Anda di halaman 1dari 26

TUGAS MATA KULIAH

EKOSISTEM SUMBER DAYA PESISIR DAN LAUT

IDENTIFIKASI SUMBER DAYA PESISIR DAN PANTAI

OLEH :
ANDWINI PRASETYA (E2A151007)

DOSEN
Dr. Ir. Dadang Suherman MS

PROGRAM PASCA SARJANA


PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2016
Ekosistem Pantai : Ciri-ciri, Komponen, Jenis, dan Manfaatnya

Ekosistem pantai merupakan salah satu ekosistem yang ada di Bumi. Seperti yang kita
ketahui bersama bahwasannya Bumi mempunyai jenis ekosistem, yakni ekosistem daratan
dan juga ekosistem air. Ekosistem pantai ini merupakan salah satu jenis dari ekosistem
daratan. Meskipun bersebelahan dengan ekosistem laut, namun ekosistem pantai adalah
termasuk ekosistem daratan. Ekosistem pantai diartikan sebagai ekosistem yakni sebuah
kesatuan komponen baik biotik maupun abiotik yang berada di sekitar pantai dan saling
berinteraksi antara satu dengan lainnya, serta saling mempengaruhi dan terbentuknya sebuah
aliran energi. Selain membentuk suatu energi, interaksi antara komponen- komponen tersebut
juga membentuk sebuah struktur biotik dan juga siklus materi.

Dari uraian di atas, kita dapat menyebutkan bahwa ekosistem pantai merupakan suatu
komponen biotik (hidup) dan komponen abiotik (tak hidup) yang berada di wilayah pantai. Di
ekosistem pantai ini kita dapat menemukan berbagai macam karakteristik khas pantai.

Ciri-ciri Ekosistem Pantai

Pantai adalah suatu tempat yang sangat indah dan juga menarik untuk dapat kita kunjungi.
Pantai ini merupakan tujuan wisata bagi banyak orang. Pantai dengan segala keindahannya
perlahan- lahan mulai menghilang apabila tidak dijaga dengan baik. Seiring berjalannya
waktu kita menemui bahwa banyak orang yang berkunjung ke pantai namun tidak
bertanggung jawab pada pantai. Semakin lama kita semakin mengetahui bahwa orang- orang
yang tidak bertanggung jawab akan menimbulkan kerusakan pada pantai. Akibatnya kita
seringkali melihat banyak pantai yang tidak dalam kondisi bersih.

Ekosistem pantai sendiri secara umum dapat dikatakan sebagai satu ekosistem yang selaras.
Ekosistem pantai yang baik dan juga sehat mempunyai beberapa ciri sebagai berikut:

Memiliki garis pantai yang permanen dan juga terjaga dengan baik. Garis pantai yang
dimaksud adalah wilayah atau batasan antara daratan dengan lautan. Ekosistem pantai yang
baik adalah pantai yang mempunyai ciri garis pantai yang terjaga dan juga permanen.

Terdapat ekosistem mangrove di sekitar pantai. Ekosistem pantai yang baik adalah yang
mempunyai ekosistem hutan magrove di kawasan pantai tersebut. Ekosistem mangrove ini
setidaknya berjumlah 30% dari jumlah total luas pesisir. Prosentase yang demikian tersebut
merupakan jumlah yang ideal. Ekosistem hutan mangrove yag berada di wilayah pantai ini
mempunyai fungsi sebagai penahan ombak laut yang bisa mengikis pesisir dari pantai
tersebut (baca: abrasi pantai)

Terdapat pola usaha budidaya air payau. Salah satu ciri atau karakteristik dari ekosistem
pantai yang baik dan juga sehat ini adalah terdapat pola usaha budidaya jenis air payau yang
dilakukan dengan berpegang pada wawasan atas lingkungan yang baik. Mengapa harus
berwawasan pada lingkungan yang baik? Hal ini karena pemafaatan lingkungan pantai tidak
boleh sembarangan karena berhubungan dengan beragam makhluk hidup yang berada di
sekitar pantai tersebut.
Pencemaran atas pantai bisa dikendalikan. Ekosistem pantai memang sulit lepas dari yang
namanya pencemaran. Namun pencemaran di lingkungan ekosistem pantai yang baik dan
juga sehat dapat diatasi atau dikendalikan dengan mudah, baik secara ilmiah maupun dengan
campur tangan manusia.

Berperan sebagai rumah bagi aneka jenis makhluk hidup dan bisa menjadi sumber kehidupan
bagi manusia yang tinggal di sekitaran pantai tersebut. Ekosistem pantai yang sehat adalah
ekosistem pantai yang mempunyai berbagai macam fungsi atau manfaat pantai. Beberapa
manfaat yang dipunyai oleh ekosistem pantai yang baik dan juga sehat adalah bisa digunakan
sebagai rumah bagi berbagai macam makhluk hidup dan juga merupakan sumber
penghidupan bagi manusia yang berada di sekitar pantai tersebut.

Itulah beberapa ciri atau karakteristik yang dimiliki oleh ekosistem pantai yangbaik dan juga
sehat. Ekosistem pantai yang sudah tercemar tidak mempunyai ciri- ciri yang demikian
karena bagian- bagiannya sudah berubah. Berubahnya bagian dari pantai ini adalah
perubahan yang bersifat negatif.

Komponen- komponen Ekosistem Pantai

Kita semua mengetahui bahwa di Bumi ini terdapat berbagai macam jenis ekosistem.
Masing- masing ekosistem tersebut mempunyai komponen biotik dan juga komponen abiotik.
Hal ini karena ekosistem memang merupakan interaksi makhluk hidup dengan
lingkungannya. Dan lingkungan ini tersusun atas komponen biotik dan abiotik. Maka dari itu
komponen biotik dan abiotik merupakan penyusun dari suatu ekosistem.

Seperti halnya dengan ekosistem lainnya, ekosistem pantai ini juga mempunyai berbagai
komponen biotik dan juga komponen abiotik. Berbagai macam komponen biotik dan
komponen abiotik yang dimiliki oleh ekosistem pantai ini antara lain:

Komponen Biotik. Komponen biotik merupakan komponen yang berupa makhuk hidup,
dimana makhluk hidup ini yang berada di lingkungan pantai baik binatang maupun
tumbuhan. Beberapa komponen biotik yang berada di lingkungan pantai antara lain:
ganggang, bakau, anemone laut, udang, kepiting, ikan, dan tumbuhan serta binatang lainnya
yang hidup di wilayah pantai. (baca : ciri ciri hutan bakau)

Komponen abiotik. Komponen abiotik adalah komponen yang ada di dalam suatu ekosistem
yang berupa benda tak hidup. Meskipun berupa benda tak hidup, namun keberadaan
komponen- komponen ini dapat mempengaruhi kelangsungan hidup makhluk hidup yang ada
di sekitar ekosistem pantai tersebut. Oleh karena itulah beberapa komponen abiotik yang
dimiliki oleh ekosistem pantai ini antara lain adalah pasir, daratan, suhu, udara (baca: ciri-ciri
udara yang bersih), kelembaban, batu dan juga cahaya matahari (baca: bagian-bagian
matahari). Komponen- komponen abiotik tersebut berada di mayoritas ekosistem pantai yang
ada dunia ini. Hal itu karena benda- benda yang menjadi komponen tersebut dapat kita temui
dengan mudah di wilayah sekitar pantai.

Itulah komponen biotik dan abiotik yang berada di ekosistem pantai. Komponen biotik dan
komponen abiotik ini selalu ada di setiap ekosistem yang ada di Bumi.
Satuan- satuan dalam Ekosistem Pantai

Ekosistem pantai merupakan salah satu ekosistem yang bisa dikatakan unik. Ekosistem ini
dikatakan unik karena mencakup tiga unsur. Unsur- unsur yang tercakup dalam ekosistem ini
adalah tanah yang berada di daratan, air yang ada di laut, dan juga di udara. Wilayah pantai
merupakan wilayah pertemuan antara ekosistem daratan dan juga ekosistem air atau akuatik.
Ekosistem pantai ini juga merupakan ekosistem yang memiliki berbagai macam satuan.
Satuan- satuan ini hanya dimiliki oleh ekosistem pantai dan tidak dimiliki oleh ekosistem
yang lainnya. Beberapa satuan yang dimiliki oleh ekosistem pantai ini adalah sebagai berikut:

Ekosistem terumbu karang atau Coral Reef.

Ekosistem hutan bakau atau hutan mangrove

Ekosistem padang lamun atau sea grass

Ekosistem pantai berpasir atau sandu beach

Ekosistem pantai berbatu atai rocky beach, dan

Ekosistem muara sungai atau estuari.

Itulah satuan- satuan  yang dimiliki oleh ekosistem pantai. Dari keenam satuan tersebut ada
tiga satuan yang menjadi ekosistem paling utama di ekosistem pantai. Ekosistem yang utama
dalam ekosistem pantai adalah ekosistem terumbu karang, ekosistem hutan bakau, dan juga
ekosistem padang lamun.

Sifat Ekosistem Pantai

Ekosistem pantai ini merupakan ekosistem yang paling unik karena merupakan wilayah
pertemuan antara daratan dan juga lautan. Oleh sebab itulah ekosistem pantai ini mempunyai
beberapa sifat khusus yang tidak dimiliki oleh ekosistem yang lainnya. Ekosistem pantai ini
memiliki beberapa sifat khusus, yaitu:

1. Ekosistem ini dipengaruhi oleh pasang surut air laut

Ekosistem pantai ini merupakan ekosistem yang sangat dipengaruhi oleh pasang surut air
laut. Pasang surut air laut ini merupakan siklus harian dari air laut. Dengan demikian flora
dan fauna yang dapat bertahan hidup di wilayah pantai adalah flora dan fauna yang
beradaptasi dengan cara melekat ke substrat yang keras agar tidak terhempas oleh
gelombang. (baca : manfaat pasang surut air laut)

2. Wilayah yang paling atas dari ekosistem ini merupakan wilayah yang paling sedikit
terkena air

Ekosistem pantai ini memiliki bagian yang paling sedikit terkena air, yakni bagian yang
paling atas. Bagian paling atas dari ekosistem ini hanya akan akan terkena air apabila air laut
sedang pasang. Oleh karena itulah wilayah ini sangat jarang terkena oleh air. Wilayah pantai
yang paling atas ini didiami oleh beberapa fauna dan flora, diantaranya adalah jenis- jenis
moluska, ganggang, kerang, dan juga beberapa jenis burung pantai.

3. Memiliki titik tengah yang terendam oleh air apabila pasang tinggi maupun pasang rendah

Ekosistem pantai mempunyai sifat tengah yang terendam air ketika terjadi pasang tinggi
maupun pasang rendah. Tempat tengah ini dihuni oleh beberapa organisme. Organisme yang
tinggal di daerah ini anatar lain anemon laut, remis, siput, ganggang, porifera, dan lain
sebagainya.

4. Wilayah yang paling dalam dihuni oleh beberapa jenis makhluk hidup

Beberapa makhluk hidup yang tinggal di wilayah ini antara lain binatang- binatang
invertebrata, ikan, dan juga berbagai macam rumput laut.

Itulah beberapa sifat yang dimiliki oleh ekosistem pantai ini. Sifat- sifat tersebut merupakan
sebuah ciri atau karakteristik yang dimiliki oleh ekosistem pantai ini. Adapun semua
ekosistem pantai yang ada di Bumi ini pastilah mempunyai sifat- sifat seperti yang telah
disebutkan di atas.

Jenis- jenis Ekosistem Pantai

Tahukah Anda satu informasi tentang ekosistem pantai ini? Ternyata ekosistem pantai
bukanlah sebuah ekosistem yang hanya terdiri satu macam saja di seluruh dunia. Apabila
dilihat dari jenis pantainya, setidaknya kita akan menemui dua jenis ekosistem pantai. Kedua
jenis ekosistem pantai tersebut adalah:

Ekosistem pantai batu

Jenis ekosistem pantai yang pertama berdasarkan jenis pantainya adalah ekosistem pantai
batu. Ekosistem pantai batu ini merupakan ekosistem pantai yang terbentuk karena adanya
bongkahan- bongkahan batu granit. Bongkaha- bongkahan batu granit tersebut adalah
bongkahan batu yang besar yang bisa juga berupa batu padas (baca: tanah padas). Batuan
padas yang membentuk ekosistem ini dapat terbentuk dari konglomerasi atau proses
berkumpul dan menyetunya batu- batu kecil (kerikil) dengan tanah liat atau tanah kapur. Di
ekosistem pantai batu ini, biasanya kita akan menemukan vegetasi dari tanaman- tanaman
jenis Sargassum atau Eucheuma. Ekosistem pantai batu ini mudah untuk dikenali karena
ekosistem ini mempunyai beberapa ciri. Ciri- ciri yang dimiliki oleh ekosistem pantai batu
antara lain:

Tanah yang berpasir. Akibat ekosistem pantai batu ini memiliki tanah yang berpasir, maka
menyebabkan tanah tersebut memiliki kandungan unsur hara yang minim (karena tanag
memiliki pori- pori besar) dan mempunyai permeabilitas tanah yag sangat baik.

Memiliki air tanah yang dangkal. Ekosistem pantai batu ini memiliki air tanah (baca: ciri-ciri
air tanah artesis) yang dangkal apabila dibandingkan dengan ekosistem pantai yang lainnya.
Mempunyai udara yang lembab dan kadar garam yang tinggi. Ekosistem pantai batu memiliki
jenis udara yang lembab dan kandungan garam tinggi karena letaknya bersebelahan dengan
ekositem laut.

Memiliki curah hujan yang rendah. Ekosistem pantai memiliki curah hujan yang rendah
daripada ekosistem yang lainnya.

Dihuni oleh 170 jenis flora yang terbagi ke dalam 42 orda dn juga dalam 61 famili.

Ekosistem ini dapat dijumpai di wilayah pesisir berbukit yang mempunyai dinding- dinding
batu.

Ekosistem Pantai Lumpur

Jenis ekosistem pantai yang selanjutnya adalah ekosistem pantai lumpur. Jenis ekosistem ini
terbentuk dari pertemuan endapan lumupur- lumpur sungai (baca: eksositem sungai).
Beberapa informasi menarik mengenai ekosistem ini antara lain:

Ekosistem ini membentuk habitat dengan tumbuhan recemia, skeratia, dan juga rumput laut
(enhalus acoroides).

Dihuni oleh berbagai macam jenis binatang yang memiliki nilai ekosomis tinggi apabila
dijual.

Mempunyai muara. Muara yang ada di ekosistem pantai lumpur ini berada di muara yang
biasa disebut dengan monsun estuaria.

Dihuni berbagai biota, seperti ikan gelodok.

Terdapat di pantai- pantai yang memiliki pulau- pulau yang besar. Hal ini karena pulau yang
besar juga mempunyai sungi yang besar, maka dari itulah terciptalah ekosistem pantai lumpur
ini.

Itulah jenis- jenis ekosistem pantai apabila diihat dari jenis pantainya. Apabila
diperbandingkan antata kedua ekosistem tersebut, memanglah terdapat banyak perbedaan
yang sangat mencolok.

Ekosistem air laut memiliki ciri-ciri abiotik sebagai berikut. Memiliki kadar garam (salinitas)
yang tinggi. Tidak dipengaruhi oleh iklim dan cuaca.

Habitat air laut saling berhubungan antara laut yang satu dengan laut yang lain.

Memiliki variasi perbedaan suhu di bagian permukaan dengan di kedalaman laut.

Terdapat arus laut, yang pergerakannya dapat dipengaruhi oleh arah angin, perbedaan
densitas (massa jenis) air, suhu, tekanan air, gaya gravitasi, dan gaya tektonik batuan bumi.
Berdasarkan intensitas cahaya matahari yang menembus air, ekosistem air laut dibagi
menjadi beberapa zona (daerah), yaitu sebagai berikut.

Zona fotik, merupakan daerah yang dapat ditembus cahaya matahari, kedalaman air kurang
dari 200 meter. Organisme yang mampu berfotosintesis banyak terdapat di zona fotik.

Zona twilight, merupakan daerah dengan kedalaman air 200 – 2.000 meter. Cahaya matahari
remang-remang sehingga tidak efektif untuk fotosintesis.

Zona afotik, merupakan daerah yang tidak dapat ditembus cahaya matahari sehingga selalu
gelap. Kedalaman air lebih dari 2.000 meter.

Pembagian zona ekosistem air laut dimulai dari pantai hingga ke tengah laut yaitu sebagai
berikut.

Zona litoral (pasang surut), merupakan daerah yang terendam saat terjadi pasang dan seperti
daratan saat air laut surut. Zona ini berbatasan dengan daratan dan banyak dihuni kelompok
hewan, seperti bintang laut, bulu babi, udang, kepiting, dan cacing laut.

Zona neritik, merupakan daerah laut dangkal, kurang dan 200 m. Zona ini dapat ditembus
cahaya matahari dan banyak dihuni ganggang laut dan ikan.

Zona batial, memiliki kedalaman air 200 m – 2.000 m dan keadaannya remang-remang. Di
zona ini tidak ada produsen, melainkan dihuni oleh nekton (organisme yang aktif berenang),
misalnya ikan.

Zona abisal, merupakan daerah palung laut yang keadaannya gelap. Kedalaman air di zona
abisal lebih dan 2.000 m. Zona ini dihuni oleh hewan predator, detritivor (pemakan sisa
organisme), dan pengurai.

Berikut ini macam-macam ekosistem air laut.

a. Ekosistem laut dalam

Ekosistem laut dalam terdapat di laut dalam atau palung laut yang gelap karena tidak dapat
ditembus oleh cahaya matahari. Pada ekosistem laut dalam tidak ditemukan produsen.
Organisme yang dominan, yaitu predator dan ikan yang pada penutup kulitnya mengandung
fosfor sehingga dapat bercahaya di tempat yang gelap.

b. Ekosistem terumbu karang

Ekosistem terumbu karang terdapat di laut yang dangkal dengan air yang jernih. Organisme
yang hidup di ekosistem ini, antara lain hewan terumbu karang (Coelenterata), hewan spons
(Porifera), Mollusca (kerang, siput), bintang laut, ikan, dan ganggang. Ekosistem terumbu
karang di Indonesia yang cukup terkenal di antaranya Taman Nasional Bawah Laut Bunaken.

c. Ekosistem estuari
Ekosistem estuari terdapat di daerah percampuran air laut dengan air sungai. Salinitas air di
estuari lebih rendah daripada air laut, tetapi lebih tinggi daripada air tawar, yaitu sekitar 5 –
25 ppm. Di daerah estuari dapat ditemukan tipe ekosistem yang khas, yaitu padang lamun
(seagrass) dan hutan mangrove.

Padang lamun, merupakan habitat pantai yang biasanya ditumbuhi seagrass. Tumbuhan ini
memiliki rizom dan serabut akar, batang, daun, bunga, bahkan ada yang berbuah. Seagrass
berbeda dengan alga karena mempunyai sistem reproduksi dan pertumbuhan yang khas.
Seagrass tumbuh menyebar membentuk padang rumput di dalam air dengan perpanjangan
rizom. Jenis hewan di padang lamun, antara lain duyung (Dugong dugon), bulu babi
(Tripneustes gratilla), kepiting renang (Portunus pelagicus), udang, dan penyu.

d. Ekosistem hutan mangrove,

terdapat di daerah tropis hingga subtropis. Ekosistem ini didominasi oleh tanaman bakau
(Rhizophora sp.), kayu api (Avicennia sp.), dan bogem (Bruguiera sp.). Tumbuhan bakau
memiliki akar yang kuat dan rapat untuk bertahan di lingkungan berlumpur yang mudah
goyah oleh hempasan air laut. Akar napasnya berfungsi untuk mengambil oksigen langsung
dari udara. Tumbuhan bakau memiliki buah dengan biji vivipari yang sudah berkecambah
dan berakar panjang saat masih di dalam buah sehingga langsung tumbuh ketika jatuh ke
lumpur. Hewan-hewan yang hidup di ekosistem ini, antara lain burung, buaya, ikan, biawak,
kerang, siput, kepiting, dan udang. Hutan mangrove banyak terdapat di pesisir pulau Sumatra,
Jawa, Kalimantan, Papua, Bali, dan Sumbawa.

f. Ekosistem pantai pasir

Ekosistem pantai pasir terdiri atas hamparan pasir yang selalu terkena deburan ombak air
laut. Di tempat ini angin bertiup kencang dan cahaya matahari bersinar kuat pada siang hari.
Vegetasi atau tumbuhan yang dominan adalah formasi pes-caprae dan formasi barringtonia.
Formasi pes-caprae terdiri atas tanaman berbatang lunak dan berbiji (terna), misalnya
Ipomoea pes-caprae, Vigna marina, dan Spinifex littoreus. Formasi barringtonia terdiri atas
perdu dan pohon, misalnya Barringtonia asiatica, Terminalia catappa, Erythrina, Hibiscus
tiliaceus, dan Hernandia. Hewan yang hidup di pantai pasir, misalnya kepiting dan burung.
Pantai pasir antara lain terdapat di Bali, Lombok, Papua, Bengkulu, dan Bantul (Yogyakarta).

g. Ekosistem pantai batu

Sesuai dengan namanya, ekosistem pantai batu memiliki banyak bongkahan batu besar
maupun batu kecil. Organisme dominan di smi, yaitu ganggang cokelat, ganggang merah,
siput, kerang, kepiting, dan burung. Ekosistem ini banyak terdapat di pantai selatan Jawa,
pantai barat Sumatra, Bali, Nusa Tenggara dan Maluku.

Manfaat Ekosistem Pantai dari Kajian Ekonomi

1. Sebagai areal tambak garam


Seperti yang kita ketahui bersama bahwasannya garam sangatlah dibutuhkan dalam
kehidupan sehari- hari. Indonesia yang memiliki pantai yang panjang ini sudah mempunyai
bahan baku pembuat garam yang melimpah. Apabila dimaksimalkan, Indonesia bisa menjadi
penghasil garam yang sangat besar. Hal ini tentu saja dapat menolong masyarakat di sekitar
pantai untuk mndapat mata pencaharian.

2. Wilayah perkebunan kelapa dan pisang

Kelapa dan pisang merupakan dua tanaman yang sangat cocok apabila ditanam di wilayah
pantai. Hal ini sangat sangat bermanfaat untuk menciptakan perkebunan dua tanaman tersebut
di sekitar pantai.

3. Daerah pertanian pasang surut

Daerah pasang surut pantai juga dapat digunakan sebagai ladang pertanian. Hasil pertanian
inilah yang dijadikan masyarakat sekitar sebagai sumber mata pencaharian.

4. Objek wisata

Pantai juga sangat bermanfaat apabila dijadikan objek wisata mengingat pemandangannya
yang indah dan menenangkan. Akhir- akhir ini memang banyak seklai pantai yang sudah
dikembangkan sebagai objek wisata. Potensi wisata yang dapat dilakukan yaitu : diving,
snorkeling, fishing

Terumbu Karang di Pulau Akar, Kepulauan Anambas

Taman Wisata Perairan Pulau Pieh


Taman Wisata Perairan Kepulauan Kapoposang

5. Pengembangan kerajinan khas pantai

Hasil- hasil yang diperoleh dari pantai juga dapat digunakan untuk membuat berbagai macam
kerajinan. Kerajinan tersebut mempunyai nilai jual tinggi dan hal ini bisa menambah
penghasilan masyarakat lokal.

Secara garis besar jenis tumbuhan dan hewan yang hidup di daerah pesisir dan pantai adalah
sebagai berikut (Suraji, 2010) :

Vegetasi besar, tanaman perdu, rerumputan pantai dan semak belukar dari hutan pesisir
adalah Butong (Barringtonia asiatica), waru laut (Hibiscus tiliaceus), bintanggur
(Calophyllum inophyllum), pinang (Areca catechu), matoa (Pometia coreacea), mengkudu
(Morinda citrifolia), pandan (Pandanus odoratissima), kranji (Pongamia pinnata), Jarag
(Ricinus communis), ketapang (Terminalia catappa), sukun (Artocarpus sommunis), cemara
laut (Casuarinas aquisetifolia), beringin (Ficus spp), kayu besi (Instia bijuga), nas
(Hablolobus floribundus), bram (Urandra brassi), kayu hitam (Diosspyros spp), kayu lawang
(Cinnamomum spp), biduri (Calotropis gigantea), Lamtoro (Leucaena glauca), mangga brabu
(Serbera manghas), tuba laut (Derris trifoliata), basang siap (Finlaysonia maritima), katang-
katang (Ipomea pes-caprae), ceplukan (Passiflora foetida), bakungbakung (Scaevola taccada),
gelang laut (Sesuvium portulacastrum) dan sernai (Wedelia biflora).

Jenis-jenis fauna yang ditemukan dibedakan atas fauna yang hidup bebas dan dilindungi oleh
negara serta hewan yang diternakan. Jenis-jenis burung yang hidup bebas adalah kakatua
putih jambul kuning (Cacatua galerita), nuri kepala hitam (Chalcopsitta atre), nuri merah
(Charmosyna placentis), jalak ekor panjang (Aplanis magna brevicauda), dara laut
(Heliaeetue leucogaster), camar laut (Sterna hirundo), elang  laut (Pandion haleaitus), bangau
(Egretta sacra), kelelawar (Dobsonia peroni), bebek laut (Esacus magnirostris), sirip gunting
(Sterna albifrons), betet raja ambon (Alisterus amboinensis), merpati hutan (Columba
domestica), kumkum hitam (Dudula pinon) dan burung malam (Caprimulgus spp).

Hewan yang tumbuh dan berkembangbiak di Padang Lamun diantaranya yaitu :


1. Moluska

2.

Gambar. Beberapa jenis moluska yang hidup dan berasosiasi di lamun


Echinodermata

Gambar. Beberapa jenis echinodermata yang hidup dan berasosiasi di lamun


3 Arthropoda
4. Ikan
Berdasarkan cara hidup pada ekosistem padang lamun, asosiasi antara ikan dengan padang
lamun terdiri dari 4 kategori, yaitu Dwintasari, 2009 dalam Agusriadi, 2010).
1. Penghuni tetap dengan memijah dan menghabiskan sebagian basar hidupnya
diekosistem padang lamun ( contoh Apogon margaritoporous)
2. Menetap dengan menghabiskan seluruh hidupnya di ekosistem padang lamun ( contoh
Haliochoeres leparensis, Pranaesus duodecimalis, Paramia quinqilineata, Gerres macrosoma,
Monachantus tomentosus, Manachantus hajam)
3. Menetap hanya pada saat tahap juvenil ( Siganus canaliculatus, Siganus virgatus,
Siganus chrysospilos, Lethrinus sp)
4. Menetap sewaktu-waktu atau singgah hanya mengunjungi padang lamun untuk
berlindung atau cari makan.

Padang Lamun
Lamun merupakan tumbuhan yang berpembuluh (vascular plant), dan jelas memiliki akar,
batang, daun, bunga, buah, dan biji.  Bentuknya seperti rumput yang ada di darat, namun
berbeda karena lamun mampu hidup di perairan laut yang mengandung garam.  Kita biasa
menemukan tumbuhan lamun di dekat pantai, di perairan laut yang dangkal, yang dasarnya
berpasir.  Oleh karena tumbuhan lamun memerlukan intensitas cahaya matahari yang tinggi
untuk berfotosintes.  Pasir yang biasa kita lihat menutupi dasaran padang lamun sesungguhnya
adalah tumpukan pasir yang terbawa arus kemudian terperangkap di padang lamun. Hasilnya,
dasaran padang lamun umumnya berupa dasaran berpasir.
Hamparan tumbuhan lamun yang biasa kita temui di tepi pantai, membentuk sebuah
ekosistem tersendiri yang disebut padang lamun.
Tumbuhan lamun tidak sama dengan rumput laut.  Rumput laut yang sering disebut oleh
masyarakat umum, sebenarnya adalah makroalga; sedangkan tumbuhan lamun yang telah
disebutkan di atas, tergolong Angiospermae.  Dari keempat suku tumbuhan lamun, tiga di
antaranya eksklusif hidup di laut, yaitu Cymodoceaceae, Posidoniaceae dan Zosteraceae.
Hingga saat ini, jenis lamun di dunia ada 60 yang masuk ke dalam 12 marga dan empat suku
(Short et.al., 2004).  Di Indonesia sendiri ditemukan 12 jenis lamun yang tergolong ke dalam
7 marga (Larkum & den Hartog: 1989).
Tumbuhan lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbiji yang hidup di perairan laut dangkal,
dimana fotosintesis masih dapat dilakukan.  Mereka hidup menempel di substrat dan memiliki
tipe akar rhizome yang terbenam di bawah pasir.  Berbeda dengan alga dan rumput laut,
lamun berbunga, berbuah dan menghasilkan benih (Fortes, 1989). Umumnya penyerbukan
lamun dilakukan di dalam air dengan pertolongan arus, kecuali untuk jenis Enhalus acoroides
yang harus melakukan penyerbukan di atas permukaan air (Short et al., 2004).

Manfaat Ekologis
Umumnya ekosistem ini terletak diantara ekosistem mangrove dan ekosistem terumbu karang.
Manfaat ekosistem ini antara lain ialah sebagai tempat mencari makan, hidup dan memijah
bagi berbagai jenis biota bentik dan ikan, dan juga merupakan daerah yang kaya bahan
organik yang berasal dari serasah daun lamun. Secara ekologis, ekosistem lamun berfungsi
sebagai penyaring sampah daratan dan meredam energi gelombang sehingga bisa mengurangi
tingkat erosi pantai (Fortes, 1989).
Hewan yang ada di Padang Lamun Yaitu :
Biota Padang Lamun
Seperti diuraikan di atas, keragaman spesies lamunnya sendiri tidak seberapa banyak.  Di
Indonesia sendiri hanya didapati sekitar 12 spesies dari tujuh marga (genus).  Jenis-jenis itu
tergolong ke dalam suku Hydrocharitaceae (marga-marga Enhalus, Halophila dan Thalassia)
dan Potamogetonaceae (Cymodocea, Halodule, Syringodium dan Thalassodendron).  Tidak
hanya hidup di padang lamun, tumbuhan laut ini juga kerap didapati di sela-sela terumbu
karang (Nontji 1987).
Meski demikian, padang lamun
merupakan salah satu bentuk ekosistem
laut yang kaya jenis.  Kekayaan ini
terutama ditunjukkan oleh jenis-jenis
hewan yang hidup di sini, baik sebagai
penetap maupun pengunjung yang setia. 
Aneka jenis cacing, moluska (siput dan
kerang), teripang, ketam dan udang, dan
berbagai jenis ikan kecil hidup menetap Sejenis Ikan Tangkur (Solenostomus
di sela-sela kerimbunan jurai-jurai cyanopterus) yang Menyamar Menyerupai Serpih
lamun.  Juga beberapa jenis bulu babi daun Lamun
yang hidup dari daun-daun lamun. (Foto: Wikipedia Commons)
Di samping itu berbagai jenis hewan dan ikan juga menggunakan padang lamun ini sebagai
tempat memijah dan membesarkan anak-anaknya.  Di antaranya adalah ikan beronang
(Siganus spp.) dan beberapa jenis udang (Penaeus spp.).  Beberapa jenis reptil dan mamalia
laut juga memanfaatkan padang lamun sebagai tempat mencari makanan.  Misalnya penyu
hijau (Chelonia mydas), duyung alias dugong (Dugong dugong) di perairan Australasia serta
manate (Trichechus manatus) di Karibia.  Duyung dan manate adalah mamalia herbivor yang
mengkonsumsi lamun sebagai makanan utamanya. Di saat air laut surut, padang lamun yang
mengering sementara ini sering pula dikunjungi oleh berbagai jenis burung dan hewan, yang
sibuk mencari ikan-ikan dan hewan kecil yang terjebak dan tertinggal di antara kusutnya
lamun.  Burung-burung merandai dari suku Charadriidae, Scolopacidae dan Burhinidae kerap
berdatangan untuk memburu aneka cacing, moluska dan ikan-ikan kecil sebagai
makanannya.  Demikian pula kuntul karang (Egretta).  Di bagian yang dekat daratan sering
pula dikunjungi biawak (Varanus) dan monyet kera (Macaca) untuk mencari makanan yang
serupa.
Definisi Estuaria
Estuaria adalah perairan muara sungai semi
tertutup yang berhubungan bebas dengan
laut, sehingga air laut dengan salinitas tinggi
dapat bercampur dengan air tawar. Estuaria
dapat terjadi pada lembah-lembah sungai
yang tergenang air laut, baik karena
permukaan laut yang naik (misalnya pada
zaman es mencair) atau pun karena
turunnya sebagian daratan oleh sebab-sebab

Estuaria di Muara Sungai Swinhoe tektonis. Estuaria juga dapat terbentuk pada

(Foto: Wikipedia Commons) muara-muara sungai yang sebagian


terlindungi oleh beting pasir atau lumpur.
Kombinasi pengaruh air laut dan air tawar akan menghasilkan suatu komunitas yang khas,
dengan lingkungan yang bervariasi, antara lain:
(1) Tempat bertemunya arus air tawar dengan arus pasang-surut, yang berlawanan
menyebabkan suatu pengaruh yang kuat pada sedimentasi, pencampuran air, dan ciri-ciri
fisika lainnya, serta membawa pengaruh besar pada biotanya;
(2) Pencampuran kedua macam air tersebut menghasilkan suatu sifat fisika lingkungan
khusus yang tidak sama dengan sifat air sungai maupun sifat air laut;
(3) Perubahan yang terjadi akibat adanya pasang-surut mengharuskan komunitas mengadakan
penyesuaian secara fisiologis dengan lingkungan sekelilingnya; dan
(4) Tingkat kadar garam di daerah estuaria tergantung pada pasang-surut air laut, banyaknya
aliran air tawar dan arus-arus lainnya, serta topografi daerah estuaria tersebut.

Sifat-sifat Ekologis
Sebagai tempat pertemuan air laut dan air tawar, salinitas di estuaria sangat bervariasi. Baik
menurut lokasinya di estuaria, ataupun menurut waktu.
Secara umum salinitas yang tertinggi berada pada bagian luar, yakni pada batas wilayah
estuaria dengan laut, sementara yang terendah berada pada tempat-tempat di mana air tawar
masuk ke estuaria. Pada garis vertikal, umumnya salinitas di lapisan atas kolom air lebih
rendah daripada salinitas air di lapisan bawahnya. Ini disebabkan karena air tawar cenderung
terapung di atas air laut yang lebih berat oleh kandungan garam. Kondisi ini disebut estuaria
positif atau estuaria baji garam (salt wedge estuary) (Nybakken, 1988).
Akan tetapi ada pula estuaria yang memiliki
kondisi berkebalikan, dan karenanya dinamai
estuaria negatif. Misalnya pada estuaria-
estuaria yang aliran air tawarnya sangat
rendah, seperti di daerah gurun pada musim
kemarau. Laju penguapan air di permukaan,
yang lebih tinggi daripada laju masuknya air
tawar ke estuaria, menjadikan air permukaan
Sebuah Estuaria yang Ramai
dekat mulut sungai lebih tinggi kadar
oleh Lalu Lintas Air (Foto: Wikipedia
garamnya. Air yang hipersalin itu kemudian
Commons
tenggelam dan mengalir ke arah laut di
bawah permukaan. Dengan demikian gradien
salinitas airnya berbentuk kebalikan daripada
estuaria positif.
Dalam pada itu, dinamika pasang surut air laut sangat mempengaruhi perubahan-perubahan
salinitas dan pola persebarannya di estuaria. Pola ini juga ditentukan oleh geomorfologi dasar
estuaria.
Sementara perubahan-perubahan salinitas di kolom air dapat berlangsung cepat dan dinamis,
salinitas substrat di dasar estuaria berubah dengan sangat lambat. Substrat estuaria umumnya
berupa lumpur atau pasir berlumpur, yang berasal dari sedimen yang terbawa aliran air, baik
dari darat maupun dari laut. Sebabnya adalah karena pertukaran partikel garam dan air yang
terjebak di antara partikel-partikel sedimen, dengan yang berada pada kolom air di atasnya
berlangsung dengan lamban.

Biota Estuaria
Sebagai wilayah peralihan atau percampuran, estuaria memiliki tiga komponen biota, yakni
fauna yang berasal dari lautan, fauna perairan tawar, dan fauna khas estuaria atau air payau.
Fauna lautan yang tidak mampu mentolerir
perubahan-perubahan salinitas yang ekstrem
biasanya hanya dijumpai terbatas di sekitar
perbatasan dengan laut terbuka, di mana
salinitas airnya masih berkisar di atas 30.
Sebagian fauna lautan yang toleran
Cacing Laut Polikaeta Merupakan (eurihalin) mampu masuk lebih jauh ke
Organisme dalam estuaria, di mana salinitas mungkin
yang Melimpah di Estuaria turun hingga 15 atau kurang.
(Foto: Wikipedia Commons)
Sebaliknya fauna perairan tawar umumnya tidak mampu mentolerir salinitas di atas 5,
sehingga penyebarannya terbatas berada di bagian hulu dari estuaria.
Fauna khas estuaria adalah hewan-hewan yang dapat mentolerir kadar garam antara 5-30,
namun tidak ditemukan pada wilayah-wilayah yang sepenuhnya berair tawar atau berair laut.
Di antaranya terdapat beberapa jenis tiram dan kerang (Ostrea, Scrobicularia), siput kecil
Hydrobia, udang Palaemonetes, dan cacing polikaeta Nereis.
Di samping itu terdapat pula fauna-fauna
yang tergolong peralihan, yang berada di
estuaria untuk sementara waktu saja.
Beberapa jenis udang Penaeus, misalnya,
menghabiskan masa juvenilnya di sekitar
estuaria, untuk kemudian pergi ke laut ketika
dewasa. Jenis-jenis sidat (Anguilla) dan ikan
salem (Salmo, Onchorhynchus) tinggal Sidat Eropa Anguilla anguilla Melintasi
sementara waktu di estuaria dalam Estuaria
perjalanannya dari hulu sungai ke laut, atau dalam Perjalanannya ke Laut  

sebaliknya, untuk memijah. Dan banyak jenis (Foto: Wikipedia Commons)


hewan lain, dari golongan ikan, reptil,
burung dan lain-lain, yang datang ke estuaria
untuk mencari makanan (Nybakken, 1988).
Akan tetapi sesungguhnya, dari segi jumlah spesies, fauna khas estuaria adalah sangat sedikit
apabila dibandingkan dengan keragaman fauna pada ekosistem-ekosistem lain yang
berdekatan. Umpamanya dengan fauna khas sungai, hutan bakau atau padang lamun, yang
mungkin berdampingan letaknya dengan estuaria. Para ahli menduga bahwa fluktuasi kondisi
lingkungan, terutama salinitas, dan sedikitnya keragaman topografi yang hanya menyediakan
sedikit relung (niche), yang bertanggung jawab terhadap terbatasnya fauna khas setempat.

Peranan Ekosistem Estuaria


Produktifitas estuaria, pada kenyataannya bertumpu atas bahan-bahan organik yang terbawa
masuk estuaria melalui aliran sungai atau arus pasang surut air laut. Produktifitas primernya
sendiri, karena sifat-sifat dinamika estuaria sebagaimana telah diterangkan di atas dan karena
kekeruhan airnya yang berlumpur, hanya dihasilkan secara terbatas oleh sedikit jenis alga,
rumput laut, diatom bentik dan fitoplankton.
Meski demikian, bahan-bahan organik dalam rupa detritus yang terendapkan di estuaria
membentuk substrat yang penting bagi tumbuhnya alga dan bakteri, yang kemudian menjadi
sumber makanan bagi tingkat-tingkat trofik di atasnya. Banyaknya bahan-bahan organik ini
dibandingkan oleh Odum dan de la Cruz (1967, dalam Nybakken 1988) yang mendapatkan
bahwa air drainase estuaria mengandung sampai 110 mg berat kering bahan organik per liter,
sementara perairan laut terbuka hanya mengandung bahan yang sama 1-3 mg per liter.
Oleh sebab itu, organisme terbanyak di estuaria
adalah para pemakan detritus, yang sesungguhnya
bukan menguraikan bahan organik menjadi unsur
hara, melainkan kebanyakan mencerna bakteri dan
jasad renik lain yang tercampur bersama detritus
itu. Pada gilirannya, para pemakan detritus berupa
cacing, siput dan aneka kerang akan dimakan oleh
udang dan ikan, yang selanjutnya akan menjadi
mangsa tingkat trofik di atasnya seperti ikan-ikan
pemangsa dan burung.
Melihat banyaknya jenis hewan yang sifatnya
hidup sementara di estuaria, bisa disimpulkan
bahwa rantai makanan dan rantai energi di estuaria

Sejenis Burung Gagang Bayem cenderung bersifat terbuka. Dengan pangkal


Asyik Mencari Makanannya di Lumpur pemasukan dari serpih-serpih bahan organik yang
Estuaria terutama berasal dari daratan (sungai, rawa asin,

(Foto: NOAA's Estuarine Research hutan bakau), dan banyak yang berakhir pada
Reserve Collection ikan-ikan atau burung membawa energi dari
sistem.
  Mangrove atau yang secara umum dikenal
sebagai hutan bakau adalah vegetasi yang
tumbuh di atas rawa-rawa berair payau yang
terletak pada garis pantai dan dipengaruhi oleh
pasang surut air laut. Vegetasi ini tumbuh
khususnya di tempat-tempat di mana terjadi
pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Baik
pada teluk-teluk yang terlindung dari gempuran
ombak, maupun di sekitar muara sungai di mana
air melambat dan mengendapkan lumpur yang
diangkutnya dari hulu sungai.  Oleh sebab itu
mangrove juga dikenal sebagai hutan payau atau
hutan pasang surut.

Mangrove, Perbatasan antara Lautan dan Daratan


(Foto: Wikipedia Commons)
Itulah sifat-sifat dasar ekosistem mangrove, yaitu:  tingkat pelumpuran yang tinggi, kadar
oksigen yang rendah, salinitas (kandungan garam) yang tinggi, dan pengaruh daur pasang
surut air laut.  Sehingga ekosistem ini sangat ekstrim sekaligus sangat dinamis dan termasuk
yang paling cepat berubah, terutama di bagian terluarnya.  Hanya sedikit jenis tumbuhan
yang mampu bertahan hidup di wilayah mangrove, dan jenis-jenis ini kebanyakan bersifat
khas hutan bakau karena telah melewati proses adaptasi dan evolusi yang bukan sebentar.
Hutan-hutan bakau menyebar luas di bagian yang cukup panas di dunia, terutama di
sekeliling khatulistiwa di wilayah tropika dan sedikit di wilayah subtropika.  Misalnya di
pantai utara Teluk Meksiko, pantai tenggara Amerika Serikat, pantai barat Afrika, dan ke
selatan hingga pulau utara Selandia Baru. (Nybakken 1988).
 Luas hutan bakau Indonesia berkisar antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar, merupakan mangrove
yang terluas di dunia. Melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97
juta ha) (Spalding dkk. 1997 dalam Noor dkk. 1999).
Areal hutan-hutan mangrove yang luas di
Indonesia terutama terdapat di seputar Dangkalan
Sunda yang relatif tenang dan merupakan tempat
bermuara sungai-sungai besar, yakni di pantai
timur Sumatra, dan pantai barat serta selatan
Kalimantan.  Hutan-hutan bakau di pantai utara
Jawa telah banyak yang rusak atau hilang akibat
ditebangi penduduk, dijadikan tambak, permu-
kiman dan lain-lain.Di wilayah Dangkalan Sahul
Hutan Mangrove di saat Air Laut Surut
di bagian timur Indonesia, hutan-hutan mangrove
yang masih baik terdapat di pantai barat daya papu (Foto: Wikipedia Commons)
terutama di sekitar Teluk Bintuni. Mangrove di Papua mencapai luas 1,3 juta ha, sekitar
sepertiga dari luas hutan bakau Indonesia. (Noor dkk. 1999).
 
Ekologi mangrove
Mangrove dikenal sebagai ekosistem yang merekayasa sendiri habitatnya.  Mula-mula
barangkali sebatang atau beberapa batang propagul, yakni kecambah pohon, bakau yang
terapung-apung di laut tersangkut di tepian pantai yang tenang.  Dapat terjadi di sebuah teluk
yang terlindung, lekuk pantai, atau perairan di belakang deretan terumbu karang.  Di atas
substrat lumpur, pasir atau pecahan karang kecil-kecil yang dangkal, calon pohon itu mulai
menjulurkan akar-akarnya sehingga menembus dan mencengkeram substrat.  Apabila pantai
cukup tenang dan bersahabat, propagul bakau dapat segera tumbuh dan membesar.
Jenis-jenis bakau perintis seperti bakau betul (Rhizophora), api-api (Avicennia) dan perepat
(Sonneratia) memiliki akar yang kebanyakan dangkal saja, namun efektif mencengkeram
lumpur.  Ditambah lagi dengan adanya jaringan akar tunjang serta akar pena yang bermanfaat
ganda, yakni penopang berdirinya pohon dan sebagai alat bernafas (pneumatofor), untuk
memperoleh oksigen yang lebih banyak dari udara.  Akar-akar ini pada gilirannya meredam
gempuran ombak dan memerangkap lebih banyak lagi sedimen serta sampah-sampah laut di
antara jalinannya yang ruwet.

Demikianlah,  semakin lama akan semakin


banyak sedimen yang terperangkap, wilayah
berlumpur semakin stabil dan hutan bakau pun
tumbuh semakin luas.  Namun bagian dalam
hutan bakau kini semakin meninggi dan
semakin kering, air laut pun semakin jarang
menyiraminya.  Tidak lagi cocok sebagai
tempat hidup jenis-jenis mangrove pionir,
Permudaan (Semai) Sejenis Bakau
bertahun-tahun kemudian bagian dalam hutan
(Rhizophora sp.) Berkecambah di Tepi Muara
bakau ini kemudian dikuasai oleh jenis-jenis
Sungai
mangrove pedalaman.
(Foto: Wikipedia Commons)
Vegetasi dan zonasi
Hutan mangrove di Indonesia memiliki keragaman jenis yang tinggi.  Tidak kurang dari 202 
spesies tumbuhan tercatat hidup di sini, 89 jenisnya berupa pohon.  Sementara itu, dari sekitar
60 spesies mangrove sejati yang dikenal dunia, sebanyak 43 spesies didapati di Indonesia. 
(Noor dkk. 1999).
Jenis-jenis tetumbuhan hutan bakau bereaksi berbeda terhadap variasi-variasi lingkungan
fisik di habitatnya, sehingga memunculkan zona-zona vegetasi tertentu. Beberapa faktor
lingkungan fisik tersebut adalah sebagai berikut. 
1. Jenis substrat.
Sebagai wilayah pengendapan, substrat di pesisir bisa sangat berbeda. Yang paling umum
adalah hutan bakau tumbuh di atas lumpur tanah liat bercampur dengan bahan organik. Akan
tetapi di beberapa tempat, bahan organik ini sedemikian banyak proporsinya; bahkan ada pula
hutan bakau yang tumbuh di atas tanah bergambut. Substrat yang lain adalah lumpur dengan
kandungan pasir yang tinggi, atau bahkan dominan pecahan karang, di pantai-pantai yang
berdekatan dengan terumbu karang.
2. Terpaan ombak
Bagian luar atau bagian depan hutan
bakau yang berhadapan dengan laut
terbuka sering harus mengalami terpaan
ombak yang keras dan aliran air yang
kuat. Tidak seperti bagian dalamnya yang
lebih tenang.
Bagian yang agak serupa adalah   hutan
yang berhadapan langsung dengan aliran
air sungai, yakni yang terletak di tepi Gambar 2.4.
sungai. Bakau (Rhizophora) sp.,
Tumbuh di Tepi Laut Terbuka
 (Foto: Wikipedia Commons
Perbedaan-nya, salinitas di tepi aliran sungai tidak begitu tinggi, terutama di bagian-
 
bagian yang agak jauh dari muara.
3. Penggenangan oleh air pasang
Bagian luar hutan bakau juga mengalami genangan air pasang yang paling lama dan paling
dalam dibandingkan dengan bagian yang lainnya; bahkan terkadang terus menerus terendam.
Sementara itu, bagian-bagian di pedalaman hutan bakau mungkin hanya terendam air laut
sekali dua kali dalam sebulan manakala terjadi pasang tertinggi.
Menghadapi variasi-variasi kondisi lingkungan seperti ini, secara alami terbentuk zonasi
vegetasi mangrove; yang biasanya berlapis-lapis mulai dari bagian terluar yang terpapar
gelombang laut, hingga ke bagian pedalaman yang relatif kering.
Jenis-jenis bakau (Rhizophora spp.) biasanya tumbuh di bagian terluar yang kerap digempur
ombak. Bakau Rhizophora apiculata dan R. mucronata tumbuh di atas tanah lumpur.
Sedangkan bakau R. stylosa dan perepat (Sonneratia alba) tumbuh di atas pasir berlumpur.
Pada bagian laut yang lebih tenang di zona terluar atau zona pionir ini hidup pohon api-api
putih (Avicennia alba).
Di bagian lebih ke dalam, yang masih tergenang pasang tinggi, biasa ditemui campuran
bakau R. mucronata dengan jenis-jenis kendeka (Bruguiera spp.), kaboa (Aegiceras
corniculata) dan lain-lain. Sedangkan di dekat tepi sungai, yang lebih tawar airnya, biasa
ditemui nipah (Nypa fruticans), pidada (Sonneratia caseolaris) dan bintaro (Cerbera spp.)
Pada bagian yang lebih kering di pedalaman hutan didapatkan jenis-jenis nirih (Xylocarpus
spp.), teruntum (Lumnitzera racemosa), dungun (Heritiera littoralis) dan kayu buta-buta
(Excoecaria agallocha).
Ancaman dan Kerusakan
Hutan-hutan bakau menghadapi banyak ancaman dan kerusakan yang bisa membawa
kepunahan.  Ancaman itu ditimbulkan baik oleh penyebab-penyebab alami maupun oleh
manusia.  Namun ancaman kegiatan manusialah yang berpengaruh paling besar dan paling
menentukan terhadap kelestarian hutan mangrove.
Sekitar 95% hutan mangrove di Kalimantan ternyata telah dimasukkan ke wilayah konsesi
HPH (hak pengusahaan hutan) (Burbridge and Koesoebiono 1980 dalam MacKinnon dkk.
1996).  Sementara hanya kurang dari 1% luas yang telah dilindungi dalam kawasan-kawasan
konservasi (MacKinnon and Artha 1981 dalam MacKinnon dkk. 1996).  Artinya, sebagian
besar kawasan mangrove itu dapat saja ditebang sewaktu-waktu untuk kebutuhan produksi.
Fungsi ekonomis hutan mangrove :
1. Berbagai tumbuhan dari hutan mangrove dimanfaatkan orang untuk bermacam-macam
keperluan misalnya Kayu bakau berkualitas baik sebagai bahan bangunan dan kayu
bakar, beberapa jenisnya digunakan sebagai bahan arang. 
2. Kayu bakau juga menghasilkan serat yang baik untuk membuat kertas. 
3. Kulit kayunya dimanfaatkan sebagai penghasil zat penyamak.
4. Kondisi yang paling berat, kawasan hutan bakau seringkali dibuka orang untuk diubah
menjadi wilayah pertambakan, tambak garam, lahan pertanian dan bahkan permukiman. 
Hutan-hutan bakau di Lampung dan di utara Jawa adalah buktinya. 
5. Sebagai kawasan pemukiman, rekreasi, lapangan golf misalnya Wilayah rawa bakau
yang luas di utara Jakarta, yakni antara Muara Angke dengan Muara Kamal, kini
sebagian besar telah dibuka untuk membangun pemukiman mewah dan lapangan golf. 
Rawa-rawa bakau di sebelah timurnya bahkan telah lama diubah menjadi Taman Impian
Jaya Ancol, suatu tempat rekreasi terkenal. 
6. Sebagai kawasan industri contohnya mangrove di sekitar Surabaya

Fungsi ekologis hutan mangrove :


Sebagai kawasan konservasi seperti cagar alam atau taman nasional atau di kawasan hutan
negara. Di daerah pantai utara Jawa, hutan-hutan bakau yang masih baik tinggal sedikit di
beberapa tempat saja.  

Terumbu Karang
Terumbu karang merupakan komunitas yang khas dan tumbuh terbatas di daerah tropika. 
Struktur dasar terumbu adalah bangunan kalsium karbonat (kapur) yang sangat banyak, yang
sebagian besar dibentuk oleh binatang karang (polip).  Hewan karang ini termasuk kelas
Anthozoa, filum Coelenterata, yang hidup berkoloni dan masing-masing menempati
semacam mangkuk kecil dari bahan kapur yang keras tadi.
Sebetulnya jenis-jenis binatang karang hidup
di lautan di seluruh dunia, termasuk di
wilayah kutub dan ugahari (temperate,
bermusim empat).  Akan tetapi hanya hewan
karang hermatipik yang bisa menghasilkan
terumbu, dan karang ini hidup terbatas di
wilayah tropis.  Salah satu sebabnya ialah
karena karang hermatipik hidup bersimbiosis
dengan sejenis tumbuhan (dinoflagellata) di Aneka warna dan bentuk karang keras
dalam sel-sel tubuhnya.  Kehidupan (Foto: Wikipedia Commons)
simbiotik yang dikenal sebagai  
zooxanthellae ini memerlukan sinar matahari
yang cukup sepanjang tahun untuk
berfotosintesis, dan lingkungan yang relatif
hangat dengan suhu optimal perairan sekitar
23-25oC. 
Berkurangnya laju fotosintesis akan mempengaruhi kemampuan karang membentuk
terumbu.  Sehingga kedalaman laut yang optimal untuk membentuk terumbu berada kurang
dari 25 m, di mana cahaya matahari masih memadai untuk fotosintesis.  Umumnya terumbu
karang tidak dapat terbentuk pada kedalaman lebih dari 50-70 m.
Keanekaragaman anggota komunitas
Komunitas terumbu karang merupakan salah satu komunitas yang paling kaya jenis di lautan
dan bahkan juga di dunia.  Seperti telah disebutkan, penyusun utama komunitas ini adalah
hewan-hewan karang yang membentuk aneka rupa karang keras (ordo Madreporaria).  Di
samping itu juga terdapat aneka jenis karang lunak (Octocorallia), gorgonia, kipas laut,
cambuk laut serta berbagai jenis alga.  Beberapa macam alga juga memproduksi kalsium
karbonat, bahkan kelompok alga yang disebut alga koralin menghasilkan endapan kalsium
karbonat di substrat yang ditumbuhinya dan merekatkan bagian-bagian yang lepas, seperti
pecahan karang, menjadi satu.
Keberadaan bongkah-bongkah karang otak, rumpun karang tanduk rusa, kepingan karang
meja dan lain-lain menyediakan banyak relung (niche) untuk kehidupan organisme lainnya. 
Aneka jenis teripang, bintang laut, bulu babi, siput laut, kerang dan tiram, hingga ke ratusan
spesies ikan, udang dan kepiting, penyu serta ular laut, bisa ditemukan di terumbu karang.
Fungsi Ekologis terumbu karang yaitu :
1. Sebagai tempat hidup dan berkembangbiak hewan-hewan karang dan ikan
2. Menjaga keseimbangan lingkungan ekosistem pantai
3. Menjadi tempat keberlimpahan ikan diluar ekosistem terumbu karang.
Fungsi ekonomi yaitu :
1. Memberikan pendapatan jika kawasan terumbu karang dapat terjaga karena akan
memberikan hasil ikan yang dapat ditangkap lebih berlimpah
2. Sebagai kawaasan wisata, wisata bahari melalui snorckling. .
Referensi :

Burke, L., E. Selig and M. Spalding.  2002.  Reefs at Risk in Southeast Asia.  World
Resources Institute.

Nybakken, J.W.  1988.  Biologi Laut: suatu pendekatan ekologis.  Alih bahasa H. Muh.
Eidman dkk.  Penerbit Gramedia.  Jakarta.

Wikipedia, Estuary. http://en.wikipedia.org/wiki/estuary.htm Diakses tgl. 12/10/2016.


Suraji, dkk. 2010. Mengenal Potensi Kawasan Konservasi Perairan Nasional-Profil Kawasan
Konservasi Perairan Nasional. Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan. Direktorat
Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Jakarta.

Tomascik, T., A.J. Mah, A. Nontji dan M.K.  Moosa. 1997.  The Ecology of the Indonesian
Seas.  Part Two.  Perilus Edition, Singapore: vi + 1388 hlm.
Short F.T., McKenzie, L.J., Coles R.G. dan Gaeckle, J.L.  2004.  SeagrassNet Manual for
Scientific Monitoring of Seagrass Habitat – Western Pacific Edition.  University of New
Hampshire, USA, QDPI, Northern Fisheries Centre, Ausralia: 71 hlm.
McKenzie, L.J. & S.J. Campbell.  2002.  Seagrass Watch: Manual for community  (citizen)
monitoring of seagrass habitat.  Western Pacific Edition (QFS, NFC, cairns): 32 hlm.
Larkum, A.W.D dan C. den Hartog. 1989 dalam Tomascik, T., A.J. Mah, A. Nontji dan M.K.
Moosa. 1997.  The Ecology of the Indonesian Seas.  Part Two.  Perilus Edition, Singapore: vi
+ 1388 hlm.
Fortes, M. D. 1989. Seagrasses: a resource unknown in the ASEAN region. ICLARM
Education Series 5. International Center for Living Aquatic Resources Management, Manila,
Philippines.
Anwar, J., S.J. Damanik, N. Hisyam, dan A.J. Whitten.  1984.  Ekologi Ekosistem Sumatera. 
Gadjah Mada University Press.  Jogyakarta.
MacKinnon, K., G. Hatta, H. Halim and A. Mangalik.  1996.  The Ecology of Kalimantan. 
Periplus.  Hong Kong.
Nontji, A.  1987.  Laut Nusantara.  Penerbit Djambatan.  Jakarta.
Noor, Y.R., M. Khazali, dan I.N.N. Suryadiputra.  1999.  Panduan Pengenalan Mangrove di
Indonesia. PKA/WI-IP.  Bogor.
Whitten, T., R.E. Soeriaatmadja, dan S.A. Afiff.  1999.  Ekologi Jawa dan Bali. 
Prenhallindo,  Jakarta.
Wikipedia Indonesia,  Hutan bakau.  http://id.wikipedia.org/wiki/hutan_bakau.htm   Diakses
tgl. 12/10/2016

Anda mungkin juga menyukai