain itu, pada “zona lebih ke
arah darat” kenampakan geografis tanahnya (substrat) dalam, tebal, dan
berlumpur. Menurut (Anonim, 2011) karakteristik substrat merupakan faktor
pembatas terhadap pertumbuhan mangrove. Rhizophora apiculata dapat
tumbuh baik pada substrat yang dalam/tebal dan berlumpur. Jika ditinjau dari
daya adaptasi akarnya, Rhizopora apiculata memiliki struktur akar dengan
tipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel, sehingga jenis tersebut
dapat dengan mudah beradaptasi dengan lingkungan yang memiliki kadar
oksigen rendah. Rhizopora apiculata juga memiliki adaptasi yang tinggi
terhadap polutan, ia mampu menyerap 300 ppm Mn, 20 ppm Zn, 15 ppm Cu
(Darmiyati et al., 1995). Beberapa alasan tersebutlah yang menyebabkan
Rhizopora apiculata paling mendominasi di kawasan hutan Mangrove di
Pantai Bama Baluran Situbondo.
Sedangkan untuk Sonneratia alba merupakan spesies yang paling
sedikit ditemukan di kawasan hutan Mangrove Pantai Bama Baluran

140
Situbondo. Hal ini bisa disebabkan karena adaptasi yang rendah dari jenis
Sonneratia alba itu sendiri. Menurut Bengen (2002) dalam Fachrul (2007)
Sonneratia alba menempati zona yang paling dekat dengan laut, dengan
substrat yang berpasir dan memiliki sedikit lumpur karena lumpurnya sering
terkikis ketika terjadi pasang surut air laut. Selain itu zona ini juga memiliki
salinitas yang cukup tinggi yaitu sekitar 35 ppt, padahal menurut (Anonim,
2011) salinitas optimum yang dibutuhkan mangrove untuk tumbuh berkisar
antara 10-30 ppt. Zona dekat pantai ini juga merupakan daerah yang paling
sering dihantam ombak atau terkena efek secara langsung dari pasang surut
air laut. Dengan kondisi yang ekstrim tersebut serta daya adaptasi yang
rendah menyebabkan Sonneratia alba menjadi spesies yang tersisih atau
paling sedikit jumlahnya di kawasan Hutan Mangrove Pantai Bama Baluran-
Situbondo.

141
BAB V
PENUTUP

A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di kawasan hutan
Mangrove Pantai Bama Taman Nasional Baluran-Situbondo, dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Ditemukan 6 jenis tanaman Mangrove dengan 5 marga. Keenam spesies
tersebut adalah Ceriops tagal, Excoecaria agallocha, Rhizophora
apiculata, Rhizophora stylosa, Xilocarpus xilokensis, Sonneratia alba.
2. Tumbuhan mangrove yang paling dominan di Kawasan Hutan Mangrove
Pantai Bama adalah jenis Rhizophora apiculata dengan INP sebesar
178,21 sedangkan yang paling tersisih atau paling sedikit adalah jenis
Sonneratia alba dengan INP sebesar 18,33.

142
DAFTAR PUSTAKA

Anonim a. 2011. Sistematika Rhizopora apiculata. Diakses dari


www.wikipedia.com, pada tanggal 27 Mei 2011

Anonim a. 2011. Sistematika Rhizophora stylosa. Diakses dari


www.wikipedia.com, pada tanggal 27 Mei 2011

Anonim b. 2011. Sistematika Soneratia alba. Diakses dari www.wikipedia.com,


pada tanggal 27 Mei 2011

Anonim c. 2011. Sistematika Excoecaria agallocha. Diakses dari


www.wikipedia.com, pada tanggal 27 Mei 2011

Robinson. 2008. Sistematika Ceriops tagal. Diakses dari www.wikipedia.com,


pada tanggal 27 Mei 2011

Junaidi. 2011. Fungsi Hutan Mangrove. Diakses dari http://wawan-


junaidi.blogspot.com pada tanggal 27 Mei 2011.

Anonim d. 2011. Manfaat Hutan Mangrove. Diakses dari http://pengertian-


definisi.blogspot.com tanggal 27 Mei 2011)

http://sterilthunder.wordpress.com/2011/07/20/manfaat-hutan-mangrove (diakses
tanggal 27 Mei 2011)

http://www.scribd.com/doc/28802857/Manfaat-Hutan-Mangrove (diakses tanggal


27 Mei 2011).

http://iwanketch.wordpress.com/2007/11/26/hutan-mangrove/ (diakses tanggal 27


Mei 2011).

http://komitmenku.files.wordpress.com/2008/06/20030722-mencegah-kerusakan-
pantai-melestarikan-keanekaragaman-hayati.pdf (diakses tanggal 27 Mei
2011).

http://slamet-triyono.blogspot.com/2009/08/hutan-mangrove-1.html (diakses
tanggal 27 Mei 2011).

http://asatrio.wordpress.com/2009/07/14/mangrove-hidup-di-air-tawar/ (diakses
tanggal 27 Mei 2011).

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22727/4/Chapter%20II.pdf
(diakses tanggal 27 Mei 2011).

http://blog.unila.ac.id/redha/2009/08/10/karakteristik-morfologis-mangrove/
(diakses tanggal 27 Mei 2011).

143
http://itswrong.webs.com/klh_siltrop.pdf (diakses tanggal 27 Mei 2011).

http://rahmatkusnadi6.blogspot.com/2011/08/hutan-mangrove.html (diakses
tanggal 27 Mei 2011).

http://balurannationalpark.web.id/laporan/klasifikasi-tanah-hutan-mangrove-
taman-nasional-baluran-jawa-timur/ (diakses tanggal 27 Mei 2011).

http://balurannationalpark.web.id/laporan/produksi-dan-laju-dekomposisi-serasah/
(diakses tanggal 27 Mei 2011)

http://balurannationalpark.web.id/wpcontent/uploads/2011/04/UjiCobaPembibitan
CeripsTagal-Baluran-05-FIX.pdf (diakses tanggal 27 Mei 2011).

http://www.smallcrab.com/others/492-mengenal-manfaat-mangrove (diakses
tanggal 27 Mei 2011).

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/917/1/hutan-anita.pdf (diakses
tanggal 27 Mei 2011).

http://www.lablink.or.id/Eko/Wetland/lhbs-mangrove.htm (diakses tanggal 27


Mei 2011).

http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/71091519.pdf (diakses tanggal 27 Mei


2011).

http://www.wisatamalang.com/jatim/wisata-alam/224-taman-nasional
baluran.html (diakses tanggal 27 Mei 2011).

http://elciellotourtravel.blogspot.com/2011/01/taman-nasional-baluran-3-hari-2-
malam.html (diakses tanggal 27 Mei 2011).

http://acehpedia.org/Faktor_Yang_Mempengaruhi_Pertumbuhan_Mangrove
(diakses tanggal 27 Mei 2011).

http://dipasenator.mywapblog.com/mangrove.xhtml (diakses tanggal 27 Mei


2011).

http://digilib.unej.ac.id/gdl42/gdl.php?mod=browse&op=read&id=gdlhub-gdl-
liatrisnaw-3828 (diakses tanggal 27 Mei 2011).

http://www.dephut.go.id/files/Chairil_Hendra.pdf (diakses tanggal 27 Mei 2011).

http://balurannationalpark.web.id/wp-content/uploads/2011/04/2011-
monitoringburungmangrove.pdf (diakses tanggal 27 Mei 2011).

http://www.docstoc.com/docs/9318223/mangrove (diakses tanggal 27 Mei 2011).

144
LAMPIRAN

Kerapatan Total
 Kerapatan total Ceriops tagal

= = 117,3

 Kerapatan total Excoecaria agallocha

= = 29,83

 Kerapatan total Rhizophora apiculata

= = 0,88

 Kerapatan total Rhizophora stylosa

= = 6,39

 Kerapatan total Xilocarpus xilokensis

= = 149,25

 Kerapatan total Sonneratia alba

= = 10,48

Kerapatan Mutlak (KM)

 KM spesies Ceriops tagal = x kerapatan total

= x 117,3 = 1,62

145
 KM spesies Excoecaria agallocha

= x kerapatan total

= x 29,83 = 1,44

 KM spesies Rhizophora apiculata

= x kerapatan total

= x 0,88 = 0,69

 KM spesies Rhizophora stylosa

= x kerapatan total

= x 6,39 = 0,53

 KM spesies Xilocarpus xilokensis

= x kerapatan total

= x 149,25 = 1,03

 KM spesies Sonneratia alba

= x kerapatan total

= x 10,48 = 0,65

 Ʃ KM seluruh spesies = 1,62 + 1,44 + 0,69 + 0,53 +1,03 +0,65


= 5,96

Kerapatan Relatif (KR)

 KR spesies Ceriops tagal = x 100%

= x 100% = 28,36

 KR spesies Excoecaria agallocha

= x 100%

= x 100% = 24

 KR spesies Rhizophora apiculata

= x 100%

146
= x 100% =11,57

 KR spesies Rhizophora stylosa

= x 100%

= x 100% =8,89

 KR spesies Xilocarpus xilokensis

= x 100%

= x 100% =17,28

 KR spesies Sonneratia alba

= x 100%

= x 100% =10,9

Frekuensi Mutlak (FM)


 FM spesies Ceriops tagal

= x 100 %

= x 100% =2,08

 FM spesies Excoecaria agallocha

= x 100 %

= x 100% =6,25

 FM spesies Rhizophora apiculata

= x 100 %

= x 100% =68,75

 FM spesies Rhizophora stylosa

= x 100 %

= x 100% =14,58

 FM spesies Xilocarpus xilokensis

= x 100 %

147
= x 100% =2,08

 FM spesies Sonneratia alba

= x 100 %

= x 100% =6,25

 Ʃ FM seluruh spesies =2,08+6,25+68,75+14,58+2,08+6,25


=99,99

Frekuensi Relatif (FR)


 FR spesies Ceriops tagal

= x 100 %

= x 100% =2,08

 FR spesies Excoecaria agallocha

= x 100 %

= x 100% =6,25

 FR spesies Rhizophora apiculata

= x 100 %

= x 100% =68,75

 FR spesies Rhizophora stylosa

= x 100 %

= x 100% =14,58

 FR spesies Xilocarpus xilokensis

= x 100 %

= x 100% =2,08

 FR spesies Sonneratia alba

= x 100 %

= x 100% =6,28

148
Dominasi
 Jumlah basal area Ceriops tagal = . π.D2

= . 3,14.(0,236)2

= 0,04 m
 Jumlah basal area Excoecaria agallocha = . π.D2

= . 3,14.(0,601)2

= 0,28 m
 Jumlah basal area Rhizophora apiculata = . π.D2

= . 3,14.(28,086)2

= 619,22 m
 Jumlah basal area Rhizophora stylosa = . π.D2

= . 3,14.(2,684)2

= 5,66 m
 Jumlah basal area Xilocarpus xilokensis = . π.D2

= . 3,14.(0,287)2

= 0,06 m
 Jumlah basal area Sonneratia alba = . π.D2
1
= 4 . 3,14.(3,047)2

= 7,29 m
1
 Jumlah basal area seluruh spesies = . π.D2
4
1
= 4 . 3,14.(34,941)2

= 958,38 m
Dominasi Mutlak (DM)
0 04
 DM spesies Ceriops tagal = 958 38 x 100 %

= 0 00417
0 28
 DM spesies Excoecaria agallocha = 958 38 x 100 %

= 0 03

149
619 22
 DM spesies Rhizophora apiculata = x 100 %
958 38

= 64,61
5 66
 DM spesies Rhizophora stylosa = 958 38 x 100 %

= 0 59
0 06
 DM spesies Xilocarpus xilokensis = 958 38 x 100 %

= 0 00626
7 29
 DM spesies Ceriops tagal = 958 38 x 100 %

= 0 76
Ʃ DM = 0,00417 + 0,03 + 64,61 + 0,59 + 0,006 + 0,76
= 66,00043

Dominasi Relatif (DR)


0 00417
 DR spesies Ceriops tagal = x 100 %
66 00043

= 0,006
0 03
 DR spesies Excoecaria agallocha = x 100 %
66 00043

= 0,045
64 61
 DR spesies Rhizophora apiculata = x 100 %
66 00043

= 97,89
0 59
 DR spesies Rhizophora stylosa = 66 00043 x 100 %

=
0 006
 DR spesies Xilocarpus xilokensis = 66 00043 x 100 %

=
0 76
 DR spesies Sonneratia alba = 66 00043 x 100 %

Indeks Nilai Penting (INP)


INP Ceriops tagal = 28,36 + 2,08 + 0,006 = 30,446
INP Excoecaria agallocha = 24 + 6,25 + 0,045 = 30,295

150
INP Rhizophora apiculata = 11,57 + 68,75 + 97,89 = 178,21
INP Rhizophora stylosa = 8,89 + 14,58 + = 24,36
INP Xilocarpus xilokensis = 17,28+ 2,08 + = 19,369
INP Sonneratia alba = 10,9 + 6,28 + = 18,33

151
LAPORAN
ANALISIS POHON

152
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Analisis vegetasi pohon merupakan kajian untuk mengetahui
komposisi dan struktur pohon di daerah tertentu. Kegiatan analisis vegetasi
pada dasarnya ada dua metode yaitu dengan menggunakan petak dan tanpa
petak. Salah satu metode dengan petak yang banyak digunakan adalah
kombinasi antara metode jalur dengan metode garis petak (biasanya
digunakan pada metode analisis vegetasi hutan).
Taman Nasional Baluran, Situbondo memiliki area yang luas dimana
terdapat berbagai macam vegetasi yang ditemukan. Dalam setiap area
terdapat tumbuhan yang hampir sama. Vegetasi (komunitas tumbuhan) diberi
nama atau digolongkan berdasarkan spesies atau bentuk hidup yang dominan,
habitat fisik atau kekhasan yang fungsional. Oleh karena itu, maka kita dapat
menyatakan suatu komunitas seperti vegetasi, padang rumput, vegetasi pasar
pantai, vegetasi kebun teh, vegetasi hutan bakau.
Dalam kegiatan-kegiatan penelitian di bidang ekologi hutan seperti
halnya pada bidang-bidang ilmu lainnya yang bersangkut paut dengan sumber
daya alam dikenal 2 jenis tipe pengukuran untuk mendapatkan informasi atau
data yang diinginkan. Kedua jenis pengukuran tersebut adalah pengukuran
yang bersifat merusak (destruktive measure) dan pengukuran yang tidak
merusak (non destruktive measure). Untuk keperluan penelitian agar hasil
dapat dianggap sah secara statistika, penggunaan kedua jenis pengukuran
tersebut mutlak harus menggunakan satuan contoh (sampling unit). Apabila
bagi seorang peneliti yang mengambil objek hutan dengan cakupan area yang
luas dengan sampling, seorang peneliti dapat memperoleh informasi atau data
yang diinginkan lebih cepat dan lebih teliti dengan biaya dan tenaga lebih
sedikit bila dibandingkan dengan inventarisasi penuh (metode sensus) pada
anggota suatu populasi.
Supaya data penelitian yang diperoleh bersifat valid, maka sebelum
melakukan penelitian dengan metode sampling kita harus menentukan

153
terlebih dahulu tentang metode sampling yang akan digunakan, jumlah,
ukuran, dan peletakan satuan-satuan unit contoh. Pemilih metode sampling
yang akan digunakan bergantung pada keadaan morfologi jenis tumbuhan dan
penyebarannya, tujuan penelitian, dan biaya serta tenaga yang tersedia.
Berdasarkan data pengukuran pada unit contoh tersebut dapat
diketahui nama-nama jenis dari tumbuhan yang ditemukan, jenis dominan,
pola asosiasi, keragaman jenis, dan yang terpenting diketahui nilai penting
relatif dari masing-masing sepesies yang ditemukan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat diambil suatu rumusan
masalah sebagai berikut :
a. Berapa banyak tumbuhan yang dapat diidentifikasi pada Taman Nasional
Baluran?
b. Berapa kerapatan populasi suatu vegetasi pohon pada Taman Nasional
Baluran?
c. Berapa dominansi relatif suatu vegetasi pohon pada Taman Nasional
Baluran?
d. Berapa frekuensi relatif suatu vegetasi pohon pada Taman Nasional
Baluran?
e. Berapa nilai penting suatu komunitas tumbuhan pada Taman Nasional
Baluran?
f. Bagaimana analisis vegetasi pada Taman Nasional Baluran?

C. Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum “Analisis Vegetasi Pohon Di Taman
Nasional Baluran” antara lain:
a. Mengidentifikasi nama tumbuhan pada Taman Nasional Baluran.
b. Menentukan kerapatan populasi pada Taman Nasional Baluran.
c. Menentukan dominansi relatif pada Taman Nasional Baluran.
d. Menentukan frekuensi relatif pada Taman Nasional Baluran.

154
e. Menentukan nilai penting suatu komunitas tumbuhan pada Taman
Nasional Baluran.
f. Melakukan analisis vegetasi pada Taman Nasional Baluran.

D. Manfaat
Adapun manfaat dari praktikum “Analisis Vegatasi Pohon Di Taman
Nasional Baluran” antara lain:
a. Menambah khasanah ilmu.
b. Menumbuhkan jiwa petualang.
c. Memberikan gambaran kepada pembaca tentang keadaan Vegetasi Pohon
Di Taman Nasional Baluran.

155
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Taman Nasional Baluran

Gbr. Lokasi TN Baluran


(Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Taman_Nasional_Baluran)

Taman Nasional Baluran adalah miniatur hutan Indonesia karena


hampir semua tipe hutan terdapat di Taman Nasional Baluran.Dan yang
paling khas dari wilayah ini adalah hamparan savana yang luasnya menutupi
kurang lebih 40% wilayah Baluran. Temperatur udara 27° – 34° C, curah
hujan 900 – 1.600 mm/tahun, ketinggian tempat 0 – 1.247 m. dpl, dan letak
geografisnya 7°29’ – 7°55’ LS, 114°17’ – 114°28’ BT (Anonim, 2010).
Taman Nasional Baluran merupakan perwakilan ekosistem hutan yang
spesifik kering di Pulau Jawa, terdiri dari tipe vegetasi savana, hutan
mangrove, hutan musim, hutan pantai, hutan pegunungan bawah, hutan rawa
dan hutan yang selalu hijau sepanjang tahun. Sekitar 40 persen tipe vegetasi
savana mendominasi kawasan Taman Nasional Baluran (Anonim, 2010).

156
Tumbuhan yang ada di taman nasional ini sebanyak 444 jenis,
diantaranya terdapat tumbuhan asli yang khas dan menarik yaitu widoro
bukol (Ziziphus rotundifolia), mimba (Azadirachta indica), dan pilang
(Acacia leucophloea). Widoro bukol, mimba, dan pilang merupakan
tumbuhan yang mampu beradaptasi dalam kondisi yang sangat kering (masih
kelihatan hijau), walaupun tumbuhan lainnya sudah layu dan mengering.
Tumbuhan yang lain seperti asam (Tamarindus indica), gadung (Dioscorea
hispida), kemiri (Aleurites moluccana), gebang (Corypha utan), api-api
(Avicennia sp.), kendal (Cordia obliqua), manting (Syzygium polyanthum),
dan kepuh (Sterculia foetida) (Anonim, 2010).

B. Analisis vegetasi
Vegetasi merupakan kumpulan tumbuh-tumbuhan, biasanya terdiri
dari beberapa jenis yang hidup bersama-sama pada suatu tempat. Dalam
mekanisme kehidupan bersama tersebut terdapat interaksi yang erat, baik
diantara sesama individu penyusun vegetasi itu sendiri maupun dengan
organisme lainnya sehingga merupakan suatu sistem yang hidup dan tumbuh
serta dinamis (Marsono, 1977 dalam Anonim, 2008).
Vegetasi tanah dan iklim berhubungan erat dan pada tiap-tiap tempat
mempunyai keseimbangan yang spesifik. Vegetasi di suatu tempat akan
berbeda dengan vegetasi di tempat 1ain karena berbeda pula faktor
lingkungannya. Vegetasi hutan merupakan sesuatu sistem yang dinamis,
selalu berkembang sesuai dengan keadaan habitatnya (Marsono, 1977 dalam
Anonim, 2008).
Analisis vegetasi adalah suatu cara mempelajari susunan dan atau
komposisi vegetasi secara bentuk (struktur) vegetasi dari masyarakat tumbuh-
tumbuhan. Unsur struktur vegetasi adalah bentuk pertumbuhan, stratifikasi
dan penutupan tajuk. Untuk keperluan analisis vegetasi diperlukan data-data
jenis, diameter dan tinggi untuk menentukan indeks nilai penting dari
penvusun komunitas hutan tersebut. Dengan analisis vegetasi dapat diperoleh
informasi kuantitatif tentang struktur dan komposisi suatu komunitas

157
tumbuhan. Berdasarkan tujuan pendugaan kuantitatif komunitas vegetasi
dikelompokkan kedalam 3 kategori yaitu:
1. pendugaan komposisi vegetasi dalam suatu areal dengan batas-batas jenis
dan membandingkan dengan areal lain atau areal yang sama namun waktu
pengamatan berbeda.
2. menduga tentang keragaman jenis dalam suatu areal.
3. melakukan korelasi antara perbedaan vegetasi dengan faktor lingkungan
tertentu atau beberapa faktor lingkungan (Greig-Smith, 1983 dalam
Anonim, 2007).
Untuk mempelajari komposisi vegetasi dapat dilakukan dengan
Metode Berpetak (Teknik sampling kuadrat : petak tunggal atau ganda,
Metode Jalur, Metode Garis Berpetak) dan Metode Tanpa Petak (Metode
berpasangan acak, Titik pusat kwadran, Metode titik sentuh, Metode garis
sentuh, Metode Bitterlich) (Greig-Smith, 1983 dalam Anonim, 2007).
Pola komunitas dianalisis dengan metode ordinasi yang (Marsono,
1977 dalam Anonim, 2008) pengambilan sampel plot dapat dilakukan dengan
random, sistematik atau secara subyektif atau faktor gradien lingkungan
tertentu. Untuk memperoleh informasi vegetasi secara obyektif digunakan
metode ordinasi dengan menderetkan contoh-contoh (releve) berdasar
koefisien ketidaksamaan. Variasi dalam releve merupakan dasar untuk
mencari pola vegetasinya. Dengan ordinasi diperoleh releve vegetasi dalam
bentuk model geometrik yang sedemikian rupa sehingga releve yang paling
serupa mendasarkan komposisi spesies beserta kelimpahannya akan
mempunyai posisi yang saling berdekatan, sedangkan releve yang berbeda
akan saling berjauhan. Ordinasi dapat pula digunakan untuk menghubungkan
pola sebaran jenis-jenis dengan perubahan faktor lingkungan.
Untuk mengamati unit penyusun vegetasi yang luas secara tepat
sangat sulit dilakukan karena pertimbangan kompleksitas, luas area, waktu,
dan biaya. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya, peneliti bekerja dengan
melakukan pencuplikan (sampling). Unit cuplikan atau unit sampling dalam
analisis vegetasi dapat berupa bidang (plot, kuadrat), garis atau titik. Dalam
perkembangannya, unit cuplikan yang dipergunakan untuk suatu analisis

158
vegetasi menggambarkan metode yang digunakan. Dengan demikian dalam
pencuplikan mengenai suatu vegetasi digunakan berbagai alternatif metode
diantaranya: metode kuadrat (quadrat methods), metode garis (line intercept,
skrip trasect, bisect methods), dan metode titik (point methods) (Greig-Smith,
1983 dalam Anonim, 2007).
Pemilihan metode untuk analisis vegetasi tergantung pada bermacam
variabel, antara lain:
 Tujuan penelitian
 Tipe struktur vegetasi
 Karakter vegetasi yang akan di ukur, misalnya densitas (kerapatan),
dominansi, dan frekuensi spesies
 Derajat persisi dan akurasi yang diinginkan
 Waktu, biaya, dan tenaga peneliti yang tersedia
Kesemua faktor ini perlu dipertimbangkan, sehingga dapat membantu
memilih metode yang terbaik untuk situasi yang di hadapi di lapangan (Greig-
Smith, 1983 dalam Anonim, 2007).
Sabana merupakan suatu bentangan lahan khas berupa daratan yang
ditumbuhi rumput-rumputan yang tinggi dengan pohon dan semak-semak yang
berserakan. Sedangkan padang rumput merupakan daerah transisi atau ekoton
antara gurun dengan hutan di daerah iklim sedang, padang rumput terutama
terdapat di pedalaman daratan yang luas di daerah sub tropik, dan tropik,
wilayahnya datar atau sedikit bergunduk-gunduk (Anonim, 2007).
Tumbuhan yang dominasi adalah rumput-rumputan untuk
penggembalaan, dengan sedikit leguminosa dan beberapa jenis tumbuhan
tahunan yang pendek-pendek, tetapi pada beberapa padang rumput yang
lainnya ada juga yang di dominasi oleh berbagai jenis tumbuhan yang parineal
atau campurannya yang merupakan hemikriptofia berdaun sempit. Banyak
diantaranya tumbuh menggerombol dan sangaat tahan terhadap kekeringan
(Anonim, 2007).
Di Indonesia, kita mengenal padang rumput pada lereng-lereng
gunung pada ketinggian 1500 m ke atas tetapi juga ada padang rumput di
dataran rendah. Kebanyakan tumbuhan tersebut mempunyai karakteristik

159
perakarannya dangkal dan bagian-bagian di dalamnya membentuk anyaman
yang menahan hujan yang turun dan mencegah penetrasi ke lapisan yang lebih
dalam, sehingga membantu rumput tersebut untuk bertahan dalam persaingan
dengan pohon-pohon di daerah perairan yang curah hujannya hampir tidak
cukup untuk pertumbuhan pohon (Anonim, 2007).
Lahan rumput di daerah tropis dan sub tropis merupakan salah satu
tipe vegetasi utama, dan biasanya meliputi daerah yang sangat luas. Banyak
terdapat lahan rumput yang alami, terjadi akibat pengaruh iklim. Pohon-pohon
yang muncul pada jarak yang pendek atau lebar, umumnya kerdil dan penjol-
penjol tetapi kadang juga tinggi (Anonim, 2007).
Dalam pelaksanaannya pencuplikan, penempatan unit cuplikan di
dalam sebuah tegakan suatu vegetasi dapat dilakukan secara sistematik atau
secara acak. Pencuplikan secara acak dapat di lakukan dengan menempatkan
unit cuplikan pada tegakaan berdasarkan angka random atau pengundian.
Sedangkan pencuplikan secara sistematis dilakukan dengan menempatkan unit
cuplikan secara merata diseluruh tagakan. Untuk mencapai pola ini, unit
cuplikan ditempatkan pada jarak yang seragam di sepanjang garis transek dan
merata di seluruh tegakan. Walaupun pengambilan unit cuplikan yang
dilakukan secara random lebih sah dalam penerapan statistik (Tim ekologi,
2011).
Gambaran tentang suatu vegetasi dapat dilihat dari keadaan unit
penyusun vegetasi yang di cuplik. Berbagai karakter tumbuhan dapat di ukur,
biasanya parameter vegetasi yang umum diukur adalah densitas (kerapatan),
dominansi, frekuensi (kekerapan), dan Indeks Nilai Penting (INP). Densitas,
dominan, frekuensi, dan INP dapat di peroleh dengan berbagai cara metode
sampling. Parameter vegetasi tersebut dapat diukur secara kuantitatif sebagai
berikut :
1. Densitas seluruh spesies
Densitas seluruh spesies = Jumlah cacah individu seluruh spesies / Luas
daerah cuplikan
2. Densitas spesies A
Densitas spesies A = Jumlah cacah individu spesies A / Luas area cuplikan

160
3. Luas area cuplikan
Luas area cuplikan = Jumlah plot x Luas plot
4. Densitas relatif spesies A
Densitas relatif spesies A = Total cacah individu spesies A / Total cacah
individu seluruh spesies x 100%
5. Frekuensi absolute
Frekuensi absolut = Jumlah plot yang ada spesies A/ Jumlah seluruh plot x
100%
6. Frekuensi spesies A
Frekuensi adalah pengukuran distribusi atau agihan spesiesyang ditemukan
pada plot yang dikaji. Frekuensi menjawab pertanyaan pada plot mana saja
spesies tersebut ditemukan atau beberapa kali munculnya suatu spesies
pada plot yang di teliti. Frekuensi diekspresikan sebagai prosentase
munculnya cacah plot tempat suatu spesies ditemukan.
Frekuensi spesies A = jumlah plot terdapatnya spesies A x 100 %
jumlah seluruh plot yang dicuplik
Misalnya spesies A dalam 10 plot yang di teliti ditemukan 2 kali atau
muncul 2 kali,
2
Jadi frekuensi spesies A = x 100 % = 20 %
10
Frekuensi dapat di nyatakan dalam pecahan atau dalam persen. Frekuensi
dapat juga di ekspresikan dengan istilah relatif.
Frekuensi relatif spesies A = total frekuensi spesies A x 100 %
Jumlah total frekuensi spesies A
7. Frekuensi relatif
Frekuensi relatif = Frekuensi spesies A / Frekuensi spesies x 100 %
8. Kerapatan (K)
Kerapatan populasi di definisikan sebagai ukuran besar populasi yang
berhubungan dengan satuan ruang. Kerapatan kasar merupakan cacah
individu per satuan ruang total sedangkan kerapatan ekologik adalah cacah
individu per satuan habitat (luas daerah yang sesungguhnya dapat di huni

161
populasi). Bisa juga dinyatakan bahwa kerapatan adalah jumlah individu
per unit area (Cintron dan Novelli, 1984).
Individu dalam populasi mungkin diagihkan menurut tiga pola yaitu :
acak, seragam dan berkelompok (tidak teratur dan tidak teracak).
Dominasi adalah pengendalian nisbi yang di terapkan oleh makhluk atas
komposisi spesies dalam komunitas.
Indeks dominansi dapat di hitung dengan rumus :
X 2 .N
ID = n.
N ( N  1)
ID : indeks dominansi
n : jumlah plot yang di dalamnya terdapat spesies A
N : jumlah X (spesies A)
Tipe penyebaran:
 jika id = 1, maka distribusi populasi adalah random
 jika id > 1, maka distribusi populasi adalah seragam
 jika id < maka distribusi populasi adalah mengelompok.
9. Dominansi absolute spesies
Dominansi absolute diperoleh dengan cara sebagai berikut :
Dominansi absolute = Basal area : ukuran cuplikan area
10. Basal area
Basal area merupakan penutupan areal hutan mangrove oleh batang pohon.
Basal area didapatkan dari pengukuran batang pohon mangrove yang
diukur secara melintang (Cintron dan Novelli, 1984). Diameter batang tiap
spesies tersebut kemudian diubah menjadi basal area dengan
menggunakan rumus :
BA = (1/2 d)2 x π
Dimana : BA = Basal Area
π = 3,14
d = Diameter batang
11. Kerapatan absolute
Kerapatan absolute = Luas area / P2
Di mana : P = Total jarak / jumlah point center

162
12. Kerapatan relatif
Kerapatan relatif = Jumlah spesies / Total seluruh spesies x 100 % (Tim
ekologi, 2011).

163
BAB III
METODE PERCOBAAN

A. Jenis Penelitian
Penelitian ini tergolong penelitian observasi karena tidak
menggunakan variabel pembanding dan dilaksanakan secara langsung
berdasarkan observasi di lapangan.

B. Waktu dan Tempat


1. Waktu
Praktikum “Analisis Vegetasi Pohon Pada Taman Nasional Baluan”
dilakukan pada tanggal 23 Maret 2011, pada pukul 10.00 – 13.30 WIB.
2. Tempat
Praktikum “Analisis Vegetasi Pohon Pada Taman Nasional Baluran”
dilakukan di Taman Nasional Baluran, Situbondo, Jawa Timur.

C. Alat dan Bahan


1. Alat
 Meteran gulung 1 buah
 Tali raffia 1 gulung
 Timbangan 1 buah
 Cethok 1 buah
 Termometer tanah atau Hg atau alkohol 1 buah
 pH dan kelembaban tanah 1 buah
 Termometer tanah 1 buah
 Buku identifikasi 1 buah
 Alat tulis secukupnya
 Cutter/silet 1 buah
2. Bahan
 Kertas secukupnya
 Karet gelang secukupnya
 Kantong plastik secukupnya

164
 Isolasi/lakban secukupnya

D. Langkah Kerja
a) Menentukan luas area yang diteliti sepanjang garis transek di sekitar
Taman Nasional Baluran, Situbondo, Jawa Timur. Mengukur setiap jarak
di sepanjang 1 m garis transek. Menandai tiap- tiap transek sebagai titik
cuplikan tiap kelompok.
b) Tiap kelompok (stasiun) mengambil setiap titik sebanyak 4 kali.
c) Pada masing- masing plot kuadrat, menentukan titik pusatnya. Dari titik
pusat tersebut ditentukan 4 sub titik pusat. Setelah itu menentukan jarak
dari masing- masing sub titik pusat (Metode Sub Point Center).
d) Mengidentifikasi spesies tumbuhan yang paling dekat dengan titik pusat
pada tiap sub titik pusat (kuadran) dan mengukur diameternya serta
mengukur jaraknya dari point center. Pada analisis vegetasi pohon yang
diukur adalah diameter batang setinggi dada.
e) Mengambil daun atau bagian dari pohon untuk dibuat herbarium agar
mempermudah melakukan identifikasi.
f) Mengidentifikasi pohon tersebut dengan menggunakan buku identifikasi.
g) Mengukur pH tanah dan kelembaban tanah masing- masing dengan
menggunakan soil pH menggunakan soil tester.
h) Mengukur suhu tanah dengan termometer tanah atau termometer alkohol
atau Hg.
i) Mengukur parameter- parameter analisis vegetasi pohon dengan rumus.

165
E. Rancangan Percobaan

Jarak pohon 1

Jarak pohon 2

10 meter
Tali rafia
Pohon
centre

Jarak pohon 3
Jarak pohon 4

Mengukur diameter
10 meter masing-masing pohon

166
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
Data Kelas Analisis Vegetasi Pohon Di Kawasan Pantai Bama Baluran
Situbondo
Tabel 1. Data pohon yang terdapat di TN Baluran
▲ jarak ▲ diameter
No Nama spesies Jumlah ▲ PC
(m) (m)
1 Acacia nilotica 1 1,95 0,363 1
2 Asem (Tamarindus indica) 3 13,79 1,026 2
3 Batang lampung (Scaevola taccada) 1 3,13 0,143 1
4 Desmodium umbellatum 3 12,10 0,487 3
5 Gadung (Dioscorea hispida) 1 0,31 0,064 1
6 Garum 8 24,13 1,322 3
7 Gebang (Corypha utan) 21 119,75 9,299 12
8 Heritiera littoralis 6 34,29 2,611 5
9 Kalopilum inopitum 1 2,30 0,178 1
10 Kayu buta (Excoecaria agallocha) 17 57,72 3,658 7
11 Kendal (Cordia obliqua) 1 3,83 0,022 1
12 Kepuh (Sterculia foetida) 9 30,85 3,526 4
13 Ketapang (Terminalia catappa) 23 75,00 7,461 14
14 Koranji (Pongamia pinnata) 2 9,50 0,28 2
15 Lampeni (Ardisia elliptica) 3 5,21 0,256 3
16 Lontar 3 7,53 1,448 3
17 Lumnitcera 5 5,60 0,653 2
18 Malengen 6 19,99 0,92 3
19 Manting (Syzygium polyanthum) 6 17,57 1,038 5
20 Mantingan 9 34,20 2,355 5
21 Nyamplung (Calophyllum inopyllum) 1 2,80 0,08 1
22 Palem 4 20,31 1,92 3

167
23 Pilocarpus granatum 1 5,27 0,768 1
24 Popoan (Brunchania arborescens) 10 31,51 2,082 7
25 Psilocarpus sp. 3 20,00 0,465 3
26 Setigi (Pemphis acidula) 4 21,95 0,557 4
27 Trenggulum (Protium javanicum) 2 8,79 1,219 2
28 Vicus areodata 1 6,84 0,194 1
29 Waru laut (Thespesia populnea) 5 12,90 1,264 5
Jumlah total 160 609,12 45,659

B. Analisis
Terdapat 29 spesies pohon yang secara keseluruhan terdapat di
kawasan Pantai Bama Taman Nasional Baluran. Spesies tersebut adalah
Acacia nilotica, Asem (Tamarindus indica), Batang lampung (Scaevola
taccada), Desmodium umbellatum, Gadung (Dioscorea hispida), Garum,
Gebang (Corypha utan), Heritiera littoralis, Kalopilum inopitum, Kayu buta
(Excoecaria agallocha), Kendal (Cordia obliqua), Kepuh (Sterculia foetida),
Ketapang (Terminalia catappa), Koranji (Pongamia pinnata), Lampeni
(Ardisia elliptica), Lontar, Lumnitcera, Malengen, Manting (Syzygium
polyanthum), Mantingan, Nyamplung (Calophyllum inopyllum), Palem,
Pilocarpus granatum, Popoan (Brunchania arborescens), Psilocarpus sp.,
Setigi (Pemphis acidula), Trenggulum (Protium javanicum), Vicus areodata,
Waru laut (Thespesia populnea). Masing-masing spesies tidak terdapat
menyeluruh di hampir setiap stasiun,
Setiap spesies pohon yang ditemukan memiliki jumlah yang berbeda.
Hasil dari perhitungan analisis pohon setiap spesies pun memilki jumlah yang
bervariasi. Nilai dari kerapatan mutlak adalah 275, 990566 m, pada pohon
Acacia nilotica memilki nilai kerapatan mutlak 1,724941038 %, Kerapatan
relatif 0,62499991%, dominansi mutlak 0,06573889 m2, dominansi relatif
0,065754002 %, frekuensi mutlak 0,952380952 %, frekuensi relatif
0,952380952%, dan indeks nilai penting 1,643134946 %. Pohon Asem
(Tamarindus indica) memilki nilai kerapatan mutlak 5,174823113%,
kerapatan relatif 1,874999973%, dominansi mutlak 0,525294574m2,

168
dominansi relatif 0,52529548%, frekuensi mutlak 1,904761905%, frekuensi
relatif 1,904761905%, dan indeks nilai penting 4,305057358%.
Pohon Batang lampung (Scaevola taccada) memilki nilai kerapatan
mutlak 1,724941038%, kerapatan relatif 0,624999991%, dominansi mutlak
0,010204231m2, dominansi relatif 0,010204248%, frekuensi mutlak
0,952380952%, frekuensi relatif 0,952380952%, dan indeks nilai penting
1,587585192%.
Pohon Desmodium umbellatum memiliki nilai kerapatan mutlak
5,174823113%, kerapatan relatif 1,874999973%, dominansi mutlak
0,118349415m2, dominansi relatif 0,118349619%, frekuensi mutlak
2,857142857%, frekuensi relatif 2,857142857%, dan indeks nilai penting
4,850492449%.
Pohon Gadung (Dioscorea hispida) memiliki nilai kerapatan mutlak
1,724941038%, kerapatan relatif 0,624999991%, dominansi mutlak
0,00204394m2, dominansi relatif 0,002043944%, frekuensi mutlak
0,952380952%, frekuensi relatif 0,952380952%, dan indeks nilai penting
1,579424887%.
Pohon Garum memiliki nilai kerapatan mutlak 13,7995283%,
kerapatan relatif 4,999999928%, dominansi mutlak 0,872109673m2,
dominansi relatif 0,872111178%, frekuensi mutlak 2,857142857%, frekuensi
relatif 2,857142857%, dan indeks nilai penting 8,729253962%.
Pohon Gebang (Corypha utan) memiliki nilai kerapatan mutlak
36,22376179%, kerapatan relatif 13,12499981%, dominansi mutlak
43,14998893m2, dominansi relatif 43,15006337%, frekuensi mutlak
11,42857143%, frekuensi relatif 11,42857143%, dan indeks nilai penting
67,70363461%.
Pohon Heritiera littoralis memilki nilai kerapatan mutlak
10,3496423%, kerapatan relatif 3,749999946%, dominansi mutlak
3,401903083m2, dominansi relatif 3,401908952%, frekuensi mutlak
4,761904762%, frekuensi relatif 4,761904762%, dan indeks nilai penting
11,91381366%.

169
Pohon Kalopilum inopitum memilki nilai kerapatan mutlak
1,724941038%, kerapatan relatif 0,624999991%, dominansi mutlak
2
0,015810594m , dominansi relatif 0,015810622%, frekuensi mutlak
0,952380952%, frekuensi relatif 0,952380952%, dan indeks nilai penting
1,593191565%.
Pohon Kayu buta (Excoecaria agallocha) memilki nilai kerapatan
mutlak 29,32399764%, kerapatan relatif 10,62499985%, dominansi mutlak
6,677218616m2, dominansi relatif 6,077230135%, frekuensi mutlak
6,666666667%, frekuensi relatif 6,666666667%, dan indeks nilai penting
23,96889665.
Pohon Kendal (Cordia obliqua) memiliki nilai kerapatan mutlak
1,724941038%, kerapatan relatif 0,624999991%, dominansi mutlak
0,00024152m2, dominansi relatif 0,000241521%, frekuensi mutlak
0,952380952%, frekuensi relatif 0,952380952%, dan indeks nilai penting
1,577622464%.
Pohon Kepuh (Sterculia foetida) memiliki nilai kerapatan mutlak
15,52446934%, kerapatan relatif 5,624999918%, dominansi mutlak
6,204014571m2, dominansi relatif 6,204025274%, frekuensi mutlak
3,80952381%, frekuensi relatif 3,80952381%, dan indeks nilai penting
15,638549%.
Pohon Ketapang (Terminalia catappa) memiliki nilai kerapatan
mutlak 39,67364386%, kerapatan relatif 14,37499979%, dominansi mutlak
7,77808313m2, dominansi relatif 27,77813105%, frekuensi mutlak
13,3333333%, frekuensi relatif 13,3333333%, dan indeks nilai penting
55,48646417%.
Pohon Koranji (Pongamia pinnata) memilki nilai kerapatan mutlak
3,449882075%, kerapatan relatif 1,249999982%, dominansi mutlak
0,039122289 m2, dominansi relatif 0,039122356%, frekuensi mutlak
1,904761905%, frekuensi relatif 1,904761905%, dan indeks nilai penting
3,193884243%.
Pohon Lampeni (Ardisia elliptica) memilki nilai kerapatan mutlak
5,174823113 %, kerapatan relatif 1,874999973%, dominansi mutlak

170
0,03270304m2, dominansi relatif 0,032703096%, frekuensi mutlak
2,857142857%, frekuensi relatif 2,857142857%, dan indeks nilai penting
4,764845926%.
Pohon Lontar memilki nilai kerapatan mutlak 5,174823113%,
kerapatan relatif 1,874999973%, dominansi mutlak 1,04627372m2,
dominansi relatif 1,046275525%, frekuensi mutlak 2,857142857%, frekuensi
relatif 2,857142857%, dan indeks nilai penting 5,778418355%.
Pohon Lumnitcera memilki nilai kerapatan mutlak 8,624705188%,
kerapatan relatif 3,124999955%, dominansi mutlak 0,212781838m2,
dominansi relatif 0,212782205%, frekuensi mutlak 1,904761905%, frekuensi
relatif 1,904761905%, dan indeks nilai penting 5,242544064%.
Pohon Malengen memilki nilai kerapatan mutlak 10,34964623%,
kerapatan relatif 3,749999946%, dominansi mutlak 0,422361037m2,
dominansi relatif 0,422361766%, frekuensi mutlak 2,857142857%, frekuensi
relatif 2,857142857%, dan indeks nilai penting 7,029504509%.
Pohon Manting (Syzygium polyanthum) memiliki nilai kerapatan
mutlak 10,34964623%, kerapatan relatif 3,74999946%, dominansi mutlak
0,537654024m2, dominansi relatif 0,537654951%, frekuensi mutlak
4,761904762%, frekuensi relatif 4,761904762%, dan indeks nilai penting
9,049559659%.
Pohon Mantingan memiliki nilai kerapatan mutlak 15,2446934%,
kerapatan relatif 5,624999918%, dominansi mutlak 2,767515208m2,
dominansi relatif 2,767519983%, frekuensi mutlak 4,761904762%, frekuensi
relatif 4,761904762%, dan indeks nilai penting 13,15442466%.
Pohon Nyamplung (Calophyllum inopyllum) memiliki nilai kerapatan
mutlak 1,724941038%, kerapatan relatif 0,624999991%, dominansi mutlak
0,003193656m2, dominansi relatif 0,003193662%, frekuensi mutlak
0,952380952%, frekuensi relatif 0,952380952%, dan indeks nilai penting
1,580574605%.
Pohon Palem memiliki nilai kerapatan mutlak 6,89976415%,
kerapatan relatif 2,499999964%, dominansi mutlak 1,839545993m2,

171
dominansi relatif 1,839549166%, frekuensi mutlak 2,857142857%, frekuensi
relatif 2,857142857%, dan indeks nilai penting 7,196691987%.
Pohon Pilocarpus granatum memiliki nilai kerapatan mutlak
1,724941038%, kerapatan relatif 6,24999991%, dominansi mutlak
0,294327359m2, dominansi relatif 6,294327867%, frekuensi mutlak
0,952380952%, frekuensi relatif 0,952380952%, dan indeks nilai penting
1,87170881%.
Pohon Popoan (Brunchania arborescens) memiliki nilai kerapatan
mutlak 17,24941038%, kerapatan relatif 6,249999909%, dominansi mutlak
2,163065366m2, dominansi relatif 2,163069097%, frekuensi mutlak
6,666666667%, frekuensi relatif 6,666666667%, dan indeks nilai penting
15,07973567%.
Pohon Psilocarpus sp.memiliki nilai kerapatan mutlak
5,174823113%, kerapatan relatif 1,874999973%, dominansi mutlak
0,107898175m2, dominansi relatif 0,107898361%, frekuensi mutlak
2,857142857%, frekuensi relatif 2,857142857%, dan indeks nilai penting
4,840041191%.
Pohon Setigi (Pemphis acidula) memiliki nilai kerapatan mutlak
6,89976445%, kerapatan relatif 2,499999964%, dominansi mutlak
2
0,154810977m , dominansi relatif 0,154817244%, frekuensi mutlak
3,80952381%, frekuensi relatif 3,80952381%, dan indeks nilai penting
6,464341018%.
Pohon Trenggulum (Protium javanicum) memiliki nilai kerapatan
mutlak 3,449882075%, kerapatan relatif 1,249999982%, dominansi mutlak
0,741507596m2, dominansi relatif 0,741508876%, frekuensi mutlak
1,904761905%, frekuensi relatif 1,904761905%, dan indeks nilai penting
3,896270762%.
Pohon Vicus areodata memiliki nilai kerapatan mutlak
1,724941038%, kerapatan relatif 0,624999991%, dominansi mutlak
0,018780695 m2, dominansi relatif 0,018780727%, frekuensi mutlak
0,952380952%, frekuensi relatif 0,952380952%, dan indeks nilai penting
1,59616167%.

172
Pohon Waru laut (Thespesia populnea) memiliki nilai kerapatan
mutlak 8,624705188%, kerapatan relatif 3,124999955%, dominansi mutlak
0,797264343m2, dominansi relatif 0,797265719%, frekuensi mutlak
4,5761904762%, frekuensi relatif 4,5761904762%, dan indeks nilai penting
8,684170435%.

C. Pembahasan
Pada seluruh stasiun didapatkan 29 spesies pohon yang berada di
lokasi observasi yaitu Pantai Bama kawasan Taman Nasional Baluran
memiliki suhu tanah sebesar 27oC, dengan kelembaban 75% dan pH tanah 7.
Jumlah dari seluruh spesies adalah 160 pohon dan masing-masing pohon
memiliki nilai analisis vegetasi yang berbeda-beda. Nilai-nilai analisis
tersebut yaitu:
a. Densitas (kerapatan)
Densitas (kerapatan) adalah jumlah cacah individu suatu spesies per satuan
luas. Luas tersebut dapat dalam meter persegi (m2) atau hektar (Ha=
10.000m2).

Densitas seluruh spesies =

Luas area cuplikan adalah jumlah plot dan luas plot yang diteliti.
Perhitungan diatas adalah perhitungan densitas absolute atau disebut juga
densitas actual. Untuk tujuan tertentu akan sangat berguna bila konstribusi
cacah individu dari satu spesies diekspresikan sebagai hubungan antara
cacah individu suatun spesies dengan total cacah individu seluruh spesies
yang akan ditemukan didalam seluruh plot yang dikaji. Ini disebut sebagai
densitas relatif.
Densitas relatif spesiesA

= x100 %

Berdasarkan hasil análisis Kerapatan relatif yang paling besar adalah nilai
dari pohon Ketapang (Terminalia catappa) karena pohon Ketapang
merupakan pohon yang paling banyak ditemukan diantara semua spesies
yang ditemukan dalam 10 stasiun yang di buat di lingkungan observasi

173
kelas. Ini dapat menunjukkan bahwa kemungkinan pohon Ketapang adalah
pohon yang paling banyak tumbuh pada kawasan pantai Bama.
b. Frekuensi
Frekuensi adalah pengukuran distribusi atau agihan spesies yang
ditemukan pada plot yang dikaji. Frekuensi menjawab pertanyaan pada
plot mana saja spesies tersebut ditemukan atau beberapa kali munculnya
suatu spesies pada plot yang diteliti. Frekuensi diekspresikan sebagai
presentase munculnya cacah plot tempat suatu spesies ditemukan.

Frekuensi spesies A = x 100 %

Frekuensi dapat dinyatakan dalam pecahan atau dalam persen. Frekuensi


dapat juga diekspresikan dengan istilah relatif.

Frekuensi relatif spesies A = x 100 %

Dan Nilai frekuensi relatif setiap spesies pohon setelah dimasukkan


dalam perhitungan frekuensi berbeda-beda dan didapatkan nilai dalam
persen untuk spesies pohon berturut-turut adalah Acacia nilotica sebesar
0,952380952%, Asem (Tamarindus indica) sebesar 1,904761905%,
Batang lampung (Scaevola taccada) sebesar 0,952380952%, Desmodium
umbellatum sebesar 2,857142857%, Gadung (Dioscorea hispida) sebesar
0,952380952%, Garum sebesa 2,857142857%, Gebang (Corypha utan)
sebesar 11,42857143%, Heritiera littoralis sebesar 4,761904762%,
Kalopilum inopitum sebesar 0,952380952%, Kayu buta (Excoecaria
agallocha) sebesar 6,666666667%, Kendal (Cordia obliqua) sebesar
0,952380952%, Kepuh (Sterculia foetida) sebesar 3,80952381%,
Ketapang (Terminalia catappa) sebesar 13,3333333%, Koranji (Pongamia
pinnata) sebesar 1,904761905%, Lampeni (Ardisia elliptica) sebesar
2,857142857%, Pohon Lontar sebesar 2,857142857%, Lumnitcera sebesar
1,904761905%, Malengen sebesar 2,857142857%, Manting (Syzygium
polyanthum) sebesar 4,761904762%, Mantingan sebesar 4,761904762%,
Nyamplung (Calophyllum inopyllum) sebesar 0,952380952%, Palem
sebesar 2,857142857%, Pilocarpus granatum sebesar 0,952380952%,
Popoan (Brunchania arborescens) sebesar 6,666666667%, Psilocarpus sp.

174
sebesar 2,857142857%, Setigi (Pemphis acidula) sebesar 3,80952381%,
Trenggulum (Protium javanicum) sebesar 1,904761905%, Vicus areodata
sebesar 0,952380952%, dan Waru laut (Thespesia populnea) sebesar
4,5761904762%,
Nilai frekuensi yang paling besar adalah pohon Ketapang,sesuai
dengan densitas yang paling karena spesies manting lebih sering muncul di
tiap stasiun.
c. Dominansi
Dominansi suatu spesies yang telah didapat nilainya diatas dapat
ditentukan dengan mengukur basal area pohon atau penutup (coverage)
pohon atau herba. Luas basal area suatu jenis pohon dapat diperoleh dari
diameter pohon setinggi 1,5 m dari permukaan tanah. Bila pohonnya
mempunyai akar banir maka diameter pohon diukur langsung diatas
banirnya. Penutup pohon atau herba adalah luas proyeksi tajuk atau kanopi
pohon atau herba. Penentuannya hampir mirip dengan penentuan densitas,
satuannya adalah cm2 atau m2.
Pohon Gebang memilki nilai dominansi relatif yang paling besar
yaitu 43,15006337% ini dikarenakan pohon sogo memiliki basal area yang
paling besar diantara kesemua pohon dan pasti memilki diameter yang
paling besar diantara kelima belas spesies. Dapat pula diartikan bahwa
pohon saga memilki domonan wilayah yang paling besar karena memiliki
proporsi yang paling besar, meskipun bukan merupakn pohon yang paling
banyak jumlahnya.
d. Nilai penting
Pohon Gebang dan Ketapang memiliki nilai penting yang paling
besar yakni pada Gebang sebesar 67,70363461% dan pada Ketapang
sebesar 55,48646417% ini dikarenakan nilai rata-rata dominansi relatif dan
indeks nilai penting yang besar pada Gebang, dan untuk nilai kerapatan
relatif dan nilai frekuensi relatif yang besar yakni pada pohon Ketapang.
Ketapang memiliki jarak yang lebih rapat daripada Gebang. Namun
Ketapang tidak mendominasi di Pantai Bama justru yang mendominasi
adalah Gebang. Hal ini, menunjukkan bahwa pohon Gebang dan

175
Ketapang memiliki proporsi yang sama dalam rata-rata keseluruhan
jumlahnya yang besar dan berpengaruh dalam lokasi observasi kelas.

176
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari praktikum “Analisis Vegetasi Pohon Di Taman Nasional
Baluran” didapatkan kesimpulan bahwa Gebang dan Ketapang mendominasi
di Taman Nasional Baluran. Hal ini di lihat dari Kerapatan relatif, Dominasi
relatif, Frekuensi relatif dan Indek Nilai Penting. Semua ini, menunjukkan
bahwa pohon Gebang dan Ketapang memiliki proporsi yang sama dalam rata-
rata keseluruhan jumlahnya yang besar dan berpengaruh dalam lokasi
observasi kelas.

B. Saran
Adapun saran yang ada dalam praktikum di Taman Nasional Baluran
adalah sebagai berikut:
1. Pada saat pratikum hendaknya membawa buku identifikasi tumbuhan
untuk mempermuda dalam memperoleh data yang diinginkan.
2. Dalam pengidentifikasian spesimen diusahakan lebih teliti.

177
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2007. Metode analisis vegatasi pohon. Diakses melalui:


http://www.terranet.or.id/tulisandetil.php?id=1295 pada tanggal 20 Mei
2011.

Anonim. 2007. Sabana. Diakses melalui: http://id.wikipedia.org/wiki/sabana.html


pada tanggal 20 Mei 2011.

Anonim. 2008. Analisis vegetasi pohon. Diakses melalui:


http://www.mipa.unej.ac.id/data/vol4no1/retno.pdf pada tanggal 20 Mei
2011.

Anonim. 2010. Informasi TN Baluran. Diakses melalui:


http://www.dephut.go.id/INFORMASI/TN%20INDO-
ENGLISH/tn_baluran.htm pada tanggal 20 mei 2011.

Tim ekologi. 2011. Panduan Praktikum Ekologi. Surabaya: UNIPRESS.

178
LAMPIRAN

Foto Acacia nilotica

Foto Desmodium umbellatum

Foto Gadung (Dioscorea hispida)

179
Foto Garum

Foto Gebang (Corypha utan)

Foto Heritiera littoralis

180
Foto kayu buta (Excoecaria agallocha)

Foto Kepuh (Sterculia foetida)

Foto Ketapang (Terminalia cattapa)

181
Foto Kendal (Cordia obliqua)

Foto Koranji (Pongamia pinnata)

Foto Lontar

182
Foto Nyamplung (Calophyllum inopyllum)

183
LAPORAN
HERBA

184
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ekosistem meliputi seluruh makhluk hidup dan lingkungan fisik
yang mengelilinginya, ekosistem merupakan suatu unit yang mencakup
semua makhluk hidup dalam suatu area yang memungkinkan terjadinya
interaksi dengan lingkungannya baik yang bersifat abiotik maupun biotik
lainnya. Salah satu komponen biotik yakni vegetasi herba yang berkedudukan
sebagai produsen dalam suatu ekosistem. Kehadiran suatu spesies dari
vegatasi herba itu menyebabkan kelimpahan populasi yang bervariasi baik
skala ruang dan waktu. Salah satu bentuk permasalahan yang cukup penting
untuk diperhatikan adalah tumbuhnya jenis vegetasi baru yang menutupi
savana bekol. Vegetasi ini muncul setelah adanya kegiatan pemusnahan
tanaman Acacia nilotica pada periode waktu sebelumnya. Savana Bekol yang
sebelumnya didominasi oleh rumput jenis lamuran, sekarang tampak terjadi
perubahan jenis yang dominan. Jenis baru ini bermunculan sebagai akibat dari
proses ekologis, yang memungkinkan dapat berubahnya kondisi lingkungan,
sehingga akan tidak cocok lagi untuk pertumbuhan jenis-jenis yang aslinya.
Hal ini akan berpengaruh pula terhadap kehidupan satwa liar khususnya
herbivora.
Tanaman herba adalah salah satu tanaman yang memiliki
ketinggian kurang dari satu meter, umumnya hidup pada lingkungan dengan
kandungan air yang rendah dan intensitas cahaya yang tinggi. Berdasarkan
pada kondisi tersebut tanaman ini umumnya banyak tumbuh di daerah yang
tidak terlalu tinggi intensitas hujannya. Kondisi lingkungan pada suatu area
tertentu akan berpengaruh pada pola penyebaran suatu tanaman.
Secara umum pola penyebaran tumbuhan di alam dapat
dikelompokkan ke dalam 3 pola, yaitu acak(random),
mengelompok(clumped), dan teratur (regular). Tiap-tiap jenis tumbuhan
tentunya mempunyai pola penyebaran yang berbeda-beda tergantung pada
model reproduksi dan lingkungan mikro(Barbour,1986). Untuk mengetahui

185
skala perubahan-perubahan komponen ekosistem di alam dapat dilakukan
penelitian yang didalamnya terdapat parameter-parameter yang diukur antara
lain:nilai kerapatan (densitas), dominansi, frekuensi, indeks nilai
penting(INP), dan indeks dominansi(ID).
Taman Nasional Baluran merupakan sebuah kawasan konservasi,
yang memiliki keindahan alam baik di wilayah darat dan lautnya. Pada
wilayah laut terdapat pantai dengan kekayaan alam yang tinggi. Sedangkan
pada wilayah darat Taman Nasional Baluran memiliki berbagai ekosistem
baik savanna, stepa, mangrove, maupun herba.
Berdasarkan latar belakang di atas peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai vegetasi herba yang ada di Kawasan
Konservasi Taman Nasional Baluran..

B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang kami
ajukan adalah: ”Bagaimana keanekaragaman jenis tumbuhan herba yang
terdapat di sekitar Taman Nasional Baluran, Situbondo, Jawa Timur?”

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari dari penelitian ini
adalah: Untuk mengetahui keanekaragaman jenis tumbuhan herba yang
terdapat di sekitar Taman Nasional Baluran, Situbondo, Jawa Timur

D. Manfaat
Adapun manfaat yang dapat diperoleh setelah melakukan penelitian ini
adalah:
1. Sebagai bahan referensi untuk melakukan penelitian lebih lanjut
2. Mengetahui persebaran herba yang ada di Taman Nasional Baluran

186
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Profil Taman Nasional Baluran


Pada awalnya kawasan Baluran berstatus sebagai kawasan suaka
margasatwa atas perintah Direktur Kebun Raya Bogor ( K.W. Waderman )
pada tahun 1937, kemudian pada tahun 1982 dengan surat keputusan Menteri
Pertanian, status kawasan Baluran diubah menjadi Taman Nasional Baluran.
Taman Nasional Baluran terletak di ujung timur Pulau Jawa. Sebelah Utara
dibatasi oleh Selat Madura, sebelah Timur oleh Selat Bali dan bagian Selatan
berturut – turut dibatasi oleh Dusun Pandean Desa Wonorejo, Sungai
Bajulmati, Sungai Kelokoran, Dusun Karangtekok dan Desa Sumberanyar.
Berdasarkan letak administratif pemerintahan, Taman Nasional Baluran
berada di Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo, sedangkan secara
geografis terletak pada 7º29’10” sampai 7º55’55” Lintang Selatan dan
114º29’20”” sampai 114º39’10” Bujur Timur. Luas Taman Nasional Baluran
berdasarkan surat penunjukan Menteri Kehutanan Nomor : 279/Kpts-VI/1997
tanggal 23 Maret 1997 seluas 25.000 hektar, yang dalam system
pengelolaannya dibagi menjadi beberapa zonasi yaitu :
 Zona inti
 Zona rimba
 Zona pemanfaatan intensif
 Zona pemanfaatan khusus
 Zona rehabilitasi

B. Iklim, Topografi dan Tanah


Taman Nasional Baluran beriklim Monsooon dengan musim
kemarau yang panjang. Musim penghujan terjadi pada Bulan Desember
sampai dengan Bulan April, sedangkan bulan kemarau terjadi pada Bulan Mei
sampai dengan Bulan Nopember. Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan
Ferguson. Taman Nasional Baluran termasuk ke dalam kelas hujan tipe E
dengan temperature berkisar antarab 27,2º C sampai 30,9º C, kelembaban

187
udara 77%, kecepatan angina 7 knots dan arah angina dipengaruhu arah
tenggara yang kuat. Pengaruhnya terlihat dalam distribusi musim panas dan
hujan dimana pada Bulan April samapai dengan Oktober musim kemarau dan
Bulan Oktober sampai dengan awal April musim hujan ( Anonimus, 1995
dalam Balai Taman Nasional Baluran, 2002 ). Taman Nasional Baluran
memiliki topografi datar sampai bergunung – gunung dan mempunyai
ketinggian antara 0 samapai 1,27 m dpl. Dataran rendah di kawasan ini
terletak di sepanjang pantai yang merupakan batas kawasan sebelah timur dan
utara. Sedangkan di Selatan dan Barat mempunyai bentuk lapangan relatif
bergelombang. Daerah tertinggi terletak di tengah – tengah kawasan,
diantaranya Gunung Baluran ( 1.247 m ). Daerah ini memiliki
topografiberbukit sampai bergunung. Kawasan Taman Nasional Baluran
didominasi oleh batuan vulkanik tua dan batuan alluvium. Batuan vulkanik
tua hampir mendominasi seluruh kawasan sedangkan batuan alluvium terletak
disepanjang pantai meliputi daerah Pandean, Tanjung Sedano, Tanjung
Sumber Batok dan Tanjung Lumut. Jenis – jenis tanah yang ada di Taman
Nasional Baluran antara lain, Andosol ( 5,52% ).Latosol ( 20,23% ),
Mediterani Merah Kuning dan Grumusol ( 51,25% ) serta Alluvium ( 23% ).
Jenis tanah di Taman Nasional Baluran dikelompokkan pada jenis tanah yang
ada di daerah datar hingga cekung, berombak, berbukit sampai bergunung.
Jenis tanah yang mempunyai penyebaran di daerah bukit adalah Andosol dan
Latosol. Daerah yang lebih rendah jenis tanahnya terdiri dari Mediteran
Merah Kuning dan Grumusol, sedangkan daerah yang paling rendah (cekung
) jenis tanahnya didominasi oleh Alluvium. Tanah yang berwarna hitamyang
menyelimuti setengah daerah dataran rendah ( antara lain Bekol ), ditumbuhi
rumput yang sangat subur sehingga disenangi oleh satwa pemakan rumput.
Taman Nasional Baluran mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan yang
cukup tinggi. Dari berbagai vegetasi yang ada terdapat kurang lebih 422 jenis
tumbuhan yang termasuk dalam 87 familia ( Anonimus, 1995 ).

188
C. Savana
Savana adalah ekosistem padang rumput ditandai dengan pohon-
pohon yang cukup kecil atau banyak jarak sehingga kanopi tidak menutup.
Kanopi terbuka memungkinkan cahaya yang cukup untuk mencapai tanah
untuk mendukung pertumbuhan tanaman herba terutama rumput. Savana-
savana terjadi di kawasan tropis maupun kawasan subtropis di mana
temperature-temperatur berciri khusus panas yaitu panas sepanjang tahun
serta hujan terjadi secara musimam. Kenyataan bahwa tidak adanya pohon di
bioma padang rumput tidak dapat dijelaskan dengan hipotesis kebakaran,
ditunjukkan olah kejadian yang teratur dari kebakaran di savana–savana.
Rumput yang menutupi savana cenderung lebih terbuka,
bagaimanapun juga yang kemungkinkan pembukan yang terjadi sekali–kali
untuk pembibitan pohon. Di bioma savana seperti di padang pasir, curah
hujan musiman merupakan faktor pengontrol utama. Presipitasi tahunan rata–
rata dalam bioma savana antara 50–150 cm dan turun secara musiman. Pola
cuaca ini terjadi pada 5°-20° Lintang Utara dan 5°-20° Lintang Selatan, di
mana isolasi yang bervariasi pada relief bumi menimbulkan musim hujan
yang berat yang berganti–ganti dengan musim kering. Mengarah ke curah
hujan yang lebih rendah, savana berubah menjadi ekosistem semak
selanjutnya mengarah ke belukar padang pasir. Mengarah ke curah hujan
yang lebih tinggi, bioma savana berubah menjadi hutan–hutan desiduosa dan
hutan hujan tropis.

D. Pengelompokan berdasarkan Bentuk Tajuk dan Struktur Tanaman


Beberapa istilah yang sering digunakan dalam mengklasifikasikan
tanaman secara arsitektural biasanya ditinjau dari tajuk, bentuk massa dan
struktur tanaman. Menurut DPU (1996), pengertian dari beberapa istilah
tersebut adalah:
a. Tajuk merupakan keseluruhan bentuk dan kelebaran maksimal tertentu dari
ranting dan daun suatu tanaman.
b. Struktur Tanaman ialah bentuk tanaman yang terlihat secara keseluruhan.

189
Berdasarkan bentuk massa, tajuk dan struktur tanaman, Laurie
(1986) dan Djuwita (2007) mengelompokkan tanaman menjadi:
a. Tanaman pohon
Tanaman pohon adalah jenis tanaman berkayu yang biasanya
mempunyai batang tunggal dan dicirikan dengan pertumbuhan yang sangat
tinggi. Tanaman berkayu adalah tanaman yang membentuk batang
sekunder dan jaringan xylem yang banyak. Biasanya, tanaman pohon
digunakan sebagai tanaman pelindung dan centre point. Flamboyan dan
dadap merah termasuk jenis tanaman pohon. Namun demikian
pengelompokan pohon lebih dicirikan oleh ketinggiannya yang mencapai
lebih dari 8m.

Gambar 1. Pohon Cemara

b. Tanaman perdu
Tanaman golongan perdu merupakan tanaman berkayu yang pendek
dengan batang yang cukup kaku dan kuat untuk menopang bagian-bagian
tanaman. Golongan perdu biasanya dibagi menjadi tiga, yaitu perdu
rendah, perdu sedang, dan perdu tinggi. Bunga sikat botol, krossandra dan
euphorbia termasuk dalam golongan tanaman perdu.

190
Gambar 2. Bougenvile

c. Tanaman semak (shrubs)


Tanaman golongan semak dicirikan dengan batang yang berukuran
sama dan sederajat. Bambu hias termasuk dalam golongan tanaman ini.
Pada umumnya tanaman ini mempunyai ketinggian di bawah 8 m.
Beberapa contoh tanaman semak (a) heliconia, (b) Yucca, dan (c)
sansivera
d. Tanaman merambat (liana)
Tanaman golongan liana lebih banyak digunakan untuk tanaman
rambat dan tanaman gantung. Liana dicirikan dengan batang yang tidak
berkayu dan tidak cukup kuat untuk menopang bagian tanaman lainnya.
Alamanda termasuk dalam golongan tanaman liana. Beberapa contoh
tanaman merambat (a) monstera, (b) alamanda, dan (c) air mata pengantin
e. Tanaman Herba, Terna, Bryoids dan Sukulen
Golongan herba (herbaceous) atau terna merupakan jenis tanaman
dengan sedikit jaringan sekunder atau tidak sama sekali (tidak berkayu)
tetapi dapat berdiri tegak. Kana dan tapak darah termasuk dalam golongan
tanaman herba. Tanaman bryoids, terdiri dari lumut, paku-pakuan, dan
cendawan. Ukurannya dibagi berdasarkan tinggi vegetasi. Bentuk dan
ukuran daunnya ada yang besar, lebar, menengah, dan kecil (jarum dan
rumput-rumputan) dan campuran. Tekstur daun ada yang keras, papery
dan sekulen. Coverage biasanya sangat beragam, ada tumbuhan yang
sangat tinggi dengan penutupan horizontal dan luas, relatif dapat sebagai
penutup, ada yang menyambung dan terpisah-pisah. Penutupan tumbuhan

191
merupakan indikasi dari sistem akar di dalam tanah. Sistem akar sangat
penting dan mempunyai pengaruh kompetisi pada faktor-faktor ekologi.
Tanaman sekulen adalah jenis tanaman ’lunak’ yang tidak berkayu dengan
batang dan daun yang mampu menyimpan cadangan air dan tahan
terhadap kondisi yang kering. Kaktus termasuk dalam golongan tanaman
sekulen.

Gambar 3. Lidah Buaya

E. Kepadatan Mengatur Pertumbuhan Populasi


Peningkatan kepadatan populasi mengurangi ketersediaan sumber
daya bagi individu suatu organisme, dan keterbatasan sumber daya akhirnya
akan membatasi pertumbuhan populasi. Hal ini merupakan model logistik
biologi yang merupakan model kompetisi intraspesies, yaitu ketahanan
individu-individu dari spesies yang sama pada sumber daya yang terbatas.
Ketika ukuran populasi meningkat, kompetisi menjadi lebih sering, dan laju
pertumbuhan menurun sebanding dengan intensitas kompetisi, laju
pertumbuhan populasi bergantung pada kepadatan. Dalam pertumbuhan
populasi terbatas, faktor yang bergantung kepadatan adalah faktor yang
memperkuat peningkatan ukuran populasi. Faktor yang bergantung pada
kepadatan mengurangi laju pertumbuhan dengan cara menurunkan reproduksi
atau dengan cara meningkatkan kematian dalam suatu populasi yang sudah
begitu padat. Faktor yang bergantung pada kepadatan yang membatasi
pertumbuhan suatu populasi pada kepadatan yang membatasi pertumbuhan
suatu populasi dikatakan menentukan daya tampung lingkungan.
Tarum (Indigofera sumatrana) merupakan tumbuhan yang berbunga,
merupakan famili Fabaceae. Tumbuhnya di daerah tropis dan subtropis di

192
dunia ini. Beberapa spesies berada di daerah yang bersuhu sesuai dengan Asia
Timur.
Spesies ini adalah semak, walaupun merupakan suku-suku herba,
tetapi juga merupakan pohon kecil yang tingginya 5-6 m, yang tumbuh di
musim kering dan musim dingin daerah desiduous. Daunnya berduri, ada
ujungnya, ukurannya bervariasi 3-25 cm. Bunganya kecil. Indigofera
merupakan tumbuhan yang dimakan oleh larva spesies Lepidoptera.
Parempong (Phragmites) merupakan rumput kokoh kuat menahun,
berumpun banyak, tegak, kebanyakan dengan tunas merayap, yang panjang
(sampai 20 m), tinggi 2-4 m, helaian daun berbentuk pita garis dengan tulang
daun tengah hijau, gundul, 20-60 kali 1-3.5 cm dengan 2atau 3 gambaran
cetakan yang tidak dalam. Malai berulang-ulang bercabang, panjang 20-75
cm, cabang samping terkumpul kelompok-kelompok, tipis, kasar, mula-mula
naik kemudian menggantung, anak buluh bertangkai, berjejal ke samping
panjang lk 1 cm dengan poros berambut panjang putih atau kuning muda,
muncul dekat pangkal anak buluh. Di tempat yang becek, kerap kali di tepian
air, 1-1700 m.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan selain kompetisi
intraspesies juga faktor untuk mendapatkan nutrien. Faktor ini juga dapat
membatasi kepadatan populasi. Kepadatan populasi juga mempengaruhi
kesehatan dan peluang bertahan hidup tumbuhan dan hewan. Selain itu
pemangsaan juga dapat mengatur kepadatan bagi beberapa populasi.

F. Kerapatan Populasi
Kerapatan merupakan ukuran besarnya populasi dalam suatu ruangan
atau volume. Pada umumnya ukuran besarnya populasi digambarkan dengan
cacah individu ataubiomassa populasi per satuan ruang atau volume.
Dalam penentuan kerapatan populasi perlu dibedakan antara kerapatan
kotor (crude density) dengan kerapatan ekologi (ecology density). Kerapatan
kasar merupakan cacah individu dsuatu populasi per areal seluruhnya atau
total area. Sedangkan kerapatan ekologi adalah cacah individu per areal
habitatnya. Jika dibandingkan dengan keduanya, nilai kerapatan kotor

193
memberikan hasil dengan akurasi rendah dibanding dengan kerapatan
ekologi.
Dalam menentukan kerapatan populasi dalam skala ruang yang relatif
sempit dapat digunakan perhitungan individu atau biomasa secara
menyeluruh. Pada ruang yang relatif luas, dihadapkan pada berbagai
keterbatasan sehingga digunakan metode pencuplikan.
Untuk mengetahui perkembangan kerapatan suatu populasi dari
periode waktu yang berbeda, atau membandingkan kerapatan populasi pada
ruang yagn relatif berbeda, maka satuan pengukuran yang diperunakan adalah
kerapatan relatif.

G. Pola Persebaran Ruang


Secara umum, populasi menyebar dalam tiga pola yaitu acak
(random), mengelompok/agregasi (clumped), dan seragam (uniform).
1. Pola Sebaran Acak (random)
Terjadi apabila faktor – faktor (suber daya dan kondisi) lingkungan di
area yang ditempati bersifat seragam. Ininberarti bahwa probabilitas
individu untuk menempati satu situs tidak berbeda dengan menempat situs
lain dan kehadiran suatu individu tidak akan mempengaruhi kehadiran
individu lainnya. Dengan menggunakan sebaran statistic sebagai model,
ciri pola sebaran acak adalah bila nisbah varians sama dengan 1,0 atau
mendekati harga itu. Pola sebaran acak jarang dijumpai pada populasi-
populasi alami, karena lngkungan itu umumnya heterogen , dan jarang
sekali homogen.
2. Pola Sebaran Seragam (uniform)
Pola sebaran ini juga jarang terjadi di lingkngan alami meskipun tidak
sejarang pola acak. Pola seragam dapat terjadi apabila di antara individu-
individu populasi terjadi persaingan yang keras atau juga karena ada
teritorialisme. Populasi dengan pola sebaran seragam juga dapat dijumpai
di berbagai lingkungan binaan. Secara statistik nisbah varians adalah <
1,0.

194
3. Pola Sebaran Mengelompok (clumped)
Pola sebaran yang paling umum adalah mengelompok yang secara
statistik terlihat dari nisbah varians > 1,0. terjadinya pengelompokan
individu-individu dapat disebabkan karena faktor-faktor berikut:
 Individu-individu memberikan respon yang sama terhadap suatu kondisi
lokal yang baik maupun terhadap perubahan-perubahan cuaca (harian,
musiman).
 Sebagai hasil dari aktifitas perkembang biakan, karena adanya atraksi
seksual yang menghasilkan pasangan-pasangan atau kelompok-
kelompok kawin, yang selanjutnya menghasilkan kelompok induk dan
anak-anaknya.
 Adanya atraksi sosial yang menghasilkan pengelompokan altif
membentuk koloni atau himpunan terorganisasi lainnya, sehingga
peluang individu dalam kelompok untuk lulus hidup meningkat.

195
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Penelitian yang kami lakukan termasuk jenis penelitian observasi,
karena tidak menggunakan variabel dan dilakukan secara langsung di
lapangan.

B. Waktu dan Tempat


Penelitian ini dilakukan di Kawasan Bekol, Taman Nasional Baluran
pada tanggal 23-03-2011 pukul 16.00 WIB.

C. Alat dan Bahan


Alat:
 Meteran gulung
 Tali rafia
 Cethok
 Termometer Hg atau alkohol
 pH dan kelembaban tanah
 Tonggak kayu
 Buku identifikasi
 Kamera digital
Bahan
 Kantong plastik
 Karet gelang
 Kertas dan pulpen

D. Prosedur Kerja
1. Menentukan lokasi yang akan diambil sebagai sampel penelitian yaitu
berlokasi di dekat penginapan Bekol.
2. Tiap kelompok mengambil setiap titik sebanyak 12 (empat) kali dengan
cara memasang plot kuadrat ukuran (1x1) m2 (metode plot kuadrat)

196
3. Pada masing-masing plot kuadrat, menghitung jumlah populasi herba yang
ada pada tiap plot, dan menghitung beberapa jenis spesies yang ada pada
tiap plot.
4. Mengidentifikasi spesies herba pada setiap plot kuadrat.
5. Mengambil daun atau bagian dari pohon tersebut untuk dibuat herbarium
agar mempermudah melakukan identifikasi.
6. Mengidentifikasi pohon tersebut dengan menggunakan buku identifikasi.
7. Mengukur pH tanah dan kelembaban tanah masing-masing dengan
menggunakan soil tester.
8. Mengukur suhu tanah dengan termometer tanah atau alkohol atau Hg.

197
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
Tabel 1. Data herba di Sekita Penginapan Bekol Baluran Situbondo
Persentase
No Nama spesies Rata-rata
penutupan (%)
1 Achyranthes aspera 127,8 3.50
2 Achyranthes pertusus 70 1.92
3 Alang-alang (Imperata cylindrica) 30 0.82
4 Alternanthera repens 4,5 0.12
5 Anastrophus compressus 56,3 1.54
6 Andropogon aciculatus 8,2 0.22
7 Andropogon caricosus 3,5 0.10
8 Andropogon pertusus 110,8 3.04
9 Anting-anting (Acalypha australis) 92,3 2.53
10 Amplucida mutica 52,3 1.43
11 Arthraxon hispidus 49,3 1.35
12 Arthraxon hispidus makino 65 1.78
13 Arundinella nepalensis 27,3 0.75
14 Bidens pilosa 29,4 0.81
15 Blyxa malayana 164,5 4.51
16 Bobohan 2 0.05
17 Branjangan 57,1 1.57
18 Budengan 26,1 0.72
19 Centotheca latifolia 55 1.51
20 Cocombelut 3,5 0.10
21 Commelina benghalensis 11,7 0.32
22 Crotalaria 6,3 0.17
23 Cyperus pygmaeus 2 0.05
24 Cyperus rotundus 17,5 0.48

198
25 Daetyloetenium aegyptium 53,7 1.47
26 Daun encok (Plumbago zeylanica) 147,4 4.04
27 Digitaria longiflora 4,1 0.11
28 Dimeria ornithopoda 208,8 5.72
29 Eclipta alba 21,4 0.59
30 Eleusine indica 12,3 0.34
31 Eragrostis pilosa 5 0.14
32 Eriochloa ramosa 289,3 7.93
33 Flacourtia rukam 4,8 0.13
34 Fleurya aestuans 10 0.27
35 Fleurya interrupta 149,4 4.10
36 Gambasan 8,2 0.22
37 Ginseng 4,2 0.12
38 Herba duri 1,4 0.04
39 Hoplisinesus burmanni 348,4 9.55
40 Isachne miliacea 59,7 1.64
41 Ischaemum timorense 24 0.66
42 Isehaemun nigosum 34,5 0.95
43 Kacang-kacangan 0,5 0.01
Kemangi hutan (Ocinum bassilicum
44 7,7 0.21
ferina citratum)
45 Kenikir (Cosmos caudatus) 1,4 0.04
46 Keres 7,1 0.19
47 Kethul 2 0.05
48 Kitolod 4,5 0.12
49 Klotaria sp 7,5 0.21
50 Kylinga brevifolia 1,4 0.04
51 Kyllinga monocephala 9,7 0.27
52 Lamuran merah 16,3 0.45
53 Lateng (Urtica grandidentata) 5 0.14
54 Lipocarpha argentea 32,9 0.90

199
55 Meniran (Phyllanthus sp) 37 1.01
56 Oplismenus compositus 15 0.41
57 Panicum flavidum 11,8 0.32
58 Panicum mucronatum 23,3 0.64
59 Panicum ramosum 70,4 1.93
60 Panicum stagninum 9,9 0.27
61 Passiflora sp 21,7 0.59
62 Patikan (Euphorbia hirta) 11 0.30
63 Pletekan (Ruellia tuberosa) 3,6 0.10
64 Pilang 8,7 0.24
65 Pollinia ciliata 27,5 0.75
66 Polygonum barbatum 32,1 0.88
67 Putri malu (Mimosa pudica) 99,8 2.74
68 Pouzolzia viminea 1,1 0.03
69 Phyllanthus urinaria 7,3 0.20
70 Rayapan 62,5 1.71
71 Rayutan 20,5 0.56
72 Rumput gajah 114,6 3.14
73 Rumput letak 152,7 4.19
74 Rumput teki 130,1 3.57
75 Sapen 45,3 1.24
76 Selerachne punetata 70 1.92
77 Semanggi-semanggian 12 0.33
78 Sicipus jujuba 27,7 0.76
79 Solanaceae 9 0.25
80 Streblus asper 5,5 0.15
81 Sulur 2,4 0.07
82 Suwengan 6,3 0.17
83 Tarum (Indigofera tinctoria) 26,1 0.72
84 Vernonia sp 20,9 0.57
85 Widoro bukol (Zizyphus 6,4 0.18

200
rotundifolia)
86 Xerochloa imberbis 1 0.03
Jumlah total 3648,2 100

A. Analisis
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa pada kawasan Bekol
Taman Nasional Baluran ditemukan beraneka jenis tanaman herba yaitu
sebesar 86. Jumlah rata-rata seluruh jenis tanaman herba yang ditemukan
yaitu sebesar 3648,2. Jenis tanaman yang paling banyak ditemukan yaitu jenis
Hoplisinesus burmanni yang memiliki rata-rata 348,4 dengan prosentase
9,55%. Sedangkan jenis tanaman yang jarang ditemukan yaitu jenis kacang-
kacangan yang memiliki rata-rata 0,5 dengan prosentase sebesar 0,01%. Pada
daerah ini didapatkan suhu tanah sebesar 320C dengan kelembaban 77% dan
pH 8 yang menandakan tanah di kawasan ini basa.
Jenis tanaman herba yang ditemukan tersebut adalah Achyranthes
aspera, Achyranthes pertusus, Imperata cylindrica), Alternanthera repens,
Anastrophus compressus, Andropogon aciculatus, Andropogon caricosus,
Andropogon pertusus, Acalypha australis, Amplucida mutica, Arthraxon
hispidus, Arthraxon hispidus makino, Arundinella nepalensis, Bidens pilosa,
Blyxa malayana, Bobohan, Branjangan, Centotheca latifolia, Cocombelut,
Commelina benghalensis, Crotalaria, Cyperus pygmaeus, Cyperus rotundus,
Daetyloetenium aegyptium, Plumbago zeylanica, Digitaria longiflora,
Dimeria ornithopoda, Eclipta alba, Eleusine indica, Eragrostis pilosa,
Eriochloa ramosa, Flacourtia rukam, Fleurya aestuans, Fleurya interrupta,
Gambasan, Ginseng, Herba duri, Hoplisinesus burmanni, Isachne miliacea,
Ischaemum timorense, Isehaemun nigosum, Kacang-kacangan, Kemangi
hutan, Kenikir, Keres, Kethul, Kitolod, Klotaria sp, Kylinga brevifolia,
Kyllinga monocephala, Lamuran merah, Urtica grandidentata, Lipocarpha
argentea, Phyllanthus sp, Oplismenus compositus, Panicum flavidum,
Panicum mucronatum, Panicum ramosum, Panicum stagninum, Passiflora
sp, Euphorbia hirta, Ruellia tuberosa, Pilang, Pollinia ciliata, Polygonum
barbatum, Mimosa pudica, Pouzolzia viminea, Phyllanthus urinaria,

201
Rayapan, Rayutan, Rumput gajah, Rumput letak, Rumput teki, Sapen,
Selerachne punetata, Semanggi-semanggian, Sicipus jujuba, Solanaceae,
Streblus asper, Sulur, Suwengan, Indigofera tinctoria, Vernonia sp, Zizyphus
rotundifolia, Xerochloa imberbis.

C. Pembahasan
Pada praktikum ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengetahui
kerapatan, frekuensi, indeks dominansi, pola penyebaran, indeks nilai penting
herba yang ada di kawasan Bekol Taman Nasional Baluran. Dalam
melakukan analisis vegetasi herba sangat dipengaruhi oleh curah hujan.
Curah hujan dalam skala tertentu, baik secara langsung maupun tidak
langsung sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman herba. Observasi ini
dilakukan saat terjadi peralihan musim yaitu dari musim hujan ke musim
kemarau, sehingga kadar air di dalam tanah masih cukup untuk pertumbuhan
vegetasi herba, dengan demikian tanaman herba yang tumbuh pun masih
cukup beranekaragam, dalam observasi ini ditemukan 86 spesies tanaman
herba dengan jumlah total rata-rata spesies keseluruhannya sebanyak 3648,2
individu seperti yang tercantum dalam tabel. Selain itu tanah di daerah Bekol
pun memiliki tingkat kesuburan yang cukup, berdasarkan asumsi bahwa
kawasan Bekol ini didominasi oleh rumput-rumputan sehingga apabila ada
rumput yang telah mati dan membususk akan terbentuk humus, penimbunan
humus ini juga mengakibatkan tanah Bekol berwarna hitam karena timbunan
humus tersebut mengubah komponen mineral dalam tanah.
Pada praktikum kali ini yang paling banyak ditemukan yaitu jenis
tanaman Hoplisinesus burmanni yang memiliki rata-rata 348,4 dengan
prosentase 9,55%, hal ini dikarenakan tanaman ini dapat tumbuh subur di
kawasan bekol karena suhu dan pH tanah pada kawasan ini yaitu 320C dan 8
cocok terhadap tanaman ini. Selain itu terdapat faktor yang lainnya seperti
intensitas cahaya, hara organik dalam tanah, tersedianya sumber air, dan
predator. Sedangkan tanaman kacang-kacangan sedikit ditemukan karena
suhu dan pH pada kawasan ini tidak cocok dengan tanaman ini.

202
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis diatas dapat disimpulkan bahwa pada kawasan
Bekol Taman Nasional Baluran ditemukan beraneka jenis tanaman herba
yaitu sebesar 86. Jumlah rata-rata seluruh jenis tanaman herba yang
ditemukan yaitu sebesar 3648,2. Jenis tanaman yang paling banyak
ditemukan yaitu jenis Hoplisinesus burmanni yang memiliki rata-rata 348,4
dengan prosentase 9,55%. Sedangkan jenis tanaman yang jarang ditemukan
yaitu jenis kacang-kacangan yang memiliki rata-rata 0,5 dengan prosentase
sebesar 0,01%. Hal ini terjadi karena berbagai macam faktor, antara lain
adalah : intensitas cahaya, hara organik dalam tanah, tersedianya sumber air,
dan predator.

B. Saran
Dalam melakukan observasi yang dilakukan dengan cara kerja kelompok
sebaiknya:
1. Pembuatan garis transek sesuai dengan aturan yang telah disepakati dan
diseragamkan antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain
2. Memakai beberapa buku acuan atau referensi yang valid dalam
mengidentifikasi berbagai macam herba yang ditemukan pada stasiun
observasi.
3. Mengidentifikasi secara teliti dan tepat untuk setiap spesies.

203
DAFTAR PUSTAKA

Hutabarat dan Evans. 1985. Pengantar Oseonografi. Jakarta: Universitas


Indonesia Press.

Nyabakken, James W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologi. Jakarta: PT.
Gramedia.

Mc Naugthon, S. J. dan Wolf, L. L. 1992. Ekologi Umum (trans. Pringgoseputro


dan Srigandono). Yogyakarta: UGM Press

Odum., E.P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Yogyakarta: The Benjamin/ Clummings


Publishing Company, Inc.

Racmadiarti, Fida dan Winarsih. 1990. Petunjuk Praktikum Ekologi dan Ilmu
Lingkungan. Surabaya: IKIP Press.

204
LAMPIRAN HERBA

No Gambar Nama spesies

1 Achyranthes aspera (jarong)

2 Achyranthes pertusus

Alang-alang (Imperata
3
cylindrica)

4 Alternanthera repens

205
5 Andropogon aciculatus

Sumber : www.google.com

6 Arthraxon hispidus

7 Arundinella nepalensis

8 Bidens pilosa

9 Xerochloa imberbis

206
LAPORAN
BENTOS

207
BAB I
PENDAHULUAN

E. Latar Belakang
Lingkungan di daerah tropika merupakan kajian menarik dan memiliki
kelebihan-kelebihan bila dibandingkan dengan daerah lain. Di daerah tropika
perubahan musiman tidak terjadi secara ekstrim dan pada umumnya sebagian besar
flora dan fauna tetap hidup sepanjang tahun. Indonesia merupakan salah satu negara
yang berada pada wilayah yang berikloim tropik. Salah satu kajian Taman Nasional
Baluran yang memiliki luas sekitar 25.000 Ha merupakan salah satu kawasan yang
sangat menarik. Taman Nasional Baluran selain berfungsi sebagai tempat penelitian
juga berfungsi sebagai tempat rekreasi selain tentunya sebagai daerah penyangga dan
daerah konservasi keanekaraagaman genetik.
Pantai Bama di kawasan Taman Nasional Baluran menyimpan berbagai
keanekaragaman plasma nutfah, dan berbagai macam hewan-hewan Invertebrata
laut. Hampir sebagian besar kelompok Invertebarata terdapat di tempat ini. Mulai
dari Phylum Porifera, Coelenterata, Mollusca, Arthropoda, dan Echinodermata. Pada
dasarnya pantai merupakan wilayah yang sangat kompleks sebagai hasil dari
berbagai interaksi antara faktor fisik, kimiawi dan biologis. Daerah pantai
merupakan wilayah pertemuan antara ekosistem daratan dan lautan sehingga
memiliki karakteristik yang spesifik. Dengan demikian pantai menjadi wilayah yang
sangat menarik untuk dipelajari karena banyaknya aspek yang dapat dikaji. Akses
menuju pantai umumnya sangat mudah karena pantai termasuk wilayah umum yang
menjadi milik bersama (common property). Pantai dapat diibaratkan sebagai
laboratorium terbuka yang sangat besar dan lengkap sehingga kita dapat memelajari
berbagai bidang ilmu seperti taksonomi, ekologi, biologi laut, evolusi, geologi,
oseanografi, kimia, fisika dan lain-lain.
Mempelajari pantai termasuk hal yang relatif mudah dan menyenangkan
karena adanya stratifikasi yang jelas dari faktor fisik dan biologis, mulai dari daratan
yang tidak pernah tergenang oleh pasang tertinggi hingga daerah yang terekspose
pada saat surut terendah. Pada pantai berbatu sebagian besar hewan hidup dengan
melekat di dasar substrat serta sesekali melakukan pergerakan yang lambat.
Identifikasi terhadap jenis hewan dan tumbuhan yang lebih besar akan lebih mudah
dilakukan dengan menggunakan pedoman identifikasi. Dalam penelitian ini akan

208
dilakukan bagaimana tahap dan metode yang dapat dilakukan untuk mengetahui
keanekaragaman hewan avertebrata khususnya bentos.
Bentos adalah organisme yang hidup di dasar perairan (substrat) baik yang
sesil, merayap maupun menggali lubang. Bentos hidup di pasir, lumpur, batuan,
patahan karang atau karang yang sudah mati. Substrat perairan dan kedalaman
mempengaruhi pola penyebaran dan morfologi fungsional serta tingkah laku hewan
bentik. Hal tersebut berkaitan dengan karakteristik serta jenis makanan bentos.
Hewan- hewan yang hidup di sekitar pantai sangatlah beragam Hewan-
hewan yang dikenal dibeda-bedakan antara satu organisme dengan organisme yang
lainnya. Dasar pembeda dapat meliputi bentuk, warna, bau, rasa, sifat beracun atau
tidak. Pada Animalia meliputi invertebrata (hewan tidak bertulang belakang) dan
vertebrata (hewan bertulang belakang).
Organisme yang termasuk makrozoobentos diantaranya adalah: Crustacea,
Isopoda, Decapoda, Oligochaeta, Mollusca, Nematoda dan Annelida. Klasifikasi
benthos menurut ukurannya : Makrobenthos merupakan benthos yang memiliki
ukuran lebih besar dari 1 mm (0.04 inch), contohnya cacing, pelecypod, anthozoa,
echinodermata, sponge, ascidian, and crustacea. Meiobenthos merupakan benthos
yang memiliki ukuran antara 0.1 - 1 mm, contohnya polychaete, pelecypoda,
copepoda, ostracoda, cumaceans, nematoda, turbellaria, dan foraminifera.
Mikrobenthos merupakan benthos yang memiliki ukuran lebih kecil dari 0.1 mm,
contohnya bacteri, diatom, ciliata, amoeba, dan flagellata.
Makrozoobentos mempunyai peranan yang sangat penting dalam siklus
nutrien di dasar perairan. Montagna et all. (1989) menyatakan bahwa dalam
ekosistem perairan, makrozoobentos berperan sebagai salah satu mata rantai
penghubung dalam aliran energi dan siklus dari alga planktonik sampai konsumen
tingkat tinggi.
Keberadaan hewan bentos pada suatu perairan, sangat dipengaruhi oleh
berbagai faktor lingkungan, baik biotik maupun abiotik. Faktor biotik yang
berpengaruh diantaranya adalah produsen, yang merupakan salah satu sumber
makanan bagi hewan bentos. Adapun faktor abiotik adalah fisika-kimia air yang
diantaranya: suhu, arus, oksigen terlarut (DO), kebutuhan oksigen biologi (BOD)
dan kimia (COD), serta kandungan nitrogen (N), kedalaman air, dan substrat dasar
(Allard and Moreau, 1987); APHA, 1992). Hewan ini memegang beberapa peran
penting dalam perairan seperti dalam proses dekomposisi dan mineralisasi material
organik yang memasuki perairan (Lind, 1985).

209
Zoobentos membantu mempercepat proses dekomposisi materi organik.
Hewan bentos, terutama yang bersifat herbivor dan detritivor, dapat menghancurkan
makrofit akuatik yang hidup maupun yang mati dan serasah yang masuk ke dalam
perairan menjadi potongan-potongan yang lebih kecil, sehingga mempermudah
mikroba untuk menguraikannya menjadi nutrien bagi produsen perairan.

F. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yag dapat kami
ajukan adalah:
1. Bagaimana keanekaragaman jenis fauna pasang surut yang terdapat di
pantai Bama Baluran, Situbondo?
2. Bagaimana pola persebaran fauna pasang surut yang terdapat di Pantai
Bama Baluran Situbondo?

G. Tujuan Penelitian
Tujuan praktikum pola penyebaran populasi fauna pasang surut
adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui jenis-jenis fauna pasang surut yang ada di Pantai Bama Taman
Nasional Baluran.
2. Mengetahui pola penyebaran fauna pasang surut di pantai Bama Taman
Nasional Baluran.

210
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

Ekosistem merupakan kumpulan faktor biotik dan abiotik dan saling


berinteraksi. Faktor biotik terdiri dari hewan, tumbuhan, manusia dan mikroba.
Sedangkan faktor abiotik meliputi air, tanah, oksigen, kelembaban, suhu, pH dan
karbondioksida. Pada ekosistem laut dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
mempengaruhi darat juga. Salah satu kelompok organisme penyusun ekosistem
laut adalah bentos.
Bentos merupakan istilah yang berasal dari Yunani yang berarti
“kedalaman laut”. Bentos adalah organisme yang hidup di dasar laut dengan
melekatkan diri pada substrat atau membenamkan diri di dalam sedimen. Mereka
tinggal di dekat sedimen lingkungan laut, dari kolam pasang surut di sepanjang
tepi pantai, dan kemudian turun pada kedalaman abysal. Daerah terkaya akan
jumlah dan macam organisme pada sistem muara-laut ialah daerah bentik, yang
terbentang dari pasang naik sampai suatu kedalaman di tempat tanaman sudah
jarang tumbuh.
Tubuh bentos banyak mengandung mineral kapur. Batu-batu karang yang
biasa kita lihat di pantai merupakan sisa-sisa rumah atau kerangka bentos. Jika
timbunannya sangat banyak rumah-rumah binatang karang ini akan membentuk
Gosong Karang, yaitu dataran di pantai yang terdiri dari batu karang. Selain
Gosong Karang ada juga Atol, yaitu pulau karang yang berbentuk cincin atau
bulan sabit. Batu-batu karang yang dihasilkan oleh bentos dapat dimanfaatkan
untuk keperluan penelitian, rekreasi, sebagai bahan bangunan dan lain-lain.
Sedangkan zat kimia yang terkandung dalam tubuh bentos bisa dimanfaatkan
sebagai bahan untuk pembuatan obat dan kosmetika.
Organisme benthic, seperti : bintang laut, kerang - kerangan, teripang,
bintang rapuh dan anemon laut, memainkan peran penting sebagai sumber
makanan bagi ikan dan manusia.

211
 Klasifikasi benthos menurut ukurannya :
1. Makrobenthos merupakan benthos yang memiliki ukuran lebih besar dari 1
mm (0.04 inch), contohnya cacing, pelecypod, anthozoa, echinodermata,
sponge, ascidian, and crustacea.
2. Meiobenthos merupakan benthos yang memiliki ukuran antara 0.1 – 1 mm,
contohnya polychaete, pelecypoda, copepoda, ostracoda, cumaceans,
nematoda, turbellaria, dan foraminifera.
3. Mikrobenthos merupakan benthos yang memiliki ukuran lebih kecil dari
0.1 mm, contohnya bacteri, diatom, ciliata, amoeba, dan flagellata.

Berdasarkan morfologi dan cara makannya, benthos dapat dikelompokkan


menjadi empat, yaitu :
a. Benthos pemakan deposit yang selektif (selective deposit feeders) dengan
bentuk morfologi mulut yang sempit;
b. Benthos pemakan deposit yang tidak selektif (non-selective deposit
feeders) dengan bentuk morfologi mulut yang lebar;
c. Benthos pemakan alga (herbivorous feeders); dan
d. Benthos omnivora/predator (Heip et al. 1985; Gwyther & Fairweather
2002).
Selain itu bentos juga dapat diklasifikasikan berdasarkan tempat hidupnya, dalam
hal ini bentos dibagi menjasi 2 macam yaitu:
1. Epifauna : hewan yang hidupnya di atas permukaan dasar lautan. Contoh
hewan epifauna diantaranya yaitu kepiting berduri Spiny stonecrab, siput
laut (Sea slug), bintang laut (Brittlle star),
2. Infauna : hewan yang hidupnya dengan cara menggali lubang pada dasar
lautan. Contoh hewan infauna yaitu cacing (Lug worm), tiram (Cockle),
Macoma, Remis (clam)

Hewan-hewan bentos yang sering ada dalam kelompok dan mempunyai


sifat yang khas dikenal sebagai communities (Masyarakat). Dimana hal ini
berhubungan dengan kondisi lingkungan hidup yang spesifik. Communities
biasanya didominasi oleh satu atau dua jenis hewan (species) dari mana mereka

212
dikenal, yang disertai oleh organisme yang bersifat sub dominan. Sebagai contoh
masyarakat venus yang banyak dijumpai di lingkungan pasir, di lepas pantai di
dominasi oleh bivalse moluska Venus striatula. Biasanya mereka dapat dijumpai
bersama-sama dengan polychaeta dan amphipod crustacean. Masyarakat
Briopsis/Amphiura dijumpai di lingkungan lumpur lepas pantai, mempunyai dua
dominasi spesies yaitu Briopsis lyrifera dan Amphiura chiaje. Hewan subdominan
yang hidup bersama-sama mereka adalah beberapa golongan bivalve moluska dan
polychaeta (Sahala,1985).
Diantara benthos yang relatif mudah diidentifikasi dan peka terhadap
perubahan lingkungan perairan adalah jenis-jenis yang termasuk dalam kelompok
invertebrata makro. Kelompok ini lebih dikenal dengan makrozoobenthos
(Rosenberg, 1993). Makrozoobenthos merupakan hewan yang sebagian atau
seluruh siklus hidupnya berada di dasar perairan, baik yang sesil, merayap
maupun menggali lubang. Hewan ini memegang beberapa peran penting dalam
perairan seperti dalam proses dekomposisi dan mineralisasi material organik yang
memasuki perairan serta menduduki beberapa tingkatan trofik dalam rantai
makanan. Makrozoobenthos dapat bersifat toleran maupun bersifat sensitif
terhadap perubahan lingkungan. Organisme yang memiliki kisaran toleransi yang
luas akan memiliki penyebaran yang luas juga. Sebaliknya organisme yang
kisaran toleransinya sempit (sensitif) maka penyebarannya juga sempit (Odum,
1993).
Sumber makanan utama bagi bentos adalah plankton, bahan organik dari
daratan, air laut dan air hujan. Aktivitas manusia di Daerah Aliran Sungai sangat
erat kaitannya dengan pemanfaatan air sungai di daerah pemukiman, industri, dan
irigasi pertanian. Bahan pencemar yang berasal baik dari aktifitas perkotaan
(domestik), industri, pertanian dan sebagainya yang terbawa bersama aliran
permukaan (run off), langsung ataupun tidak langsung akan menyebabkan
terjadinya gangguan dan perubahan kualitas fisik, kimia dan biologi pada laut
tersebut yang pada akhirnya menimbulkan pencemaran. Dimana pencemaran pada
badan air selalu berarti turunnya kualitas dan air sampai ke tingkat tertentu akan
menyebabkan air dan tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.
Wilayah perairan merupakan media yang rentan terhadap pencemaran.

213
Gaufin dalam Wilhm (1975) mengelompokkan spesies makrozoobentos
berdasarkan kepekaannya terhadap pencemaran karena bahan organik, yaitu
kelompok intoleran, fakultatif dan toleran.
Organisme intoleran yaitu organisme yang dapat tumbuh dan
berkembang dalam kisaran kondisi lingkungan yang sempit dan jarang dijumpai
di perairan yang kaya organik. Organisme ini tidak dapat beradaptasi bila kondisi
perairan mengalami penurunan kualitas.
Organisme fakultatif yaitu organisme yang dapat bertahan hidup pada
kisaran kondisi lingkungan yang lebih besar bila dibandingkan dengan organisme
intoleran. Walaupun organisme ini dapat bertahan hidup di perairan yang banyak
bahan organik, namun tidak dapat mentolerir tekanan lingkungan.
Organisme toleran yaitu organisme yang dapat tumbuh dan berkembang
dalam kisaran kondisi lingkungan yang luas, yaitu organisme yang sering
dijumpai di perairan yang berkualitas jelek.
Pada umumnya organisme tersebut tidak peka terhadap berbagai tekanan
lingkungan dan kelimpahannya dapat bertambah di perairan yang tercemar oleh
bahan organik. Jumlah organisme intoleran, fakultatif dan toleran dapat
menunjukkan derajat pencemaran.
Penurunan kualitas biologi pada perairan laut akan mengakibatkan
timbulnya berbagai permasalahan seperti sanitasi dan kesehatan masyarakat di
sekitar semakin rendah. Penurunan kualitas perairan sungai juga dapat
menyebabkan kematian biota air seperti ikan dan selanjutnya akan membawa
dampak terhadap perekonomian masyarakat disekitar pantai yang mempunyai
mata pencaharian sebagai nelayan.
Spesies indikator pencemaran merupakan organisme yang dapat
menunjukkan kondisi lingkungan secara akurat, yang juga dikenal dengan
bioindikator Tesky (2002). EPA (2002) menyatakan bahwa sebagaimana di
sistem perairan tawar, biota yang hidup di perairan estuaria dan laut dapat
menunjukkan kualitas perairan. Makrozoobentos (seperti polychaeta) merupakan
indikator yang baik untuk kualitas air lingkungan laut karena respon mereka
terhadap polutan dapat dibandingkan terhadap sistem air tawar. Polychaeta
dikenal sebagai organisme yang sangat toleran terhadap tekanan lingkungan

214
(seperti rendahnya kandungan oksigen, kontaminasi organik di sedimen dan
polusi sampah) sehingga mereka digunakan sebagai indikator lingkungan yang
tertekan.
Via-Norton, A. Maher and D. Hoffman. (2002) berdasarkan kualitas
perairan, khususnya perairan tawar, dapat ditemukan spesies indikator sebagai
berikut:
A. Indikator untuk perairan yang berkualitas baik
1. Kelas Serangga
 Stonefly Nymphs (Order Plecoptera)
 Common Stonefly Nymph (Family Perlidae)
 Roach-like Stonefly Nymph (Family Peltoperlidae)
 Slender Winter Stonefly Nymph (Family Capniidae)
 Mayfly Nymphs (Order Ephemeroptera)
 Brush-Legged Mayfly Nymph (Family Oligoneuridae)
 Flatheaded Mayfly Nymph (Family Heptageniidae)
 Burrowing Mayfly Nymph (Family Ephemeridae)
 Caddisfly Larvae (Order Trichoptera)
 Net-Spinning Caddis Larva (Family Hydropsychidae)
 Fingernet Caddis Larva (Family Philopotamidae)
 Case-Making Caddis Larva (various families)
 Free-living Caddis Larva (Family Ryacophilidae)
 Dobsonfly (Order Megaloptera, Family Corydalidae)
 Water Penny (Order Coleoptera, Family Psephenidae)
 Riffle Beetle (Order Coleoptera, Family Elmidae)
2. Kelas lain
Gilled Snail (Order Gastropoda, Family Viviparidae)

B. Indikator untuk perairan berkualitas sedang (moderat)


1. Kelas Seranga
 Dragonfly Nymph (Order Odonata, Suborder Anisoptera)
 Damselfly Nymph (Order Odonata, Suborder Zygoptera)
 Watersnipe Fly Larva (Order Diptera, Family Athericidae)

215
 Alderfly Larvae (Order Megaloptera, Family Sialidae)
 Cranefly Larvae (Order Diptera, Family Tipulidae)
 Beetle Larvae (Order Coleoptera)
 Whirligig Beetle Larva (Family Gyrinidae)
 Predaceous Diving Beetle Larva (Family Dytiscidae)
 Crawling Water Beetle Larva (Family Haliplidae)
2. Kelas lain
 Scuds (Order Amphipoda, Family Gammaridae)
 Sowbugs (Order Isopoda, Family Asellidae)
 Crayfish (Order Decapoda, Family Cambaridae)

C. Indikator untuk perairan berkualitas buruk


1. Kelas Serangga
 Midge Larva (Order Diptera, Family Chironomidae)
 Blackfly Larva (Order Diptera, Family Simulidae)
2. Kelas lain
 Pouch Snail (Order Gastropoda, Family Physidae)
 Planorbid Snail (Order Gastropoda, Family Planorbidae)
 Leech (Class Hirudinea)
 Aquatic Worm (Class Oligochaeta)
Adapun untuk perairan pesisir, belum begitu banyak terungkap spesies-spesies
yang dapat dijadikan indikator kualitas perairan, kecuali beberapa informasi
tentang keberadaan polychaeta dan beberapa kelompok dari molluska yang
menunjukkan kondisi perairan yang berada dalam keadaan kandungan oksigen
yang rendah, kontaminasi organik di sedimen dan polusi sampah.

216
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Percobaan ini merupakan jenis penelitian pengamatan yang tidak
membutuhkan variabel untuk mendapatkan data

B. Waktu dan Tempat


Penelitian ini dilakukan di Pantai Bama, Taman Nasional Baluran pada
tanggal 23-03-2011.

C. Alat dan Bahan


Alat
 Plot kuadrat (1x1)m2
 Termometer
 Soil tester
 Buku identifikasi
 Kantong plastik
 Karet gelang
 Kertas dan bolpoin
Bahan
Fauna pasang surut

D. Prosedur Kerja
1. Menentukan luas area yang diteliti sepanjang garis transek yang tegak
lurus dengan pantai Bama Baluran. Mengukur jarak setiap meter
disepanjang garis transek. Menandai tiap-tiap transek sebagi titik cuplikan
tiap kelompok.
2. Setiap kelompok mengambik setiap titik sebanyak 12 kali dengan cara
memasang plot kuadrat ukuran (1x1)m2.
3. Dari plot tersebut dihitung populasi penyebaran tiap fauna dan mengambil
sampel tiap fauna untuk diidentifikasi sampai tingkat kelas.

217
4. Mengukur sifat fisika kimia. Antara lain mengukur pH tanah dengan
kelembaban tanah dengan soil tester, salinitas, dan suhu dengan
menggunakan termometer.
5. Mencatat semua data yang diperoleh.
6. Mengidentifikasi fauna yang ditemukan dengan berpedoman pada buku
identifikasi.
7. Menghitung indeks dominansi dengan dari setiap kelas dengan rumus:

Tipe pola penyebaran:


Jika ID = 1, maka distribusi populasi adalah rendom
Jika ID > 1, maka distribusi populasi adalah seragam
Jika ID < 1, maka distribusi populasi adalah mengelompok
Keterangan:
ID : Indeks dominansi
n : Jumkah plot yang di dalamnya terdapat spesies A
N : Jumlah seluruh spesies di seluruh plot
X : Jumlah spesies A pada seluruh plot plot

218
BAB IV
DATA DAN PEMBAHASAN

A. Data
Persentase
No Nama spesies Jumlah
penutupan (%)
1 Anadora sp 10 1.3
2 Amphidromus peversus 1 0.1
3 Bintang laut 15 1.9
4 Bulu babi 7 0.9
5 Cancellaria sinensis 2 0.3
6 Cassidula vespertilionis 1 0.1
7 Chloritis helicinoides 11 1.4
8 Choristodon robustus 11 1.4
9 Codakia punctata 30 3.9
10 Cymbiola (Auliciria) vespertilio 10 1.3
11 Cypraca moneta 6 0.8
12 Cypraea tigris 1 0.1
13 Decapoda berbulu 33 4.3
14 Form nanus 2 0.3
15 Fragum unedo 13 1.7
16 Harpa sp 21 2.7
17 Hermifusus ternatanus 149 19.3
18 Hipopopus 8 1.0
19 Lepori 7 0.9
20 Leptopoma altum 2 0.3
21 Mercenaria campechiensis 9 1.2
22 Mitra (Strigatella) decurtata 3 0.4
23 Mitra (Nebularia) rubritincta 13 1.7
24 Nassarius jacksonianus 8 1.0
25 Neocancilla circula 1 0.1

219
26 Otopleura auriscati 19 2.5
27 Pagurus sp 44 5.7
28 Pitar manillae 13 1.7
29 Pyramidella sulcata 16 2.1
30 Pythia scarabaeus 1 0.1
31 Sand dollar 4 0.5
32 Semele cordiformis 7 0.9
33 Semele crenulata 11 1.4
34 Sunneta 12 1.6
35 Tellina tostrata 9 1.2
36 Terebra succincia 4 0.5
37 Teripang 17 2.2
38 Teripang bertentakel (panjang) 1 0.1
39 Trachgocardium 119 15.4
40 Trachycardium subrugosum 61 7.9
41 Trigonostoma scalariformis 1 0.1
42 Tubifex (Eunice viridis) 3 0.4
43 Turbinella pyrum 10 1.3
44 Turricula javana 7 0.9
45 Vasum ceramicum 5 0.6
46 Vepricardium fimbriatum 6 0.8
47 Vepricardium sinense 15 1.9
48 Vexillum gruneri 13 1.7
49 Zierliana ziervogelii 1 0.1
Jumlah total 772 100

B. Analisis
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa pada kawasan pantai
bama Baluran Situbondo ditemukan beranekaragam jenis bentos yaitu
sebanyak 49 spesies. Jumlah seluruh jenis bentos yang ditemukan yaitu sebesar
772. Jenis bentos yang paling banyak ditemukan yaitu jenis Hermifusus
ternatanus sebanyak 149 dengan prosentase 19.3%. Sedangkan jenis bentos

220
yang jarang ditemukan yaitu jenis Amphidromus peversus, Cassidula
vespertilionis, Cypraea tigris, Neocancilla circula, Pythia scarabaeus,
Teripang bertentakel (panjang), Trigonostoma scalariformis, Zierliana
ziervogelii yang masing-masing hanya berjumlah 1 individu dengan prosentase
sebesar 0,1%. Pada saat praktikum ini dilaksanakan, pantai bama memiliki
suhu 320C dengan kelembaban 77% dan pH air 8.
Jenis bentos lain yang ditemukan tersebut adalah Anadora sp,
Amphidromus peversus, Bintang laut, Bulu babi, Cancellaria sinensis,
Cassidula vespertilionis, Chloritis helicinoides, Choristodon robustus, Codakia
punctata, Cymbiola (Auliciria) vespertilio, Cypraca moneta, Cypraea tigris,
Decapoda berbulu, Form nanus, Fragum unedo, Harpa sp, Hermifusus
ternatanus, Hipopopus, Lepori, Leptopoma altum, Mercenaria campechiensis,
Mitra (Strigatella) decurtata, Mitra (Nebularia) rubritincta, Nassarius
jacksonianus, Neocancilla circula, Otopleura auriscati, Pagurus sp, Pitar
manillae, Pyramidella sulcata, Pythia scarabaeus, Sand dollar, Semele
cordiformis, Semele crenulata, Sunneta, Tellina tostrata, Terebra succincia,
Teripang, Teripang bertentakel (panjang), Trachgocardium, Trachycardium
subrugosum, Trigonostoma scalariformis, Tubifex (Eunice viridis), Turbinella
pyrum, Turricula javana, Vasum ceramicum, Vepricardium fimbriatum,
Vepricardium sinense, Vexillum gruneri, Zierliana ziervogelii.

C. Pembahasan
Pada praktikum ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis bentos
yang terdapat pada pantai baluran di Situbondo. Bentos merupakan organisme
yang hidup di dasar laut baik yang menempel pada pasir maupun lumpur.
Beberapa contoh bentos antara lain kerang, bulu babi, bintang laut, cambuk
laut, terumbu karang dan lain-lain. Tubuh bentos banyak mengandung mineral
kapur. Batu-batu karang yang biasa kita lihat di pantai merupakan sisa-sisa
rumah atau kerangka bentos. Jika timbunannya sangat banyak rumah-rumah
binatang karang ini akan membentuk Gosong Karang, yaitu dataran di pantai
yang terdiri dari batu karang. Selain Gosong Karang ada juga Atol, yaitu pulau
karang yang berbentuk cincin atau bulan sabit. Batu-batu karang yang

221
dihasilkan oleh bentos dapat dimanfaatkan untuk keperluan penelitian, rekreasi,
sebagai bahan bangunan dan lain-lain. Sedangkan zat kimia yang terkandung
dalam tubuh bentos bisa dimanfaatkan sebagai bahan untuk permbuatan obat
dan kosmetika.
Pengambilan data dilakukan dengan cara membuat plot kuadran
sebanyak 12 kali untuk tiap kelompok dengan ukuran 1meter x 1 meter.
Kemudian dengan menggunakan tangan mengambil bentos yang ditemukan
pada tiap kuadrandan memasukkan ke dalam plastik untuk selanjutnya
diidentifikasi.
Hewan bentos hidup relatif menetap, sehingga baik digunakan sebagai
petunjuk kualitas lingkungan, karena selalu kontak dengan limbah yang masuk
ke habitatnya. Kelompok hewan tersebut dapat lebih mencerminkan adanya
perubahan faktor-faktor lingkungan dari waktu ke waktu. karena hewan bentos
terus menerus terbawa oleh air yang kualitasnya berubah-ubah
Diantara hewan bentos yang relatif mudah di identifikasi dan peka
terhadap perubahan lingkungan perairan adalah jenis-jenis yang termasuk
dalam kelompok invertebrata makro. Kelompok ini lebih dikenal dengan
makrozoobentos. Makrozoobentos berperan sebagai salah satu mata rantai
penghubung dalam aliran energi dan siklus dari alga planktonik sampai
konsumen tingkat tinggi.
Keberadaan hewan bentos pada suatu perairan, sangat dipengaruhi
oleh berbagai faktor lingkungan, baik biotik maupun abiotik. Faktor biotik
yang berpengaruh diantaranya adalah produsen, yang merupakan salah satu
sumber makanan bagi hewan bentos. Adapun faktor abiotik adalah fisika-kimia
air yang diantaranya: suhu sebagai stabilisator sehingga perbedaan suhu dalam
air lebih kecil dan perubahan yang terjadi lebih lambat dibandingkan di udara,
arus dapat mempengaruhi distribusi gas terlarut; garam dan makanan serta
organisme dalam air, oksigen terlarut (DO) berpengaruh terhadap fotosintesis
organisme, kebutuhan oksigen biologi (BOD) mempengaruhi respirasi
organisme dalam air dan kimia (COD), serta kandungan nitrogen (N),
kedalaman air, dan substrat dasar. Zoobentos membantu mempercepat proses
dekomposisi materi organik. Hewan bentos, terutama yang bersifat herbivor

222
dan detritivor, dapat menghancurkan makrofit akuatik yang hidup maupun
yang mati dan serasah yang masuk ke dalam perairan menjadi potongan-
potongan yang lebih kecil, sehingga mempermudah mikroba untuk
menguraikannya menjadi nutrien bagi produsen perairan.
Berbagai jenis zoobentos ada yang berperan sebagai konsumen primer
dan ada pula yang berperan sebagai konsumen sekunder atau konsumen yang
menempati tempat yang lebih tinggi. Pada umumnya, zoobentos merupakan
makanan alami bagi ikan-ikan pemakan di dasar.
Berdasarkan tabel diatas jenis bentos yang paling banyak ditemukan
dikawasan pantai Bama baluran sitobondo adalah Hermifusus ternatanus yaitu
dengan presentase sebanyak 19,5%. Hewan ini banyak ditemukan di pantai
Bama karena lingkungan yang sesuai dengan kehidupannya. Spesimen ini
biasanya dapat ditemukan dalam pasir yang halus dan bersih dan memangsa
kerang yang memiliki kaki yang besar. Sedangkan jenis bentos yang jarang
ditemukan yaitu jenis Amphidromus peversus, Cassidula vespertilionis,
Cypraea tigris, Neocancilla circula, Pythia scarabaeus, Teripang bertentakel
(panjang), Trigonostoma scalariformis, Zierliana ziervogelii. Pada bentos
jenis Amphidromus peversus sedikit ditemukan karena hanya dapat hidup pada
kelembaban tertentu saja. Jika pada suatu wilayah kelembabannya tidak sesuai
maka spesimen ini sulit untuk ditemukan. Ciri dari spesimen ini yaitu corak
dan warna cangkangnya yang kuning atau putih polos atau kuning dengan
berkas pita axial berwarna coklat pada keseluruhan seluk, atau pada beberapa
seluk saja atau hanya pada daerah di sekitar aperture. Pada bentos jenis
Cassidula vespertilionis biasanya memilih habitat di belakang bagian hutan
(daerah yang memiliki ketergenangan rendah) dan tempat-tempat yang lembab
sehingga jarang ditemukan di sekitar pantai. Pada bentos jenis Cypraea tigris
merupakan salah satu siput laut yang besar. Spesies ini masuk ke dalam filum
moluska yang ditemukan di dalam laut. Kelompok filum ini memiliki jumlah
lebih dari 50.000 spesies dan termasuk ke dalam komunitas bentos. Genus
Cyprea Linnaeus memiliki jumlah kurang lebih 202 spesies dan kebanyakan
terdapat di perairan tropis yang kedalamannya kurang dari 30 m. Genus
Cypraea memiliki cangkang yang membulat dan dapat berputar 90-1800,

223
bersinar atau terlihat mengkilap seperti porselin. Cypraea atau dikenal dengan
nama lokal inggris yaitu cowries, merupakan gastropoda yang aktif nokturnal
dan dapat ditemukan pada habitat yang berasosiasi dengan terumbu karang dan
beberapa habitat yang berbeda. Cangkang dari genus ini memiliki banyak
macam warna dan motif yang berkilau. Kemudian pada bentos jenis
Neocancilla circula, Pythia scarabaeus, Teripang bertentakel (panjang),
Trigonostoma scalariformis, Zierliana ziervogelii jarang ditemukan di sekitar
pantai Bama karena adanya perbedaan seperti suhu, cahaya, kelembaban,
ketinggian air, lingkungan dan lain-lain.

224
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis diatas dapat disimpulkan bahwa pada kawasan
pantai bama Baluran Situbondo ditemukan beranekaragam jenis bentos yaitu
sebanyak 49 spesies. Jumlah seluruh jenis bentos yang ditemukan yaitu sebesar
772. Jenis bentos yang paling banyak ditemukan yaitu jenis Hermifusus
ternatanus sebanyak 149 dengan prosentase 19.3%. Sedangkan jenis bentos
yang jarang ditemukan yaitu jenis Amphidromus peversus, Cassidula
vespertilionis, Cypraea tigris, Neocancilla circula, Pythia scarabaeus,
Teripang bertentakel (panjang), Trigonostoma scalariformis, Zierliana
ziervogelii yang berjumlah 1 dengan prosentase sebesar 0,1%.

B. Saran
Dalam melakukan observasi yang dilakukan dengan cara kerja kelompok
sebaiknya:
4. Memakai beberapa buku acuan atau referensi yang valid dalam
mengidentifikasi berbagai macam plankton yang ditemukan pada stasiun
observasi.
5. Mengidentifikasi secara teliti dan tepat untuk setiap spesies.

225
DAFTAR PUSTAKA

Hutabarat dan Evans. 1985. Pengantar Oseonografi. Jakarta: Universitas


Indonesia Press.

Nyabakken, James W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologi. Jakarta: PT.
Gramedia.

Mc Naugthon, S. J. dan Wolf, L. L. 1992. Ekologi Umum (trans. Pringgoseputro


dan Srigandono). Yogyakarta: UGM Press

Odum., E.P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Yogyakarta: The Benjamin/ Clummings


Publishing Company, Inc.

Racmadiarti, Fida dan Winarsih. 1990. Petunjuk Praktikum Ekologi dan Ilmu
Lingkungan. Surabaya: IKIP Press.

226
LAMPIRAN

No. Gambar Nama spesies

1 Anadora sp

Sumber: www.google.com sumber: doc. penelitian

2 Bintang laut

sumber: doc. penelitian

3 Bulu babi

Cancellaria
4
sinensis

227
Cassidula
5
vespertilionis

Choristodon
6
robustus

Codakia
10
punctata

228
Cymbiola
11 (Auliciria)
vespertilio

12 Cypraca moneta

13 Cypraea tigris

Decapoda
14
berbulu

15 Form nanus

229
16 Fragum unedo

17 Harpa sp

Hermifusus
18
ternatanus

19 Hipopopus

230
Mercenaria
22
campechiensis

Mitra
23 (Strigatella)
decurtata

Mitra
24 (Nebularia)
rubritincta

Nassarius
25
jacksonianus

231
Neocancilla
26
circula

28 Pagurus sp

29 Pitar manillae

Pyramidella
30
sulcata

232
32 Sand dollar

Semele
33
cordiformis

Semele
34
crenulata

35 Sunneta

233
Terebra
37
succincia

38 Teripang

40 Trachgocardium

Trachycardium
41
subrugosum

234
Trigonostoma
42
scalariformis

Turricula
45
javana

Vasum
46
ceramicum

Vepricardium
47
fimbriatum

235
Vepricardium
48
sinense

236
LAPORAN
PADANG LAMUN

237
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kekayaan alam laut, asosiasi kita biasanya langsung tertuju pada
terumbu karang, yang kerap disebut sebagai “hutan laut”. Terumbu karang
sudah lazim dikenal keindahan warna-warni karangnya, berikut ikan dan
hewan lain yang hidup di kawasan tersebut. Atau, ada juga yang langsung
menunjuk hutan bakau atau mangrove. Ini berupa tanaman khas di kawasan
pesisir, yang akarnya menghujam ke perairan dan menjadi tempat berlindung
serta mencari makan banyak hewan.
Banyak spesies yang hidup di perairan yaitu bentos, padang lamun,
rumput laut dan ikan serta gastropoda. padang lamun menjadi menarik karena
wilayahnya sering menjadi tempat berkumpul berbagai flora dan fauna akuatik
lain dengan berbagai tujuan dan kepentingan. Di padang lamun juga hidup
alga (rumput laut), kerang-kerangan (moluska), beragam jenis echinodermata
(teripang-teripangan), udang, dan berbagai jenis ikan. Di suatu tempat, dapat
berbentuk vegetasi tunggal, tersusun atas satu jenis lamun yang tumbuh
membentuk padang lebat. Sementara di tempat lain, ada vegetasi campuran
yang terdiri dari dua hingga dua belas jenis lamun yang tumbuh bersama-
sama.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka dilakukan praktikum pengambilan
lamun untuk mengetahui keanekaragaman lamun pada Pantai Bama,
Situbondo, Jawa Timur.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat diambil suatu rumusan
masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana kerapatan padang lamun pada Pantai Bama?
2. Bagaimana kerapatan padang lamun dan pola penyebarannya pada Pantai
Bama?

238
C. Tujuan
Adapun tujuan dari analisis vegetasi padang lamun di Pantai Bama ini
antara lain :
1. Mengetahui kerapatan padang lamun.
2. Mengetahui kerapatan padang lamun dan mengetahui penyebab pola
persebaran padang lamun.

239
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Taman Nasional Baluran

Gbr. Lokasi TN Baluran


(Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Taman_Nasional_Baluran)

Taman Nasional Baluran adalah miniatur hutan Indonesia karena


hampir semua tipe hutan terdapat di Taman Nasional Baluran.Dan yang
paling khas dari wilayah ini adalah hamparan savana yang luasnya menutupi
kurang lebih 40% wilayah Baluran. Temperatur udara 27° – 34° C, curah
hujan 900 – 1.600 mm/tahun, ketinggian tempat 0 – 1.247 m. dpl, dan letak
geografisnya 7°29’ – 7°55’ LS, 114°17’ – 114°28’ BT (Anonim, 2010).
Taman Nasional Baluran merupakan perwakilan ekosistem hutan yang
spesifik kering di Pulau Jawa, terdiri dari tipe vegetasi savana, hutan

240
mangrove, hutan musim, hutan pantai, hutan pegunungan bawah, hutan rawa
dan hutan yang selalu hijau sepanjang tahun. Sekitar 40 persen tipe vegetasi
savana mendominasi kawasan Taman Nasional Baluran (Anonim, 2010).
Tumbuhan yang ada di taman nasional ini sebanyak 444 jenis,
diantaranya terdapat tumbuhan asli yang khas dan menarik yaitu widoro
bukol (Ziziphus rotundifolia), mimba (Azadirachta indica), dan pilang
(Acacia leucophloea). Widoro bukol, mimba, dan pilang merupakan
tumbuhan yang mampu beradaptasi dalam kondisi yang sangat kering (masih
kelihatan hijau), walaupun tumbuhan lainnya sudah layu dan mengering.
Tumbuhan yang lain seperti asam (Tamarindus indica), gadung (Dioscorea
hispida), kemiri (Aleurites moluccana), gebang (Corypha utan), api-api
(Avicennia sp.), kendal (Cordia obliqua), manting (Syzygium polyanthum),
dan kepuh (Sterculia foetida) (Anonim, 2010).

B. Padang Lamun
Padang lamun adalah ekosistem khas laut dangkal di perairan hangat
dengan dasar pasir dan didominasi tumbuhan lamun, sekelompok tumbuhan
anggota bangsa Alismatales yang beradaptasi di air asin (Anonim, 2008).
Tanaman lamun bisa hidup normal dalam keadaan terbenam, dan
mempunyai sistem perakaran jangkar (rhizoma) yang berkembang baik.
Mengingat pada dasarnya tak berbeda dengan tanaman darat, maka lamun
punya keunikan yaitu memiliki bunga dan buah yang kemudian berkembang
menjadi benih. Semuanya dilakukan dalam keadaan terbenam di perairan laut.
Hal inilah yang menjadi perbedaan nyata lamun dengan tumbuhan yang hidup
terbenam di laut lainnya seperti makroalga atau rumput laut (seaweed)
(Anonim, 2008).
Untuk bisa hidup normal, akar tanaman lamun cukup kuat menghujam
ke dasar perairan tempat tumbuh. Akar ini tidak berfungsi penting dalam
pengambilan air –sebagaimana tanaman darat-- karena daun dapat menyerap
nutrien (zat gizi) secara langsung dari dalam air lat. Tudung akarnya dapat
menyerap nutrien dan melakukan fiksasi nitrogen. Sementara itu, untuk

241
menjaga agar tubuhnya tetap mengapung dalam kolom air, lamun dilengkapi
dengan rongga udara (Anonim, 2008).
Lamun tumbuh subur terutama di daerah terbuka pasang surut dan
perairan pantai yang dasarnya bisa berupa lumpur, pasir, kerikil, dan patahan
karang mati, dengan kedalaman hingga empat meter. Malah di perairan yang
sangat jernih, beberapa jenis lamun ditemukan tumbuh di kedalaman 8 hingga
15 meter (Anonim, 2008).
Padang lamun hanya dapat terbentuk pada perairan laut dangkal
(kurang dari tiga meter) namun dasarnya tidak pernah terbuka dari perairan
(selalu tergenang). Ia dapat dianggap sebagai bagian dari ekosistem
mangrove, walaupun padang lamun dapat berdiri sendiri. Padang lamun juga
dapat dilihat sebagai ekosistem antara ekosistem mangrove dan terumbu
karang. Padang lamun merupakan produsen primer organik tertinggi
dibanding ekosistem laut dangkal lainnya. Jenis jenis lamun yaitu yaitu
Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halodule uninervis, Cymodocea
rotundata, Halophila ovalis dan Syringodium isoetifolium. Lamun (seagrass)
merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang memiliki
rhizoma, daun, dan akar sejati yang hidup terendam dalam laut. Lamun
mengkolonisasi suatu daerah melalui penyebaran buah (propagule) yang
dihasilkan secara seksual (dioecious). Lamun umumnya membentuk padang
lamun yang luas di dasar laut yang masih dapat dijangkau oleh cahaya
matahari yang memadai bagi pertumbuhannya. Lamun hidup di perairan yang
dangkal dan jernih pada kedalaman berkisar antara 2 - 12 meter dengan
sirkulasi air yang baik (Odum, 1994).
Sebagai produsen primer, lamun sangat tinggi keanekaan biotanya.
Padang lamun menjadi tempat perlindungan dan tempat menempel berbagai
hewan dan tumbuhan laut (Algae). Lamun juga menjadi padang
penggembalaan dan makanan dari berbagai jenis ikan herbivora dan ikan
karang (Anonim, 2008).
Keberadaan lamun sangat bermanfaat bagi ikan, udang, serta kepiting
untuk bertelur dan tempat bermain ketika masih berbentuk benih. Lamun
merupakan sumber makanan bagi banyak hewan laut seperti duyung, penyu,

242
ikan, udang, dan bulu babi. Banyak jenis tumbuhan dan hewan menggunakan
lamun sebagai tempat tinggal dan berlindung dari hewan-hewan pemangsa
(Anonim, 2008).
Masyarakat ternyata belum banyak yang mengenal lamun (Seagrass).
Akibatnya, tak banyak yang bisa dilakukan ketika ekosistem lamun
mengalami kerusakan. Padahal, tumbuhan yang biasa hidup di daerah pesisir
laut dangkal dan berkadar garam tinggi ini memiliki manfaat penting bagi
ekosistem laut (Anonim, 2008).
Padang lamun merupakan bentangan tetumbuhan berbiji tunggal
(monokotil) dari kelas angiospermae. Lamun adalah tumbuhan air yang
berbunga (Spermatophyta) yang hidup dan tumbuh terbenam di lingkungan
laut, berpembuluh, berdaun, berimpang, dan berakar. Hidup terbentang pada
kedalaman 0,5-20 meter setelah bakau, baru kemudian terumbu karang
(Anonim, 2008).

C. Sebaran Jenis Lamun


Tumbuhan lamun merupakan tumbuhan laut yang mempunyai
sebaran cukup luas mulai dari benua Artik sampai ke benua Afrika dan
Selandia Baru. Jumlah jenis tumbuhan ini mencapai 58 jenis di seluruh
(Odum, 1994) dengan konsentrasi utama didapatkan di wilayah Indo-Pasifik.
Dari jumlah tersebut 16 jenis dari 7 marga diantaranya ditemukan di perairan
Asia Tenggara, dimana jumlah jenis terbesar ditemukan di perairan Filipina
(16 jenis) atau semua jenis yang ada di perairan Asia Tenggara ditemukan
juga di Filipina.
Dua hipotesis yang saling bertolak belakang yang digunakan untuk
menjelaskan penyebaran lamun adalah : 1. Hipotesis Vikarians dan 2.
hipotesis pusat asal usul. Hipotesis vikarians yang dikemukakan oleh McCoy
dan Heck dalam Odum 1994, berdasarkan lempeng tektonik, perubahan
iklim, dan juga pertimbangan ekologi seperti kepunahan dan hubungan
spesies-habitat. Berdasarkan penyebaran terumbu karang (sklerektinia),
lamun, dan mangrove, McCoy dan Heck dalam Odum 1994, menyimpulkan
bahwa, pola biogeography lebih baik dijelaskan oleh keberadaan penyebaran

243
biota secara luas pada waktu sebelumnya yang telah mengalami perubahan
akibat kejadian tektonik, speciation, dan kepunahan, bersama dengan geologi
modern dan teori biogeografi. Sedangkan hipotesis pusat asal usul
berpendapat bahwa pola distribusi lamun dapat dijelaskan dari penyebarannya
yang merupakan radiasi yang berasal dari lokasi yang memiliki
keanekaragaman yang paling tinggi yang disebut pusat asal usul. Hipotesis ini
berpendapat bahwa “Malinesia” (termasuk kepulauan Indonesia, Kalimantan-
Malaysia, Papua Nugini, dan Utara Australia) merupakan pusat asal usul
penyebaran lamun.
(Odum, 1994) menunjukkan bahwa pola penyebaran modern dari
lamun di barat Pasifik merupakan fungsi dari arus laut dan jarak dari pusat
asal usul (Malesia). Datanya menjelaskan bahwa jika mengikuti arus laut
utama yang berasal dari pusat asal usul (Malesia) dengan keanekaragaman
lamun tinggi, maka akan terjadi penurunan keanekaragaman lamun secara
progresif kearah tepi (Jepang, Selatan Quensland, Fiji) yang memiliki lebih
sedikit jenis lamun tropis. Yang perlu dicermati bahwa distribusi lamun
sepanjang utara-mengalirnya Kuroshio dan selatan-aliran timur arus Australia
juga merefleksikan gradient lintang. Hal lainnya adalah penyebaran lamun
sepanjang gradient ini juga dipengaruhi oleh temperatur.
Di Indonesia ditemukan jumlah jenis lamun yang relatif lebih rendah
dibandingkan Filipina, yaitu sebanyak 12 jenis dari 7 marga. Namun
demikian terdapat dua jenis lamun yang diduga ada di Indonesia namun
belum dilaporkan yaitu Halophila beccarii dan Ruppia maritime. Dari
beberapa jenis yang ada di Indonesia, terdapat jenis lamun kayu
(Thalassodendron ciliatum) yang penyebarannya sangat terbatas dan terutama
di wilayah timur perairan Indonesia, kecuali juga ditemukan di daerah
terumbu tepi di kepulauan Riau. Jenis-jenis lamun tersebut membentuk
padang lamun baik yang bersifat padang lamun monospesifik maupun padang
lamun campuran yang luasnya diperkirakan mencapai 30.000 km2 (Anonim,
2008).

244
Jenis dan sebaran lamun di beberapa negara Asia Tenggara (ASEAN)
disajikan pada Tabel 1.
Brunei
Jenis SBL di Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand
DS
Enhalus
+ 4- + + + 4-
acoroides
Halophila
- 4- - + - +
decipiens
H. minor - + + + 4- +
H. minor var.
- - - + - -
nov
H. ovalis 4- 4- + + + 4-
H. spinulosa 4- 4- + + + -
H. beccarii - ? + + + 4-
Halophila sp. - - - + -
Thalassia
4- 4- + + 4- +
hemprichii
Cymodocea
- 4- + + + +
rotundata
C. serrulata - + + + 4- +
Halodule
- + - + 4- 4-
pinifolia
H. uninervis - + - + 4- 4-
Syringodium
- 4- + + 4- "
isoetifolium
Thalassodendron - + - + - ™
Ruppia maritima - ? - + - -
Jumlah 4 12 9 16 11 10
Keterangan: + : ditemukan -: tidak ditemukan ? : diduga ada idak ditemukan
? : diduga ada
Sedangkan penyebaran padang lamun di wilayah laut berdasarkan jenis-jenis
yang umum terdapat di Indonesia dapat dijelaskan pada tabel berikut:

245
Tabel 2. Penyebaran lamun di wilayah laut yang ditemukan di Indonesia
Spesies Keterangan
Terdapat di daerah intertidal dan merupakan
Cymodocea rotundata
makanan duyung
Umum dijumpai di daerah intertidal di dekat
C. serrulata
mangrove, dan merupakan makanan duyung
Tumbuh pada substrat berlumpur dan perairan
Enhalus acoroides keruh, dapat membentuk padang lamun spesies
tunggal, atau mendominasi komunitas padang lamun
Pertumbuhannya cepat, merupakan spesies pionir,
Halodule pinifolia
umum dijumpai di substrat berlumpur
Membentuk padang lamun spesies tunggal
H. uninervis
padarataan karang yang rusak
Halophila decipiens Dikenal sebagai makanan duyung
H. minor·
Dapat merupakan spesies yang dominan di daerah
H. ovalis
intertidal, mampu tumbuh sampai kedalaman 25 m
H.spinulosa Merupakan makanan duyung
Syringodium isoetifolium
Umum dijumpai di daerah subtidal yang dangkal dan
Thalassia hemprichii
berlumpur
Paling banyak dijumpai, biasa tumbuh dengan
spesies lain, dapat tumbuh hingga kedalaman 25 m.
Sering dijumpai pada substrat berpasir. Sering
Thalassodendron ciliatum
mendominasi di zona subtidal dan berasosiasi
dengan terumbu karang sampai kedalaman 30 m, di
lereng terumbu karang

246
D. Karakteristik Ekologi
Suhu
Beberapa peneliti melaporkan adanya pengaruh nyata perubahan suhu
terhadap kehidupan lamun, antara lain dapat mempengaruhi metabolisme,
penyerapan unsur hara, dan kelangsungan hidup lamun. (Odum 1994)
melaporkan bahwa pada kisaran suhu 25 - 30°C fotosintesis bersih akan
meningkat dengan meningkatnya suhu. Demikian juga respirasi lamun
meningkat dengan meningkatnya suhu, namun dengan kisaran yang lebih luas
yaitu 5-35°C.
Pengaruh suhu juga terlihat pada biomassa Cymodocea nodosa,
dimana pola fluktuasi biomassa mengikuti pola fluktuasi suhu. Penelitian
yang dilakukan melaporkan produktivitas lamun yang tinggi pada suhu tinggi,
bahkan diantara faktor lingkungan yang diamati hanya suhu yang mempunyai
pengaruh nyata terhadap produktivitas tersebut. Pada kisaran suhu 1035 °C
produktivitas lamun meningkat dengan meningkatnya suhu (Odum, 1994).
Salinitas
Toleransi lamun terhadap salinitas bervariasi antar jenis dan umur.
Lamun yang tua dapat menoleransi fluktuasi salinitas yang besar.
Ditambahkan bahwa Thalassia ditemukan hidup dari salinitas 3,5-60 °°/o,
namun dengan waktu toleransi yang singkat. Kisaran optimum untuk
pertumbuhan Thalassia dilaporkan dari salinitas 24-35 °°/0.
Salinitas juga dapat berpengaruh terhadap biomassa, produktivitas,
kerapatan, lebar daun dan kecepatan pulih lamun. Pada jenis Amphibolis
antartica biomassa, produktivitas dan kecepatan pulih tertinggi ditemukan
pada salinitas 42,5 °°/o. Sedangkan kerapatan semakin meningkat dengan
meningkatnya salinitas, namun jumlah cabang dan lebar daun semakin
menurun.
Berbeda dengan hasil penelitian tersebut di atas, yang melakukan
penelitian di Thailand tidak menemukan adanya pengaruh salinitas yang
berarti terhadap faktor-faktor biotik lamun (Anonim, 2008).

247
Kekeruhan
Kekeruhan secara tidak langsung dapat mempengaruhi kehidupan
lamun karena dapat menghalangi penetrasi cahaya yang dibutuhkan oleh
lamun untuk berfotosintesis masuk ke dalam air. Kekeruhan dapat disebabkan
oleh adanya partikel-partikel tersuspensi, baik oleh partikel-partikel hidup
seperti plankton maupun partikel-partikel mati seperti bahan-bahan organik,
sedimen dan sebagainya.
(Erftemeijer, 1993 dalan Anonim, 2008) mendapatkan intensitas
cahaya pada perairan yang jernih di Pulau Barang Lompo mencapai 400
u,E/m2/dtk pada kedalaman 15 meter. Sedangkan di Gusung Tallang yang
mempunyai perairan keruh didapatkan intensitas cahaya sebesar 200
uJ3/m2/dtk pada kedalaman 1 meter.
Pada perairan pantai yang keruh, maka cahaya merupakan faktor
pembatas pertumbuhan dan produksi lamun. (Hamid, 1996 dalam Anonim,
2008) melaporkan adanya pengaruh nyata kekeruhan terhadap pertumbuhan
panjang dan bobot E. acoroides.
Kedalaman
Kedalaman perairan dapat membatasi distribusi lamun secara vertikal.
Lamun tumbuh di zona intertidal bawah dan subtidal atas hingga mencapai
kedalaman 30 m. Zona intertidal dicirikan oleh tumbuhan pionir yang
didominasi oleh Halophila ovalis, Cymodocea rotundata dan Holodule
pinifolia, Sedangkan Thalassodendron ciliatum mendominasi zona intertidal
bawah (Hutomo, 1997 dalam Anonim, 2008).
Selain itu, kedalaman perairan juga berpengaruh terhadap kerapatan
dan pertumbuhan lamun. (Anonim, 2008) mendapatkan pertumbuhan
tertinggi E. acoroides pada lokasi yang dangkal dengan suhu tinggi. Selain itu
di Teluk Tampa Florida ditemukan kerapatan T. testudinwn tertinggi pada
kedalaman sekhar 100 cm dan menurun sampai pada kedalaman 150 cm.
Nutrien
Dinamika nutrien memegang peranan kunci pada ekosistem padang
lamun dan ekosistem lainnya. Ketersediaan nutrien menjadi faktor pembatas

248
pertumbuhan, kelimpahan, dan morfologi lamun pada perairan yang jernih
(Hutomo, 1997 dalam Anonim, 2008).
Unsur N dan P sedimen berada dalam bentuk terlarut di air antara,
terserap/dapat dipertukarkan dan terikat. Hanya bentuk terlarut dan dapat
dipertukarkan yang dapat dimanfaatkan oleh lamun. Ditambahkan bahwa
kapasitas sedimen kalsium karbonat dalam menyerap fosfat sangat
dipengaruhi oleh ukuran sedimen, dimana sedimen hahis mempunyai
kapasitas penyerapan yang paling tinggi.
Di Pulau Barang Lompo kadar nitrat dan fosfet di air antara lebih
besar dibanding di air kolom, dimana di air antara ditemukan sebesar 45,5 uM
(nitrat) dan 7,1118 uM (fosfet), sedangkan di air kolom sebesar 21,75 uM
(nitrat) dan 0,8397 uM (fosfet) (Noor et al 1996 dalam Anonim, 2008).
Penyerapan nutrien oleh lamun dilakukan oleh daun dan akar.
Penyerapan oleh daun umumnya tidak terlalu besar terutama di daerah tropik
(Dawes, 1981 dalam Anonim, 2008). Penyerapan nutrien dominan dilakukan
oleh akar lamun.
Substrat
Lamun dapat ditemukan pada berbagai karakteristik substrat. Di
Indonesia padang lamun dikelompokkan ke dalam enam kategori berdasarkan
karakteristik tipe substratnya, yaitu lamun yang hidup di substrat lumpur,
lumpur pasiran, pasir, pasir lumpuran, puing karang, dan batu karang
(Kiswara, 1997 dalam Anonim, 2008). Sedangkan di kepulauan Spermonde
Makassar, (Erftemeijer, 1993 dalam Anonim, 2008) menemukan lamun
tumbuh pada rataan terumbu dan paparan terumbu yang didominasi oleh
sedimen karbonat (pecahan karang dan pasir koral halus), teluk dangkal yang
didominasi oleh pasir hitam terrigenous dan pantai intertidal datar yang
didominasi oleh lumpur halus terrigenous. Selanjutnya (Noor, 1993 dalam
Anonim, 2008) melaporkan adanya perbedaan penting antara komunitas
lamun dalam lingkungan sedimen karbonat dan sedimen terrigen dalam hal
struktur, kerapatan, morfologi dan biomassa.
Tipe substrat juga mempengaruhi standing crop lamun. Selain itu rasio
biomassa di atas dan dibawah substrat sangat bervariasi antar jenis substrat.

249
Pada Thalassia, rasio bertambah dari 1 : 3 pada lumpur halus menjadi 1 : 5
pada lumpur dan 1 : 7 pada pasir kasar.
Seperti terumbu karang dan bakau, rusaknya ekosistem lamun
umumnya disebabkan oleh aktivitas manusia. Misalnya, reklamasi pantai,
pembangunan real estate pinggir laut, pengurukan, buangan limbah industri,
limbah rumah tangga atau sampah organik, serta limbah minyak.
Padang lamun biasa terdapat pada daerah teratas pasang surut, dibatasi
oleh kondisi yang terbuka terhadap kekeringan. Sewaktu surut, biasanya
padang lamun tidak sampai mengalami kekeringan karena masih digenangi
oleh air laut walaupun terlihat dangkal. Pada waktu pasang, air menutup
padang lamun, membentuk daerah yang terendam air pasang.
Fungsi padang lamun sebenarnya melengkapi ekosistem mangrove
dan terumbu karang. Sebagai ekosistem perairan laut dangkal ini sangat
potensial sebagai sumber makanan biota kecil dan biota tertentu seperti
dugong, biota omnivora serta biota pemakan hijauan. Keberadaan padang
lamun di kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, adalah membantu
menstabilkan perairan dan memantapkan substrat dasar. Daun lamun yang
lebat akan memperlambat gerakan air akibat arus dan ombak sehingga
perairan menjadi tenang.
Fungsi lainnya adalah rimpang dan akar lamun dapat menangkap dan
mengikat sedimen sehingga dapat menguatakan dan menstabilkan dasar
permukaan. Padang lamun bisa dikatakan mencegah terjadinya erosi. Di
padang lamun, juga tumbuh berbagai jenis rumput laut, yang terdiri dari 18
jenis yaitu 9 dari jenis alge hijau (chlorophyta), 3 jenis dari algae coklat
(phaeophyta) dan 6 jenis algae merah ( Rhodophyta). Keberadan rumput laut
ini tentukan akan memperkaya padang lamun sehingga bisa membentuk suatu
komunitas yang merupakan habitat bagi berbagai jenis hewan laut. Walaupun
lamun belum banyak dikenal, keberadaannya dinyakini sebagai satu kesatuan
sistem dalam fungsi ekologis di lautan

250
BAB III

METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini tergolong penelitian observasi karena tidak
menggunakan variabel pembanding dan pengambilan sampel data dilakukan
secara langsung di lapangan.

B. Waktu dan Tempat


1. Waktu
Praktikum “Analisis Vegetasi Pohon Pada Taman Nasional Baluan”
dilakukan pada tanggal 23 Maret 2011, pada pukul 05.30 – 09.30 WIB.
2. Tempat
Praktikum “Analisis Vegetasi Pohon Pada Taman Nasional Baluran”
dilakukan di Taman Nasional Baluran, Situbondo, Jawa Timur.

C. Alat dan Bahan


Alat
a. Cetok
b. Timba
c. Penggaris
Bahan
a. Tali rafia

D. Langkah Kerja
1. Menentukan plot yang akan di amati padang lamun.
2. Membuat plot dengan ukuran 1 m x 1 m dengan cara mengukur dan
memotong tali rafia.
3. Mengamati padang lamun yang terdapat pada plot tersebut
4. Mencatat organisme yang ditemukan di plot tersebut
5. Mengulangi percobaan sebanyak 10 kali.

251
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
Data Kelas Hasil Analisis Padang Lamun Di Kawasan Pantai Bama
Baluran Situbondo
Tabel 1. Data spesies yang ditemukan di Padang Lamun
No Nama spesies Rata-rata Persentase penutupan (%)
1 Cymodocea rotundata 49 5.7
2 Enhalus acoroides 368,1 42.9
3 Halodule pinifolia 46,7 5.4
4 Halophila ovalis 36,3 4.2
5 Halophila decipiens 8,8 1.0
6 Posidonea oceanic 285,2 33.2
7 Thalassia hemprichi 64,4 7.5
Jumlah total 858,6 100

B. Analisis
Berdasarkan hasil diatas maka dapat diketahui bahwa pada pantai
Bama terdapat lamun jenis Cymodocea rotundata, Enhalus acoroides,
Halodule pinifolia, Halophila ovalis, Halophila decipiens, Posidonea
oceanic, dan Thalassia hemprichi dengan masing-masing presentasi
penutupan sebesar 5,7 %, 42,9%, 5,4%, 4,2%, 1,0%, 33,2% dan 7,5%.

C. Pembahasan
Berdasarkan data hasil analisis diatas maka diketahui bahwa pantai
Bama didominasi oleh padang lamun jenis Enhalus acoroides dengan
presentasi penutupan sebesar 42,9% sedangkan padang lamun yang sedikit
mendominasi daerah pantai tersebut adalah Halophila decipiens dengan
presentasi penutupan sebesar 1,0%. Enhalus acoroides mendominasi
perairan pantai Bama hal ini dikarenakan faktor lingkungan yang
mendukung lamun tersebut untuk hidup yakni dengan suhu 32oC,

252
kelembaban 77%, dan pH 8. Penyebaran lamun memang sangat bervariasi
tergantung pada topografi pantai dan pola pasang surut. Jenis Enhalus
acoroides ini dapat hidup menyesuaikan topografi dan pola pasang surut
pantai Bama, Baluran. Enhalus acoroides biasanya tumbuh pada substrat
berlumpur dan perairan keruh, dapat membentuk padang lamun spesies
tunggal, atau mendominasi komunitas padang lamun. Sedangkan jenis
lamun Halophila decipiens kurang dapat menyesuaikan hidupnya dengan
lingkungan di perairan pantai Bama, sehingga hanya terdapat sedikit sekali
populasi jenis lamun ini. Kondisi lamun yang menyerupai padang rumput
di daratan ini mempunyai beberapa fungsi ekologis yang sangat potensial
yaitu memberikan perlindungan bagi invertebrata dan ikan kecil. Daun-
daun lamun yang padat dan saling berdekatan dapat meredam gerak arus,
gelombang dan arus materi organik yang memungkinkan padang lamun
merupakan kawasan lebih tenang dengan produktifitas tertinggi di
lingkungan pantai di samping terumbu karang. Melambatnya pola arus
dalam padang lamun memberi kondisi alami yang sangat di senangi oleh
ikan-ikan kecil dan invertebrata kecil seperti beberapa jenis udang, kuda
laut, bivalve, gastropoda dan echinodermata. Hal terpenting lainnya
adalah daun-daun lamun berasosiasi dengan alga kecil yang dikenal
dengan epiphyte yang merupakan sumber makanan terpenting bagi hewan-
hewan kecil tersebut. Epiphyte ini dapat tumbuh sangat subur dengan
melekat pada permukaan daun lamun dan sangat di senangi oleh udang-
udang kecil dan beberapa jenis ikan-ikan kecil. Disamping itu padang
lamun juga dapat melindungi hewan-hewan kecil tadi dari serangan
predator. Sangat khas memang pola kehidupan hewan-hewan kecil ini di
padang lamun yang tidak jarang memberikan konstribusi besar bagi
kelangsungan ikan dan udang ekonomis penting, karena disamping itu
lamun sangat bermanfaat bagi ikan, udang, serta kepiting untuk bertelur
dan tempat bermain ketika masih berbentuk benih. Padang lamun ini
berperan sebagai produsen primer, oleh karena itu di pantai Bama banyak
sekali keanekaragaman biotanya.

253
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari analisis diperoleh data bahwa kerapatan antara satu plot dengan
plot yang lain tidak sama antara satu plot dengan plot yang lainnya, hal ini
terjadi karena nilai Penyebaran lamun memang sangat bervariasi tergantung
pada topografi pantai dan pola pasang surut. Selain itu kekeruhan, salinitas,
suhu mempengaruhi kondisi lamun. Dan dapat diketahui bahwa pada Pantai
Bama didominasi oleh padang lamun jenis Enhalus acoroides dengan
presentasi penutupan sebesar 42,9% sedangkan padang lamun yang sedikit
mendominasi daerah pantai tersebut adalah Halophila decipiens dengan
presentasi penutupan sebesar 1,0%.

B. Saran
Adapun saran yang ada dalam praktikum di Taman Nasional Baluran
adalah sebagai berikut:
1. Pada saat pratikum hendaknya membawa buku identifikasi lamun untuk
mempermuda dalam memperoleh data yang diinginkan.
2. Dalam pengidentifikasian spesimen diusahakan lebih teliti.

254
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. Ekosistem Padang Lamun.


(http://insidewinme.blogspot.com/2008/03/ekosistem-padang-lamun.html
diakses pada tanggal 26 mei 2011).

Anonim. 2010. Informasi TN Baluran. Diakses melalui:


http://www.dephut.go.id/INFORMASI/TN%20INDO-
ENGLISH/tn_baluran.htm pada tanggal 20 mei 2011.

Odum, E.P. 1994. Dasar-Dasar Ekologi. Diterjemahkan oleh Tjahyono


Samingan. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

Tim ekologi. 2011. Panduan Praktikum Ekologi. Surabaya: UNIPRESS.

255
LAMPIRAN

Foto Enhalus acoroides Foto Halophila decipiens

Foto Halodule pinifolia Foto Posidonea oceanica

Foto Thalassia hemprichi


Foto Halophita ovalis

256
Presentase penutupan =

Prosentase Cymodocea rotundata =

Prosentase Enhalus acoroides =

Prosentase Halodule pinifolia =

Prosentase Halophila ovalis =

Prosentase Halophila decipiens =

Prosentase Posidonea oceanic =

Prosentase Thalassia hemprichi =

257

Anda mungkin juga menyukai